KADAR HS-CRP PADA PASIEN DISPEPSIA DENGAN INFEKSI HELICOBACTER PYLORI DIBANDINGKAN DENGAN TANPA INFEKSI HELICOBACTER PYLORI
TESIS
YANNI 087111011/PK
PROGRAM MAGISTER KLINIK-SPESIALIS PATOLOGI KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA /
RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
KADAR HS-CRP PADA PASIEN DISPEPSIA DENGAN INFEKSI HELICOBACTER PYLORI DIBANDINGKAN DENGAN TANPA INFEKSI HELICOBACTER PYLORI
TESIS
Untuk memperoleh gelar Magister Kedokteran Klinik di Bidang Ilmu Patologi Klinik / M.Ked ( Clin. Path. ) pada Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara
YANNI 087111011/PK
PROGRAM MAGISTER KLINIK-SPESIALIS PATOLOGI KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA/
Judul Penelitian :Kadar hs-CRP pada Pasien Dispepsia dengan Infeksi Helicobacter pylori Dibandingkan dengan tanpa nfeksi Helicobacter pyorii
Nama Mahasiswa : Yanni
Nomor Induk Mahasiswa : 087111011/PK
Program Magister : Magister Kedokteran Klinik Konsentrasi : Patologi Klinik
Menyetujui
Komisi Pembimbing :
Pembimbing I
Dr. Ricke Loesnihari M.Ked (Clinpath) Sp. PK-K
Pembimbing II
DR. dr. Juwita Sembiring, Sp. PD-KGEH
Disahkan oleh:
Ketua Departemen Patologi Klinik FK-USU/RSUP H.Adam malik
Medan
Ketua Program Studi Departemen Patologi Klinik FK-USU/
RSUP H.Adam malik Medan
NIP. 194910111979011001 Prof.dr.Adi Koesoema Aman,SpPK-KH
NIP. 1948711197903200
Prof.DR.dr.Ratna Akbari Ganie, SpPK-KH
Telah diuji pada
Tanggal : 16 Oktober 2013
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof.dr.Adi Koesoema Aman,SpPK-KH (...) Anggota: :
1. Prof .DR.dr.Ratna Akbari Ganie,SpPK-KH (...)
2. Prof. dr. Herman Hariman, PhD, Sp.PK-KH (...)
3. Dr. Ricke Loesnihari, M.Ked (Clinpath), Sp.PK-K (...)
4. DR. Dr. Juwita Sembiring, Sp.PD-KGEH (...)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur atas segala Kasih dan Anugerah Allah Yang Maha Kuasa, sehingga saya dapat mengikuti dan menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan dapat menyelesaikan karya tulis (tesis) ini yang berjudul Kadar hs-CRP pada pasien dispepsia dengan infeksi Helicobacter pylori dibandingkan dengan tanpa infeksi Helicobacter pylori
Selama saya mengikuti pendidikan dan selama proses penyelesaian penelitian untuk karya tulis ini, saya telah mendapat bimbingan, petunjuk, bantuan dan pengarahan serta dorongan baik materil dan moril dari berbagai pihak sehingga saya dapat menyelesaikan pendidikan dan karya tulis ini. Untuk semua itu perkenankanlah saya menyampaikan rasa hormat dan terimakasih saya yang tidak terhingga kepada :
Yth, Prof. Dr. Adi Koesoema Aman SpPK-KH, Ketua Departemen Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP H.
Adam Malik Medan, yang telah menerima dan memberikan kesempatan kepada saya sebagai peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Klinik dan telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama saya mengikuti pendidikan.
Yth, Prof. DR. Dr. Ratna Akbari Ganie SpPK-KH, sebagai Ketua
Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan bimbingan, petunjuk, pengarahan, bantuan dan dorongan selama dalam pendidikan.
Hormat dan terimakasih yang tak terhingga saya ucapkan.
Yth, Dr. Ricke Loesnihari,M.Ked.(Clin.Path.),SpPK-K, sebagai Sekretaris Program Studi di Departemen Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, dan sekaligus pembimbing I sayayang telah banyak memberikan bimbingan dan petunjuk selama saya mengikuti pendidikan dan selama penyusunan proposal sampai selesainya penelitian saya ini. Hormat dan terima kasih yang sebesar- besarnya atas semua yang telah beliau berikan kepadaku
Yth, DR. Dr. Juwita Sembiring, Sp.PD- KGEHsebagai pembimbing II saya dari Departemen Penyakit Dalam subdivisi Gastroenterologi dan Hepatologi yang sudah memberikan petunjuk, pengarahan dan bantuan, mulai dari penyusunan proposal, selama dilaksanakannya penelitian, sampai selesainya tesis ini..
Yth, Dr.Zulfikar Lubis SpPK-K, sebagai Kepala Instalasi Departemen Patologi Klinik RSUP HAM, Medan, yang sudah memberikan bimbingan dan dorongan selama saya menjalani pendidikan. Hormat dan terimakasih yang tak terhingga saya ucapkan.
Yth, seluruh guru-guru saya, Prof. Dr. Burhanuddin Nasution SpPK-KN, Prof. Dr. Herman Hariman PhD, SpPK-KH, Dr. Muzahar DMM, SpPK, Dr. Ozar Sanuddin SpPK-K, Dr.Tapisari Tambunan SpPK-KH, Dr.Farida Siregar SpPK Dr. Ulfah Mahidin SpPK, Dr. Lina SpPK dan Dr. Nelly Elfrida Samosir SpPK, yang telah banyak
memberikan bimbingan, nasehat, arahan dan dukungan selama saya mengikuti pendidikan dan hingga selesainya tesis ini. Hormat dan terimakasih saya ucapkan . Begitu juga kepada guru-guru yang telah mendahului kita yaitu Alm.Prof. Dr. Iman Sukiman SpPK-KH, Alm. Dr.
R. Ardjuna M. Burhan DMM, SpPK-K, Alm. Dr. Irfan Abdullah SpPK- KH, Alm. Dr. Paulus Sembiring SpPK-K, Alm. Dr. Hendra Lumanauw SpPK-K, saya tidak melupakan semua jasanya dalam pendidikan ini.
Yth, Yustian Sinaga, yang telah memberikan bantuan pengolahan data statistik selama penelitian hingga selesainya tesis ini.
Yth. Indart Parisi Siahaan, kepala ruangan Hematologi Patologi Klinik yang telah banyak membantu saya dalam pengerjaan penelitian saya
Yth. Siti Rodyah S.si kepala ruangan Kimia Klinik Patologi Klinik yang telah bekerjasama dengan baik selama saya mengadakan penelitian.
Yth. Seluruh teman sejawat peserta PPDS Patologi Klinik FK- USU/RSUP H. Adam Malik Medan, para analis, karyawan / karyawati di Departemen Patologi Klinik RSUP H. Adam Malik Medan, serta semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu yang telah memberikan bantuan dan kerjasama yang baik selama saya mengikuti pendidikan.
Terimakasih yang setulus-tulusnya saya sampaikan kepada kedua orangtua saya, Ayahanda Alm.Husen Tjandra dan Ibunda tercinta Alm.
selalu bersedia memberikan dukungan moril maupun materil. Kiranya Allah Yang Maha Kuasa membalas semua budi baik dan kasih sayangnya. Begitu juga kepada Bapak dan Ibu mertua saya yang juga telah banyak memberikan bantuan moril maupun materil kepada saya dan keluarga. Juga kepada Kakak dan Adik saya yang tidak henti-hentinya memberikan semangat selama saya mengikuti pendidikan.
Akhirnya terimakasih yang tak terhingga saya sampaikan kepada suami tercinta Suhendra Saw yang telah mendampingi saya dengan penuh pengertian, perhatian, memberikan dorongan dan pengorbanan selama saya mengikuti pendidikan sampai saya dapat menyelesaikan pendidikan ini. Juga kepada anak-anakku terkasih Fibert Saw dan Clairine Saw yang telah banyak kehilangan perhatian dan kasih sayang dari saya selama saya mengikuti pendidikan, semoga ini semua dapat menjadi motivasi dalam mencapai cita-cita kalian.
Akhir kata, semoga kiranya tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Desember 2013 Penulis,
Yanni
DAFTAR ISI
Kata Pengantar...
Daftar Isi ...
Daftar Tabel ...
Daftar Gambar ...
Daftar Lampiran ...
Daftar Singkatan ...
Abstrak ...
Bab I PENDAHULUAN ...
1.1. Latar belakang ... ...
1.2. Perumusan masalah ...
1.3. Hipotesa penelitian ...
1.4. Tujuan penelitian ...
1.5. Manfaat penelitian ...
Bab II TINJAUAN KEPUSTAKAAN ...
2.1. Dispepsia ...
2.1.1. Penyebab dispepsia ...
2.1.2. Simptom ...
2.1.3. Dispepsia organik atau struktural ...
2.1.4. Dispepsia fungsional ...
2.2. Helicobacter pylori ...
2.2.1. Epidemiologi ...
i v vii
ix x xi xiii
1 1 2 2 3 3 4 4 4 5 6 7 9 10
2.2.3. Morfologi ...
2.2.4. Adaptasi HP terhadap asiditas lambung ...
2.2.5. Patogenesa ...
2.2.6. Diagnosa HP ...
2.3. C-reactve protein ...
2.3.1. Fungsi penentuan kadar CRP ...
2.3.2. Cara pemeriksaan hs-CRP ...
2.3.3. Nilai referensi ...
2.4. Kerangka konsep ...
2.5. Batasan operasional ...
Bab III METODE PENELITIAN ...
3.1. Desain penelitian ...
3.2. Tempat dan waktu penelitian ...
3.3. Populasi dan subjek penelitian ...
3.3.1. Populasi penelitian ...
3.3.2. Subjek penelitian ...
3.3.2.1. Kriteria inklusi ...
3.3.2.2. Kriteria eksklusi ...
3.4. Perkiraan besar sampel ...
3.5. Analisa Data ...
3.6. Bahan dan cara kerja ...
3.6.1.Bahan dan pengolahan sampel...
3.6.2. Pemeriksaan laboratorium ...
3.6.3. Kalibrasi pemeriksaan laboratorium ...
13 17 21 25 27 28 28 29 30 31 31 31 31 31 32 32 32 32 33 34 34 34 34
3.6.4. Kontrol kualitas pemeriksaan laboratorium ...
3.7. Ethical clearance dan informed consent ...
3.8. Kerangka operasional ...
Bab IV HASIL PENELITIAN ...
Bab V PEMBAHASAN ...
Bab VI KESIMPULAN DAN SARAN ...
6.1. Kesimpulan ...
6.2. Saran ...
Bab VII Ringkasan...
Daftar Pustaka ...
Daftar Riwayat Hidup...
46 47 48 50 53 53 53 54 58 74
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Test untuk mendeteksi H. pylori Tabel 3.1. Kontrol hs-CRP no lot 16696200 Tabel 4.1. Karakteristik subjek penelitian
Tabel 4.2. Kadar hs-CRP serum pada pasien dispepsia yang terinfeksi HP dan kontrol
DAFTAR GAMBAR
Gb. 2.1. Subgroup dispepsia menurut ROME III Gb. 2.2. Morfologi Helicobacter pylori
Gb. 2.3 Mekanisme bagaimana HP menyebabkan abnormalitas sekresi gaster
Gb. 2.4. Natural history of HP infection
Gb. 2.5. Patogenesa HP dan respon imunnya Gb. 2.6. Struktur pentamerik dari CRP
Gb. 3.1. Prosedur pemeriksaan HPSA Gb. 3.2. Grafik kalibrasi hs-CRP
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Lembar penjelasan kepada calon subjek penelitian Lampiran 2 : Formulir persetujuan setelah penjelasan
Lampiran 3 : Status pasien
Lampiran 4 : Surat persetujuan penelitian dari Komete Etik Penelitian Kedokteran
Lampiran 5 : Data hasil penelitian
DAFTAR SINGKATAN
-CA : -Carbonic Anhydrase BHI : Brain Heart Infusion
CagA : Cytotoxin-associated gene A DNA c.f.a.s. : Calibrator for automated systems CRP : C-reactive protein
DNA : Deoxyribunucleic acid Da : Dalton
EDTA : Ethylenediaminetetraacetic acid ELISA : Enzyme-linked immunosorbant assay GERD : Gastroesophageal reflux disease HP : Helicobacter pylori
MALT : Mucosa-associated tissue lymphoma WHO : World Health Organization
HPSA : Helicobacter pylori stool antigen hs-CRP : high-sensitivity c-reactive protein
IARC : International Agency for Research on Cancer IFCC : International Federation of Clinical Chemistry IFN-γ : Interferon Gamma
Il-12 : Interleukin-12 Il-18 : Interleukin-18 IgM : Immunoglobulin M
IgG : Immunoglobulin G KGD : Kadar gula darah LPS : Lipopolisakarida NaCL : Natrium chloride
NSAID : Non steroid antiinflammation drugs PCR : Polymerase chain reaction
R1 : Reagent 1 R2 : Reagent 2
SGOT : Serum glutamic oxaloacetic transaminase SGPT : Serum glutamic-pyruvic transaminase S1 : Standar
SD : Standar deviasi Th1 : T-helper 1
TNF- : Tumor necrosis factor alpha
TRIS : Tris hydroxymethyl-aminomethane UBT : Urea breath test
VacA : Vacuolating cytotoxin A
KADAR HS-CRP PADA PASIEN DISPEPSIA DENGAN INFEKSI HELICOBACTER PYLORI DIBANDINGKAN DENGAN TANPA INFEKSI
HELICOBACTER PYLORI
Yanni1, Ricke Loesnihari2,Juwita Sembiring2
1Departemen Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP.H. Adam Malik Medan
2 Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Gastroenterologi dan Hepatologi, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP H.
Adam Malik Medan ABSTRAK
Latar belakang penelitian: C-Reactive Protein adalah protein fase akut yang dapat dijumpai dalam keadaan normal dalam jumlah yang sedikit.
Kadar CRP ini akan meningkat pada keadaan tertentu misalnya inflamasi, trauma, dan sebagainya. Dispepsia merupakan kumpulan gejala di traktus gastrointestinal bagian atas yang terbagi atas dispepsia fungsional dan organik. Penelitian belakangan ini didapati kedua jenis dispepsia ini dapat disebabkan oleh infeksi Helicobacter pylori. Peningkatan CRP seiring dengan proses infeksi atau inflamasi.
Tujuan penelitian:Untuk mengetahui perbedaan kadar hs-CRP pada subjek dispepsia dengan infeksi HP dan tanpa infeksi HP
Metode dan cara penelitian:Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat analitik observasional dengan pendekatan potong lintang,dilakukan di Departemen Patologi Klinik RSUP H.Adam Malik Medan mulai bulan Juli sampai dengan September 2013. Sampel penderita dispepsia dengan positif Helicobacter pylori sebanyak 20 orang dan sampel dispepsia dengan tanpa infeksi Helicobacter pylori sebanyak 22 orang.
Hasil :Dari 20 orang pasien dispepsia dengan infeksi Helicobacter pylotri dijumpai rata-rata umur 47,00 (SD 10,4) tahun; wanita 8 orang dan pria 12 orang. Rata-rata kadar hs-CRP pada kelompok HP (+) adalah 3,25 (SD 3,59 mg/L), sedangkan kelompok kontrol 0,99 (SD 1,68) mg/L dan perbedaan ini bermakna secara statistik (p 0,016)
Kesimpulan : Kadar hs-CRP berbeda signifikan antara kelompok HP (+)dan HP (-), di mana dijumpai lebih tinggi pada kelompok HP (+).
Kata Kunci : hs-CRP, dispepsia, Helicobacter pylori
HS-CRP LEVEL IN DYSPEPSIA WITH POSITIVE HELICOBACTER PYLORI INFECTION COMPARE WITH THAT WITHOUT
HELICOBACTER PYLORI INFECTION Yanni1, Ricke Loesnihari1, Juwita Sembiring2
1Department of Clinical Pathology, School of Medicine, University of North Sumatera/ H. Adam Malik Hospital, Medan
2Department of Internal Medicine, School of Medicine, University of North Sumatera/H. Adam Malik Hospital, Medan
Abstract
Background: C-Reactive Protein is an acute phase protein and can be found in a small amount in normal condition. CRP level will increase in some condition like inflammation, trauma, etc. Dyspepsia is a collection of symptoms in the upper gastrointestinal tract, divided into functional andorganic dyspepsia. Recent study found that two types of dyspepsia can be caused by Helicobacter pylori infection. Increased CRP as an inflammatory process or infection.
Aim: To compare CRP level between group HP (+) and HP (-)
Methods: This study is analytically observation with cross sectional approach conducted in Clinical Pathology Department at H. Adam Malik Central Hospital in Medan started from July to September 2013. 20 participants include in this research was taken from group HP (+) dyspepsia and 22 participants from group HP(-) dyspepsia as control
Results: The average age in group HP (+) was 47,00 (SD 10,4) with 8 women and 12 are men. The mean hs-CRP level in group HP (+) was 3,25 (SD 3,59) mg/L, while in control group 0,99 (SD 1,68) mg/L and this difference statistically significant (p 0,016)
Conclusion: hs-CRP level significantly different between group HP (+) and group HP (-), and we found the hs-CRP level is higher in group HP (+).
Key word :. hs-CRP, dyspepsia, Helicobacter pylori
KADAR HS-CRP PADA PASIEN DISPEPSIA DENGAN INFEKSI HELICOBACTER PYLORI DIBANDINGKAN DENGAN TANPA INFEKSI
HELICOBACTER PYLORI
Yanni1, Ricke Loesnihari2,Juwita Sembiring2
1Departemen Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP.H. Adam Malik Medan
2 Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Gastroenterologi dan Hepatologi, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP H.
Adam Malik Medan ABSTRAK
Latar belakang penelitian: C-Reactive Protein adalah protein fase akut yang dapat dijumpai dalam keadaan normal dalam jumlah yang sedikit.
Kadar CRP ini akan meningkat pada keadaan tertentu misalnya inflamasi, trauma, dan sebagainya. Dispepsia merupakan kumpulan gejala di traktus gastrointestinal bagian atas yang terbagi atas dispepsia fungsional dan organik. Penelitian belakangan ini didapati kedua jenis dispepsia ini dapat disebabkan oleh infeksi Helicobacter pylori. Peningkatan CRP seiring dengan proses infeksi atau inflamasi.
Tujuan penelitian:Untuk mengetahui perbedaan kadar hs-CRP pada subjek dispepsia dengan infeksi HP dan tanpa infeksi HP
Metode dan cara penelitian:Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat analitik observasional dengan pendekatan potong lintang,dilakukan di Departemen Patologi Klinik RSUP H.Adam Malik Medan mulai bulan Juli sampai dengan September 2013. Sampel penderita dispepsia dengan positif Helicobacter pylori sebanyak 20 orang dan sampel dispepsia dengan tanpa infeksi Helicobacter pylori sebanyak 22 orang.
Hasil :Dari 20 orang pasien dispepsia dengan infeksi Helicobacter pylotri dijumpai rata-rata umur 47,00 (SD 10,4) tahun; wanita 8 orang dan pria 12 orang. Rata-rata kadar hs-CRP pada kelompok HP (+) adalah 3,25 (SD 3,59 mg/L), sedangkan kelompok kontrol 0,99 (SD 1,68) mg/L dan perbedaan ini bermakna secara statistik (p 0,016)
Kesimpulan : Kadar hs-CRP berbeda signifikan antara kelompok HP (+)dan HP (-), di mana dijumpai lebih tinggi pada kelompok HP (+).
Kata Kunci : hs-CRP, dispepsia, Helicobacter pylori
HS-CRP LEVEL IN DYSPEPSIA WITH POSITIVE HELICOBACTER PYLORI INFECTION COMPARE WITH THAT WITHOUT
HELICOBACTER PYLORI INFECTION Yanni1, Ricke Loesnihari1, Juwita Sembiring2
1Department of Clinical Pathology, School of Medicine, University of North Sumatera/ H. Adam Malik Hospital, Medan
2Department of Internal Medicine, School of Medicine, University of North Sumatera/H. Adam Malik Hospital, Medan
Abstract
Background: C-Reactive Protein is an acute phase protein and can be found in a small amount in normal condition. CRP level will increase in some condition like inflammation, trauma, etc. Dyspepsia is a collection of symptoms in the upper gastrointestinal tract, divided into functional andorganic dyspepsia. Recent study found that two types of dyspepsia can be caused by Helicobacter pylori infection. Increased CRP as an inflammatory process or infection.
Aim: To compare CRP level between group HP (+) and HP (-)
Methods: This study is analytically observation with cross sectional approach conducted in Clinical Pathology Department at H. Adam Malik Central Hospital in Medan started from July to September 2013. 20 participants include in this research was taken from group HP (+) dyspepsia and 22 participants from group HP(-) dyspepsia as control
Results: The average age in group HP (+) was 47,00 (SD 10,4) with 8 women and 12 are men. The mean hs-CRP level in group HP (+) was 3,25 (SD 3,59) mg/L, while in control group 0,99 (SD 1,68) mg/L and this difference statistically significant (p 0,016)
Conclusion: hs-CRP level significantly different between group HP (+) and group HP (-), and we found the hs-CRP level is higher in group HP (+).
Key word :. hs-CRP, dyspepsia, Helicobacter pylori
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Infeksi Helicobacter pylori (HP) merupakan infeksi bakteri kronik yang paling sering terjadi pada manusia dan merupakan etiologi utama pada beberapa penyakit gastrointestinal, seperti ulkus gaster, ulkus duodeni, mucosa-associated lymphoma tissue lymphoma (MALT), dan kanker lambung.1
HP merupakan bakteri batang gram negatif yang menetap di mukosa lambung. Bakteri ini dapat bertahan lama terhadap inflamasi dan respon imun dengan melepaskan berbagai substansi bakteri dan bahan- bahan sitotoksik.2,3
Pada tahun 1994, HP dikategorikan sebagai kelompok I karsinogen oleh World Health Organozation (WHO). Beberapa studi terakhir ini melaporkan bahwa infeksi HP dianggap sebagai salah satu faktor yang menyebabkan peningkatan kejadian penyakit jantung koroner.
C-reactive protein (CRP) merupakan acute-phase reactant yang berasal dari hati. CRP memiliki efek klinis dan biologi dan dapat digunakan untuk mendiagnosa dan mengikuti perkembangan proses inflamasi.1,4,5
Pengukuran kadar CRP serum dengan menggunakan high sensitivity assay (hs-CRP) dapat mendeteksi status inflamasi subklinis
Evaluasi tentang hubungan antara infeksi HP dengan kadar hs- CRP telah banyak dilakukan di berbagai negara.
Dari penelitian-penelitian sebelumnya didapati nilai hs-CRP serum lebih tinggi pada pasien yang terinfeksi HP (Settin D et al, 20086, Yoshiko Ishida et al 20082, Saad Al-Fawaeir 20137).
Infeksi HP menyebabkan respon inflamasi kronik sistemik dengan tingkat rendah (low grade chronic inflammation) yang ditandai dengan meningkatnya kadar sitokin proinflamasi dan protein fase akut. CRP merupakan protein fase akut yang paling pertama meningkat sebagai respon terhadap proses inflamasi.8 Selain itu CRP juga merupakan petanda inflamasi yang penting.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
Apakah ada pengaruh infeksi Helicobacter Pylori terhadap kadar hs-CRP pada penderita dispepsia.
1.3. Hipotesa Penelitian
Hs-CRP meningkat pada individu yang terinfeksi HP
1.4. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar Hs-CRP pada pasien dispepsia yang positif terinfeksi HP dan pasien dispepsia yang tidak terinfeksi HP.
1.5. Manfaat Penelitian
Dengan penelitian ini dapat diketahui bahwa infeksi HP memiliki peran dalam peningkatan kadar hs-CRP serum. Juga diharapkan dengan penelitian ini mampu memberi pengetahuan tentang pemahaman hubungan antara infeksi HP dengan peningkatan kadar hs-CRP.
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Dispepsia
Kata dispepsia berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yaitu dys (jelek) dan peptein (pencernaan). Definisi dispepsia adalah nyeri epigastrik yang persisten ataupun berulang atau rasa terbakar, atau perasaan tak enak di perut seperti rasa penuh sehingga tidak mampu menghabiskan makanan dengan porsi biasa, rasa terbakar di retrosternal, terasa sampai ke leher (heartburn).9,10
Kejadian dispepsia pada orang dewasa sekitar 20-45%.11,12,13 Berdasarkan beberapa studi yang telah dilakukan, dilaporkan sekitar 29%
pasien tersebut terjadi simptom yang persisten dan rekuren selama tiga bulan, sementara itu sekitar 34% dari populasi sampel tidak memiliki gejala yang signifikan.12
Dispepsia bukanlah merupakan diagnosa, tetapi merupakan simptom atau kompleks simptom yang berasal dari traktus gastrointestinal bagian atas. Penyebab simptom ini biasanya tidak ganas, namun penyakit serius misalnya kanker lambung bisa juga menjadi salah satu penyebabnya.
2.1.2. Penyebab dispepsia
Sekresi asam memberi kontributor yang penting dalam timbulnya dispepsia. Gangguan motilitas gastrointesitnal juga berperan dalam
patogenesis dispepsia, namun bagaimana mekanisme terjadinya belum jelas.11
Ada empat penyebab utama terjadinya dispepsia yaitu ulkus peptik kronik, reflux gastroesofageal (dengan atau tanpa esofagitis), malignansi, dan dispepsia fungsional. Simptom antara ulkus peptik dan dispepsia fungsional sulit dibedakan, biasanya pada pemeriksaan non invasif dispepsia fungsional tidak dijumpai infeksi HP dan tidak ada riwayat pemakaian obat-obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID), berarti kemungkinan untuk ulkus peptik akan lebih jauh.14,15,16,17
2.1.3. Simptom
Berdasarkan komite penyelidikan klinik internasional (Rome III Committee) menyatakan bahwa disebut dispepsia apabila ditemukan satu
atau lebih gejala berikut ini, yaitu rasa penuh setelah makan, tidak mampu menghabiskan makanan dengan porsi biasa, nyeri epigastrik atau rasa terbakar retrosternal.
Pemeriksaan diagnostik untuk dispepsia dapat dilakukan dengan endoskopi gastrointestinal bagian atas, laboratorium, dan radiologi menyatakan sekitar 40-60% berupa dispepsia fungsional, dan sisanya masuk ke kelompok dispepsia struktural atau organik.18
Gb.2.1. Subgroup dispepsia menurut Rome III19
2.1.4. Dispepsia organik atau struktural
Ada tiga penyebab utama dispepsia organik atau struktural, yaitu refluks gastroesofageal dengan atau tanpa esofagitis, ulkus peptik kronik dan keganasan.19
Prevalensi terjadinya dispepsi pada refluks gastroesofageal sekitar 25%. 5-15% disebabkan oleh esofagitis erosiva yang terdeteksi dengan endoskopi. Sekitar 5-15% pasien dispepsia disebabkan oleh ulkus peptik
20, sedangkan keganasan misalnya adenokarsinoma gastrik atau esofageal dijumpai kurang dari 2% dari seluruh pasien yang dirujuk ke endoskopi untuk evaluasi dispepsianya.21
DISPEPSIA
DISPEPSIA ORGANIK DISPEPSIA FUNGSIONAL
• GERD
• ULKUS PEPTIK
• OBAT-OBATAN
• PENYAKIT MALIGNANSI
• LAIN-LAIN
POSTPRANDIAL DISTRESS SYNDROME
SINDROMA NYERI EPIGASTRIK
Infeksi Helicobacter pylori menjadi salah satu penyebab sering terjadinya ulkus peptik yang kemudian akan menjadi suatu keganasan.
Penyebab dispepsia organik lain yang agak jarang, misalnya dispepsia yang disebabkan oleh kolik biliar, batu empedu, yang mana dapat dibedakan dengan dispepsia berdasarkan gambaran klinisnya.
Selain itu obat-obatan juga merupakan salah satu penyebab dispepsia organik, misalnya obat-obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID), antibiotik (eritromisin, metronidazol)22.
2.1.5. Dispepsia fungsional
Dispepsia fungsional adalah dispepsia yang terjadi paling sedikit tiga bulan, namun tidak dijumpai adanya kelainan penyakit organik, sistemik ataupun metabolik23. Patofisiologi dispepsia fungsional belum jelas. Mekanisme yang diduga berperan di sini mencakup gangguan fungsi motorik dan sensorik gastrointestinal bagian atas.
Menurut ROME III simptom dispepsia fungsional dibagi menjadi empat simptom spesifik, yaitu rasa penuh setelah makan (postprandial fullness), ketidakmampuan menghabiskan makanan dengan porsi biasa
(early satiety), nyeri epigastrik, rasa terbakar epigastrik (epigastric burning).
Diagnosa dispepsia fungsional ditegakan bila dijumpai salah satu simptom di atas selama paling sedikit tiga bulan dengan onset paling sedikit enam bulan sebelum diagnosa ditegakkan.
Selain itu bisa juga timbul bersamaan dengan simptom lain misalnya kembung, nausea, muntah, sendawa, dan heartburn.
Menurut ROME III, dispepsia fungsional dibagi menjadi dua subgroup, yaitu
- Postprandial distress syndrome yang dipicu oleh makanan, ciri khasnya adalah rasa penuh setelah makan, dan tidak mampu menghabiskan makanan dengan porsi biasa
- Sindroma nyeri epigastrik, ciri khasnya adalah nyeri epigastrik dan rasa terbakar di dada
Ada beberapa mekanisme patofisiologi timbulnya gejala dispepsia fungsional, misalnya lambatnya waktu pengosongan lambung, gangguan motilitas gastrik yang disebabkan oleh makanan, hipersensitifitas terhadap distensi gastrik, perubahan sensitifitas duodenal terhadap lipid dan asam, gangguan motilitas intestinal, dan disfungsi sistem syaraf pusat.24
Penyebab timbulnya simptom pada pasien dispepsia fungsional belum diketahui dengan jelas, namun diduga berkaitan dengan faktor genetik, infeksi dan faktor psikologi.24
Sebagai penyebab infeksi di sini yang paling sering adalah kuman Helicobacter pylori (HP)4. Walaupun infeksi HP sering dikaitkan dengan dispepsia organik, namun sekitar 30-65% pasien yang didiagnosa dispepsia fungsional ternyata terinfeksi HP.25 Pada pasien dispepsia fungsional dengan HP positif memiliki gejala seperti pada ulkus peptik yaitu kembung, rasa penuh. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena
gangguan motilitas gastrik. Ada kemungkinan beberapa pasien seperti ini mungkin didiagnosa sebagai ulkus peptik.25
Seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Jari Koskenpato, tahun 2011 di Helsinki, di mana dia meneliti bagaimana pengaruh terapi eradikasi HP terhadap dispepsia fungsional yang terinfeksi HP. Pada penelitian ini populasi yang diambil adalah dispepsia fungsional dengan positif infeksi HP.26
Menurut Byung LH, Nayoung K, 2011, hiperplasia lapisan otot lambung dan gangguan waktu pengosongan lambung disebabkan oleh infeksi HP dan hal ini mengganggu motilitas gastrik.25
2.2. Helicobacter pylori
Orang pertama yang memperkenalkan kuman yang mirip dengan Helicobacter yang hidup di dalam perut binatang adalah seorang ahli dari Italia yang bernama Giulio Bizzozero pada tahun 1892, di Turin Medical Academy. Pada tahun 1979, dr. Warren, seorang patologis yang berasal
dari Western Australia, pertama kali memperhatikan organisme Helicobacter dari spesimen jaringan yang diambil dari endoskopi penderita gastritis kronik. Kemudian bersama dengan temannya dr. Marshall melakukan serangkaian percobaan, dan terakhir dr. Marshall melakukan percobaan terhadap dirinya sendiri. Dia mengambil spesimen biopsi lambungnya sebelum menelan sampel kultur bakteri hidup yang diisolasi dari salah satu pasiennya. Sesudah tujuh hari dia mulai merasakan gejala-
ternyata di lambungnya terdapat gambaran bercak dan banyak didapati sel-sel inflamasi dan penuh dengan bakteri. Dan ini dipercayai mereka merupakan awal mula timbulnya ulkus.27
HP dikenal sebagai kuman patogen yang sering timbul bersamaan dengan ulkus, juga karsinoma lambung dan gastrik limfoma. Pada tahun 1984, kuman HP ini dinobatkan sebagai karsinogen kelas I oleh International Agency for Research on Cancer (IARC), group dari WHO.27
2.2.1. Epidemiologi
HP dapat dijumpai di lambung manusia di hampir seluruh bagian dari dunia ini. Di negara sedang berkembang, 70-90% populasi terinfeksi HP, hampir semua infeksi ini didapat sebelum umur 10 tahun. Di negara maju, prevalensi infeksi ini lebih rendah, berkisar 25-50%. Dari data yang diperoleh dari negara sedang berkembang juga menunjukkan bahwa infeksi yang didapat ini yang paling sering terinfeksi adalah anak- anak.28,29,30,31,32
Prevalensi infeksi HP berhubungan dengan status sosioekonomi yang rendah terutama di negara sedang berkembang. Hampir semua studi menunjukkan tidak ada perbedaan antara pria dan wanita.28,29,32
Di negara industri prevalensi infeksi HP lebih rendah pada anak- anak dan akan meningkat seiring dengan peningkatan umur. Insidensi infeksi HP baru pada orang dewasa di negara barat kurang dari 0.5% per
tahun. Eliminasi aktif terhadap HP pada populasi dan peningkatan higienitas memberi hasil penurunan angka infeksi baru pada anak-anak.32
2.2.2. Transmisi dan sumber infeksi
Mekanisme HP menginfeksi pada dasarnya belumlah diketahui dengan jelas. HP dapat ditemukan pada manusia dan beberapa primata lain dan jarang diisolasi dari binatang. Belum ada bukti yang menyatakan transmisi HP via binatang, dan diperkirakan infeksi baru terjadi sebagai akibat konsekuensi transmisi langsung manusia ke manusia, via oral-oral atau fekal-oral ataupun keduanya, namun tidak ada bukti manakah yang merupakan faktor utamanya. HP dapat dijumpai di air liur, muntahan, refluks gastrik, dan feses. Dari studi-studi yang ada menyatakan bahwa infeksi HP ini didapat sejak masa kanak-kanak dan kebanyakan berasal dari anggota keluarga dekat.29
Jadi diperkirakan ada tiga jalur transmisi HP, yang pertama iatrogenik, di mana penularan melalui alat endoskopi, atau alat yang kontak dengan mukosa gaster seseorang ke orang lain. Yang kedua transmisi fekal-oral, yang paling penting; di sini sumber infeksinya berasal dari air yang terkontaminasi dengan feses, namun kuman ini belum pernah diisolasi dari air. Penularan dari makanan belumlah terbukti. Dan yang ketiga, transmisi oral-oral, ini teridentifikasi pada penelitian terhadap wanita-wanita Afrika yang memberikan makanan kepada bayinya. Belum ada bukti transmisi melalui hubungan seksual. Transmisi via aspirasi
belum terbukti. Sebagai kesimpulannya, HP ada di lambung hampir setengah dari populasi dunia, namun kita belum mengerti dengan jelas bagaimana mekanisme transmisinya.28,29
2.2.3. Morfologi
Bentuk HP spiral, bersifat mikroaerofilik, gram negatif, dengan ujung berbentuk bulat tumpul. Panjangnya sekitar 2.5-5.0 µm dan lebarnya 0.5-1.0 µm dengan 4 sampai 6 flagela unipolar yang penting untuk motilitas bakteri. Setiap flagela memiliki panjang sekitar 30 µm dan ketebalannya sekitar 2.5 µm. Ujung flagela memiliki terminal bulb yang sebenarnya merupakan selaput pembungkus flagela yang terdiri dari dua lapisan.28,29,32,31 Flagela ini penting dalam motilitas dan gerakan cepat dalam larutan kental seperti lapisan mukosa yang melapisi permukaan sel-sel epitel gaster.26
Walaupun biasanya berbentuk spiral, bakteri ini kadang-kadang bisa juga berbentuk kokoid, di mana bentuk kokoid ini timbul setelah penanaman kultur yang terlalu lama secara in vitro atau pemakaian antibiotika. Bentuk kokoid ini tidak dapat dapat dikultur secara in vitro dan biasanya dianggap sebagai sel mati, walaupun sebenarnya sel ini diduga
Gb.2.2. Morfologi HP (Marshal, B.J.
Gilman, R.H, Elsevier.2004)
Tidak seperti bakteri gram positif, bakteri gram negatif memiliki dinding luar yang disebut sebagai Lipopolisakarida (LPS). Lapisan ini berfungsi sebagai lapisan pelindung di mana semua material harus melalui lapisan ini sebelum memasuki ke dalam sel. Semua bakteri gram negatif berbeda satu sama lain dalam hal komposisi LPS, terutama jenis atau tipe spesifik yang muncul di membran. Di bawah lapisan LPS terdapat ruang protektif yang disebut sebagai periplasmic space yang diduga merupakan bagian yang penting bagi HP untuk bertahan dalam lambung manusia. Di bawah lapisan ini terdapat peptidoglikan yang pada umumnya terdiri dari protein dan polisakarida.25
2.2.4. Adaptasi HP terhadap asiditas lambung
Dalam keadaan normal, antrum merupakan bagian lambung yang memiliki tingkat keasaman yang paling rendah dibandingkan dengan corpus gaster, dan di bagian inilah HP sering berkolonisasi. Dari observasi
didapati bahwa pada dasarnya HP tidak menyukai suasana asam lambung, di mana pada orang yang terinfeksi diberi obat untuk mengurangi produksi asam lambung terutama di bagian corpus gaster, distribusi kuman ini akan bergerak ke daerah tersebut. Ini menunjukkan bahwa dalam keadaan normal, corpus gaster terlalu asam untuk kuman bertahan hidup. Pada anak-anak di mana tingkat keasaman lambung tidak seasam orang dewasa, sehingga lebih mudah terinfeksi.25,26,30
Oleh karena sifatnya yang intoleransi terhadap asam, Hp hidup di
kental (viscous) dan tebal yang terdiri dari musin glikoprotein yang efektif menetralisir lingkungan asam. Lapisan ini melindungi jaringan lambung dari asam yang disekresinya sendiri.24,25
Hampir semua mikroorganisme susah berkoloni di lapisan mukosa ini oleh karena viskositas dari musin tersebut sehingga tidak dapat mempenetrasi lapisan ini, namun tidak halnya dengan HP yang memiliki 4-6 flagela yang memberi gerakan mendorong dan menarik, sehingga HP dapat berenang dalam lingkungan cairan tersebut. Gerakan ini bersamaan dengan bentuk HP seperti alur sekrup sehingga memungkinkan HP menggali sampai ke dalam lapisan mukosa lambung untuk menghindari keasaman di lambung. HP ini juga memproduksi protein yang berfungsi membantu penetrasi lapisan musin. Protein ini disebut sebagai kolagenase yang diduga berfungsi mencerna atau mencairkan sebagian musin, sehingga mengurangi kekentalannya dan mempermudah organisme untuk bergerak lebih bebas. Namun demikian, sebelum memasuki lapisan musin HP harus bertahan terhadap lingkungan yang asam. HP pada dasarnya lebih menyukai lingkungan dengan pH netral.
Untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan yang asam HP mengubah komposisi periplasmic spacenya dan membentuk busa di sekelilingnya disebut sebagai zona buffer. Dengan adanya zona buffer ini, HP terlindung dari lingkungan asam selama dia transit sebelum mencapai lapisan musin.24,25,33
Selain itu HP juga memproduksi urease. Urease akan mengubah urea menjadi amonia dan karbondioksida. Amonia merupakan senyawa basa lemah yang akan menetralisir keasaman lambung. Reaksi ini berlangsung di periplasmic space, sehingga HP secara efektif diselubungi oleh larutan buffer.
Enzim lain yang diproduksi oleh HP adalah alpha-carbonic anhydrase (α-CA), yang juga berperan dalam proses deasidifikasi, di mana α-CA ini bekerjasama dengan urease dalam proses deasidifikasi dengan mengkonversi karbondioksida yang diproduksi oleh urease menjadi bikarbonat. Bikarbonat merupakan senyawa basa lemah yang juga akan menetralisir asam lambung.34,35
Gb.2.3. Mekanisme bagaimana HP menyebabkan abnormalitas sekresi gaster (Harrison’s Gastroenterology & Hepatology.
McGraw Hill 2010)
Walaupun HP berhasil menghindarkan diri dari asam lambung, namun apabila tidak ada sesuatu yang membuat HP menempel ke jaringan, maka HP ini akan terbuang ke duodenum mengikuti gerakan peristaltik, sehingga di duodenum sering kita jumpai ulkus. Supaya dapat melekat ke jaringan, HP memproduksi beberapa protein adhesif seperti adhesin. Protein ini akan melekat pada lipid dan karbohidrat yang normalnya ada pada permukaan sel-sel yang melapisi dinding lambung.
Protein adhesin diekspresikan di membran luar bakteri, berfungsi sebagai jangkar yang mengikat bakteri tersebut ke dinding permukaan lambung. Setiap adhesin yang diekspresikan pada permukaan HP mempunyai afinitas hanya terhadap molekul spesifik pada permukaan lambung. Oleh karena itulah sel-sel HP mengekspresikan adhesin yang bervariasi dalam waktu yang sama. Salah satu contoh adhesin yang diekspresikan HP adalah BabA. BabA mengenali polisakarida yang berada di permukaan sel-sel mukosa, polisakarida ini disebut sebagai Lewis b antigen. Antigen ini dapat dijumpai di sel-sel mukosa dan sel-sel
Gb.2.4. Natural History of HP infection (Harrison’s
Gastroenterology &
Hepatology. McGraw- Hill 2010)
tubuh, sehingga akan terbentuk antibodi yang akan melawan sel-sel parietal lambung sendiri (respon autoimun). Ini akan merusak jaringan lambung.27,35
2.2.5. Patogenesa
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan apabila HP menginfeksi lambung atau duodenum yaitu HP harus mempenetrasi lapisan mukosa, melekat ke permukaan sel-sel epitel, dan mencukupi nutrisi untuk pertahanan diri.27,29
Ketika HP melekat di permukaan sel-sel mukosa, organisme ini memproduksi produk lain yang memberi konsekuensi jelek terhadap jaringan. Pada beberapa strain HP yang mengekspresikan protein CagA (cytotoxin-associated gene A) sangat berkaitan dengan timbulnya ulkus dan kanker lambung. CagA ini akan diinjeksikan oleh bakteri ke dalam sel mukosa dengan menggunakan bagian dari struktur tubuhnya yaitu pilus.32,36
Di dalam sel, CagA akan merusak epitel dengan cara merusak tight junction yang merupakan barrier (pembatas) yang impermeabel dan
berfungsi mencegah molekul-molekul besar lewat (seperti protein dan polisakarida) dari lumen lambung ke lapisan jaringan di bawahnya.
Dengan terbukanya tight junction, HP akan mengambil nutrisi seperti protein dan polisakarida yang dibutuhkannya untuk tumbuh dan bertahan hidup, dan ini akan membuat terjadinya destruksi struktur jaringan,
Gb.2.5. Patogenesa HP dan respon imunnya (Portal-Celhay,C, Perez-Perez, GM, Immune Responses of Helicobacter pylori colonization mechanism and clinical outcomes.
Clinical Science (2006) 110, 305-14)
Selain itu, HP juga memproduksi protein VacA (vacuolating cytotoxin A) . VacA ini dilepaskan di luar dari tubuh bakteri dan kemudian
akan melekat di outer membrane (membran luar) sel-sel lambung dan membentuk pori-pori sehingga nutrisi dalam sel akan keluar, atau akan membentuk struktur gelembung atau vakuola di dalam sel. Vakuola ini berisi beberapa zat yang berguna untuk bakteri, seperti protein, polisakarida, ion-ion, dan garam. VacA juga akan melewati membran mitokondria, sehingga mitokondria akan pecah dan mengeluarkan isinya dan akhirnya sel pun mati.37,38
Destruksi sel ini akan mengubah sistem imun, di mana sitokin- sitokin yang diproduksi oleh sel-sel yang rusak atau terluka, akan memberi
Jaringan ini menjadi inflamasi, di mana di jaringan yang terinfeksi menjadi merah, bengkak, dan akumulasi sel-sel imun. Kondisi ini sering kita sebut sebagai gastritis yang berpotensi menimbulkan ulkus. Sel-sel imun yang berinfiltrasi ini merupakan senjata yang kuat untuk melawan invasinya kuman ke dalam jaringan, namun seiring dengan perlawanan ini kerusakan sel epitel mukosa juga tak bisa dihindari.35
Siklus kolonisasi dan inflamasi ini akan berjalan terus-menerus dan menyebabkan hilangnya sel-sel permukaan, yang akan diikuti oleh berkurangnya lapisan protektif mukosa. Sebagai akibatnya timbul area yang lemah di lapisan epitel mukosa, sehingga zat asam dan enzim-enzim pencernaan dapat melewati sel-sel epitel. Zat asam dan enzim-enzim ini akan mengiritasi dan mendegradasi sel-sel lapisan epitel mukosa dan menyebabkan luka terbuka yang disebut sebagai ulkus.
Ulkus ini bisa terjadi di lambung ataupun di duodenum, dan apabila ulkus ini terjadi lebih dalam lagi dan hampir meliputi seluruh ketebalan dinding lambung akan timbul ulkus perforasi dan keadaan ini merupakan kasus emergensi. Pasien dengan ulkus perforasi bisa saja tidak merasakan sakit, tapi sebagai akibatnya, bakteri, asam lambung, dan enzim-enzim pencernaan akan masuk ke rongga abdomen, dan menyebabkan infeksi yang luas (peritonitis). Ulkus juga dapat terjadi di daerah yang dekat dengan pembuluh darah yang mensuplai darah ke dinding lambung dan duodenum, dan apabila dalam keadaan berat, dapat menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah dan terjadi pendarahan
Yang terjadi setelah teinfeksi HP adalah timbulnya gastritis akut dengan infiltrasi neutrofil ke permukaan epitel dan terjadi perubahan degeneratif epitelial. Pada umumnya HP mengakibatkan infeksi persisten.
Fase akut berakhir satu sampai empat minggu dan masuk ke fase kronik.
Di fase kronik sel-sel mononuklear akan infiltrasi ke lamina propria.
Gastritis aktif ditandai dengan neutrofil bercampur dengan sel-sel mononuklear di mukosa gaster. Gastritis kronik aktif terjadi pada sebagian besar individu yang terinfeksi dan terjadi degenerasi epitel, infiltrasi neutrofil persisten di epitel dan lamina propria dan infiltrasi mononuklear (limfosit dan sel plasma) di lamina propria. Selain itu juga terjadi hiperplasia limfoid di mukosa gaster.
Antigen HP ini akan merangsang epitel gaster untuk mensekresi sitokin-sitokin sehingga menimbulkan reaksi inflamasi di mukosa gaster.
Interleukin-8 (IL-8), leukotrin, komplemen, berfungsi sebagai kemoatraktan terhadap sel-sel neutrofil dan limfosit. Selain itu, infeksi HP akan menyebabkan respon imun dominan oleh T helper 1 (Th1) di mukosa gaster yang ditandai dengan adanya Interferon gamma (IFN-gamma).
Respon imun ini dihasilkan dari peran dari sitokin-aitokin proinflamasi seperti Il-12 dan Il-18 dan tumor necrosis factor alpha (TNF-).
2.2.6. Diagnosa HP
Diagnosa HP sangatlah penting, di mana proses patologi infeksi HP menyebabkan baik ulkus duodenal ataupun kanker gastrik akan berujung
pada terjadinya gastritis atrofi. Sekali pasien terinfeksi HP kronik, akan terjadi atrofi gastrik dan susah disembuhkan.
Untuk diagnosa HP, ada beberapa test yang dapat dipakai,39,40 antara lain:
1. Tes serologi
Merupakan salah satu tes non invasif. Respon sistemik berperan dalam meningkatnya IgM yang kemudian diikuti oleh peningkatan imunoglobulin spesifik yaitu IgA dan IgG yang akan bertahan selama terjadinya infeksi. Untuk mendeteksi antobodi ini menggunakan metode ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay) atau latex agglutination. Test seperti ini biasanya
menggunakan serum, walaupun IgG juga dapat dideteksi dengan akurat di urine. Beberapa laboratorium menggunakan sampel saliva, namun deteksi IgA atau IgG dengan saliva kurang sensitif dibandingkan dengan menggunakan sampel serum. Pada meta- analisis 21 penelitian terhadap serologi ELISA didapati rata-rata sensitivitas 85% dan spesifisitas 79%. Keuntungan dari test ini adalah dapat dipakai dengan mudah dengan sampel darah dari ujung jari, dan hasil selesai dalam waktu 5-10 menit.15,40,41
2. Urea Breath Test (UBT)
Test yang memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi untuk mendeteksi infeksi HP. Namun berbalikan dengan test serologi, di mana UBT tidak dapat membedakan infeksi lama dan baru. Cocok
(4-6 minggu setelah akhir pengobatan) karena memiliki nilai prediktif yang baik untuk eradikasi bakteri. Merupakan test non invasif dan mudah dilaksanakan.40,41,43,44
3. Stool test
Pertama kali dilaporkan berhasil mendeteksi antigen HP dalam feses pada tahun 1997 dengan metode ELISA, menggunakan poliklonal anti H. pylori antibodi yang melapisi microwell untuk menangkap antigen HP. Test ini disebut sebagai Helicobacter pylori stool antigen test (HpSA). Stool antigen test ini memiliki
batasan, di mana dengan pengobatan agen mukolitik N- acetylcysteine akan menurunkan sensitifitas dan spesifisitas test ini.42,43,44,45
4. Urease test.
Merupakan test yang sederhana, cepat dan murah untuk mendeteksi infeksi HP. Untuk mempertahankan lingkungan di mukosa gaster dengan konsentrasi urea rendah, HP memproduksi enzim urease. Di spesimen biopsi yang mengandung H. pylori dimasukkan ke dalam media yang kaya urea, urease akan memecah urea menjadi karbondioksida dan amonia. Ion amonia ini akan meningkatkan pH, dan pH indikator, seperti phenol red, berubah warna, dalam hal ini dari warna kuning menjadi ungu.
Ada studi mengatakan sisi gaster yang paling baik untuk diambil sebagai spesimen adalah di angulus gaster, di mana di daerah
tersebut memiliki sensitifitas yang tinggi untuk mendeteksi HP dibandingkan dengan daerah peripyloric dan corpus gaster.40,41 5. Kultur
Merupakan metode yang tidak bisa diragukan, cara yang paling spesifik untuk mendiagnosa HP, namun sensitifitasnya sangat bervariasi di antara beberapa pusat penelitian. Perbedaan ini mungkin berhubungan dengan teknik kultur.
Kultur HP tidak dilakukan untuk diagnosa rutin infeksi HP karena pemeriksaan invasif lain sudah bisa menegakkan diagnosa HP.
Kelebihan dari metode ini adalah dapat dilakukan bersamaan dengan uji sensitifitas terhadap obat-obat yang dipakai untuk pengobatan.
Spesimen yang diambil untuk kultur sebaiknya dari dua tempat untuk menghindari adanya kesalahan dalam pengambilan sampel, yaitu biasanya dari antrum ataupun corpus gaster. Faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan kultur adalah transpor sampel dari ruangan endoskopi ke laboratorium. Untuk itu diperlukan media transpor khusus untuk HP.
Untuk media, dipilih media selektif yang dibutuhkan untuk mempercepat pertumbuhan kuman dari sampel biopsi, namun dapat mensupresi bakteri kontaminan baik yang endogen maupun eksogen. Media selektif yang memiliki tingkat isolasi yang tinggi adalah agar BHI (Brain Heart Infusion) yang disuplementasi dengan
amphotericin B. Namun demikian, lebih baik kombinasi paling
sedikit satu media selektif dan satu media nonselektif, karena tidak ada satupun media kultur yang menjamin 100% pertumbuhan HP dan juga kontaminasi kultur terjadi sekitar 25% dari kasus.
Kegagalan pendeteksian HP dengan kultur mungkin disebabkan oleh kurangnya durasi inkubasi. Direkomendasikan periode inkubasi selama lebih dari 10 hari untuk mengoptimalisasi isolasi kultur, terutama paska pengobatan.40,44
6. Polymerase Chain Reaction (PCR)
PCR dianggap sebagai teknik yang paling sensitif untuk mengidentifikasi mikroorganisme. Deteksi HP dengan sampel biopsi gaster ataupun aspirasi cairan lambung dengan PCR memiliki sensitifitas dan spesifisitas lebih dari 95% dibandingkan dengan metode invasif yang lain. Oleh karena sesitifitasnya yang tinggi, test ini sangat berguna untuk diagnosa paska pengobatan di mana mungkin pada saat itu jumlah bakteri sangat sedikit, juga memiliki peluang memberi hasil positif palsu yang kemungkinan terjadi karena residu DNA HP pada fiberoptik endoskopi karena kurang bersih setelah dipakai.41
TEST Sensitivity/Specificity, % Komentar Invasive (memerlukan endoskopi/biopsi)
Rapid urease 80-95/95-100 Sederhana, dengan pemakaian PPI, antibiotik atau bismuth akan timbul nilai positif palsu,
Histologi 80-90/>95 Memerlukan proses patologi dan pewarnaan; memberikan informasi histologi, sensitifitasnya sangat bergantung pada pengalaman
Kultur -/- Memerlukan waktu, mahal, sangat
bergantung pada pengalaman;
namun dapat dilakukan uji sensitifitas
Non-invasif
Serology >80/>90 Tidak mahal, nyaman, tidak dipakai untuk deteksi awal
Urea Breath Test
>90/>90 Sederhana, cepat; dapat dipakai untuk deteksi awal, positif palsu kalau bila bersamaan dengan terapi; terekspos dengan radiasi
14C test dosis rendah
Stool antigen >90/>90 Murah, nyaman, berguna untuk follow-up setelah terapi
Tabel 2,1. Test untuk mendeteksi H. pylori (Atherton, J.C, Blaser, M.J.
Helicobacter pylori infections, Harrison’s Gastroenterology and Hepatology, McGraw-Hill 2010)
2.3. C-reactive protein
Merupakan akut fase reaktan yang berasal dari hati. CRP memiliki efek klinis dan biologi yang dapat digunakan untuk mendiagnosa dan memfollow-up berbagai proses inflamasi dan traumatik.46
Pertama kali ditemukan pada tahun 1930 oleh Tillet dan Francis dalam penelitian mereka terhadap pasien-pasien dengan pneumonia akut.
CRP adalah anggota dari famili protein pentraxin, terdiri dari 5 subunit polipeptida nonglikosilasi yang identik di mana setiap subunit mengandung 224 residu asam amino dengan berat molekul monomer
Gb. 2.6. Struktur pentamerik dari CRP 47 CRP memiliki kemampuan mengenali patogen asing dan sel-sel yang rusak pada host dan akan mengeliminasinya dengan berinteraksi dengan sistem efektor humoral dan selular di dalam darah.47 Sehingga kadar protein ini akan meningkat dengan pesat selama terjadinya respon fase akut terhadap kerusakan jaringan, infeksi, dan rangsangan inflamasi.
Peningkatan kadar CRP dalam darah setelah trauma jaringan sangat cepat, dengan peningkatan bisa lebih dari 1000 kali lipat dari nilai baseline dalam 24 jam. Oleh karena itulah pengukuran CRP sangat
berguna untuk menentukan perkembangan atau efektifitas pengobatan.46,47,48.
Dengan berkembangnya teknologi, kadar CRP yang rendah dalam darah dapat terdeteksi pada pasien yang sehat sekalipun dengan menggunakan high-sensitivity CRP assay. 45
Hal-hal yang mempengaruhi nilai CRP antara lain merokok, infeksi, umur, jenis kelamin, kadar lipid, dan tekanan darah, obesitas, dan genetik.
Nilai median konsentrasi CRP pada orang dewasa sehat adalah 0.8 mg/l, dengan rangsangan fase akut,nilai itu akan meningkat menjadi <50 mg/l sampai >500 mg/l atau sekitar 10000 kali lipat. Sintesa CRP terjadi
dalam waktu 6 jam dan memuncak dalam waktu 48 jam. Waktu paruh plasma CRP sekitar 19 jam dan konstan dalam segala kondisi dan kesehatan. Kadar plasma CRP akan menurun dengan tajam jika proses inflamasi atau kerusakan jaringan telah berkuarang, di mana dalam 24-48 jam akan mencapai nilai normalnya kembali.
Pada hampir semua penyakit, nilai CRP dalam sirkulasi merefleksikan sedang terjadinya proses inflamasi atau rusaknya jaringan lebih akurat dibandingkan dengan parameter laboratorium seperti laju endap darah. Nilai CRP menunjukan tidak ada variasi diurnal dan tidak dipengaruhi oleh makan.46,48,49
2.3.1. Fungsi penentuan kadar CRP
CRP merupakan akut fase reaktan yang paling sensitif dan konsentrasinya akan meningkat dengan cepat selama proses peradangan. Kompleks CRP akan mengaktivasi sistem komplemen dan kemudian akan merangsang terjadinya opsonisasi dan fagositosis sel-sel yang terinfeksi, namun sebenarnya fungsi utamanya adalah mengikat dan mendetoksifikasi substansi endogen yang toksik yang diproduksi sebagai akibat dari kerusakan jaringan.
Beberapa studi dari berbagai bagian dunia menyatakan bahwa CRP juga dapat digunakan untuk memprediksi resiko terjadinya penyakit kardiovaskular pada pasien yang sehat.46,48,50,51,52
2.3.2. Cara pemeriksaan hs-CRP
Dapat dilakukan dengan reagen Tina-quant CRP (latex)-Roche dengan teknik imunoturbidimetri.
Prinsip dasar pemeriksaan ini mirip dengan pemeriksaan kadar protein lain secara turbidimetri, di mana CRP dalam serum akan mengikat antibodi spesifik terhadap CRP sehingga membentuk suatu kompleks imun. Kemudian diukur turbiditas yang terjadi dengan fotometer.52
Untuk pengambilan sampel pasien, pasien sebaiknya dipuasakan 8-10 jam, oleh karena serum yang lipemik akan memberikan hasil positif palsu dan sebaiknya segera dilakukan pemeriksaan segera setelah darah diambil dari vena cubiti.52
2.3.3. Nilai referensi
- Neonatus (0-3 minggu): 0.1-4.1 mg/L
- Anak-anak (2 bulan-15 tahun): 0.1-2.8 mg/L - Dewasa: <5.0 mg/L
- Infeksi, inflamasi sistemik atau trauma: >10 mg/L.52
2.4. Kerangka konsep
Dispepsia dengan infeksi HP (+)
Innate immunity Adaptive immunity
Kontak bakteri dengan antigen presenting cells Monosit, sel dendritik
Produksi sitokin proinflamasi TNF-, IL-1β, IL-8
Neutrofil, sel T, sel B limfosit, sel plasma,
makrofag
Produksi sitokin proinflamasi IL-1, IL-6, TNF-, IL-
8
Sel-sel hepatosit terangsang mensintesa CRP (golden marker of inflammation)
2.5. Batasan Operasional 1. Dispepsia
Pasien-pasien dispepsia yang rawat inap atau rawat jalan di Departemen / SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUP. HAM, yang ditandai dengan adanya nyeri berulang, bersifat kronik dan rasa tidak nyaman di daerah perut atas yang dapat berupa mual, muntah, rasa penuh di perut terutama setelah makan, cepat kenyang, sendawa, dan kadang beberapa klinisi menyatakan disertai rasa terbakar/tidak nyaman didaerah retrosternal yang terasa sampai ke leher (heartburn).
2. HP positif
Pasien dengan HP positif yang ditentukan dengan pemeriksaan antigen HP dengan memakai sampel feses.
3. Hs-CRP
Kadar hs-CRP yang diukur dari serum penderita dispepsia yang terinfeksi ataupun tidak terinfeksi HP dengan metude imunoturbidimetri dengan mengunakan alat cobas c501.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Desain penelitian
Penelitian dilakukan dengan observasional analitik dengan cara potong lintang (cross sectional).
3.2. Tempat dan waktu penelitian
Penelitian dilakukan di Departemen Patologi Klinik FK USU / RSUP. H. Adam Malik Medan, bekerjasama dengan Departemen / SMF Ilmu Penyakit Dalam FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan, mulai Juli 2013 sampai dengan September 2013.
Penelitian dihentikan bila jumlah sampel minimal tercapai atau waktu pengambilan sampel telah mencapai tiga bulan.
3.3. Populasi dan subjek penelitian 3.3.1. Populasi penelitian
Populasi penelitian adalah pasien yang menderita dispepsia dengan HP positif yang rawat jalandan rawat inap dan sebagai kelompok kontrol adalah pasien dispepsia dengan HP negatif di Departemen Penyakit Dalam FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan, pada Divisi Gastroentero-Hepatologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
3.3.2. Subjek penelitian
Subjek yang diikutkan dalam penelitian adalah semua penderita dispepsia dan memenuhi kriteria sebagai berikut :
3.3.2.1. Kriteria Inklusi
1. Bersedia ikut dalam penelitian 2. Penderita dispepsia
3. Dewasa >18 tahun
3.3.2.2. Kriteria eksklusi
1. Sedang dalam pengobatan (bismuth) untuk gastrointestinal 2. Kehamilan
3. Sedang mendapat antibiotika terapi eradikasi HP satu bulan terakhir
4. Penderita artritis 5. Gangguan fungsi hati
3.4. Perkiraan besar sampel
Sampel dipilih secara consecutive sampling dengan perkiraan besar sample minimum dari subjek yang diteliti dipakai rumus:
n1= n2 = 2 [ (Zα + Zβ) S ]2 (x1 – x2)2
n = 2 (1.96 + 1.282)2 (2.272)2 (0.5)2
n = 20
Pada penelitian ini, jumlah sampel diambil sebanyak 20 orang Keterangan:
• n = jumlah sampel
• Zα = nilai baku normal dari tabel Z yang besarnya tergantung pada nilai α yang ditentukan. Untuk α = 0.05 Zα = 1.96
• Zβ = nilai baku normal dari tabel Z yang besarnya tergantung pada nilai β yang ditentukan. Untuk β = 0.10 Zβ = 1.282
• S = standar deviasi kadar hs-CRP pada penelitian sebelumnya
• X1-X2 = selisih rerata kedua kelompok yang bermakna, ditentukan sebesar 0.5
3.5. Analisa data
Analisa data dilakukan dengan menggunkan perhitungan statistik komputerisasi program SPSS 12 for windows. Gambaran karakteristik kelompok HP (+) dan HP (-) disajikan dalam bentuk tabulasi dan dideskripsikan. Kemaknaan perbedaan konsentrasi hs-CRP di antara kelompok HP (+) dan HP (-) dilakukan uji independent sample T test.
Untuk melihat perbedaan kadar hs-CRP berdasarkan jenis kelamin pada kedua kelompok dilakukan uji chi square.
3.6. Bahan dan cara kerja
3.6.1. Bahan dan pengolahan sampel
Dalam penelitian ini ada dua bahan yang akan diperiksa, yaitu untuk pemeriksaan HP, sampel yang dipakai adalah feses dan akan dijelaskan di bawah. Untuk pemeriksaan lainnya, sampel yang dipakai adalah darah, pasien dipuasakan minimal 10 jam.
Darah diambil dari punksi vena mediana cubiti tanpa stasis vena yang berlebihan. Tempat punksi harus dibersihkan terlebih dahulu dengan alkohol 70% dan dibiarkan kering. Kemudian punksi dilakukan dengan menggunakan spuit disposibel sebanyak 5 ml. Darah kemudian dibagi ke dalam 2 tabung, 2 ml dimasukkan ke tabung dengan antikoagulan EDTA untuk pemeriksaan darah lengkap dan 3 ml dimasukkan ke dalam tabung tanpa antikoagulan untuk pemeriksaan lainnya. Sampel darah beku dibiarkan membeku selama 20 menit dalam suhu ruangan, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 20 menit, serum dipisahkan, aliquot pertama 1 ml serum untuk pemeriksaan hs-CRP, disimpan dalam freezer suhu -20ºC sampai waktu pemeriksaan (maksimal 6 bulan). Aliquot kedua untuk pemeriksaan KGD puasa, SGOT dan SGPT.
3.6.2. Pemeriksaan laboratorium A. Pemeriksaan darah lengkap B. Pemeriksaan AST
C. Pemeriksaan ALT
D. Pemeriksaan KGD puasa
E. Pemeriksaan HP stool antigen F. Pemeriksaan kadar hs-CRP A. Pemeriksaan darah lengkap
Pemeriksaan darah lengkap dengan menggunakan alat Sysmex XT 2000i
B.Pemeriksaan AST (aspartate aminotransferase)
Pemeriksaan AST dengan menggunakan metode enzimatik kinetik yang disarankan oleh IFCC (International Federation of Clinical Chemistry) dengan panjang gelombang 340 nm dengan menggunakan
alat Cobas c 501
C. Pemeriksaan ALT (alanine transaminase)
Pemeriksaan AST dengan menggunakan metode enzimatik kinetik yang disarankan oleh IFCC dengan panjang gelombang 340 nm dengan menggunakan alat Cobas c 501
D. Pemeriksaan KGD puasa
Pemeriksaan KGD puasa dengan metode enzimatik dengan menggunakan alat Cobas c 501
E. Pemeriksaan HP
Sampel yang dipakai adalah feses dengan menggunakan SD Bio Line H.pylori Ag rapid test.
Material yang tersedia dalam kit ini:
1. SD Bioline H.pylori Ag kit terdiri dari komponen-komponen di bawah ini:
- Alat test yang terbungkus dalam kantong dengan anti lembab di dalamnya
- Diluent (25 ml/vial) - Sample collection tube - Sample collection swab - Dispossable dropper - Dispossable dropper cap - Petunjuk pemeriksaan
2. Bahan aktif yang terdapat dalam komponen test:
- Setiap test memiliki:
• Gold conjugate (sebagai komponen utama): Mouse monoclonal anti-Helicobacter pylori-gold conjugate (0.12
± 0.024 µg)
• Test line (sebagai komponen utama): mouse monoclonal anti-Helicobacter pylori (0.64 ± 0.128 µg)
• Control line (sebagai komponen utama): goat anti-mouse IgG (0.64 ± 0.128 µg)
- Buffer yang mengandung:
• Phosphate buffer (20mM)
• Bovine serum albumin (1%)
• Sodium azide (0.01%)
• Tween 20 (0.1%)
Persiapan sebelum dilakukan pemeriksaan:
- Pemeriksaan baru boleh dilaksanakan setelah satu bulan berhenti memakai antibiotika atau terapi eradikasi HP.
- Antimikrobial, proton pump inhibitor, dan bismuth dapat mensupresi hasil, untuk pemeriksaan antigen HP minimal dua minggu setelah berhenti memakai obat tersebut.
- Diet sehari-hari seperti biasa.
- Feses yang diambil adalah feses pagi atau feses pertama.
- Tidak boleh menggunkan laxatif.
- Feses diletakan di dalam container yang telah disediakan.
- Feses yang diambil dari kloset harus bagian atas dari feses.
- Feses tidak boleh terkena urine karena akan menyebabkan kontaminasi.
Prinsip kerja:
- Memakai immunochromatography
- Feses diencerkan dan dimasukkan ke sumur dari kaset test.
Sampel akan mengalir melalui lembaran label yang mengandung antibodi HP yang berikatan dengan koloid emas yang berwarna merah. Jika sampel mengandung antigen HP, antigen akan berikatan dengan antibodi yang melapisi partikel koloid emas dan membentuk kompleks antigen-antibodi-emas.
Kompleks ini akan bergerak di atas membran nitroselulosa dengan cara kapileri menuju garis test. Jika kompleks tadi
pada membran dan membentuk garis merah. Garis merah kedua sebagai kontrol selalu akan muncul sebagai indikator bahwa test kita lakukan dengan baik dan alat test berfungsi dengan baik. Jika antigen HP tidak ada dalam sampel, atau kadarnya sangat rendah, di bawah limit deteksi, maka yang muncul garis kontrol. Jika garis kontrol tidak muncul, test tersebut dinyatakan invalid.
Pengumpulan dan penyimpanan sampel:
1. Pengumpulan dan persiapan sampel
- Untuk mengambil feses (sekitar 50 mg), masukan swab steril ke dalam sampel feses
- Masukan swab tersebut ke dalam sample collection tube yang telah berisi diluent
- Putar swab tadi paling sedikit 10 kali sampai sampel larut ke dalam diluent dan keluarkan swab sambil oleskan ke dinding tube dan tutup dengan dropper cap
2. Transpor dan penyimpanan sampel
- Spesimen harus segera diperiksa segera setelah dikumpul - Sampel feses dapat disimpan dalam lemari pendingin (2-8ºC)
selama 72 jam. Jika diperlukan waktu penyimpanan yang lebih lama, sebaiknya sampel dibekukan -20ºC.
- Container/tempat penampungan sampel tidak boleh mengandung media, pengawet, serum hewan ataupun detergen, oleh karena dapat mempengaruhi hasil.
- Tidak dianjurkan pengulangan pemakaian sampel yang sama setelah dibekukan.
Cara pemeriksaan:
Prosedur ekstraksi sampel:
- Keluarkan alat test dan sampel di suhu ruangan sebelum dilakukan pemeriksaan
- Ambil diluent dengan alat pengisap yang tersedia sampai batas garis dan masukan diluent ke dalam sample collection tube
- Ambil feses sebanyak kira-kira 50mg dari sampel dengan menggunakan sample collection swab.
- Masukan swab tersebut ke dalam sample collection tube dan aduk dengan memutar batang swab paling sedikit 10 kali putaran sampai sampel larut dalam diluent
- Keluarkan swab dari tabung sambil mengoleskan swab ke dinding tabung.
- Biarkan selama 5 menit
- Tutup tabung dengan dropping cap
Prosedur test:
- Keluarkan alat test dari kantong/pembungkusnya, dan letakkan
- Teteskan 3 tetes (sekitar 100 µl) ke dalam sumur sampel yang terdapat di alat test
- Selama alat ini bekerja, kita dapat melihat warna ungu yang berjalan melewati daerah tengah test (tempat pembacaan hasil) - Interpretasi hasil dalam waktu 15 menit. Hasil test tidak boleh
dibaca melebihi 15 menit
Interpretasi hasil:
1. Control band akan muncul pada bagian kiri dari jendela hasil
(resultwindow), ini menunjukkan test ini bekerja dengan baik
2. Bagian kanan dari jendela hasil merupakan hasil test. Test band
akan muncul di bagian kanan dari jendela hasil
- Positif: muncul garis merah di daerah garis test (T) dan di daerah garis kontrol (C), tidak menjadi masalah yang mana dulu yang muncul
- Negatif: tidak ada garis yang muncul di daerah T, namun muncul garis merah di daerah C
- Invalid: dalam waktu 15 menit tidak ada garis yang muncul baik di daerah C ataupun T
Kontrol kualitas
- SD Bioline H.pylori Ag memiliki “Test Line” dan “Control Line”
pada permukaan kaset. Kedua garis ini berada di jendela hasil dan tidak tampak sebelum pemberian sampel. Garis kontrol selalu akan muncul jika pemeriksaan dilakukan dengan baik dan
tepat dan menunjukkan reagent control line bekerja dengan baik.
Gb. 3.1. Prosedur pemeriksaan HPSA53