• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 54/PUU-XV/2017

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 54/PUU-XV/2017"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

rtin

MAHKAMAH KONSTITUSI

REPUBLIK INDONESIA

---

RISALAH SIDANG

PERKARA NOMOR 54/PUU-XV/2017

PERIHAL

PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995

TENTANG PEMASYARAKATAN

TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA

REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

ACARA

PEMERIKSAAN PENDAHULUAN

(I)

J A K A R T A

(2)

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

--- RISALAH SIDANG

PERKARA NOMOR 54/PUU-XV/2017 PERIHAL

Pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan [Pasal 14 ayat (1) huruf i] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

PEMOHON

1. Suryadharma Ali 2. Otto Cornelis Kaligis 3. Irman Gusman

ACARA

Pemeriksaan Pendahuluan (I)

Kamis, 24 Agustus 2017, Pukul 13.33 – 14.26 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat

SUSUNAN PERSIDANGAN

1) Manahan MP Sitompul (Ketua)

2) Wahiduddin Adams (Anggota)

3) Aswanto (Anggota)

(3)

Pihak yang Hadir: A. Pemohon:

1.Suryadharma Ali 2.Otto Cornelis Kaligis 3.Irman Gusman 4.Barnabas Suebu 5.Waryono Karno

B. Kuasa Hukum Pemohon:

1. Muhammad Rullyandi 2. Rachmawati

3. Erlita Yofani 4. Fitria Wardhani 5. Sarah Chairunissa

(4)

1. KETUA: MANAHAN MP SITOMPUL

Sidang dalam Perkara Permohonan Nomor 54/PUU-XV/2017 dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum.

Kepada para Pemohon atau Kuasanya, tolong diperkenalkan siapa-siapa yang hadir dalam Persidangan Pendahuluan hari ini, dipersilakan.

2. KUASA HUKUM PEMOHON: MUHAMMAD RULLYANDI

Assalamualaikum wr. wb. Salam sejahtera untuk kita semua. Terima kasih, Yang Mulia. Dalam kesempatan ini saya ingin memperkenalkan yang hadir pada sidang perkara ini.

Pertama, dari tim Kuasa Hukum, saya sendiri Muhammad Rullyandi. Kemudian paling pojok, ada Rachmawati. Kemudian di belakang, ada Sarah Chairunissa, dan Erlita Yofani, dan satunya lagi adalah Fitria Wardhani.

Kemudian dalam kesempatan yang mulia ini, alhamdulillah para Pemohon Prinsipal hadir di tengah-tengah persidangan ini. Saya perkenalkan, yang pertama adalah Pak Suryadharma Ali. Yang kedua, Bapak Otto Cornelis Kaligis. Yang ketiga, Bapak Irman Gusman. Yang keempat, Bapak Barnabas Suebu, dan yang terakhir adalah Bapak Waryono Karno. Ya, terima kasih, Yang Mulia.

3. KETUA: MANAHAN MP SITOMPUL

Baik, terima kasih. Jadi, yang hadir ini Kuasa Hukumnya ada 4 …

5 orang, ya, yang hadir, kecuali Afrian Bonjol, ya? Kemudian Pemohonnya seluruhnya di sini, Pak Suryadharma Ali, Bapak Otto Cornelis Kaligis, Bapak Irman Gusman, dan Bapak Barnabas Suebu, terakhir Pak Waryono Karno, ya. Selamat ketemu, Pak, dengan kami di sini, pada siang hari ini.

Sidang permohonan untuk kali pertama ini adalah untuk membacakan permohonan dari para Pemohon ini, yang dila … yang

notabene hal ini dilakukan oleh Kuasa Hukumnya. Namun, permohonan

ini sudah … Majelis sudah membacanya, sehingga pada hari ini yang dilakukan oleh Kuasa Pemohon adalah menyampaikan inti-inti dari permohonan ini. Dan untuk itu, kami berikan kesempatan kepada Kuasa Pemohon. Dipersilakan.

SIDANG DIBUKA PUKUL 13.33 WIB

(5)

4. KUASA HUKUM PEMOHON: MUHAMMAD RULLYANDI

Terima kasih, Yang Mulia. Cuma dalam kesempatan ini karena ini berhubung para Pemohon hadir dan menyangkut hak konstitusional, ini dalam rangka suasana kebatinan, Yang Mulia. Supaya ini bisa sa …

langsung disampaikan kepada Yang Mulia begitu. Kalau boleh diperkenankan, mungkin para Pemohon mau menyampaikan secara inti-intinya dari pokok permohonan ini. Begitu, Yang Mulia.

5. KETUA: MANAHAN MP SITOMPUL

Kami kira sesuai dengan hukum acaranya karena di sini sudah ada Kuasanya, kami kira lebih bagus Kuasanya saja yang menyampaikan. Kalau ada hal-hal yang penting, nanti yang dirasa oleh Majelis atau Panel, nanti bisa diberikan kesempatan untuk menambahkannya, dipersilakan.

6. KUASA HUKUM PEMOHON: MUHAMMAD RULLYANDI

Terima kasih, Yang Mulia. Jadi, inti permohonan pada Pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan ini yang menjadi objek permohonan adalah mengenai Pasal 14 ayat (1) huruf i bahwa pada intinya pasal tersebut memberikan ketentuan mengenai hak dasar kepada narapidana yang salah satunya adalah hak untuk mendapatkan pengurangan masa tahanan atau dikenal dengan remisi.

Nah, di dalam permohonan ini, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 secara filosofis merupakan suatu perbaikan terhadap sistem hukum dalam rangka integrated criminal justice system, dimana suatu rangkaian yang tidak terpisahkan ketika pemidanaan itu merupakan bagian yang tidak dilepaskan dari hak-hak asasi manusia, sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Filosofis yang kita pahami di dalam Undang-Undang tentang Pemasyarakatan bahwa sistem kepenjaraan atau gestichten reglement di zaman Staatsblad Tahun 1617 adalah produk kolonial Belanda yang mana menempatkan narapidana sebagai objek, yang dalam pelaksanaannya seringkali tidak mengakomodir prinsip-prinsip hak asasi manusia.

Oleh karena itu, sepanjang negara kita sudah merdeka berdasarkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan Pancasila, maka perlu menyesuaikan bahwa narapidana tidak lagi ditempatkan sebagai objek, tetapi ditempatkan sebagai subjek hukum. Hal itu bisa kita perhatikan bahwa di dalam diktum konsiderans yang menyatakan bahwa hakikat warga binaan kemasyarakatan sebagai insan dan sumber daya manusia.

(6)

Kemudian di dalam penjelasan ketentuan umum, dikatakan bahwa narapidana bukan saja objek, melainkan juga subjek. Pemidanaan adalah upaya untuk menyadarkan narapidana dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat.

Jadi, ada prinsip reintegrasi sosial yang diharapkan oleh undang-undang ini ketika kita memahami maksud yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995. Tetapi dengan demikian bahwa hak-hak dasar yang diatur dalam Pasal 14 ayat (1) huruf i, perlu diuji tafsir konstitusionalnya. Karena dalam implementasi penerapan ketentuan lebih lanjut di dalam Pasal 14 ayat (2) harus mendapatkan satu tafsir konstitusional yang tidak terpisahkan sesuai dengan maksud yang terkandung dalam undang-undang ini, maupun sesuai dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Nah dengan demikian, sepanjang ketentuan-ketentuan tersebut berlaku dalam rangka untuk perbaikan sistem pemidanaan, maka hak-hak remisi adalah hak-hak yang tidak bisa dinegasikan. Karena Undang-Undang Dasar Pasal 27 ayat (1) yang mengatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

Kemudian Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945,

“Setiap orang berhak atas pengakuan jaminan perlindungan dan

kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan

hukum.”

Selanjutnya Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat

diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapat perlindungan

terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif,” itu. Berangkat dari

pemahaman hak-hak konstitusional tersebut, maka ketentuan Pasal 14 ayat (1) ini sesungguhnya masih dapat diperdebatkan, anfechtbar. Masih diperdebatkan konstitusionalitasnya, apakah tafsir konstitusional yang menurut kami bahwa Pasal 14 ayat (1) tersebut haruslah dimaknai pemberian remisi berlaku juga untuk narapidana korupsi? Itulah tafsir konstitusional menurut hemat kami yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Karena sesungguhnya kalau kita membaca Undang-Undang Dasar Tahun 1945, maka di dalam alinea keempat yang merupakan rechtsidee, cita hukum menggambarkan nilai Pancasila, “Melindungi segenap bangsa,” yang

diserahkan sepenuhnya kepada staatsorganen, yaitu aparat penegak penyelenggara negara. Di dalam membuat kebijakan-kebijakan yang tidak boleh bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia. Dan dalam prinsip negara hukum Pasal 1 ayat (3) bahwa legal protection dan equality before the law merupakan prinsip yang harus dilaksanakan tanpa terkecualian, vitvoering van een wettelijk voorschrift, itulah kira-kira mengapa tafsir konstitusional tersebut tidak boleh diragukan oleh

(7)

pemerintah sebagai pelaksana undang-undang. Karena sesungguhnya tafsir yang kontraproduktif, ya, tegenstrijdigheid door de toe veging atau contradictio in terminis. Ketika peraturan pemerintah sebagai pelaksana undang-undang merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan di dalam pemahaman Undang-Undang Pemasayarakatan ini.

Dengan demikian, maka sesungguhnya di dalam teori (...)

7. KETUA: MANAHAN MP SITOMPUL

Kami kira langsung kepada intinya.

8. KUASA HUKUM PEMOHON: MUHAMMAD RULLYANDI

Ya.

9. KETUA: MANAHAN MP SITOMPUL

Lebih dahulu mungkin harus disinggung mengenai legal standing dari para Pemohon, agar itu nanti yang menjadi pedoman kita. Apakah memang hak konstitusional para Pemohon ini dilihat atau didasarkan kepada pasal-pasal yang dikemukakan di sini tadi, yaitu mengenai Pasal 28D, Pasal 28I, dan Pasal 27-nya. Jadi, sehingga kita bisa melihat nanti hak-hak konstitusional yang dirugikan kepada para pemohon ini dengan berlakunya norma yang diatur dalam pasal yang diuji itu. Barangkali itu lebih diutamakan, baru nanti ke intinya. Terus, kemudian langsung kepada petitum. Dipersilakan.

10. KUASA HUKUM PEMOHON: MUHAMMAD RULLYANDI

Ya. Terima kasih, Yang Mulia. Kembali ke legal standing. Berdasarkan Pasal 51 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-III/2005 bahwa para Pemohon yang mengajukan pengujian ini adalah para Pemohon perorangan warga negara Indonesia yang saat ini adalah warga binaan yang sedang menjalankan vonis hukuman atas perkara tindak pidana korupsi yang telah berkekuatan hukum tetap.

Adapun kami lampirkan juga di dalam akta bukti kami, Yang Mulia. Berdasarkan surat keterangan masing-masing para Pemohon dari Kepala Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, mengenai domisili dari masing-masing para Pemohon, untuk membuktikan legal standing kami adalah berkaitan dengan pengujian norma ini.

Nah, menyambung dari hak dan kerugian konstitusional sebagai bagian dari legal standing ini, Yang Mulia, tentu ini menjadi persoalan bagi semua narapidana yang memiliki kasus-kasus kejahatan korupsi. Itu di dalam pemaknaan PP 99, ternyata pemerintah tidak menafsirkan

(8)

sesuai dengan makna yang sesungguhnya dalam Undang-Undang Pemasyarakatan, tetapi justru mengembalikan kepada hukum kolonial Belanda, Yang Mulia. Dimana pada saat itu, sistem kepenjaraan yang bersifat objek tadi, dikembalikan kepada PP 99 Pasal 34 bahwa harus ada kerja sama sebagai justice collaborator. Hal inilah yang tidak bersifat subjektif sebagai subjek hukum yang memiliki hak-hak dasar tadi, sehingga kami melihat bahwa terjadilah criterium opkelijk fut subjectum. Jadi, ada pengelompokan jenis-jenis kejahatan yang bersifat diskriminatif.

Kami punya pendapat, Yang Mulia. Bahwa pemahaman tindak pidana korupsi di dalam Undang-Undang KPK tidak bisa dikatakan sebagai kejahatan luar biasa. Tidak ada yang mengatakan di dalam diktum menimbang maupun di dalam penjelasan Undang-Undang KPK bahwa kejahatan korupsi adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), dan itu sesungguhnya bertentangan dengan Undang-Undang HAM, dan tetapi kemudian karena pada saat suasana kebatinan Undang-Undang KPK, maka dibutuhkan cara-cara yang luar biasa.

Inilah terjadinya pergeseran pemahaman yang keliru dan itu butuh penafsiran konstitusional karena menyangkut efek terhadap dampak penegakan hukum tindak pidana korupsi. Ya, kalau kita sepakati integrated criminal justice system, maka hulu ke hilir, hilirnya adalah pemberian remisi, Yang Mulia. Kira-kira itu.

Nah, itulah pokok permohonan kami bahwa pengujian ini berdasarkan batu uji Pasal 21 ayat (1), sebagaimana tadi kami sampaikan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28 huruf i ayat (2) mengenai diskriminasi.

Dan bagian akhir, Yang Mulia. Kami perlu sampaikan petitum.

Mohon maaf, ini ada … kami ada perubahan dalam petitum, Yang

Mulia. Kami bacakan perubahannya.

1. Menerima dan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya.

2. Menyatakan ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sepanjang dimaknai pemberian remisi tidak berlaku juga untuk narapidana korupsi.

3. Menyatakan ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, sepanjang dimaknai pemberian remisi tidak berlaku juga untuk narapidana korupsi.

4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Atau bilamana Majelis Hakim konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya, ex aequo et bono.

(9)

11. KETUA: MANAHAN MP SITOMPUL

Baik. Jadi, yang terakhir tadi dalam petitum itu, perkataan tidak

ya, baik di petitum Nomor 2 (…)

12. KUASA HUKUM PEMOHON: MUHAMMAD RULLYANDI

Betul, Yang Mulia.

13. KETUA: MANAHAN MP SITOMPUL

Namun petitum nomor 3, kata-kata tidak itu dianggap tidak ada. Seperti itu, ya?

Baiklah, sesuai dengan Pasal 39 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, Majelis Panel akan memberikan saran-saran kepada

Pemohon sesuai … berdasarkan permohonan ini. Nanti saran-saran ini adalah sifatnya tidak mengikat. Kalau nanti menurut Pemohon sesuai

dengan … apa namanya … keinginan Pemohon, itu dapat diterima, tapi saran ini tidak mengikat, ya.

Nah, saya akan mulai. Bahwa dalam permohonan Pemohon ini, tadi juga mungkin sudah dielaborasi mengenai soal legal standing, ya. Bahwa Para Pemohon ini adalah warga binaan yang sedang menjalankan masa pidana.

Oleh karena itu, sebagai status narapidana, tentu mempunyai hak sesuai dengan undang-undang, yaitu memperoleh hak remisi. Namun, menurut para Pemohon bahwa pemberian remisi ini diperlakukan secara diskriminatif ya, itu adalah hal yang menurut Pemohon sesuai dengan Pasal 28D ya, 28D. Itu adalah hal yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Nah, kami mungkin akan melihat formalitas dari permohonan, kalau saya melihat ini formalitasnya sudah tidak perlu ada perbaikan. Namun nanti sesuai dengan saran-saran dari Majelis, tetap nanti akan dicatat, ya.

Saya akan melihat di halaman 9 itu bahwa Pasal 14 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 terdapat pertentangan norma, ya, ini yang saya mau coba. Apakah ini ada pertentangan normakah atau memang penjelasan lebih lanjut daripada undang-undang itu, ya, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 itu yang ... yang dituangkan dalam PP Nomor 1995 Tahun 2012 yang merupakan perubahan dari undang-undang ... PP Nomor 32 Tahun 1999? Nah ini, coba nanti dilihat lebih lanjut, apakah ini merupakan pertentangan ataukah merupakan penjelasan daripada undang-undang itu sendiri?

Kemudian, kalaulah yang bermasalah ini adalah peraturan pemerintahnya yang membuat kualifikasi sebagai extraordinary crime

(10)

korip … tindak pidana korupsi itu, maka saya melihat ini yang

bermasalah adalah peraturan pemerintahnya, yang seharusnya mungkin itu yang harus di-judicial review. Tapi saya tidak tahu apakah hal ini yang sudah dilakukan oleh Pihak Pemohon.

Selanjutnya, yang mungkin di sini ada, tapi perbaikan saja the standard minimum rules for the treatment of prisoners, ya. Jadi, itu yang harus dipedomani ya. Ya, di sini of prioner ya, prisioner maksudnya barangkali di sini. Nah, ini memang standar inilah yang mungkin harus dipedomani, akan mohon ... mohon akan agar dielaborasi lagi lebih lanjut, hal-hal apa yang menjadi dasar filosofinya, standar minimum ini supaya ini yang menjadi termasuk menjadi pertimbangan kita nanti kalau ini dielaborasi lebih lanjut.

Kemudian, di dalam petitumnya. Kecuali tadi sudah ada koreksi, ya, memang ini harus logika yang tepat ini, apabila ... saya ulangi dulu

menyatakan, “Ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sepanjang dimaknai pemberian

remisi.” Nah, ini juga nanti tolong, walaupun sudah dikoreksi, saya juga

akan menyerahkan itu lagi kepada Pemohon karena masih ada waktu untuk perbaikan, ya. Apakah memang yang pertama itu sudah lebih tepat secara logika ... apa namanya ... untuk menguraikan itu ataukah seperti yang belakangan yang dikoreksi oleh Pemohon? Dan kalau bisa ini disatukan saja, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, langsung disambung, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Seperti itu yang sudah lazim, kita terima di dalam permohonan-permohonan sebelumnya.

Barangkali itu dulu dari saya. Saya persilakan Yang Mulia Pak Wahiduddin Adams untuk memberikan saran-saran.

14. HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS

Terima kasih, Yang Mulia. Para Pemohon, Kuasa Hukum dari Pemohon. Terkait dengan pengujian Pasal 14 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, saya kira ini semua kita tahu bahwa inilah yang menjadi objek permohonanya.

Dilihat dari sistematika, format, serta uraian dari permohonan, ini sudah sangat baik, cukup baik, bagus, tinggal tadi ada beberapa hal yang sudah disarankan, telah menjelaskan tentang posisi para Pemohon, kedudukan hukumnya, kemudian posita, dan petitum, ya.

Tadi sudah dikemukakan oleh Dr. Manahan Sitompul untuk format petitumnya itu sekarang ini sudah disatukan. Jadi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, tekniknya.

Nah, saya ingin melihat bahwa yang sebenarnya menjadi masalah, kalau kita baca dari rangkaian permohonan, ini ketika Pasal

(11)

34A ayat (1) PP Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas PP Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Di Pasal 34A itu diberikan syarat tambahan bagi pemberian remisi atas terpidana korupsi. Nah, ini syarat tambahan ini yang digambarkan sebagai perlakuan diskriminasi, ya. Dan ini sepanjang yang saya tahu, memang PP ini pernah diajukan ke Mahkamah Agung dan sudah ada putusan itu, ya. Nah, sekarang yang diuji adalah Pasal 14 ayat (1) yang itu merupakan dasar waktu penyusunan PP itu, ya, begitu ini, ya, konstruksinya, ya. Nah, di dalam Pasal 14 ayat (1) itu disebut narapidana berhak, ya.

Nah, kalau kita lihat di sini sebetulnya definisi narapidana itu di Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 itu adalah di ketentuan umum ya, ketentuan umum itu hal-hal yang bersifat umum dan itu akan menjadi dasar legal dari beroperasinya pasal-pasal atau norma-norma di dalam undang-undang. Dalam Pasal 1 angka 7 disebutkan narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana. Berarti, ini Pasal 14 ayat (1) itu narapidana, ya, secara umum. Ya, ketika diputus itu nama terpidana. Lalu ketika didaftar di LP, maka dia menjadi narapidana. Kan begitu di dalam undang-undang itu. Dan narapidana ini tidak dibedakan. Tapi kemudian ketika Pasal 34A PP itu, lalu menambahkan syarat-syarat untuk mendapat pengurangan hukuman atau remisi itu. Nah, di sana disebutkan di penjelasan di Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 memang disebutkan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Nah, oleh sebab itu, ketika diuraikan di sini bahwa hal-hal yang dimaksud di Pasal PP 99 itu dirangkaikan dengan muatan-muatan mulai dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 itu sendiri yang menyebut di Pasal 5 itu tidak boleh ada diskriminasi, di Pasal 5 huruf b misalkan persamaan perlakuan dan pelayanan. Kemudian, di sini disebutkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia di Pasal 3. Kemudian lalu di-refer lagi bahwa dalam Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, salah satu asas materi muatan itu adalah keadilan, kesamaan di dalam hukum dan pemerintahan, keserasian, keseimbangan, dan keselarasan, sehingga

kelihatan dibawa ke arah itu dari … apa ... posita Saudara.

Nah, yang perlu dipertajam itu konstruksi dalil argumentasi agar bahwa Pasal 14 ayat (1) huruf e ini yang menjadi masalah. Artinya yang dianggap bertentangan secara konstitusional dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan kekuatan mengikat. Lalu disebutkan dengan bersyarat.

Nah, ini yang harus dipertajam ini, dipertajam karena jangan sampai, ya, hal-hal yang menjadi masalah di PP padahal di normanya itu sendiri secara umum tidak ada masalah. Kan norma ... pertama menyebut narapidana, ya, semua. Nah, lalu tidak ada diskriminasi apa

(12)

pun di dalam norma itu, semua narapidana itu ada persamaan perlakuan, kemudian hak-haknya tadi di Pasal 14 ayat (1) huruf e itu,

berhak mendapat … apa ... remisi, itu sama. Hanya ketika PP-nya, nah, itu lalu ditambah persyaratan-persyaratan yang di PP 99 itu dan PP 99 itu yang memberi syarat tambahan.

Nah, oleh sebab itu, jangan sampai nanti lalu dengan bersyarat

itu, lalu sebetulnya … apa … mengurangi dari norma yang ada di Pasal 14 ayat (1) huruf i yang sekarang diajukan pengujian di Mahkamah ini. Karena di sana Anda mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi) kan bunyi yang diinikan. Jadi petitumnya ini diinginkan sepanjang tidak dimaknai pemeriksaan berlaku juga untuk narapidana korupsi. Ini kan kalau di dalam istilah agama itu tahsilul hasil namanya. Ya, sudah jelas tidak ada perbedaan, lalu kenapa harus ditegaskan? Karena bisa saja nanti yang lain-lain juga ketika mau diterapkan, lalu akan meminta pengecualian atau persyaratan sepanjang tidak dimaknai pidana yang lain, narapidana yang lain, narapidana yang lain, ya, semua. Padahal di undang-undang itu sudah tercakup.

Oleh sebab itu, ini bagaimana supaya ini ... apa ... tajam, begitu kan, ya. Memang ini bertolak dari masalahnya muncul ketika PP 99 itu. Ketika PP 32-nya enggak ada masalah dulu, ketika PP 99, ya, ada masalah. Saya waktu itu dirjennya, Dirjen Peraturan Perundang-Undangan, ya. Jadi sedikit tahu masalah ini.

Oleh sebab itu, ya karena dulu PP nya sudah di ... ini di Mahkamah Agung, saya kira memang tidak disertakan di sini, tapi kita semua tahu itu ditolak dulu, ya. Saya tadi menyebutkan bahwa kita sudah tahu semua putusannya, maka sekarang dasar mengingat dari PP itu ya memang Pasal 14 ayat (1) ini, dasar mengingatnya. Dasar mengingat itu kalau di dalam teknik perundang-undangan itu adalah pertama ... apa ... peraturan perundang-undangan yang memberikan kewenangan untuk mengatur atau peraturan perundang-undangan yang pasalnya yang memberikan perintah untuk mengatur. Nah, perintah untuk mengatur itu ya melaksanakan Pasal 14 ayat (1) itu.

Nah, oleh sebab itu, ini coba diinikan betul, sehingga tidak kelihatannya nanti bahwa ... apa ... yang pokoknya ini sebetulnya enggak ada masalah karena dilihat dari Pasal 5-nya, Pasal ... apa ... keberlakuan umum dan filosofinya tadi yang sudah dikutip di penjelasan umum di Undang-Undang Pemasyarakatan itu enggak ada masalah, ya, masalahnya di PP-nya. Tapi kalau tetap dengan petitum ini, coba harus dipertajam betul kebersyaratan dari bunyi petitum itu nanti, ya.

Itu, ya. Kemudian yang kedua, hanya sekadar ini saja bahwa karena ini sudah disebut-sebut bahwa para Pemohon itu, ya, telah menjalani hukuman dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, ya, tapi hanya disebutkan di sini, tapi apakah juga dapat disampaikan bahwa menjadi bukti untuk legal standingnya. Bahwa

(13)

memang Para Pemohon ini telah ... apa ... menjalani kekuatan hukum yang tetap. Dan yang kedua juga, apakah sudah menjalani hukuman lebih dari enam bulan karena itu kan penting. Karena telah memenuhi syarat untuk mendapat remisi setelah enam bulan kan, walaupun kita secara umum tahu, tapi kan secara ... apa ... bukti, itu juga kiranya untuk menambah alat bukti, ya.

Saya kira itu, demikian tambahan dari saya. Terima kasih.

15. KETUA: MANAHAN MP SITOMPUL

Terima kasih, Yang Mulia. Saya persilakan Yang Mulia Prof. Aswanto.

16. HAKIM ANGGOTA: ASWANTO

Terima kasih, Yang Mulia. Saya hanya menambahkan sedikit saja karena menurut saya sudah cukup banyak yang disampaikan oleh Para Yang Mulia. Saya ingin mendorong saja untuk dilakukan ... apa ... elaborasi secara teoritis, sehingga kita bisa yakin bahwa memang norma yang ada di Pasal 14 ayat (1) huruf i itulah yang menyebabkan terjadinya pelanggaran yang mungkin kita bisa anggap sebagai hak asasi karena ada hak yang mestinya mereka peroleh, tetapi kemudian menjadi tertunda, begitu.

Nah, itu yang menurut saya, harus dibangun landasan teori untuk meyakinkan Mahkamah bahwa memang karena secara umum, secara umum saja diatur, sehingga kemudian itu bisa di ... apa namanya ... bisa ngeles di situ. Nah, ini yang menurut saya harus dipertegas. Kan sebenarnya sederhana ini persoalan. Persoalannya sederhana, tetapi kemudian ... apa ... menjadi agak susah untuk kita bisa memahami apa yang diinginkan oleh Pemohon ketika tidak dibangun secara komprehensif, teori bahwa ya, sebenarnya kalau dibaca tafsir apa pun yang digunakan sebenarnya. Kalau kita

menggunakan tafsir autentik atau tafsir … apa namanya ... substansi,

ya, kan klir sebenarnya. Semua jenis pidana, ya, harus dapat remisi, gitu. Enggak boleh dibatasi ini bla, bla, bla, tetapi kemudian karena ada kondisi faktual seperti yang dialami oleh Para Pemohon, ini yang menurut saya seperti yang disarankan oleh Para Yang Mulia tadi, terakhir Pak Dr. Wahiduddin Adams, ini yang harus di-back up oleh landasan teori. Di-back up oleh landasan teori bahwa ini karena tidak tegas di situ bahwa A, B, C, D, E, sehingga bisa dibuat A, B, C, D, E yang tidak boleh, gitu. Nah, ini yang menurut saya.

Kalau itu ada, saya kira kita bisa lihat nanti bahwa ya, ya, memang persoalan konstitusional ini. Karena ... karena ya ... ya, sebenarnya tidak ... tidak abstrak, ini konkret semua. Tapi kemudian karena ini tidak secara tersurat menyebut A, B, C, D, E, kemudian

(14)

dibelokkan A, B, C, enggak boleh, gitu. Nah, padahal kan mestinya klir, gitu. Nah, itu yang saya ingin sarankan. Tolong di-back ... apa ... di ... di ... apa ... di ... istilahnya Yang Mulia tadi dipertajam, dibangun konstruksi teori di situ bahwa memang ini bermasalah.

Andai kata di norma ini secara konkret menyebut bahwa narapidana berhak mendapatkan pengurangan masa pidana yang bla, bla, bla, tentu pemerintah tidak boleh lagi menyimpang dari itu, walaupun ... dan kenapa saya minta untuk dibangun landasan teori? Supaya kita juga ... ini ... ini kan kita perlu memperbaiki. Memperbaiki ... apa namanya ... pemahaman hukum kita secara keseluruhan. Ya, mestinya kan ketika itu bertentangan dengan norma undang-undang, kan mestinya PP itu enggak boleh ... enggak boleh ... enggak punya kekuatan hukum mestinya, dianggap tidak pernah ada mestinya. Karena norma dasar di undang-undang tidak seperti itu, gitu. Nah, tetapi karena faktanya sudah seperti itu, coba deh dibangun landasan teori untuk kita bawa bahwa ya ini memang yang bermasalah ini. Karena andai kata sudah tidak ada ruang untuk belokkan, PP tidak belokkan. Ini kan PP yang membelok-belokkan ini. Nah, itu.

Lalu kemudian, apakah ... ya, ini kan persoalan hak asasi. Apa dasarnya sebenarnya hak asasi itu bisa dibatasi? Apakah PP juga bisa membatasi hak asasi atau hanya undang-undang yang boleh membatasi hak asasi? Ya, itu perdebatan. Kalau kita lihat dalam ... apa namanya ... undang-undang tentang pembuatan peraturan

perundang-undangan memang dihierarkis PP kan juga masuk. Tapi persoalannya …

apa ... adalah muatan dari masing-masing jenis peraturan perundang-undangan itu, apakah juga PP itu bisa membatasi hak asasi manusia atau hanya undang-undang yang boleh membatasi hak asasi manusia?

Nah, ini ada yang setuju, ada yang tidak setuju. Tapi ini kan dalam tataran teori tetap dalam perdebatan bahwa misalnya sama dengan ... dengan apa namanya ... pajak memaksa, gitu ya. Pungutan yang memaksa, kan harus dengan undang-undang, gitu. Apakah di luar itu boleh ada pungutan yang sifatnya memaksa? Hak asasi manusia itu hanya boleh dibatasi oleh undang-undang. Apakah kalau dalam hierarkis perundang-undangan, dia bukan undang-undang bisa juga membatasi hak asasi?

Nah, ini perdebatan-perdebatan teori karena menurut saya, apalagi tadi Yang Mulia Pak Wahid sudah menyampaikan, sudah pernah diuji di Mahkamah Agung. Ini saya kira ini harus perdebatan teori. Harus perdebatan teori, sehingga kita bisa yakin bahwa ya, memang ini yang harus disempurnakan. Karena kalau tidak disempurnakan, ini bisa melanggar hak asasi, bisa melanggar hak konstitusi banyak orang, gitu.

Nah, saya yakin Para Pemohon, Para Kuasa Pemohon, itu bisa melakukan itu. Karena sederhana, Pak, ini sudah klir sebenarnya. Tapi coba kita ... kita bikin ... apa namanya ... kalau kita menggunakan teori

(15)

a contrario, ya, sebenarnya ya, klir. Tapi kan, tapi karena faktanya begitu, maka ya mau ndak mau kita harus mencoba meyakinkan khalayak, termasuk meyakinkan Hakim, para Hakim di Mahkamah bahwa ya, kalau ini dibiarkan, itu bisa walaupun ada embel-embelnya. Misalnya karena itu masuk dari ... masuk kategori extraordinary crime, nanti macam-macam masuk extraordinary crime. Kan, perkembangan extraordinary ... extraordinary crime itu kan, berkembang terus. Bisa nanti ... apa namanya ... kejahatan yang sekarang kejahatan biasa, tapi kemudian besok lusa bisa menjadi extraordinary crime. Itu kan, berkembang terus, gitu. Nah, itulah yang menurut saya perlu dila ... lakukan oleh Pemohon.

Yang lain-lain, saya kira sudah ... apa namanya ... tadi Para Yang Mulia sudah menilai. Cuma, ya, memang permohonan ini bagus, tapi kan kita punya standar hukum acara yang lazim, gitu ya. Saya mohon maaf, yang ini sedikit, sedikit lagi. Ini soal ... apa … tata … tata

naskah, gitu ya. Di sini, di MK kan tidak lazim ada pendahuluan. Ya mungkin pendahuluan nanti memperkaya posita, posita yang saya kira

harus dibangun teori di situ. Kan kita tidak lazim pendahuluan. Jadi … apa namanya … yang kalau di undang-undang itu kan identitas para pihak, kemudian kewenangan Mahkamah, lalu legal standing, kemudian posita, lalu petitum, gitu ya. Dibikin tidak usah panjang-panjang, Pak, bikin runtut, tapi langsung … apa namanya … intinya, gitu, sehingga

lebih mudah dipahami.

Tetapi secara keseluruhan saya kira permohonan ini kami bisa mengerti, gitu ya, kami bisa mengerti dan sebenarnya sudah banyak teori yang disinggung di dalam, cuma mungkin perlu dipertajam, Pak, dielaborasi kembali. Yakinkan Mahkamah bahwa bukan PP-nya saja yang bermasalah sebenarnya. Okelah, PP-nya yang bermasalah, tapi kenapa muncul PP itu? Karena ini yang dianggap bermasalah, gitu. Sebenarnya kan yang bikin masalah PP, tetapi kenapa PP itu muncul? Karena ini ada ruang, ada ruang yang bisa dimanfaatkan oleh pembuat PP. Kalau sudah tidak ada ruang di situ, PP tidak muncul, gitu. Nah, apakah dengan adanya ruang itu, lalu kemudian bisa dikemas bahwa itu adalah persoalan konstitusi. Tentu harus di-backup oleh argumen-argumen yang ... apa … teoritis dan akademis, gitu. Dari saya cukup, Yang Mulia. Terima kasih.

17. KETUA: MANAHAN MP SITOMPUL

Baik, terima kasih. Mungkin saya hanya sedikit merangkum tadi apa yang sudah disarankan itu, kemudian tadi yang dari Prof. Aswanto menyarankan agar membangun teori, ya, landasan teori yang kuat.

Nah, sehubungan dengan itu tadi Pemohon, juga Kuasa Pemohon mengemukakan ada Staatsblad 1667. Memang secara tertulis di sini saya lihat tidak ada. Kalau memang itu ... apa … dihubungkan dengan

(16)

Staatsblad yang pernah ada dengan teori-teori yang akan dikemukakan, maka akan ada hubungannya dengan apa yang saya kemukakan tadi.

Apakah ini undang … PP ini bertentangan dengan undang-undangnya? PP 32 atau juncto 99 Tahun 2012 ini dengan undang-undang yang di-judicial review ini, memang bertentangan atau memang sebagai pelaksana? Nah, itu tadi kan ada hubungannya. Nah, tolong nanti dielaborasi lebih lanjut itu berdasarkan landasan teori. Dihubungkan juga dengan yang sudah ada, di standard minimum rules for the treatment of prisoners itu, mungkin di situ ada bisa digali nanti teori-teori yang bisa memperkaya apa yang telah disarankan tadi.

Kemudian jangan lupa tadi mengenai soal syarat enam bulan, ya. Itu juga barangkali belum terbaca saya dalam permohonan ini, sehingga itu nanti menjadi kunci legal standing dari Para Pemohon ini dapat kita nilai bahwa memang sudah memiliki legal standing atau kedudukan hukum.

Kemudian juga kembali kepada petitum tadi itu tolong dilihat lagi, ya. Barangkali apakah yang pertama itu yang lebih tepat atau yang sudah dikoreksi. Nah, ini logika itu … logika bahasakah, logika ini … itu

yang mungkin harus diperhatikan.

Barangkali itu saja dari kami, Majelis. Apakah ada yang mau dikemukakan oleh Pemohon melalui Kuasanya, silakan.

18. KUASA HUKUM PEMOHON: MUHAMMAD RULLYANDI

Terima kasih, Yang Mulia, atas masukan nasihat kepada kami, Yang Mulia. Tentu ini sangat bermanfaat untuk menyempurnakan perbaikan permohonan ini dan dalam rangka pengujian. Tapi ada satu hal kami boleh untuk memberikan tanggapan, Yang Mulia.

Pertama mengenai surat keterangan domisili, ini sudah kami lampirkan sebagai legal standing kami, Para Pemohon. Ini sudah dalam fakta bukti, Yang Mulia, mengenai status sebagai narapidana yang berada di Lapas Sukamiskin, Yang Mulia.

Nah, kemudian juga tadi memang belum saya cantumkan itu, Yang Mulia. Bahwa memang secara filosofis tadi, gestichten reglement (sistem kepenjaraan) zaman kolonial Belanda sudah enggak relevan, Yang Mulia, Staatsblad 1917. Dan itu sebetulnya berpengaruh terhadap pembentukan PP yang kira-kira mundur lagi ke 100 tahun belakang, yang semestinya itu merupakan subjek hukum yang diakui hak-hak dasarnya. Itu tanggapan kami, Yang Mulia, akan kami sempurnakan dalam teori akademis kami.

Kemudian selanjutnya. Begini, Yang Mulia. Kami setuju bahwa ini sebetulnya kita meminta tafsir konstitusional, dimana Pasal 14 ini tidak bisa ditafsirkan secara parsial, tetapi harus ditafsirkan secara menyeluruh, baik dari hak-hak dasar narapidana yang diatur lebih lanjut dalam aturan teknis peraturan pemerintah.

(17)

Oleh karena itu, Yang Mulia. Narapidana tadi saya setuju sekali bahwa itu tidak boleh dilakukan perbedaan perlakuan atau dikenal dengan istilah diskriminatif. Karena itu sesungguhnya dalam Van der Vries, ya, itu sudah … materi muatan tersebut secara material sudah

memenuhi asas het recht gelijkheidsbeginsel. Jadi asas perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Tadi sebagaimana Yang Mulia Pak Wahiduddin Adams sudah menyampaikan, perlu adanya penegasan, narapidana itu tidak boleh diperlakukan berbeda.

Nah, dengan adanya tafsir konstitusional yang menyeluruh, kami berharap, Yang Mulia, ketentuan lebih lanjut yang diatur dalam peraturan pemerintah, itu tidak boleh bertentangan dengan maksud dan tujuan undang-undang itu yang sudah merupakan pelaksana terhadap vitvoering van wettelijk voorschrijft (Undang-Undang Dasar). Vitvoering, Yang Mulia.

Jadi, kalau saya pinjam pendapatnya ahli hukum dari Perancis,

the colsit … the constitution is a body of obligatory laws or it is nothing. Konstitusi enggak boleh sekadar di atas kertas, dia wajib hidup. Bahkan dia konstitusional dalam perspektif forward looking, mengikuti perkembangan zaman.

Nah, peraturan pemerintah ini kalau saya kutip pendapatnya Ahli

Hukum Belanda, ya, ini terkenal sekali di (…)

19. KETUA: MANAHAN MP SITOMPUL

Saya kira, tidak perlu lagi secara lisan (…)

20. KUASA HUKUM PEMOHON: MUHAMMAD RULLYANDI

Ya, betul.

21. KETUA: MANAHAN MP SITOMPUL

Nanti dalam perbaikannya saja (…)

22. KUASA HUKUM PEMOHON: MUHAMMAD RULLYANDI

Ya.

23. KETUA: MANAHAN MP SITOMPUL

(18)

24. KUASA HUKUM PEMOHON: MUHAMMAD RULLYANDI

Ya.

25. KETUA: MANAHAN MP SITOMPUL

Apa-apa yang mau ditambahkan nanti ini (…)

26. KUASA HUKUM PEMOHON: MUHAMMAD RULLYANDI

Ya.

27. KETUA: MANAHAN MP SITOMPUL

Dan apa yang mau dipertajam nanti (…)

28. KUASA HUKUM PEMOHON: MUHAMMAD RULLYANDI

Ya.

29. KETUA: MANAHAN MP SITOMPUL

Barangkali itu saja (…)

30. KUASA HUKUM PEMOHON: MUHAMMAD RULLYANDI

Ya.

31. KETUA: MANAHAN MP SITOMPUL

Ya. Saya kira cukup karena (…)

32. KUASA HUKUM PEMOHON: MUHAMMAD RULLYANDI

Ya.

33. KETUA: MANAHAN MP SITOMPUL

Tadi sudah di … dijelaskan apa-apa yang perlu di … diperbaiki, ya. Barangkali (…)

34. KUASA HUKUM PEMOHON: MUHAMMAD RULLYANDI

Terima kasih, Yang Mulia. Barangkali ada tambahan sedikit dari

(19)

35. KETUA: MANAHAN MP SITOMPUL

Silakan, ada yang mau dikembangkan? Secara singkat saja, ya,

mungkin waktu kita ada lagi (…)

36. PEMOHON: OTTO CORNELIS KALIGIS

Memang, Yang Mulia, cuma singkat.

37. KETUA: MANAHAN MP SITOMPUL

Ya.

38. PEMOHON: OTTO CORNELIS KALIGIS

Memang banyak istilah yang dimunculkan di Indonesia. Sebenarnya kami juga ikut dibina pada waktu itu. Bukan extraordinary crime yang dipakai, kan? Trust national (Pemohon menggunakan bahasa asing).

Kemudian, bukan justice collaborator yang dipakai, whistleblower. Berapa banyak orang yang hoofddader yang tidak kedapatan, tapi dia bebas. Begitu ketangkap, dijadikan justice collaborator.

Sebagai tambahan bukti, ada putusan Mahkamah Agung yang di-blow out oleh Artidjo. Kenapa disebut Artidjo? Biasanya Artidjo kan menghukum, Yang Mulia.

Kali ini ketika KPK meminta dalam kasus Muchtar Effendi supaya tidak diberikan remisi, pertimbangan Artidjo kali ini benar sekali. Bahwa remisi adalah hak asasi kita. Dan karenanya permohonan dari

katakanlah Muchtar … KPK terhadap Muchtar Effendi ditolak, Yang

Mulia. Mungkin itu kita bisa … karena dalam hukum itu ada konsistensi.

Nah, kalau PP Nomor 99 kok, Mahkamah Agung enggak konsisten? Kami ini korban-korban, Yang Mulia. Sudah pasti kami tidak akan mendapatkan remisi, kecuali justice collaborator. Itu pun yang namanya justice collaborator itu sebenarnya justice conspirator, Yang Mulia. Itu istilah yang dibuat-buat untuk memberikan. Jadi, ada yang mendapat, ada yang tidak. Karenanya kami sepakat lima-lima ini.

Bayangkan, saya 75 tahun, Yang Mulia. Lima ribu dollar semua dihukum dua tahun, saya dihukum 10 tahun. Pasal 6 ayat (1) kan, minimum tiga tahun. Tapi oleh KPK, ketiga pelaku utama dua tahun, dia enggak banding. Jadi, memang dalam hal ini kami ini korban-korban dari KPK, Yang Mulia. Mungkin kalau semua orang anggota DPR masuk dan lain sebagainya, dia akan setuju bahwa perlakuan diskriminasi itu melanggar hak asasi manusia.

(20)

Cuma singkat, Yang Mulia, enggak panjang. Nanti dalam

pembuktian kita … dengan ahli-ahli kita akan majukan juga. Terima kasih banyak, Yang Mulia.

39. KETUA: MANAHAN MP SITOMPUL

Baik, sudah dicatat. Oleh karena dalam persidangan ini kita anggap sudah selesai, namun kami akan umumkan perbaikan yang harus dilakukan oleh Pemohon melalui Kuasanya. Perbaikan permohonan itu harus diajukan atau dimasukkan di Mahkamah paling lambat hari Rabu, tanggal 6 September 2017, pukul 11.00 WIB. Kalau

lebih cepat, lebih bagus. “Ikan Sepat Ikan Gabus,” katanya, “Lebih cepat, lebih bagus,” ya. Ada lagi yang mau (…)

40. PEMOHON: OTTO CORNELIS KALIGIS

Kami ingin hadir waktu perbaikan. Boleh, enggak, Yang Mulia?

41. KETUA: MANAHAN MP SITOMPUL

Itu nanti Kuasanya yang bisa mengurus (…)

42. PEMOHON: OTTO CORNELIS KALIGIS

Ada panggilan mesti dari sini supaya kami bisa (…)

43. KETUA: MANAHAN MP SITOMPUL

Kita ndak (…)

44. PEMOHON: OTTO CORNELIS KALIGIS

Oh, enggak ada (…)

45. KETUA: MANAHAN MP SITOMPUL

Ndak mengeluarkan panggilan, ya.

46. PEMOHON: OTTO CORNELIS KALIGIS

Dari Kuasa, Yang Mulia.

47. KETUA: MANAHAN MP SITOMPUL

(21)

48. PEMOHON: OTTO CORNELIS KALIGIS

Ya.

49. KETUA: MANAHAN MP SITOMPUL

Kuasa Hukum itu, ya.

50. PEMOHON: OTTO CORNELIS KALIGIS

Terima kasih, Yang Mulia.

51. KETUA: MANAHAN MP SITOMPUL

Ya. Nah, saya ulangi, perbaikan akan diajukan paling lambat hari Rabu, tanggal 6 September 2017, pukul 11.00 WIB. Barangkali itu, ya, baik.

Karena persidangan kita anggap sudah selesai, maka sidang kami nyatakan ditutup.

Jakarta, 24 Agustus 2017 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d.

Yohana Citra Permatasari

NIP. 19820529 200604 2 004

SIDANG DITUTUP PUKUL 14.26 WIB KETUK PALU 3X

Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak kedua cavum nasi sempit, sekret bening, konka inferior berwarna livide , terdapat massa lunak, bertangkai, bulat,

Hasil penelitian ini, yaitu perbedaan kelas sosial yang ada pada cerpen “Perkawinan Mustaqimah” karya Zulfaisal Putera yang terbagi menjadi dua, yaitu golongan sangat

Kotoran kambing dapat digunakan sebagai bahan organik pada pembuatan pupuk kandang karena kandungan unsur haranya relatif tinggi dimana kotoran kambing bercampur dengan air

Dalam proses penelitian ini peneliti berperan langsung, bertindak sekaligus sebagai instrument dalam pengumpulan data, karena penelitian ini dilakukan dengan fokus

Untuk kegiatan sholat wajib dhuhur dan ashar berjamaah siswa berada di tanggung jawab pihak sekolah karena setiap waktunya sholat dhuhur dan sholat ashar siswa di

zingiberi asal Temanggung dan Boyolali yang telah disimpan dalam medium tanah steril selama enam tahun masih tumbuh dengan baik pada medium PDA dan memenuhi cawan Petri setelah

Pengkajian transtivitas terhadap pidato kampanye Ahok pada pemilihan Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022 menghasilkan tiga simpulan, yakni 1) seluruh tipe transitivitas

Daya hambat antimikroba ekstrak etanol daun nangka (Artocarpus heterophyllus Lamk.) terhadap bakteri Staphylococcus aureus pada konsentrasi 500 mg/mL memiliki daya