• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komputasi Numerik Model Penyobekan Dinamis Lembaran Kertas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Komputasi Numerik Model Penyobekan Dinamis Lembaran Kertas"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS KI142502

Komputasi Numerik Model Penyobekan

Dinamis Lembaran Kertas

ASTRIS DYAH PERWITA

NRP. 5114201066

PEMBIMBING I

Dr. Darlis Herumurti, S.Kom, M.Kom.

NIP. 197712172003121001

PEMBIMBING II

Rully Soelaiman, S.Kom, M.Kom. NIP. 197002131994021001

PROGRAM STUDI MAGISTER

JURUSAN TEKNIK INFORMATIKA

FAKULTAS TEKNOLOGI INFORMASI

INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER

SURABAYA

(2)
(3)

THESIS KI142502

Numerical Scheme Computation for Paper

Sheet Adaptive Tearing

ASTRIS DYAH PERWITA

NRP. 5114201066

SUPERVISOR I

Dr. Darlis Herumurti, S.Kom, M.Kom.

NIP. 197712172003121001

SUPERVISOR II

Rully Soelaiman, S.Kom, M.Kom.

NIP. 197002131994021001

MASTER PROGRAM

DEPARTEMENT OF INFORMATICS

FACULTY OF INFORMATION TECHNOLOGY

INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER

SURABAYA

(4)
(5)
(6)

vi

(7)

vii

Komputasi Numerik Model Penyobekan Dinamis Lembaran Kertas

Nama Mahasiswa : Astris Dyah Perwita

NRP : 5114201066

Pembimbing : 1. Dr. Darlis Herumurti, S.Kom, M.Kom.

2. Rully Soelaiman, S.Kom, M.Kom.

ABSTRAK

Untuk memproduksi detail dan variasi retakan pada berbagai macam benda

nyata masih dirasa sangat sulit. Sementara bila membangun model dengan metode

Finite Element tradisional, maka penerapan yang dilakukan juga cukup kompleks

karena membutuhkan pembaharuan setiap sebuah retakan atau sobekan terbentuk.

Oleh karena itu, pada penelitian ini akan berfokus pada teknik simulasi retakan dan

sobekan dengan arah dan besaran yang tepat sesuai dengan sifat atau properti yang

dikalkulasi dengan perhitungan matematis pada bidang tipis khususnya kertas

sesuai dengan metode dan parameter yang tepat.

Untuk dapat menghasilkan model sobekan yang tepat, maka diperlukan suatu

skema numerik yang dapat memenuhi kebutuhan (requirement) tersebut. Penelitian

ini akan melibatkan perhitungan metode Finite Element modifikasi yang

melibatkan elemen-elemen pengayaan pada proses eksekusinya. Proses yang

dilakukan akan berlangsung dinamis dengan memperhatikan hasil sobekan setiap

pada setiap waktu.

Penelitian ini berfokus pada komputasi numerik model penyobekan dinamis

lembaran kertas dengan memperhatikan variabel-variabel yang mempengaruhinya.

Metode yang diimplementasikan akan menghasilkan model dengan proses

assembly matrik kekakuan yang konvergen terhadap fungsi waktu. Hasil uji coba

penelitian ini menyatakan bahwa rata-rata waktu komputasi pembentukan sobekan

pada material tanpa inklusi adalah 21,17 detik dan lebih cepat dari pada

pembentukan sobekan dengan inklusi dengan rata-rata waktu komputasi 30,57

(8)

viii

24,75 detik dan lebih cepat daripada inklusi linier dengan rata-rata waktu komputasi

36,39 detik.

(9)

ix

Numerical Scheme Computation for Paper Sheet Adaptive Tearing

Student’s Name : Astris Dyah Perwita Student’s ID : 5114201066

Supervisor : 1. Dr. Darlis Herumurti, S.Kom, M.Kom.

2. Rully Soelaiman, S.Kom, M.Kom.

ABSTRACT

To produce detail and variation of tearing and cracking on various object is

challenging. Meanwhile using traditional Finite Element Method will need such a

complex computation caused by updated value for every crack made. To overcome

such problems, research focused on tearing and cracking simulation technique with

to predict precise tear amount and angle depend on the variables value on thin plates

such as paper.

To generate tearing model that fulfill the requirement, numeric scheme will

be needed. Modification of Finite Element Method along with enrichment element

will be adapted in this research. And this method will determine which variables

take effect on the results. Every process will be done adaptively depending on the

existing results for each iteration.

This research will be focused on numerical computation on paper sheet with

variables affects. Experiments generate a model which stiffness matrix convergent

for each time function. The stiffness matrix will also convergent for each variation

of elastic variables. Experiments show that computation time for tearing model will

works faster without inclusion as it works on average 21.17 seconds than with

inclusion with average 30.57 seconds. It also shows that computation time for

tearing model with circular inclusion works faster than linear inclusion with 24.75

seconds for circular inclusion and 36.39 seconds for linear inclusion on average.

(10)

x

(11)

xi

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas segala karunia dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Komputasi Numerik Model

Penyobekan Dinamis Lembaran Kertas”.

Harapan dari penulis semoga apa yang tertulis di dalam buku tesis ini dapat

bermanfaat dan dapat memberikan kontribusi yang nyata bagi pengembangan ilmu

pengetahuan saat ini. Dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan buku tesis

penulis mendapatkan banyak bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Tanpa

mengurangi rasa hormat, penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Bapak Rully Soelaiman S.Kom, M.Kom, dan Bapak Dr. Darlis

Herumurti, S.Kom, M.Kom. selaku dosen pembimbing yang telah

memberikan banyak arahan, bantuan, nasihat, dan perhatian terhadap

penelitian penulis.

2. Bapak Waskito Wibisono S.Kom., M.Eng., Ph.D. dan Ibu Chastine

Fatichah selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Pascasarjana Teknik

Informatika yang telah memberikan kesempatan belajar di Teknik

Informatika di tingkat pascasarjana.

3. Pihak Pascasarjana ITS yang telah memberikan kesempatan belajar dalam

bentuk Beasiswa Fresh Graduate di ITS Surabaya.

4. Para penulis artikel ilmiah yang karyanya direferensi oleh tesis ini

sehingga membantu mempermudah terlaksananya penelitian dan

penulisan tesis.

5. Keluarga dan rekan-rekan yang selalu memberikan dukungan moral,

material, dan doa sehingga penulis mendapatkan kelancaran untuk

menyelesaikan tesis ini.

6. Serta pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu-per-satu disini

yang telah banyak membantuk penulis dalam penyusunan tesis ini.

Penulis telah berusaha sebaik-baiknya dalam melakukan penelitian dan

menyusun tesis ini. Namun, penulis mohon maaf atas kekurangan maupun

(12)

xii

dan saran yang membangun dapat disampaikan sebagai bahan perbaikan

selanjutnya.

Surabaya, Desember 2016

(13)

xiii

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN... iv

ABSTRAK ... vii

1.3 Tujuan dan manfaat penelitian ... 3

1.4 Kontribusi penelitian ... 4

1.5 Batasan masalah ... 4

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA ... 5

2.1. Tearing dan cracking ... 5

2.2. Metode Finite Element ... 6

2.2.1. eXtended Finite Element Method ... 6

2.2.2. Elemen Pengayaan ... 8

a. Pengayaan Titik Inklusi ... 8

b. Pengayaan Titik Retak dan Heaviside ... 9

2.2.3. Metode Level Set... 11

2.3. Stiffness Matrix ... 13

2.4. Model Sobekan dengan J-Integral ... 15

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ... 19

3.1. Alur Metode Penelitian ... 19

3.1.1. Studi Literatur Model Peretakan dan Sobekan... 19

3.1.2. Studi Literatur Metode Finite Element ... 20

3.1.3. Perancangan Model Sobekan ... 20

3.1.4. Implementasi Model Sobekan ... 20

3.1.5. Uji Coba dan Analisis Model Sobekan ... 20

3.2. Rancangan Sistem ... 21

3.2.1. Masukan ... 21

(14)

xiv

3.2.3. Fungsi connectivity... 25

3.2.4. Fungsi LevelSet ... 26

3.2.5. Fungsi calcDOF ... 30

3.2.6. Fungsi enrElem ... 31

3.2.7. Fungsi stiffnessMatrix dan updateStiffness ... 32

3.2.8. Fungsi forceVector ... 37

3.2.9. Fungsi boundaryCond ... 38

BAB 4 UJI COBA DAN PEMBAHASAN ... 43

4.1. Lingkungan Uji Coba ... 43

4.2. Skenario Uji Coba ... 43

4.2.1. Uji Coba Model Sobekan Tanpa Inklusi ... 44

4.2.2. Uji Coba Model Sobekan dengan Inklusi ... 51

4.3. Analisis Hasil Uji Coba ... 63

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN... 65

5.1. Kesimpulan ... 65

5.2. Saran ... 65

DAFTAR PUSTAKA ... 67

LAMPIRAN A ... 69

LAMPIRAN B ... 71

LAMPIRAN C ... 73

(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Node-node elemen pengayaan. Fungsi Heaviside ditunjukan dengan

titik bulat dan titik sobekan ditunjukkan dengan titik kotak (Pais, 2011) ... 9

Gambar 3.1 Alur metodologi penelitian... 19

Gambar 3.2 Diagram Alir Model Sobekan ... 22

Gambar 3.3. Pseudocode fungsi utama ... 24

Gambar 3.4 Pseudocode Fungsi connectivity ... 25

Gambar 3.5 Pseudocode Inisialisasi elemen dengan metode Level Set ... 26

Gambar 3.6 Pseudocode Inisialisasi elemen dengan metode Level Set (2) ... 27

Gambar 3.7 Pseudocode Inisialisasi elemen dengan metode Level Set (3) ... 28

Gambar 3.8 Pseudocode Inisialisasi elemen dengan metode Level Set (4) ... 29

Gambar 3.9 Pseudocode fungsi untuk mendefinisikan PSI (1)... 29

Gambar 3.10 Pseudocode fungsi untuk mendefinisikan PSI (2) ... 30

Gambar 3.11. Pseudocode untuk menghitung Degree of Freedom ... 31

Gambar 3.12.Pseudocode untuk membentuk elemen pengayaan (1) ... 31

Gambar 3.13 Pseudocode untuk membentuk elemen pengayaan (2) ... 32

Gambar 3.14 Pseudocode untuk membangun matrik kekakuan (1) ... 32

Gambar 3.15 Pseudocode untuk membangun matrik kekakuan (2) ... 33

Gambar 3.16 Pseudocode untuk membangun matrik kekakuan (3) ... 34

Gambar 3.17 Pseudocode untuk membangun matrik kekakuan (4) ... 35

Gambar 3.18. Pseudocode untuk membangun matrik kekakuan (5) ... 36

Gambar 3.19 Pseudocode untuk membangun matrik kekakuan (6) ... 37

Gambar 3.20. Pseudocode fungsi forceVector(1) ... 37

Gambar 3.21 Pseudocode fungsi forceVector (2) ... 38

Gambar 3.22 Pseudocode untuk mendefinisikan boundary condition ... 38

Gambar 3.23 Pseudocode fungsi penghitungan faktor intensitas tegangan dengan J-Integral (1) ... 39

Gambar 3.24 Pseudocode fungsi penghitungan faktor intensitas tegangan dengan J-Integral (2) ... 40

(16)

xvi

Gambar 3.26. Pseudocode fungsi growCrack (1)... 41

Gambar 3.27. Pseudocode fungsi growCrack (2) ... 42

Gambar 4.1. Persebaran Stress pada proses sobekan tanpa inklusi variasi 1 (a)

iterasi ke-1 (b) iterasi ke-10 ... 45

Gambar 4.2. Persebaran Stress pada proses sobekan tanpa inklusi variasi 1 (a)

iterasi ke-20 (c) iterasi ke-30 ... 46

Gambar 4.3 Grafik implementasi assembly matrik kekakuan terhadap fungsi

waktu percobaan tanpa inklusi variasi 1 ... 46

Gambar 4.4. Persebaran Stress pada proses sobekan tanpa inklusi variasi 2 (a)

iterasi ke-1 (b) iterasi ke-10 ... 47

Gambar 4.5 Persebaran Stress pada proses sobekan tanpa inklusi variasi 2 (a)

iterasi ke-20 (b) iterasi ke-30 ... 48

Gambar 4.6. Grafik implementasi assembly matrik kekakuan terhadap fungsi

waktu percobaan tanpa inklusi variasi 2 ... 48

Gambar 4.7. Persebaran Stress pada proses sobekan tanpa inklusi variasi 3 (a)

iterasi ke-1 (b) iterasi ke-10 ... 49

Gambar 4.8. Persebaran Stress pada proses sobekan tanpa inklusi variasi 3 (a)

iterasi ke-20 (b) iterasi ke-30 ... 50

Gambar 4.9. Grafik implementasi assembly matrik kekakuan terhadap fungsi

waktu percobaan tanpa inklusi variasi 3 ... 50

Gambar 4.10. Persebaran Stress pada proses sobekan inklusi lingkaran variasi 1

(a) iterasi ke-1 (b) iterasi ke-10 ... 51

Gambar 4.11. Persebaran Stress pada proses sobekan inklusi lingkaran variasi 1

(a) iterasi ke-20 (b) iterasi ke-30 ... 52

Gambar 4.12. Grafik implementasi assembly matrik kekakuan terhadap fungsi

waktu percobaan dengan inklusi lingkaran variasi 1 ... 52

Gambar 4.13. Persebaran Stress pada proses sobekan inklusi lingkaran variasi 2

(a) iterasi ke-1 (b) iterasi ke-10 ... 53

Gambar 4.14. Persebaran Stress pada proses sobekan inklusi lingkaran variasi 2

(a) iterasi ke-20 (b) iterasi ke-30 ... 54

Gambar 4.15. Grafik implementasi assembly matrik kekakuan terhadap fungsi

(17)

xvii

Gambar 4.16. Persebaran Stress pada proses sobekan inklusi lingkaran variasi 3

(a) iterasi ke-1 (b) iterasi ke-10 ... 55

Gambar 4.17. Persebaran Stress pada proses sobekan inklusi lingkaran variasi 3

(a) iterasi ke-20 (b) iterasi ke-30 ... 56

Gambar 4.18. Grafik implementasi assembly matrik kekakuan terhadap fungsi

waktu percobaan dengan inklusi lingkaran variasi 3 ... 56

Gambar 4.19. Persebaran Stress pada proses sobekan inklusi linier variasi 1 (a)

iterasi ke-1 (b) iterasi ke-10 ... 57

Gambar 4.20. Persebaran Stress pada proses sobekan inklusi linier variasi 1 (a)

iterasi ke-20 (b) iterasi ke-30 ... 58

Gambar 4.21. Grafik implementasi assembly matrik kekakuan terhadap fungsi

waktu percobaan dengan inklusi linier variasi 1 ... 58

Gambar 4.22. Persebaran Stress pada proses sobekan inklusi linier variasi 2 (a)

iterasi ke-1 (b) iterasi ke-10 ... 59

Gambar 4.23. Persebaran Stress pada proses sobekan inklusi linier variasi 2 (a)

iterasi ke-20 (b) iterasi ke-30 ... 60

Gambar 4.24. Grafik implementasi assembly matrik kekakuan terhadap fungsi

waktu percobaan dengan inklusi linier variasi 2 ... 60

Gambar 4.25. Persebaran Stress pada proses sobekan inklusi linier variasi 3 (a)

iterasi ke-1 (b) iterasi ke-10 ... 61

Gambar 4.26. Persebaran Stress pada proses sobekan inklusi linier variasi 3 (a)

iterasi ke-20 (b) iterasi ke-30 ... 62

Gambar 4.27. Grafik implementasi assembly matrik kekakuan terhadap fungsi

waktu percobaan dengan inklusi linier variasi 3 ... 62

Gambar A.1. Referensi nilai konstan modulus Young ... 69

Gambar B.1 Konstanta elastisitas berdasarkan Mechanic of Materials ... 71

Gambar C.1. Ilustrasi model sobekan tanpa inklusi (a) Finite Element Mesh dan

elemen pengayaan (b) Mesh deformasi... 73

Gambar C.2. Ilustrasi model sobekan dengan inklusi lingkaran (a) Finite Element

Mesh dan elemen pengayaan (b) Mesh deformasi ... 73

Gambar C.3. Ilustrasi model sobekan dengan inklusi linier (a) Finite Element

(18)

xviii

(19)

xix

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1. Masukan model sobekan ... 44

Tabel 4.2. Masukan untuk percobaan sobekan tanpa inklusi variasi 1 ... 45

Tabel 4.3. Masukan untuk percobaan sobekan tanpa inklusi variasi 2 ... 47

Tabel 4.4. Masukan untuk percobaan sobekan tanpa inklusi variasi 3 ... 49

Tabel 4.5. Masukan untuk percobaan sobekan dengan inklusi lingkaran variasi 1 ... 51

Tabel 4.6. Masukan untuk percobaan sobekan dengan inklusi lingkaran variasi 2 ... 53

Tabel 4.7. Masukan untuk percobaan sobekan dengan inklusi lingkaran variasi 3 ... 55

Tabel 4.8. Masukan untuk percobaan sobekan dengan inklusi linier variasi 1 ... 57

Tabel 4.9. Masukan untuk percobaan sobekan dengan inklusi linier variasi 2 ... 59

Tabel 4.10. Masukan untuk percobaan sobekan dengan inklusi linier variasi 3 ... 61

Tabel 4.11. Waktu komputasi uji coba (1) ... 63

(20)

xx

(21)

1

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Simulasi retakan secara dinamis memiliki sejarah dan perkembangan yang

panjang pada bidang grafika komputer. Namun memproduksi detail dan variasi

retakan pada berbagai macam benda nyata masih dirasa sangat sulit (Pfaff, et al.,

2014). Sementara bila membangun model dengan metode Finite Element

tradisional, maka penerapan yang dilakukan juga cukup kompleks (Pais, et al.,

2010). Oleh karena itu, pada penelitian ini akan berfokus pada teknik simulasi

retakan dan sobekan dengan arah dan besaran yang tepat sesuai dengan sifat atau

properti yang dikalkulasi dengan perhitungan matematis pada bidang tipis

khususnya kertas sesuai dengan metode dan parameter yang tepat.

Pada tahun 1988, Terzopoulos dan Fleischer mempresentasikan teknik

pemodelan viscoelastic dan plastic deformation. Metode ini diterapkan dengan tiga

metrik tensor fundamental untuk merepresentasikan fungsi energi yang dapat

diukur untuk deformasi lekukan, bagian kulit, maupun volume sebuah obyek.

Fungsi energi ini yang memungkinkan deformasi model secara berkelanjutan

sehingga dapat disimulasikan dalam beberapa metode diskrit. Salah satu dari bentuk

metode ini diaplikasikan dengan memperhatikan teknik pembeda terbatas yang

dikontrol oleh continuity spline. Formulasi ini memungkinkan pembentukan

retakan dalam wilayah terbatas sehingga retakan ini dapat dianimasikan dengan

koefisien elastis antara titik-titik yang berdekatan sehingga menghasilkan retakan

saat jaraknya mencapai batas ambang. (O'Brien, 2000).

Saat sebuah obyek dikenai tekanan, bidang tipis dengan jenis material yang

kaku seperti kertas dan lempeng besi akan cenderung menggumpal, membentuk

pola yang saling berhubungan dengan lipatan-lipatan dan bentuk-bentuk kerucut

yang ganjil. Pola ini terjadi akibat adanya interaksi antara tingkat ketahanan

material yang rendah terhadap pembengkokan dan tingkat kekakuan material yang

tinggi. (Narain, et al., 2013).

Pada penelitian yang dilakukan Busyarev(2013), diajukan kerangka kerja

(22)

2

terdiri atas lebih dari satu lapisan. Model dibangun atas empat proses yaitu

pembangunan jejaring dasar, pembangunan model retakan, penerapan metode

penghalusan, dan pemisahan layer untuk material berlapis. Namun penelitian ini

tidak dilakukan pendekatan mendetail terhadap parameter-parameter

pembentuknya. Selain itu penelitian cenderung berfokus terhadap tujuan utamanya

yaitu membentuk model untuk bidang tipis yang berlapis. Sehingga evaluasi yang

dibahas adalah perbandingan hasil antara bidang berlapis dan bidang yang tidak

berlapis.

Finite Element harus sesuai dengan mesh yang direpresentasikan, oleh karena

itu mesh di sekitar ujung retakan harus dibentuk ulang saat sebuah retakan baru

terbentuk. Pada beberapa kasus, pergerakan yang diakibatkan diskontinuitas yang

dihitung dengan metode Finite Element tidak praktis untuk diterapkan akibat

perlunya pembaharuan untuk setiap perubahan pada geometri dari diskontinuitas

yang terjadi. Oleh karena itu beberapa penelitian menerapkan teknik penerapan

Finite Element untuk memodelkan retakan tanpa adanya remeshing untuk

meminimalkan kerja komputasi (Moes, et al., 1999).

Teknik tanpa remeshing ini diterapkan dengan memanfaatkan partisi dari sifat

unity dari Finite Element. Konsep ini memungkinkan adanya fungsi pengayaan

secara lokal yang dapat dengan mudah digabungkan ke dalam pendekatan Finite

Element. Pendekatan ini dilakukan sedemikian rupa sehingga degree of freedom

dari elemen pengayaan ini terhubung dengan mesh. Untuk kasus analisis retakan

atau sobekan, fungsi pengayaan akan difokuskan pada bidang yang berdekatan

dengan titik retakan dan fungsi diskontinuitas untuk merepresentasikan perubahan

di sepanjang retakan (Melenk & Babuska, 1996).

Untuk memodelkan diskontinuitas kuat yang merepresentasikan bidang

retakan dibutuhkan dua jenis titik pengayaan. Pertama adalah fungsi Heaviside

yang merepresentasikan diskontinuitas yang mengalir menjauhi titik ujung retakan.

Yang kedua adalah perubahan ujung retakan yang bersifat elastis linier yang

digunakan untuk memperhitungkan diskontinuitas ujung retakan. Retakan

direpresentasikan pada mesh secara independen oleh elemen pengayaan sehingga

geometri dari retakan dapat diperbaharui tanpa perlu menambah atau membentuk

(23)

3

diterapkan dengan memperhatikan gabungan jarak yang dihasilkan dari

diskontinuitas rendah dan nilai absolut dari nilai fungsi (Pais, et al., 2010).

Untuk dapat menghasilkan tahapan komputasi yang akurat dan efisien, maka

diperlukan suatu skema numerik yang dapat memenuhi kebutuhan atau requirement

yang sesuai.

Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, maka diajukan kerangka kerja

penyobekan dengan nilai-nilai parameter yang sesuai sehingga terbentuk model

yang relatif dan efisien terhadap proses perubahan yang terjadi. Setiap perubahan

yang terjadi pada objek merupakan proses yang dikerjakan berdasarkan hasil dari

proses sebelumnya. Hal ini dilakukan untuk menghasilkan model yang dinamis.

Diharapkan dengan adanya pendekatan terhadap nilai-nilai parameter yang optimal

dan adanya elemen pengayaan yang menghemat komputasi, akan didapatkan model

yang lebih efisien dibandingkan dengan penelitian-penelitian yang telah dilakukan

sebelumnya.

1.2 Perumusan masalah

Permasalahan penyusunan skema komputasi numerik model penyobekan

dinamis lembaran kertas meliputi hal-hal sebagai berikut:

1. Bagaimana representasi obyek lembaran kertas menjadi domain komputatif

yang dapat mengalami perubahan secara dinamis?

2. Bagaimana bentuk penerapan perhitungan matematis dengan

memanfaatkan elemen pengayaan pada domain sehingga dapat membentuk

sobekan dan perubahan posisi domain awal?

3. Bagaimana pengaruh variabel-variabel yang ada pada model terhadap hasil

sobekan yang terbentuk?

1.3 Tujuan dan manfaat penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah menghasilkan komputasi numerik model

penyobekan lembaran kertas yang berlaku secara dinamis sehingga didapatkan

(24)

4 1.4 Kontribusi penelitian

Penelitian ini memiliki kontribusi membangun kerangka kerja model

penyobekan dengan memanfaatkan elemen pengayaan pada metode modifikasi

Finite Element.

1.5 Batasan masalah

Permasalahan yang dibahas pada penelitian ini memiliki beberapa batasan,

yaitu:

1. Sobekan dialirkan pada arah koordinat x,

2. Variasi variabel yang diterapkan adalah variasi yang berkenaan dengan

modulus Young dan rasio Poisson sebagai variabel yang menentukan elastisitas

sebuah objek,

3. Objek kertas yang digunakan merupakan representasi objek rektangular 2D,

4. Jumlah iterasi pada uji coba adalah 30 kali.

5. Program XFEM yang digunakan adalah adaptasi dari program

xfemQuasiStatic dari Matthew Jon Pais yang dapat diakses pada

(25)

5

2.

BAB 2

KAJIAN PUSTAKA

Bab ini berisi pembahasan tentang kajian dan dasar teori yang digunakan

sebagai teori pendukung penelitian. Adapun pembahasannya meliputi tearing dan

cracking, metode Finite Element, dan model sobekan.

2.1.Tearing dan cracking

Retakan atau fracture telah dipelajari secara luas baik dari segi mekanisnya

maupun teknik-teknik pembangunan, simulasi, dan analisa behavior dari banyak

materi. Telah banyak teori yang menjelaskan pembentukan sebuah titik retakan dan

persebarannya. Teori-teori ini telah menerapkan berbagai metode numerik

termasuk elemen terbatas (finite element) dan finite difference methods, persamaan

integral batas, dan simulasi partikel molekular. Aplikasi rekayasa pembentukan

model grafika membutuhkan simulasi yang menampilkan dan memprediksi

behavior dari kejadian nyata dalam bentuk yang akurat dan dapat diandalkan. Pada

grafika komputer maupun animasi komputer, hal yang terpenting adalah

pengimplementasian bentuk retakan pada sebuah bidang (O'Brien & Hodgins,

1999).

Simulasi sobekan pada domain grafis memiliki banyak kompleksitas dalam

pemodelannya. Setiap obyek memiliki tingkah laku atau behavior yang unik dalam

menampilkan efek dari sobekan pada bidangnya. Behavior pada obyek-obyek ini

dapat dimodelkan dengan menggunakan thin-shell model yang merupakan sebuah

representasi obyek dalam bidang datar. Thin-shell model dapat direpresentasikan

dengan jejaring atau mesh segitiga dalam proses pemodelan grafis (Pfaff, et al.,

2014).

Program yang bertujuan untuk memodelkan sobekan dengan framework

Finite Element tradisional adalah sebuah tantangan tersendiri. Pada dasarnya,

framework Finite Element dimodifikasi untuk dapat bekerja pada diskontinuitas

yang terjadi akibat adanya sobekan, inklusi, maupun elemen kosong atau void.

Dibutuhkan penyesuaian terhadap framework Finite Element agar dapat bekerja

(26)

6

sobekan, setidaknya domain pada sekitar titik retak harus disesuaikan agar sobekan

yang baru dapat direpresentasikan dengan baik secara geometris (Pais, et al., 2010).

2.2.Metode Finite Element

Sebuah model simulasi sebuah obyek biasanya dibangun atas model

kontinyu. Namun pada kenyataannya, sebuah obyek hanya akan dapat

divisualisasikan pada komputer dalam bentuk diskrit. Oleh karena itu banyak

metode yang khusus digunakan untuk mengubah bentuk kontinyu dari obyek

menjadi bentuk diskrit. Metode yang biasa digunakan adalah finite difference dan

finite element.

Finite difference merupakan metode yang membagi domain material menjadi

kisi-kisi dan kemudian diterapkan diferensial numerik sebagai pendekatan spasial

yang nantinya akan digunakan untuk mendapatkan nilai strain dan strain tensor.

Pendekatan ini cocok untuk permasalahan yang memiliki struktur reguler atau

teratur

Finite element merupakan metode yang membagi domain menjadi

sub-domain atau elemen-elemen. Pada setiap elemen, material akan dipisahkan sesuai

dengan fungsi yang dibatasi beberapa parameter. Fungsi-fungsi tersebut diuraikan

ke dalam beberapa bagian seperti bentuk ortogonal, atau basis, fungsi yang

berhubungan dengan batas node pada elemen yang ada. Elemen yang berdekatan

akan memiliki node yang sama sehingga jejaring yang didefinisikan pada fungsi

yang sama merepresentasikan domain material (O'Brien & Hodgins, 1999).

2.2.1.eXtended Finite Element Method

XFEM atau eXtended Finite Element Method dikonsepkan dengan tujuan

untuk membangun model sobekan dan aliran sobekan tanpa perlu remeshing atau

penyesuaian mesh akibat adanya perubahan baik posisi maupun ukuran mesh.

Pembentukan sobekan tanpa remeshing termasuk dari elemen-elemen dengan

bentuk kontinu, teknik pergerakan mesh, dan teknik enrichment yang berbasis

partition-of-unity yang mencakup remeshing dengan tingkat yang minimal.

Ide utama dari metode pada XFEM ini adalah menambahkan fungsi

(27)

7

perpindahan elemen-elemen akibat terjadinya sebuah ketidaksinambungan atau

diskontinuitas.

Pada konsep elastostastis, perubahan atau perpindahan kecil yang terjadi pada

mesh direpresentasikan sebagai sebuah persamaan equilibrium yang dinotasikan

dengan Persamaan 2.1.

∇. 𝝈 + 𝒃 = 0 in Ω, 𝜎 = 𝐶: 𝜀, 𝜀 = ∇𝑠𝑢 2.1 (2.1)

Pada Persamaan, Ω ⊂ 𝑹2 adalah domain dari objek, 𝝈 adalah stress tensor

Cauchy, 𝜀 adalah small strain tensor, b adalah gaya internal objek, C adalah tensor

dari material, u adalah perpindahan, ∇ adalah operator gradien, dan ∇𝑠 adalah operator gradien simetris.

Sedangkan secara umum, pendekatan dari sebuah perpindahan atau

displacement pada XFEM diformulasikan sebagai Persamaan 2.2.

𝑢ℎ(𝑥) = ∑ 𝑁

Variabel Ω pada Persamaan 2.2 merupakan keseluruhan domain sementara

Ω𝑑 merupakan domain yang mengalami diskontinuitas. Variabel 𝑁𝐼(𝑥) adalah

fungsi Finite Element tradisional, 𝑣(𝑥) adalah fungsi diskontinuitas elemen

pengayaan, sedangkan 𝑢𝐼 dan 𝑎𝐼 merupakan degree of freedom dari masing-masing Finite Element tradisional dan elemen pengayaan. Saat terjadi kondisi Ω ∩ Ω𝑑 = ∅, fungsi pengayaan 𝑣(𝑥) akan dihilangkan. Karena diskontinuitas tidak didefinisikan

sebagai mesh, maka diskontinuitas ini didefinisikan ke dalam sebuah Level Set.

Pendekatan pada Persamaan 2.2 tidak mencakup sifat interpolasi akibat

adanya degree of freedom dari elemen pengayaan. Untuk mengatasi hal ini,

dibentuk formulasi fungsi pengayaan seperti Persamaan 2.3.

𝛶𝐼(𝑥) = 𝑣(𝑥) − 𝑣𝐼(𝑥) 2.3 (2.3)

(28)

8

formulasi mencapai elemen pengayaan, maka 𝛶𝐼(𝑥) akan bernilai nol pada node

tersebut.

Implementasi Persamaan 2.3 pada Persamaan 2.2 akan menghasilkan

Persamaan 2.4 yang merepresentasikan pendekatan dari perpindahan yang terjadi

pada mesh.

Metode Finite Element digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang

berkaitan dengan diskontinuitas. Pada metode Finite Element, terutama XFEM,

terdapat fungsi tambahan yang digunakan untuk memodelkan sobekan, kekosongan

atau voids, dan inhomogenitas. Fungsi-fungsi tambahan ini diaplikasikan untuk

meningkatkan akurasi pada bidang-bidang yang mementingkan penyesuaian sifat.

(Sukumar, et al., 2001)

Pada sebuah model sobekan, dapat ditentukan diskontinuitas terjadi pada

perpindahan yang berkaitan dengan mesh, tegangan yang terjadi, atau pada

keduanya. Cara terbaik untuk dapat menunjukkan sebuah diskontinuitas adalah

dengan membuat satu atau beberapa elemen sebagai penanda. Pada XFEM,

diperkenalkan penggunaan hanging nodes yang berkaitan dengan sobekan, inklusi,

dan aliran mekanik agar dapat dilakukan proses mesh refinement secara otomatis

pada titik-titik diskontinu (Fries, et al., 2011).

a. Pengayaan Titik Inklusi

Titik inklusi merupakan salah satu representasi node yang bersifat

homogenitas yang menyatakan batasan internal atau batasan yang berasal dari

bidang objek itu sendiri. Pengayaan titik inklusi ini pertama kali disesuaikan dengan

kebutuhan metode Level Set oleh Sukumar (2001). Pengayaan ini diformulasikan

dengan Persamaan 2.5.

(29)

9

Variabel 𝜁𝐼 pada Persamaan 2.5 adalah nilai node pada nilai Level Set. Namun penyelesaian dengan Persamaan 2.5 dapat menimbulkan masalah blending pada

elemen dengan pengayaan dan tanpa pengayaan. Untuk meningkatkan tingkat

konvergensi dari penyelesaian permasalahan ini, maka dilakukan optimasi.

Optimasi ini menerapkan modifikasi nilai absolut dari nilai pengayaan (Moes, et

al., 2003). Dilakukan formulasi ulang sehingga Persamaan 2.5 dapat sesuai dengan

formulasi elemen pengayaan menjadi Persamaan 2.6. Fungsi pengayaan ini akan

bernilai nol pada node yang tidak perlu melakukan perpindahan.

Υ(𝑥) = ∑ 𝑁𝐼 𝐼(𝑥)|𝜁𝐼| − | ∑ 𝑁𝐼 𝐼(𝑥)𝜁𝐼| 2.6 (2.6)

b. Pengayaan Titik Retak dan Heaviside

Sebuah displacement atau perpindahan node tertentu bisa didapatkan dengan

menggabungkan dua fungsi yang berkaitan dengan pendekatan sobekan itu sendiri.

Dua fungsi tersebut adalah fungsi elemen crack tip atau titik ujung sobekan dan

fungsi elemen Heaviside. Perbedaan kedua elemen ini berada pada fungsi yang

dilakukan dan titik yang dipengaruhinya.

Gambar 2.1 Node-node elemen pengayaan. Fungsi Heaviside ditunjukan dengan titik bulat dan titik sobekan ditunjukkan dengan titik kotak (Pais, 2011)

Fungsi elemen Heaviside digunakan untuk merepresentasikan sobekan yang

mengalir dari titik ujung sobekan. Sebuah titik ini dinyatakan termasuk elemen

Heaviside apabila memenuhi Persamaan 2.7.

ℎ(𝑥) =

{ 1 , di atas titik sobek−1 , di bawah titik sobek

(30)

10

Untuk elemen titik ujung sobekan, terdapat fungsi dengan empat nilai

pengayaan yang digunakan untuk menyatakan perpindahan sobekan dari titik ujung

sobekan ke wilayah selanjutnya. Fungsi tersebut dinyatakan dengan Persamaan 2.8.

∅𝛼(𝑥),𝛼=1−4= √𝑟 [𝑠𝑖𝑛𝜃2 , 𝑐𝑜𝑠𝜃2 , 𝑠𝑖𝑛𝜃𝑠𝑖𝑛𝜃2 , 𝑠𝑖𝑛𝜃𝑐𝑜𝑠𝜃2]

2.8 (2.8)

Variabel r dan 𝜃 menyatakan koordinat polar pada sistem koordinat ujung

sobekan lokal. Koordinat ini bermula dari titik ujung sobekan dan 𝜃 = 0 paralel

dengan sobekan.

Persamaan 2.8 akan menunjukkan diskontinuitas yang terjadi saat ujung

sobekan terbentuk sementara Persamaan 2.7 akan menunjukkan potongan yang

terjadi akibat munculnya sobekan. Pengaruh kedua fungsi ini ditunjukkan pada

Gambar 2.1.

Perhitungan kedua fungsi ini belum menyatakan sobekan pada domain objek

yang dituju. Oleh karena itu dibutuhkan metode yang merepresentasikan

fungsi-fungsi ini ke domain yang diinginkan sehingga diterapkan metode Level Set.

Terdapat dua Level Set yang dibutuhkan untuk merepresentasikan sobekan.

Pertama adalah level set dasar 𝜓(x) yang merepresentasikan fisik sobekan. Yang

kedua adalah level set dasar ∅(x) yang ortogonal dengan level set dasar 𝜓(x).

Persamaan 2.7 dan 2.8 dapat dikalkulasi mengikuti bentuk ∅(x) dan 𝜓(x) sehingga

didapatkan Persamaan 2.9.

ℎ(x) = ℎ(𝜓(x)) = { 1 untuk 𝜓−1 untuk 𝜓(x) < 0(x) > 0 2.9 (2.9)

Sedangkan koordinat polar didapatkan dengan Persamaan 2.10 dan 2.11.

𝑟 = √𝜓2(x) + ∅2(x) 2.10 (2.10)

𝜃 = arctan 𝜓(x)∅(x) 2.11 (2.11)

Node-node pengayaan yang berhubungan dengan titik ujung sobekan juga

dapat ditentukan dengan menggunakan Level Set yang mendefinisikan sobekan.

Node Heaviside dapat ditentukan dengan Persamaan 2.12. Sedangkan Node titik

ujung sobekan dapat ditentukan ketika memenuhi Persamaan 2.13.

(31)

11

∅𝑚𝑎𝑥∅𝑚𝑖𝑛 ≤ 0 dan 𝜓𝑚𝑎𝑥𝜓𝑚𝑖𝑛 ≤ 0 2.13 (2.13)

Setelah diterapkan titik ujung sobekan dan Heaviside, perubahan yang terjadi

pada domain seperti yang dinyatakan pada Persamaan 2.4 akan mengalami

penyesuaian. Penyesuaian ini dilakukan dengan menerapkan metode

Bubnov-Galerkin untuk membangun sistem persamaan dan menurunkan Persamaan 2.4

sehingga dapat merepresentasikan domain secara total. Pendekatan ini dinyatakan

dalam Persamaan 2.14.

𝑢ℎ(𝑥) = ∑ 𝑁 2.2.3. Metode Level Set

Metode Level Set adalah metode numerik yang digunakan untuk menelusuri

evolusi atau perubahan posisi yang terjadi pada antarmuka atau obyek yang tampak

oleh pengguna. Metode ini diterapkan berdasarkan kecepatan fisik yang terjadi pada

obyek sehingga menimbulkan perpindahan posisi node pada setiap iterasi

berdasarkan waktu. Kecepatan yang ada pada antarmuka objek dapat dipengaruhi

oleh posisi, waktu, geometri bidang, dan fisik yang ada pada model.

Metode Level Set digunakan untuk menentukan nilai diskrit dari domain awal

objek menjadi titik-titik diskrit. Selain itu, Level Set digunakan untuk

merepresentasikan antarmuka bidang sebagai serat atau fiber dan matrik sehingga

dapat merepresentasikan bentuk geometri dari sobekan.

Fungsi Level Set dinyatakan dengan ∅(𝑥(𝑡), 𝑡). Sesuai dengan formulasi

tersebut, fungsi ini merupakan fungsi kontinu dengan variabel 𝑥(𝑡) adalah titik pada

sebuah domain awal 𝛺. Batasan yang diterapkan untuk memenuhi fungsi Level Set

diformulasikan pada Persamaan 2.15, 2.16, dan 2.17. Variabel 𝛤 pada Persamaan

2.17 adalah representasi domain antarmuka.

∅(𝑥(𝑡), 𝑡) < 0 untuk 𝑥 𝜖 Ω 2.15 (2.15)

∅(𝑥(𝑡), 𝑡) > 0 untuk 𝑥 𝜖 Ω 2.16 (2.16)

(32)

12

Domain antarmuka dapat ditemukan pada sembarang waktu t dengan lokasi

yang sesuai dengan syarat ∅(𝑥(𝑡), 𝑡) = 0 seperti pada Persamaan 2.17. Batasan ini

biasa disebut zero level set ∅ dan bisa disimbolkan sebagai ∅0. Persamaan 2.17 inilah yang dinamakan persamaan Level Set.

Untuk mendapatkan evolusi perubahan posisi objek untuk setiap satuan

waktu, dilakukan pendekatan dengan melakukan penurunan rumus persamaan

Level Set terhadap waktu t. Penurunan ini dinyatakan dengan Persamaan 2.18.

𝜙𝑖+1−𝜙𝑖

∆𝑡 + 𝑉𝑖. ∇𝜙𝑖 = 0

2.18 (2.18)

Variabel 𝜙𝑖+1 pada Persamaan 2.18 adalah nilai Level Set pembaharuan, variabel 𝜙𝑖 adalah nilai Level Set pada titik yang sedang diproses, 𝑉𝑖 adalah vektor kecepatan, dan ∆𝑡 adalah perbedaan waktu yang terjadi antara i dan i+1. Persamaan

2.18 dapat ditulis kembali ke dalam bentuk yang lebih sesuai dengan objek dua

dimensi pada Persamaan 2.19.

𝜙𝑖+1= 𝜙𝑖− ∆𝑡 (𝑢𝑖𝜕𝜙𝜕𝑥𝑖+ 𝑣𝑖𝜕𝜙𝜕𝑦𝑖) 2.19 (2.19)

Variabel 𝑢𝑖 adalah kecepatan terhadap arah x dan 𝑣𝑖 adalah kecepatan terhadap arah y. Pada Persamaan 2.18 dan 2.19, variabel ∆𝑡 dibatasi oleh kondisi

Courant-Friedrichs-Lewy (CFL) yang memastikan bahwa pendekatan dari solusi

konvergen. Kondisi CFL dinyatakan dengan Persamaan 2.20. Variabel ∆𝑥 dan ∆𝑦

pada Persamaan 2.20 adalah nilai x dan y pada grid atau representasi matrik dasar

dari objek.

∆𝑡 <max (∆𝑥,∆𝑦)max (𝑢,𝑣) 2.20 (2.20)

Metode Level Set juga diterapkan pada elemen pengayaan. Untuk nilai

elemen pengayaan dengan bentuk material komposit yang berbentuk lingkaran,

fungsi Level Set yang diterapkan pada setiap node dinyatakan dalam fungsi 𝜁(𝑥)

seperti pada Persamaan 2.21. Pada persamaan ini, 𝑥𝑖 dan 𝑦𝑖 merupakan koordinat titik ke-i dan 𝑥𝑐 dan 𝑦𝑐 merupakan koordinat titik pusat material komposit, sedangkan 𝑟𝑐 adalah jari-jari lingkaran tersebut.

(33)

13

Sedangkan untuk elemen pengayaan yang berkenaan dengan sobekan—titik

ujung sobekan dan Heaviside, dihitung jarak antara setiap titik dengan zero level

set yang terdekat. Retakan terdefinisi apabila persyaratan pada Persamaan 2.22 dan

2.23 terpenuhi.

𝜙(𝑥(𝑡), 𝑡) ≤ 0 2.22 (2.22)

𝜓(𝑥(𝑡), 𝑡) = 0 2.23 (2.23)

2.3. Stiffness Matrix

Nilai perpindahan yang dihitung dengan Persamaan 2.14 terjadi pada wilayah

komputasi numerik. Untuk mengaplikasikan perpindahan agar dapat

direpresentasikan pada domain baik domain mesh maupun domain antarmuka,

dilakukan convert nilai perpindahan agar sesuai dengan bentuk nodalnya. Hal ini

dapat dilakukan dengan menggunakan metode Bubnov-Galerkin yang dapat

membentuk perpindahan ke dalam bentuk persamaan linier. Persamaan linier ini

dinyatakan dalam Persamaan 2.24.

𝑲. 𝒒 = 𝒇 2.24 (2.24)

Variabel K merupakan stiffness matrix global, q adalah degree of freedom

dari node, dan f adalah gaya yang berlaku pada node. Sesuai dengan urutan degree

of freedom, global stiffness matrix dapat dinyatakan dengan Persamaan 2.25.

𝐾 = [

Element tradisional, sementara a menyatakan nilai pengayaan pada elemen

Heaviside, dan b menyatakan nilai pengayaan pada titik ujung sobekan.

Sesuai dengan perumusan Persamaan 2.25 terhadap Persamaan 2.24, dapat

dilihat bahwa kekakuan pada sobekan dikerjakan oleh elemen Heaviside dan titik

ujung sobekan sehingga elemen kekakuan pada Finite Elemen tradisional 𝐾𝑢𝑢 akan konstan selama iterasi penambahan titik retak. Matrik kekakuan juga menyatakan

bahwa porsi perubahan yang diakibatkan elemen pengayaan akan lebih kecil

daripada elemen non-pengayaan. Lebih jauh, dapat dilihat bahwa setelah sebuah

(34)

iterasi-14

iterasi berikutnya. Hal ini berarti komponen kekakuan yang mengandung a akan

konstan selama iterasi pembentukan sobekan terjadi.

Oleh karena itu, matrik kekakuan dapat disederhanakan untuk dapat

menghitung evolusi pertumbuhan sobekan dan menghasilkan elemen baru berupa

titik ujung sobekan pada iterasi-iterasi yang terjadi setelah kondisi inisial. Matrik

kekakuan global yang digunakan dinyatakan dalam Persamaan 2.26.

𝐾 = [𝐾𝐾𝑢𝑢 𝐾𝑢𝑎

𝑢𝑎𝑇 𝐾𝑎𝑎]

2.26 (2.26)

Berdasarkan matrik dasar dengan Persamaan 2.26, bisa didapatkan nilai

kekakuan elemental untuk setiap anggota K. Kekakuan elemental ini dihitung

dengan Persamaan 2.27.

𝐾𝑒 = ∫ 𝐵Ωℎ 𝑢𝑇𝐶𝐵𝑎𝑑Ω 2.27 (2.27)

Variabel C adalah matrik konstitutif untuk material dengan isotropic linear

elastic. Variabel 𝐵𝑢 adalah matrik turunan dari fungsi matrik domain awal

sedangkan 𝐵𝑎 adalah matrik turunan dari matrik elemen pengayaan. Matrik 𝐵𝑢 dan

𝐵𝑎 dijabarkan pada Persamaan 2.28 dan 2.29.

(35)

15

Sesuai dengan Persamaan 2.24, formulasi akan lengkap dengan perhitungan

degree of freedom. Perhitungan degree of freedom dilakukan dengan Persamaan

2.30. Pada Persamaan 2.30, variabel u dan a adalah degree of freedom untuk elemen

tradisional dan elemen pengayaan.

𝑞𝑇 = {𝑢 𝑎}𝑇 2.30 (2.30)

Setelah matrik kekakuan dan degree of freedom didapatkan, maka tegangan

dan tekanan atau strain dan stress dapat dihitung dengan Persamaan 2.31 dan 2.32.

𝜀 = [𝐵𝑢 𝐵𝑎]{𝑢 𝑎}𝑇 2.31 (2.31)

𝜎 = 𝐶𝜀 2.32 (2.32)

2.4. Model Sobekan dengan J-Integral

Metode Finite Element mengatur dan memperhitungkan segala komputasi

numerik mulai dari implementasi objek ke dalam bentuk matrik, proses diskrit

objek, hingga penggabungan elemen-elemen yang mempengaruhi objek untuk

dapat membentuk sobekan. Pada bab ini akan dijelaskan mengenai model s yang

akan mencakup proses perhitungan nilai J sebagai energi yang dilepaskan yang

menentukan arah dan besar sobekan yang terjadi.

Sudut sobekan dihitung dengan Persamaan 2.33 dengan 𝐾𝐼 dan 𝐾𝐼𝐼 adalah faktor intensitas tegangan atau stress intensity factor

𝜃𝑐= 2arctan14(𝐾𝐾𝐼𝐼𝐼 − 𝑠𝑖𝑔𝑛(𝐾𝐼𝐼)√(𝐾𝐾𝐼𝐼𝐼) 2

+ 8) 2.33 (2.33)

Arah dari pertumbuhan sobekan ditentukan pula oleh mode-gabungan

(mixed-mode) faktor intensitas tegangan. Bentuk domain dari interaksi integral

(36)

16

metode-gabungan secara umum, hubungan antara J-Integral dan faktor intensitas

tegangan dinyatakan dengan Persamaan 2.34.

𝐽 = 𝐾𝐼2

Untuk menghitung mode-gabungan faktor intensitas tegangan, diberikan

sebuah kondisi tegangan sebagai bantuan. Bantuan ini ditumpangkan pada tegangan

dan perpindahan dari analisis XFEM. Elemen dari XFEM dinotasikan dengan tanda

(1) seperti 𝜎𝑖𝑗(1), 𝜀𝑖𝑗(1), dan 𝑢𝑖(1), sementara elemen dari kondisi bantuan dinyatakan dengan 𝜎𝑖𝑗(2), 𝜀𝑖𝑗(2), dan 𝑢𝑖(2).

Kondisi awal J-Integral dinyatakan dengan Persamaan 2.36.

𝐽𝑖 = ∫ [𝑊𝑛𝑖− 𝜎𝑗𝑘𝑛𝑗

menotasikan arah bukaan sobekan, yang diasumsikan berkorespondensi dengan

arah x secara global, yang dinotasikan dengan 𝑥𝑖. Persamaan 2.36 dapat dituliskan kembali sebagai Persamaan 2.37.

𝐽𝑖 = ∫ [𝑊𝛿1𝑗− 𝜎𝑖𝑗𝜕𝑥𝜕𝑢𝑖 1] 𝑛𝑗𝑑Γ Γ

2.37 (2.37)

Kedua kondisi tegangan 𝜎 dapat ditumpangkan pada Persamaan 2.37

sehingga membentuk Persamaan 2.38.

𝐽1(1+2)= ∫ [12(𝜎𝑖𝑗(1)+ 𝜎𝑖𝑗(2)) (𝜀𝑖𝑗(1)+ 𝜀𝑖𝑗(2)) 𝛿1𝑗− (𝜎𝑖𝑗(1)+ 𝜎𝑖𝑗(2))

𝜕(𝑢𝑖(1)+𝑢𝑖(2)) 𝜕𝑥1 ] 𝑛𝑗𝑑Γ

Γ

(2.38) 2.38

Bentuk J-Integral dengan kondisi 1 dan 2 yang terpisah dari Persamaan 2.38

(37)

17

𝐽1(1+2)= 𝐽1(1)+ 𝐽1(2)+ 𝐼(1,2) 2.39 (2.39) Variabel 𝐼(1,2) pada Persamaan 2.39 merupakan kondisi interaksi dan dihitung dengan Persamaan 2.40.

density yang dinyatakan dengan Persamaan 2.41.

𝑊(1,2) = 𝜎

𝑖𝑗(1)𝜀𝑖𝑗(2)= 𝜎𝑖𝑗(2)𝜀𝑖𝑗(1) 2.41 (2.41)

Setelah menumpangkan kedua kondisi, Persamaan 2.34 dapat diformulasi

ulang dengan Persamaan 2.42.

𝐽1(1+2)=(𝐾𝐼(1)𝐾𝐼(2))2

𝐸𝑒𝑓𝑓 +

(𝐾𝐼𝐼(1)𝐾𝐼𝐼(2))2 𝐸𝑒𝑓𝑓

2.42 (2.42)

Pengembangkan dan pengaturan ulang dilakukan untuk Persamaan 2.42

sehingga menjadi Persamaan 2.43.

𝐽1(1+2)= 𝐽1(1)+ 𝐽1(2)+2(𝐾𝐼(1)𝐾𝐼(2)+𝐾𝐼𝐼(1)𝐾𝐼𝐼(2))

𝐸𝑒𝑓𝑓

2.43 (2.43)

Faktor intensitas tegangan untuk kondisi yang sedang difokuskan dapat

dihitung dengan memisahkan kedua mode sobekan. Dengan memilih 𝐾𝐼(2) = 1 dan

𝐾𝐼𝐼(2)= 0, didapatkan penyelesaian 𝐾𝐼(1) dengan Persamaan 2.44 dan penyelesaian

𝐾𝐼𝐼(1) dengan Persamaan 2.45.

𝐾𝐼(1)=𝐼(1,𝑀𝑜𝑑𝑒 𝐼)𝐸𝑒𝑓𝑓

2 2.44

(2.44)

(38)

18

(39)

19

3.

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini memaparkan metodologi penelitian yang akan digunakan. Pada

bagian ini akan dijelaskan alur dari metodologi penelitian yang terdiri atas studi

literatur, perancangan metode, implementasi metode, pengujian, dan analisa hasil

uji coba. Selanjutnya dijelaskan rancangan sistem dan detailnya.

3.1.Alur Metode Penelitian

Penelitian ini terdiri atas beberapa tahap. Alur metodologi yang dilakukan

pada penelitian ini dijabarkan dalam Gambar 3.1.

Gambar 3.1 Alur metodologi penelitian 3.1.1. Studi Literatur Model Peretakan dan Sobekan

Studi literatur tentang model peretakan dan sobekan dilakukan untuk dapat

memahami model retakan dan sobekan yang selama ini telah dikerjakan oleh

peneliti-peneliti lain. Pada studi literatur ini dilakukan pemahaman tentang dasar

model yang harus dikerjakan. Dasar model ini meliputi pendalaman metode untuk

merepresentasikan objek ke dalam bentuk mesh, pendalaman metode yang

digunakan untuk mengekstraksi komponen-komponen objek sehingga dapat

Studi literatur model peretakan dan sobekan

Studi literatur Metode Finite Element

Perancangan model sobekan

Implementasi model sobekan

(40)

20

dikomputasi, dan pendalaman formulasi-formulasi yang harus digunakan untuk

membentuk model yang sesuai dengan tujuan penelitian.

3.1.2. Studi Literatur Metode Finite Element

Studi literatur tentang metode Finite Element dilakukan setelah pendalaman

tentang objek dan representasi mesh dilakukan. Metode ini merupakan metode

dasar yang digunakan untuk merepresentasikan bentuk nyata objek yang

merupakan bentuk kontinu menjadi bentuk diskrit sehingga

komponen-komponennya dapat dikomputasi oleh sistem. Metode ini memerlukan pemahaman

yang lebih karena pada setiap kasus pembentukan model grafis, Finite Element

yang diterapkan menyesuaikan dengan bentuk geometri serta permasalahan yang

harus diselesaikan. Literatur-literatur yang mendukung dikumpulkan dan diproses

sehingga membentuk model yang sesuai.

3.1.3. Perancangan Model Sobekan

Perancancangan model sobekan dilakukan untuk mengolaborasikan

metode-metode yang cocok menjadi sebuah sistem yang dapat merepresentasikan objek

dengan semirip mungkin. Metode-metode mulai dari pengimplementasian objek ke

dalam bentuk mesh, pengubahan bentuk kontinu ke dalam bentuk diskrit,

implementasi bentuk plastisitas, dan implementasi retakan yang dihasilkan harus

dapat dikolaborasikan agar dapat berjalan dengan baik.

3.1.4. Implementasi Model Sobekan

Implementasi dilakukan dengan membangun model secara keseluruhan.

Model dibentuk sesuai dengan kebutuhan dengan masukan-masukan yang

disesuaikan dengan kasus penelitian.

Tahapan ini dilakukan untuk mengimplementasikan metode yang diusulkan

ke dalam perangkat lunak. Proses implementasi ini meliputi penulisan kode

program, compiling, debugging, hingga dihasilkan kode program yang siap

dieksekusi. Tahapan ini dilakukan setelah dilakukan pembelajaran terhadap library

yang digunakan untuk membentuk komponen-komponen yang dibutuhkan pada

sebuah komputasi grafis.

(41)

21

Uji coba yang dilakukan terdiri atas uji coba untuk melihat keberhasilan

model membentuk sobekan pada objek penelitian. Selain itu dilakukan untuk

mengetahui variabel-variabel yang berpengaruh terhadap terbentuknya sobekan.

3.2.Rancangan Sistem

Tahap perancangan sistem ini merupakan implementasi dari metode-metode

yang telah dipelajari untuk membentuk model sobekan. Tahapan-tahapan yang

harus dilakukan untuk membentuk model sobekan dijabarkan dalam diagram alir

yang ditunjukkan pada Gambar 3.2. Sesuai dengan Gambar 3.2, terdapat beberapa

tahapan yang harus dieksekusi pada setiap iterasi. Tahapan-tahapan ini akan

dijelaskan secara rinci pada subbab Rancangan Sistem.

3.2.1. Masukan

Masukan pengguna dikategorikan ke dalam beberapa komponen. Komponen

ini adalah DOMAIN, MAT, CRACK, INC, GROW, dan FORCE. Komponen

masukan DOMAIN merupakan sebuah variabel dengan empat nilai yang

menyatakan:

1. Panjang objek pada arah x

2. Lebar objek pada arah y

3. Ukuran setiap elemen x

4. Ukuran setiap elemen y

Variabel kedua adalah MAT yang melingkupi tujuh nilai. Nilai-nilai ini

menyatakan:

1. modulus Young domain,

2. rasio Poisson domain,

3. modulus Young titik inklusi,

4. rasio Poisson titik inklusi,

5. status stress-strain,

6. nilai plane stress,

7. faktor intensitas tegangan kritis pada domain.

Variabel ketiga adalah variabel CRACK. Variabel ini menyatakan garis

(42)

22

(43)

23 1. koordinat x titik pertama

2. koordinat y titik pertama

3. koordinat x titik kedua,

4. koordinat y titik kedua.

Variabel keempat adalah variabel INC yang menyatakan inklusi. Bila

masukan pada INC berisi tiga nilai, maka nilai tersebut akan menyatakan inklusi

lingkaran dengan keterangan:

1. koordinat x titik pusat inklusi,

2. koordinat y titik pusat inklusi,

3. jari-jari inklusi.

Sementara bila variabel INC berisi empat nilai, maka nilai tersebut

menyatakan inklusi linier yang dinyatakan dengan:

1. koordinat x titik pertama,

2. koordinat y titik pertama ,

3. koordinat x titik kedua,

4. koordinat y titik kedua.

Variabel berikutnya adalah variabel GROW yang nantinya akan

mempengaruhi besar pertumbuhan sobekan pada domain. Variabel ini menyatakan:

1. jumlah iterasi,

2. crack growth increment.

Variabel terakhir adalah variabel FORCE yang akan menentukan muatan

yang dialirkan pada domain. Variabel ini menyatakan tiga keterangan:

1. uniaxial tension

2. nilai gaya yang diaplikasikan pada arah x

3. nilai gaya yang diaplikasikan pada arah y

3.2.2. Fungsi Utama

Fungsi utama diterapkan sebagai fungsi eksekusi dari keseluruhan program.

Fungsi ini mengandung skenario eksekusi fungsi-fungsi lain yang ada pada

program. Fungsi ini merupakan representasi kode dari Gambar 3.2 dan dinyatakan

dengan pseudocode pada Gambar 3.3. Fungsi-fungsi lain yang dieksekusi pada

(44)

24

Pseudocode 3.1 Fungsi utama

Masukan -

Keluaran PLOT, waktu

1. input

2. if isempty(GROW) = 1 3. iter  1

4. elseif length(GROW) = 2 5. iter  GROW(1)

14. omega  levelSet(i) 15. [DOF,DISP]  calcDOF

16. [updElem, IElem] = enrElem(i,pHDOF) 17.

18. if i = 1

19. globalK  stiffnessMatrix 20. else

21. globalK  updateStiffness 22. end

23. globalF  forceVector 24. freeDOF  boundaryCond

25. DISP(freeDOF,:) globalK \ globalF 26. if isempty(CRACK) != 0

27. pHDOF  2*max(NODES(:,2))

28. [KI,KII]  JIntegral(omega,DISP)

29. Gopt  -(KI(1)^2+KII(1)^2)*(1-MAT(2)^2)/MAT(1); 30. growCrack(KI,KII,omega)

31. if i ~=1

32. if CRACK(nPt,1)>=(nXElem*lXElem-2*lXElem) %|| CRACK(nPt,1)<CRACK(nPt-1,1)

(45)

25 3.2.3. Fungsi connectivity

Fungsi connectivity dapat dikatakan fungsi inisialisasi. Fungsi ini akan

membentuk grid dari masukan yang telah diberikan pengguna. Grid inilah yang

menjadi representasi objek. Fungsi connectivity akan membentuk grid dengan

informasi masukan dan membentuk informasi-informasi lainnya seperti koordinat

titik, keterhubungan antar titik, hingga elemen serta titik-titik yang menjadi

anggotanya. Fungsi ini hanya dieksekusi pada iterasi pertama. Untuk iterasi

berikutnya, informasi yang digunakan juga merupakan hasil dari fungsi ini namun

dengan nilai-nilai yang telah diproses pada fungsi-fungsi lain.

Proses eksekusi fungsi connectivity dijelaskan dalam bentuk pseudocode

pada Gambar 3.4.

Pseudocode 3.2 Konektivitas domain

Masukan DOMAIN

Keluaran NODES, XYZ, CONNEC

1. nXElem  DOMAIN(1) 2. nYElem  DOMAIN(2) 3. lXElem  DOMAIN(3) 4. lYElem  DOMAIN(4)

5. nNode = (nXElem+1)*(nYElem+1) 6. nNode  1;

7. for iYNode  1 to nYElem+1 8. for iXNode  1 to nXElem+1 9. NN(iXNode,iYNode)  nNode

10. XYZ (nNode,:) [nNode (iXNode-1)*lXElem (iYNode-1)*lYElem]

11. NODES(nNode,1)  nNode 12. nNode  nNode+1 18. N1  NN(iXElem, iYElem) 19. N2  NN(iXElem+1, iYElem) 20. N3  NN(iXElem+1,iYElem+1) 21. N4  NN(iXElem, iYElem+1)

22. CONNEC(nElem,1:5)  [nElem N1 N2 N3 N4] 23. nElem  nElem+1

24. end 25. end

(46)

26 3.2.4. Fungsi LevelSet

Fungsi levelSet merupakan fungsi yang membentuk nilai level set ∅ yang

merepresentasikan domain. Elemen dengan pengayaan titik ujung sobekan dan

Heaviside ditentukan. Pada fungsi ini akan diidentifikasi titik retakan berdasarkan

masukan pengguna. Selain itu, fungsi ini juga akan mengidentifikasi retakan yang

terjadi pada iterasi lanjut dengan titik retakan hasil iterasi sebelumnya.

Fungsi ini juga akan membentuk level set PHI dan PSI yang menyatakan

diskontinuitas yang disebabkan oleh titik ujung sobekan dan titik-titik Heaviside.

Titik-titik ini kemudian akan memiliki nilai degree of freedom sesuai dengan

pengayaan yang dimilikinya. Fungsi levelSet dieksekusi sesuai dengan pseudocode

seperti pada Gambar 3.5, Gambar 3.6, Gambar 3.7, dan Gambar 3.8.

Pseudocode 3.3. Inisialisasi elemen dengan metode Level Set

Masukan iter, CONNEC, DOMAIN, INC, NODES, XYZ, CRACK

Keluaran Omega, PHI, PSI, ZETA

1. nXElem  DOMAIN(1) 2. nYElem  DOMAIN(2) 3. lXElem  DOMAIN(3) 4. nElem  nXElem*nYElem

5. nNode  (nXElem+1)*(nYElem+1); 6. nPt  size(CRACK,1);

7. nBand  (sqrt(2)+0.005)*lXElem

8. //Create material level set function ZETA

9. if iter = 1 10. if INC != 0

11. if INC circular 12. xc  INC(1)

18. Z  sqrt((xi-xc)^2+(yi-yc)^2)-rc 19. if abs(z) < 1e-6, ZETA(iNode)  0

(47)

27

Pseudocode 3.4. Inisialisasi elemen dengan metode Level Set

Masukan iter, CONNEC, DOMAIN, INC, NODES, XYZ, CRACK

Keluaran Omega, PHI, PSI, ZETA

28. l  sqrt((x1-x0)^2+(y1-y0)^2) 29. for iNode = 1 to nNode

30. xi  XYZ(iNode,2) 31. yi  XYZ(iNode,3)

32. c  (y0-y1)*x+(x1-x0)*y+(x0*y1-x1*y0) 33. ZETA(iNode)  c/l

34. end

35. end ZETA  min(ZETA,[],1) 36. for iElem = 1 to nElem

37. Z1  ZETA(CONNEC(iElem,2)) 38. Z2  ZETA(CONNEC(iElem,3)) 39. Z3  ZETA(CONNEC(iElem,4)) 40. Z4  ZETA(CONNEC(iElem,5)) 41. Z  [Z1 Z2 Z3 Z4]

42. if max(Z)*min(Z) < 0for iNode = 2 to 5 43. if NODES(CONNEC(iElem,iNode),30) == 0 44. NODES(CONNEC(iElem,iNode),30) =

nNode+incNode;

45. NODES(CONNEC(iElem,iNode),31) = Z(iNode-1);

46. incNode = incNode+1;

47. end

48. end

49. end 50. else

51. ZETA  ones(1,nNode) 52. end

53. //Create level set function PHI and PSI defining

the crack

54. if CRACK != empty

55. nCT  Check for edge crack 56. Calculate crack angle

57. PHI  sparse(nNode,nCT) 58. for iCT = 1: nCT

59. define radius of nodal search 60. find nodes within search radius

61. //compute PHI level set for main cracktip

62. for iNode = 1 to length of domain 63. cNode  domain(iNode)

64. x  XYZ(cNode,2) 65. y  XYZ(cNode,3)

66. disc CRACK(nPt,:)-CRACK(nPt-1,:) 67. t  1/norm(disc)*disc

68. phi  ([x y]-CRACK(nPt,:))*t’;

(48)

28

Pseudocode 3.5 Inisialisasi elemen dengan metode Level Set

Masukan iter, CONNEC, DOMAIN, INC, NODES, XYZ, CRACK

Keluaran Omega, PHI, PSI, ZETA

69. if phi = 0, phi = 1e-6; end

70. if nCT == 2

71. disc CRACK(1,:)-CRACK(2,:) 72. t  1/norm(disc)*disc

73. phi(2)  ([x y]-CRACK(1,:))*t’; 74. if phi(2) = 0, phi(2) = 1e-6; end

75. end

76. if iCT = 1

77. if abs(phi(1)) < nBand

78. define psi

79. if abs(psi)<nBand

80. PHI(cNode,1) = phi(1)

81. PSI(cNode,1) = psi end

89. if abs(phi(2)) < nBand

90. define psi

91. if abs(psi)<nBand

92. PHI(cNode,1) = phi(2)

93. PSI(cNode,1) = psi

103. define the crack tip enriched nodes 104. define Heaviside enriched nodes

105. //Preliminaries to numbering enriched nodes

106. nNode  nNode+1+incNode-1 107. ctNodes  unique(ctNodes) 108. bmNodes  unique(bmNodes) 109. hNodes  unique(hNodes)

110. // Number the Heaviside nodes

111. for i = 1 to length of hNodes 112. NODES(hNodes(i),2) = nNode

(49)

29

Pseudocode 3.6 Inisialisasi elemen dengan metode Level Set

Masukan iter, CONNEC, DOMAIN, INC, NODES, XYZ, CRACK

Keluaran Omega, PHI, PSI, ZETA

113. nNode = nNode+1; 114. end

115. // Number the crack tip nodes

116. for i = 1:length(ctNodes)

117. NODES(ctNodes(i),4) = nNode; 118. NODES(ctNodes(i),6) = nNode+1; 119. NODES(ctNodes(i),8) = nNode+2; 120. NODES(ctNodes(i),10) = nNode+3; 121. nNode = nNode+4;

122. end

123. // Number the bimaterial crack tip nodes

124. for i = 1:length(bmNodes) 125. NODES(bmNodes(i),4) = nNode; 126. NODES(bmNodes(i),6) = nNode+1; 127. NODES(bmNodes(i),8) = nNode+2; 128. NODES(bmNodes(i),10) = nNode+3; 129. NODES(bmNodes(i),12) = nNode+4; 130. NODES(bmNodes(i),14) = nNode+5;

Gambar 3.8 Pseudocode Inisialisasi elemen dengan metode Level Set (4) Fungsi define PSI yang disebutkan pada Gambar 3.7 baris ke 79 dan 84

merupakan proses yang diekskusi untuk mendapatkan nilai PSI. Fungsi ini

dijabarkan dalam bentuk pseudocode pada Gambar 3.9 dan Gambar 3.10

Pseudocode 3.7. Define PSI

1. dist  zeros(nPt-1,1) 2. sine  dist

(50)

30

Pseudocode 3.8. Define PSI

9. if isinf(m) = 1

26. dist(iSeg)  sqrt((xo-x)^2+(yo-y)^2) 27. sine(iSeg)  sign(x2-x1)*sign(y-yo); 28.end

29. dMin  min(abs(dist))

30. ind  find(abs(dist) = dMin) 31. if length(ind) = 2

32. ind(2)[] 33. end

34. psi  dist(ind)*sine(ind) 35. if psi = 0

36. psi = 1e-6 37.end

Gambar 3.10 Pseudocode fungsi untuk mendefinisikan PSI (2) 3.2.5. Fungsi calcDOF

Fungsi ini merupakan fungsi yang digunakan untuk menghitung degree of

freedom total yang mencakup degree of freedom dari Finite Element tradisional

maupun pengayaan. Setelah terbentuk level set dengan fungsi sebelumnya,

didapatkan elemen-elemen pengayaan. Hal ini yang membuat degree of freedom

tidak dapat diinisialisasi dengan uniform secara keseluruhan. Oleh karena itu,

degree of freedom untuk setiap elemen pengayaan dieksekusi sesuai dengan fungsi

pengayaannya masing-masing. Fungsi calcDOF ini dinyatakan dalam pseudocode

seperti pada Gambar 3.11. Perhitungan degree of freedom masing-masing elemen

pengayaan tampak pada baris 5, 8, dan 11. Dan baris 13 dieksekusi untuk

(51)

31

Pseudocode 3.9. Menghitung total degree of freedom

Masukan NODES

Keluaran DOF, DISP

1. heavDOF  2*nonzero(NODES(:,2)) 2. ctipDOF  2*nonzero(NODES(:,4)) 3. bmctDOF  2*nonzero(NODES(:,12)) 4. if heavDOF > 0

13. DOF  2*max(max(NODES)) 14. DISP  sparse(DOF,1)

Gambar 3.11. Pseudocode untuk menghitung Degree of Freedom 3.2.6. Fungsi enrElem

Fungsi ini merupakan fungsi yang digunakan untuk membentuk elemen

pengayaan. Pada proses sebelumnya didapatkan informasi titik-titik mana saja yang

mendapatkan pengayaan baik sebagai titik ujung sobekan maupun titik Heaviside.

Dari informasi proses-proses sebelumnya tersebut dibentuk elemen sesuai dengan

titik-titik pengayaan yang berkesinambungan. Fungsi ini dieksekusi sesuai dengan

pseudocode seperti pada Gambar 3.12 dan Gambar 3.13

Pseudocode 3.10 Membentuk elemen pengayaan

Masukan i, pHDOF, NODES, CONNEC

Keluaran enrElem, IElem

1. I  find NODES(:,4)>0

2. c1  intersect(I,CONNEC(:,2)’) 3. c2  intersect(I,CONNEC(:,3)’) 4. c3  intersect(I,CONNEC(:,4)’) 5. c4  intersect(I,CONNEC(:,5)’)

6. CTElem  unique(vertcat(c1,c2,c3,c4))

7. if i = 1

8. I  find NODES(:,2)>0

9. c1  intersect(I,CONNEC(:,2)’) 10. c2  intersect(I,CONNEC(:,3)’) 11. c3  intersect(I,CONNEC(:,4)’) 12. c4  intersect(I,CONNEC(:,5)’)

13. HElem  unique(vertcat(c1,c2,c3,c4)) 14. I  find NODES(:,30)>0

(52)

32

Pseudocode 3.11 Membentuk elemen pengayaan

Masukan i, pHDOF, NODES, CONNEC

Keluaran enrElem, IElem

15. c1  intersect(I,CONNEC(:,2)’) 16. c2  intersect(I,CONNEC(:,3)’) 17. c3  intersect(I,CONNEC(:,4)’) 18. c4  intersect(I,CONNEC(:,5)’)

19. IElem  unique(vertcat(c1,c2,c3,c4))

20. else

21. I  find NODES(:,2) > pHDOF/2 22. c1  intersect(I,CONNEC(:,2)’) 23. c2  intersect(I,CONNEC(:,3)’) 24. c3  intersect(I,CONNEC(:,4)’) 25. c4  intersect(I,CONNEC(:,5)’)

26. HElem  unique(vertcat(c1,c2,c3,c4)) 27. IElem  []

28. end

29. enrElem = unique(vertcat(CTElem, HElem))

Gambar 3.13 Pseudocode untuk membentuk elemen pengayaan (2) 3.2.7. Fungsi stiffnessMatrix dan updateStiffness

Fungsi yang menghitung matrik kekakuan ini dibagi menjadi 2 yaitu

stiffnessMatrix yang digunakan untuk menghitung kekakuan dasar pada iterasi

pertama dan updateStiffness yang digunakan untuk menghitung kekakuan pada

iterasi-iterasi berikutnya. Perbedaan fungsi updateStiffness adalah fungsi ini tidak

menghitung matrik kekakuan elemen inklusi karena elemen inklusi tidak

mengalami perubahan terhadap fungsi waktu. Fungsi ini dikerjakan sesuai dengan

pseudocode seperti pada Gambar 3.14, Gambar 3.15, Gambar 3.16, Gambar 3.17,

Gambar 3.18, dan Gambar 3.19

Pseudocode 3.12 Membentuk matrik kekakuan

Masukan Omega, DOF, iter, enrElem, IElem, CONNEC,

CRACK, DOMAIN, MAT, NODES, PHI, PSI, XYZ, ZETA

Keluaran globalK

(53)

33 Pseudocode 3.13 Membentuk matrik kekakuan

Masukan Omega, DOF, iter, enrElem, IElem, CONNEC, CRACK,

DOMAIN, MAT, NODES, PHI, PSI, XYZ, ZETA

Keluaran globalK

8. plane  MAT(5) 9. nCT  size(PHI)

10. globalK  sparse matrix size globalDOF 11. if plane = 1

12. build initial plane stress stiffness matrix 13. Km = build initial plane stress stiffness fiber

matrix

14. elseif plane = 2

15. build initial plane strain stiffness matrix 16. Kf = build initial plane strain stiffness fiber

matrix 17. end

18. define crack point coordinate

19. for iElem = 1 to nYElem*nXElem

20. NN  current elements nodal data 21. CN  chi level set values

22. CTN  number of crack tip node enrichment 23. HEN  number of Heaviside node enrichment 24. IEN  number of inclusion node enrichment 25. NEN  number of enriched nodes

26. lokalK  0

27. local = traditional index 28. iLoc  9

29. if NEN = 0Set stiffness matrix for traditional nodes

30. //Set stiffness for enriched nodes

31. if NEN > 0

32. define nodes coordinates for current element

33. if NEN = 4 //fully enriched element 34. define crack level set values 35. define inclusion level set values

36. [gp, gw, J] = subDomain(enriched nodes) 37. for i = 1 to length of Gauss Point 38. defines Gauss elements

39. end

40. elseif min(CN)<0 //partially enriched element 41. define crack level set values

42. define inclusion level set values

43. [gp, gw, J] = subDomain(enriched nodes) 44. for i = 1 to length of Gauss Point 45. defines Gauss elements

46. end

47. else

Gambar

Gambar 2.1 Node-node elemen pengayaan. Fungsi Heaviside ditunjukan dengan titik bulat dan titik sobekan ditunjukkan dengan titik kotak (Pais, 2011)
Gambar 4.5.
Gambar 4.6.
Gambar 4.8.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian ini mengamati pergerakan harga saham di Bursa efek Indonesia untuk melihat terjadinya abnormal return yang diperoleh pelaku pasar dan

Dalam hubungannya dengan revolusi mental, ayat tersebut menyarankan bahwa untuk merevolusi sistem kehidupan bangsa diperlukan strategi dan materi yang utuh yang mampu

Berdasarkan jumlah skor hasil uji persyaratan trainer dan hasil uji validasi media disimpulkan bahwa Trainer Mikrokontroler Berbasis Arduino Nano sangat layak

Mengenai pandangan yang lain tentang Allah sebagai Yang Tersembunyi, di sini bagan kosmologis jadi terbalik, dalam arti, bahwa jika sekali lagi kita pandang satu set

Pria pada masyarakat Baduy, seperti juga masyarakat lain umumnya, “menguasai” berbagai sendi kehidupan, mulai dari kegiatan sehari-hari hingga kegiatan upacara

menyempurnakan produk, evaluasi yang diberikan oleh ahli pembelajaran yaitu, penggunaan bola dapat disesuaikan dengan kondisi yang ada di sekolah tidak melulu

Berdasarkan hasil dari uji regresi linier sederhana, dapat diketahui bahwa hu- bungan konsentrasi nitrat dan fosfat dengan kelimpahan diatom di perairan memiliki

Ekstraksi merupakan suatu cara untuk menarik atau memindahkan sebagian atau seluruh komponen kimia yang terdapat dalam suatu sampel tumbuhan dengan pelarut