• Tidak ada hasil yang ditemukan

50 140 1 PB

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "50 140 1 PB"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Tantangan Binadamai: Kegagalan Demokratisasi Pasca Konflik Sipil di Afghanistan

Irza Khurun’in

Abstrak

Tulisan ini mengambil tema mengenai tantangan yang sering dihadapi pada proses binadamai pasca konfik. Penulis fokus pada binadamai di Afghanistan pasca 2001. Konflik di Afghanistan merupakan konflik yang rumit dan berkepanjangan. Pihak internasional pun mengambil peran untuk penciptaan perdamaian yang berkelanjutan. Namun, binadamai yang dilakukan di Afghanistan terhitung sejak tahun 2002 hingga 2006 tidak berbuah demokrasi.

Binadamai dan demokrasi merupakan dua hal yang konstitutif. Demokrasi menjadi tujuan utama dalam transisi politik suatu negara pasca konflik, khususnya negara yang sebelumnya menganut rezim otoriter, demokrasi dianggap sebagai obat bagi penyelesaian konflik dan penciptaan perdamaian berkelanjutan. Selanjutnya, penulis menggunakan pendekatan postwar democratic transition untuk menganalisis kegagalan binadamai di Afghanistan.

Keyword: Binadamai, Afghanistan, Post war Democratic Transition

Pendahuluan

Binadamai adalah aspek penting dalam sebuah kondisi pasca konflik.

Binadamai bertujuan untuk menciptakan perdamaian positif (Positive peace) dan perdamaian berkelanjutan (sustainable peace). Namun, seringkali binadamai dijadikan sebagai pintu masuk ide-ide demokrasi melalui pendekatan ‘Liberal Democratic Peace Theory’. Gagasan Liberal Democratic Peace Theory adalah meyakini bahwa demokrasi liberal sebagai jalan untuk menciptakan perdamaian yang berkelanjutan.

Sayangnya, kondisi konflik di tiap-tiap negara memiiki karakteristik yang berbeda-beda yang tidak bisa hanya menggunakan satu kacamata pendekatan saja.

Oleh karenanya, pendekatan yang banyak digunakan dalam proses peacekeeping maupun peacebuilding justru jarang berbuah demokrasi dan rentan menimbulkan

(2)

konflik jenis baru. Seklipun tidak menutup kemungkinan pendekatan liberal democratic peace theory juga berhasil di beberapa tempat, seperti Timor Leste, Namibia, Macedonia, Mozambik. Sedangkan, kegagalan binadamai dapat dilihat di Aghanistan, Irak, Rwanda, dan Kosovo.

Afghanistan menjadi salah satu contoh aktivitas binadamai yang gagal berbuah demokrasi. Menarik untuk melihat kegagalan di Afghanistan, pertama konflik yang terjadi di Afghanistan adalah berkepanjangan dengan konstelasi konflik yang rumit. Banyak aktor yang terlibat di dalamnya, termasuk Saudi Arabia, Iran, Taliban, Al-Qaeda, dan tidak terlepas keterlibatan AS. Konflik sipil di Afghanistan tercatat berawal sejak tahun 1978 hingga sekarang. Kedua, Afghanistan merupakan negara yang paling rentan terjadi konflik. Berdasarkan data The Guardian, ditahun 2014, Afghanistan adalah negara kedua yang paling rentan terjadi konflik dengan skor 3,42, yakni satu posisi di bawah Suriah.1 Ketiga, Afghanistan merupakan negara yang paling banyak mendapatkan bantuan luar negeri untuk mengatasi konflik sipil Afghanistan termasuk untuk pembangunan pasca konflik. Berdasarkan data dari Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) Afghanistan adalah negara penerima bantuan luar negeri terbanyak dada periode 2011-2012, yakni total bantuan sebesar US$ 5,811 juta.2 Keempat, Afghanistan telah menandatangani Bonn Agreement di tahun 2001 yang merupakan perjanjian damai untuk mengakhiri perang sipil. Namun, konflik di Afghanistan masih terus berlanjut dan stabilitas keamanan dan politik masih rendah.

Dari uraian di atas, muncul pertanyaan, yakni “mengapa binadamai di Afghanistan tidak berbuah demokrasi?” Untuk menganalisis hal tersebut, penulis menggunakan konsep Postwar democratic transitions. Argumen yang dibangun dalam tulisan ini adalah kegagalan binadamai di Afghanistan dan tidak membuahkan demokrasi karena faktor-faktor berikut, pertama adalah kurangnya kapasitas administrasi; kedua karena kegagalan pendekatan analisis konflik;

1 http://www.theguardian.com/news/datablog/2014/jun/18/global-peace-index-2014-every- country-ranked

2 Anup Shah, 2014, Foreign Aid for Development Assistance, (daring),

<http://www.globalissues.org/article/35/foreign-aid-development-assistance> diakses pada 20 Desember 2015.

(3)

ketiga karena spillover geopolitik di Afghanistan; keempat karena minimnya sumberdaya dalam pelaksanaan mandat peacebuilding.

Postwar Democratic Transition, sebuah pendekatan konseptual

Binadamai adalah aktivitas yang dilakukan untuk memulihkan kondisi sebuah negara pasca perang. Tujuannya adalah untuk menciptakan stabilitas keamanan dan perdamaian yang berkelanjutan. School of Conflict Analysis and Resolution mendefinisikan bendamai sebagai proses dan aktivitas yang berkiatan dengan penyelesaian konflik dan penciptaan perdamaian berkelanjutan.

Binadamai hampir sama dengan resolusi konflik, namun menitikberatkan pada pembangunan sosial dan ekonomi yang stabil karena merujuk pada kenyataan bahwa tidak serta merta ketika konflik berakhir dapat secara otomatis menciptakan stabilitas yang berkelanjutan. Sedangkan John Paul Lederach mendefinisikan binadamai sebagai konsep yang komprehensif, memuat proses pendekatan, dan tahapan yang diperlukan untuk mentransformasikan konflik menuju kondisi damai yang berkelanjutan. Intinya, binadamai adalah proses rekonstruksi dan transformasi negara dari kondisi konflik menuju kondisi damai dan berkelanjutan.

Merujuk pada definisi di atas, menjadi paradoks ketika demokrasi menjadi goal utama dari aktivitas binadamai. Seperti yang diungkapkan oleh Fortna bahwa stabilitas perdamaian dalam misi binadamai merupakan tujuan yang kedua, sedangkan tujuan utamanya adalah demokrasi dalam masyarakat internasional.3 Lebih lanjut lagi, argumen tersebut banyak diamini oleh para pengkaji konflik.

Binadamai bertujuan untuk membawa perdamaian dan demokrasi ke dalam host countries. Singkat kata, binadamai adalah membangunan sebuah negara guna memberdayakan negara, merekonstruksi lembaga negara, sehingga

3 Christoph Zurcher, et. al, 2013, Cotly Democracy: Peacebuilding and Democratization After War, Tansford: Stanford University Press, Hlm. 20.

(4)

negara mampu menyediakan keamanan fisik dan ekonomi terhadap masyarakatnya.4

Binadamai seringkali membawa perdamaian, namun jarang berbuah demokrasi. Bukti kesuksesan transisi demokrasi pasca perang tidak menunjukkan hasil yang memuaskan. Terhitung sejak tahun 1989, dalam 19 major peacebuilding operations yang dilancarkan oleh PBB, dua negara berhasil menganut liberal democracy, tujuh negara dalam kondisi elcetoral democracy, tujuh negara menganut electoral authoritarian, dan tiga negara lainnya menganut fully closed authoritarian.5

Binadamai merupakan proses yang interaktif. Artinya, banyak pihak yang harus terlibat untuk mencapai kesuksesan. Sebagai sebuah proses yang interaktif, binadamai tidak hanya melibatkan pihak yang berkonflik namun juga antara aktivis perdamaian dan elit politik yang memenangkan kursi pemerintahan, yang mana interaksi tersebut secara tegas membentuk proses perdamaian beserta hasil akhirnya.6 Faktor penentu utama dalam binadamai adalah perbedaan/persamaan prioritas antara aktivis perdamaian dengan elit domestik.7 Maka dibutuhkan persamaan kepentingan antara aktivis perdamaian dengan elit politik di host country.

Menurut Zurcher, dkk (2013) interaksi yang ada dalam proses binadamai adalah antara pemerintah termasuk elit domestik, masyarakat sipil, mantan kombatan dan pemberontak atau pihak yang terlibat konflik secara langsung, aktor internasional, dan aktivis perdamaian. Sedangkan untuk melihat sukses atau gagalnya sebuah aktivitas binadamai, belum ada tolak ukur yang pasti. Namun secara umum, Zurcher (2013) menyebutkan keberhasilan atau kegagalan binadamai dalam dilihat melalui faktor-faktor berikut ini. Pertama, level produk domestik bruto suatu negara; kedua, intensitas dan tipe konflik; ketiga, modalitas penyelesaian pascaperang; dan keempat adalah footprint misi binadamai.

4 Ibid., Zurcher, et. al., 2013, Hlm. 20.

5 Ibid., Zurcher, et. al., 2013, Hlm. 2.

6 Ibid., Zurcher, et. al.,, 2013, Hlm. 5.

7 Ibid., Zurcher, et. al, 2013, Hlm. 5.

(5)

Sejauh ini tidak ada eksplanasi yang konsisten untuk menjelaskan mengapa binadamai jarang berbuah demokrasi. Zurcher dkk. (2013) mencoba memberikan penjelasan secara umum terkait dengan minimnya demokratisasi dalam binadamai pasca konflik. Kegagalan binadamai dalam menghasilkan demokrasi dapat disebabkan oleh kurangnya kapasitas administrasi; kegagalan pendekatan analisis konflik; spillover geopolitik; dan minimnya sumberdaya dalam pelaksanaan mandat peacebuilding.8

Kapasitas administrasi adalah kemampuan pemerintah suatu negara dalam menjalankan perannya guna menerapkan demokrasi dan perdamaian berkelanjutan. Kapasitas administrasi di sini berkaitan dengan transparansi dan akuntabilitas pemerintahan, termasuk tingkat korupsi suatu negara.

Kedua, kegagalan pendekatan analisa konflik. Seringkali aktivis binadamai kurang cermat dalam melihat akar penyebab konflik di suatu negara. Bisa jadi konflik tersebut merupakan warisan dari masa kolonialisme. Argumen lain adalah konflik sipil akibat perebutan kekuasaan. Namun, yang biasa dijadikan sebagai faktor utama adalah rezim yang represif dan korup menjadi penyebab terjadinya konflik sipil di suatu negara. Maka, dibutuhkan analisa konflik yang tepat untuk mencari akar penyebab konflik, sehingga resolusi konflik yang diperoleh menjadi tepat sasaran.

Ketiga, Faktor spillover kawasan juga mempengaruhi proses demokratisasi paska perang.9 Kondisi geopolitik suatu negara dapat berpengaruh pada proses transformasi konflik. Ketika negara tetangga atau negara-negara di regional tertentu mengalami konflik, maka rentan bagi negara yang berkonflik untuk mencapai damai yang berkelanjutan. Stabilitas kawasan/neighbourhood yang buruk dapat membahayakan proses demokratisasi pasca perang.10

Keempat adalah minimnya sumberdaya dalam pelaksanaan mandat peacebuilding. Mandat yang tidak memadai, kurangnya personel, dan

8 Ibid., Zurcher, et. al.,, 2013, Hlm. 131.

9 Ibid., Zurcher, et. al.,, 2013, Hlm. 103.

10 Ibid., Zurcher, et. al.,, 2013, Hlm. 103.

(6)

implementasi yang buruk menjadi salah faktor yang mempengaruhi kegagalan atau kesuksesan binadamai.11

Keempat faktor tersebut menjadi variabel yang digunakan oleh penulis untuk melihat mengapa binadamai di Afghanistan gagal berbuah demokrasi.

Untuk memperkuat argumen, penulis menambahkan satu variabel yang diambil dari konsep binadamai sebagai interaksi. Yakni, bagaimana interaksi antara elit politik domestik dengan aktivis perdamaian. Dari penjelasan yang dipaparkan oleh Zurcher, dkk., ketika elit politik domestik dan aktivis perdamaian memiliki kepentingan yang sama yaitu demokratisasi, maka tujuan binadamai dapat dengan mudah dicapai.

Sejarah singkat Konflik Sipil di Afghanistan

Perang sipil di Afganistan terjadi sejak 1978, yang melibatkan kehadiran militer berkepanjangan dari Amerika Serikat, Uni Soviet, dan sejumlah negara- negara Barat. Sebelumnya, di tahun 1970-an terjadi perubahan kekuasaan di kubu pemerintahan Afghanistan. King Zahir Shah yang telah memimpin selama kurang lebih 40 tahun, digulingkan di tahun 1973. Terjadi pendudukan Uni Soviet atas Afghanistan di tahun 1979 hingga 1989. Maka muncul pertarungan ideologi yang pro dan anti komunis yang selanjutnya secara terbuka terjadi konflik sipil di tahun 1978 dan perang saidara di antara berbagai kelompok suku Afghanistan. Lebih dari 1 juta warga Afghanistan meninggal dunia akibat konflik ini, namun Uni Soviet berhasil di pukul mundur tahun 1992.12

Kemudian tahun 1996 Taliban merebut ibukota Afghanistan, Kabul, dan mendirikan Islamic Emirate of Afghanistan yang hanya mendapat pengakuan dari Arab Saudi, Pakistan, dan Uni Emirat Arab. Sedangkan Islamic State of Afghanistan masih tetap diakui internasional sebagai pemerintahan yang berdaulat. Konflik sipil antara Taliban dengan pemerintah Afghanistan ini yang

11 Ibid., Zurcher, et. al.,, 2013, Hlm. 131.

12http://wilsonquarterly.com/quarterly/spring-2014-afghanistan/interactive-timeline-war-in- afghanistan/

(7)

kemudian memperpanjang sejarah kelam perang sipil di Afghanistan. Akar konflik di Afghanistan adalah konflik etnis.

Mulai muncul keterlibatan AS yang pada tahun 1998 meuncurkan serangan rudal di pangkalan militansi Afghanistan, Osama Bin Laden, yang dituduh telah membom kedutaan besar AS di Afrika.13 Pendudukan Taliban di Afghanistan menjadi legitimasi bagi AS dan negara sekutu untuk melakukan intervensi kemanusiaan di Afghanistan. Ditambah dengan tragedi 9/11 tahun 2001 di AS sekaligus menjadi turning point peningkatan intervensi militer AS di Afghanistan. PBB tidak ambil diam atas konflik tersebut, hingga pada Desember 2001 kelompok berkonflik di Afghanistan bersepakat untuk menandatangai Bonn Agreement yang berarti untuk menghentikan pertarungan dan membentuk

pemerintahan sementara.14

Di tahun 2001 ini awal dari major peacebuilding operations, yakni operasi binadamai yang dilakukan secara besar-besaran oleh PBB. Tujuannya adalah untuk menyebarkan oeprasi perdamaian dan misi perdamaian ke daerah-daerah rentan dan pasca konflik untuk membantu menciptakan perdamaian berkelanjutan.15 Hamid Karzai ditunjuk sebagai pemimpin interim di Afghanistan hingga selanjutnya secara resmi menjadi kepala negara di Afghanistan setelah pemilu tahun 2004.

13 http://www.bbc.com/news/world-south-asia-12024253

14 http://www.bbc.com/news/world-south-asia-12024253

15http://www.canadainternational.gc.ca/prmny-mponu/canada_un-canada_onu/positions- orientations/peace-paix/peace-operations-paix.aspx?lang=eng

(8)

Analisis Kegagalan Binadamai di Afghanistan

Kegagalan binadamai di Afghanistan dapat dilihat melalui indikator- indikator berikut ini. Pertama tingkat GDP Afghanistan yang rendah, yakni peringkat 13 terbawah. GDP per kapita Afghanistan tahun 2013 adalah sebesar US$ 660, US$ 654 di tahun 2014, dan US$ 615 di tahun 2015.16 Padahal, di posisi teratas ditempati oleh Luxemburg dengan GDP perkapita sebesar US$ 103,187 di tahun 2015.17 Beirkut ini adalah data dari World Bank terkait dengan tingkat GDP di Afghanistan.

Tingkat GDP di Afghanistan.

Gambar 1. Tingkat GDP Afghanistan dari 2006-2014 Sumber : http://data.worldbank.org/country/afghanistan

Gambar 2. GDP Afghanistan dalam Angka Sumber : http://data.worldbank.org/country/afghanistan

16 http://knoema.com/sijweyg/gdp-per-capita-ranking-2015-data-and-charts

17 http://knoema.com/sijweyg/gdp-per-capita-ranking-2015-data-and-charts

(9)

Kedua, outcome demokrasi di Afghanistan. Tingkatan demokrasi menjadi salah satu indikator bahwa binadamai di Afghanistan tidak berbuah demokrasi.

Level demokrasi di Afghanistan adalah rendah jika dibandingkan dengan negara- negara lain di dunia. Gambar di bawah ini merupakan perbandingan level demokrasi Afghanistan dengan negara-negara dunia.

Gambar 3. Level Demokrasi di Afghanistan

Sumber : http://knoema.com/GDI2015JAN/democracy-index-2014?country=1001570-afghanistan

Tabel 1. Level Demokrasi di Afghanistan menurut Freedom House Sumber: https://freedomhouse.org/report/freedom-world/2012/afghanistan-0

Ketiga, tingkat indeks pembangunan manusia di Afghanistan. Melalui indeks pembangunan manusia, dapat melihat sejauh mana pembangunan yang

• 2012 Score

• Status : Not Free

• Freedom Rating 6.0 (1=Best, 7=worst)

• Civil Liberties

6.0 (1=Best, 7=Worst)

• Political Rights 6.0 (1=Best, 7=Worst)

(10)

dilakukan di oleh pemerintah Afghanistan. Berdasarkan data UNDP, di tahun 2002, skor HDI (Human Development Index) Afghanistan mendapatkan skor 0.345. Pada tahun 2015, HDI Afghanistan berada pada ranking 169 dari 187 negara dunia.18

Indikator yang keempat adalah high adoption cost, low action. Yaitu, biaya yang dibutuhkan dalam pelaksanaan misi binadamai disebut sebagai adoption cost. Adoption cost Afghanistan adalah yang tertinggi pada tahun tersebut, yakni periode 2002-2006. Namun, cost tersebut tidak diimbangi dengan hasil yang dicapai. Adoption cost justru dijadikan ‘ladang’ finansial bagi elit politik di Afganistan. Tingginya biaya binadamai terlihat dalam gambar berikut:

Gambar 4. Adoption Cost dalam misi-misi binadamai antara tahun 2002-2006 Sumber : Zurcher, et al., 2013.

Dari keempat indikator tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwasanya binadamai yang dilaksanakan di Afghanistan pasca perang sipil adalah gagal dan tidak membuahkan demokrasi. Untuk menganalisis faktor-faktor penyebab kegagalan binadamai di Afghanistan, penulis menggunakan konsep postwar

18 http://www.undp.org/content/undp/en/home/librarypage/hdr/2014-human-development- report.html

(11)

democratic transition. Penulis menggunakan lima faktor penyebab kegagalan demokratisasi di Afghanistan yang diuraikan pada bagian berikut ini.

1. Afghanistan: Kapasitas Administrasi Rendah, Tingkat Korupsi Tinggi Kapasitas administrasi dan tingkat korupsi menjadi faktor penting penyebab kegagalan demokratisasi dalam binadamai pasca konflik. Afghanistan memiliki kapasitas adminitrasi yang rendah. Hal itu terbukti melalui tingginya korupsi di Afghanistan. Konflik dan korupsi adalah dua hal yang berjalan beriringan.

Keduanya merupakan konsep yang saling berkaitan. Konflik dapat berpengaruh pada tingkat korupsi di suatu negara. Pun sebaliknya, tingginya tingkat korupsi memicu kesenjangan sosial yang dapat berujung pada konflik. Analis kebijakan di seluruh dunia kembali berfikir akan implikasi korupsi bagi perdamaian di sebuah negara.

Transparency International tahun 2014 menyebutkan Afghanistan sebagai salah satu negara dalam indeks persepsi korupsi terkecil. Indeks persepsi korupsi (IPK) adalah cerminan suatu negara atas persepsi publik terhadap korupsi elit politik yang menduduki jabatan fungsional pemerintahan. Sekalipun IPK ini tidak bisa menjadi satu-satunya acuan mengenai tingkat korupsi suatu negara, namun bisa menjadi referensi tingkat korupsi. Afghanistan berada di posisi keempat IPK terendah setelah Somalia, Korea Utara, dan Sudan.19

Korupsi muncul sebagai salah satu faktor kegagalan demokratisasi di Afghanistan. Adanya korelasi antara korupsi, instabilitas politik, dan konflik menjadi penguat mengapa korupsi adalah faktor penting yang perlu diperhatikan dalam proses binadamai. Terlebih ketika aliran dana dalam proses binadamai tidaklah kecil. Maka, ketika dana tersebut tidak tersalurkan dengan baik akibat adanya korupsi, maka proses demokratisasi dalam binadamai pun sulit untuk dicapai.

Ketika kontrak sosial dalam suatu negara lemah, mendorong angka korupsi yang tinggi. Hal itu pula yang menyebabkan proses binadamai tidak berjalan

19 World Bank, 2011, Hlm. 7-8 dalam International, T. (2015). Corruption Perception Index.

(daring), <https://www.transparency.org/cpi2014/results> diakses pada 29 September 29, 2015

(12)

mulus dan bahkan cenderung memantik konflik baru. Negara berkewajiban untuk menjamin kesejahteraan masyarakat, namun hal itu sulit tercapai karena, lagi-lagi, penyalahgunaan wewenang para elit pemegang kekuasaan. Kondisi tersebut memicu kekecewaan. Maka, dari ulasan tersebut dapat disimpulkan bahwa negara yang terindikasi tinggi tingkat korupsinya memiliki sistem politik, administrasi publik, dan lembaga ekonomi yang lemah20.

2. Pendekatan Analisa Konflik Sipil Afghanistan yang Tidak Tepat Sasaran Dalam pelaksanaan aktivitas binadamai, penting untuk melihat akar penyebab konflik di Afghanistan. Sehingga penyelesaian konflik dapat dilakukan secara maksimal. Banyak asumsi yang bermunculan dalam melihat konflik di Afghanistan. beberapa pengkaji melihat bahwa konflik di Afghanistan adalah konflik etnis, sehingga metode penyelesaiannya adalah melalui etnis-etnis yang berkonflik. Namun, kebanyakan melihat bahwa perebutan kekuasaan antara etnis, yang dipicu dengan adanya sistem pemerintahan yang tidak demokratis. Kondisi yang seringkai menjadi dasar diberlakukannya demokratisasi di Afghanistan.

Menurut Zurcher, penyelesaian konflik di Afghanistan tidak dapat hanya melihat dari dua kondisi tersebut. Kondisi lokal di Afganistan mempengaruhi praktik binadamai. Banyaknya kelompok-kelompok militan di Afghanistan, menjadikan konflik etnis sulit untuk dikendalikan. Tier Warlord, yakni adanya keterlibatan militer dalam pemerintahan menjadi pemicu konflik di Afghanistan terus berlangsung. Selain itu, regional strongmen yang ada di Afghanistan menjadi aktor penting dalam konflik di Afghanistan. Regional strongmen melihat visi peacebuilder adalah ancaman atas otonominya dan wilayah kekuasannya (lahan). Di sisi lain, regional strongmen dan warlord dijadikan sebagai alat bagi pihak internasional yang ingin berkepentingan dalam konflik, salah satunya Amerika Serikat yang memberikan dukungan terhadap regional strongmen dan warlord. Banyak regional strongmen dan warlord menerima dukungan

20 Ibid., Transparency International, 2014, Hlm. 16.

(13)

substansial dari Amerika Serikat.21 Misalnya, warlord yang mendukung kebijakan war on terror Amerika Serikat akan mendapatkan assistance. Kondisi yang

demikian seringkali luput dari sudut pandang aktivis perdamaian.

Konflik sipil di Afghanistan merupakan konfik yang rumit. Akar penyebab konflik pun beragam. Keterlibatan Taliban dan Al-Qaeda menjadi faktor penting untuk dianalisis dalam mencari penyelesaian konflik. Ditambah dengan invasi militer Amerika Serikat pasca 9/11 yang justru menambah runyam kondisi perpolitikan di Afghanistan. Ketika dunia internasional menitikfokuskan pada Al- Qaeda dengan memborbardir Afghanistan, justru menimbulkan masalah baru.

Perang sipil di Afghanistan terjadi antara 1996-2001 yang mana berakhir secara ambigu. Selama menjadi negara transisi, antara tahun 2001-2004, Afghanistan dipimpin oleh Hamid Karzai. Namun, Presiden Karzai juga enggan untuk melepaskan jaringan patronase di Afghanistan.22 Jaringan patronase23 seperti ini juga dapat dengan mudah memicu konflik karena adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintahan yang sedang berjalan.

3. Afghanistan dan Neighborhood Matters

Faktor spillover kawasan juga mempengaruhi proses demokratisasi paska perang. Mekanisme spillover di Afghanistan melalui penularan konflik dan dukungan aktor regional.24 Stabilitas kawasan/neighborhood yang buruk membahayakan proses demokratisasi paska perang. Presiden Karzai yang terpilih dalam Bonn Agreement juga tidak lebih baik dari pemerintahan sebelumnya dalam menghadapi Taliban dan spillover konflik di negara-negara tetangga.

Afghanistan berbatasan langsung dengan Iran, Pakistan, Tajikistan, Turkmenistan, Uzbekistan, dan Cina. Afghanistan juga berbatasan dengan Kashmir, kawasan konflik yang diperebutkan oleh India dan Pakistan. Terlepas

21 Op. Cit., Zurcher, et. al., 2013.

22 Op. Cit., Zurcher, et. al., 2013.

23 Patronase adalah hubungan antara apa yang disebut sebagai ‘patron’ dan ‘klien’.

24 Op. Cit., Zurcher, et. al., 2013, Hlm. 103.

(14)

dari kekuatan regional, dua negara di kawasan Afghanistan dapat secara signifikan mempengaruhi konflik Afghanistan, yakni Pakistan dan Iran.

Pakistan misalnya, yang memegag peranan penting dalam mensponsori kekuatan untuk Taliban sehingga memegang kunci stabilitas di Afghanistan.25 Hubungan keduanya telah renggang, yang mana Pakistan menyalahkan Afghanistan atas tuduhannnya telah menyembunyikan teroris di wilayahnya.

Sementara Afghanistan menyalahkan Islamadan yang menjadi kendalam perdamaian dan stabilitas di Afghanistan.26

Di sisi lain, Iran juga memiliki kepentingan strategis yang signifikan di Afghanistan. DI beberapa waktu silam, Iran mendukung kelompok-kelompok Syiah. Iran juga berkepentingan untuk mendukung pemerintahan pasca Najibulloh. Namun, pasca 2001 Iran melihat Afghanistan sebagai pro AS.27

Berbeda dengan Pakistan yang memberikan dukungan terhadap Taliban, Iran di posisi yang sebaliknya. Iran melihat Taliban sebagai perpanjangan tangan dari Pakistan dan Arab Saudi. Oleh karenanya, Iran cenderung melawan pendudukan Taliban di Afghanistan. Di periode konflik sipil Afghanistan, tahun 1996-2001, Iran memberikan dukungan terhadap Northern Alliance dan meng- counter dominasi Taliban.28

Melalui penjelasan di atas, terlihat bahwa negara-negara di kawasan Asia Barat sangat mengambil peranan penting akan terjadinya stabilitas di Afghanistan.

Selain berdampak pada preferensi demokrasi, spillover konflik juga memberikan efek terhadap adoption cost. Biaya pelaksanaan binadamai menjadi semakin besar, karena aktivitasnya terhambat karena instabilitas kawasan yang secara langsung memberikan efek terhadap demokratisasi.

25 Smruti S. Pattanaik, 2013, Afghanistan and Its Neighbourhood, Institute fo Defense Studies and Analyses, Hlm. 14

26 Ibid., Pattanaik, 2013, Hlm. 19.

27 Ibid., Pattanaik, 2013, Hlm. 20.

28 Ibid., Pattanaik, 2013, Hlm. 20.

(15)

4. Pelaksanaan Mandat Peacebuilding di Afghanistan, Sudahkah Memadai?

Major peacebuilding operations di Afghanistan secar aresmi dilakukan pada periode 2002-2006 yang mana pada saat itu kualitas demokrasi di Afghanistan adalah electoral authoritarian dengan unstable democratic.29 Zurcher menyebutkan bahwa jenis konfliknya adalah konflik identitias untuk perebutan kekuasaan dengan jumlah pemberontah lebih dari satu.

Skala misi peacebuilding di Afghanistan dalam periode 2002-2006 adalah US$ 8,000,000 dengan totoal personil baik sipil maupun militer tercatat sebanyak 28, 905 orang.30 Saat itu populasi di Afghanistan sebanyak 27,770,000 jiwa.31 Cakupan misinya adalah penegakan perdamaian, reformasi sektor keamanan, dan peningkatan kekuatan legislatif dengan tanpa adanya kepolisian eksekutif dan penguatan power eksekutif.32 Lama mandat binadamai yang dijalankan di Afghanistan adalah selama 105 bulan.

Mandat binadamai di Afghanistan diantaranya adalah33

• Rekonstruksi untuk pihak-pihak yang rentan

• Pembiayaan untuk program reintegrasi

• Membangun local governance yang kuat

• Mendesain keseimbangan etnis dan institusi keamanan profesional

• Menguatkan institusi di level grass roots untuk resolusi

• Memberdayakanpemimpin sipil

• Membangun ketertiban hukum

• Promote dinamika pemimpin lokal (pemuda dan perempuan)

• Menekankan komitmen finansial dan politik yang berkelanjutan

Dari mandat tersebut, terlihat bahwa proyek binadamai terlalu ambisius dan kurang peka melihat kondisi riil di Afghanistan. sedangkan implementasi mandat, dari segi personil kurang memadai. Lebih dari itu, kondisi politik domestik di Afghanistan membutuhkan penanganan yang lebih spesifik. Karena banyak local strongmen dan warlord yang justru mengambil peluang dengan adanya proyek binadamai ini. Maka, dapat disimpulkan bahwa, mandat binadamai

29 Op. Cit., Zurcher, et al., 2013, Hlm. 12.

30 Op. Cit., Zurcher, et al., 2013, Hlm. 60.

31 Op. Cit., Zurcher, et al., 2013, Hlm. 60.

32 Op. Cit., Zurcher, et al., 2013, Hlm. 60.

33 Op. Cit., Zurcher, et.al., 2013.

(16)

yang terlalu ambisius dengan tanpa memperhatikan pola implementasinya, justru membawa pada kegagalan demokraitsasi di Afghanistan.

5. Elit Politik Domestik Afghanistan vs Aktivis Perdamaian

Dalam proses binadamai, penting untuk melihat interaksi antara elit politik domestik dengan aktivis perdamaian. Aktor-aktor yang pentignuntuk dilibatkan adalah pemerintah pusat, masyarakat sipil, kelompok pemberontak, elit politik internasional atau regional, dan aktivis perdamaian. Menurut Zurcher dkk (2013), untuk menyukseskan proyek binadamai, penitng untuk menjalin interaksi aktor- aktor tersebut, khususnya adalah elit politik domestik Afghanistan dan aktivis perdamaian.

Ketika dua aktor penting tersebut memiliki preferensi yang sama, yakni demokratisasi, maka akan mudah melakukan pencapaian tersebut. Namun, apa yang terjadi di Afghanistan adalah suatu hal yang paradoks. Di negara yang mengalami perang sipil yang lama, memiliki ketidakpercayaan sosial yang tinggi, serta proses binadamai yang diambil dengan pendekatan comunity-based yang lebih pada local strongmen dan warlord, memunculkan kondisi paradoks. Yakni, di satu sisi kerjasama dengan local strongmen dan warlord hanya menyentuh sebagian kecil tanpa konsensus lokal. Sementara di sisi lain, hal itu mencoba membuat lanskap politik yang lebih inklusif.34

Menyoroti kontradiksi tersebut, justru lokal politik domestik Afghanistan mengambil kesempatan guna mencapai kepentingannya. Banyaknya aliran dana yang mengalir ke Afghanistan menjadi pintu bagi elit politik untuk mendapatkan dana. Asumsi pelaku binadamai di Afghanisan adalah dengan menjalin kerjasama dengan elit politik domestik termasuk local strongmen dan warlord, maka diharapkan dapat memperlancar demokratisasi di Afghanistan.35 Di satu sisi, mereka berkepentingan terhadap aliran dana, di sisi lain mereka juga memiliki

34 Ibid., Marika Theros, 2012., Hlm. 1.

35 Roger Mac Ginty, 2010, Warlords and The Loberal Peace: State-building in Afghanistan,

<http://www.gsdrc.org/document-library/warlords-and-the-liberal-peace-state-building-in- afghanistan/> diakses pada 1 Januari 2016.

(17)

kepentingan untuk melanggengkan kekuasaan di Afghanistan. Sedangkan aktivis perdamaian melalui mandat binadamainya berusaha untuk menciptakan perdamaian yang berkelanjutan dan instalasi demokrasi di Afghanistan. Maka, sulit untuk mencapai persamaan preferensi antara elit politik domestik dan aktivis perdamaian di Afghanistan.

Di Afghanistan, otoritas politik terfragmentasi baik secara internal maupu eksternal, yang mana masing-masing aktor tersebut mmiliki kepentingan dan agenda sendiri-sendiri. Maka semakin sulit untuk mengidentifikasi mana yang memiliki kepemilikan, kekuasan, dan yang tidak akuntabel. Kurangnya kejelasan dalam peran dan tanggung jawab memungkinkan elit politik, domestik maupun asing mengalihkan tanggung jawab dan melarikan diri dari tanggung akuntabilitas.

Seorang pejabat tingkat tinggi di Afghanistan bahkan menyarankan bahwa skenario binadamai terbaik adalah dengan memufungsikan koalisi antar panglima perang yang berbeda dan kelompok militansi lain, atau disebut dengan pendekatan tier warlord, karena tidak bisa untuk melakukan perbaikan langsung pada sistem di Afghanistan.36 Pendekatan ini yang kurang dijamah oleh para aktivis perdamaian. Peacbuilders terlalu system-centered dalam melakukan proses binadamai.

Namun, melalui pendeketan tier warlord, banyak masyarakat yang kontras. Masyarakat melihat bahwa warlodisme adalah titik pangkal ketidakamanan yang ada di Afghanistan. masalah korupsi, pemerintahan yang predator, warlodisme, dan ekonomi politik ekslusif menjadi pemicu utama ketidakamanan dan perekrutan kelompok militansi Taliban.37

Sedangkan pendekatan sistem juga tidak bisa dengan mudah diaplikasikan di Aghanistan. Demokrasi, alih-alih memberikan kebebasan kepada rakyat, sebaliknya, kelompok masyarakat yang tidak sejalan dengan kepentingan elit banyak mendapatkan tekanan dan kekerasan. Masyarakat internasional berbicara

36 Marika Theros, 2012, Understanding Local Ownership in Peacebuilding Operations in Afghanistan, Berlin: Friedrich Ebert Stiftung, Hlm. 8

37 Ibid., Marika Theros, 2012., Hlm. 9.

(18)

hanya untuk kalangan elit politik asing, pejabat pemerintah, dan pelaku bersenjata, sedangkan masyarakat di lingkar yang lebih luas lagi, yang suaranya tidak terwakili, tidak memiliki legitimasi yang luas.38 Salah satu pendapat dari elit Afghanistan mengatakan bahwa

“Dari awal, pemain internasional hanya mendukung para panglima perang (warlord). Dan ketika ada kunjungan dari donatur asing, mereka menemui komandan perang dan mengabaikan masyarakat sipil dan pasukan demokratis”39

Tensi kepentingan politik domestik dan internasional semakin dalam dari waktu ke waktu dan mengisi ruang pasca invasi AS ke Afghanistan tahun 2001.

Di negara yang mengalami perang sipil yang lama, memiliki ketidakpercayaan sosial yang tinggi, serta proses binadamai yang diambil dengan pendekatan comunity-based yang lebih pada local strongmen dan warlord, memunculkan kondisi paradoks. Yakni, di satu sisi kerjasama dengan local strongmen dan warlord hanya menyentuh sebagian kecil tanpa konsensus lokal. Sementara di sisi lain, hal itu mencoba membuat lanskap politik yang lebih inklusif.40

Penutup

Dari uraian di atas, disimpulkan bahwasanya binadamai di Afganistan adalah contoh binadamai yang gagal dengan beberapa empat indikator kegagalan yang telah dijelaskan di atas. Empat indikator kegagalan tersebut diantaranya adalah tingkat GDP yang masih rendah yang menunjukkan bahwa kondisi ekonomi masih belum stabil, oucome demokrasi yang rendah, indeks pembangunan manusia, dan high adoption-low action. Kesimpulan yang kedua, faktor-faktor kegagalan binadamai di Afghanistan yang tidak berbuah demokrasi ada lima diantaranya adalah, yang pertama kapasitas administrasi rendah dan tingkat korupsi tinggi; kedua pendekatan analisa konflik sipil yang tidak tepat sasaran; ketiga kondisi geopolitik Afghanistan; keempat pelaksanaan mandat peacebuilding yang tidak memadai; dan yang kelima adalah tidak adanya

38 Ibid., Marika Theros, 2012., Hlm. 9.

39 Ibid., Marika Theros, 2012., Hlm. 9.

40 Ibid., Marika Theros, 2012., Hlm. 1.

(19)

persamaan preferensi antara elit politik domestik Afghanistan dengan aktivis perdamaian. Dari uraian tersebut dapat diambil satu kesimpulan utama yakni ada

“pemerkosaan” instalasi demokrasi dalam proses binadamai di Afghanistan.

REFERENSI

Carnegie Endowment For International Peace. (2014). Corruption, The Unrecognized Threat to International Security. Washington DC: Carnegie Endowment for International Peace.

MacGinty, Roger, 2010, Warlords and The Loberal Peace: State-building in Afghanistan, <http://www.gsdrc.org/document-library/warlords-and-the- liberal-peace-state-building-in-afghanistan/> diakses pada 1 Januari 2016.

ECD. (2009). Integrity in Statebuilding Anti-Corruption with a Statebuilding Lens. Paris: OECD.

Pattanaik, Smruti S., (2013), Afghanistan and Its Neighbourhood, Institute fo Defense Studies and Analyses.

Shah, Anup, (2014), Foreign Aid for Development Assistance, (daring),

<http://www.globalissues.org/article/35/foreign-aid-development- assistance> diakses pada 20 Desember 2015.

Marika Theros, 2012, Understanding Local Ownership in Peacebuilding Operations in Afghanistan, Berlin: Friedrich Ebert Stiftung.

Transparency International. (2014). Corruption as A Threat to Stability and Peace. London: Transparency International Deutschland.

Transparency International. (2015). Corruption Perception Index. Retrieved September 29, 2015, from Transparency Web site:

https://www.transparency.org/cpi2014/results

World Bank, 2011, Hlm. 7-8 dalam International, T. (2015). Corruption

Perception Index. (daring),

<https://www.transparency.org/cpi2014/results> diakses pada 29 September 29, 2015

(20)

Zurcher, Christoph, et. al, 2013, Cotly Democracy: Peacebuilding and Democratization After War, Tansford: Stanford University Press, Hlm. 20.

Website

http://www.theguardian.com/news/datablog/2014/jun/18/global-peace-index- 2014-every-country-ranked

http://wilsonquarterly.com/quarterly/spring-2014-afghanistan/interactive-timeline- war-in-afghanistan/

http://www.bbc.com/news/world-south-asia-12024253

http://www.canadainternational.gc.ca/prmny-mponu/canada_un-

canada_onu/positions-orientations/peace-paix/peace-operations- paix.aspx?lang=eng

 http://knoema.com/sijweyg/gdp-per-capita-ranking-2015-data-and-charts

 http://www.undp.org/content/undp/en/home/librarypage/hdr/2014-human development-report.html

Referensi

Dokumen terkait

2. Kongres Pemuda Kedua adalah kongres pergerakan pemuda Indonesia yang melahirkan keputusan yang memuat ikrar untuk mewujudkan cita-cita berdirinya negara Indonesia, yang

Lingkungan internal yang menjadi kekuatan KRB adalah (1) pusat konservasi ex-situ , (2) panorama arsitektur lanskap yang bernuansa alami, (3) KRB memiliki aksesbilitas tinggi

Disahkan dalam rapat Pleno PPS tanggal 26 Februari 2013 PANITIA PEMUNGUTAN SUARA. Nama

Oleh karena itu bagi lembaga pendidikan yang mengembangkan pendidikan vokasi tidak perlu minder dan kemudian mengubah menjadi pendidikan akademik, karena akan

Selain dari beberapa karya di atas, Fazlur Rahman pernah menulis artikel yang berjudul “Iqbal in Modern Muslim Thoght” Rahman mencoba melakukan survei terhadap

Dengan mempertimbangkan pilihan-pilihan adaptasi yang dikembangkan PDAM dan pemangku kepentingan, IUWASH juga merekomendasikan untuk mempertimbangkan aksi-aksi adaptasi

Teknik spyware yang bertujuan untuk memonitor dan merekam semua paket data yang melewati jaringan dikenal dengan.. Teknik spyware yang bertujuan untuk mengubah paket data

︶ではなく、パーソナルコンピュータではなく、インターネットをベースにしたコミュニケー architecture