BAB III
PERAN MASYARAKAT INTERNASIONAL DALAM PENANGANAN PENGUNGSI SURIAH
3.1 Kondisi Suriah
Perpindahan yang dilakukan penduduk Suriah ke negara lain menyebabkan
permasalahan kompleks. Beberapa diantaranya adalah permasalahan penentuan
status mereka. Status merupakan hal yang penting karena berkaitan dengan
perlindungan yang akan diberikan, sehingga di dalam menentukan status mereka,
perlu mengacu pada ketentuan-ketentuan yang telah diatur.
3.1.1 Konflik Bersenjata di Suriah
Musim Semi Arab yang terjadi di sebagian negara Afrika dan Timur Tengah
pada umumnya adalah konflik yang muncul karena faktor yang sama, yaitu
adanya rezim diktator yang berkuasa secara otoriter. Rezim otoriter cenderung
menganggap tabu segala manifestasi demokrasi, oleh karena itu jika terdapat
demonstrasi, rezim otoriter akan menganggap demonstrasi tersebut sebagai suatu
tindakan yang berupaya menggulingkan kekuasaan rezim tersebut. Musim Semi
Arab memang terjadi di negara-negara yang mempunyai sistem pemerintahan
yang cenderung otoriter dalam memimpin negaranya. Beberapa negara di Timur
Tengah sebagian besar dipimpin oleh rezim otoriter seperti Mesir, Libya, Tunisia
lepas terkena dampak dari Musim Semi Arab. Negara Suriah adalah negara yang
terletak di kawasan Timur Tengah. Suriah merupakan negara dengan bentuk
pemerintahan republik. Suriah dipimpin oleh Presiden Bashar Al-Assad yang
diusung oleh Partai Baath. Partai Baath adalah partai yang paling berkuasa di
Suriah. “Bashar was picked as president because he did not pose a challenge to
any of the factions in power”84
Bashar Al-Assad dinilai sebagai sosok yang
diharapkan dapat menyeimbangkan isu politik di Suriah dan mengatasi
konflik-konflik internal yang terjadi di Suriah. Terpilihnya Bashar Al-Assad menjadi
Presiden Suriah yang menggantikan ayahnya, Hafez Al-Assad ternyata tidak
mengatasi masalah-masalah yang terjadi di Suriah. “Many Sunni Arabs (who
constitute the majority of the population) undoubtedly resent the disproportionate
power wielded by the minority Allawite community to which both Assad and a
large proportion of the security apparatus belong”85 Faktor perbedaan ras dan
kebangsaan juga ikut menjadi penyebab terjadinya konflik di Suriah. Perlakuan
yang berbeda yang diterima golongan minoritas tersebut menimbulkan rasa tidak
percaya terhadap pemerintahan rezim Bashar Al-Assad. Hal tersebut membuat
sebagian golongan minoritas di Suriah khawatir jika pemerintahan di bawah rezim
Bashar Al-Assad akan melakukan tindakan diskriminatif. Selain faktor sekterian
agama, faktor ekonomi juga menjadi permasalahan yang timbul di dalam
pemerintahan rezim Bashar Al-Assad.
84
International Crisis Group, Syria Under Bashar (II): Domestic Policy Challenges
(ICG Middle East Report N°24 Amman/Brussels), 11 February 2004, Page. 4. 85
International Crisis Group, Popular Protest In North Africa And The Middle East (VI):
The country is about to explode. The cost of living is increasing dramatically; the economy has opened up so fast, and the people have been left behind. State institutions are ever more dysfunctional. The state employed middle class, which constituted one of Syria‟s strengths, has been devastated. Hardly anything has been done to attract genuine investments. Meanwhile, we are creating more poverty.86
Permasalahan-permasalahan di Suriah mulai menyebar ke beberapa daerah di
Suriah yang menginginkan adanya reformasi pemerintahan.
In Duma, just north of the capital, the precipitating factors were a tightly knit conservative society, strong local identity and history of rebelliousness, combined with the harmful effects of economic liberalisation on the manufacturing trade. In other cities, the uprising was shaped by a variety of other ingredients: age-old grievances; recent cases of abuse by security services; growing religiousness; the drought‟s devastating impact on the agricultural sector; the role of powerful smuggling networks; or persistent communal fault lines that fuelled sectarianism.87
Situasi yang terjadi di Suriah merupakan situasi yang sangat kompleks. Banyak
faktor penyebab yang melatarbelakangi terjadinya situasi yang tidak kondusif di
Suriah. Selain faktor permasalahan sektarian agama dan faktor permasalahan
ekonomi, fenomena gerakan Musim Semi Arab yang berhasil menumbangkan
rezim pemerintahan di beberapa negara lain juga menjadi faktor penyebab hal
tersebut.
Seiring memburuknya situasi di Suriah, pada awal Februari tahun 2011
mulai muncul gelombang aksi demonstrasi dari beberapa rakyat Suriah.
Demonstrasi menyebar ke beberapa wilayah di Suriah. Pemerintahan rezim
Bashar Al-Assad menganggap demonstrasi yang terjadi di beberapa wilayah
86
International Crisis Group II, Op. Cit., Page. 16. 87
Suriah sebagai tindakan yang dapat mengancam kekuasaan rezim Bashar
Al-Assad, oleh karena itu pemerintahan rezim Bashar Al-Assad memerintahkan
aparat keamanan Suriah menggunakan tindakan-tindakan kekerasan. Puncaknya,
pada tanggal 22 April 2011 terjadi peristiwa kekerasan oleh aparat keamanan
Suriah dan sekaligus menjadi awal dari hari berdarah terhadap para demonstran
pro-demokrasi. “It‟s expansive security services have served the regime well over
the years; in the current phase, as will be described in a companion report, they
have showed no mercy in efforts to crush the protest movement.”88 Tindakan
pemerintah rezim Bashar Al-Assad yang lebih memilih menggunakan cara
kekerasan untuk meredam demonstran pro-demokrasi, tidak membuat situasi di
Suriah menjadi lebih kondusif, karena demonstran pro-demokrasi menolak untuk
menghentikan aksi protes dan memilih untuk melawan pemerintahan rezim
Bashar Al-Assad.
With the government's troops assaulting civilians, violence in Syria is only set to spread quicker and deeper. In the first months of the conflict, the demonstrations were mainly peaceful, but as the regime's forces have repeatedly continued to kill protesters, the relationship between the security forces and civilians now consists of a mix of fear, distrust, rage and defiance. Clearly, what started as protests is now slowly turning into a civil war between the people and the government, with neither side willing to back down.89
Situasi menjadi lebih buruk ketika aksi protes tersebut berubah menjadi aksi
perlawanan bersenjata, sehingga menyebabkan Suriah terjebak ke dalam konflik
88
International Crisis Group II, Op. Cit., Page. 24.
89
International Bussiness Times, Is Syria Sliding into Civil War?,
bersenjata. “By June 2013, the UN said 90,000 people had been killed in the
conflict. However, by August 2014 that figure had more than doubled to 191,000 -
and continued to climb to 220,000 by March 2015, according to activists and the
UN.”90
Konflik bersenjata yang terus menerus berlangsung dan tidak kunjung usai
tersebut menyebabkan tidak terjaminnya perlindungan terhadap rakyat Suriah.
Tidak terjaminnya rasa aman menjadi faktor pendorong bagi sebagian rakyat
Suriah untuk meninggalkan negaranya untuk mencari tempat perlindungan yang
aman ke negara terdekat sepertiTurki, Lebanon, Yordania, Yaman dan Mesir.
3.1.2 Analisa terhadap adanya perpindahan penduduk akibat konflik di Suriah
Situasi yang tidak kondusif di Suriah yang menyebabkan sebagian rakyat
Suriah memilih meninggalkan Suriah dan mencari tempat perlindungan ke negara
lain.
Almost 4 million people have fled Syria since the start of the conflict, most of them women and children. It is one of the largest refugee exoduses in recent history. Neighbouring countries have borne the brunt of the refugee crisis, with Lebanon, Jordan and Turkey struggling to accommodate the flood of new arrivals. The exodus accelerated dramatically in 2013, as conditions in Syria deteriorated. A further 7.6 million Syrians have been internally displaced within the country, bringing the total number forced to flee their homes to more than 11 million - half the country's pre-crisis population. Overall, an estimated 12.2 million are in need of humanitarian assistance inside Syria, including 5.6 million children, the UN says.91
90
BBC News, Syria: The Story of Conflict, http://www.bbc.com/news/world-middle-east-26116868, 12 Maret 2015, h.1, diakses pada tanggal 1 April 2015.
91
Perpindahan yang dilakukan sebagian rakyat Suriah ini memiliki karakteristik
yang sesuai dengan beberapa klasifikasi mengenai pengungsi. Penulis akan
menganalisis beberapa karakteristik perpindahan yang dilakukan rakyat Suriah
yang dikaitkan dengan pengaturan yang terdapat di dalam hukum pengungsi
internasional.
Beberapa penduduk Suriah yang memilih pergi dari negara asalnya menuju
ke negara lain karena takut akan terancamnya keselamatan mereka. Kondisi di
Suriah yang terlibat konflik bersenjata menyebabkan tidak terjaminnya rasa aman
bagi penduduk Suriah.
A UN commission of inquiry, investigating alleged human rights violations since March 2011, has evidence that those on both sides of the conflict have committed war crimes - including murder, torture, rape and enforced disappearances. Government and rebel forces have also been accused by investigators of using civilian suffering, such as blocking access to food, water and health services, as a method war.92
Kondisi tersebut mengakibatkan penduduk Suriah rentan menjadi objek kekerasan
akibat konflik bersenjata tersebut, sehingga hak-hak dasar mereka tidak terpenuhi.
Jika ditinjau dari hukum pengungsi internasional, di dalam Pasal 1 huruf (A)
angka (2) dari Konvensi mengenai Status Pengungsi tahun 1951 dijelaskan bahwa
faktor pendorong bagi pengungsi untuk meninggalkan negaranya dan pergi ke
negara lain untuk mencari perlindungan adalah karena ketakutan akan persekusi
atau kekerasan akibat adanya konflik bersenjata yang tidak kunjung selesai.
Ketakutan atas terjadinya persekusi dilatarbelakangi oleh alasan-alasan ras, agama
kebangsaan keanggotaan pada kelompok sosial tertentu. “Kurds, roughly 10 per
92
cent of the population...Kurds have grievances – including the denial in 1962 of
Syrian nationality to up to 200,000 born in Syria and their offspring”93
Penduduk Suriah yang mengungsi ke negara lain, sebagian besar merupakan
penduduk yang terusir karena mempunyai kepercayaan terhadap aliran agama
yang berbeda dengan pemerintahan rezim Bashar Assad. “Many Sunni Arabs
(who constitute the majority of the population) undoubtedly resent the
disproportionate power wielded by the minority Allawite community to which both
Assad and a large proportion of the security apparatus belong”94 Pemerintahan
rezim Bashar Al-Assad mempunyai aliran agama yang berbeda dengan sebagian
besar penduduk Suriah yang mempunyai aliran agama sunni. Perbedaan tersebut
yang merupakan fakta yang melatarbelakangi adanya tindakan persekusi rezim
Bashar Al-Ass‟ad ke beberapa orang yang dianggap berbeda aliran agama,
sehingga mengakibatkan adanya perpindahan yang dilakukan oleh sebagian besar
penduduk Suriah.
Di dalam situasi konflik, rentan terabaikannya keselamatan diri, hal
tersebut menimbulkan rasa tidak nyaman dan aman dalam diri seseorang sehingga
alasan penduduk Suriah yang meninggalkan negaranya dan mencari perlindungan
ke negara lain tersebut memenuhi karakteristik seorang pengungsi.
Keadaan-keadaan non-kondusif yang terjadi di Suriah terjadi karena adanya konflik
mengenai aliran agama. Alasan agama tersebut diatas dapat dijadikan dasar untuk
menentukan bahwa status penduduk Suriah, yang melakukan perpindahan tempat
93
Ibid.
94
ke negara lain untuk mencari tempat perlindungan, adalah sebagai pengungsi yang
pergi meninggalkan negaranya karena ketakutan terhadap persekusi rezim Bashar
Al-Ass‟ad terhadap beberapa aliran agama yang berbeda dengan rezim tersebut,
sesuai dengan kriteria di dalam Konvensi mengenai Status Pengungsi tahun 1951
dan Protokol 1967.
3.2 Peran Masyarakat Internasional dalam Penanganan Pengungsi Suriah
Negara seringkali menjadi subjek pertama dalam permasalahan pengungsi
dan pencari suaka. Tidak hanya negara, subjek hukum internasional lainnya yaitu
organisasi internasional, khususnya yang mempunyai komitmen penuh terhadap
perlindungan hak asasi manusia berkewajiban membantu menangani
permasalahan pengungsi. Situasi yang terjadi di Suriah merupakan situasi yang
kritis, sehingga menyebabkan sebagian besar penduduk Suriah melakukan
perpindahan ke negara lain.
3.2.1 Peran Negara Peserta Konvensi
Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa dengan resolusi nomor 429 (V)
Desember 1950, mengadakan konferensi di Jenewa untuk membahas mengenai
penanganan pengungsi. Konferensi tersebut berhasil menghasilkan akta final
tentang status pengungsi dan orang tanpa kewarganegaraan. Akta final tersebut
merupakan bentuk komitmen negara-negara untuk menyelesaikan permasalahan
pengungsi dan orang tanpa lewarganegaraan. Dibuatnya akta final tentang status
ketentuan-ketentuan yang secara khusus mengatur mengenai pengungsi. Hukum
pengungsi internasional mempunyai pedoman dalam penanganan pengungsi yang
diatur di dalam Konvensi mengenai Status Pengungsi 1951 dan Protokol
mengenai Status Pengungsi 1967. Ketentuan di dalam Konvensi mengenai Status
Pengungsi 1951 dan Protokol mengenai Status Pengungsi 1967 tersebut memuat
penjelasan mengenai klasifikasi, hak dan kewajiban pengungsi. Diatur juga
kewajiban negara peserta konvensi atas pengungsi.
Beberapa peran negara peserta konvensi yang terdapat di dalam Konvensi
mengenai Status Pengungsi 1951 dan Protokol mengenai Status Pengungsi 1967
antara lain:
1. Negara pihak berperan sebagai pihak utama yang memberikan
perlindungan95 terhadap pengungsi dan sebagai pihak yang harus
melaksanakan prinsip-prinsip di dalam Konvensi mengenai Status
Pengungsi 1951 dan Protokol mengenai Status Pengungsi 1967.96 Di
95
Perlindungan terhadap pengungsi di dalam konvensi dapat dibagi menjadi:
a. Perlindungan terhadap keselamatan pengungsi. Di dalam Pasal Konvensi disebutkan bahwa negara harus menerima keberadaan pengungsi di wilayahnya. Hal tersebut merupakan suatu kewajiban dasar bagi negara yang menjadi pihak Konvensi.
b. Perlindungan terhadap hak-hak pengungsi. Sebagai negara yang menjadi pihak Konvensi, maka pengaturan yang terdapat di dalam Konvensi wajib dilakukan oleh negara pihak. Konvensi mengatur beberapa hak-hak bagi pengungsi yang wajib diberikan oleh negara pihak antara lain: kebebasan untuk menjalankan ajaran agama (pasal 4), hak tehadap kepemilikan benda bergerak dan tidak bergerak bagi pengungsi (pasal 13),hak untuk memindahkan benda milik pengungsi (pasal 30), hak untuk melakukan perkawinan (pasal 12), hak untuk akses pengadilan (pasal 16), hak pendidikan (pasal 22), hak kekayaan atas intelektual (pasal 14), hak untuk bergerak/berpinfdah tempat (pasal 26), hak untuk mendapatkan kesejahteraan sosial (pasal 20-24)
96
dalam dalam pasal 2, 32 dan 33 Konvensi mengenai Status Pengungsi
1951 dan Protokol mengenai Status Pengungsi 1967 mengatur mengenai
prinsip non-diskriminasi dan non-refoulement. “...bagi negara-negara yang
telah menjadi peserta pada Konvensi atau Protokol tidak dapat mereservasi
beberapa pasal yang terdapat dalam: Pasal 3 (non-diskriminasi) dan Pasal
33 (non-refoulement)....”97
Negara yang telah menjadi pihak tidak dapat melanggar ketentuan atau
mengkesampingkan ketentuan mengenai kedua prinsip tersebut.
Prinsip-prinsip tersebut mengikat negara yang menjadi peserta Konvensi. Dengan
menjadi pihak dalam Konvensi, negara diharapkan dapat membantu
UNHCR atau lembaga-lembaga yang peduli terhadap permasalahan
pengungsi dengan melaksanaan prinsip-prinsip perlindungan pengungsi
yang terdapat di dalam Konvensi.
2. Negara pihak dapat juga sebagai negara promotor. Negara pihak
bekerjasma dengan UNHCR menjadi pihak yang melakukan kegiatan
promosi ke negara lain. Hak-hak dasar di dalam Konvensi merupakan
bagian dari hak asasi manusia yang setiap negara diharuskan untuk
menghormatinya. Negara yang menjadi pihak di dalam Konvensi, pada
dasarnya adalah negara yang mempunyai pandangan bahwa hak-hak dasar
yang terdapat di dalam Konvensi merupakan hak yang sangat penting
untuk diterapkan. Oleh karena itu merupakan kewajiban negara pihak
97
untuk menekankan pentingnya pengaturan instrumen perlindungan
pengungsi.
3. Negara pihak sebagai negara yang mempunyai kewenangan dalam
menentukan status pengungsi. Dalam hal ini negara pihak bertindak
mewakili UNHCR untuk menentukan status pengungsi. Kewenangan
negara pihak tersebut terdapat di dalam Pasal 3 Konvensi yang
menyebutkan bahwa negara-negara pihak diharuskan untuk menerapkan
ketentuan di dalam Konvensi tanpa diskriminasi. Hal tersebut
menunjukkan bahwa negara pihak jika diperlukan, dapat menentukan
status pengungsi seseorang atau sekelompok orang. Sehingga prosedur
untuk menetapkan siapa sebagai pengungsi diserahkan kepada negara
anggota konvensi.
4. Negara pihak berperan sebagai pihak yang berpartisipasi dalam
perkembangan regulasi di dalam hukum pengungsi. Di dalam Pasal 35
Konvensi disebutkan bahwa Negara pihak terikat untuk bekerja sama
dengan UNHCR atau Badan Perserikatan Bangsa Bangsa untuk
menjalankan segala tindakan yang berhubungan dengan permasalahan
pengungsi. Oleh karena itu, negara pihak tidak hanya sebagai negara yang
secara faktual berkewajiban untuk menampung pengungsi, tetapi negara
pihak juga dapat memberikan kontribusi baik berupa pemikiran atau
langkah-langkah kongkrit lainnya dalam mengembangkan instrumen
pengaturan pengungsi. Hal tersebut bertujuan agar perlindungan terhadap
tetapi juga pembaharuan-pembaharuan instrumen yang bermuara pada
pengaturan perlindungan pengungsi yang lebih baik.
3.2.1.1 Turki
Turki merupakan negara yang menjadi peserta di dalam Konvensi
Pengungsi. Turki telah meratifikasi Konvensi Pengungsi dan Protokolnya, namun
dengan syarat pemberlakuannya yang dibatasi oleh faktor geografis. Dalam kasus
pengungsi Suriah, Turki memberlakukan kebijakan perbatasan yang terbuka bagi
pengungsi Suriah. Pemerintah Turki mempunyai ketentuan mengenai pengungsi
yang berasal dari luar Eropa. Ketentuan tersebut mengatur bahwa Pemerintah
Turki mau menerima pengungsi yang berasal dari luar Eropa dan memberikannya
status sebagai pencari suaka sementara. “Under its 1994 Asylum Regulation,
Turkey provides non-European refugees with temporary asylum-seeker status.”98
Ketentuan tersebut juga berlaku bagi pengungsi Suriah. Pengungsi Suriah yang
mencari perlindungan internasional diizinkan masuk ke wilayah Turki.
Since the Syrian crisis began in 2011, Turkey - estimated to host over one million Syrians - has maintained an emergency response of a consistently high standard and declared a temporary protection regime, ensuring
non-refoulement and assistance in 22 camps, where an estimated 217,000 people are staying. Turkey is currently constructing two additional camps.99
Turki tidak hanya memperbolehkan pengungsi Suriah untuk masuk ke
wilayahnya, tetapi juga memberikan tempat pengungsian sementara yang aman
98
Relief Web, Legal Status of Individuals Fleeing Syria: Syria Needs Analysis Project-June 2013, http://reliefweb.int/report/syrian-arab-republic/legal-status-individuals-fleeing-syria-syria-needs-analysis-project-june, 14 june 2013, diakses pada 14 Januari 2015, Page. 9.
bagi pengungsi Suriah. Turki melalui Kementerian Keuangannya juga
berkontribusi dengan mengeluarkan dana untuk menangani masalah pengungsi
Suriah. “Turkey has adopted an open-door policy for civilians fleeing from war in
its conflict-ridden neighbors, Syria and Iraq... Ankara also spent more than $5
billion on refugees so far, according to the Turkish Finance Ministry.”100 Dengan
langkah-langkah yang telah dilakukan oleh pemerintahan Turki tersebut, Turki
tetap menunjukkan komitmen untuk kepedulian terhadap permasalahan
pengungsi.
3.2.1.2 Mesir
Mesir merupakan negara penandatangan Konvensi dan Protokolnya. Dalam
kasus pengungsi Suriah, Mesir memberikan jaminan pelayanan terhadap akses
kesehatan dan akses pendidikan.“Egypt granted Syrian access to the public health
system with the same fees as Egyptians... Egypt grants access to Government
schools on the same basis as Egyptians.”101
Pemerintah Mesir menjamin akses
kesehatan bagi pengungsi Suriah dan membuat kebijakan atas biaya yang
dikeluarkan pengungsi Suriah. Dari segi pendidikan, Mesir memberikan jaminan
hak untuk mendapatkan pendidikan bagi pengungsi Suriah, termasuk akses ke
sekolah dan perguruan tinggi di Mesir. Hak pengungsi Suriah dalam mendapatkan
pendidikan dianggap sama dengan kedudukan warga negara Mesir.
100
UNHCR (The UN Refugee Agency), 2015 UNHCR Country Operations Profile-Turkey, http://www.unhcr.org/pages/49e48e0fa7f.html, 1 Februari 2013 , diakses pada 14 Februari 2015.
101
3.2.1.3 Yaman
Yaman merupakan negara yang melakukan aksesi Konvensi. Di dalam kasus
pengungsi Suriah, Yaman mengizinkan pengungsi Suriah untuk memasuki
wilayah negaranya. Yaman juga memeberikan upaya perlindungan terhadap
pengungsi Suriah. “As of August 2014, Yemen was granting temporary protection
to Syrians, allowing them to access services available to other refugees.”102
Yaman juga melaksanakan kewajibannya sebagai negara peserta konvensi untuk
memberikan hak-hak dasar pengungsi Suriah. “Among other contributions, Yemen
continues to provide land and security for Kharaz refugee camp, as well as access
for refugees to the public health system and education in urban areas.”103 Hak
atas jaminan keamanan, hak untuk mendapatkan pendidikan, dan hak untuk
jaminan kesehatan merupakan sebagian hak yang terdapat didalam Konvensi
Pengungsi. Adanya jaminan keamanan dari pemerintah Yaman dan akses untuk
kesehatan dan pendidikan diberikan kepada pengungsi Suriah untuk memudahkan
pengungsi Suriah dalam menjalankan aktifitas.
3.2.2 Peran Negara Non-Konvensi
Faktor pertimbangan negara atas penegakkan nilai-nilai kemanusiaan yang
merupakan bagian perwujudan terhadap penghormatan atas hak asasi manusia,
membuat negara-negara tujuan atau negara-negara tempat singgah pengungsi
102
UNHCR (The UN Refugee Agency), 2015 UNHCR Country Operations Profile
-Yemen, http://www.unhcr.org/pages/49e486ba6.html, 1 Februari 2014, diakses pada 15 April 2015.
tidak boleh menolak kedatangan ataupun mengusir pengungsi yang telah berada di
batas wilayah negara tersebut. Negara yang bukan merupakan pihak di dalam
Konvensi 1951 jika di wilayahnya terdapat pencari suaka atau pengungsi akan
cenderung melihat dengan sudut pandang lain dari pada negara pihak konvensi.
Negara bukan pihak sebagian besar berpikiran bahwa penanganan dan segala
permasalahan pengungsi bukan merupakan tanggung jawab negara tersebut. Di
dalam bukunya J.G. Starke menyatakan “kecuali jika terikat oleh suatu traktat
internasional yang mengatur hal yang sebaliknya, negara-negara tidak tunduk
kepada hukum internasional untuk mengizinkan masuknya orang-orang asing atau
suatu kewajiban menurut hukum internasional untuk tidak mengusir mereka”104
Negara dalam kapasitasnya sebagai subjek hukum internasional utama,
sepenuhnya dapat menolak atau melarang masuknya orang asing ke wilayahnya.
Penolakan tersebut merupakan bentuk dari pelaksanaan kedaulatan suatu negara.
Tetapi, ditinjau dari segi hukum pengungsi mengusir dan menempatkan pengungsi
ke tempat atau keadaan yang membahayakan keselamatan atau kebebasan
pengungsi tersebut merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia. “Hukum
internasional telah mengatur mengenai perlindungan atas hak-hak kemanusiaan.
Ketentuan tersebut tidak secara langsung menciptakan hak-hak kemanusiaan bagi
individu, akan tetapi telah menciptakan kewajiban-kewajiban tertentu kepada
negara.”105
104
JG Starke, Op. Cit., h. 134 105
Perlindungan terhadap pengungsi pada dasarnya merupakan tanggung jawab setiap negara. Masalah pemberian perlindungan kepada pengungsi atau pencari suaka telah menjadi masalah internasional. Sudah sejak lama negara-negara menerima dan menyediakan pelindungan bagi warga negara yang menjadi korban penindasan atau kekerasan di negara asal tempat tinggalnya.106
Pernyataan diatas menunjukkan bahwa walaupun bukan merupakan pihak dari
Konvensi 1951, negara-negara tetap mempunyai tanggung jawab paling tidak
secara moral untuk memberikan perlindungan kepada pengungsi. Dalam hal ini
peran negara bukan peserta konvensi adalah mengizinkan pengungsi untuk masuk
ke wilayahnya. Hal tersebut dilakukan dengan dasar pertimbangan kemanusiaan
dan penghormatan terhadap HAM. Negara non-peserta memberikan tempat
pengungsian sementara bagi pengungsi Suriah. Negara bukan pihak berperan
sebagai pihak fasilitator dengan melakukan koordinasi UNHCR107 “Di ne
gara-negara yang tidak menjadi anggota Konvensi, penetapan status sebagai pengungsi
ditetapkan oleh wakil-wakil UNHCR”108
Di dalam kasus pengungsi Suriah, negara-negara bukan peserta seperti Lebanon,
Jordania dan Irak tetap memperbolehkan pengungsi Suriah untuk memasuki
wilayah perbatasannya, memberikan tempat pengungsian sementara dan
melakukan kerjasama dengan UNHCR untuk menentukan status pengungsi
106
Wagiman, Op. Cit., h. 80. 107
Suriah. Beberapa negara menunjukkan kepeduliannya terhadap pengungsi Suriah
dengan memberikan hak-hak pengungsi yang diatur di dalam Konvensi.
3.2.2.1 Yordania
Yordania tidak menjadi pihak penandatanganan di dalam Konvensi
Pengungsi, namun Yordania yang menjadi pihak di dalam Konvensi terhadap
penyiksaan terikat pada ketentuan di dalam pasal 3 yang melarang untuk
mengembalikan seseorang ke tempat yang dapat membahayakan keselamatannya.
Oleh karena itu, Yordania tidak dapat mengembalikan dan mengusir pengungsi
Suriah ke tempat yang dapat mengancam keselamatan pengungsi Suriah.
Pemerintah Yordania menyediakan tempat pengungsian sementara untuk
menampung pengungsi Suriah. “The Jordanian Government shares a 370 km (230
mile) border with Syria and since the onset of the crisis upheld an open border
policy, providing protection to Syrian refugees that cross regularly and
irregularly into its territory.”109
Yordania juga memberikan akses terhadap
kesehatan dan pendidikan untuk pengungsi Suriah. “Syrian refugee children who
are registered with UNHCR can enrol in public schools....Once registered,
Syrians can access the public health system.”110
Kebijakan pemerintah Yordania
merupakan bentuk komitmen keikutsertaannya dalam Konvensi melawan
penyiksaan dan bentuk perwujudan penghormatan terhadap nilai-nilai hak asasi
manusia khususnya untuk pengungsi Suriah.
109
Relief Web, Op. Cit., Page. 7. 110
3.2.2.1 Lebanon
Lebanon tidak meratifikasi Konvensi pengungsi, tetapi Lebanon telah
menandatangani Memorandum of understanding dengan UNHCR untuk
menangani masalah pengungsi di Lebanon pada tahun 2003. Konsekuensinya,
Lebanon mempunyai kewajiban untuk membuat tempat pengungsian sementara
bagi pengungsi Suriah. Tidak hanya menyediakan tempat pengungsian sementara,
Lebanon juga telah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan
pengungsi Suriah. Di Lebanon, pemerintah memberikan akses-akses kemudahan
agar pengungsi Suriah tetap dapat menikmati hak-hak dasar yang telah diatur di
dalam Konvensi Pengungsi. Beberapa kemudahan dalam akses pendidikan,
pekerjaan dan kesehatan diberikan untuk mempermudah pengungsi Suriah dalam
menjalankan kehidupan. “In terms of benefits offered to refugees, the Lebanese
government allows refugees to enroll in Lebanese universities and have access to
primary health care after registering with the UNHCR.”111
Peran Lebanon
tersebut merupakan wujud kepedulian terhadap kasus pengungsi Suriah.
3.2.3 UNHCR
United Nation High Commissioner for Refugees atau disingkat dengan
UNHCR merupakan organ khusus Perserikatan Bangsa Bangsa yang bertujuan
untuk menangani permasalahan pengungsi. Badan yang dibentuk pada tersebut
mempunyai beberapa kewenangan yang diatur di dalam Konvensi Pengungsi.
111
Jika dianalisis lebih lanjut, peran UNHCR di dalam penanganan pengungsi Suriah
antara lain:
1. Sebagai badan yang berwenang memberikan status pengungsi menurut
Konvensi.
”Untuk menetapkan seseorang/kelompok orang berstatus sebagai
pengungsi sehingga dapat menikmati hak-hak yang ditentukan di dalam Konvensi 1951 dan Protokol 1967 atau tunduk pada kewenangan UNHCR maka statusnya harus ditentukan.”112
UNHCR mempunyai kewenangan untuk memberi keputusan mengenai
diberikannya status pengungsi tersebut. Hal tersebut berimplikasi pada
kewajiban untuk dilakukannya mekanisme identifikasi kepada sekelompok
orang tersebut. UNHCR bertugas untuk melakukan analisa terhadap fakta,
mengkaitkan penyebab terjadinya perpindahan sekelompok orang tersebut
dengan ketentuan di dalam Konvensi. UNHCR merupakan badan resmi
yang berwenang menyelidiki dan melakukan analisa untuk mencari tahu
penyebab perpindahan sekelompok orang tersebut. Di dalam kasus Suriah
UNHCR dapat menyerahkan kewenangan dalam menentukan status
pengungsi kepada negara peserta konvensi. Untuk negara yang bukan
peserta konvensi, UNHCR tidak dapat mewakilkan kewenangannya di
dalam menentukan status pengungsi, sehingga UNHCR dengan
mengirimkan perwakilannya ke negara tempat pengungsi untuk
menentukan status pengungsi. Dalam kasus pengungsi Suriah, UNHCR
telah melakukan langkah-langkah yang berdampak signifikan atas
penanganan pengungsi Suriah. UNHCR bekerjasama dengan beberapa
negara untuk mengatasi permasalahan pengungsi Suriah. “UNHCR will
focus its activities on: the overall coordination of the Syrian refugee
crisis; registration; protection monitoring and outreach activities”113
2. Sebagai badan yang bertugas memberikan perlindungan pada pengungsi
dan sebagai badan yang mencarikan solusi atas masalah pengungsi. Di
dalam Statuta dijelaskan bahwa fungsi dari UNHCR adalah:
Komisariat Tinggi Perserikatan Bangsa Bangsa untuk pengungsi yang bertindak di bawah kekeuasaan Majelis Umum akan memegang fungsi pemberian perlindungan internasional, di bawah naungan Perserikatan Bangsa Bangsa, kepada pengungsi yang termasuk dalam ruang lingkup Statuta ini dan pencarian
solusi permanen masalah pengungsi...”114
UNHCR pada awal dibentuknya, terfokus pada pemberian perlindungan
internasional bagi pengungsi. Pemberian perlindungan tersebut terdiri dari
2 bentuk, perlindungan terhadap keselamatan dan perlindungan terhadap
hak-hak dasar pengungsi.115UNHCR juga bertugas mencarikan solusi
permanen untuk pengungsi. Di dalam kasus pengungsi Suriah, UNHCR
dengan berkoordinasi dengan negara tempat pengungsian membuat
alternatif-alternatif solusi untuk menangani pengungsi Suriah.
Perlindungan hak-hak seorang pengungsi yang dijamin oleh konvensi terdiri dari beberapa hak yaitu:
1. Hak untuk kebebasan dalam menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaan sebagaimana yang dijalankan pengungsi di negara asalnya (Pasal 4 Konvensi)
“UNHCR's overarching strategy in Lebanon remains to protect assist,
shelter and access to health and education, and facilitate solutions for
refugees and other people of concern, through close partnership with the
Government...”116
3. Sebagai badan yang mengumpulkan dana bagi permasalahan pengungsi.
For 2015, the budget is set at USD 556.8 million, largely to respond to the Syria situation. In light of the evolving situation in the Syrian Arab Republic and in Iraq, any changes in requirements will be presented in the 2015 Regional Refugee and Resilience Plan (3RP) for the Syria situation...117
Sumber keuangan UNHCR berasal dari anggaran Perserikatan Bangsa
Bangsa dan sumbangan sukarela sebagaimana telah diatur di dalam Statuta
UNHCR Bab 3 Angka 20: “Sumbangan sukarela tersebut berasal dari
pemerintah, dan juga dari kelompok lain baik individu, maupun organisasi
swasta.”118
3.2.4 ICRC
ICRC merupakan badan independen yang bermarkas di Swiss. “Tugas
pokok ICRC sebagai pelaksana yang melingkupi kegiatan kemnusiaan dengan
cara memberikan pertolongan kepada korban, reunifikasi anggota keluarga yang
116
UNHCR (The UN Refugee Agency), 2015 UNHCR Country Operations Profile
-Lebanon, http://www.unhcr.org/pages/49e486676.html, 13 Februari 2014, diakses pada 1 Mei 2015.
117
Ibid.
118
terpisah saat konflik, serta mengunjungi tawanan atau tahanan perang.”119 Di
dalam kasus Suriah, ICRC berperan sebagai: 120
1. Krisis air dan masalah fasilitas kesehatan terjadi di Suriah sebagai akibat
konflik bersenjata yang menghancurkan fasilitas akses air dan kesehatan.
ICRC bekerjasama dengan Palang Merah Suriah berperan sebagai penyedia
dan penyalur akses fasilitas air. ICRC juga mengirimkan obat-obatan bagi
korban akibat konflik bersenjata di Suriah.
2. Penduduk Suriah yang terjebak konflik bersenjata di negaranya sangat
membutuhkan bahan makanan. ICRC bekerjasama dengan Palang Merah
Suriah dan pemerintah Suriah menyediakan makanan dan kebutuhan pokok
untuk penduduk Suriah yang menjadi korban adanya konflik bersenjata di
Suriah.
3. ICRC berkoordinasi dengan UNHCR membuat kamp-kamp pengungsian
sementara bagi pengungsi Suriah. Pengungsi Suriah yang terusir dari tempat
tinggalnya membutuhkan tempat berkatifitas mereka sehari-hari.
4. ICRC juga berperan sebagai pihak yang memfasilitasi beberapa orang untuk
dapat menemukan dan berkumpul bersama dengan keluarganya kembali.
119
Wagiman, Op. Cit.. h. 199. 120