• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERLINDUNGAN TERHADAP PENGUNGSI AKIBAT KONFLIK YANG TERJADI DI SURIAH MENURUT HUKUM INTERNASIONAL 2.1 Perbedaan antara asylum sekkers, internally displaced persons, dan - PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENGUNGSI AKIBAT KONFLIK BERSENJATA MENURUT HUKUM PEN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II PERLINDUNGAN TERHADAP PENGUNGSI AKIBAT KONFLIK YANG TERJADI DI SURIAH MENURUT HUKUM INTERNASIONAL 2.1 Perbedaan antara asylum sekkers, internally displaced persons, dan - PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENGUNGSI AKIBAT KONFLIK BERSENJATA MENURUT HUKUM PEN"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PERLINDUNGAN TERHADAP PENGUNGSI AKIBAT KONFLIK YANG

TERJADI DI SURIAH MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

2.1 Perbedaan antara asylum sekkers, internally displaced persons, dan

refugees.

Terdapat beberapa perbedaan di dalam memberikan definisi mengenai

asylum seekers, internally displaced persons, dan refugees. Di dalam menjelaskan definisi ketiga kelompok tersebut harus berdasarkan pada konvensi atau perjanjian internasional. Hal ini penting karena cara penanganan antara asylum seekers, internally displaced persons dan refugees sangat berbeda. Oleh karena itu penulis akan menjelaskan karakteristik dari asylum seekers, internally displaced persons dan refugees tersebut.

2.1.1 Asylum Seekers

Di dalam hukum internasional tidak terdapat ketentuan khusus yang mengatur mengenai pengertian yang dapat dijadikan pedoman umum dalam menjabarkan pengertian pencari suaka, oleh karena itu terdapat perbedaan pandangan mengenai pencari suaka.

Menurut Sumaryo Suryokusumo, “Suaka (asylum) diartikan sebagai

(2)

aktivis politik yang berasal dari negara lain dan negara itu mengizinkan untuk masuk ke wilayahnya atas permintaannya.”34

Menurut Iris Teichmann, “Asylum literally means safe haven. After World War II, asylum became a legal immigration status in developed countries. This

status is given to people who have fled their home and country because of

persecution.”35

Di dalam bukunya, J.G Starke menyebutkan bahwa terdapat 2 elemen yang dapat diuraikan untuk memberikan konsep asylum di dalam hukum internasional, yaitu:36

a. Suaka sebagai diberikannya tempat perlindungan (shelter), yang fungsinya lebih dari tempat pengungsian yang bersifat sementara

b. Suaka sebagai suatu tingkat perlindungan aktif dari pihak penguasa wilayah tempat suaka

Lebih lanjut, J.G Starke membedakan suaka menjadi 2 macam,37 yakni suaka teritorial dan suaka ektra-teritorial. Suaka teritorial adalah sebuah perlindungan wilayah yang diberikan oleh suatu negara di wilayah kedaulatan teritorial negara tersebut. Di dalam suaka teritorial, negara pemberi suaka mempunyai kekuasaan

34

Sumaryo Suryokusumo, Hukum Diplomatik dan Konsuler: Jilid I, Tatanusa, Jakarta, h. 187.

35

Iris Teichmann, Immigration & Asylum, Watts, London, 2002, p. 8.

36

J.G.Starke, Pengantar Hukum Internasional 2: Edisi Kesepuluh, Cet. VII, (terjemahan Bambang Iriana Djajaatmadja), Sinar Grafika, Jakarta, 2008, h. 475.

(3)

penuh dalam menerapkan kedaulatan negaranya sebagai implikasi atas pemberian suaka yang terdapat di dalam yuridksi negaranya. Suaka ekstra-teritorial adalah perlindungan yang diberikan oleh suatu negara di luar yuridiksi wilayah negaranya. Suaka ekstra-teritorial biasanya diberikan suatu negara dalam bentuk pembebasan yuridiksi hukum dari negara teritorial terhadap gedung-gedung konsuler, tempat-tempat yang berkaitan dengan urusan kedutaan, tempat bermarkas suatu organisasi internasional, kapal-kapal perang dan kapal yang membawa bantuan kemanusiaan. Menurut J.G Starke,38 pemberian suaka ekstra-teritorial merupakan tindakan yang dilarang oleh hukum internasional: pemberian suaka demikian (ekstra-teritorial) bahkan lebih tampak dilarang oleh

hukum internasional jika akibat-akibatnya dapat membebaskan pelarian dari penerapan aturan hukum dan administrasi peradilan oleh negara teritorial.”39

Beberapa pengertian mengenai suaka yang diberikan oleh beberapa ahli hukum diatas, setidaknya dapat dijadikan suatu parameter untuk mengelompokkan beberapa karakteristik dari pencari suaka, yaitu:40

1. Mengajukan permohonan suaka kepada pihak-pihak atau negara lain

38

JG Starke, Op. Cit., h. 479.

39

Di dalam bukunya J.G. Starke menyebutkan 3 hal luar biasa yang dapat dijadikan alasan diberikannya suaka di gedung perwakilan asing, yaitu: (i)Suaka dapat diberikan, untuk jangka waktu sementara, kepada orang perseorangan yang memang secara fisik dalam bahaya karena adanya kekerasan masal atau dalam hal seorang buronan yang dalam bahaya karena melakukan kegiatan politik terhadap negara setempat; (ii)Suaka juga dapat diberikan dimana di negara itu terdapat kebiasaan yang sudah lama diakui dan mengikat; (iii)Suaka dapat diberikan juga jika terdapat perjanjian khusus antara negara dimana penerima suaka berasal dan negara dimana terdapat perwakilannya.

40

(4)

2. Seseorang atau sekelompok orang yang mencari tempat perlindungan yang aman karena dilatarbelakangi oleh ketakutan terhadap adanya persekusi.

Pencari suaka mencari perlindungan atau tempat aman di luar teritorial kedaulatan wilayah negara asal pencari suaka dengan cara mengajukan permohonan suaka yang ditujukan kepada pihak atau negara lain. Dengan kata lain, pengajuan permohonan dari pencari suaka yang ditujukan kepada pihak atau negara lain tersebut memberi pengertian bahwa negara asal dari pencari suaka tidak mau atau tidak mampu memberikan perlindungan terhadap pencari suaka, sehingga pencari suaka tidak memilih untuk mencari perlindungan di negara asalnya dan lebih memilih mencari perlindungan ke pihak atau negara lain. Penyebab utama pencari suaka untuk mencari suaka adalah karena terdapat hal-hal dan alasan ketakutan yang kuat terhadap adanya suatu bentuk persekusi, sehingga alasan ketakutan tersebut dapat dijadikan pertimbangan bagi negara pemberi suaka dalam pemberian suaka. Menurut Sulaiman Hamid, terdapat alasan-alasan yang dapat dijadikan pertimbangan dalam menentukan pemberian perlindungan oleh negara kepada pemohon suaka, yakni “alasan perikemanusiaan, agama, diskriminasi ras, politik, dan sebagainya.”41 Alasan-alasan tersebut merupakan alasan yang telah diatur di dalam beberapa konvesi dan deklarasi di dalam hukum internasional.

Dalam hukum internasional, terdapat ketentuan mengenai hak bagi setiap orang untuk mencari dan mendapatkan suaka, yang diatur di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia mengatur

41

(5)

bahwa merupakan hak dasar setiap orang untuk meninggalkan dan kembali ke negara asalnya. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menjamin hak setiap orang untuk mencari dan jika diberikan, untuk menikmati perlindungan dari negara lain atas alasan ketakutan akan terjadinya persekusi.42 Pengaturan di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tersebut mempunyai arti bahwa tidak ada satu pihak manapun yang dapat mencegah hak setiap orang untuk meninggalkan negara asalnya sendiri dan mencari suaka perlindungan di negara lain. Hak untuk mencari suaka merupakan hak dasar bagi setiap orang dan dijamin oleh hukum internasional. Pengaturan di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tersebut adalah deklarasi yang diakui secara internasional dan berlaku secara universal.

Ketentuan di dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia hanya mengatur hak bagi setiap orang untuk mencari suaka dan menikmatinya. Merupakan hak dari negara penerima suaka untuk menentukan diterima atau tidak diterimanya permohonan suaka tersebut. Menurut Iman Prihandono: 43

pemberian suaka merupakan kewenangan yang mutlak dari dari sebuah negara, maka Negara pemberi suaka (state-granting asylum) mempunyai kewenangan mutlak pula untuk mengevaluasi atau menilai sendiri alasan-alasan yang dijadikan dasar pemberian suaka, tanpa harus membuka atau menyampaikan alasan tersebut kepada pihak manapun, termasuk kepada negara asal (origin state) dari pencari suaka.

Sehingga di dalam pemberian suaka, negara lain tidak dapat mengintervensi

42

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Pasal 13 dan Pasal 14.

43

(6)

negara penerima suaka di dalam menentukan pemberian suaka tersebut. Pada keadaan tertentu, pemberian suaka dari negara pemberi suaka dinilai merupakan tindakan intervensi terhadap kedaulatan negara lain sehingga dapat merusak hubungan antar negara, tetapi tindakan pemberian suaka tersebut harus dianggap tindakan yang bersahabat. Pada dasarnya tindakan pemberian suaka bukan merupakan tindakan yang dapat diklasifikasikan sebagai tindakan yang melanggar norma-norma bernegara, sebagaimana yang telah diatur di dalam Declaration on Territorial Asylum tahun 1967, yakni Recognizing that the grant of asylum by a State to persons entitled to invoke article 14 of the Universal Declaration of

Human Rights is a peaceful and humanitarian act and that, as such, it cannot be

regarded as unfriendly by any other State.”44 Ketentuan tersebut mengatur bahwa tindakan pemberian suaka oleh negara penerima suaka harus dianggap sebagai tindakan yang berlandaskan atas rasa kemanusiaan dan perwujudan nilai-nilai hak asasi manusia. Keputusan dari suatu negara terkait pemberian suaka harus dihormati oleh negara lain termasuk negara asal pencari suaka, karena selain merupakan kedaulatan negara di dalam memberikan suaka, juga dianggap merupakan perwujudan sikap menjunjung tinggi tujuan dan prinsip di dalam Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa karena pemberian suaka menimbulkan tanggungjawab kepada negara pemberi suaka untuk menjamin bahwa penerima suaka tidak melakukan tindakan atau kejahatan yang bertentangan dengan tujuan dan prinsip yang terkandung di dalam Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa, sebagaimana di atur di dalam Declaration on Territorial Asylum: “States granting

44

(7)

asylum shall not permit persons who have received asylum to engage in activities

contrary to the purposes and principles of the United Nations.”45 Ketentuan di dalam Declaration on Territorial Asylum, menjamin hak bagi setiap orang untuk mencari suaka dan menikmatinya. Setiap orang yang meninggalkan negaranya dengan maksud untuk mencari suaka ke negara lain, jika negara tersebut memberikan suaka perlindungan kepadanya, maka pencari suaka tersebut mendapatkan hak untuk menikmati pemberian suaka tersebut.

Negara yang di yuridiksi wilayahnya terdapat pencari suaka tidak boleh menolak atau mengembalikan pencari suaka ke negara asalnya. Di dalam Pasal 3

Declaration on Territorial Asylum46 disebutkan bahwa tidak seorang yang dapat diusir, dikembalikan ke negara asal atau ditolak keberadaannya ketika telah memasuki wilayah dimana seseorang tersebut mencari suaka atau perlindungan. Selain karena alasan keamanan wilayah suatu negara, ketentuan di atas mewajibkan bagi setiap negara untuk menerima pencari suaka, dan sebaliknya negara penerima suaka tidak boleh mengembalikan pencari suaka ke wilayah yang berpotensi menjadikan pencari suaka sebagai objek tindakan kekerasan dan penyiksaan setiap orang yang mencari suaka ke negaranya. Dengan adanya

Declaration on Territorial Asylum yang telah menyetujui suatu resolusi mengenai

45Article 4 Declaration on Territorial Asylum

46Article 3 Declaration on Territorial Asylum: (i) No person referred to in article 1,

(8)

pengaturan pemberian suaka, menurut Sumaryo Suryokusumo dalam praktiknya negara-negara haruslah mempertimbangkan hal-hal berikut:47

i. Jika seseorang meminta suaka, permintaan seharusnya tidak ditolak atau jika ia memasuki wilayah negara itu, ia tidak perlu diusir tetapi jika suatu kelompok orang-orang dalam jumlah besar meminta suaka, hal itu dapat ditolak atas dasar keamanan nasional dari rakyatnya.

ii. Jika suatu negara merasa sukar untuk memberikan suaka, haruslah memperhatikan langkah-langkah yang layak demi rasa persatuan internasional melalui perantara dari negara-negara tertentu atau Perserikatan Bangsa Bangsa.

iii. Jika suatu negara memberikan suaka kepada kaum pelarian atau buronan, negara-negara lainnya haruslah menghormatinya.

2.1.2 Internally Displaced Persons

Menurut Walter Kälin dan Jorg Künzli,48 internally displaced persons

adalah sekelompok orang yang terpaksa meninggalkan tempat tinggal atau tempat mereka biasanya melakukan aktifitas ke tempat aman yang masih berada di dalam wilayah negara mereka. Secara yuridis pengaturan penanganan internally displaced persons harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam hukum nasional negara dari internally displaced persons tersebut dan negara yang bertanggungjawab atasnya49, dengan kata lain internally displaced persons berada di bawah kedaulatan negara. Walaupun penanganan internally displaced persons

mengikuti hukum nasional suatu negara, Perserikatan Bangsa Bangsa

47

Sumaryo Suryokusumo, Op. Cit., h.193.

48

Walter Kälin dan Jorg Künzli, The Law of International Human Right Protection,

Oxford University Press, 2009, h. 487.

49

Di dalam bukunya, Wagiman menganggap bahwa penyebutan istilah‟ tanggung jawab

negara‟ di dalam hukum internasional cakupannya sangat luas. Prinsipnya dalam perkembangan

(9)

menganggap internally displaced persons merupakan pihak yang membutuhkan jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Perserikatan Bangsa Bangsa telah mengeluarkan Guiding Principles on Internal Displacement.

Menurut Heru Susetyo, prinsip-prinsip di dalam pengaturan mengenai

internally displaced persons berpijak pada instrumen hukum humaniter dan hukum hak asasi manusia internasional:

Prinsip ini dibentuk berdasarkan instrumen international humanitarian law (hukum humaniter internasional dan instrumen international human rights law (hukum hak asasi manusia internasional sebagai suatu pedoman internasional untuk pemerintah maupun lembaga-lembaga internasional yang bergerak di bidang bantuan, perlindungan dan

pelayanan bagi pengungsi internal”50

Guiding Principles on Internal Displacement memang bukan merupakan ketentuan di dalam hukum internasional yang bersifat mengikat dan memaksa (legally binding), tetapi prinsip-prinsip yang terdapat di dalamnya menunjukkan bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai hak asasi manusia internasional. “Guiding principles tersebut merupakan sebuah bentuk aturan dasar tentang

bagaimana seharusnya negara yang bersangkutan dengan terjadinya konflik bersenjata yang menyebabkan internal displacement, dapat menerapkan dan

memberikan perlindungan yang seharusnya terhadap mereka.”51

Di dalam Guiding Principles, diatur mengenai pengertian yang menjadi pedoman dalam menentukan kriteria dari internally displaced persons, yakni:52

50

Heru Susetyo, Jurnal Hukum Indonesia: Kebijakan Penanganan Internally Displaced

Persons (IDP‟s) di Indonesia dan Dunia Internasional, Lembaga Pengkajian Hukum Internasional

Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Vol. 2 No. 1 Oktober 2004.

51

Rensy Triana Putri B, Nurdin, Ikaningtyas, Urgensi Perlindungan Hukum Internally Displaced Person (Idp) Pada Saat Konflik Bersenjata Di Nigeria Pada Tahun 2009 Berdasarkan Perspektif Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, h. 15.

(10)

For the purposes of these principles, internally displaced persons are persons or groups of persons who have been forced or obliged to flee or to leave their homes or places of habitual residence, in particular as a result of or in order to avoid the effects of armed conflict, situations of generalized violence, violations of human rights or natural or human-made disasters, and who have not crossed an internationally recognized State border.

Dari beberapa pengertian diatas dapat diketahui bahwa terdapat beberapa karakteristik dari internally displaced persons yaitu:53

a. Sekelompok orang yang terpaksa meninggalkan atau pergi dari tempat tinggalnya atau tempat sekelompok orang tersebut biasa beraktifitas dan menjalani kehidupannya, untuk mencari perlindungan ke tempat yang aman. Sekelompok orang tersebut melakukan perpindahan tempat karena disebabkan oleh beberapa alasan. Alasan tersebut dapat berupa alasan yang disebabkan oleh alam (natural disaster), contohnya: bencana alam, maupun keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan manusia (human made disaster), contohnya: konflik bersenjata, pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

b. Sekelompok orang tersebut mencari tempat perlindungan dengan tetap berada di dalam yuridiksi wilayah negara asalnya. Sebagaimana disebutkan diatas bahwa tempat perlindungan yang dicari atau dituju oleh

internally displaced persons adalah tempat yang secara geografis terletak di wilayah negara dan secara yuridis tunduk terhadap yuridiksi hukum

(11)

negara tempat internally displaced persons tersebut tinggal.54 Dalam hal tindakan perlindungan, maka yang berlaku adalah hukum nasional negara tersebut. internally displaced persons membutuhkan penanganan yang berbeda, karena kondisi mereka yang jauh dari tempat tinggal, keadaan psikis yang terguncang, rentan terhadap perlakuan yang sewenang-wenang, sehingga negara asal internally displaced persons merupakan pihak pertama yang mempunyai tanggung jawab di dalam melindungi hak-hak dari internally displaced persons tersebut.55

2.1.3 Refugees

Konsepsi yang mengatur mengenai pengertian pengungsi bukanlah konsep yang terdapat dalam hukum kebiasaan internasional, sehingga seringkali di dalam mengartikan kata pengungsi lebih banyak mengacu pada suatu perjanjian

54

Menurut Heru Susetyo, prinsip-prinsip penanganan pengungsi internal (The Guiding Principles on International Displacement) memiliiki prinsip umum yang memberi penegasan akan hak-hak dasar pengungsi internal dan tanggungjawab dari pemerintah terhadap pengungsian interna, yaitu:

1. Para pengungsi internal harus menikmati hak-hak dan kemerdekaan yang sama di bawah perlindungan hukum nasional maupun internasional sebagaimana yang didapatkan warga negara lain di negaranya, diskriminasi karena statusnya sebagai pengungsi internal adalah dilarang. Prinsip-prinsip ini tidak mempunyai dampak legal apapun terhadap pertanggungjawaban individual atas tindaka pidana di mata hukum internasional, khususnya yang berhubungan dengan kejahatan genosida, kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan-kejahatan perang.

2. Prinsip-prinsip ini wajib ditaati oleh semua pihak yang berwenang, kelompok-kelompok dan orang-orang, lepas dari status hukum mereka, dan diterapkan tanpa diskriminasi yang merugikan. Penaatan tehadap prinsip-prinsip ini tidak boleh mempengaruhi status hukum pihak-pihak berwenang, kelompok-kelompok, atau orang-orang manapun yang terlibat.

3. Pihak-pihak berwenang di tingkat nasional-lah yang pertama-tama memiliki kewajiban dan tanggungjawab untuk menyediakan perlindungan dan bantuan kemanusiaan kepada para pengungsi internal dalam wilayah hukum mereka

55Principle 9 of Guiding Principles on Internal Displacement: “States are under a

particular obligation to protect against the displacement of indigenous peoples, minorities, peasants, pastoralists and other groups with a special dependency on and attachment to their

(12)

internasional.56 Sebagaimana diketahui bahwa sebuah perjanjian internasional dibuat untuk melindungi kepentingan pihak-pihak di dalam perjanjian internasional tersebut, sehingga definisi pengungsi akan selalu sejalan dengan tujuan politis dari perjanjian internasional tersebut. S. Prakash Sinha memberikan pengertian sebagai berikut:

The International political refugee may defined as a person who is forced leave or stay out of his state of nationality or habitual residence for political reasons arising from events occurring between that state and its citizens which make his stay there impossible or intolerable, and who has taken refugee in another state without having acquired a new nationality57

Namun, banyaknya peristiwa-peristiwa di dalam suatu negara yang seringkali berujung pada terjadinya perpindahan sekelompok orang ke negara lain secara terus menerus dan tidak kunjung berhenti, berakibat pada adanya masalah baru yang membuat negara lain terkena dampak dari perpindahan tersebut, seperti halnya pengungsi. Persoalan pengungsi adalah masalah kemanusiaan yang dapat terjadi di wilayah negara manapun. Seperti halnya dengan permasalahan-permasalahan kemanusiaan di lingkup internasional yang lain, pada dasarnya

56

Menurut Sri Setianingsih Suwardi, definisi secara umum, meliputi elemen-elemen sebagai berikut:

a. Alasannya haruslah didasarkan pada alasan politik

b. Permasalahan politik yang timbul adalah permasalahan antara negara dan warga negaranya c. Ada keadaan yang mengharuskan dia meninggalkan negaranya atau tempat tinggalnya.

d. Kemungkinan meninggalkan negaranya atau tempat tinggalnya secara sukarela atau tidak secara sukarela

e. Kembali ke negaranya atau ke tempat tinggalnya tidak mungkin dilakukan atau tidak ditoleran disebabkan karena sangat berbahaya untuk dirinya atau miliknya

f. Ia harus meminta status sebagai pengungsi di lain negara g. Ia tidak mendapatkan kewarganegaraan baru

57

(13)

masyarakat internasional memberi perhatian penuh dan sangat peduli terhadap permasalahan pengungsi tersebut. Pengungsi merupakan pihak yang membutuhkan perlindungan terhadap keselamatan mereka. Beberapa negara yang melihat dari sudut pandang kemanusiaan, merasa perlu memberikan tempat berlindung sementara untuk mereka, namun beberapa negara juga menolak untuk menampung mereka karena beberapa alasan keamanan negara ataupun kedaulatan negara, perbedaan sudut penanganan permasalahan pengungsi tersebut mendorong urgensi pembentukan suatu ketentuan bersifat mengikat sebagai bentuk kesadaran masyarakat internasional terhadap urgensi permasalahan pengungsi. Pada tahun 1951, diadakanlah konferensi di jenewa yang membicarakan masalah status hukum dari masalah pengungsi yang didasarkan pada Resolusi Majelis Umum No. 429 (V) pada tanggal 14 Desember 1950. Konferensi yang diadakan pada

tanggal 28 Juli 1951 tersebut telah menghasilkan “Convention Relating on Status

of Refugees”. Dibuatnya konvensi tersebut adalah wujud komitmen negara-negara dalam menjunjung tinggi nilai-nilai kemsnusiaan, khususnya mengenai permasalahan pengungsi.

(14)

agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau opini politik, berada di luar negara kewarganegaraannya dan tidak dapat atau tidak mau memanfaatkan perlindungan negaranya, atau setiap orang yang tidak mempunyai kewarganegaraan dan berada di luar negara tempat orang tersebut biasanya bertempat tinggal, sebagai akibat dari adanya kecemasan tersebut, tidak dapat atau tidak mau kembali ke negara tersebut.58

Apabila ditelaah lebih lanjut, terdapat beberapa elemen-elemen yang dapat dijadikan parameter dalam mendefinisikan pengungsi, yakni:

a. Setiap orang yang pergi meninggalkan negara kewarganegaraanya atau negara asal tempat orang tersebut biasanya bertempat tinggal untuk mencari tempat perlindungan yang aman ke negara lain, karena adanya kecemasan yang sangat beralasan terhadap tindakan persekusi terhadapnya.59 Di dalam Konvensi mengenai Status Pengungsi tahun 1951 dijabarkan bahwa kecemasan yang beralasan terhadap kekerasan atau persekusi, antara lain karena alasan-alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan atas kelompok sosial tertentu, dan opini politik, sehingga ketakutan yang dirasakan oleh sekelompok orang tersebut merupakan ketakutan yang berdasar dan dapat ditelusuri kebenarannya. Relevansi antara situasi dan kondisi di suatu negara dengan latar belakang dari sekelompok orang tersebut untuk berpindah tempat akan ditelaah dan diuji kebenarannya oleh suatu badan yang kompeten, dalam hal ini adalah

58

Konvensi mengenai Status Pengungsi tahun 1951.

59

(15)

United Nation High Commissioner for Refugees.

b. Sekelompok orang yang mencari tempat perlindungan aman ke wilayah negara lain. Pengungsi mencari perlindungan dengan melintasi batas negaranya ke batas negara lain karena negara asal pengungsi tidak dapat atau tidak mau memberi perlindungan kepada pengungsi. 60 Pengungsi terpaksa meninggalkan negara asal mereka, karena negara asal mereka tidak menjamin penuh keselamatan pengungsi. Jika negara asal pengungsi mampu menjamin dan memberikan perlindungan, maka pengungsi tidak akan mencari tempat perlidnungan ke wilayah negara lain atau ke negara tujuan pengungsi. Negara tujuan sementara pengungsi mempunyai pengaturan dan yuridiksi di teritorial negara tersebut sebagai wujud bentuk kedaulatan negara, sehingga tidak jarang sering terjadi konflik kepentingan antara pengungsi dan otoritas perbatasan negara tujuan sementara pengungsi. Untuk mengantisipasi hal tersebut dibuatlah Konvensi mengenai Status Pengungsi tahun 1951 yang menjadi pedoman yang mengatur penanganan perihal pengungsi.

2.1.3.1 Pengaturan Klausula mengenai Pengungsi

Terdapat 3 macam bentuk klasula mengenai pengungsi, antara lain:

1. Klausula Inclusion

Merupakan klausula yang menyatakan bahwa prosedur penentuan status pengungsi harus menyesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat di

(16)

dalam pasal 1A paragraf (1) dan (2), yang merupakan parameter dalam menentukan kriteria orang yang berhak mendapatkan status pengungsi.

2. Klausula Cessation

Merupakan Klausula yang mengatur jenis-jenis pencabutan status pengungsi sebagai akibat dari beberapa hal yang telah ditentukan di dalam Pasal 1C paragraf (1) sampai paragraf (6) Konvensi mengenai Status Pengungsi tahun 1951, antara lain:

a. Voluntary Reaguisation of Nationality

Terdapat pergantian rezim di dalam kategori ini, yang mengharuskan adanya pergantian rezim penguasa negera asal yang mencabut kewarganegaraan dari pengungsi dan digantikan oleh rezim penguasa yang baru. Dicabutnya status pengungsi seseorang, karena pengungsi secara sukarela memperoleh kewarganegaraannya kembali dengan menyetujui kewarganegaraan kembali yang ditawarkan oleh rezim penguasa yang baru kepada pengungsi.

b. Voluntary resumption

(17)

c. Acquisastion of new nationality

Dicabutnya status pengungsi karena pengungsi telah mendapatkan dan menikmati kewarganegaaran baru yang diberikan oleh negara yang ingin menerima pengungsi.

d. Voluntary Re-establishment

Dicabutnya status pengungsi karena pengungsi dan pihak UNHCR bersepakat untuk kembali ke negara asal yang ditinggalkannya karena alasan-alasan kecemasan akan persekusi.

e. National whose reasons for becoming refugees have ceased to exit

Seseorang yang karena tidak termasuk ke dalam kategori pengungsi menurut Konvensi dan tetap menolak memanfaatkan kewarganegaraan negara asal yang ditinggalkan.

f. Statekess person whose reasons for becoming refugees have ceased

to exit

(18)

tersebut dicabut, maka ia dapat kembali ke negara di mana sebelumnya dia biasa melakukan aktifitas.

3. Klausula Exclusion

Pencabutan status pengungsi jika dapat dibuktikan bahwa penerima status pengungsi terlibat di dalam tindak pidana perang, tindak pidana terhadap kemanusiaan, tindakan non-politis yang serius maupun tindakan-tindakan yang bertentangan dengan tujuan, prinsip dari Perserikatan Bangsa Bangsa. Pengaturan mengenai klausula ini terdapat di dalam Pasal 1D, IE, 1F Konvensi mengenai Status Pengungsi tahun 1951.

2.1.3.2 Prinsip Perlindungan Pengungsi

Pemberian status pengungsi berimplikasi pada harus dilakukannya prinsip-prinsip perlindungan terhadap pengungsi yang telah diatur di dalam Konvensi mengenai Status Pengungsi tahun 1951. Konvensi tersebut mengatur prinsip dasar yang harus diterapkan di dalam penanganan pengungsi.

Non-Refoulement Principle adalah prinsip yang melarang negara peserta konvensi untuk mengembalikan atau menempatkan pengungsi ke dalam keadaan yang mengancam keselamatan dan kebebasan pengungsi. Di dalam Konvensi mengenai Status Pengungsi tahun 1951, ketentuan mengenai prinsip non-refoulement tersebut terdapat di dalam Pasal 33 mengandung hal yang sangat penting. Menurut Pasal 42 angka (1)61 Konvensi tahun 1951 yang mengecualikan

61Article 42(Reservations) :1. At the time of signature, ratification or accession, any

(19)

Pasal 33 dari tindakan reservasi. Negara yang tidak menjadi pihak dalam Konvensi pengungsi juga mempunyai kewajiban secara moral untuk menerapkan prinsip non-refoulement. Dengan demikian prinsip larangan atas pengusiran di dalam Pasal 33 merupakan suatu kewajiban non-derogable yang didasarkan atas pertimbangan kemanusiaan.

Komite Eksekutif UNHCR bahkan telah menetapkan bahwa prinsip non-refoulement merupakan kemajuan peremptory norm dalam hukum internasional. Peremptory norm atau disebut dengan jus cogens

merupakan suatu prinsip dasar hukum internasional yang diterima oleh negara-negara sebagai suatu norma umum yang tidak dapat diabaikan pelaksanaannya.62

Prinsip non-refoulement merupakan prinsip yang dibuat untuk kepentingan bersama tanpa memandang apakah negara sudah menjadi pihak dalam Konvensi 1951 atau belum, dan tanpa memperhatikan apakah orang tersebut sudah diberikan status sebagai pengungsi atau tidak. Prinsip non-refoulement telah dianggap sebagai hukum kebiasaan internasional, yang mempunyai arti bahwa seluruh negara, baik yang telah menjadi negara pihak maupun bukan di dalam konvensi-konvensi pengungsi atau hak asasi manusia yang melarang tindakan pengusiran, berkewajiban untuk tidak mengembalikan atau mengekstradisi seseorang ke negara asal atau tempat yang dapat mengancam kebebasan dan keselamatan orang tersebut.

Prinsip non-diskriminasi adalah prinsip yang melarang negara yang telah menjadi pihak di dalam Konvensi 1951 untuk memperlakukan pengungsi tanpa diskriminasi. Prinsip non-diskriminasi terdapat di dalam Pasal 3 Konvensi 1951.

62

(20)

Prinsip non-diskriminasi memberikan tanggungjawab kepada negara pihak untuk sepenuhnya menjalankan ketentuan di dalam Konvensi 1951. Tujuan prinsip non-diskriminasi adalah melindungi kepentingan dan hak-hak dari setiap orang yang telah diberikan status sebagai pengungsi. Hal tersebut menunjukkan komitmen negara yang telah menjadi pihak untuk bertindak berdasarkan rasa kemanusiaan dan bukan karena atas dasar kepentingan politik.

2.1.4 Analisa perbedaan asylum seekers, internally displaced persons dan

refugees

Telah dijelaskan diatas bahwa terdapat perbedaan antara internally displaced persons, asylum seekers, dan refugees. Perbedaan tersebut dapat meliputi batas wilayah dan yuridiksi hukum suatu negara.Perbedaan internally displaced persons terhadap refugees dan asylum seekers dapat dibedakan dari wilayah atau tempat internally displaced persons tersebut akan mencari tempat perlindungan yang aman. Refugees dan asylum seekers mencari perlindungan dari negara asalnya ke tempat yang merupakan wilayah kedaulatan negara lain, namun

internally displaced persons hanya mencari perlindungan ke tempat yang secara yuridis masih di dalam wilayah kedaulatan negara asalnya, sehingga pengaturan mengenai perlindungan internally displaced persons harus berdasarkan pada hukum nasional negara asal. Perbedaan antara asylum seekers dan refugees

(21)

tersendiri di dalam hukum pengungsi. Hukum pengungsi mempunyai pedoman khusus bagi pengungsi di dalam Konvensi 1951 dan Konvensi 1967 yang memuat beberapa prosedur resmi dalam menentukan apakah seseorang tersebut berhak untuk diberikan status pengungsi atau tidak. Pemberian status bagi refugees juga melibatkan suatu badan khusus yang berwenang untuk menentukan pemberian status tersebut.

2.2 Hak Asasi Manusia

Setiap manusia mempunyai hak-hak dasar yang melekat pada manusia sejak manusia itu lahir ke dunia. Hak dasar yang seringkali disebut dengan hak asasi manusia merupakan hak yang tidak dapat dikurangi atau dihilangkan keberadaannya. Perkembangan hak asasi manusia ditandai dengan dibentuknya beberapa piagam-piagam yang memuat mengenai hak asasi manusia.63

Dimulai pada tahun 1215 di Inggris dengan Magna Charta (Perjanjian Agung) di Inggris pada tahun 15 Juni 1215. Isi perjanjian agung adalah pembatasan tindakan raja untuk tidak melakukan pelanggaran terhadap hak milik dan kebebasan pribadi rakyat. Kedua, Bill of Rights pada tahun 1628. Isi perjanjian ini adalah penegasan tentang pembatasan kekuasaan raja dan dihilangkannya hak raja untuk tidak memenjarakan, menyiksa dan menghukum tanpa dasar hukum. Ketiga, deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat pada 6 juli 1776. Deklarasi ini memuat penegasan bahwa setiap orang dilahirkan dalam persamaan dan kebebasan dengan hak hidup dan mengejar kebahagiaan. Keempat,

63

(22)

Declaration des droits de‟l homme et du citoyen (deklarasi hak-hak manusia dan

warga negara) di perancis pada tanggal 4 agustus 1786. Deklarasi ini memuat 5 hak-hak asasi manusia: pemilikan harta, kebebasan, persamaan, keamanan dan perlawanan terhadap penindasan.

Hak asasi manusia merupakan topik pembahasan yang sangat penting karena pelanggaran terhadap hak asasi manusia seringkali menjadi penyebab suatu peristiwa sejarah besar dan berakhir dengan adanya revolusi politik, sosial, perubahan hukum perundang-undang, lahirnya deklarasi dan perjanjian yang bersifat regional maupun internasional. Oleh karena itu, hak asasi manusia dianggap sebagai instrumen kemanusiaan yang harus diatur secara internasional.

2.2.1 Instrumen Pengaturan Hak Asasi Manusia

Di dalam hukum internasional terdapat beberapa instrumen internasional yang pengaturannya berpijak pada dasar-dasar pertimbangan perlindungan hak asasi manusia. Beberapa diantaranya adalah Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.

2.2.1.1 Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa

(23)

Bangsa. Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa lahir karena adanya kekhawatiran negara-negara di dunia atas terabaikannya nilai-nilai hak asasi manusia akibat adanya perang.

Pembukaan Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa mengatur mengenai dasar alasan yang menjadi faktor pendorong dibuatnya Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa: “to reafirm faith in fundamental human rights, in the dignity and worth

of the human person, in the equal rights of men and women and of nations large

and small”64 Ketentuan tersebut memberi arti bahwa hak asasi manusia adalah hak yang mendasar, tidak dapat dikurangi pelaksanaannya. Pelaksanaan hak asasi manusia harus menganut prinsip non-diskriminasi dengan tidak membedakan ras, jenis kelamin dan agama.65

The UN Charter, for one, does not mention protection of human rights,

but rather their promotion. Promotion over protection was chosen carefuly at the time because international measures for the protection of human rights would

have been considered an inadmisible interference with national souvereignity”66

Pada awalnya Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa hanya dibuat untuk tujuan mempromosikan konsep hak asasi manusia, tetapi pada akhirnya konsep mengenai hak asasi manusia merupakan konsep yang secara perlahan dapat diterima oleh negara-negara di dunia. Hal tersebut dibuktikan dengan dibuatnya

64

Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa.

65

Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa Pasal 55.

66

(24)

instrumen-instrumen internasional yang mengatur mengenai hak asasi manusia yang merujuk pada Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa. Konsep mengenai hak asasi manusia yang terdapat di dalam Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa merupakan bentuk kesadaran dari negara-negara di dunia bahwa perdamaian dan hubungan antar negara dapat diwujudkan dengan penghormatan terhadap nilai-nilai hak asasi manusia. Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa merupakan ketentuan yang menjadi pedoman atas perlindungan hak asasi manusia. “Konvensi-konvensi internasional tentang hak asasi manusia selalu berpedoman

pada ketentuan di dalam Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa sebagai salah satu dasar pertimbangan dalam pembuatannya.”67

2.2.1.2 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia

Perkembangan hak asasi manusia sendiri mulai berkembang secara signifikan setelah banyak negara-negara yang menyatakan kemerdekaan negaranya sebagai salah satu faktor pendorong lahirnya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Deklarasi ini memuat pokok-pokok tentang kebebasan, persamaan, kepemilikan harta, perkawinan, pendidikan, pekerjaan, kebebasan beragama. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia merupakan deklarasi pertama yang disahkan Perserikatan Bangsa Bangsa yang telah diakui secara internasional. Deklarasi tersebut disahkan sebagai resolusi yang mengatur instrumen dasar hak asasi manusia oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa pada tanggal 10 Desember tahun 1948. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dibangun

67

(25)

berdasarkan ide bahwa HAM didasarkan atas martabat yang melekat pada diri setiap orang dan tidak dapat dihilangkan. Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa mengadopsi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia sebagai satu standar umum bagi keberhasilan untuk semua bangsa dan negara.68 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia mempunyai pengaruh yang signifikan baik secara langsung maupun tidak langsung pada hukum yang mengatur hak-hak asasi manusia secara umum. Beberapa prinsip-prinsip hak asasi manusia yang ada di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia:

a. Prinsip pengakuan terhadap martabat dasar, hak-hak yang sama sebagai dasar dari kemerdekaan, keadilan dan perdamaian dunia. Karakteristik Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dapat dibagi menjadi 3:

- Hak asasi manusia bersifat universal. Setiap orang terikat pada hak asasi manusia. Sifat universal merujuk pada nilai-nilai moral dan etika khusus yang diakui dan dijunjung oleh masyarakat internasional. Di dalam Mukadimah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dicantumkan bahwa hak setiap orang untuk mendapatkan kemerdekaan, keadilan dan perdamaian.69

- Hak asasi manusia tidak dapat dipisah-pisah. Hal ini merujuk pada kepentingan yang setara dari tiap-tiap hak asasi manusia, apakah itu sipil,

68

International Law Making, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Jurnal Hukum Internasional Volume 4 Nomor 1 Okt 2006, Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2008, h. 133.

69

(26)

politik, ekonomi, sosial ataupun budaya. “Seluruh hak asasi manusia memiliki status yang setara, dan tidak dapat ditempatkan pada pengaturan yang bersifat hierarkis.”70

- Hak asasi manusia tidak dapat dirampas. Ini berarti hak yang dimiliki tiap orang tidak dapat dicabut, diserahkan atau dipindahkan. Hak asasi manusia merupakan kepentingan dan kebutuhan dasar dari setiap orang sejak lahir, sehingga pihak manapun tidak dapat mengurangi atau tidak melaksanakan ketentuan terkait hak asasi manusia. Pasal 1 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia: “Semua manusia dilahirkan bebas dan setara dalam martabat dan

hak.”71

b. Koordinasi antara negara dengan Perserikatan Bangsa Bangsa untuk mencapai pengakuan universal terhadap HAM dan kebebasan dasar. Salah satunya dengan membangun hubungan yang baik antar bangsa.

c. Prinsip persamaan antara laki-laki dan perempuan. Hak asasi manusia tidak bersifat diskriminatif. Prinsip non-diskriminasi melingkupi pandangan bahwa orang tidak dapat diperlakukan secara berbeda berdasarkan kriteria yang bersifat tambahan yang tidak sesuai dengan nilai kemanusiaan. Pada pasal 2 DUHAM terdapat ketentuan yang mengatur bahwa setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum dalam Deklarasi ini tanpa pengecualian apapun, seperti pembedaan ras, warna kulit, jenis kelamin,

70

Hikmahanto Juwana, Pemberdayaan Budaya Hukum dalam Perlindungan Ham di Indonesia: HAM dalam Perspektif Sistem Hukum Internasional, Refika Aditama, Jakarta, 2004, h. 70.

71

(27)

bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan, hak milik, kelahiran atau kedudukan lain.72

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia merupakan deklarasi yang memuat instrumen penting mengenai hak asasi manusia, namun dari segi hukum Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tidak mempunyai daya ikat. Namun sejalan dengan perkembangan HAM, banyak negara yang membuat ketentuan-ketentuan -baik di dalam kepentingan nasional maupun internasional- yang berpedoman pada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia . “...ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia banyak dimasukkan ke dalam hukum nasional negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa dan telah menjadi tolak ukur untuk menilai sejauh mana suatu negara menempatkan HAM”73 Prinsip-prinsip yang terdapat di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia merupakan prinsip yang dijadikan standar etis normatif bagi masyarakat internasional. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia ditetapkan sebagai suatu norma yang tidak mengikat, sebagai common standart of achievement, yang diharapkan menjadi hukum kebiasaan internasional yang secara moral harus dipatuhi oleh semua negara-negara yang ikut dalam keanggotaan Perserikatan Bangsa Bangsa. Rumusan-rumusan pengaturan di dalam deklarasi tersebut merupakan rumusan yang non-derogable (tidak dapat diubah) atau di dalam hukum internasional sering disebut jus cogens. Menurut Dr. Atik Krusiyati, jus cogens adalah “norma-norma yang telah diterima dan diakui oleh komunitas

72

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia

(28)

internasional, yang tidak boleh dicabut dan tidak boleh dikecualikan oleh

siapapun.”74

Karakteristik Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang khusus tersebut berimplikasi pada terikatnya negara-negara berdasarkan hukum kebiasaan internasional. “Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia terbagi dalam dua bagian, yaitu economic and social rights dan civil and political rights.”75 Oleh karena itu, untuk membuat nilai-nilai hak asasi manusia dilaksanakan oleh negara dan mempunyai kekuatan mengikat sesuai hukum internasional, Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa mengesahkan perjanjian internasional yang secara yuridis dapat mengikat negara. Pada tahun 1952, diputuskan untuk dibentuk ICCPR dan ICESCR.

2.2.1.3 International Covenant on Civil and Political Rights dan International

Covenant on Economic, Social and Cultural Rights.

International Covenant on Civil and Political Rights atau dapat disingkat ICCPR, merupakan instrumen yang mengatur mengenai hak politik dan sipil yang bersifat universal. ICCPR mengatur cakupan perlindungan hak-hak sipil dan politik, seperti hak hidup dan martabat manusia, persamaan dimuka hukum, hak untuk tidak disiksa, persamaan gender, peradilan yang adil, hak-hak minoritas. Menurut Walter Kallin dan Jorg Kunzli, ICCPR terbagi ke dalam 4 bagian:76

74

Atik Krustiyati, Penanganan Pengungsi Di Indonesia: Tinjauan Aspek Hukum Internasional dan Nasional, Brilian Internasional, Surabaya, 2010, h. 99.

75Ibid.

76

(29)

1. Bagian pertama (Pasal 1) berisi hak untuk menentukan nasib sendiri (the right of self-determination). Hak yang diatur di dalam bagian pertama mengatur hak yang dimiliki oleh sebuah bangsa/negara untuk secara bebas menentukan, mengatur, mengelola dan melaksanakan hak politik dan sosialnya.

2. Bagian kedua (Pasal 2-5) mengatur mengenai kewajiban negara di dalam ICCPR untuk menghormati, menjamin dan mengimplementasikan ketentuan di dalam ICCPR dengan mengaturnya ke dalam peraturan nasional negara secara resmi.

3. Bagian ketiga memuat substansi hak. merupakan daftar hak-hak yang dijamin dalam ICCPR.

- Pasal 6-12 mengatur mengenai hak untuk berkehidupan yang mencakup larangan untuk perlakuan yang kejam dan segala bentuk penyiksaan yang tidak mencerminkan nilai-nilai perikemanusiaan, larangan untuk adanya perbudakan; hak untuk mendapatkan kebebasan bergerak dan keamanan secara pribadi yang mencakup kebebasan bergerak dan peluang untuk menuntut ganti rugi jika kebebasannya dibatasi secara tidak sah.

(30)

- Pasal 17-27 mengatur mengenai kebebasan dalam berpikir, beragama, menyatakan pendapat, berkeluarga, berserikat. “Pasal 26 menyebutkan bahwa setiap orang memiliki kedudukan yang sama dalam hukum, tanpa ada diskriminasi antara satu dengan yang lainnya dalam memperoleh hukum.”77 Oleh karena itu, suatu hukum harus melarang segala bentuk diskriminasi yang didasarkan pada suatu ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik, asal kebangsaan, kepemilikan atau status kelahiran.

4. Bagian keempat mengatur tentang Komite HAM, kewenangannya dan mekanisme pemantauan untuk pelaksanaan kovenan. Pengaturan di dalam

5. bagian keempat mencakup juga kewajiban negara pihak untuk melaporkan kemajuan implementasi negara atas ICCPR. Negara pihak juga harus melakukan koordinasi dengan Komite HAM mengenai kendala dalam pelaksanaan ICCPR.

International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights atau yang biasa disingkat ICESCR merupakan kovenan yang bertujuan untuk melindungi hak asasi manusia di dalam ruang lingkup hak ekonomi, sosial dan budaya. “Pengesahan ICESCR sebagai bagian dari International bill of rights secara

implisit telah membenamkan secara legal, setidaknya bagi negara-negara yang menjadi pihak dalam ICESCR, argumen lama bahwa hak-hak ekonomi, sosial dan

(31)

budaya bukanlah hak asasi manusia”78

Di dalam paragraf pembuka ke-3 dari ICESCR, ditegaskan tentang keterkaitan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya dengan hak-hak sipil dan politik. Paragraf pembuka ke-3 tersebut menyatakan:

mengakui bahwa sesuai dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, keadaan ideal dari manusia yang bebas dari penikmatan kebebasan dari ketakutan dan kemiskinan, hanya dapat dicapai apabila diciptakan kondisi di mana semua orang dapat menikmati hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, juga hak-hak sipil dan politiknya.79

Substansi yang diatur oleh ICESCR adalah:

1. Pada bagian pertama menjamin pelaksanaan hak untuk menentukan nasib sendiri dan larangan untuk merampas atau menghilangkannya. Hak tersebut mencakup hak untuk memajukan dan mengembangkan kehidupan dari segi ekonomi, sosial dan budaya.

2. Pada bagian kedua mengatur mengenai kewajiban negara pihak untuk menjalankan pengaturan di dalam ICESCR.

3. Pada bagian ketiga mengatur hak-hak yang harus diberikan oleh negara pihak.

- Hak dalam segi ekonomi (Pasal 6-8) yang mengatur hak untuk mendapatkan pekerjaan termasuk kewajiban negara untuk berperan, baik sebagai pihak membuat regulasi dan memberi fasilitas terhadap terwujudnya hak untuk mendapatkan pekerjaan.

78

Mashood A Baderin, Hukum Internasional Hak Asasi Manusia & Hukum Islam,

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2010, h. 174

(32)

- Hak sosial (Pasal 9-12) yang mengatur hak untuk jaminan sosial. Hak untuk jaminan sosial meliputi hak untuk keamanan sosial, hak untuk mendapatkan standar kehidupan yang lebih baik.

- Hak untuk berbudaya (Pasal 13-15) yang mengatur mengenai hak untuk mendapatkan pendidikan, hak untuk ikut berpartisipasi di dalam kebudayaan dan hak untuk menikmati produk hasil budaya.

4. Pada bagian keempat mengatur mengenai komitmen di dalam mewujudkan pengaturan di dalam ICESCR. Negara berkewajiban untuk memberikan laporan periodik yang berisikan laporan tindakan-tindakan yang telah dilakukan oleh negara pihak dalam hal penerapan ICESCR.

Dua kovenan pokok, International Covenant on Civil and Political Rights

(ICCPR) dan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights

(ICESCR) mempunyai formulasi yang berbeda berkenaan dengan mekanisme Menurut Mashood, terdapat 2 kategorisasi terkait instrumen ICCPR dan ICESR:80

1. hak-hak sipil dan politik sering dianggap sebagai hak-hak generasi pertama. ICCPR menghendaki Negara yang meratifikasi agar menghormati dan menjamin perlindungan atas hak-hak yang terkandung didalamnya. ICCPR pada dasarnya memuat ketentuan mengenai pembatasan penggunaan kewenangan dari otoritas negara. Artinya, hak-hak dan kebebasan yang dijamin di dalamnya akan dapat terpenuhi apabila peran negara terbatasi.

80

(33)

2. hak-hak ekonomi, sosial dan budaya disebut sebagai hak-hak generasi kedua. ICESCR menghendaki Negara Pihak agar mencapai secara bertahap realisasi sepenuhnya atas hak-hak yang diakui di kovenan dan mengambil langkah-langkah sejauh yang dimungkinkan oleh sumberdaya yang tersedia. Inilah yang membedakannya dengan model Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang justru menuntut peran maksimal negara. Negara justru melanggar hak-hak yang dijamin di dalamnya apabila negara tidak berperan secara aktif.

Implikasinya adalah, ICCPR mensyaratkan implementasi yang bersifat segera, sementara itu ICESCR meminta implementasi bertahap dengan memperhitungkan sumberdaya yang ada.

2.2.2 Hubungan Hak Asasi Manusia dan Perlindungan Pengungsi

(34)

Hukum hak asasi manusia merupakan hukum yang mengatur mengenai hak-hak dasar manusia. Hukum hak asasi manusia memuat pengaturan yang menjamin setiap individu untuk dapat mendapatkan hak-hak dasarnya. Instrumen pengaturan hak asasi manusia merupakan instrumen yang berlaku secara universal tidak terikat oleh waktu dan tempat. Sifat keberlakuan hak asasi manusia berimplikasi pada tetap berlakunya instrumen pengaturan mengenai hukum hak asasi manusia di dalam keadaan apapun. Hukum pengungsi merupakan hukum yang mengatur mengenai perlindungan hak-hak yang diperoleh seorang atau sekelompok orang yang dikategorikan sebagai pengungsi menurut Konvensi. Hukum pengungsi memuat pengaturan perlindungan terhadap pengungsi di dalam situasi dan kondisi tertentu. Terdapat relevansi antara hak asasi manusia dan hukum pengungsi. Instrumen pengaturan mengenai hak asasi manusia dibuat dengan tujuan untuk memberikan perlindungan hak-hak dasar manusia. Tujuan tersebut sejalan dengan pengaturan perlindungan pengungsi di dalam hukum pengungsi. Pengaturan di dalam hukum pengungsi dibuat untuk melindungi hak-hak dasar pengungsi. Sebagai seorang individu, pengungsi mempunyai hak-hak-hak-hak dasar yang diatur di dalam hukum hak asasi manusia. Hukum hak asasi manusia mengakui beberapa hak yang dimiliki setiap individu, antara lain hak untuk berkehidupan, hak untuk jaminan keselamatan, dan kebebasan-kebebasan tertentu.81

81

(35)

Beberapa ketentuan di dalam Konvensi mengenai Status Pengungsi tahun 1951 yang berpedoman pada instrumen hak asasi manusia internasional antara lain:

1. Konvensi Pengungsi mengatur prinsip utama, yakni prinsip

non-refoulement. Prinsip tersebut merupakan fundamental yang mengakui hak asai manusia yang dimiliki pengungsi dari segi perlindungan terhadap keselamatan. Pengaturan di dalam Konvensi tersebut mengadopsi prinsip yang telah diatur di dalam DUHAM dan ICCPR. Pasal 32 Larangan untuk menolak pengungsi yang mencari perlindungan ke tempat yang aman. Merupakan larangan yang diadopsi dari Pasal 3, Pasal 13 DUHAM,yakni larangan untuk mencegah mencari perlindungan. Pasal 12 di dalam ICCPR.

(36)

Hak untuk berkehidupan, hak terhadap keselamatan dan kebebasan yang diatur di dalam hukum hak asasi manusia dijadikan dasar untuk membuat instrumen khusus mengenai perlindungan terhadap pengungsi. Sehingga pengaturan di dalam hukum pengungsi merupakan pengaturan yang berpedoman pada pengaturan hak-hak dasar yang telah diakui oleh hukum hak-hak asasi manusia.

2.3 Perlindungan Internasional Terhadap Pengungsi

Permasalahan pengungsi menyita perhatian masyarakat internasional. Beberapa instrumen internasional mengatur secara khusus mengenai perlindungan pengungsi yang berlaku dalam lingkup internasional. Konvensi tahun 1951 merupakan konvensi yang melindungi dan memberikan bantuanpada pengungsi. Konvensi tahun 1951 mengatur beberapa hal yang penting. Pertama, memberikan pengertian mengenai pengungsi. Kedua, konvensi menetapkan standar minimum terkait pengungsi, misalkan memberikan hak-hak dasar yang harus diberikan kepada pengungsi serta kewajiban-kewajiban yang harus dijalankan oleh pengungsi.

2.3.1 Hak Pengungsi

Perlindungan yang diatur di dalam Konvensi tahun 1951 antara lain:82

1. Tidak ada diskriminasi

Tidak akan ada diskriminasi terhadap pengungsi berdasarkan ras, agama, atau negara asal (Pasal 3). Pengungsi mempunyai kebebasan untuk

82

(37)

menjalankan ibadah agama sebagaimana yang dijalankan di negara asalnya (Pasal 4).

2. Negara dimana pengungsi tersebut berada harus memperlakukan pengungsi sama sebagaimana orang asing lainnya yang berada di negara tersebut (Pasal 7).

3. Status personal dari pengungsi akan diatur sesuai dengan hukum dimana ia berdomisili. Jika tidak mempunyai domisili, maka menurut hukum dimana ia berada. Hak yang paling dasar, khususnya untuk melakukan perkawinan harus diakui (Pasal 12).

4. Pengungai mempunyai hak untuk memiliki benda bergerak dan benda tidak bergerak dan menyimpannya seperti orang asing lainnya (Pasal 13). Pengungsi juga dapat memindahkan ke negara dimana pengungsi akan diterima (Pasal 30).

5. Pengungsi berhak mendapat perlindungan terkait kepemilikan industri, seperti penemuan, desain atau model, merek dagang, nama dagang, hak untuk menikmati hasil penelitian ilmiah seperti warga negara dari negara tersebut (Pasal 14).

(38)

7. Pengungsi berhak mendapat perlakuan yang sama seperti warga negara di negara tersebut, dalam hal memperoleh pendidikan dasar dan perlakuan yang sebaik mungkin untuk bidang pendidikan (Pasal 22).

8. Pengungsi tidak akan dibatasi ruang geraknya (Pasal 26), kecuali jika hal tersebut diperlukan untuk menunggu statusnya di negara dimana pengungsi berada atau melanjutkan permohonan ke negara lain (Pasal 31).

9. Negara dimana pengungsi dilarang untuk melakukan tindakan pengusiran (Pasal 32) dan dilarang untuk mengembalikkan pengungsi ke negara asalnya (Pasal 33).

10.Pengungsi mempunyai hak untuk mendapatkan kesejahteraan sosial, seperti hak untuk bekerja, mendapatkan upah dari pekerjaannya, atau jaminan atas keamanan (Pasal 20-24).

2.3.2 Kewajiban Pengungsi

Disamping hak-hak yang dimilikioleh pengungsi, maka Konvensi tahun 1951 juga mengatur mengenai kewajiban yang harus dijalankan oleh pengungsi. Di dalam Pasal 2 Konvensi tahun 1951 diatur bahwa kewajiban pengungsi adalah mentaati peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang berlaku di negara dimana pengungsi berada. Pengungsi tidak boleh melakukan tindakan yang menganggu ketertiban umum, tindakan yang membahayakan kepentingan negara dimana pengungsi tersebut berada.

(39)

Prosedur dalam menangani masalah pengungsi adalah merupakan tanggung jawab semua elemen masyarakat internasional. Di dalam hukum internasional terdapat badan yang berwenang secara khusus dalam menangani masalah pengungsi, yaitu UNHCR. Dalam Statuta UNHCR tahun 1951 menyebutkan tentang fungsi utama UNHCR adalah menyediakan perlindungan internasional dan mencari solusi permanen permasalahan pengungsi bekerja sama dengan negara-negara lain untuk memberikan fasilitas dan kemudahan dalam pelakasanaan voluntary repatriation, local integration dan resettlement.83

1. Voluntary Repatriation

Voluntary Repatriation (repatriasi sukarela) adalah prosedur penanganan pengungsi dengan menempatkan atau memulangkan kembali pengungsi ke negara asalnya. Prosedur tersebut dilakukan atas persetujuan dari negara asal dan pengungsi, sehingga repatriasi sukarela dilakukan dengan tanpa paksaan dari pihak manapun. Hak pengungsi terkait repatriasi sukarela diatur di dalam Pasal 13 DUHAM dan Pasal 12 ICCPR yang mengatur bahwa setiap orang mempunyai hak untuk kembali ke negara asalnya dan tidak seorang dan pihak manapun yang dapat mencegah atau mengurangi hak setiap orang untuk masuk dan kembali ke negara asalnya.

2. Local Integration

Local integration (integrasi lokal) adalah prosedur penanganan permasalahan pengungsi dengan mengintegrasikan, melakukan asimilasi

83

(40)

atas faktor ekonomi, psikologis, budaya, keamanan dan faktor sosial yang terdapat di negara pemberi suaka terhadap pengungsi. Prosedur tersebut dilakukan atas persetujuan negara pemberi suaka dan pengungsi.

3. Resettlement

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa krim ekstrak biji mengkudu ( Morinda citifolia ) dapat mencegah peningkatan jumlah melanin kulit mamut (

Kehadiran masyarakat muslim dayak ngaju dalam pelaksanan upacara tewah, yaitu Upacara Tiwah adalah upacara terbesar yang hanya dilakukan oleh masyarakat

Media tangram juga efektif untuk diterapkan secara intensif dalam mengidentifikasi sifat-sifat bangun datar karena untuk mendapatkan hasil belajar yang optimal siswa

Penelitian ini diharapkan mampu menambah khazanah keilmuan yang berkaitan dengan karakter kerja keras serta diharapakan mampu menjadi rujukan bagi penelitian berikutnya yang

ABSTRAK PENGARUH IKLIM KOMUNIKASI ORGANISASI TERHADAP KINERJA KARYAWAN DI PT PLN PERSERO KANTOR DISTRIBUSI JAKARTA RAYA DAN TANGERANG Oleh: Benny Sanjaya Penelitian ini

Maka di perlukannya sebuah sistem informasi yang mampu membantu dalam proses penginputan data sarana dan prasarana untuk mempermudah dalam pendataan serta pengecekan jumlah barang

Mesin pengupas kulit tanduk biji kopi yang didesain dapat memisahkan kulit tanduk biji kopi sekitar 94 %, dan 6 % dari biji kopi yang tidak terkupas karena

Sterilisasi sebelum inkubasi efektif dalam membunuh mikroba epifit atau mikroba yang menempel dibagian permukaan daun, sehingga koloni yang tumbuh pada permukaan