• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keywords : Cumulonimbus, Thunderstorm, Stability indices, Threshold

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Keywords : Cumulonimbus, Thunderstorm, Stability indices, Threshold"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENENTUAN NILAI AMBANG INDEKS STABILITAS UDARA UNTUK

KEJADIAN AWAN CUMULONIMBUS DAN

THUNDERSTORM

DI STASIUN

METEOROLOGI HASANUDDIN – MAROS

Agusmin Hariansah1,2, Endarwin2 1Stasiun Meteorologi Bandaneira - Banda

2Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta

Email: agusminhariansah@yahoo.com

Abstrak

Dalam melakukan prakiraan cuaca, khususnya prakiraan cuaca jangka pendek, kondisi

stabilitas atmosfer sangat diperhitungkan. Kondisi stabilitas udara dilihat dari indeks-indeks

stabilitas yang dapat dijadikan acuan untuk menentukan kondisi cuaca kedepannya, seperti

kuat lemahnya konveksi untuk melihat seberapa kuat awan Cumulonimbus (CB) untuk

tumbuh serta potensi pembentukan

thunderstorm (TS) sehingga diperlukan ambang batas

indeks yang sesuai dalam penentuan kondisi tersebut. Dalam penelitian ini, digunakan data

observasi serta data Total - Totals (TT) dan Convective Available Potential Energy (CAPE)

selama 5 tahun (Jan, Feb, Mar, Okt, Nov dan Des 2010-2014), yang kemudian dilakukan

perhitungan statistik untuk menetukan interval dan ambang batasnya. Setelah diperoleh

ambang batas baru, kemudian dilakukan uji performa pada tahun 2015. Berdasarkan hasil

penelitian dari Ambang Batas Baru (ABB), kejadian CB dan TS sudah dapat terjadi pada

indeks TT > 40 dan CAPE > 500. Namun, jika ditinjau pada periode penerapannya, ABB

memiliki performa lebih baik pada siang hari dibandingkan malam hari.

Hal tersebut

mengindikasikan bahwa ABB dari indeks TT dan CAPE mampu meningkatkan sensitivitas

dalam mendeteksi kejadian CB dan TS.

Kata kunci:

Cumulonimbus, Thunderstorm, Indeks stabilitas, Ambang batas

Abstract

In doing weather forecasts, especially short-term weather forecasting, atmospheric

stability conditions very calculated. Air stability condition can be viewed from the stability

indices that can be used as a reference to determine the weather conditions in the future,

such as the strength of convection to see how powerful the cloud Cumulonimbus (CB) to

grow as well as the potential formation of thunderstorm (TS) so that the required threshold

corresponding index in the determination the condition. In this study, used observational

data and Totals - Totals (TT) and Convective Available Potential Energy (CAPE) for 5 years

(Jan, Feb, Mar, Oct, Nov and Des 2010-2014), who then performed statistical calculations

to determine interval and thresholds. Having obtained the new threshold, then do the

performance test in 2015. Based on the results of the New Threshold (ABB), the incidence

of CB and TS already can occur at TT index > 40 and CAPE > 500. However, if viewed in

the period of application, ABB has performed better during the day than night. This indicates

that ABB from TT index and CAPE able to increase the sensitivity in detecting the incidence

of CB and TS.

(2)

2

I. PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang didominasi oleh lautan sekitar 70%, sehingga sistem cuaca dan iklim di Indonesia sebagian besar dipengaruhi oleh interaksi antara lautan dan atmosfer (Tjasyono, 2008). Selain itu, karakteristik tiap daerah di wilayah Indonesia yang berbeda juga akan berdampak pada ketidakseragaman antara cuaca di daerah yang satu dan yang lainnya. Potensi terjadinya berbagai bencana alam juga meningkat dari tahun ke tahun dan salah satu penyebab dari segi hidrometeorologisnya adalah cuaca buruk (severe weather) (Zamzami dan Hendrawati, 2011).

Cuaca buruk merupakan suatu fenomena alam yang terjadi akibat kondisi atmosfer yang tidak stabil. Salah satu bentuk cuaca buruk sering dikaitkan dengan adanya aktivitas pembentukan awan konvektif seperti awan Cumulonimbus (CB). Awan CB merupakan awan konvektif dengan bentuk menjulang tinggi secara vertikal, bewarna abu gelap dan padat. Awan ini terbentuk dari ketidakstabilan atmosfer. Awan Cumulonimbus mampu tumbuh menjulang menyerupai menara di mana pada bagian atas terbentuk es yang jika semakin berkembang pada puncak awan akan memanjang menyerupai landasan (Lutgens, 2010). Kondisi tersebut dapat menggambarkan tahap matang (mature stage) pada awan Cumulonimbus dimana selanjutnya akan muncul fenomena cuaca yang signifikan seperti badai guntur (thunderstorm), downburst, turbulensi dan sebagainya.

Badai Guntur (thunderstorm) merupakan fenomena kelistrikan udara berupa pelepasan muatan listrik yang terjadi di udara karena adanya perbedaan medan listrik antara dua massa dengan muatan listrik yang berbeda untuk mencapai kesetimbangan (Griffith, 1995). Pelepasan muatan atau petir dapat terjadi di dalam awan, antara awan dengan awan dan antara awan dan permukaan bumi (Wahid, 2009). Jika perbedaan potensial antara awan dan bumi atau awan lainnya cukup besar, maka akan terjadi pelepasan muatan negatif (elektron) melalui media udara dari awan ke bumi ataupun sebaliknya untuk mencapai kesetimbangan. Muatan negatif (elektron) yang dilepaskan kemudian bergerak melalui media udara apabila mampu

menembus batas isolasi udara, maka akan terjadi ledakan suara. Ledakan suara inilah yang biasanya terdengar dan disebut sebagai guntur. Badai guntur (thunderstorm) seringkali diawali oleh adanya kilatan cahaya (lightning). Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan antara kecepatan cahaya dan kecepatan suara.

Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menetukan ketidakstabilan atmosfer diantaranya dengan melihat nilai dari indeks stabilitas yang didapat dari hasil pengamatan Radiosonde seperti TT (Total- Totals) dan CAPE (Convective Available Potential Energy). Nilai yang kerap dijadikan sebagai ambang batas indeks stabilitas atmosfer pada teori di buku The Use of The Skew T, Log P diagram in Analysis and Forecasting tersebut tidak bisa sepenuhnya dijadikan nilai mendasar (Pratama, 2015). Hal ini dikarenakan karakteristik stabilitas udara tiap daerah berbeda antara satu dengan yang lain. Oleh karena itu, diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai penentuan nilai ambang batas yang sesuai sebagai acuan dalam pembuatan prakiraan khususnya prakiraan cuaca jangka pendek (nowcasting).

Terkait upaya penentuan nilai ambang indeks stabilitas udara, pada dasarnya telah terdapat penelitian yang dilakukan sebelumnya di beberapa daerah salah satunya di wilayah Makassar. Namun demikian, pada penelitian tersebut hanya menggunakan dua indeks stabiltas atmosfer yaitu Showalter Index (SI) dan K-Index (KI) (Penelitian dilakukan oleh Laode Bangsawan pada tahun 2015). Atas dasar tersebut, pada penelitian ini akan dikaji dan ditentukan nilai ambang parameter indeks stabilitas udara lainnya terkait pembentukan awan Cumonimbus (CB) dan thunderstorm (TS) di wilayah Stasiun Meteorologi Hasanuddin – Maros.

Diketahui bahwa frekuensi kejadian terbanyak dari awan CB dan TS di wilayah Makassar berada pada bulan Januari, Februari, Maret, Oktober, November dan Desember (seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.1a dan 1.1b). Oleh karena itu, fokus pada penelitian ini dilakukan pada bulan - bulan tersebut.

(3)

3 (a) (b)

Gambar 1.1 Frekuensi Kejadian CB Tahun 2010-2014 (a) dan Frekuensi Kejadian TS Tahun 2010-2015 (b) pada wilayah Stasiun Meteorologi Hasanuddin

II. DATA DAN METODE 2.1 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian akan dilakukan pada area dengan luas 343 km2 yang terdapat di

wilayah Maros. Pusat dari area tersebut adalah Stasiun Meteorologi Hasanuddin yaitu dengan koordinat 05o 0442’’ Lintang Selatan dan 119o

35’ 58’’ Bujur Timur.

2.2 Data

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Data pengamatan permukaan (synop) tiap tiga jam (00, 03, 06, 09, 12, 15, 18, 21 UTC) pada waktu yang sama, yaitu data tentang keadaan cuaca yang sedang terjadi pada saat pengamatan (ww) khususnya terjadinya thunderstorm. Selain itu juga diperlukan data jenis awan khususnya awan Cumulonimbus.

2. Data udara atas berupa TT dan CAPE yang didapat dari pengamatan radiosonde pada jam 00 dan 12 UTC di Stasiun Meteorologi Hasanuddin dan kemudian diolah menggunakan aplikasi Raob dan Microsoft

Excel. Data yang digunakan selama 6 (enam) tahun yaitu dari 2010 – 2015 pada bulan Januari, Februari, Maret, Oktober, November dan Desember.

2.3 Metode Penelitian

Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini akan diuraikan sebagai berikut: 1. Mengelompokkan kondisi cuaca aktual

(present weather) seperti yang dicantumkan pada Tabel 3.2 di atas terhadap indeks TT dan CAPE sesuai jam pengamatannya. Untuk parameter labilitas udara yang dihasilkan dari pengamatan radiosonde pada pukul 00 UTC, dilakukan perbandingan dengan kondisi cuaca aktual 12 jam ke depan. Begitu juga untuk pengamatan radiosonde pukul 12 UTC dengan melakukan perbandingan dengan kondisi cuaca actual 12 jam ke depan. 2. Menganalisis serta mengelompokkan nilai

indeks TT dan CAPE terhadap kejadian awan Cumulonimbus dan thunderstorm. 3. Menentukan ambang batas (threshold) baru

pada parameter TT dan CAPE terhadap kejadian CB dan TS dengan menggunakan persamaan Sturges, 1926:

a. Menentukan Jumlah Kelas (Sturges rule).

k = 1 + 3,322 log n ………….(1) Keterangan: k = jumlah kelas

n = jumlah individu b. Menentukan interval tiap kelas

Range (R) = Xn – X1 ………...(2) Keterangan:

R = luas penyebaran (range) Xn = nilai pengamatan tertinggi X1 = nilai pengamatan terendah Interval Kelas = 𝑅𝑎𝑛𝑔𝑒 (𝑅)

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐾𝑒𝑙𝑎𝑠 (𝑘) ...(3) 4. Melakukan perbandingan antara ambang batas baru yang dihasilkan dengan ambang batas lama pada indeks TT dan CAPE terhadap kejadian CB dan TS.

5. Melakukan uji coba atau penerapan pada ambang batas baru dari parameter TT dan CAPE terhadap kejadian awan Cumulonimbus (CB) dan thunderstorm

(4)

4

Jan Feb Mar Okt Nov Des ABL (< 44) 65 51 50 20 30 54 ABB (< 40) 4 5 4 6 7 2 0 20 40 60 80 Ju ml ah K ej ad ia n

Indeks TT pada Kejadian CB 2010 - 2014

Jan Feb Mar Okt Nov Des ABL (> 44) 26 20 17 5 7 28 ABB (> 40) 87 66 63 19 30 80 0 20 40 60 80 100 Ju ml ah K ej ad ia n

Indeks TT pada Kejadian CB 2010 - 2014 (TS) ditahun 2015 kemudian melihat

performa ambang batas baru dengan menggunakan tabel kontingensi 2 x 2 untuk melihat nilai statistik yang diperoleh. Salah satunya yang digunakan pada penelitian ini adalah nilai akurasi (Gustari dkk, 2012).

Tabel 1.Tabel kontingensi 2 x 2

Akurasi merupakan bagian prakiraan yang benar secara keseluruhan. Nilai akurasi antara 0 sampai 1. Prakiraan yang terbaik, jika akurasi mendekati nilai 1. Akurasi dapat dihitung dengan persamaan berikut:

𝐴𝑘𝑢𝑟𝑎𝑠𝑖 =𝐻𝑖𝑡𝑠 + 𝐶𝑜𝑟𝑟𝑒𝑐𝑡 𝑁𝑒𝑔𝑎𝑡𝑖𝑣𝑒𝑠

𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙

6. Melakukan analisis parameter cuaca terhadap peranannya dalam stabilitas atmosfer di wilayah penelitian.

2.5 Diagram Alir Penelitian

Gambar 2.1 Diagram alir

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Perbandingan Jumlah Kejadian Antara Ambang Batas Lama (ABL) Dan Ambang Batas Baru (ABB) 3.1.1 Indeks Total-Totals (TT) Terhadap

Kejadian awan Cumulonimbus (CB)

Melalui pemanfaatan persamaan Sturges, akhirnya dapat diketahui bahwa pada indeks TT diperoleh nilai Ambang Batas Baru (ABB) untuk kejadian awan CB. Analisis dari kemampuan nilai ABB tersebut dapat dilihat jika dilakukan perbandingan dengan nilai Ambang Batas Lama (ABL) yang secara singkat ditunjukkan pada Gambar 3.1.

(a)

(b)

Gambar 3.1 Perbandingan Ambang Batas Lama (ABL) dan Ambang Batas Baru (ABB) Indeks TT Terhadap Kejadian Awan CB

Berdasarkan Gambar 3.1a di atas mengenai perbandingan antara ABL dan ABB pada indeks TT terhadap kejadian awan CB periode 2010 – 2014 bahwa pada ABL dengan indeks TT < 44, jumlah kejadian awan CB pada bulan penelitian berurutan mulai Jan, Feb, Mar, Okt, Nov dan Des masih tergolong cukup banyak dengan jumlah kejadian sebanyak 65, 51, 50, 20, 30, dan 54 kali. Indeks TT < 44

(5)

5

Jan Feb Mar Okt Nov Des ABL (> 44) 26 22 25 10 39 29 ABB (> 40) 66 53 72 40 94 79 0 20 40 60 80 100 Ju ml ah K ej ad ia n

Indeks TT pada Kejadian TS 2010 - 2014 memiliki kriteria kondisi udara yang tidak

stabil dengan intensitas lemah sehingga potensi terbentuknya awan CB seharusnya tidak terlalu signifikan.

Penentuan ABB yang dilakukan salah satunya menghasilkan nilai indeks TT > 40 (menggunakan persamaan Sturges, 1926). Pada Gambar 3.1b dapat dilihat bahwa rentang nilai indeks tersebut potensi pertumbuhan awan CB sudah mulai terjadi dengan jumlah total kejadian berturut-turut dalam bulan penelitian (Jan, Feb, Mar, Okt, Nov dan Des) sebanyak 87, 66, 63, 19, 30 dan 80 kali. Selain itu, hasil lainnya juga diperoleh nilai indeks TT < 40 yang mengalami penurunan jumlah kejadian berturut-turut selama bulan penelitian sebanyak 4, 5, 4, 6, 7 dan 2 kali (Gambar 3.1a).

3.1.2 Indeks Total-Totals (TT) Terhadap Kejadian Thunderstorm (TS)

Nilai Ambang Batas Baru (ABB) pada indeks TT yang sebelumnya diterapkan pada kejadian awan CB kemudian diterapkan juga pada kejadian Thunderstorm (TS). Analisis perbandingan antara ABL dan ABB terhadap kejadian TS dapat ditunjukkan pada Gambar 3.2a dan 3.2b.

(a)

Gambar 3.2a Perbandingan Ambang Batas Lama (ABL) dan Ambang Batas Baru (ABB) Indeks TT Terhadap Kejadian TS

Pada Gambar 3.2a di atas ditampilkan perbandingan antara ABL dan ABB indeks TT terhadap kejadian TS periode 2010 – 2014. Diketahui. Pada ABL dari indeks TT < 44 terhadap kejadian TS menunjukkan jumlah kejadian yang cukup banyak pada bulan penelitian (Jan, Feb, Mar, Okt, Nov dan Des) berturut-turut sebanyak 45, 33, 48, 36, 64 dan 52 kali. Sementara itu, kriteria pada interval

indeks TT < 44 menyatakan ketidakstabilan udara yang lemah sehingga adanya ketidakselarasan antara kriteria terhadap jumlah kejadian dari nilai indeks tersebut.

(b)

Gambar 3.2b Perbandingan Ambang Batas Lama (ABL) dan Ambang Batas Baru (ABB) Indeks TT Terhadap Kejadian TS

Penentuan ABB dari indeks TT terhadap kejadian TS dilakukan untuk menghasilkan ambang batas yang sesuai. Pada interval indeks TT < 40 dari ABB menghasilkan pola yang cukup baik dengan menunjukkan adanya penurunan terhadap jumlah kejadian TS pada bulan penelitian (Jan, Feb, Mar, Okt, Nov dan Des) berturut-turut sebanyak 5, 2, 1, 6, 9 dan 2 kali (Gambar 3.2a). Sedangkan, pada indeks TT > 40 mengalami kenaikan dengan total jumlah kejadian TS berturut-turut pada bulan penelitian sebanyak 66, 53, 72, 40, 94 dan 79 (Gambar 3.2b). Pola yang dihasilkan dari ABB tersebut memberikan gambaran pada ambang batas berapa kejadian TS mulai atau tidak mulai terjadi.

3.1.3 Indeks Convective Available Potential

Energy (CAPE) Terhadap Kejadian

Awan Cumulonimbus (CB)

Selain TT, Penentuan ABB juga dilakukan pada indeks CAPE. Pada Gambar 3.3a dan 3.3b, terlihat pola yang dihasilkan hampir sama dengan penelitian sebelumnya (penentuan ABB indeks TT terhadap awan CB atau TS). Jumlah kejadian dari ABL pada indeks CAPE < 1000 terhadap kejadian awan CB selama bulan penelitian (Jan, Feb, Mar, Okt, Nov dan Des), masih menunjukkan angka yang cukup signifikan yaitu sebanyak 54, 39, 40, 13, 24 dan 43 kali (Gambar 3.3a). Peningkatan jumlah kejadian pada interval indeks tersebut berbanding terbalik dengan

Jan Feb Mar Okt Nov Des ABL (< 44) 45 33 48 36 64 52 ABB (< 40) 5 2 1 6 9 2 0 20 40 60 80 Ju ml ah K ej ad ia n

(6)

6

Jan Feb Mar Okt Nov Des ABL (< 1000) 16 22 37 29 56 46 ABB (< 500) 5 3 6 9 9 9 0 20 40 60 Ju ml ah K ej ad ia n

Indeks CAPE pada Kejadian TS 2010 - 2014

Jan Feb Mar Okt Nov Des ABL (> 1000) 55 33 36 17 47 35 ABB (> 500) 66 52 67 37 94 72 0 20 40 60 80 100 Ju ml ah K ej ad ia n

Indeks CAPE pada Kejadian TS 2010 - 2014 kriteria indeks dari ABL yang menyatakan

aktivitas konvektif masih dalam intensitas lemah sedangkan kejadian awan CB sudah cukup banyak pada interval indeks tersebut.

(a)

(b)

Gambar 3.3 Perbandingan Ambang Batas Lama (ABL) dan Ambang Batas Baru (ABB) Indeks CAPE Terhadap Kejadian CB

Nilai Ambang Batas Baru (ABB) pada indeks CAPE yang dihasilkan kemudian diterapkan pada kejadian awan CB untuk mengetahui perbandingan antara ABL dan ABB. Analisis perbandingan antara ABL dan ABB pada indeks CAPE terhadap kejadian CB ditunjukkan pada Gambar 3.3a dan 3.3b di atas. Ambang Batas Baru (ABB) yang dihasilkan, menunjukkan adanya potensi pertumbuhan awan CB pada indeks CAPE > 500 dengan total jumlah kejadian berturut-turut pada bulan penelitian (Jan, Feb, Mar, Okt, Nov dan Des) sebanyak 85, 64, 61, 20, 31 dan 74 kali (Gambar 3.3b). Selain itu, nilai indeks tersebut diperoleh cukup kecil dari ketentuan ABL. Hal demikian dapat terjadi salah satunya dikarenakan lokasi geografis wilayah penelitian berada di pesisir. Pertumbuhan awan CB di wilayah pesisir lebih mudah terjadi karena adanya pengaruh dari lautan sebagai

penyedia uap air terbesar dalam sistem cuaca. Sementara itu, pada indeks CAPE < 500 dari ABB, juga menunjukkan adanya penurunan jumlah kejadian pada bulan penelitian berturut-turut sebanyak 6, 7, 6, 5, 6 dan 8 kali (Gambar 3.3a).

3.1.4 Indeks Convective Available Potential

Energy (CAPE) Terhadap Kejadian

Thunderstorm (TS)

Bila Ambang Batas Baru (ABB) pada indeks CAPE diterapkan dalam mendeteksi kejadian TS, maka berikut ditampilkan analisisnya pada Gambar 3.4

(a)

(b)

Gambar 3.4 Perbandingan Ambang Batas Lama (ABL) dan Ambang Batas Baru (ABB) Indeks CAPE Terhadap Kejadian TS

Berdasarkan pada Gambar 3.4 di atas mengenai perbandingan ABL dan ABB dari indeks CAPE terhadap kejadian TS periode 2010 – 2014, diketahui bahwa jumlah kejadian dari ABL indeks CAPE < 1000 pada bulan penelitian (Jan, Feb, Mar, Okt, Nov dan Des) masih menunjukkan jumlah kejadian yang cukup tinggi berturut-turut sebanyak 16, 22, 37, 29, 56 dan 46 kali kejadian (Gambar 3.4a). Hal tersebut masih memiliki pola yang sama terhadap penelitian sebelumnya. Jumlah kejadian yang banyak mengindikasikan

Jan Feb Mar Okt Nov Des ABL (< 1000) 54 39 40 13 24 43 ABB (< 500) 6 7 6 5 6 8 0 20 40 60 Ju ml ah K ej ad ia n

Indeks CAPE pada Kejadian CB 2010 - 2014

Jan Feb Mar Okt Nov Des ABL (> 1000) 37 32 27 12 13 39 ABB (> 500) 85 64 61 20 31 74 0 20 40 60 80 100 Ju ml ah K ej ad ia n

(7)

7 bahwa nilai interval indeks dari ABL pada

indeks CAPE < 1000 masih cukup besar. Pada penelitian sebelumnya (indeks CAPE terhadap kejadian awan CB), diperoleh nilai ABB yang sesuai di mana dalam pembentukannya ternyata tidak membutuhkan energi yang besar (ditunjukkan pada nilai indeks CAPE > 500). Hal demikian, ditunjukkan pula saat kejadian TS yang di mana pada interval indeks CAPE > 500 (Gambar 3.4b), kejadian TS sudah banyak terjadi dengan jumlah total kejadian berturut-turut selama bulan penelitian (Jan, Feb, Mar, Okt, Nov dan Des) sebanyak 66, 52, 67, 37, 94 dan 72 kali. Selain itu, ABB dari indeks CAPE < 500 juga menunjukkan penurunan jumlah kejadian TS pada bulan penelitian (Jan, Feb, Mar, Okt, Nov dan Des) berturut-turut sebanyak 5, 3, 6, 9, 9 dan 9 kali (Gambar 3.4a). Hal tersebut memberikan nilai batas yang lebih jelas pada ABB dari indeks penelitian mengenai kapan pembentukan awan CB atau TS mulai terjadi serta kapan mengalami penurunan dalam jumlah kejadiannya.

3.2 Perbandingan Performa Antara Ambang Batas Lama (ABL) Dan Ambang Batas Baru (ABB)

Dalam penelitian ini, kualitas dari ambang batas yang diperoleh dari hasil perhitungan statistik sangat menentukan, apakah performa yang dihasilkan oleh ABB lebih baik atau lebih buruk terhadap ABL sehingga perlu dilakukan uji coba terhadap ambang batas tersebut pada kejadian awan CB dan TS. Data yang digunakan adalah data Radiosonde dan data pengamatan udara permukaan (synoptik) pada bulan penelitian (Jan, Feb, Mar, Okt, Nov, dan Des) tahun 2015. Pengolahan data yang dilakukan sama seperti dalam penentuan ABB yaitu mengelompokkan kondisi cuaca aktual (CB dan TS) terhadap indeks TT dan CAPE sesuai jam pengamatannya. Kemudian, indeks tersebut yang merupakan hasil dari pengamatan radiosonde pada pukul 00 UTC, dilakukan perbandingan dengan kondisi cuaca aktual 12 jam ke depan. Begitu juga untuk pengamatan radiosonde pukul 12 UTC dengan melakukan perbandingan dengan kondisi cuaca actual 12 jam ke depan.

Nilai ambang batas yang digunakan dalam uji coba performa indeks TT dan CAPE

adalah berdasarkan dari ABL dan ABB dimana lebih jelasnya akan diuraikan pada ketentuan sebagai berikut:

1. Pada ABL, indeks TT > 44 diasumsikan bahwa pembentukan awan CB atau TS baru dapat terjadi. Sedangkan untuk nilai indeks TT < 44, pembentukan awan CB atau TS tidak terjadi.

2. Pada ABB, indeks TT > 40 diasumsikan bahwa pembentukan awan CB atau TS baru dapat terjadi. Sedangkan untuk nilai indeks TT < 40, pembentukan awan CB atau TS tidak terjadi.

3. Pada ABL, indeks CAPE > 1000 diasumsikan bahwa pembentukan awan CB atau TS baru dapat terjadi. Sedangkan untuk nilai indeks CAPE < 1000, pembentukan awan CB atau TS tidak terjadi.

4. Pada ABB, indeks CAPE > 500 diasumsikan bahwa pembentukan awan CB atau TS baru dapat terjadi. Sedangkan untuk nilai indeks TT < 500, pembentukan awan CB atau TS tidak terjadi.

Setelah itu, dilakukan penilaian terhadap performa pada ABL dan ABB terhadap kejadian awan CB dan TS dengan menggunakan tabel kontingensi 2x2. Nilai akurasi dipilih sebagai acuan untuk mengetahui performa dari ambang batas tersebut karena komponen tersebut mampu menggambarkan keakuratan dan kualitas dari ambang batas indeks TT dan CAPE baik yang lama atau yang baru terhadap kejadian awan CB dan TS.

3.2.1 Nilai Akurasi Indeks Total – Totals (TT) Jam 00 UTC

(a)

Jan Feb Mar Okt Nov Des ABL 0.25 0.30 0.35 1.00 0.46 0.37 ABB 0.85 0.75 0.76 0.83 0.60 0.75 0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 N il ai A k u ra si

(8)

8

Jan Feb Mar Okt Nov Des ABL 0.57 0.58 0.47 0.96 0.36 0.23 ABB 0.78 0.58 0.76 0.83 0.68 0.92 0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 N il ai A k u ra si

TT Jam 00 UTC (Kejadian TS) Tahun 2015

Jan Feb Mar Okt Nov Des ABL 0.56 0.52 0.56 0.90 0.46 0.65 ABB 0.47 0.47 0.48 0.67 0.19 0.35 0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 N il ai A k u ra si

TT Jam 12 UTC (Kejadian CB) Tahun 2015

Jan Feb Mar Okt Nov Des ABL 0.65 0.66 0.57 0.90 0.37 0.52 ABB 0.45 0.44 0.38 0.67 0.27 0.45 0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 Nil ai A k u ra si

TT Jam 12 UTC (Kejadian TS) Tahun 2015

(b)

Gambar 3.5 Nilai Akurasi Indeks Total – Totals (TT) Jam 00 UTC Terhadap Kejadian Awan Cumulonimbus (CB) dan Thunderstorm (TS)

Pada Gambar 3.5 di atas ditunjukkan nilai akurasi dari indeks TT jam 00 UTC terhadap kejadian CB dan TS. Dari gambar tersebut dapat diketahui bahwa nilai yang dihasilkan cukup bervariasi. Namun secara umum pola dari grafik tersebut menggambarkan hasil yang cukup baik pada ABB dari indeks TT jam 00 UTC terhadap kejadian awan CB atau TS. Indeks TT dari ABB terhadap kejadian awan CB menghasilkan nilai akurasi berturut-turut selama bulan penelitian (Jan, Feb, Mar, Okt, Nov dan Des) sebesar 0.85, 0.75, 0.76, 0.83, 0.60 dan 0.75 (Gambar 3.5a). Nilai yang mendekati angka 1 merupakan hasil yang terbaik. Sedangkan nilai akurasi yang dihasilkan oleh ABL pada indeks TT jam 00 UTC terhadap kejadian yang sama yaitu masing-masing sebesar 0.25, 0.30, 0.35, 1.00, 0.46 dan 0.37 (Gambar 3.5a).

Ambang batas baru (ABB) pada indeks TT jam 00 UTC terhadap kejadian TS, secara umum juga menunjukkan pola yang hampir sama terhadap kejadian awan CB. Pada Gambar 3.5b, nilai akurasi yang dihasilkan pada bulan penelitian (Jan, Feb, Mar, Okt, Nov dan Des) yaitu berturut-turut sebesar 0.78, 0.58, 0.76, 0.83, 0.68 dan 0.92. Sedangkan nilai akurasi dari ABL berturut-turut sebesar 0.57, 0.58, 0.47, 0.96, 0.36 dan 0.23.

3.2.2 Nilai Akurasi Indeks Total – Totals (TT) Jam 12 UTC

(a)

(b)

Gambar 3.6 Nilai Akurasi Indeks Total – Totals (TT) Jam 12 UTC Terhadap Kejadian Awan Cumulonimbus (CB) dan Thunderstorm (TS)

Berdasarkan Gambar 3.6 di atas mengenai nilai akurasi yang dihasilkan oleh ABB dan ABL pada indeks TT jam 12 UTC terhadap kejadian awan CB dan TS, diketahui bahwa nilai yang dihasilkan pada kedua ambang batas tersebut berbanding terbalik dengan pola penelitian sebelumnya. Nilai akurasi yang dihasilkan pada ABL cenderung lebih tinggi daripada ABB terhadap kejadian CB. Pada Gambar 3.6a, nilai akurasi yang dihasilkan oleh ABL terhadap kejadian CB berturut-turut selama bulan penelitian (Jan, Feb, Mar, Okt, Nov dan Des) sebesar 0.56, 0.52, 0.56, 0.90, 0.46 dan 0.65. Sedangkan, pada ABB terhadap kejadian yang sama dalam bulan penelitian berturut-turut sebesar 0.47, 0.47, 0.48, 0.67, 0.19 dan 0.35.

Perolehan nilai akurasi indeks TT terhadap kejadian TS pada jam 12 UTC juga ditunjukkan dengan pola yang sama. Nilai yang dimiliki oleh ABL dari indeks tersebut

(9)

9

Jan Feb Mar Okt Nov Des ABL 0.50 0.58 0.64 0.93 0.63 0.53 ABB 0.71 0.66 0.76 0.80 0.59 0.92 0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 Nil ai A k u ra si

CAPE Jam 00 UTC (Kejadian TS) Tahun 2015 cenderung lebih baik dari ABB pada jam 12

UTC. Pada Gambar 3.6b, nilai akurasi yang dihasilkan oleh ABL terhadap kejadian TS berturut-turut selama bulan penelitian (Jan, Feb, Mar, Okt, Nov dan Des) sebesar 0.65, 0.66, 0.57, 0.90, 0.37 dan 0.52. Sedangkan nilai akurasi dari ABB terhadap kejadian yang sama berturut-turut selama bulan penelitian sebesar 0.45, 0.44, 0.38, 0.67, 0.27 dan 0.45.

3.2.3 Nilai Akurasi Indeks Convective Available Potential Energy (CAPE) Jam 00 UTC

(a)

Gambar 3.7a Nilai Akurasi Indeks Convective Available Potential Energy (CAPE) Jam 00 UTC Terhadap Kejadian Awan Cumulonimbus (CB)

Pada Gambar 3.7a di atas mengenai nilai akurasi indeks CAPE jam 00 UTC terhadap kejadian awan CB, diketahui bahwa pola yang dihasilkan memiliki kemiripan dengan pola penelitian sebelumnya (nilai akurasi indeks TT jam 00 UTC pada kejadian CB dan TS). Pola nilai akurasi pada ABB secara umum lebih baik daripada ABL. Nilai akurasi yang dihasilkan pada ABB jam 00 UTC terhadap kejadian CB dalam bulan penelitian (Jan, Feb, Mar, Okt, Nov dan Des) berturut-turut sebesar 0.75, 0.70, 0.76, 0.83, 0.53 dan 0.87. Sementara, nilai akurasi dari ABL terhadap kejadian yang sama berturut-turut dalam bulan penelitian sebesar 0.50, 0.45, 0.47, 0.96, 0.60 dan 0.75.

(b)

Gambar 3.7b Nilai Akurasi Indeks Convective Available Potential Energy (CAPE) Jam 00 UTC Terhadap Kejadian Thunderstorm (TS)

Nilai akurasi pada indeks CAPE terhadap kejadian lainnya juga menghasilkan pola yang cukup baik. Diketahui dari ABB indeks tersebut terhadap kejadian TS pada jam 00 UTC (Gambar 3.7b) diperoleh nilai akurasi berturut-turut selama bulan penelitian (Jan, Feb, Mar, Okt, Nov dan Des) sebesar 0.71, 0.66, 0.76, 0.80, 0.59 dan 0.92. Sedangkan, pada ABL terhadap kejadian dan jam yang sama menghasilkan nilai akurasi yang lebih kecil daripada ABB. Nilai yang diperoleh berturut-turut selama bulan penelitian (Jan, Feb, Mar, Okt, Nov dan Des) yaitu sebesar 0.50, 0.58, 0.64, 0.93, 0.63 dan 0.53.

3.2.4 Nilai Akurasi Indeks Convective Available Potential Energy (CAPE) Jam 12 UTC

Nilai akurasi pada indeks CAPE jam 12 UTC terhadap kejadian CB dan TS, diketahui secara umum nilai yang dihasilkan oleh ABB lebih rendah dibandingkan ABL terhadap dua kejadian tersebut. Pada ABL, nilai akurasi yang diperoleh terhadap kejadian CB selama bulan penelitian (Jan, Feb, Mar, Okt, Nov dan Des) berturut-turut sebesar 0.65, 0.63, 0.48, 0.83, 0.42 dan 0.35. Sementara itu pada ABB, nilai akurasi yang dihasilkan terhadap kejadian yang sama sebesar 0.56, 0.47, 0.44, 0.71, 0.30 dan 0.45 (ditunjukkan pada Gambar 3.8a)

Jan Feb Mar Okt Nov Des ABL 0.50 0.45 0.47 0.96 0.60 0.75 ABB 0.75 0.70 0.76 0.83 0.53 0.87 0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 N il ai A k u ra si

(10)

10

Jan Feb Mar Okt Nov Des ABL 0.65 0.72 0.47 0.83 0.51 0.45 ABB 0.60 0.44 0.28 0.71 0.41 0.50 0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 N il ai A k u ra si

CAPE Jam 12 UTC (Kejadian TS) Tahun 2015

(a)

(b)

Gambar 3.8 Nilai Akurasi Indeks Convective Available Potential Energy (CAPE) Jam 12 UTC Terhadap Kejadian Awan Cumulonimbus (CB) dan Thunderstorm (TS)

Pada kejadian yang lain, pola dari indeks CAPE jam 12 UTC terhadap kejadian TS juga menunjukkan hasil yang sama seperti pola indeks tersebut pada kejadian CB. Nilai akurasi yang diperoleh pada ABB selalu lebih rendah daripada ABL pada jam 12 UTC. Hal tersebut ditunjukkan pada Gambar 3.8b di mana nilai akurasi indeks CAPE pada ABL terhadap kejadian TS berturut-turut selama bulan penelitian (Jan, Feb, Mar, Okt, Nov dan Des) sebesar 0.65, 0.72, 0.47, 0.83, 0.51 dan 0.45. Sementara nilai akurasi yang dihasilkan oleh ABB pada indeks tersebut terhadap kejadian yang sama berturut-turut selama bulan penelitian sebesar 0.60, 0.44, 0.28, 0.71, 0.41, 0.50.

IV.KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan

Berdasarkan analisis dan pembahasan dari seluruh hasil penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa:

1. Secara umum, kemampuan dari Ambang Batas Baru (ABB) pada indeks TT dan

CAPE lebih baik dari Ambang Batas Lama (ABL) untuk penerapan di wilayah Maros dan sekitarnya.

2. Bila ditinjau dari periode penerapannya, nilai ABB untuk indeks TT dan CAPE kemampuannya lebih baik jika diterapkan pada siang hari dibandingkan malam hari.

3. Nilai ABB yang dihasilkan menunjukkan potensi terjadinya awan CB dan TS sudah dapat terjadi pada nilai indeks TT > 40 dan CAPE > 500. 4. Nilai ABB dari indeks TT dan CAPE

mampu meningkatkan sensitivitas dalam mendeteksi kejadian CB dan TS.

4.2 Saran

Dalam pemanfaatan ambang batas baru pada indeks stabilitas TT dan CAPE yang diperoleh dari hasil penelitian ini, sebaiknya diterapkan untuk prediksi 12 jam ke depan (00-12UTC). Namun, untuk dapat mengetahui kondisi stabilitas atmosfer yang mampu merepresentasikan di suatu wilayah dengan lebih baik lagi, diperlukan data pengamatan Radiosonde yang lebih panjang atau waktu yang lebih lama (minimal 30 tahun) sehingga diharapkan akan menghasilkan nilai indeks yang sesuai. Oleh karena itu, agar memperoleh nilai ambang indeks stabilitas tersebut pada suatu wilayah, juga diperlukan penelitian dengan jangka waktu yang lebih lama.

DAFTAR PUSTAKA

Bangsawan, L, 2015, Kajian Ambang Batas Indeks Stabilitas Udara Terkait Kejadian Hujan Lebat Dan Badai Guntur Di Makasar, STMKG, Jakarta. Griffiths, D., J., 1995, Introduction to Electrodynamics, 2nd edition, Prentice Hall of India Private Limited.

Gustari, I., Hadi, T., W., Hadi, S., Renggono, F., 2012, Akurasi Prediksi Curah Hujan Harian Operasional Di Jabodetabek: Perbandingan Dengan Model WRF, BMKG, Jakarta.

Lutgens, F., K., Tarbuck, E., J., 2010, The Atmosphere: an Introduction to Meteorology 11th edition, Pearson, Amerika.

Pratama, M., S., 2015, Penentuan Ambang Batas Parameter Stabilitas Udara Terhadap Kejadian Awan CB dan TS

Jan Feb Mar Okt Nov Des ABL 0.65 0.63 0.48 0.83 0.42 0.35 ABB 0.56 0.47 0.44 0.71 0.30 0.45 0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 N il ai A k u ra si

(11)

11 Di Stasiun Meteorologi Biak,

STMKG, Jakarta.

Sturges, H., 1926, The Choice of a Class – Interval, J. Amer Statist. Assoc., 21, 65-66.

Tjasyono, H.K., B., 2008, Meteorologi Terapan, Penerbit ITB, Bandung. Wahid, R., M., 2009, Studi Tingkat Potensi

Petir di Sulut. Skripsi Sarjana FMIPA Universitas Sam Ratulangi, Manado. Zamzami, L., Hendrawati, 2011, Kearifan

Budaya Lokal Masyarakat Maritim Untuk Upaya Mitigasi Bencana Di Sumatera Barat, Universitas Andalas, Padang.

Gambar

Gambar  1.1  Frekuensi  Kejadian  CB  Tahun
Gambar 2.1 Diagram alir
Gambar  3.2b  Perbandingan  Ambang  Batas
Gambar  3.3  Perbandingan  Ambang  Batas
+4

Referensi

Dokumen terkait

Berkaitan dengan hal diatas dilakukan penelitian dengan bahan batu bara muda yang tak bisa dibakar, sehingga dapat diketahui layak tidaknya digunakan sebagai agregat untuk konstruksi

Konsentrasi K+ dlm larutan tanah merupakan indeks ketersediaan kalium, karena difusi K+ ke arah permukaan akar berlangsung dalam larutan tanah dan kecepatan difusi tgt pada

konvensional mempunyai pengertiaan yang sama seperti yang telah disampaikan oleh para ahli. Bank syariah mempunyai pengertian dan tugas yang sama yaitu menghimpun

Metode ini memanfaatkan arus listrik bervoltase kecil yang dihubungkan ke benda yang akan dites, dengan memindahkan secara elektrolisis sejumlah kecil sampel ke kertas

Berdasarkan Tabel 2 pada hari ke-0 setiap perlakuan belum mengalami perubahan susut bobot, pada Tabel 3 seluruh perlakuan mengalami penyusutan bobot pada hari

Bronkitis kronik a0alah bentuk batuk kronis +ro0ukti yang berlangsung  bulan 0ala satu tahun selaa $ tahun berturut?turut ekresi yang enu+uk

Perancangan aplikasi promosi songket palembang berbasis android merupakan sebuah perancangan yang dapat digunakan oleh para wisatawan yang berminat untuk mengetahui