• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESENIAN INDANG DALAM KONTEKS BUDAYA SURAU.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KESENIAN INDANG DALAM KONTEKS BUDAYA SURAU."

Copied!
4
0
0

Teks penuh

(1)

KESENIAN INDANG DALAM KONTEKS BUDAYA SURAU

1. Asal usul Kesenian Indang di Padang Pariaman

Awalnya, kesenian indang dibawa oleh ulama-ulama Islam dari Aceh ke Pariaman, kemudian mengalami akulturasi dengan kebudayaan Minangkabau. Penyajiannya sangat sederhana dengan tujuan utama sebagai sarana pengembangan ajaran agama Islam kepada masyarakat.

Seorang tokoh surau di Tanjung Medang Nagari Ulakan, Dalin Na’aman, mengombinasikan kesenian saman dan didong (dari Aceh) dengan kesenian rebana dan diberinya nama Indang. Penyajiannya dengan menyusun murid-murid secara berderet dalam posisi bersila. Mereka menyanyikan riwayat nabi, sifat Tuhan sambil memukul rebana dan melakukan gerakan ke depan, ke belakang, ke kanan, dan ke kiri. Pertunjukkannya disebut baindang.

Istilah baindang berasal dari kata bendang yang artinya terang. Istilah ini pada mulanya merupakan sebutan untuk alim ulama yang menerangkan ajaran agama Islam.

Alim ulama cadiak pandai, suluah bendang dalam nagari, palito nan indak namuah padam, camin nan indak namuah kabua, baindang batampi tareh, bapiliah atak ciek-ciek.

Syair lagu petunjuk asal indang dari Tanjung Medan: Bamulo di Tanjung Medan

Talatak dakek nagari Ulakan Namo baliau Dalin Naaman

Parakaro indang mulo dibendangkan Kalau saurang jikok dikaji

Para ulama pawaris nabi Manuruik caro tiok nagari

Manarangkan ugamo jalan Illahi Sabaleh sahabat nan maikuti

Alat musik yang digunakan adalah rapa’i. Rapa’i dapat berarti:

1. Alat musik pukul yang dibuat dari kayu nangka yang sudah tua atau kayu merbau. Kulitnya dari kulit kambing yang sudah diolah.

(2)

Indang disajikan dalam kelompok-kelompok. Masing-masing kelompok terdiri atas 8 orang pemain yang semuanya laki-laki. Tujuh orang sebagai anak indang dan seorang sebagai pemimpin yang disebut tukang dikie.

Perkembangan indang dari surau Tanjung Medan adalah ke surau Kuraitaji dan surau Rambai. Masing-masing surau memiliki tukang dikie. Untuk mempererat hubungan, mereka saling berkunjung untuk memperdalam ilmu agama Islam. Kelompok-kelompok itu menyajikan kemampuannya dihadapan gurunya. Sistem berkunjung ini disebut dengan manapa atau batandang. Penyajian indang sebanyak tiga kelompok kemungkinan berasal dari kebiasaan ini.

Tumbuhnya tiga kelompok indang (Tanjung Medang, Kuraitaji, dan Rambai) ini menarik guru-guru surau lain untuk mempelajarinya. Hal ini dimaksudkan untuk mengembangkan ajaran agama Islam dan memperdalam ilmu mereka dengan saling batandang.

2. Penyajian Indang di Surau a. Intern

Dalam konteks ini, indang digunakan sebagai sarana belajar mengajar tentang agama Islam di surau. Pemain indang duduk bersyaf menghadap guru yang berada di ruang imam. Tujuh orang sebagai anak indang dan seorang sebagai tukang dikie. Anak indang memiliki empat pembagian tugas:

1) Tukang aliah / tukang karang. Pembantu utama tukang dikie mengarang riwayat. Mengawali dan mengakhiri pertunjukan, menentukan pola tabuhan rapa’i, dan mengalihkan lagu. Posisinya tepat di tengah anak indang.

2) Tukang apik. Dua orang yang mengapit tukang aliah. Seorang memberi variasi bunyi rapa’i tukang aliah, seorang lagi memberi variasi bunyi rapa’i dari tukang apik pertama.

3) Tukang pangga. Dua orang yang duduk di sebelah kanan dan kiri tukang apik. Bertugas mengikuti pola tabuhan tukang apik kedua. 4) Tukang palang. Dua orang yang duduk paling ujung kanan dan kiri. Pola

tabuhannya sama dengan tukang apik kedua.

(3)

Murid lain mendengarkan sehingga turut mendapat pelajaran dari yang dinyanyikan tukang dikie. Apabila terdapat kesalahan, guru akan menegur dan memberi petunjuk. Penyajian indang tersebut bergantian.

Penyajian indang ini dilakukan pada Kamis petang malam Jumat dimulai tengah malam. Oleh karena bunyi rapa’i, masyarakat yang ingin mempelajari agama datang ke surau turut mendengarkan dan menyaksikan indang.

b. Batandang

Penyajian indang dalam konteks ini bermaksud sebagai bentuk silaturrahim. Satu kelompok mengundang atau diundang kelompok lain. Jumlah pemain sama dengan indang intern. Namun, penyajiannya terdiri atas tiga kelompok dengan teknis penyajian secara bergantian. Posisi duduk tiga kelompok itu membentuk segitiga.

Selain saling menambahkan pengetahuan dalam penyajian indang, tak jarang terjadi perdebatan untuk mengalahkan kelompok yang lain. Kelompok yang tidak bisa menjawab pertanyaan kelompok lain dianggap kalah.

3. Teks Nasib

Teks kesenian indang terdiri atas pelajaran-pelajaran yang disampaikan pemain indang. Artinya pelajaran tersebut diperoleh dari guru kemudian dinyanyikan oleh pemain indang (tukang dikie dan anak indang). Teks indang ini disebut nasib.

Nasib berasal dari kata bahasa Arab nasik ‘orang zuhud’ atau ‘orang yang ahli dalam agama Islam’. Dalam pelafalannya, pada akhirnya disebut nasib atau banasib. Akibatnya, muncul makna berbeda dari makna sesungguhnya yaitu nasib dan peruntungan diri.

Terdapat empat jenis teks nasib yang berkembang pada zaman surau. a. Teks nasib yang membicarakan sifat Tuhan.

b. Teks nasib yang membicarakan riwayat nabi-nabi dan rasul.

c. Teks nasib yang membicarakan ulama yang mengembangkan agama Islam dari Mekah ke Aceh hingga Ulakan.

d. Teks nasib yang membicarakan keadaan sebelum adanya alam hingga datangnya Islam.

Hingga sekarang hanya teks nasib 2, 3, dan 4 yang masih dibawakan dalam indang.

(4)

a. Guguih kolipah Hosen yang mebicarakan nabi dan rasul.

b. Guguih kolipah Mak Amuik yang membicarakan ulama pengembang Islam. c. Guguih kolipah Tan Karim yang membicarakan kejadian alam.

Bentuk teks nasib dapat dibagi dua, yaitu berbentuk prosa liris dan syair.

4. Gerak, Busana, dan Lagu

Gerak indang dalam konteks penyajian di surau masih sangat sederhana. Gerak dilakukan dalam posisi duduk. Struktur geraknya adalah gerak sambah, gerak tangan, gerak tapuak, dan gerak rapa’i.

Busana yang dikenakan pemain indang masa lampau tidak ditentukan secara khusus. Mereka lebih mengutamakan bersih dan suci dari hadas kecil dan hadas besar. Kemeja, celana panjang, kain sarung, serta penutup kepala (peci) adalah busana yang biasa dikenakan pemain indang.

Lagu yang dibawakan pada dasarnya sama yang diulang-ulang. Bentuk lagu belum mengutamakan estetika, tetapi lebih pada pesan dan ajaran agama Islam.

Disarikan dari: Ediwar. 1999. “Perjalanan Kesenian Indang dari Surau ke Seni Pertunjukkan Rakyat Minangkabau di Padang Pariaman Sumatera Barat” (tesis).

Referensi

Dokumen terkait

Pembicara atau penceramah untuk materi polbangmawa (Pola Pengembangan Kemahasiswaan) yaitu seseorang yang diminta Dikti, pihak perguruan tinggi, pihak jurusan, atau

Produksi dan harga yang berbeda-beda masing-masing tahap peremajaan dipengaruhi oleh faktor umur tanaman yang berbeda-beda, karena tinggi rendahnya harga TBS dipengaruhi

Penelitian tugas akhir yang dilakukan oleh Ramadhan (2012) dengan judul penelitian yang dilakukan yaitu “Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (Studi

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana penerapan sistem/teknologi informasi yang baik menurut framework COBIT 4.1, evaluasi dan melakukan

Manfaat penelitian yang dilakukan kali kali ini adalah untuk memberi masukan kepada pelaksana teknis di lapangan dalam melaksanakan pekerjaannya tentang seberapa

Yang termasuk syarat poligami sebagaimana terdapat dalm pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan adalah: 1. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai

Melalui pengembangan diharapkan mengasilkan perangkat untuk desain pembelajaran pemecahan masalah yang valid dan praktis, yang bermanfaat bagi guru IPA yang mengalami

Tujuan dari penciptaan karya film animasi “I Hate Being T-Rex” yaitu, menciptakan karya film animasi dengan teknik dua dimensi yang bercerita tentang masalah yang