• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI RESPON PERTUMBUHAN KULTUR SEL LIMFOID UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) PADA MEDIA YANG BERBEDA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "SKRIPSI RESPON PERTUMBUHAN KULTUR SEL LIMFOID UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) PADA MEDIA YANG BERBEDA"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

RESPON PERTUMBUHAN KULTUR SEL LIMFOID UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) PADA MEDIA YANG BERBEDA

Oleh :

INDRA TRI PRAYUGI JOMBANG – JAWA TIMUR

FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SURABAYA 2014

(2)

SKRIPSI

RESPON PERTUMBUHAN KULTUR SEL LIMFOID UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) PADA MEDIA YANG BERBEDA

Oleh :

INDRA TRI PRAYUGI NIM : 141011105

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Pembimbing Utama

Dr. Ir. Endang Dewi Masithah, M.P. HIDAYATUL UDCHIYAH

NIP. 19690912 199702 2 001

Pembimbing Serta

(3)

SKRIPSI

RESPON PERTUMBUHAN KULTUR SEL LIMFOID UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) PADA MEDIA YANG BERBEDA

Oleh :

INDRA TRI PRAYUGI NIM : 141011105

Telah diujikan pada

Tanggal : 24 Juni 2014

KOMISI PENGUJI SKRIPSI

Ketua : Moch. Amin Alamsjah, Ir., M.Si., Ph.D Anggota : Rr. Juni Triastuti, S.Pi., M.Si.

Dr. Gunanti Mahasri, Ir. M.Si. Dr. Endang Dewi Masithah, Ir. M.P.

Dr. Widjiati, M.Si., drh.

Surabaya, 7 Juli 2014 Fakultas Perikanan dan Kelautan

Universitas Airlangga Dekan,

Prof. Dr. Hj. Sri Subekti,drh.DEA NIP. 19520517 197803 2 001

(4)

RINGKASAN

INDRA TRI PRAYUGI. Respon Pertumbuhan Kultur Sel Limfoid Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) pada Media yang Berbeda. Dosen Pembimbing I Dr. Ir. Endang Dewi Masithah, M.P. dan Dosen Pembimbing II Dr. Widjiati, M.Si., drh.

Masalah utama pada budidaya udang vaname hingga saat ini adalah munculnya penyakit yang disebabkan oleh virus, bakteri dan jamur. Informasi tentang karakteristik penyakit yang diperlukan untuk pencegahan dan pengendalian penyakit pada udang belum banyak diketahui. Salah satu cara yang bisa dipakai untuk mengetahui karakteristik penyakit adalah dengan menggunakan kultur sel. Kultur sel ini nantinya bisa membantu untuk menentukan dan memahami hubungan antara udang dan patogen pada tingkat seluler dan molekuler sehingga memberikan kemudahan dalam pencegahan dan pengendalian penyakit yang menyerang udang.

Pembuatan kultur sel udang memerlukan media yang tepat untuk pertumbuhan dan perkembangan sel yang dikultur. Media yang sering digunakan untuk kultur sel udang adalah media MEM, media L-15 dan media TCM. Namun, sampai saat ini belum ada referensi khusus perihal media mana yang dapat memberikan hasil terbaik terhadap pertumbuhan sel limfoid udang yang sedang dikultur. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian tentang jenis media pertumbuhan yang paling baik dalam kultur sel limfoid udang vaname sangat diperlukan.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan pertumbuhan dan media terbaik bagi pertumbuhan kultur sel limfoid udang vaname (L. vannamei) pada media yang berbeda. Penelitian dilakukan di Laboratorium In Vitro, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga Surabaya pada bulan Februari 2014. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 3 kali ulangan. Data hasil penelitian dianalisis menggunakan ANAVA. Apabila menunjukkan adanya perbedaan maka dilanjutkan dengan uji Jarak Berganda Duncan.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah udang vaname berumur 2 bulan dengan panjang tubuh ± 8 cm, media L-15, media MEM, media TCM, penicilin-streptomycin, amphoterycin B, Fetal Calf Serum (FCS), NaHCO3, aquabidest, tripsin, phenol red, trypanblue dan larutan fiksatif. Parameter utama yang diamati adalah jumlah dan viabilitas sel limfoid udang vaname sedangkan parameter pendukungnya adalah ada tidaknya kontaminasi.

(5)

v

SUMMARY

INDRA TRI PRAYUGI. Growth Response of White Shrimp (Litopenaeus vannamei) Lymphoid Cell Cultures in Different Media. Academic Advisor I Dr. Ir. Endang Dewi Masithah, M.P. and Academic Advisor II Dr. Widjiati, M.Si., drh.

The main problem in vaname culture is the emergence of diseases caused by viruses, bacteria and fungi. Information about disease characteristics is necessary for the prevention and control of disease in shrimp is not widely known. One way that can be used to determine the characteristics of the disease is by using cell culture. This cell culture will help determining and understanding the relation between shrimp and pathogens at cellular and molecular level so it can provide ease in the prevention and control of in shrimp.

Shrimp cell culture requiring an exact medium for proper growth and development of cultured cells. Medium that often used for shrimp cell culture are MEM, L-15 and TCM. However, until now there is no specific reference regarding which medium can provide the best results on the growth of shrimp lymphoid cells that was cultured. Based on this fact, the research of the best media for the growth of white shrimp lymphoid cell cultures is indispensable.

The purpose of this study was to determine the differences in growth and the best medium for the growth of white shrimp lymphoid cell cultures (L. vannamei) in different media. The study was conducted in the In Vitro Laboratory, Faculty of Veterinary Medicine, Airlangga University in February 2014. Research design used Completely Randomized Design with 3 treatments and 3 replications. The data was analyzed using ANOVA. If it shows a difference than Duncan 's Multiple Range Test is used.

Materials used in this study were 2 months old white shrimp with a body length of ± 8 cm, L-15 medium, MEM medium, TCM medium, penicillin- streptomycin, amphoterycin B, Fetal Calf Serum (FCS), NaHCO3, aquabidest, trypsin, phenol red, trypanblue and fixative solution. The main parameters measured were the amount and viability of white shrimp lymphoid cells while the supporting parameter is contamination .

Results of analysis of variance (ANOVA) were conducted from initial observations up to day 18 showed that treatment B (medium L-15) gave the best results white shrimp lymphoid cell cultures (39 x 106 cells/ml) were significantly different ( p < 0,05 ) with treatment C (medium TCM at 28.667 x 106 cells/ml) and treatment A (medium MEM at 22,333 x 106 cells/ml). Based on the calculation of all the cell viability still viable and better treatments to support survival of cultured cells which is above 95 % without contamination.

(6)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas

limpahan rakhmat, taufiq dan hidayah-Nya, sehingga Skripsi tentang Respon

Pertumbuhan Kultur Sel Limfoid Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) pada

Media yang Berbeda dapat penulis selesaikan. Laporan ini disusun berdasarkan

hasil penelitian yang telah dilaksanakan di Laboratorium In Vitro, Fakultas

Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga pada bulan Februari 2014.

Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan,

sehingga kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan demi perbaikan dan

kesempurnaan Skripsi ini. Akhirnya penulis berharap semoga Karya Ilmiah ini

bermanfaat dan memberikan informasi bagi semua pihak, khususnya bagi

Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga guna

kemajuan serta perkembangan ilmu dan teknologi dalam bidang perikanan,

terutama budidaya perairan.

Surabaya, Juli 2014

(7)

vii

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini, tidak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih

yang tak terhingga kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Hj. Sri Subekti, drh. DEA., selaku Dekan Fakultas Perikanan

dan Kelautan Universitas Airlangga Surabaya.

2. Ibu Dr. Endang Dewi Masithah, Ir. M.P. selaku Dosen Pembimbing Pertama

dan Ibu Dr. Widjiati, M.Si., drh. selaku Dosen Pembimbing Kedua yang

telah memberikan arahan, petunjuk dan bimbingan sejak penyusunan usulan

hingga selesainya Skripsi.

3. Bapak Moch. Amin Alamsjah., Ir. M.Si.,Ph.D., Ibu Rr. Juni Triastuti, S.Pi.,

M.Si., dan Ibu Dr. Gunanti Mahasri., Ir. M.Si. selaku Dosen Penguji yang

telah bersedia meluangkan waktu untuk menguji serta memberikan masukan

dan saran atas perbaikan laporan Skripsi.

4. Bapak Yudi Cahyoko., Ir. M.Si. dan Bapak Moch. Amin Alamsjah., Ir.

M.Si.,Ph.D. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang senantiasa memberi

nasehat dan pengarahan selama masa perkuliahan.

5. Bapak/Ibu dosen dan staf pendidikan di Fakultas Perikanan dan Kelautan

Universitas Airlangga.

6. Kedua orangtua atas doa yang selalu terlantun dan nasehat bijak yang menjadi

penguat dalam studi.

7. Kedua kakakku tercinta atas doa dan dukungan yang diberikan.

8. Nur Faizah, Latifah dan Arlisa yang telah berjuang bersama dalam penelitian.

(8)

9. Azhar, Arifah, Dyah Sunaring, Januar, Onad, Sapron dan Sofi yang banyak

membantu dalam penyelesaian Skripsi ini, serta teman-teman seperjuangan

angkatan 2010 atas dukungan dan doa yang telah kalian berikan.

10.Teman-teman BLM FPK UA 2013, Mapanza 2010 dan paduan suara fakultas

yang telah memberi dukungan selama penyusunan Skripsi.

(9)

ix

2.1 Klasifikasi dan Morfologi Udang Vaname ... 4

2.2 Organ Limfoid... 5

2.3 Kultur Sel ... 7

2.4 Media Pertumbuhan Kultur Sel ... 7

2.4.1 Minimum Esensial Medium (MEM) ... 8

2.4.2 Leibovitz (L-15) ... 9

2.5.3 Tissue Culture Medium (TCM)/ Medium 199... 9

2.5 Kultur Sel Udang ... 10

2.6 Media Kultur Sel Udang ... 11

2.7 Teknik Aseptik ... 12

2.8 Faktor Pendukung Kultur Sel ... 13

2.8.1 Suhu ... 13

(10)

2.8.2 pH ... 14

4.3.1 Rancangan Penelitian ... 19

4.4 Prosedur Kerja ... ... 20

4.4.1 Persiapan Peralatan ... 20

4.4.2 Pembuatan Media Kultur Sel ... 21

4.4.3 Pengambilan Organ Limfoid... 21

4.4.4 Kultur Sel ... 22

4.4.5 Pengamatan ... 22

4.4.6 Parameter Penelitian ... 23

4.4.7 Analisis Data ... 24

V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25

5.1 Hasil ... 25

5.1.1 Pertumbuhan Kultur Sel Limfoid... 25

5.1.2 Viabilitas Sel Limfoid Udang Vaname ... 30

(11)

xi

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

5.1 Penghitungan Jumlah Sel Limfoid pada Media Berbeda ... 28

5.2. Viabilitas Sel Limfoid pada Media Berbeda ... 30

(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1. Morfologi Udang Vaname ... 5

2.2. Letak Organ Limfoid Udang Penaeid ... 6

3.1. Skema Kerangka Konseptual ... 18

4.1. Diagram Alir Penelitian ... 23

5.1. Pertumbuhan Sel Limfoid pada Hari Ketiga Kultur ... 26

5.2. Pertumbuhan Sel Limfoid pada Hari Keenam Kultur ... 27

5.3. Grafik Pertumbuhan Sel Limfoid Udang Vaname ... 29

5.4. Grafik Viabilitas Sel Limfoid Udang Vaname ... 31

(13)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Komposisi Media MEM, TCM dan L-15 ... 40

2. Peralatan dan Bahan Penelitian ... 42

3. Pertumbuhan Kultur Sel Limfoid pada Media Berbeda ... 44

4. Hasil Analisis Data Pertumbuhan dengan SPSS ... 46

5. Hasil Analisis Data Viabilitas dengan SPSS ... 52

(14)

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Udang merupakan salah satu komoditas utama dalam program

industrialisasi perikanan budidaya dan merupakan andalan ekspor produk

perikanan budidaya disamping ikan tuna, tongkol, cakalang dan rumput laut.

ASEAN Free Trade Zone (AFTA) yang akan diterapkan pada tahun 2015,

mendorong peningkatan kualitas produk dalam negeri. Salah satu komoditas

unggulan yang saat ini menjadi pilihan pembudidaya udang adalah udang vaname

(Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, 2013). Rata-rata pertumbuhan produksi

udang vaname di Indonesia sekitar 25 persen/tahun antara tahun 2005 hingga

2010 (Smith et al., 2012). Prosentase peningkatan produksi tahun 2012 mencapai

32,87%, dari 400.385 ton pada tahun 2011 menjadi 457.600 ton pada tahun 2012

dan pada tahun 2014, ditargetkan adanya peningkatan produksi sebesar 200 ribu

ton (Hariyanto dan Maskur, 2013).

Masalah utama yang masih sulit dikendalikan pada budidaya udang

vaname hingga saat ini adalah munculnya penyakit yang disebabkan oleh virus,

bakteri dan jamur. Penyakit yang menyerang udang vaname dapat mengakibatkan

kematian sehingga menimbukan kerugian ekonomi yang besar (Harijanto, 2012).

Penyakit yang menyerang udang pada umumnya menyerang sistem kekebalan

tubuh dimana pada udang, sistem kekebalan tubuh ini diperankan oleh organ

limfoid (Kondo et al., 1994). Pencegahan dan pengendalian penyakit ini harus

dilakukan sedini mungkin agar tidak mewabah menjadi lebih besar (Alifuddin,

(15)

2

Informasi tentang karakteristik penyakit yang diperlukan untuk

pencegahan dan pengendalian penyakit pada udang belum banyak diketahui.

Salah satu cara yang bisa dipakai untuk mengetahui karakteristik penyakit adalah

dengan menggunakan kultur sel (Nuryati, 2000). Kultur sel ini nantinya bisa

membantu untuk menentukan dan memahami hubungan antara udang dan patogen

pada tingkat seluler dan molekuler. Selain itu, juga untuk memahami fungsi

kekebalan tubuh pada udang sehingga memberikan kemudahan dalam pencegahan

dan pengendalian penyakit yang menyerang udang (Claydon, 2009).

Pembuatan kultur sel udang memerlukan media yang tepat untuk

pertumbuhan dan perkembangan sel yang dikultur. Media kultur sel terdiri dari

sejumlah besar asam amino, vitamin, mineral, glukosa dan hormon dimana setiap

media kultur mempunyai kandungan nutrisi yang berbeda (Maurer, 1992). Media

yang digunakan untuk kultur sel limfoid udang harus dapat menyediakan nutrisi

yang dapat mendukung pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel limfoid. Jenis

media yang digunakan dalam kultur sel limfoid udang masih bermacam-macam

tergantung keinginan peneliti. Menurut Toullec (1999) media yang sering

digunakan untuk kultur sel udang adalah media MEM, media L-15 dan media

TCM. Namun, sampai saat ini belum ada referensi khusus perihal media mana

yang dapat memberikan hasil terbaik terhadap pertumbuhan sel limfoid udang

yang sedang dikultur. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian tentang jenis

media pertumbuhan yang paling baik dalam kultur sel limfoid udang vaname

sangat diperlukan. Dengan begitu, akan didapatkan informasi tentang media

(16)

terbaik yang dapat dijadikan referensi dalam proses pembuatan kultur sel limfoid

udang vaname.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka terdapat dua rumusan masalah

sebagai berikut :

1. Apakah terdapat perbedaan pertumbuhan kultur sel limfoid udang vaname

(L. vannamei) pada media yang berbeda?

2. Pada media manakah kultur sel limfoid udang vaname (L. vannamei) yang

menunjukkan pertumbuhan paling baik?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian sebagai

berikut :

1. Untuk mengetahui perbedaan pertumbuhan kultur sel limfoid udang

vaname (L. vannamei) pada media yang berbeda.

2. Untuk mengatahui media terbaik bagi pertumbuhan kultur sel limfoid

udang vaname (L. vannamei).

1.4 Manfaat Penelitian

Memberikan informasi mengenai perbedaaan pertumbuhan dan media

terbaik bagi pertumbuhan kultur sel limfoid udang vaname (L. vannamei) pada

media yang berbeda. Lebih jauh penelitian ini nantinya bisa dijadikan referensi

(17)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi dan Morfologi Udang Vaname

Wyban and Sweeney (1991) menyatakan bahwa udang vaname

Suborder : Dendrobranchiata Superfamily : Penaeoidea

Family : Penaeidae Genus : Penaeus Subgenus : Litopenaeus Species : L. vannamei

Udang vaname merupakan salah satu jenis udang penaeid yang tubuhnya

terdiri dari 19 segmen. Lima segmen membentuk kepala, delapan segmen terletak

di dada dan enam segmen di perut. Kepala dan dada yang menyatu disebut

cephalothorax, atau dikenal sebagai pereon. Pada ruas kepala terdapat mata

majemuk yang bertangkai dan memiliki dua buah antena (antena dan antennulae)

yang memeiliki fungsi sensorik (Ruppert dan Barnes, 1994; Budd, 2002) yang

dikutip oleh Corteel (2013). Pada bagian kepala terdapat mandibula yang

berfungsi untuk menghancurkan makanan yang keras dan dua pasang maxilla

yang berfungsi membawa makanan ke mandibula (Pusluh KP, 2011).

Masing-masing ruas pada bagian dada mempunyai sepasang anggota

badan disebut thoracopoda. Thoracopoda 1-3 disebut maxiliped yang berfungsi

dalam memegang makanan. Thoracopoda 4-8 berfungsi sebagai kaki jalan

(18)

(periopod). Periopod 1-3 mempunyai capit kecil yang merupakan ciri khas udang

penaeidae. Ruas 1-5 pada bagian abdomen memiliki sepasang kaki renang disebut

pleopod. Pada ruas keenam terdapat uropod dan telson yang berfungsi sebagai

kemudi (Pusluh KP, 2011).

Ciri khas dari udang vaname adalah pada rostrum terdapat dua gigi di sisi

ventral, dan sembilan gigi di sisi dorsal. Badan udang vaname tidak terdapat

rambut-rambut halus (setae). Pada jantan, petasma memiliki panjang 12 mm yang

tumbuh dari ruas pertama dari kaki jalan dan kaki renang (coxae). Pada betina

thelycum terbuka berupa cekungan yang ditepinya banyak ditumbuhi oleh

bulu-bulu halus, terletak dibagian ventral dada, antara ruas kaki jalan ketiga dan

keempat(Pusluh KP, 2011). Morfologi udang vaname dapat dilihat pada Gambar

2.1.

Gambar 2.1. Morfologi Udang Vaname (Bailey- Brock and Moss, 1992 yang dikutip olehGiang, 2012).

2.2 Organ Limfoid

Organ limfoid pertama kali diperkenalkan oleh Masao Oka pada tahun

1969, yang terdapat pada Penaeus orientalis sehingga organ limfoid juga sering

(19)

6

(2002) menjelaskan bahwa organ oka ini terdiri dari dua lobus, terletak di

dorso-anterior hepatopankreas dan ventro-lateral lambung dorso-anterior dan posterior.

Menurut Lu et al., (1995) organ limfoid memiliki letak yang unik dan relatif

kecil, sehingga tidak mudah untuk identifikasi dan pemotongan organ, apalagi

ketika udang yang digunakan ukurannya kurang dari 10 gram. Nuryati (2000)

mengatakan bahwa organ limfoid terletak di bagian depan hepatopankreas. Organ

ini terdiri atas dua lobus yang menyatu membentuk bulatan dengan diamater

kira-kira 3 mm berwarna putih.

Berdasarkan observasi yang dilakukan ditemukan adanya pembuluh aferen

dan eferen pada organ limfoid. Pembuluh aferen dihubungkan oleh arteri antena

yang membagi dua dan menjadi pusat dari tubula. Organ limfoid pada krustasea

memainkan peran penting dalam respon imun. Organ ini diketahui sebagai pusat

akumulasi benda-benda asing yang masuk ke tubuh udang termasuk patogen

(Oka, 1969).

Gambar 2.2. Letak Organ Limfoid Udang Penaeid (Giang, 2012)

(20)

2.3 Kultur Sel

Kultur sel adalah kultur sel-sel yang berasal dari organ atau jaringan yang

telah diuraikan secara mekanis atau enzimatis menjadi suspensi sel. Suspensi sel

ini selanjutnya dibiakkan secara in vitro di atas permukaan yang keras misalnya

botol, tabung atau cawan atau menjadi suspensi sel dalam media penumbuh

(Malole, 1990). Kultur primer mengacu pada tahap kultur setelah sel-sel yang

terisolasi dari jaringan kemudian dikembangbiakkan di bawah kondisi yang tepat

dan terkontrol sampai menempati semua substrat yang tersedia (yaitu, mencapai

konfluen). Pada tahap ini, sel-sel harus disubkultur dengan memindahkannya ke

dalam substat dan medium pertumbuhan yang baru sehingga memberikan lebih

banyak ruang untuk pertumbuhan selanjutnya (Gibco, 2011).

Sel yang telah dikultur biasanya tanpa struktur dan kehilangan bentuk

histotypic serta sifat biokimianya. Umumnya kultur sel tidak mencapai keadaan

stabil kecuali dalam kondisi tertentu. Kultur sel bisa diperbanyak dan terbagi

menjadi replikasi yang identik. Kultur sel dapat diawetkan dengan pembekuan

dan dapat dimurnikan dengan cara menumbuhkannya pada media selektif.

Pemisahan sel secara fisik atau kloning dilakukan untuk memberikan informasi

tentang karakteristik sel (Freshney, 1992).

2.4 Media Pertumbuhan Kultur Sel

Media kultur sel merupakan campuran dari karbohidrat, vitamin, asam

amino, hormon, mineral dan beberapa unsur yang lain. Formulasi nutrisi ini

bervariasi tergantung sel yang akan dikultur. Karbohidrat diberikan terutama

(21)

8

untuk mengurangi terbentuknya asam laktat karena metabolisme galaktosa

lambat. Sumber karbon yang lain misalnya asam amino (terutama L-glutamin)

dan piruvat (ATCC, 2012).

Media dapat membantu mempertahankan pH dan osmolaritas pada saat

kultur disamping penyedia nutrisi. pH dipertahankan dengan satu atau lebih buffer

misalnya CO2/ sodium bikarbonat, fosfat dan hydroxyetil piperazine ethane

sulfonic acid (HEPES). Serum biasanya juga digunakan sebagi buffer. Phenol red

sebagai indikator pH biasa ditambahkan dalam media untuk mengamati

perubahan pH dari warna media yang digunakan (ATCC, 2012). Berdasarkan

kandungan asam amino dan komponen lainnya media ini terdiri dari beberapa

jenis misalnya Eagle’s MEM, Ham’s F-12, CMRL 1066, RPMI 1640, medium

199/TCM, Leibovitz’s L-15 dan sebagainya (Maurer, 1992).

2.4.1 Minimum Esensial Medium (MEM)

MEM merupakan modifikasi dari Basal Medium Eagle (BME). Media ini

dikembangkan oleh Harry Eagle untuk memenuhi kebutuhan gizi spesifik subtipe

tertentu dari sel HeLa dan fibroblas mamalia normal. Konsentrasi asam amino

MEM yang tinggi sangat mendekati komposisi protein sel mamalia. MEM dapat

digunakan baik dengan garam Earle atau garam Hank dan bisa juga ditambah

suplemen dengan asam amino non-esensial. Media ini dapat lebih dimodifikasi

dengan menghilangkan kalsium untuk memfasilitasi pertumbuhan sel-sel pada

kultur suspensi (Himelab, 2011). Kandungan nutrisi yang ada di dalam media

MEM dapat dilihat pada Lampiran. 1.

(22)

2.4.2 Leibovitz (L-15)

Media Leibovitz secara khusus dirancang untuk menumbuhkan sel dalam

suasana bebas CO2. Sistem buffer sodium bikarbonat/CO2 diganti dengan

kombinasi dari asam amino dasar, buffer fosfat dan kadar galaktosa yang tinggi

dan sodium piruvat. Akibatnya, media tidak memerlukan suplementasi dengan

sodium bikarbonat dan dapat digunakan dalam kondisi bebas bertukar gas. Media

dapat digunakan untuk menumbuhkan sel-sel tumor manusia dan embrio sel dan

juga bisa digunakan untuk kultur sel yang stabil seperti HeLa dan Hep-2. Media

ini sering digunakan dalam diagnostik virologi di mana tissue cell lines atau strain

ditumbuhkan dalam sistem tertutup (Himelab, 2011). Kultur sel dapat tumbuh

pada inkubator CO2 asalkan tidak ada pertukaran udara antara media kultur dan

inkubator (ATCC, 2012). Kandungan nutrisi yang ada di dalam Leibovitz-15

dapat dilihat pada Lampiran. 1.

2.4.3 Tissue Culture Medium (TCM) / Medium 199

Medium 199 adalah media pertama yang dikembangkan oleh Morgan,

Morton, dan Parker pada tahun 1950. Media kompleks ini diformulasikan khusus

untuk penelitian nutrisi pada fibroblast primer embrio ayam tanpa adanya aditif.

Terlihat bahwa ekplantasi jaringan bisa bertahan pada Medium 199 tanpa serum

tapi untuk kultivasi sel dalam jangka panjang diperlukan suplementasi media

dengan serum. Medium 199 diformulasikan baik dengan garam Hank atau garam

Earle. Media yang disuplementasi dengan serum dapat digunakan untuk

pertumbuhan berbagai sel. Medium 199 saat ini digunakan untuk pemeliharaan

(23)

10

Kandungan nutrisi yang ada di dalam TCM/Medium 199 dapat dilihat pada

Lampiran. 1.

2.5 Kultur Sel Udang

Kultur sel krustasea khususnya udang penaeid pertama kali

didokumentasikan oleh Quiot et al pada tahun 1968. Pada penelitiannya, para

peneliti memperoleh sebagian besar fibroblas dari embrio dan ovari crayfih

(Astacus pallipes). Kultur monolayer tersebut dapat menjaga aktivitas mitotik sel

selama empat bulan dengan pergantian medium setiap lima hari sekali. Pada tahun

yang sama Quiot et al juga melaporkan kelangsungan hidup dan replikasi kultur

sel jantung dan perut dari kepiting laut Pachygrabsus marmoratus (Luedeman,

1990). Pada tahun 1986 Chen et al pertama kalinya melakukan kultur sel primer

dari grass prawn (P. monodon). Jaringan yang dikultur adalah hati, gonad, perut,

saraf, kulit dan hepatopankreas. Jaringan tersebut diambil dari udang muda

dengan berat 20 gr. Selanjutnya pada tahun 1989, Chen and Kou melakukan

penelitian tentang infeksi Monodon Baculovirus (MBV) pada kultur sel primer

dari organ limfoid P. monodon.

Spesies udang yang sering digunakan dalam kultur sel adalah P. monodon

karena penyebarannya yang luas dan termasuk komoditas akuakultur yang

memiliki nilai ekonomis tinggi. P. japonicus tercacat digunakan sebanyak delapan

kali penelitian kultur sel, P. stylirostris enam kali dan P. vannamei lima kali. Jenis

penaeid yang lain yang telah digunakan dalam kultur sel tercacat hanya satu atau

dua kali saja. Hanya empat jenis spesies krustasea lain selain udang yang telah

diteliti untuk kultur sel yakni kepiting pasir (Emireta asiatica), kepiting renang

(24)

(Liocarcinus depurator), North American lobster (Homarus americanus) dan

crayfish (Orconectus limosus) (Claydon, 2009).

Kultur sel udang dapat berfungsi untuk mengetahui efek patogen secara in

vitro dan untuk menambah pengetahuan dalam pengembangan dan proses

maturasi seksual atau regulasi endokrin pada krustasea (Toullec, 1999). Satu dari

tujuan utama dalam pengembangan kultur sel udang adalah diagnosis penyakit.

Oleh karena itu, cell line harus memiliki potensi yang mendukung pertumbuhan

penyakit secara in vitro. Organ limfoid merupakan target untuk banyak agen

infeksius, sehingga sel dari organ limfoid sesuai untuk mempelajari mekanisme

patogen yang menginfeksi udang. Inilah alasan mengapa organ limfoid paling

banyak digunakan dalam penelitian kultur sel udang (Claydon, 2009). Ovary

tissue juga banyak digunakan karena lokasinya yang mudah dan sangat

menjanjikan untuk pembentukan cell line karena selnya aktif membelah secara

mitosis(Luedeman and Lightner, 1992). Jaringan lain yang telah digunakan dalam

kultur sel krustasea adalah hepatopankreas, hati, embrio, haemosit,

haematopoietik, insang, saraf, mata, epitel, testis dan usus (Claydon, 2009).

2.6 Media Kultur Sel Udang

Banyak penelitian yang mencoba variasi formulasi media kultur

(kombinasi dari media basal dan suplemen) untuk kemampuan mereka dalam

mendukung replikasi atau pemeliharaan sel krustasea yang dikultur. Setidaknya

ada 25 media yang telah digunakan dalam kultur sel udang (Claydon, 2009).

Media yang sering digunakan dalam kultur sel udang adalah M199, L-15 dan

(25)

12

Tercatat beberapa peneliti kultur sel udang menggunakan media M199

(Maeda et al. 2003; Crane and William, 2002; Lang et al. 2002; Shimizu et al.

2001; Itami et al. 1999; Hu, 1990 dan Brody and Chang, 1989), media L-15

(Chen and Kou, 1989; Fuerst et al. 1991; Najafabadi et al. 1992; Tapay et al.

1995; Lu et al. 1995; Kasornchandra et al. 1999; Mulford et al. 2001; dan Uma et

al. 2002) dan media MEM (Neumann et al. 2000; Chen and Wang, 1999; Walton

and Smith, 1999; Puroshothaman et al. 1998; Frerichs, 1996; Rosenthal and

Diamant, 1990; dan Itami et al. 1989). Media lain yang pernah digunakan dalam

kultur sel udang adalah Grace’s medium, RPMI-1640, CMRL-1066, McCoy’s

5A medium, DMEM dan Ham F-12 (Claydon, 2009).

2.7 Teknik Aseptik

Metode aseptis pada kultur jaringan adalah upaya untuk memberikan batas

antara mikroorganisme yang banyak terdapat dalam lingkungan bebas dan

lingkungan kultur yang tidak terkontaminasi di dalam dish atau flask. Oleh karena

itu semua alat dan bahan yang akan berkontak langsung dengan lingkungan kultur

harus dalam kondisi steril (Boediono, 2002).

Pengerjaan kultur sel dalam Laminar Air Flow (LAF) adalah upaya untuk

memperkecil kemungkinan terjadinya kontaminasi selama penanganan sediaan

kultur. LAF yang digunakan dalam penelitian adalah LAF dengan tipe horizontal,

dimana aliran udara berasal dari arah depan mengalir paralel dengan permukaan

area kerja. Pada tipe ini aliran udara lebih stabil dan merupakan tipe yang ideal

untuk mencegah kontaminasi sediaan kultur jaringan (Boediono, 2002).

(26)

Kontaminasi merupakan permasalahan umum dan biasa ditemukan pada

kultur sel. Kontaminan ini terbagi atas dua jenis yaitu kontaminasi kimia dan

kontaminasi biologi. Kontaminasi kimia seperti yang disebabkan oleh serum,

kemurnian media, air, endotoksin, bahan plastik dan deterjen. Kontaminasi

biologi biasanya disebabkan oleh bakteri, jamur, ragi, virus, mycoplasma dan

kontaminasi silang oleh sel lain (Gibco, 2011).

Bakteri, ragi, jamur, lumut dan mycoplasma adalah jenis kontaminasi yang

sering terjadi melalui peneliti pelaksana, udara, area kerja, media dan sumber lain

yang memungkinkan kontak langsung dengan sistem kultur jaringan. Kontaminasi

bisa terjadi secara minor dan terbatas pada satu atau dua dish, namun bisa juga

menyebar pada sediaan yang lain bahkan bisa mengontaminasi seluruh pekerjaan

kultur jaringan dalam satu laboratorium (Boediono, 2002).

2.8 Faktor Pendukung dalam Kultur Sel 2.8.1 Suhu

Suhu optimal untuk kultur sel sangat tergantung pada suhu tubuh hewan

dari mana sel-sel tersebut diisolasi, dan untuk tingkat yang lebih rendah pada

variasi anatomi suhu (misalnya, suhu kulit mungkin lebih rendah dari suhu otot

rangka). Overheating adalah masalah yang lebih serius daripada underheating

untuk kultur sel, sehingga seringkali suhu di inkubator diatur sedikit lebih rendah

dari suhu optimal (Gibco, 2011). Temperatur yang direkomendasikan untuk

sebagian besar kultur sel mamalia adalah 370C, mendekati panas tubuhnya, tetapi

(27)

14

2.8.2 pH

Stabilitas pH pada media sangat penting untuk pertumbuhan dan

metabolisme sel. Sebagian besar kultur sel tumbuh dengan baik pada pH 7,4.

Meskipun pH optimum untuk pertumbuhan sel relatif bervariasi antara strain sel

yang berbeda. Beberapa sel fibroblas tumbuh baik pada pH 7,4-7,7, dan beberapa

sel fibroblas yang lain tumbuh lebih baik pada pH 7,0-7,4 (Gibco, 2011). Sel-sel

epidermis dapat tumbuh pada pH 5,5 tetapi tingkat ini belum diadopsi secara

universal (Eisinger et al., 1979 dalam Freshney, 2005).

Freshney (2005) menjelaskan bahwa phenol red umumnya digunakan

sebagai indikator pH. Media yang berwarna merah menunjukkan bahwa media

tersebut berada pada kisaran pH 7,4 dan warna orange pada pH 7,0, kuning pada

pH 6,5, lemon kuning di bawah pH 6,5, lebih merah muda pada pH 7,6 dan ungu

pada pH 7,8.

2.8.3 CO2

Sistem karbondiokasida-bikarbonat adalah sistem buffer yang biasa

terdapat dalam media. CO2 perlu ditambahkan pada ruangan di atas medium untuk

mencegah keluarnya CO2 yang dapat meningkatkan ion hidroksida sehingga

menyebabkan menurunnya pH media (Malole, 1990). CO2 yang biasa digunakan

dalam penelitian adalah 4-10% dan yang paling sering digunakan adalah 5-7%

CO2 (Gibco, 2011).

2.8.4 Metode Pemisahan Sel

Kultur sel primer dapat diperoleh dari pemisahan jaringan menjadi sel.

Pemisahan jaringan menjadi sel ini dapat dilakukan secara mekanis ataupun

(28)

enzimatis. Pemisahan secara mekanis dapat menggunakan magnetic stirrer atau

dengan diaspirasi menggunakan pipet atau syringe. Pemisahan secara enzimatis

menggunakan enzim tripsin, pronase, kolagenase atau enzim campuran seperti

kolagenase/dispase. Penggunaan enzim ini tidak aman untuk semua jaringan

karena bila enzim berlebihan atau tidak cocok malah akan merusak jaringan

(29)

III KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Konseptual

Perkembangan produksi udang Indonesia setiap tahun selalu menunjukkan

peningkatan, namun dalam proses budidayanya sering mengalami masalah.

Masalah utama yang masih sulit dikendalikan pada budidaya udang vaname

adalah munculnya penyakit. Penyakit yang menyerang udang pada umumnya

menyerang sistem kekebalan tubuh dimana pada udang sistem kekebalan tubuh ini

diperankan oleh organ limfoid (Kondo et al., 1994). Informasi tentang

karakteristik penyakit yang diperlukan untuk pencegahan dan pengendalian pada

udang belum banyak diketahui sehingga perlu adanya penyediaan biakan sel

udang (Nuryati, 2000).

Kultur sel limfoid udang merupakan cara yang bisa digunakan untuk

mengetahui karakteristik penyakit karena organ limfoid merupakan target dari

banyak agen infeksius, sehingga sel dari organ limfoid sesuai untuk mempelajari

mekanisme patogen yang menginfeksi udang (Claydon, 2009).Faktor lingkungan

yang berpengaruh terhadap keberhasilan kultur sel diantaranya adalah CO2, pH,

suhu dan media pertumbuhan. Dari faktor-faktor tersebut, media pertumbuhan

merupakan faktor yang berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan sel.

Media kultur merupakan komponen terpenting pada kultur sel karena

media menyediakan kebutuhan nutrisi, faktor pertumbuhan dan hormon bagi

pertumbuhan sel, maupun regulasi pH dan tekanan osmotik pada kultur sel

(Gibco, 2011). Media pertumbuhan kultur sel ini terdiri dari berbagai macam

(30)

media. Berdasarkan kandungan nutrisinya, media yang sering digunakan dalam

kultur sel udang adalah M199, L-15 dan MEM (Toullec, 1999).

Adanya perbedaan nutrisi asam amino dan buffer yang terkandung dalam

setiap media akan menunjukkan media terbaik bagi pertumbuhan kultur sel

limfoid udang vaname. Media terbaik yang digunakan, akan menyebabkan sel

menjadi cepat tumbuh stabil dan konfluen. Kultur sel yang diperoleh diharapkan

dapat digunakan sebagai media dalam penelitian penyakit yang biasa menyerang

budidaya udang vaname di Indonesia. Adanya penelitian lanjutan akan diperoleh

informasi mengenai karakteristik penyakit. Informasi tersebut nantinya bisa

dijadikan referensi untuk pengembangan pengendalian penyakit udang sehingga

pada akhirnya masalah penyakit pada budidaya udang vaname dapat teratasi.

Skema konseptual dapat dilihat pada Gambar. 3.1.

3.2 Hipotesis

1. Terdapat perbedaan pertumbuhan kultur sel limfoid udang vaname (L.

vannamei) pada media yang berbeda.

2. Terdapat media terbaik bagi pertumbuhan kultur sel limfoid udang vaname

(31)

18

Gambar. 3.1. Skema Kerangka Konseptual Keterangan:

: Aspek yang diteliti : Aspek yang tidak diteliti

Udang vaname

Sel limfoid Penyakit

Kultur sel

Leibovitz L-15 Media kultur sel

MEM

CO2 pH Suhu

TCM

Asam amino dan buffer yang sesuai dengan kebutuhan sel limfoid

Kultur sel limfoid tumbuh cepat Lingkungan

Stabil Konfluen

(32)

IV METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium In Vitro, Fakultas Kedokteran

Hewan, Universitas Airlangga pada bulan Februari 2014.

4.2 Materi Penelitian 4.2.1 Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah udang vaname berumur

2 bulan dengan panjang tubuh ± 8 cm, media MEM, media L-15, media TCM,

penicilin-streptomycin, amphoterycin B, Fetal Calf Serum (FCS), NaHCO3,

aquabidest, tripsin, phenol red, trypanblue dan larutan fiksatif.

4.2.2 Alat Penelitian

Peralatan penelitian yang digunakan adalah Petri dish, substrat, botol 250

ml, pinset, gunting, gelas ukur, centrifuge, mikroskop inverted, pipet Pasteur,

syringe injeksi, mikrofilter, timbangan, tally counter, penggaris, Laminar Air

Flow (LAF), inkubator CO2, autoclave dan lemari es.

4.3 Metode Penelitian

4.3.1 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap

(RAL) dengan asumsi media dan bahan percobaan sama dari pengambilan sampel

sampai dengan pengerjaan serta kondisi laboratorium. Perlakuan yang digunakan

(33)

20

Perlakuan A : menggunakan media kultur MEM

Perlakuan B : mengunakan media kultur L-15

Perlakuan C : menggunakan media kultur TCM

Variabel penelitian ini adalah:

Variabel bebas : media kultur MEM, L-15 dan TCM

Variabel tergantung : jumlah sel limfoid udang vaname dan viabilitas

Variabel kendali : inkubator anaerob, alat dan bahan yang digunakan

penelitian.

4.4 Prosedur Kerja 4.4.1 Persiapan Peralatan

Alat-alat yang akan digunakan disterilkan terlebih dahulu untuk mencegah

adanya kontaminasi. Sterilisasi peralatan yang tahan terhadap panas seperti pipet,

Petri dish, botol, gunting, pinset dan gelas ukur dapat dilakukan dengan metode

panas basah yaitu memanaskan alat ke dalam autoclave pada suhu 121°C selama

15 menit.

Sterilisasi untuk media kultur dilakukan secara mekanik yaitu dengan

metode filtrasi. Penyaringan dilakukan dengan menggunakan mikrofilter dengan

bantuan syringe injeksi. Sterilisasi area kerja dilakukan dengan menyemprot meja

menggunakan alkohol 70%, kemudian dilap. Selama proses pengerjaan, teknik

aseptis harus selalu diterapkan yakni dengan mencuci tangan dengan sabun

kemudian menyemprot alkohol 70% ke tangan sebelum dan sesudah melakukan

kegiatan.

(34)

4.4.2 Pembuatan Media Kultur Sel

Media merupakan salah satu hal terpenting dalam pertumbuhan kultur sel.

Media yang digunakan dalam penelitian kultur sel limfoid udang vaname adalah

MEM, L-15 dan TCM. Masing-masing media tersebut mempunyai kandungan

asam amino, vitamin dan garam mineral yang berbeda-beda. Cara membuat media

kultur sel yakni dengan mencampurkan media dalam 100 ml aquabidest, 0,1 µl

penicillin - streptomycin, 0,1 µl amphoterycin B, 0,2 gr NaHCO3 dan 3 ml FCS.

Semua bahan tersebut dimasukkan ke dalam botol 250 ml kemudian dikocok

hingga seluruh bahan tercampur. Setelah media tercampur selanjutnya disterilkan

dengan mikrofilter ukuran 0,22 µm.

4.4.3 Pengambilan Organ Limfoid

Udang vaname yang akan diambil organ limfoidnya disemprot dengan

alkohol 70% merata ke seluruh tubuh udang. Pisau maupun gunting yang

digunakan untuk membedah udang juga disemprot dengan alkohol 70%.

Pengambilan organ dilakukan dengan cara membuka bagian ventral udang

menggunakan gunting secara hati-hati sampai organ dalam udang terlihat. Organ

limfoid kemudian digunting dan dipisahkan dari organ lainnya. Pengambilan

organ limfoid harus dilakukan secepat mungkin untuk menghindari lamanya

kontak dengan udara bebas.

Organ limfoid yang terambil diletakkan pada cawan Petri steril dan diberi

media sebanyak 0,5 ml. Organ dipotong kecil-kecil selanjutnya dimasukkan ke

dalam tabung sentrifuge yang telah terisi 2 ml media dan disentrifuge selama 10

(35)

22

yang terbentuk ditambah dengan media 2 ml kemudian disentrifuge untuk kedua

kalinya.

4.4.4 Kultur Sel

Organ limfoid yang mengendap di dalam tabung sentrifuge ditambah

dengan 1 ml media kemudian dimasukkan ke dalam substrat dan ditambah media

sebanyak 2 ml. Substrat yang digunakan diberi label sesuai dengan nama

masing-masing media (MEM, L-15 dan TCM). Substrat yang telah terisi diinkubasi dalam

inkubator pada suhu 28°C dengan kadar CO2 5%.

4.4.5 Pengamatan

Pengamatan terhadap kultur sel limfoid udang vaname dilakukan setiap

tiga hari sekali menggunakan mikroskop inverted dengan perbesaran 400 kali.

Penghitungan sel dilakukan setiap enam hari sekali dengan menggunakan

haemocytometer. Pengamatan dan penghitungan sel dilakukan dalam LAF untuk

mengurangi risiko kontaminasi. Sel yang teramati di foto dan hasil penghitungan

yang didapat kemudian dibuat data. Menurut Phelan (1998), jumlah sel yang

tumbuh dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

Penghitungan viabilitas sel dilakukan pada hari terakhir kultur. Viabilitas

sel dapat diketahui dengan cara menambahkan trypan blue sebanyak ± 0,5 ml ke

dalam substrat. Sel yang hidup bewarna bening dan yang mati bewarna biru. Hal

tersebut dikarenakan sel yang hidup tidak bisa menyerap trypan blue (Ott, 2004).

Viabilitas sel dihitung dengan menggunakan rumus (Butler, 2004). Sel/ml = jumlah sel x pengencer x 104

(36)

% sel yang hidup = Jumlah sel yang hidup + jumlah sel yang mati Jumlah sel yang hidup x 100 %

4.4.6 Parameter Penelitian

Pada penelitian ini parameter utama yang diamati adalah pertumbuhan sel

pada media kultur (sel mampu memperbanyak diri) serta viabilitas yang tinggi.

Parameter penunjang adalah ada tidaknya kontaminasi pada kultur sel. Bagan alir

pelaksanaan penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1. Diagram Alir Penelitian Persiapan alat dan bahan

Pembuatan media kultur sel (MEM, L-15 dan TCM)

Pengambilan organ limfoid

Kultur sel organ limfoid

TCM

MEM Leibovitz L-15

Perhitungan jumlah sel setiap enam hari sekali

Analisis data

A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3

(37)

24

4.4.7 Analisis Data

Data hasil penelitian disajikan dalam bentuk tabel dan gambar serta

dianalisis menggunakan ANAVA. Apabila hasil yang didapat menunjukkan

adanya perbedaan maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan untuk

mengetahui perbedaan antara perlakuan yang satu dengan perlakuan yang lainnya

(Kusriningrum, 2012).

(38)

V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1Hasil

5.1.1 Pertumbuhan Kultur Sel Limfoid

Pertumbuhan sel limfoid udang vaname diamati di bawah mikroskop

inverted dengan perbesaran 400 X setiap tiga hari sekali. Hal ini bertujuan agar sel

dapat tumbuh baik dan menempel pada dasar plate. Hasil penelitian kultur sel

limfoid udang vaname pada media MEM, L-15 dan TCM menunjukkan

pertumbuhan yang berbeda pada setiap media.

Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan, sel limfoid yang

tumbuh berbentuk bulat kecil dan tersebar di seluruh bagian plate. Pada semua

media yang diujikan, kultur sel limfoid udang vaname tumbuh di sekitar eksplan.

Hal ini menunjukkan bahwa ketiga media mampu menyediakan nutrisi yang

dibutuhkan sel limfoid untuk berproliferasi. Hasil pengamatan pertumbuhan sel

(39)

26

(a) (b)

(c)

Gambar 5.1. Pertumbuhan Sel Limfoid pada Hari Ketiga Kultur Keterangan : bagian yang ditunjuk anak panah adalah sel limfoid yang tumbuh

pada (a) Media MEM, (b) Media L-15, (c) Media TCM

Pada pengamatan selanjutnya yakni hari keenam dari penanaman sel,

kultur dalam media MEM, L-15 maupun TCM menunjukkan sel limfoid tumbuh

lebih padat dibandingkan saat pengamatan hari ketiga. Sel limfoid terlihat lebih

rapat dan jarak antar sel yang tumbuh menjadi semakin sempit. Beberapa sel yang

lain juga terlihat bertumpukan sehingga ketika diamati, sel menjadi tidak jelas

akibat tumpukan antar sel. Sel yang tumbuh padat (konfluen) kemudian dihitung

jumlah selnya dan selanjutnya dilakukan subkultur. Pengamatan mikroskopik

(40)

pertumbuhan sel limfoid udang vaname pada hari keenam dapat dilihat pada

Gambar 5.2.

(a) (b)

(c)

Gambar 5.2. Pertumbuhan Sel Limfoid pada Hari Keenam Kultur (a) Media MEM, (b) Media L-15, (c) Media TCM

Pada penelitian ini dilakukan subkultur sebanyak 3 kali setiap enam hari

sekali. Subkultur dilakukan untuk mempertahankan pertumbuhan sel dalam

kultur. Pada hari keenam kultur terlihat perubahan warna dari yang mulanya

berwarna merah menjadi oranye. Hal ini menunjukkan bahwa pH media menurun

dan kemungkinan nutrisi yang tedapat dalam media telah berkurang. Media juga

(41)

28

telah tumbuh padat sehingga apabila tidak dilakukan penggantian media atau

subkultur maka sel akan mati.

Pertumbuhan kultur sel secara in vitro dapat diketahui dengan cara

menghitung jumlah sel dibawah mikroskop pada interval waktu tertentu.

Penghitungan sel dilakukan dengan menggunakan haemocytometer dan hasil yang

didapat dimasukkan ke dalam rumus penghitungan. Penghitungan jumlah sel yang

tumbuh dilakukan ketika sel telah mencapai kondisi konfluen. Pada penelitian ini,

penghitungan dilakukan setiap enam hari sekali sebelum melakukan subkultur.

Hasil penghitungan jumlah sel limfoid pada ketiga media dapat dilihat pada Tabel.

5.1. sedangkan data jumlah kepadatannya dapat dilihat pada Lampiran 3.

Tabel 5.1.Rata-RataPenghitungan Jumlah Sel Limfoid pada Media Berbeda

Kultur MEM ± SD Media

( x 106 sel/ml) (x 10L-15 ± SD 6 sel/ml) (x 10TCM ± SD 6 sel/ml) Hari ke-6 8,333 ± 1,155 c 19,667 ±1,528 a 15 ± 1,000 b Hari ke-12 14,667 ± 1,528 c 29,667 ± 1,155 a 20,667 ± 1,155 b Hari ke-18 22,333 ± 1,155 c 39 ± 1,000 a 28,667 ± 1,528 b

Keterangan: perbedaan notasi pada kolom yang berbeda menunjukkan bahwa setiap perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda signifikan (p<0,05)

Grafik pertumbuhan sel limfoid udang vaname pada media MEM, L-15

dan TCM disajikan pada Gambar 5.3.

(42)

Gambar 5.3. Grafik Pertumbuhan Sel Limfoid Udang Vaname

Hasil Analisis of Varian (ANOVA) jumlah sel limfoid udang vaname yang

dikultur pada media MEM, L-15 dan TCM hingga hari ke-18 kultur menunjukkan

bahwa perlakuan media memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05)

terhadap jumlah sel limfoid udang vaname. Hasil analisis data dapat dilihat pada

Lampiran 4. Uji statistika dilanjutkan dengan menggunakan Uji Jarak Berganda

Duncan. Hasil Uji Jarak Berganda Duncan pada hari ke-6, ke-12 dan ke-18 kultur

disimpulkan bahwa perlakuan B (media L-15) memberikan hasil kultur sel limfoid

udang vaname tertinggi yang berbeda nyata dengan perlakuan C (media TCM)

dan perlakuan A (media MEM). Sedangkan hasil kultur sel limfoid udang vaname

terendah diperoleh pada perlakuan A. Antara perlakuan A dan perlakuan C juga

(43)

30

5.1.2 Viabilitas Sel Limfoid Udang Vaname

Viabilitas sel limfoid udang vaname dihitung pada hari terakhir

pemeliharaan sel yakni pada hari ke-18. Viabilitas menggambarkan kemampuan

daya hidup dari sel yang dikultur. Penentuan viabilitas sel menggunakan

pewarnaan dengan trypan blue dan penghitungannya dilakukan dengan bantuan

handlycounter. Semua sel yang terlihat dalam satu lapang pandang dihitung baik

sel yang berwarna bening maupun sel yang berwarna biru. Sel yang bening

menunjukkan bahwa sel masih bertahan hidup sedangkan sel yang berwarna biru

menunjukkan bahwa sel tersebut telah mati. Hasil penghitungan sel yang hidup

dan mati kemudian dimasukkan dalam rumus viabilitas. Hasil prosentase

viabilitas sel pada ketiga media disajikan dalam Tabel. 5.2.

Tabel. 5.2 Viabilitas Sel Limfoid pada Media Berbeda

Ulangan MEM (%) Perlakuan L-15 (%) TCM (%)

1 98 97 97

2 97 98 98

3 98 99 97

Rata-rata ± SD 97,667 ± 0,577a 98 ± 1,000a 97,333 ± 0,577a

Keterangan: notasi yang sama pada kolom yang berbeda menunjukkan bahwa setiap perlakuan tidak memberikan pengaruh yang signifikan (p>0,05)

Hasil Analisis of Varian (ANOVA) viabilitas sel limfoid udang vaname

yang dikultur pada media MEM, L-15 dan TCM menunjukkan bahwa perlakuan

media tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0,05) terhadap viabilitas sel

limfoid udang vaname. Hasil analisis data dapat dilihat pada Lampiran 5. Grafik

(44)

viabilitas sel limfoid udang vaname pada media MEM, L-15 dan TCM disajikan

pada Gambar 5.4.

Gambar 5.4. Grafik Viabilitas Sel Limfoid Udang Vaname

Pada penelitian ini, berdasarkan hasil penghitungan viabilitas sel limfoid

pada media MEM, L-15 dan TCM menunjukkan hasil yang baik karena nilai

viabilitas pada ketiga media lebih dari 95 %. Hal ini ditunjukkan dengan warna sel

berwarna bening yang lebih dominan setelah diberi trypan blue (Gambar. 5.5).

Gambar. 5.5. Viabilitas Sel Limfoid

Keterangan: : sel yang hidup : sel yang mati

96,8 97 97,2 97,4 97,6 97,8 98 98,2

MEM L-15 TCM

(45)

32

5.2Pembahasan

Kultur sel merupakan istilah yang digunakan dalam pemeliharaan atau

pengembangan sel secara in vitro mencakup kultur sel tunggal. Pada kultur sel, sel

yang tumbuh tidak panjang seperti sel pada jaringan (ATCC, 2012). Sel yang

ditumbuhkan di dalam media kultur (in vitro) akan kehilangan sifat interaksi sel

yang spesifik serta menjadi mobile ketika sel menyebar dan mulai berproliferasi

sehingga populasi sel meningkat (Djuwita, 2002). Media merupakan faktor

terpenting bagi pertumbuhan dan perkembangan kultur sel. Pada penelitian ini,

media yang digunakan ada tiga macam yakni media MEM, media L-15 dan media

TCM. Metode aseptis harus selalu diterapkan dalam proses pembuatan kultur sel,

mengingat rawannya terjadi kontaminasi.

Pertumbuhan kultur sel limfoid udang vaname menunjukkan hasil yang

berbeda pada masing-masing media. Sel limfoid yang dikultur ini bisa tumbuh

setelah 24 jam inokulasi (Itami et al., 1999) dan mencapai monolayer pada hari

ke-7 hingga hari ke-8 (Lu et al., 1995). Proses pembelahan sel limfoid terbagi

dalam 12 tahap. Setelah pembelahan sel, sel turunan mereka berbentuk seperti sel

fibroblas atau epiteloid (Lang et al., 2002). Sel limfoid yang dikultur dapat

bertahan hingga 54 hari. Sel tidak bisa bertahan lama setelah diberi tripsin atau

kolagen yang digunakan saat pemisahan sel (Itami et al., 1999).

Sel limfoid udang vaname bisa tumbuh dengan baik kemungkinan karena

dipengaruhi oleh beberapa faktor misalnya suhu, CO2 dan nutrisi yang

terkandung dalam media. Pada penelitian kultur sel limfoid udang vaname, suhu

yang digunakan sebesar 280C. Menurut Hsu et al. (1995) dan Luedeman (1990),

(46)

pada suhu 280C kultur sel limfoid udang dapat tumbuh dengan baik. Pernyataan

ini didukung oleh Itami et al. (1999) yang menyatakan bahwa kultur sel limfoid

udang tumbuh baik pada suhu 250C - 300C dan akan tumbuh optimum pada suhu

300C. Pada penelitian ini kadar CO

2 yang digunakan sebesar 5%. Malole (1990)

menyebutkan penggunaan kadar CO2 sebesar 5% dapat digunakan sebagai

pengatur keseimbangan pH dalam media.

Umur udang juga bisa berpengaruh terhadap pertumbuhan kultur sel

limfoid udang. Semakin dewasa udang maka kemampuan regenerasi selnya

semakin melambat sehingga saat dikultur pertumbuhan selnya butuh waktu yang

agak lama. Kultur sel yang berasal dari jaringan muda akan mengandung lebih

banyak sel-sel prekursor dan memiliki kemampuan proliferasi serta daya tahan

yang lebih tinggi dibandingkan sel yang berasal dari jaringan dewasa (Djuwita,

2002). Lu et al., (1995) menyatakan ukuran udang optimal yang digunakan untuk

preparasi kultur primer sel Oka adalah 20 – 30 gram. Penggunaan udang yang

berukuran kurang dari 10 gram akan menyulitkan saat pengambilan organ limfoid.

Udang yang telah dewasa dan beratnya lebih dari 30 gram umumnya tidak

direkomendasikan karena sel dari organ-organnya terlihat lebih lambat saat

berproliferasi dan lebih cepat berdegenerasi walaupun terlihat organnya lebih

besar.

Pertumbuhan sel pada ketiga media yang diujikan menunjukkan hasil yang

baik karena viabilitas sel limfoid lebih dari 95%. Gibco (2011) menyatakan bahwa

media yang baik adalah yang dapat mempertahankan kelangsungan hidup sel yang

(47)

34

karena jumlah sel limfoid yang tumbuh pada ketiga media melebihi 104 sel/ml.

Menurut Phelan (1998) kultur sel yang tumbuh sebesar 104 sel/ml termasuk dalam

kategori rendah dan kultur sel dalam kategori tinggi ataupun bisa juga dikatakan

berhasil yakni bila sel yang dikultur tumbuh minimal 105 sel/ml.

Pertumbuhan kultur sel limfoid udang vaname yang tertinggi adalah pada

media L-15 dengan rata-rata jumlah sel sebesar 19,667 x 106 sel/ml pada hari

ke-6 dan menjadi 39 x 106 sel/ml pada hari ke-18 dengan viabilitas mencapai

98%. Data statistik menunjukkan bahwa pertumbuhan kultur sel limfoid udang

vaname pada media L-15 berbeda signifikan dengan pertumbuhan kultur sel

limfoid udang vaname pada kedua media lainnya (p < 0,05).

Crane and Williams (1997) menyatakan bahwa dari tiga media komersial

yakni MEM, L-15 dan TCM yang digunakan dalam kultur sel udang, L-15

merupakan media terbaik daripada kedua media lainnya. Pendapat ini didukung

oleh Toullec (1999) yang menyatakan media L-15 dan TCM bila digunakan

dalam kultur sel menunjukkan hasil yang berbeda jauh. TCM dan L-15 secara

konsisten berhasil menghasilkan kultur primer dari berbagai jaringan krustasea.

Kedua media ini memiliki komposisi dan konsentrasi komponen yang berbeda

secara signifikan (Lang et al., 2002). Baik TCM dan L-15 biasanya digunakan

sebagai media kultur sel ikan, tetapi L-15 lebih sering digunakan (Lee et al., 1993

dalam Claydon, 2009) dan dilaporkan lebih berhasil daripada TCM dalam

memulai kultur sel primer ikan (Schreera et al ., 2005 dalam Claydon, 2009).

Keberhasilan L-15 ini mungkin dikarenakan media ini memiliki kapasitas

buffer yang lebih besar daripada kedua media lainnya, sehingga memungkinkan

(48)

sel-sel untuk memanfaatkan asam amino bebas dan menggantikan glukosa dengan

galaktosa dan piruvat. Piruvat pada media ini memungkinkan sel untuk

meningkatkan produksi CO2 endogeneous sehingga tidak bergantung pada CO2

dan HCO3 eksogeneous (Griffiths, 1986). Walaupun TCM mengandung lebih

banyak jenis vitamin dan asam amino, namun vitamin dan asam amino yang

terdapat pada L-15 mempunyai konsentrasi yang lebih tinggi (Claydon, 2009).

Konsentrasi asam amino dan vitamin yang lebih tinggi mengakibatkan

kemampuan proliferasi sel limfoid udang vaname pada media L-15 lebih optimal

(49)

VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Kultur sel limfoid udang vaname bisa tumbuh pada ketiga media yang

diujikan (media MEM, media L-15 dan media TCM) dengan jumlah yang

berbeda.

2. Media L-15 merupakan media terbaik bagi kultur sel limfoid udang

vaname.

6.2 Saran

Media L-15 merupakan media terbaik bagi kultur sel limfoid udang

vaname. Untuk itu dalam pembuatan kultur sel limfoid udang vaname sebaiknya

menggunakan media L-15 sehingga akan didapatkan hasil pertumbuhan sel

limfoid yang optimal.

(50)

DAFTAR PUSTAKA

Alifuddin, M. 2002. Imunostimulasi pada Hewan Akuatik. Jurnal Akuakultur Indonesia, 1(2): 87-92.

American Type Culture Collection (ATCC). 2012. Animal Cell Culture Guide. Tips and Techniques for Continuous Cell Line. University Blvd. Manassas, VA 20110.

Boediono, A. 2002. Teknik Aseptis dan Upaya Mencegah Kontaminasi pada Kultur Jaringan. Modul VII. Pemanfaatan Teknik Jaringan dan Histokimia dalm Penelitian dan Terapan Bidang Biologi dan Biomedis. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan Nasional. 12 hal. Butler, M. 2004. Animal Cell Culture and Technology. Second Edition. BIOS

Scientific Publisher. New York: 1-78.

Chen, S.N., S.C. Chi, G .H. Kou, and I.C. Liao. 1986. Cell Culture from Tissues of Grass Prawn, Penaeus monodon. Fish Pathol. 21: 161-166.

Chen, S.N., and G.H. Kou. 1989. Infection of Cultured Cells from the Lymphoid Organ of Penaeus monodon Fabricius by Monodon-type Baculovirus (MBV). J. Fish Diseases 12: 73-76.

Claydon, K. 2009. Adavances in Crustacean Cell Culture. PhD Thesis. School of Veterinary and Biomedical Sciences. James Cook University.

Corteel, M. 2013. White Spot Syndrome Virus Infection in P. vannamei and M. rosenbergii: Experimental Studies on Susceptibility to Infection and Disease.Dissertation, Ghent University, Belgium: 7-34.

Crane, M. S. and L. M. Williams. 1997. Development of Continuous Prawn Cell Lines for Virus Isolation and Cultivation. Fisheries Research & Development Corporation. Australia. 39 p.

Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 2013. Udang Vaname Nusantara 1, Mendukung Program Revitalisasi Tambak. Kementerian Kelautan dan Perikanan. http://www.djpb.kkp.go.id/berita.php?id=899. diakses 6 September 2013.

(51)

38

Freshney, R. I. 1992. Introduction to Basic Principles. Animal Cell Culture A Practical Approach Second Edition. Oxford University Press. New York. pp.1-14.

Freshney, R. I. 2005. Culture of Animal Cell. A Manual of Basic Technique Fifth Edition. John Wiley & Sons, Inc. pp. 115-128.

Giang, N. T. T. 2012. Pathogenesis of Gill Associated Virus Disease on Pacific White Shrimp (P. vannamei). Master’s Dissertation. Faculty of Bioscience Engineering. Universiteit Gent. Belgium. pp. 4-24.

Gibco. 2011. Cell Culture Basics. 56 p. www.invitogen.com.

Griffiths, J. 1986. Scaling-up of Animal Cell Cultures. In: R. I Freshney (Ed). Animal Cell Culture. IRL Press, Washington DC. pp. 36-69.

Harijanto. 2012. Kemampuan Proteksi Protein Membran Imunogenik

Zoothamnium penaei terhadap Zoothamniosis pada Udang Vannamei.

Thesis. Fakultas Perikanan dan Kelautan. Universitas Airlangga. Surabaya. hal. 1-4

Hariyanto, T. dan Maskur. 2013. Kerjasama Pencegahan Penyakit Udang untuk Mendukung Pencapaian Peningkatan Produksi. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Kementerian Kelautan dan Perikanan. http://www.kkp.go.id/index.php/arsip/c/9116/. diakses 6 September 2013. HiMedia Laboratories. 2011. HiMedia Cell Culture Enabling Breakthroughs.

Product Information. HiMedia Laboratories Pvt. Ltd. A-516. Mumbai. India.

Hsu, Y., Y. H. Yang, Y. C. Chen, M. C. Tung, J. L. Wu, M. H. Engelking and J. C. Leong. 1995. Development of an In Vitro Subculture System for the Oka Organ (Lymphoid Tissue) of Penaeus monodon. Aquaculture 136: 43-55.

Itami, T., M. Maeda, M. Kondo and Y. Takahashi. 1999. Primary Culture of Lymphoid Organ Cells and Haemocytes of Kuruma Shrimp (Penaeus japonicus). Methods in Cell Science 21: 237-244.

Kondo, M., T. Itami, Y. Takahashi, R. Fujii and S. Tomonaga. 1994. Structure and Function of the Lymphoid Organ in the Kuruma Prawn. Dev Comp Immunol 18(Suppl 1): S109

Kusriningrum. 2012. Buku Ajar Perancangan Percobaan. Cetakan Keempat. Dani Abadi. Surabaya. hal. 31-51.

Lang, G. H., N. Nomura, B. Z. Wang and M. Matsumura. 2002. Penaeid (Penaeus japonicus) Lymphoid Cells Replicate by Cell Division In Vitro. In Vitro Cell. Dev. Biol. Animal 38: 142-145.

(52)

Lu, Y., L. M. Tapay, P. C. Loh, J. A. Brock and R. Gose. 1995. Development of a Quantal Assay in Primary Shrimp Cell Culture for Yellow Head Baculovirus (YBV) of Penaeid Shrimp. J. Vir. Methods 52: 231-236. Luedeman, R. A. 1990. Development of an In Vitro Primary Cell Culture System

from the Penaeid Shrimp Penaeus stylirostris and Penaeus vannamei and Evaluation of Potential Application. Thesis. Faculty of the Department of Nutrition and Food Science. The University of Arizona. p 1-27.

Luedeman, R. A. and D. V. Lightner. 1992. Development of an In Vitro Primary Cell Culture System from the Penaeid Shrimp Penaeus stylirostris and

Penaeus vannamei. Aquaculture 101: 205-211.

Malole, M. B. 1990. Kultur Sel dan Jaringan Hewan. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Maurer, H. R. 1992. Toward Serum-Free, Chemically Defined Media for Mammalian Cell Culture. In: R. I Freshney (Ed). Animal Cell Culture A Practical Approach Second Edition. Oxford University Press. New York. pp.15-46.

Nuryati, S. 2000. Penyediaan Biakan Sel Organ Limfoid (Oka) Udang Windu Penaeus monodon Secara In Vitro Sebagai Media Tumbuh bagi Virus. Tesis. Ilmu Perairan. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Oka, M. 1969. Studies on the Penaeus orientalis Kishinouye-VIII Structure of the

Newly Found Lymphoid Organ. Nagasaki University’s Academic Output SITE. Bull Jpn Soc Sci Fish 35: 245-250.

Ott, T. 2004. Tissue Culture of Fish Cell Line. Laboratory Procedure Manual. Second Edition. Chapter 10. Lacrosse Fish Health Center.

Phelan, M. C. 1998. Basic Techniques for Mammalian Cell Tissue Culture. Current Protocols in Cell Biology 1.1.1-1.1.10. John Wiley & Sons, Inc. Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan. 2011. Budidaya Udang Vaname

(Litopenaeus vannamei). Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta. hal. 3-13.

Smith, S. F., M. Briggs and W. Miao. 2012. Asia Pacific Fishery Commission. Regional Overview of Fisheries and Aquaculture in Asia and the Pacific 2012. Food and Agriculture Organization of the United Nations Regional Office for Asia and the Pacific. Bangkok. pp. 90-93.

Toullec, J. Y. 1999. Crustacean Primary Cell Culture. A Technical Approach. Methods in Cell Science, 21: 193-198.

(53)

Lampiran 1. Komposisi Media MEM, TCM dan L-15

Komponen Media

MEM TCM/M199 L-15

Asam Amino

L-alanine 2.8E-04 2.5E-03

L-arginine 6.0E-04 3.3E-04 2.9E-03

L-asparagine 3.0E-04 7.6E-05

L-aspartic acid 2.3E-04

L-cysteine 5.6E-07 9.9E-04

L-cystine 1.0E-04 9.9E-05

L-glutamic acid 4.5E-04

L-glutamine 2.0E-03 6.8E-04 2.1E-03

Glycine 6.7E-04 2.7E-03

L-histidine 2.0E-04 1.0E-04 1.6E-03

L-hidroxy-proline 7.6E-05

L-isoleucine 4.0E-04 1.5E-04 9.5E-04

L-leucine 4.0E-04 4.6E-04 9.5E-04

L-lysine HCl 4.0E-04 3.8E-04 5.1E-04

L-methionine 1.0E-04 1.0E-04 5.0E-04

L-phenylalanine 2.0E-04 1.5E-04 7.6E-04

L-proline 3.5E-04

L-serine 2.4E-04 1.9E-03

L-threonine 4.0E-04 2.5E-04 2.5E-03

L-tryptophan 4.9E-05 4.9E-05 9.8E-05

L-tyrosine 2.0E-04 2.2E-04 1.7E-03

L-valine 4.0E-04 2.1E-04 8.5E-4

Choline chloride 7.1E-06 3.6E-06 7.1E-06

Folic acid 2.3E-06 2.3E-08 2.3E-06

myo-Inositol 1.1E-05 2.8E-07 1.1E-05

Menadione 6.9E-08

Nicotinamide 8.2E-06 2.0E-07 8.2E-06

Nicotinic acid 2.0E-07

D-Ca pantothenate 4.2E-06 4.2E-08 4.2E-06

Pyridoxal HCl 4.9E-06 1.2E-07

Pyridoxine HCl 1.2E-07

Riboflavin 2.7E-07 2.7E-08 1.9E-07

Thiamin 3.0E-06 3.0E-08 2.4E-06

α-Tocopherol 2.3E-08

Retinol acetate 3.5E-07

(54)

Glutathione 1.5E-07

(55)

42

Lampiran 2. Peralatan dan Bahan Penelitian

Laminar Air Flow Inkubator CO2 Sentrifugerator

Oven Freezer Timbangan digital

Pipet Pasteur dan Mikropipet Haemocytometer dan Hand counter

Peralatan bedah Media MEM cair Media L-15 bubuk

(56)

Media L-15 cair Media TCM/M199 bubuk Media TCM/M199 cair

Aquabidest Larutan Fiksatif Phenol red

FCS dan NaHCO3 Trypan blue substrat (96-well plates)

(57)

44

Lampiran 3. Pertumbuhan Kultur Sel Limfoid pada Media Berbeda

Media MEM

(58)

Lampiran 3. (lanjutan)

Media TCM

No. Hari ke- Ulangan Jumlah sel yang

tumbuh (x 106 sel/ml) (x 10Rata-rata 6 sel/ml) 1.

6

1 16

15

2. 2 14

3. 3 15

4.

12

1 22

20,667

5. 2 20

6. 3 20

7.

18

1 30

28,667

8. 2 29

(59)

46

Lampiran 4. Hasil Analisis Data Pertumbuhan Sel Limfoid dengan SPSS

Hari ke-6

Media Sphericity Assumed 1.947E14 2 9.733E13 53.091 .001

Greenhouse-Geisser 1.947E14 1.039 1.874E14 53.091 .017

Huynh-Feldt 1.947E14 1.161 1.677E14 53.091 .012

Lower-bound 1.947E14 1.000 1.947E14 53.091 .018

Error(Media) Sphericity Assumed 7.333E12 4 1.833E12

Greenhouse-Geisser 7.333E12 2.077 3.530E12

Huynh-Feldt 7.333E12 2.321 3.159E12

Lower-bound 7.333E12 2.000 3.667E12

Kesimpulan: terdapat perbedaan yang signifikan (p<0,05) antara perlakuan dan pertumbuhan sel limfoid udang vaname.

Gambar

Tabel
Gambar
Gambar 2.1. Morfologi Udang Vaname (Bailey- Brock and Moss, 1992 yang dikutip oleh Giang, 2012)
Gambar 2.2. Letak Organ Limfoid Udang Penaeid (Giang, 2012)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kualitas air media budidaya selama masa pemeliharaan berada pada kisaran yang baik, sehingga dapat mendukung kehidupan dan per- tumbuhan udang vaname, kecuali perlakuan cam-

Pertambahan biomassa, laju pertumbuhan spesifik, sintasan, rasio konversi pakan, dan produksi udang vaname pada masing-masing perlakuan selama 85 hari pemeliharaan dengan

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Kecernaan dan Pertumbuhan Udang Vaname Litopenaeus vannamei yang Diberi

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pertumbuhan, tingkat kelang- sungan hidup, dan rasio konversi pakan udang vaname yang dipelihara pada me- dia kultur salinitas rendah

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui total hemosit dan sintasan udang vaname (L. vannamei) yang dipelihara pada salinitas 10 ppt dan dengan padat tebar yang berbeda..

Pertambahan biomassa, laju pertumbuhan spesifik, sintasan, rasio konversi pakan, dan produksi udang vaname pada masing-masing perlakuan selama 85 hari pemeliharaan dengan

Kualitas air media budidaya selama masa pemeliharaan berada pada kisaran yang baik, sehingga dapat mendukung kehidupan dan per- tumbuhan udang vaname, kecuali perlakuan cam-

Hasil penelitian Amin dan Hendrajat 2008, melaporkan bahwa penggunaan probiotik komersial dengan konsentrasi 0.5-1.5 mg/L/minggu pada media pemeliharaan udang vaname mampu menghasilkan