• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN INFEKSI HELICOBACTER PYLORI DENGAN KADAR ENDOTELIN 1 SERUM PADA PASIEN DISPEPSIA DI KECAMATAN KINTAMANI BANGLI BALI.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "HUBUNGAN INFEKSI HELICOBACTER PYLORI DENGAN KADAR ENDOTELIN 1 SERUM PADA PASIEN DISPEPSIA DI KECAMATAN KINTAMANI BANGLI BALI."

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

HUBUNGAN INFEKSI HELICOBACTER PYLORI

DENGAN KADAR ENDOTELIN 1 SERUM

PADA PASIEN DISPEPSIA

DI KECAMATAN KINTAMANI BANGLI BALI

I GUSTI NGURAH MAYURA NIM 0914048204

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(2)

HUBUNGAN INFEKSI HELICOBACTER PYLORI

DENGAN KADAR ENDOTELIN 1 SERUM

PADA PASIEN DISPEPSIA

DI KECAMATAN KINTAMANI BANGLI BALI

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana

I GUSTI NGURAH MAYURA NIM 0914048204

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(3)

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 26 MEI 2016

Pembimbing I, Pembimbing II,

dr. Nyoman Purwadi, Sp.PD-KGEH Dr. dr. Ketut Suega, SpP.D-KHOM NIP. 19540812198110 1 001 NIP. 19570406198312 1 001

Mengetahui

Ketua Program Studi Direktur

Magister Ilmu Biomedik Program Pascasarjana, Program Pascasarjana Universitas Udayana Universitas Udayana

(4)

LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS

Tesis Ini Telah Diuji dan Dinilai Oleh Panitia Penguji pada

Program Pascasarjana Universitas Udayana Pada Tanggal 26 Mei 2016

Panitia Penguji Tesis

Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana No : 2321/UN14.4/HK/2016

Tanggal 24 Mei 2016

Ketua : dr. Nyoman Purwadi, SpPD-KGEH

Anggota:

(5)
(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama penulis memanjatkan puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya atas asung kerta wara Nugraha-Nya/karunia-Nya karya tulis akhir ini dapat penulis selesaikan. Karya tulis akhir ini merupakan tugas akhir yang dibuat sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Pendidikan Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik, Program Pascasarjana, Universitas Udayana.

Pada kesempatan ini, perkenankan penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setulus-tulusnya kepada dr. Nyoman Purwadi, Sp.PD-KGEH selaku pembimbing I yang telah memberikan kesempatan, nasehat, bimbingan dalam menyelesaikan tesis ini dan Dr. dr. Ketut Suega, Sp.PD-KHOM, selaku Kepala Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/RSUP Sanglah dan juga selaku pembimbing II yang telah memberikan kesempatan, nasehat, dan bimbingan kepada penulis selama menjalani pendidikan dan menyelesaikan tesis ini.

(7)

N. Tigeh Suryadhi, MPH, Ph.D selaku penguji yang telah banyak memberikan masukan dan saran bagi penyusunan tesis ini.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada dr. A. A. Sri Saraswati, M.Kes selaku Direktur RSUP Sanglah Denpasar, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk belajar dan bekerja di RSUP Sanglah Denpasar, Dr. dr. Dewa Made Sukrama, SpMK(K), MKes, selaku Ketua Unit Penelitian dan Pengembangan FK Unud/RSUP Sanglah, yang telah memberikan masukan tentang kelaikan etik penelitian untuk melaksanakan penelitian ini, Prof. DR. Dr. Gde Raka Widiana, Sp.PD-KGH, selaku Koordinator Penelitian Bagian/SMF Ilmu Penyakit dalam FK Unud/RSUP Sanglah, yang telah memberikan kesempatan, nasehat dan bimbingan selama penulis menjalani pendidikan dan penyusunan tesis ini.

(8)

Astika, SpPD-KGer sebagai pembimbing akademik atas arahan dan bimbingan selama mengikuti pendidikan.

Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan ucapan banyak terima kasih kepada Bapak Bupati Bangli, Kepala Dinas Kesehatan Kab Bangli, Direktur RSUD Bangli, Ketua IDI Kab Bangli yang telah memberikan rekomendasi dan ijin untuk menempuh Program Pendidikan Dokter Spesialis 1 (PPDS-1) Ilmu Penyakit Dalam di FK Unud/RSUP Sanglah.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada semua Kepala Divisi dan semua Staf Bagian./SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/RSUP Sanglah, atas segala bimbingan dan masukan yang diberikan dalam menjalani program pendidikan sehari-hari, pelaksanaan dan penyusunan penelitian ini, semua rekan paramedis dan tenaga administrasi di RSUP Sanglah, RSUD Wangaya, dan RSUD Larantuka atas kerjasama dan bantuannya selama penulis menjalani pendidikan dan melakukan penelitian ini, Kepala Puskesmas se-Kecamatan Kintamani, masyarakat Kecamatan Kintamani atas kerjasama dan bantuannya selama penulis menjalani pendidikan dan melakukan penelitian ini dan semua sampel penelitian ini, atas kesediaan dan kerelaan untuk ikut berpartisipasi selama penelitian ini berlangsung.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada sahabat X-Gen dan Grup Board serta semua rekan-rekan residen Penyakit Dalam yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, atas bantuan dan kerjasama selama penulis menjalani pendidikan.

(9)

Cahyani, SP, ananda I Gusti Ngurah Prathama Abirama dan I Gusti Ayu Isyana Tara Prameswari, dan Mb De atas pengertian, pengorbanan, kesabaran, ketabahan, dan dukungan serta doa yang tiada henti selama penulis menjalani pendidikan.

Semua pihak yang telah membantu penyelesaian karya tulis akhir ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas budi baik yang telah diberikan dan memberi petunjuk agar ilmu yang saya peroleh dapat digunakan pada jalan yang benar dan bermanfaat bagi masyarakat, bangsa dan negara.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa karya tulis akhir ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak kekurangan, namun demikian besar harapan penulis semoga apa yang terkandung di dalamnya akan dapat bermanfaat bagi masyarkat pada umumnya dan dunia kedokteran pada khususnya.

Denpasar, Mei 2016 Penulis

(10)

ABSTRAK

HUBUNGAN INFEKSI HELICOBACTER PYLORI DENGAN

KADAR ENDOTELIN 1 SERUM PADA PASIEN DISPEPSIA

DI KECAMATAN KINTAMANI BANGLI BALI

Infeksi Helicobacter pylori (H. pylori) merupakan penyakit infeksi yang sering yang terjadi pada manusia dan diperkirakan sekitar 50% populasi di dunia terinfeksi. H. pylori didapatkan lebih tinggi pada negara berkembang dibandingkan negara maju dan dapat bertahan lebih lama pada suhu yang lebih rendah. Infeksi H. pylori sering didapatkan pada pasien dispepsia. Dispepsia dapat merupakan tanda infeksi H. pylori akut atau kronis. Endotelin (ET) merupakan vasokonstriktor poten dimana ET-1 merupakan peptida vasokonstriksi kuat yang ada pada traktus gastrointestinal. ET-1 memiliki peran penting pada terjadinya kerusakan mukosa lambung. Penelitian yang menghubungkan infeksi H. pylori

dengan kadar ET-1 serum pada pasien dispepsia jumlahnya masih terbatas.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan infeksi H. pylori

dengan kadar ET-1 serum pada pasien dispepsia di Kecamatan Kintamani Bangli Bali.

Penelitian ini merupakan studi potong lintang analitik dengan 80 pasien dispepsia yang dipilih secara consecutive sampling. Infeksi H. pylori ditentukan positif atau negatif. Kadar ET-1 serum ditentukan dengan menggunakan Kit. Pasien dengan hipertensi, hipertensi pulmonar, congestive heart failure, diabetes militus, penyakit ginjal kronik, keganasan, sepsis, mengkonsumsi NSAID, dan mendapatkan obat-obatan terapi eradikasi H. pylori dieksklusi. Hubungan infeksi

H. pylori dengan kadar ET-1 serum pada pasien dispepsia dianalisis dengan uji Spearman.

Dari 80 sampel, 43,75% laki-laki dan 56,25% perempuan, 27 orang (33,75%) dengan H. pylori positif. Dengan uji korelasi Spearman, tidak didapatkan hubungan antara infeksi H. pylori dengan kadar ET-1 serum pada pasien dispepsia dengan nilai p = 0,984.

Sebagai kesimpulan, tidak terdapat hubungan antara infeksi H. pylori

dengan kadar ET-1 serum pada pasien dispepsia di Kecamatan Kintamani Bangli Bali.

(11)

ABSTRACT

CORRELATION OF HELICOBACTER PYLORI INFECTION

WITH SERUM LEVEL OF ENDOTHELIN 1 IN DYSPEPSIA

PATIENTS AT KINTAMANI DISTRICT BANGLI BALI

Helicobacter pylori (H. pylori) infection is an infectious disease which often happens in humans, estimated to be around 50% of the world's population is infected. Higher H. pylori infection is found higher in developing countries compared to developed countries and can survive longer at lower temperatures. H. pylori infection is often found in dyspepsia patients. Dyspepsia can be a sign of acute or chronic H. pylori infection. Endothelin (ET) is a potent vasoconstrictor that ET-1 is a potent vasoconstriction peptides in the gastrointestinal tract. ET-1 has an important role in gastric mucosal damage. Study of H. pylori infection and serum levels of ET-1 in dyspepsia patients are still limited.

The aim of this study was to determine the correlation of H. pylori

infection with serum levels of ET-1 on dyspepsia patients in Kintamani District Bangli Bali.

This study was a cross-sectional analytic study with 80 dyspepsia patients and selected by consecutive sampling. H. pylori infection determined positive or negative. ET-1 serum levels determined by using Kit. Patients with hypertension, pulmonary hypertension, congestive heart failure, diabetes mellitus, chronic renal disease, malignancy, sepsis, taking NSAIDs, and got H. pylori eradication treatment were excluded. Correlation of H. pylori infection with serum levels of ET-1 in patients with dyspepsia were analyzed by Spearman.

Of the 80 samples, 43.75% of men and 56.25% women, 27 persons (33.75%) with H. pylori-positive. Spearman correlation test, no correlation was found between between H. pylori infection with serum levels of ET-1 in patients with dyspepsia, with p = 0.984.

In conclusion, there was no correlation between H. pylori infection with serum levels of ET-1 in patients with dyspepsia in Kintamani District Bangli of Bali.

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DEPAN ... i

LEMBAR PERSYARATAN GELAR ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS ... iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ... v

DAFTAR ARTI LAMBANG, SINGKATAN, DAN ISTILAH ... xvii

(13)

2.2.1 Infeksi H. pylori dan dispepsia ... 13

2.3 Endotelin 1 (ET-1) ... 15

2.3.1 ET-1 pada penyakit lain ... 18

2.3.1 ET-1 pada lambung ... 21

2.4 Infeksi H. pylori dan ET-1 ... 22

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN ... 25

(14)

5.1.2 Hubungan Infeksi H. pylori dengan kadar ET-1 Serum ... 37

5.2 Pembahasan Hasil Penelitian ... 37

5.2.1 Prevalensi Infeksi H. Pylori ... 37

5.2.2 Prevalensi Infeksi H. pylori Berdasarkan Jenis Kelamin ... 39

5.2.3 Prevalensi Infeksi H. pylori Berdasarkan Umur ... 41

5.2.4 Hubungan Infeksi H. pylori dengan kadar ET-1 Serum ... 42

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 47

6.1 Simpulan ... 47

6.2 Saran ... 47

DAFTAR PUSTAKA ... 48

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 H. pylori ... 4

Gambar 2.2 H. pylori dan virulensinya ... 6

Gambar 2.3 Perjalanan alamiah infeksi H. pylori ... 7

Gambar 2.4 Sintesis ET-1 ... 16

Gambar 2.5 Transkripsi dan translasi ET-1 ... 17

Gambar 2.6 Skematik ET-1 pada arteri sehat dan disfungi endotel ... 18

Gambar 3.1 Kerangka berpikir ... 26

Gambar 4.1 Rancangan penelitian ... 27

(16)

DAFTAR TABEL

Halaman

(17)

DAFTAR ARTI LAMBANG, SINGKATAN, DAN ISTILAH

CagA : Cytotoxin-Associated Gene A

cGMP : cyclic Guanosine Monophosphate

CHF : Congestive Heart Failure

cNOS : constitutive Nitric Oxide Syntetase

COX : Cyclooxygenase

cPLA2 : cytosolic Phospholipase A2

CRP : C-Reactive Protein

DM : Diabetes Militus

eNOS : endothelial NO syntethase

ECE : Endothelin Converting Enzyme

ELISA : Enzyme-Linked Immunosorbent Assay

ERK : Extracellular signal Regulated Kinase

ET : Endotelin ETA : Endotelin A ETB : Endotelin B

GERD : Gastroesophageal Reflux Disease

HEROES : Helicobacter Eradication Relief of Dyspeptic Symptoms

H. pylori : Helicobacter pylori

HGF : Hepatocyte Growth factor

IL : Interleukin

LPS : Lipopolysaccharida

MALT : Mucosa-Associated Limphoid Tissue

MAPK : Mitogen-Activated Protein Kinase

NFκB : Nuclear Factor kappa B

NO : Nitric Oxide

NPT : Near Patient Test

NSAID : Non-Steroidal Anti-inflammatory Drugs

(18)

NUD : Non-Ulcer Dyspepsia

PAF : Platelet Activating Factor

PAI : Pathogenecity Island

PCR : Polymerase Chain Reaction

PG : Prostaglandin PGE2 : Prostaglandin E2 PGK : Penyakit Ginjal Kronik

PPI : Proton Pump Inhibitor

PUD : Peptic-Ulcer Dyspepsia

RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat

RUT : Rapid Urea Test

SPSS : Statistics Program for Social Science

TNF : Tumor Necrosis Factor

UBT : Urea Breath Test

VacA : Vacuolating Cytotoxin A

VEGF : Vascular Endothelial Growth Factor

WHO : World Health Organization

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Surat keterangan kelaikan etik (ethical clearance) ... 59

Lampiran 2. Surat rekomendasi BPMP Pemerintah Provinsi Bali ... 60

Lampiran 3. Surat rekomendasi Badan Kesbangpolinmas Kabupaten Bangli .. 61

Lampiran 4. Informasi pasien tentang penelitian ... 62

Lampiran 5. Formulir persetujuan tertulis setelah penjelasan ... 64

Lampiran 6. Formulir penelitian ... 65

Lampiran 7. Hasil infeksi H. pylori dan kadar ET-1 ... 67

Lampiran 8. Hasil analisis data dengan perangkat lunak komputer ... 70

Lampiran 9. Jadwal dan anggaran penelitian ... 71

(20)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Infeksi Helicobacter pylori (H. pylori) merupakan penyakit infeksi yang sering yang terjadi pada manusia (lebih sering didapatkan pada pasien dispepsia). Endotelin 1 (ET-1) merupakan vasokonstriktor poten pada traktus gastrointestinal yang berperan pada terjadinya kerusakan mukosa lambung.

Infeksi bakteri ini dapat menyebabkan gastritis, ulkus peptikum, adenokarsinoma lambung, dan limfoma mucosa-associated lymphoid tissue

(MALT) (Radosz-Komoniewska, 2005). Prevalensi infeksi H. pylori sangat bervariasi tergantung pada geografik, etnik, usia, dan status sosial ekonomi, dengan tingkat isolasi didapatkan lebih tinggi pada negara berkembang dibandingkan negara maju (Radosz-Komoniewska, 2005; Hunt et al., 2011).

Dispepsia dapat merupakan tanda infeksi H. pylori akut atau kronis. Studi dengan populasi yang luas menunjukkan peningkatan insiden infeksi H. pylori

pada pasien dispepsia (Loyd, 2011). Alfizah (2010) mendapatkan infeksi H. pylori

sebanyak 30,8% pada pasien dispepsia. Angka kejadian infeksi H. pylori pada pasien dispepsia di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah didapatkan sebesar 69,3% (Primadharsini, 2013).

(21)

2

pylori dapat tumbuh pada temperatur 30-37°C dan bertahan pada suhu 30°C pada media laboratorium, air, dan susu, serta dapat bertahan lebih lama pada suhu yang lebih rendah (Duynhoven, 2001).

Endotelin merupakan peptida yang awalnya diisolasi dari media kultur sel endotelial aortik, dengan tiga bentuk isoform: ET-1, ET-2, dan ET-3, dengan ET-1 merupakan yang paling kuat vasokontriksinya (Bohm, 2007; Kawanabe, 2011). Kadar ET-1 plasma dan mukosa meningkat pada pasien dengan ulkus lambung, hal ini memberi kesan bahwa lambung merupakan sumber penting ET-1 (Nishida

et al., 2006). Pemberian ET-1 sub-mukosa pada dinding lambung dapat merusak mukosa lambung karena aliran darahnya menjadi berkurang (Chang, 2005).

Akimoto (2002) mendapatkan kadar ET-1 signifikan lebih tinggi pada kelompok dengan infeksi H. pylori positif (gastritis fase aktif, fase penyembuhan, dan dengan ulkus) dibandingkan dengan infeksi H. pylori yang negatif. Hasil berbeda didapatkan oleh Chang (2005) yang mendapatkan kadar ET-1 pada pasien dengan dengan infeksi H. pylori positif lebih rendah dibandingkan yang negatif (0,3±0,2 vs 0,89±0,54).

(22)

3

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang tersebut di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: apakah infeksi H. pylori berkorelasi dengan kadar ET-1 serum pada pasien dispepsia di Kecamatan Kintamani Bangli Bali?

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui korelasi infeksi H. pylori dengan kadar ET-1 serum pada pasien dispepsia di Kecamatan Kintamani Bangli Bali.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Akademik

Dengan mengetahui korelasi infeksi H. pylori dengan kadar ET-1 serum pada pasien dispepsia di Kecamatan Kintamani Bangli Bali dapat dijadikan data dasar untuk penelitian selanjutnya.

1.4.2 Manfaat Praktis

Dengan mengetahui korelasi infeksi H. pylori dengan kadar ET-1 serum pada pasien dispepsia, akan menambah pengetahun tentang peranan infeksi H. pylori

(23)

1

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Infeksi Helicobacter pylori

2.1.1 Helicobacter pylori (H. pylori)

H. pylori merupakan bakteri patogen gram negatif anaerob berbentuk spiral yang ditemukan pada mukosa lambung, dan pertama kali diisolasi oleh Waren dan Marshall pada tahun 1983. Pada awalnya H. pylori diklasifikasikan sebagai

Campylobacter pylori, tetapi kemudian tahun 1989 dimasukkan kedalam genus baru Helicobacter, dan diberi nama Helicobacter pylori (Brown, 2000). Nama H. pylori berasal dari bahasa Latin yang artinya “batang spiral pada perut bagian

bawah” (Bakri, 2012).

Bakteri H. pylori bersifat non-invasif, hidup pada mukus, mikroaerofilik (memerlukan kadar oksigen yang rendah), berbentuk S dengan 2-6 flagela yang membuatnya bergerak sesuai kontraksi lambung dan penetrasi pada mukosa lambung, dengan panjang 2,4-4,0 µm dan lebar 0,5-1,0 µm. Reservoarnya pada lambung terutama bagian antrum dan tidak berkoloni pada lambung yang dengan metaplasia atau displasia (Gambar 2.1) (Brown, 2000; Atherton, 2010).

Gambar 2.1

(24)

2

Infeksi H. pylori merupakan salah satu faktor risiko keganasan pada lambung termasuk limfoma dan kanker lambung. Tahun 1994, World Health Organization

(WHO) mengklasifikasikan H. pylori sebagai karsinogen kelas 1 (Radosz-Komoniewska, 2005).

2.1.2 Epidemiologi H. pylori

Infeksi H. pylori sangat umum di Amerika Serikat dengan prevalensi yang bervariasi sesuai usia, sekitar 50% didapatkan pada usia 60 tahun dan sekitar 20% pada usia 30 tahun, dan di negara berkembang lainnya didapatkan lebih dari 80% (Atherton, 2010). WHO mendapatkan mayoritas infeksi H. pylori terjadi pada usia muda dan menengah (25-50 tahun) (Alsaimary, 2009).

2.1.3 Perjalanan Alamiah H. pylori

Infeksi H. pylori seringkali asimtomatik (>70%), tetapi sekitar 10% individu yang terinfeksi menunjukkan ulkus peptikum, dan beberapa dengan kanker lambung (Vilaichone et al., 2013). Infeksi H. pylori dipengaruhi oleh jenis strain bakteri (faktor virulensi) (Gambar 2.2) dan faktor host (predisposisi genetik, respon imun terhadap infeksi, dan diet) (Radosz-Komoniewska, 2005). Faktor risikonya meliputi merokok, konsumsi alkohol, diet, kecelakaan kerja, paparan yang ditularkan melalui air, higiene, faktor sosial, dan riwayat keluarga dengan penyakit lambung (Brown, 2000).

(25)

3

baik pada ekologi tersebut dan mampu masuk ke dalam mukus, berenang, menyesuaikan diri dalam mukus, berikatan dengan sel epitel, menghindari respon imun, dan pada akhirnya bisa mengadakan kolonisasi dan transmisi yang persisten (Suerbaum, 2002).

Gambar 2.2

H. pylori dan virulensinya (Tiwari, 2011)

Urease merupakan enzym paling penting yang diproduksi oleh H. pylori

untuk dapat bertahan pada lingkungan pH yang rendah dan juga sebagai alat bantu kolonisasi pada membran mukosa lambung (Radosz-Komoniewska, 2005). Urease menghidrolisis urea menjadi karbondioksida dan amonia, sehingga memungkinkan H. pylori untuk bertahan pada suasana lambung yang asam. Aktivitas enzym diatur oleh pH-gated urea chanel (UreI) yang terbuka pada pH rendah dan menghentikan influks urea pada kondisi netral (Suerbaum, 2002).

(26)

4

menetap, tetapi 80-90% biasanya asimtomatis. Perkembangan klinis selanjutnya sangat bervariasi dan tergantung pada faktor bakteri dan host. Pasien dengan sekresi asam yang tinggi cenderung lebih dominan dengan gastritis antrum yang mempengaruhi terjadinya ulkus duodenum, sedangkan pasien dengan sekresi asam yang lebih rendah cenderung dengan gastritis pada korpus lambung, predisposisi menjadi ulkus lambung, dan dapat menyebabkan terjadinya kanker lambung. Walaupun jarang infeksi H. pylori juga dapat merangsang terjadinya limfoma MALT pada mukosa lambung, yaitu limfoma maligna yang timbul dari jaringan limfoid mukosa (Gambar 2.3) (Suerbaum, 2002).

Gambar 2.3

Perjalanan alamiah infeksi H. pylori (Suerbaum, 2002).

Berbagai faktor virulensi yang terlibat pada patomekanisme infeksi H. Pylori

(27)

5

lain yang bertanggung jawab untuk virulensi dan ekspresi sitokin proinflamasi terutama interleukin (IL)-8 pada sel epitelial (Radosz-Komoniewska, 2005).

Tabel 2.1

Faktor virulensi H. pylori (Cellini, 2000)

Faktor Gen Fungsi

Homolog N Ia III endonuklease restriksi Sitotoksisitas untuk epitelial lambung

C-X-C famili kemokin meningkatkan infiltrasi neutrofil kedalam epitelial lambung

Antigen imundominan

2.1.4 Diagnosis Infeksi H. pylori

Indikasi untuk pemeriksaan H. pylori: penyakit ulkus peptikum, pasien dengan uninvestigated dyspepsia usia<45 tahun, dan yang tanpa tanda alarm (perdarahan, anemia, cepat kenyang, kehilangan berat badan yang tidak terjelaskan, disfagia progresif, odinofagia, muntah berulang, riwayat keluarga dengan kanker gastrointestinal, dan keganasan esofagogastrik sebelumnya), limfoma MALT, setelah reseksi endoskopik kanker lambung stadium awal, dan pasien dengan kekerabatan kanker lambung tingkat 1 (Stenstrom, 2008).

Keadaan yang belum direkomendasikan (tidak konklusif) untuk pemeriksaan

H. pylori meliputi: dispepsia fungsional, gastroesophageal reflux disease

(GERD), pasien yang mengkonsumsi non-steroidal anti-inflammatory drugs

(28)

6

Pilihan tes untuk H. pylori tergantung pada ketersediaan sarana dan biaya termasuk perbedaan tujuan antara tes yang digunakan, apakah untuk menegakkan diagnosis atau untuk mengkonfirmasi terapi eradikasi. Tes untuk H. pylori

dibedakan menjadi dua: tes invasif dengan biopsi dan tes non-invasif (Atherton, 2010). Pemeriksaan H. pylori:

1. Tes invasif: H. pylori dideteksi dengan pemeriksaan endoskopi dengan biopsi yang dilanjutkan dengan pemeriksaan histologi, kultur atau tes urea.

a. Pemeriksaan histologi, dari bahan biopsi menggunakan pewarnaan Giemsa atau Warthin-Starry untuk mengidentifikasi bakteri. Bahan biopsi diambil dari antrum dan korpus. Pemeriksaan histologi dapat memberikan informasi tambahan tentang derajat, pola inflamasi, atrofi, metaplasia, dan displasia (Atherton, 2010; Micu et al., 2010).

b. Pemeriksaan kultur, isolasi mikrobiologi secara teori merupakan standard baku untuk mengidentifikasi berbagai infeksi bakteri. Spesifisitasnya tinggi, tapi kurang sensitif karena sulitnya mengisolasi H. pylori (Hunt et al., 2011).

c. Rapid urea test (RUT), tes biopsi urease dengan bahan biopsi dari antrum yang ditempatkan pada gel berisi urea dan sebuah indikator, hindari konsumsi antibiotik dan PPI minimal 2 minggu untuk menghindari hasil positif palsu (Atherton, 2010).

(29)

7

2. Tes non-invasif

a. Urea breath test (UBT), untuk mendapatkan aktivitas urease pada lambung, secara kualitatif dapat mendeteksi infeksi dengan sensitivitas dan spesifisitas lebih dari 90%. Tes ini diindikasikan pada diagnosis awal adanya infeksi dan untuk follow-up terapi eradikasi (Suerbaum, 2002). Deteksi H. pylori non-invasif dengan urea 13C berdasarkan prinsip bahwa larutan berlabel urea dengan karbon 13 akan dihidrolisis dengan cepat oleh enzyme urease yang diproduksi oleh H. pylori. UBT mendeteksi aktivitas urease lambung dengan mengukur perubahan 13C pada sampel pernapasan ekspirasi setelah mengkonsumsi urea berlabel 13C. Bahan yang mirip tetapi bersifat radioaktif yaitu urea 14C (Logan, 2001). Test 14C tidak direkomendasikan untuk diagnosis awal tetapi lebih untuk evaluasi terapi eradikasi H. pylori (Bakri, 2012).

b. Tes serologi, digunakan secara luas untuk mendiagnosis infeksi H. pylori

pada pasien sebelum diberikan terapi (Suerbaum, 2002). Antibodi IgG H. pylori dapat dideteksi dengan enzyme-linked immunosorbent assay

(ELISA) atau tes aglutinasi lateks. Tes ini umumnya sederhana, dapat direproduksi, dan dapat dilakukan pada sampel yang telah disimpan sebelumnya (Logan, 2001), sebagai prediktor pada infeksi dengan prevalensi tinggi di negara berkembang (Hunt et al., 2011).

c. Pemeriksaan antigen feses, tes ini memiliki sensitivitas 89-98% dan spesifisitas lebih dari 90% (Suerbaum, 2002), mendeteksi adanya antigen

(30)

8

dilakukan pada studi epidemiologi dengan skala yang luas (Logan, 2001). Perbandingan tes untuk infeksi H. pylori seperti pada Tabel 2.2 (meliputi sensitivitas, spesifisitas, ketersediaan dan perkiraan biaya).

Tabel 2.2

Perbandingan akurasi, ketersediaan dan biaya tes H. pylori (Logan, 2001) Tes Sensitivitas

2.1.5 Terapi Eradikasi Infeksi H. pylori

Tujuan terapi H. pylori adalah untuk mengeleminasi organismenya secara lengkap. Regimen eradikasi klinis yang relevan terhadap H. pylori harus memiliki tingkat kesembuhan sekurang-kurangnya 80% tanpa efek samping utama dan dengan resistensi minimal. Semua tujuan tersebut tidak dapat dicapai dengan antibiotik tunggal (Suerbaum, 2002). Dua faktor penting kesuksesan terapi H. pylori yaitu kepatuhan pasien dengan obatnya dan penggunaan obat H. pylori

yang tidak menimbulkan resistensi (Atherton, 2010).

(31)

9

terhadap H. pylori. Antibiotik utama yang digunakan yaitu amoksisilin, klaritromisin, metronidasol, tertrasiklin, dan bismuth (Suerbaum, 2002).

Terapi tripel 7-10 hari terdiri dari: PPI, amoksisilin, dan klaritromisin merupakan standar pilihan terapi first line untuk eradikasi H. pylori sejak pertama kali diterima pada panduan internasional tahun 1996 (Federico, 2014) dengan dosis omeprazole 2x20 mg, klaritromisin 2x500 mg, dan amoksisilin 2x1g, atau omeprazole 2x20 mg, klaritromisin 2x500 mg, dan metronidasol 2x500 mg yang diberikan dalam waktu 7-14 hari, serta second-line: omeprazole 2x20 mg, bismuth subsalisilat 4x2 tablet, tetrasiklin 4x500 mg, dan metronidasol 3x500 mg diberikan selama 14 hari (Atherton, 2010). Skema terapi third line meliputi antibiotik dari kategori lainnya seperti levofloksasin dan rifabutine (Micu et al., 2010).

2.2 Dispepsia

Dispepsia didefinisikan sebagai “rasa nyeri atau rasa tidak nyaman yang

kronik atau berulang, yang berpusat pada perut bagian atas” (Mapel, 2012). Nama

dispepsia berasal dari bahasa Yunani, dari kata “duis” (artinya buruk atau sulit)

dan “peptin” (artinya menelan) (Desai, 2012).

(32)

10

sebagian kecil dengan kelainan organik seperti peptic ulcer disease (PUD) (Abahussain, 1998).

Pada sebuah studi investigasi dispepsia, didapatkan tiga struktural utama penyebab dispepsia yaitu: PUD (10%), GERD (20%), dan keganasan (2%) (Baker, 2006). Rasa tidak nyaman diartikan dengan berbagai gejala termasuk cepat kenyang atau rasa penuh pada perut bagian atas (Talley, 2005).

Tidak ada mekanisme patofisiologi definitif untuk dispepsia (Loyd, 2011), beberapa patofisiologinya: keterlambatan pengosongan lambung, gangguan penyesuaian lambung terhadap makanan, hipersensitivitas distensi lambung, infeksi H. pylori, perubahan respon terhadap lipid atau asam duodenal, motilitas duodenojejenum abnormal, atau disfungsi sistem saraf pusat (Sabih, 2013).

Pasien dispepsia berusia lebih dari 55 tahun atau yang dengan tanda alarm (perdarahan saluran cerna, anemia, rasa kenyang diawal, penurunan berat badan yang tidak terjelaskan (>10%), disfagia progresif, odinofagia, muntah yang persisten, riwayat keluarga dengan kanker gastrointestinal, keganasan esofagogastrik sebelumnya, ulkus peptikum sebelumnya, limfadenopati, atau massa abdominal) seharusnya diperiksa endoskopi untuk mengeksklusi kemungkinan PUD, keganasan esofagogastrik, dan penyakit jarang lainnya pada traktus gastrointestinal atas (Talley, 2005).

2.2.1 Infeksi H. pylori dan Dispepsia

H. pylori diketahui sebagai mikroba utama yang merangsang respon inflamasi

(33)

11

kronis. Studi dengan populasi yang luas menunjukkan peningkatan insiden infeksi

H. pylori pada pasien dispepsia (Loyd, 2011).

Prevalensi infeksi H. pylori pada pasien dispepsia di Kuwait didapatkan sebesar 49,7% (Alazmi, 2010), di India sebesar 59% (Sodhi et al., 2013), di Myanmar sebesar 48% (Myint et al., 2015), dan di Iran didapatkan sebesar 31,2% (Niknam, 2014).

Studi multicenter di 5 kota besar di Indonesia tahun 2003-2004 mendapatkan prevalensi H. pylori pada pasien dispepsia sebesar 10,2% dengan prevalensi tertinggi di Jogjakarta (30,6%) dan terendah di Jakarta (8%) (Syam et al., 2006). Laporan studi lainnya di Jakarta mendapatkan prevalensi H. pylori sebesar 52,3% dari 310 pasien dispepsia (Utia, 2010). Di RS M Djamil Padang prevalensi H. pylori pada pasien dispepsia didapatkan sebesar 45% (Zubir, 2000).

Hasil meta analisis menunjukkan bahwa prevalensi infeksi H. pylori lebih

banyak pada pasien dispepsia dibandingkan kontrol dengan odds ratio 2,3 (95%

CI, 1,9-2,7) (Suzuki, 2011). Prevalensi H. pylori pada pasien dewasa dengan

dispepsia di Iran sebesar 31,2% (Niknam, 2014), di Malaysia 49,0% (Goh, 1997)

dan di India sebesar 80% (Ahmed et al., 2007).

Studi meta analisis 14 studi dengan 2.993 pasien mengkonfirmasi perbaikan gejala dispepsia lebih sering terjadi setelah terapi H. pylori dibandingkan dengan pemberian plasebo (odd ratio=1,38, 95% CI 1,18-1,62, p<0,0001) dengan tanpa perbedaan antara Eropa, Amerika Serikat, dan Asia (Zullo et al., 2014). Studi

(34)

12

memberikan manfaat yang signifikan (perbaikan gejala dan kualitas hidup) dibandingkan yang hanya diberikan plasebo dengan number of needed to treat

(

NTT) 9 (95% CI: 5-59) (Mazzoleni et al., 2011).

H. pylori menginduksi aktivasi kompleks, menarik sitokin, dan kemokin pada

mukosa lambung, menginduksi hipersekresi asam lambung yang berperan pada

patogenesis dispepsia. Sekitar 10%-15% pasien dengan infeksi H. pylori

menunjukkan gastritis yang dominan pada antrum sebagai akibat hipersekresi

asam lambung dan merangsang menurunan sekresi somatostatin pada antrum dan

menyebabkan peningkatan sekresi gastrin dan meningkatkan sekresi asam

lambung (Suzuki, 2011).

Infeksi H. pylori dapat menyebabkan gejala dispepsia melalui mekanisme seperti perubahan sekresi asam lambung, inflamasi aktif dan persisten pada mukosa lambung, dan perubahan pasca infektif pada mukosa gastroduodenal (Zullo et al., 2014).

H. pylori dan NSAID merupakan faktor patogenik utama pada penyakit ulkus lambung tetapi interaksi keduanya masih kontroversial. NSAID bersama-sama dengan bakteri memberikan gambaran patologi lambung termasuk kerusakan epitelial lambung, gangguan mikrosirkulasi, dan terjadinya inflamasi kronik (Brzozowski et al., 2006).

2.3 Endotelin 1 (ET-1)

(35)

13

asam amino 38 inaktif (proendothelin atau disebut juga big endothelin).

Proendothelin dipecah menjadi asam amino 21 ET oleh endothelin converting enzyme (ECE) (ECE1 dan/atau ECE 2) (Gambar 2.4) (Hyndman, 2007).

Gambar 2.4 Sintesis ET-1 (Stow, 2011)

Sejak ditemukan faktor turunan ET tahun 1985 dan deskripsi kompleks ET oleh Yanagisawa et al., (1988), tiga bentuk isoform dari ET telah dijelaskan sebagai konstriktor vasoaktif intestinal (1, 2 dan 3). Gen manusia ET-1, ET-2 dan ET-3 terletak berturut-turut pada kromosom 6, 1 dan 20 (Kawanabe, 2011). Gen ET-1 mamalia terdiri dari 5 ekson dan panjang DNA genom ~6,8 kb (Stow, 2011). Dari tiga isopeptida ET, ET-1 merupakan yang paling kuat (Bohm, 2007).

(36)

14

endotelin B (ETB) (Kawanabe, 2011), ET-1 menyebabkan vasokonstriksi dengan aktivasi kedua reseptor tersebut (Gambar 2.5) (Davenport, 2002).

Pada kondisi fisiologis, ET-1 diproduksi dalam jumlah sedikit terutama oleh sel endotelial dan bertindak sebagai mediator autokrin/parakrin. Sedangkan pada kondisi patologis, produksinya dirangsang dalam jumlah besar oleh berbagai jenis sel meliputi sel endotelial, sel otot polos vaskular, miosit kardiak, fibroblas, miosit kardiak, neuron otak, islet pankreas, dan sel inflamasi seperti makrofag dan leukosit (Bohm, 2007; Kawanabe, 2011).

Gambar 2.5

Transkripsi dan translasi ET-1 (Kawanabe, 2011).

Pada arteri yang sehat produksi ET-1 jumlahnya sedikit dan bioavailabilitas

(37)

15

synthase (eNOS), sehingga mengurangi produksi NO. Reseptor ETA dan ETB pada otot polos sebagai perantara pembentukan superoksida (O2-) pada disfungsi endotel. Superoksida akan menurunkan aktivitas biologi dari NO dengan membentuk peroxynitrite (ONOO-) (Gambar 2.6) (Bahm, 2007).

Gambar 2.6

Skematik ET-1 pada arteri sehat dan disfungsi endotel (Bahm, 2007)

2.3.1 ET-1 pada Penyakit Lains

Peningkatan ET-1 telah dilaporkan pada beberapa penyakit seperti hipertensi, gagal jantung kongestif, penyakit ginjal kronik (PGK) (Pittet et al., 1991), diabetes militus (DM) (Ak et al., 2001), sepsis (Piechota et al., 2007), hipertensi pulmonar, dan berbagai kanker (Kawanabe, 2011).

Shichiri et al., (1990) mendapatkan kadar ET-1 lebih tinggi pada subjek dengan hipertensi dibandingkan dengan subjek normal (P<0,025), dan lebih tinggi pada pasien hipertensi dengan dialisis dibandingkan dengan subjek dialisis normotensi (P<0,005).

(38)

16

terutama ketika dirangsang oleh sitokin. Ekspresi mRNA ET-1 meningkat pada sel endotelial vaskular pulmonar pada pasien dengan hipertensi pulmonar (Kawanabe, 2011).

Kadar ET-1 berhubungan dengan derajat beratnya hemodinamik dan dengan gejala pada pasien dengan congestive heart failure (CHF). ET-1 berperan pada peningkatan akut dan kronik resistensi vaskular, remodeling ventrikular dan vaskular, inflamasi dan aritmogenesis pada model dengan gagal jantung (Kawanabe, 2011). ET-1 memiliki efek inotropik, kronotropik, kemotaktik, dan mitogenik (Agapitov dan Haynes, 2002). Studi oleh Ak et al., (2001) menunjukkan peningkatan kadar ET-1 pada pasien dengan DM tipe 2 dibandingkan kontrol (Ak et al., 2001).

Sebagai vasokonstriktor, ET-1 merupakan mitogen poten yang merangsang eksresi proto-onkogen pada sel vaskular dan non-vaskular. Peningkatan ekspresi ET-1 telah dilaporkan pada beberapa kanker seperti kanker prostat, ovarium, kolorektal, payudara, dan paru-paru. Aktivasi reseptor ET-1 berperan pada sel kanker atau sel terkait kanker termasuk proliferasi, resistensi terhadap apoptosis, angiogenesis, migrasi, neovaskularisasi, dan invasi. Kadar ET-1 yang tinggi berhubungan dengan peningkatan vascular endothelial growth factor (VEGF) dan terkait dengan neovaskularisasi (Kawanabe, 2011).

(39)

17

(Freeman, 2014). Kadar ET-1 berhubungan dengan kadar prokalsitonin dan C-reactive protein (CRP) pada pasien sepsis (Piechota et al., 2007).

Beberapa studi mengevaluasi hubungan antara ET-1 dan NSAID pada kerusakan mukosa lambung. Matsumaru et al., (1997) mendapatkan hasil studi bahwa ET-1 endogenus dapat berperan penting pada patogenesis kerusakan mukosa lambung yang diinduksi oleh NSAID (pemberian selama 10 hari

indomethacin) pada tikus. Cyclooxygenase (COX)-1 yang dihambat oleh NSAID menyebabkan peningkatan signifikan ET-1 dan akan menginduksi kerusakan mukosa (Amandeep, 2012). Penurunan penyembuhan ulkus mukosa bukal karena konsumsi NSAID dimanifestasikan berupa peningkatan ekspresi ECE 1 yang bertanggungjawab terhadap ET-1, penekanan constitutive nitric oxide syntetase

(cNOS), dan amplifikasi apoptosis yang memperlambat proses penyembuhan (Slomiany, 2001).

(40)

18

2.3.2 ET-1 pada Lambung

Selama berlangsungnya proses percernaan pada lambung, aliran darah mukosa yang adekuat merupakan salah satu mekanisme penting untuk mempertahankan integritas mukosa. Stress akut dapat menyebabkan iskemia dan berikutnya dapat terjadi ulserasi (Chang, 2005).

Efek ET-1 didominasi oleh mekanisme parakrin dan autokrin melalui stimulasi reseptor spesifik yaitu ETA dan ETB. ET-1 memiliki peran penting pada terjadinya kerusakan mukosa lambung. Kadar ET-1 plasma dan mukosa meningkat pada pasien dengan ulkus lambung, mengesankan lambung sebagai sumber penting sirkulasi ET-1 (Nishida et al., 2006). Injeksi ET-1 submukosa pada dinding lambung menghasilkan kerusakan mukosa karena integritasnya hancur oleh karena berkurangnya aliran darah (Chang, 2005).

ET-1 meningkatkan produksi faktor pertumbuhan seperti VEGF, IL-6, dan

hepatocyte growth factor (HGF) dengan meningkatkan COX-2 dan PGE2 . ET-1 pemicu yang kuat terjadinya ulkus peptikum. Selain ET-1, induksi sintesis NO, VEGF, dan kemokin tertentu juga meningkat selama penyembuhan ulkus (Nishida

et al., 2006). Pada tikus, pemberian ET-1 intravaskular menyebabkan perdarahan akut dan kerusakan nekrosis pada mukosa lambung melalui penurunan aliran darah mukosa. Pemberian lokal ET-1 ke dalam lapisan sub-mukosa dinding lambung menyebabkan erosi kronik dan penurunan integritas mukosa terhadap asam intraluminal (Masuda et al., 1997).

(41)

19

sehat dan mendapatkan konsentrasi ET-1 plasma pada pasien ulkus lambung lebih besar (p<0,01) dibandingkan dengan yang normal.

2.4 Infeksi H. pylori dan ET-1

Infeksi H. pylori merupakan faktor primer penyebab penyakit lambung, dan berhubungan dengan inflamasi mukosa lambung yang menyebabkan gastritis dan ulkus duodenum. Produk virulensi H. pylori yaitu sel dinding lipopolysaccharida

(LPS) (Slomiany, 1999). Gangguan homeostasis mukosa lambung dan kehilangan lapisan mukus merupakan gambaran penyakit lambung yang disebabkan oleh infeksi H. pylori, seperti respon mukosa lambung terhadap LPS H. pylori pada binatang percobaan dengan gastritis. LPS merupakan komponen dari membran luar H. pylori yang merupakan faktor kunci virulensinya (Slomiany, 2006).

Inflamasi mukosa lambung yang terlibat pada respon LPS H. pylori ditandai dengan peningkatan apoptosis sel epitelial dan ekspresi sitokin proinflamasi, kelebihan turunan NO dan prostaglandin. Efek patogen LPS H. pylori juga menyebabkan proses inflamasi mukosa lambung secara progresif melibatkan stimulasi translokasi nuclear factor kappa B(NFκB), gangguan kaskade mitogen-activated protein kinase (MAPK), dan peningkatan sekresi peptide vasoaktif yang poten dari mukosa yaitu ET-1 (Slomiany, 2006), juga peningkatan ekspresi beberapa sitokin proinflamasi termasuk TNF-α, IL-1, dan IL-6 yang akan merangsang produksi ET-1 (Bohm, 2007).

(42)

20

phospholipase A2 (cPLA2) yang menyebabkan peningkatan platelet activating

factor (PAF) generation yang kemudian meningkatkan ET-1.

Overproduksi ET-1 distimulasi dan dipertahankan oleh IL-1, IL-4, dan TNF-α sebagai hasil respon inflamasi terhadap infeksi H. pylori. Adanya infeksi H. pylori dan tingginya ekspresi ET-1 mukosa lambung berperan pada inisiasi ulkus lambung (El-Wahab, 2006).

Inisiasi ulserasi lambung merupakan proses yang kompleks dan multifaktorial, serta memerlukan peran dari peningkatan produksi asam lambung. Koinfeksi toksikogenik strain H. pylori bersama-sama dengan tingginya ekspresi ET-1 lambung dapat menginduksi vasokonstriksi pembuluh darah mukosa lambung (Szabo et al., 2003).

Slomiany (1999) meneliti respon inflamasi mukosa lambung pada LPS H. pylori yang menginduksi gastritis dengan menganalisis ekspresi ET-1, IL-4, dan

TNF-α. Hasil studi mendapatkan peningkatan 3,1 kali ekspresi mukosal ET-1,

peningkatan 9 kali TNF-α, sementara kadar IL-4 menurun 20,8%. Hasil ini menunjukkan ET-1 berperan pada respon mukosa lambung oleh LPS H. pylori.

(43)

21

beratnya kerusakan mukosa pada NUD, ulkus lambung, dan ulkus duodenum. Terapi anti ET-1 dapat diberikan sebagai profilaksis pada pasien dengan risiko tinggi terjadinya ulkus peptikum.

Chang (2005) meneliti 60 pasien ulkus duodenum dengan infeksi H. pylori

positif dan negatif serta 37 pasien kontrol. Kadar ET-1 plasma pada pasien ulkus duodenum didapatkan lebih tinggi dibandingkan dengan infeksi H. pylori negatif dan positif berturut-turut (3,59±0,96 vs 0,89±0,54 vs 0,3±0,2). Eradikasi H. pylori

menurunkan kadar ET-1 (3,64±0,55 vs 2,64±0,55 pg/mL, p<0,01). Koefisien korelasi (r) kadar ET-1 sebelum dan sesudah terapi tripel (rabeprazole 2x20 mg, amoksisilin 2x1000 mg, dan metronidasol 2x500 mg selama 1 minggu) didapatkan 0,46 pada pasien ulkus duodenum.

Gambar

Gambar 2.1   H. pylori   ........................................................................................
Gambar 2.2
Gambar 2.3
Tabel 2.2
+4

Referensi

Dokumen terkait

Tanda-tanda khas: usaha menyesuaikan diri dengan lingkungan, sehingga ia merasa bahwa dirinya merupakan sebagian dari lingkunagn yang ada. Penyesuaian sosial dilaksanakan

Seperti telah dijelaskan di atas, entitas adalah tempat penyimpan data, maka entitas yang digambarkan dalam ERD ini merupakan data store yang ada di DFD dan akan

Penelitian ini bermanfaat untuk guru dalam merencanakan proses pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik siswa serta memilih model dan metode pembelajaran

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan higiene sanitasi makanan yang dikelola Instalasi Gizi Rumah Sakit Umum Siti Hajar Medan tidak memenuhi syarat

The drawback is in the speed of the process of providing valid and accurate data and information; (2) Based on value chain analysis and SWOT analysis, SMK Muhammadiyah

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, 1) prosedur pengembangan modul Kimia berbasis masalah, 2) kelayakan penggunaan modul Kimia berbasis masalah, 3) efektivitas

Banyaknya jumlah masyaraka yang tertipu oleh iklan dan bacaan porno menandakan ketidakmampuan mereka untuk membaca kritis dan memilah teks karena pendidikan tidak membekali

Hasil penelitian menunjukkan uji coba model konseling efektif dalam mengatasi masalah akademik dan sosial mahasiswa perguruan tinggi agama Islam, yang terindikasi