• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. Konteks Historis Penetapan 30% Kuota Calon Legislatif Perempuan. A. Proses Keluarnya Penetapan 30% Kuota Perempuan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II. Konteks Historis Penetapan 30% Kuota Calon Legislatif Perempuan. A. Proses Keluarnya Penetapan 30% Kuota Perempuan"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

Konteks Historis Penetapan 30% Kuota Calon Legislatif Perempuan

A. Proses Keluarnya Penetapan 30% Kuota Perempuan

Dari berbagai pemberitaan tentang perempuan Indonesia, banyak dijumpai masalah. Seperti banyaknya perempuan yang berpendidikan yang rendah terutama di pedesaan, masalah tindakan kekerasan terhadap perempuan, eksploitasi dan pornografi, TKW dan perdagangan perempuan dan lainnya. Padahal peranan perempuan sama pentingnya bagi pembangunan pembangunan nasional disamping laki-laki.

Dalam kenyataannya saat ini peran perempuan, kehidupan publik kaum perempuan dapat dilihat data ststistik berikut ini:

1. Bidang politik dan legeslatif perempuan sebagai politisi masih sangat sedikit, karena konon profesi ini sangat memerlukan waktu dan tenaga dan pikiran yang penuh sehingga menyulitkan bagi perempuan untuk melakukannya.

2. Perempuan yang menjadi anggota DPR dari periode ke periode kuantitasnya menurun terlihat dari angka pada tahun 1992 sebanyak 12%, 1997 sebanyak 11,2% sedangkan 1999 hanya sebanyak 8,8%.

3. Lembaga ekskutif perempuan yang terlibat di pemerintahan masih sangat sedikit, walaupun stigma masyarakat terhadap pembagian kerja di pemerintahan sudah berubah, namun pandangan masyarakat terhadap suatu jabatan atau posisi tertentu masih bias gender. Semakin tinggi eselon semakin

(2)

sedikit yang dijabat perempuan seperti: eselon V ada 17%, eselon IV ada 14%, eselon III ada 8%, eselon II dan I kurang dari 5%. Jabatan menteri pun sangat terbatas, dalam kabinet hanya ada 2 orang menteri yang dijabat perempuan. Begitu pula duta besar dan konjen tidak sampai 0,5% yang dijabat perempuan.

4. Lembaga yudikatif hakim agung perempuan hanya 13%, sedangkan hakim perempuan ada 25%, dan jaksa perempuan 20,3%.

5. Jurnalistik, wartawan perempuan ada sekitar 10,9%

Berdasarkan hasil pengamatan tersebut menunjukkan bahwa keterwakilan perempuan sebenarnya merupakan isu politik yang masih harus diperjuangkan oleh kaum perempuan. Para pemerhati perempuan sangat yakin dan optimis bahwa dengan melibatkan perempuan dalam pengambilan kebijakan, akan sangat berdampak pada kesdilan politik itu sendiri karena perempuan lebih sensitif pada kepentingan keluarga, anak, dan perempuan. Namun impian keadilan politik itu masih sangat jauh untuk dapat diraih mengingat kesadaran hak politik perempuan masih sangat rendah.

Akses informasi yang dapat menambah wawasan perempuan untuk mengetahui dan menyadari hak-hak politiknya masih sangat kecil. Rendahnya kesadaran politik bagi perempuan menyebabkan terjadinya manipulasi suara perempuan pada pemilu yang lalu, dimana perempuan memilih partai politik tidak berdasarkan atas pilihannya sendiri. Dengan kata lain, kontrol perempuan terhadap hak pilihnya dalam pemilu, masih sangat lemah.

Adanya streotip bahwa politik itu urusan laki, karena selama ini laki-laki yang mendominasi arena politik, memformulasikan aturan main dan

(3)

mendefenisikan standar evaluasi yang mempersulit posisi perempuan. Oleh karena itu perempuan dapat dikatakan bahwa perempuan menjadi kelompok marginal dalam gelanggang politik, membutuhkan perhatian untuk diperjuangkan. Dikeluarkannya Instruksi Presiden nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengharustamaan Gender merupakan indikator bahwa isu gender yang terus bergulir belum mendapatkan perhatian khusus dalam berbagai bidang pembangunan, termasuk pembangunan politik yang bewawasan gender.

Ketidakadilan mengertian, kurangnya empati, dan kurangnya perhatian para personel negara yang kebanyakan laki-laki terhadap persoalan perempuan maupun kesejahteraan rakyat yang berwawasan gender. Jumlah perempuan anggota dalam pembuatan kebijakan dan hukum-hukum formal negara Indonesia yang sangat minim untuk dapat mempengaruhi sistem.25

Dalam Perpres No. 7 Th. 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional th 2004/2009 salah satu sasaran utama untuk mencapai Indonesia yang adil dan demokratis adalah: Penghapusan diskriminasi dalam berbagai bentuk termasuk diskriminasi dibidang hukum dengan menegakan hukum secara adil serta mengahapus peraturan yang diskriminatif, ketidakadilan gender serta melanggar prinsip keadilan agar setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama dalam bidang hukum.26

25

http://www.uninus.ac.id

26

Peraturan Presiden No.7 Th 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Thn 2004/2009.

Pembangunan nasional dalam era demokratisasi ini perempuan dan laki-laki merupakan suatu sistem, dimana perempuan dan laki-laki-laki-laki punya fungsi dan

(4)

perananya masing-masing yang saling mengisi. Jika perempuan tidak berperan secara optimal, tentu bangsa Indonesia lambat untuk menjadi bangsa yang besar dalam menghadapi globalisasi, apalagi untuk bersaing dengan bangsa lain. Agar kesempatan itu terisi secara optimal, maka untuk situasi tertentu perlu diberlakukannya kuota. Artinya kuota ini diberlakukan tidak lain adalah untuk mempersiapkan bangsa kita dalam pembangunan.

Kuota ini pun bukan berarti ancaman bagi laki-laki dan bukan berarti hanya mengutamakan jumlah perempuan, namun dalam pengisian kuota itu kualitaspun wajib menjadi persyaratan. Bila sudah sampai saatnya perempuan mencukupi syarat minimal, kuota sudah tidak diperlukan dan dapat dicabut. Jadi kuota diperlukan selama perempuan sedang mempersiapakan dirinya.

Kuota ini sangat diperlukan pada beberapa tempat, jika memperjuangkan agar jumlah perempuan meningkat, dan calon legisltif dari setiap partai perlu diberlakukan kuota. Sehingga nanti dalam pengambilan keputusan diharapkan mereka kan memperjuangkan perempuan. Tepatnya, pengisian kuota ini harus hati-hati, sebab belum tentu perempuan memperjuangkan perempuan dan belum ada atau masih jarang pula laki-laki yang memperjuangkan perempuan.

Kendati berbagai perangkat hukum telah melegetimasi partisipasi politik bagi perempuan sampai saat ini antara perempuan dengan dunia politik masih merupakan dua hal yang tidak mudah dipertautkan satu dengan lainnya. Hal ini dibuktikan dengan keterwakilan perempuan di panggung politik dan lembaga-lembaga politik formal jumlahnya masih sangat rendah dibandingkan dengan

(5)

laki-laki. Dunia politik selalu diasosiasikan dengan ranah publik yang relatif dekat dengan laki-laki, mengingat kehidupan sosial tidak bisa dipisahkan dari akar budayanya dimana mayoritas masyarakat di dunia masih kental dengan ideologi patriarki.

Budaya patriarki memosisikan perempuan pada peran-peran domestik seperti pengasuhan, pendidik, dan penjaga moral. Sementara itu, peranan laki-laki sebagai kepala rumah tangga, pengambil keputusan, dan pencari nafkah. Perpanjangan dari berbagai peran yang dilekatkan pada perempuan tersebut maka arena politik yang sarat dengan peranan pengambilan kebijakan terkait erat dengan isu-isu kekuasaan identik dengan dunia laki-laki. Apabila perempuan masuk ke panggung politik kerap dianggap sesuatu yang kurang lazim atau tidak pantas bahkan arena politik dianggap dunia keras sarat dengan persaingan bahkan terkesan sangat membius.

Bila dicermati kancah perpolitikan perempuan di Indonesia dari segi keterwakilan perempuan baik ditataran eksekutif, yudikatif, maupun legislatif sebagai badan yang memegang peran kunci menetapkan kebijakan publik, mengambil keputusan dan menyusun berbagai piranti hukum, perempuan masih jauh tertinggal bila dibandingkan dengan laki-laki.

Perjuangan aktivis perempuan dalam mengeleminasi segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan adalah dengan melakukan tindakan affirmasi (affimattive action). Salah satu tindakan affirmasi adalah dengan penetapan sistem kuota sedikitnya 30% dalam institusi-institusi pembuat kebijakan negara.27

27

ibid

Berkat perjuangan gigih koalisi para aktivis permasalahan perempuan dan koalisi

(6)

perempuan anggota parlemen, ditengah berseminya alam demokrasi dan keterbukaan di era reformasi ini secara menagerial implementasi tindakan affirmasi ini dalam hal perwakilan perempuan di parlemen dan partai politik telah berhasil di undangkan secara fundamental dalam pasal 65 UU pemilu No.12 tahun 2003.

Pasal tersebut adalah 65 ayat (1) dan (2) yang dikenal dengan sebutan kuota untuk perempuan berbunyi: (1) Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan, dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%. (2) Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon sebanyak-banyaknya 120 persen jumlah kursi yang ditetapkan pada setiap daerah pemilihan.

Sementara itu dalam Undang-Undang No.10 Tahun 2008 kuota 30% perwakilan perempuan diatur dalam pasal 53 yang berbunyi: Daftar bakal calon sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 52 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.

Dengan adanya sistem kuota sedikitnya 30% perwakilan perempuan Indonesia dalam pengambilan keputusan diharapkan akan membawa perubahan pada kualitas legalisasi berperspektif perempuan dan gender yang adil; perubahan cara pandang dalam melihat dan menyelesaikan berbagai permasalahan politik dengan mengutamakan perdamaian dan cara-cara anti kekerasan, perubahan kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang ikut memasukan kebutuhan-kebutuhan perempuan sebagai bagian dari agenda-agenda nasional.

(7)

oleh partai politik sendiri tentang ketidak tersediaan sumber daya manusia perempuan yang memadai untuk dijadikan calon legislatif dari partai politik. Sangatlah diskriminatif mempermasalahkan kelangkaan sumber daya manusia perempuan yang berkualitas padahal pada kenyataan selama ini bahwa laki-laki yang tidak.berkualitas yang duduk di kursi legeslatif.

B. Sistem Zipper Dalam Penentuan Calon Legeslatif

UU No.2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilu ini merupakan kado tahun baru bagi kalangan aktivis perempuan yang sudah berjuang cukup lama untuk UU Partai politik dan UU Pemilu yang lebih ramah perempuan. Tapi, perjuangan memang belum berakhir, dan kalangan aktivis perempuan kembali berkepentingan untuk mewarnainya agar sistem pemilu yang nanti digunakan juga ramah terhadap keterwakilan perempuan. Tulisan Ani Soetjipto (Media Indonesia, 11/2/08) mempromosikan sistem zipper (zebra) sebagai bentuk tindakan afirmatif (affirmative action) atau kuota terhadap perempuan dalam pencalonan mereka sebagai kandidat yang diusung partai politik.

Zipper sistem adalah sistem penentuan legislatif secara selang-seling. Penentuan seperti retsleting secara selang-seling dianggap dapat mewujudkan keterwakilan perempuan dalam lembaga politik. Indonesia tidak menganut sistem zipper murni. Menurut Ferry Mursyidan Baldan sistem zipper yang akan diterapkan di Indonesia adalah sistem zipper yang telah dimodifikasi. Sistem

(8)

zippper murni mengatur bahwa antara pria dan wanita ditempatkan secara berselingan..28

Zipper system adalah sistem yang mengatur adanya minimal 30%

perempuan di parlemen. Jadi, jika sebuah partai mendapat 3 kursi, maka salah satunya harus diberikan kepada caleg perempuan yang mendapatkan suara terbanyak. KPU harus melaksanakan zipper system tersebut berdasarkan pasal 53 UU No 10/2008 yang mengatur 30% kuota perempuan di parlemen.29

Mengenai sistem keterwakilan perempuan menurut UU No 10 Tahun 2008, dapat dilihat pada pasal 53 sampai dengan pasal 58 UU No 10 Tahun 2008. Pasal 52 mengatur penyusunan bakal calon legislatif (caleg). Pasal 52 ini menentukan bahwa bakal caleg disusun dalam daftar bakal calon oleh partai politik masing-masing (ayat1). Selanjutnya ditentukan secara tegas bahwa di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimakksud pada pasal 1 (satu), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon.

Pembicaraan tentang sistem zipper ini belum banyak dibicarakan di Indonesia. Secara sederhana, pengertian dari sistem zipper, yang merupakan salah satu variasi dari kuota, adalah mendaftarkan kandidat perempuan dan laki-laki secara selang-seling dalam daftar pencalonan yang diajukan partai (party list). Soal selang-selingnya antara laki-laki dan perempuan tinggal berdasarkan kesepakatan saja, apakah 1:1 atau 1:2 atau 1:3. Tujuannya untuk membantu

28

http://fatahilla.blogspot.com/2009/02/zipper-sistem-dan-eksistensi-peran.html 29

(9)

memastikan perempuan tidak dicalonkan dalam urutan sepatu, dan sebaliknya, memberikan kemungkinan perempuan bisa terpilih dalam pemilu legislatif.

Jika kita melihat peningkatan presentasi perempuan melalui pengalaman negara-negara lain yang sudah menjalankannya sistem zipper maka akan memungkinkan keterwakilan perempuan di Indonesia meningkat. Menurut Women’s Environment and Development Organization, sebuah organisasi internasional yang memonitor keterwakilan perempuan di parlemen di seluruh dunia, ada sekitar 13 negara yang menggunakan sistem elektoral representasi proporsional (sistem daftar) dengan sistem kuota zipper.

Dan ternyata, dalam waktu yang relatif singkat, negara-negara tersebut berhasil meningkatkan keterwakilan perempuan melampaui angka critical mass (30%). Menariknya, negara-negara tersebut tidak hanya mewakili negara-negara maju yang sudah mapan sistem politiknya (seperti Swedia, Finlandia, Norwegia, dan Denmark), tapi juga negara-negara berkembang yang masih bermasalah dengan kehidupan politik dan ekonominya (seperti Rwanda, Argentina, Mozambik, dan Afrika Selatan).30 Sebagai perbandingan dapat kita lihat dari tabel berikut:

30

(10)

Tabel 1

Negara yang berhasil menggunakan Sistem Kuota Zipper

Negara Persentase Perempuan yang lolos di Parlemen Belanda 50% Argentina 30% Swedia 47,3% Rwanda 30% Afrika Selatan 30% Mozambik 34,8% Sumber: http//www.prakarsa-rakyat.org/artikel

Sistem zipper hanya akan efektif jika dikombinasikan dengan sistem pemilu tertentu. Dalam klasifikasi sistem pemilu yang terkenal di dunia sistem zipper hanya bisa dikombinasikan lewat sistem proporsional model tertutup atau terbuka terbatas. Zipper tidak akan relevan jika yang diadopsi adalah sistem pemilu majortarian atau sistem sistem proporsional terbuka murni.

Sebelum dikelurkannya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.22/PUU-IV/2008, Indonesia masih mengadopsi sistem pemilu 2004 yaitu sistem proporsional daftar terbuka terbatas yang membuka peluang untuk mengadopsi sistem zipper di Indonesia. Sistem zipper sebagai instrumen untuk mejadikan partai politik lebih demokratis, profesional, modern, dan akuntabel. Sistem pemilu berkerelasi sangat erat dengan sistem kepartaian seperti apa yang hendak

(11)

dibangun kedepan di Indonesia. Partai sebagai salah satu pilar demokrasi saat ini menghadapi krisis kepercayaan dari masyarakat.

Adopsi sistem zipper lewat Undang-undang pemilu adalah pilihan strategis dibandingka adopsi melalui internal partai politik . Desakan lewat undang-undang pemilu akan menjadi dorongan positif bagi perubahan internal di partai politik dalam waktu yang tidak terlalu lama. Model ini adalah fast track

menuju pencapaian criticalnumber dalam waktu yang singkat.

C. Keputusan Mahkamah (MK) Konstitusi Batalkan 30% Kuota Perempuan

Wanita dalam kancah politik sering kali dipandang sebelah mata. Pada masa sebelum reformai sangatlah sulit bagi seorang wanita untuk menjadi seorang anggota legislatif. Diskriminasi terhadap kaum wanita ini memang sering terjadi. Di negara patriarkhi ini peran wanita dalam kancah politik memang terbilang kurang. Hal ini tentu saja dipengaruhi oleh budaya politik Indonesia.

Pasca reformasi angin segar berhembus mendorong pada pembaharuan positif. Amandemen yang dilakukan sampai empat kali membawa perubahan signifikan pada sistim politik dan ketatanegaraan di negeri ini. Pengaruh paling besar adalah dengan diaturnya hak-hak dasar warga negara untuk berpolitik pada pasal 28 H (2) UUD 1945 yang telah di amandemen.

Selanjutnya perubahan mendasar mulai semakin kuat ketika Undang-Undang Partai Politik No.2 Tahun 2008 dan Undang-Undang-Undang-Undang Pemilu tentang pemilihan anggota DPR, DPRD, dan DPD. Melalui kedua undang-undang tersebut eksistensi peranan kaum wanita mulai diangkat. Dalam pasal 213

(12)

Undang-undang No. 10 tahun 2008 memungkinkan wanita untuk memperoleh posisi perwakilan. Dalam UU tersebut diatur kuota keterwakilan perempuan adalah 30 persen.

Angin segar yang sudah ditetapkan oleh UU No.10 Tahun 2008 mengenai peluang perempuan dengan sistem zig-zag, kemudian MK telah memutuskan harapan kaum perempuan dengan menetapkan bahwa kemenangan caleg dalam Pemilu 2009 ditetapkan berdasarkan perolehan suara terbanyak (Putusan No.22/PUU-IV/2008). Dengan adanya keputusan tersebut, maka sejumlah pasal dalam UU Pemilu No.10/2008 yang mengatur tentang keterwakilan perempuan menjadi tidak bermanfaat. Diantaranya, pasal 8 ayat d mensyaratkan partai untuk mencantumkan 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai tingkat pusat. Pasal 52 menyebutkan, jumlah repersentasi kuota 30 persen keterwakilan perempuan di legislative. Dan pasal 55 ayat 2 mengatakan bahwa setiap tiga daftar caleg harus terdapat di dalamnya satu perempuan.

Hal ini berarti menghapuskan sistem nomor urut (sistem terbuka sangat terbatas) dalam penentuan anggota legislatif. Sistem nomor urut digantikan dengan sistem suara terbanyak. Sebelum keluarnya MK yang mementahkan sistem nomor urut dalam penentuan anggota legislatif penerapan sistem zipper sangatlah mudah. Dalam implementasinya partai dapat menentukan nomor urut satu dan dua diisi oleh caleg pria. Kemudian urutan tiga diisi oleh caleg wanita. Penempatan tersebut dilakukan sampai nomor urut seterusnya.

Namun masalah muncul ketika putusan MK NO.22/PUU-IV/2008 tentang suara terbanyak lahir. Sistem ini tidak dapat diberlakukan seperti pada awalnya. Hal ini menjadi kontroversi ketika sebuah partai mendapat banyak suara, namun

(13)

suara tersebut diperoleh dari suara kaum pria. Banyak caleg pria yang menolak untuk memberikan posisinya setelah mendapatkan suara dan digantikan oleh caleg wanita.

Dampak dari keputusan MK pada tanggal 23 Desember 2008 pada keterwakilan perempuan yaitu: pasal 214 UU No.10 Tahun 2008 merupakan landasan yang dapat dijadikan untuk menyusun penempatan caleg sebagaimana yang telah disepakati oleh setiap partai politik peserta pemilu. Dalam daftar itu, penempatan caleg perempuan tentunya diberlakukan dengan sistem zipper atau zig-zag method. Kemudian berdasarkan keputusan MK maka sistem zipper atau zig-zag sebagai upaya yang ditempuh untuk pemberdayaan politik perempuan melalui tindakan affirmasi menjadi tidak efektif.

Namun dengan sistem proporsional murni setelah keputusan MK, para caleg perempuan harus berjuang lebih ekstra sama dengan para caleg lainnya. Karena yang dibutuhkan pada sistem pemilu ini adalah setiap caleg berusaha untuk sebanyak-banyak memproleh suara dari konstituennya (rakyat pemilih). Karena dengan batalnya pasal 214 UU No.10 Tahun 2008, calon legislatif terpilih tidak lagi berdasarkan suara 30% bilangan pembagi pemilih (BPP), melainkan berdasarkan suara terbanyak.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menbatalkan salah satu pasal UU No.10 Tahun 2008 dengan menggugurkan prioritas nomor urut dan memutuskan penentuan calon anggota legeslatif berdasarkan suara terbanyak menimbulkan pro dan kontra ditengah masyarakat.

Sebagian aktivis perempuan tidak dapat menerima suara terbanyak karena bisa merugikan caleg perempuan. Realitas sekarang ini belum memungkinkan

(14)

perempuan berkompetisi secara terbuka, termasuk dengan pria. Sekat-sekat kultural dan politik masih menghadang. Budaya patiarki masih sangat kental mewarnai kehidupan masyarakat dan kondisi perempuan masih termarginalkan, serta berbagai keterbatasan lainnya.

Asas persaingan bebas tentu tidak adil bagi perempuan karena ruang pertarungan dan kompetisi yang tidak seimbang. Ibarat bertanding tinju dengan kaki terikat, Tampaknya, lebih bijaksana sekiranya mengedepankan asas keterwakilan, proporsioanalitas, dan perlindungan terhadap perempuan.

Dampak suara terbanyak secara tidak langsung telah memandulkan tindakan affirmasi peningkatan keterwakilan 30% perempuan di parlemen, sebagaimana diamanahkan pasal 53 dan pasal 55 UU pemilu. Padahal sebelumnya yang telah mendapatkan apresiasi yang baik dari setiap partai politik menempatkan caleg berdasarkan zipper method atau metode zig-zag dimana setiap tidak caleg terdapat satu perempuan.

Sangat beralasan jika kekhawatiran mendalam bahwa putusan tersebut memangkas jumlah perempuan di parlemen. Padahal peran penting perempuan di legislatif masih sangat dibutuhkan. Kehadiran perempuan di DPR sekarang ini sangat minimal mampu mengangkat aspirasi perempuan. Hal ini dapat dilihat dari tabel berikut ini:

Tabel 2

Jumlah Perempuan di DPR (1982 – 2009)

Masa Kerja DPR Jumlah Kursi Anggota Perempuan

(15)

1982 – 1987 460 39 8,5% 1987 – 1992 500 65 13% 1992 – 1997 500 62 12,5% 1997 – 1999 500 54 10,8% 1997 – 1999 500 45 9% 2004 – 2009 550 61 11,09% 2009-2014 560 101 18,04%

Sumber: CENTRO, berdasarkan data KPU 2004 dan 2009

Data nasional memang mencerahkan. Caleg perempuan tercatat 3.894 dari 11.225 (34,70 persen). Sekilas jumlah ini memenuhi amanat Pasal 52 yang menyatakan memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan, apalagi terlihat dari data KPU bahwa ada enam partai politik yang tidak memenuhi bakal caleg sekurang-kurangnya 30%. Dari hasil diberlakukanya keputusan Mahkamah Konstitusi pada pemilu legislatif 2009 yang lalu, harapan akan tercapainya kuota 30% perempuan di parlemen tidaka tercapai meskipun ada kenaikan jumlah perempuan sebanyak 7,96% dari pemilu 2004.

Sementara itu dapat juga kita lihat peningkatan keterwakilan perempuan di DPRD tingkat I Sumatera Utara tidak tercapai sebanyak 30% kuota perempuan yang diharapkan, meskipun adanya peningkatan keterwakilan perempuan di DPRD tingkat I Sumatera Utara sebanyak 4,6% dari pemilu 2004.

Tabel 3

Daftar Caleg Terpilih DPRD Provinsi Sumatera Utara (1999-2009)

(16)

Perempuan

1997-2004 80 5 6,25%

2004-2009 85 8 9,4%

2009-20014 100 14 14%

Sumber:

Tidak tercapainya harapan kuota 30% keterwakilan perempuan di DPR-RI dan DPRD tingkat I Sumatera Utara juga terjadi untuk DPRD tingkat II Kota Medan bahkan peningkatan yang terjadi sangat sedikit. DPRD tingkat II Kota medan hanya mengalami kenaikan 2% dari hasil pemilu 2004 yang lalu.

Tabel 4

Daftar Caleg Terpilih DPRD Kota Medan

Periode 1999-2009

Masa Kerja DPR Jumlah Kursi Anggota Perempuan Persentase 1997-1999 50 4 8% 2004-2009 50 5 10% 2009-2014 50 6 12% Sumber:

Enam partai politik dalam skala nasional yang tidak memenuhi, yaitu Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN), Partai Gerakan Indonesia Raya (Partai

(17)

Gerindra), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Republika Nusantara (PRN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Patriot (PP). Dan untuk Kota Medan sendiri terdapat enam partai politik juga yang tidak memenuhi diantaranya yaitu: Partai Penegak Demokrasi Indonesia, Partai Sarikat Indonesia, Partai Persatuan Daerah, Partai Nasional Indonesia Marhaenisme, dan Partai Kedaulatan

Tabel 5

Daftar Nama Calon Anggota Legislatif Oleh Partai Politik di Kota Medan

NO. Nama Partai Jumlah Caleg Laki-Laki

Jumlah Caleg Perempuan

Total

1. Partai Hati Nurani Rakyat

35 20 55

2. Partai Karya Peduli Bangsa

15 15 30

3. Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia

11 12 23

4. Partai Peduli Rakyat Nasional

42 12 54

5. Partai Gerakan Indonesia Raya

28 10 38

6. Partai Barisan Nasional 25 10 35

7. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia

15 9 24

8. Partai Keadilan Sejahtera

37 22 59

9. Partai Amanat Nasional 30 18 48

(18)

11. Partai Kedaulatan 9 4 13

12. Partai Persatuan Daerah 21 8 29

13. Partai Kebangkitan Bangsa 18 11 29 14. Partai Pemuda Indonesia 18 13 31 15. PNI Marhaenisme 19 9 28 16. Partai Demokrasi Pembaruan 17 13 30

17. Partai Karya Perjuangan 20 10 30

18. Partai Matahari Bangsa 19 7 26

19. Partai Penegak Demokrasi Indonesia 6 8 14 20. Partai Demokrasi Kebangsaan 28 11 39 21. Partai Republikan 23 10 33 22. Partai Pelopor 19 17 36

23. Partai Golongan Karya 38 19 57

24. Partai Persatuan Pembangunan

36 17 43

25. Partai Damai Sejahtera 40 17 57

26. Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia

20 11 31

27. Partai Bulan Bintang 34 15 49

28 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 33 14 47 29. Partai Bintang Reformasi 33 19 52 30. Partai Patriot 18 10 28 31. Partai Demokrat 41 17 58

(19)

Indonesia 33. Partai Indonesia Sejahtera 24 12 36 34. Partai Kebangkitan Nasional Ulama 19 8 27 41 Partai Merdeka 15 4 19 42. Partai Persatuan Nahdatul Ummah Indonesia 15 9 24

43. Partai Sarikat Indonesia 4 3 7

44. Partai Buruh 25 12 37

TOTAL

915 463 1378

Sumber: KPU Kota Medan

Tentu sangat disayangkan jika pemilu 2009 ini tidak mampu melahirkan jumlah anggota legislatif perempuan sebagaimana yang ditargetkan, apalagi turun drastis. Memang tidak mengurangi kwalitas pelaksanaan pemilu, tetapi bisa mempengaruhi kesempurnaan suatu bangunan demokrasi sebagaimana urgensi keterwakilan unsur-unsur terpenting masyarakat termasuk perempuan dalam ranah politik.

Pembangunan demokrasi yang menjadi harapan rakyat menghendaki hal tersebut . Apalagi keterlibatan perempuan dalam ruang wilayah politik dengan

output kebijakanya, tentu sangat strategi bagi perubahan mendasar gerakan perempuan dan demokrasi masa depan. Tetapi tidak sedikit aktivis perempuan yang mendukung dari keputusan MK tersebut dengan argumentasi pada penguatan demokrasi sejati yang selama ini dicita-citakan selama ini. Perempuan janganlah seperti kucing dalam karung yang selama ini disajikan oleh partai politik. Semangat berikhtiar, berkompetisi, dimiliki semua caleg secara terbuka,

(20)

bukan hanya antar partai, melainkan antara caleg dalam satu partai.

Terlepas dari pro dan kotra, sistem suara terbanyak hendaknya tidak menutup peluang bagi caleg perempuan bisa lebih survival. Tetap diberikan keistimewaan dan kemudahan sebagaimana komitmen awal. Keluarnya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang sura terbanyak dalam menentukan caleg terpilih tidak serta merta menghiraukan semangat affirmasi yang selama ini diperjuangkan oleh aktivis perempuan dan gender. Semangat tersebut harus tetap menjadi bagian penting kebijakan politik dan hukum yang mendorong perempuan terlibat dan berperan penting. Disisi lain putusan suara terbanyak juga tidak boleh dihadang, harus tetap terlaksana sebagai bagian dari penguatan agenda substansial

demokrasi.

Referensi

Dokumen terkait

Torockó „ostromával” párhuzamosan kell szólni Kecskésvár 1514. Szakirodalmi ismereteink alapján ugyanis 1515 novemberében Be- riszló Péter veszprémi püspök és

Melalui kajian dan evaluasi serta mengacu kepada penerapan proses yang sama diberbagai organisasi dan framework terkait manajemen risiko tersebut diharapkan dapat

Hal tersebut terlihat selama proses pembelajaran yang mengacu pada Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Meskipun demikian, guru kurang memanfaatkan media selama

Menurut Sayuti (2008: 104) rima atau persajakan dapat diartikan sebagai kesamaan dan atau kemiripan bunyi tertentu di dalam dua kata atau lebih, baik yang

1) Distribusi adalah kegiatan atau usaha menyampaikan dokumen kepada unit upaya atau pelaksana yang memerlukan dokumen tersebut agar dapat digunakan sebagai panduan

(2) Seksi-Seksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, dipimpin oleh seorang Kepala Seksi yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Kantor sesuai

Hari Jam Mata Kuliah Dosen Pembina SKS Ruang.. Senin 7-8 Mekanisasi Pertanian