PERBEDAAN KEPUASAN PERKAWINAN PADA SUAMI ANTARA YANG MEMILIKI ISTRI BEKERJA DENGAN ISTRI TIDAK BEKERJA
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh:
Claudia Nada Pingkan Larasati NIM: 099114055
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iv
HALAMAN MOTTO
“BUKAN TINDAKAN BESAR DAN HEBAT YANG MENENTUKAN
HIDUP KITA, MELAINKAN KESETIAAN DALAM MENEKUNI
PEKERJAAN-PEKERJAAN KECIL DAN TIDAK BERARTI”
(Bunda Teresa)
“NOTHING BUT A MIRACLE”
(Diane Birch)
“DON‟T YOU WORRY „BOUT A THING”
(John Legend)
“YOU‟RE NOBODY „TILL SOMEBODY LOVES YOU”
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
“untuk Tuhan YME dan Bunda Maria,
berkatMu sungguh luar biasa.
Bapak Bangkit dan Ibu Runding,
cinta dan dukungan kalian tak terhingga.
Lintang dan Christo,
kehadiran kalian sangat membahagiakan.
Terima kasih karena dapat mengenal kalian sebagai
keluarga bahagia.
Terkhusus untuk para suami yang sudah berusaha
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya susun ini tidak
memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam
kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya sebuah karya ilmiah.
Yogyakarta, 16 Juni 2014
Penulis,
vii
PERBEDAAN KEPUASAN PERKAWINAN PADA SUAMI ANTARA YANG MEMILIKI ISTRI BEKERJA DENGAN ISTRI TIDAK BEKERJA
Studi Pada Mahasiswa Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Claudia Nada Pingkan Larasati
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kepuasan perkawinan pada suami antara suami yang memiliki istri bekerja dengan suami yang memiliki istri tidak bekerja. Kepuasan perkawinan terdiri atas aspek-aspek perkawinan, yaitu keuangan, hubungan yang intim, tanggung jawab, interaksi sosial, suasana persahabatan dalam perkawinan, dan komunikasi, serta aspek-aspek kepuasan, yaitu adanya manfaat, tingkat perbandingan harapan, persepsi keadilan, waktu yang dihabiskan bersama, dan konteks situasional. Penelitian ini menggunakan 60 orang, yang terdiri atas 30 suami dengan istri bekerja dan 30 suami dengan istri yang tidak bekerja. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan skala kepuasan perkawinan. Koefisien reliabilitas sebesar 0,979 dan menghasilkan 55 item valid. Hasil yang didapatkan dari data yang diolah dengan menggunakan independent sample t-test adalah 0,385 (p > 0,05). Ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan kepuasan perkawinan pada suami antara suami yang memiliki istri bekerja dengan suami yang memiliki istri tidak bekerja.
viii
THE DIFFERENCE OF MARITAL SATISFACTION BETWEEN
HUSBANDS WHOSE WIVES WORK AND WIVES DOESN’T WORK
Study in Psychology in Sanata Dharma University
Claudia Nada Pingkan Larasati
ABSTRACT
This research aimed to know the difference of marital satisfaction between husbands
whose wives work and wives doesn’t work. Marital satisfaction consist of aspects of marriage,
such us financial, intimate relationship, responsibility, social interaction, companionship in marriage, and communication, and acpects of satisfaction, such us benefit, comparison level of expectation, justice perception, time spent together, and situational context. This research use 60 people, consists of 30 husbands whose wives work and 30 husbands whose wives doesn’t work. The data is taken with scale of marital satisfaction. Reliability coefficient is 0,979 and produce 55 valid item. Result obtained from the data were processed using independent sample t-test is 0,385 (p > 0,05). This shows that there is no difference in marital satisfaction between husbands whose
wives work and wives doesn’t work.
ix
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasisiwa Universitas Sanata Dharma
Nama : Claudia Nada Pingkan Larasati
Nomor Mahasiswa : 099114055
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
Perbedaan Kepuasan Perkawinan Pada Suami Antara Yang Memiliki Istri Bekerja Dengan Istri Tidak Bekerja
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan
kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan,
mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain
untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun
memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal: 16 Juni 2014
Yang menyatakan,
x
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kasih
atas penyertaan, perlindungan, dan kasih-Nya yang melimpah, sehingga penulis
dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik. Skripsi yang berjudul
“Perbedaan Kepuasan Perkawinan Pada Suami Antara Yang Memiliki Istri
Bekerja Dengan Istri Tidak Bekerja” disusun guna memenuhi syarat memperoleh
gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.) di Universitas Sanata Dharma.
Selama pembuatan skripsi ini, penulis sangat menyadari banyak pihak
yang telah membantu dalam berbagai macam hal dan juga dukungan yang telah
diberikan kepada penulis. Oleh karenanya, penulis ingin mengungkapkan rasa
terima kasih yang tak terhingga kepada:
1. Allah Bapa, Allah Putera, dan Allah Roh Kudus atas rahmat yang tak
terhingga dalam membantu penulis menyelesaikan skripsi dengan baik.
2. Bunda Maria yang selalu mendengarkan permohonan anaknya tiada henti.
3. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma.
4. Bapak Agung Santoso, M.A. selaku Dosen Pembimbing Akademik atas
kepedulian, dukungan, dan semangatnya yang besar dalam mendukung
xi
5. Bapak C. Wijoyo Adinugroho, S.Psi., M.Psi. selaku Dosen Pembimbing
Skripsi atas bantuan, masukan, semangat, sharing, kesabaran, perhatian,
dan waktunya dalam mendukung penulis untuk menyelesaikan skripsi.
6. Seluruh dosen yang sudah membantu dan mendukung selama penulis
belajar Psikologi.
7. Seluruh staf Fakultas Psikologi, Mas Gandung, Ibu Nanik, Pak Gie, Mas
Muji, dan Mas Doni, atas segala dukungan dan bantuan, baik dalam hal
administrasi, maupun canda selama masa kuliah.
8. Seluruh Petugas Perpustakaan dan Mitra Perpustakaan yang sudah
menyediakan berbagai macam keperluan terkait sumber-sumber yang
dibutuhkan penulis.
9. Bapak Emanuel Bangkit Dami Arsa dan Ibu Benedecta Runding Irianna
atas cinta, kasih sayang, dukungan, semangat, perhatian, dan doa yang
selalu diberikan kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi.
10.Adik-adik paling alay, yang paling penulis sayang, Petra Agastya Lintang
Sarasati dan Gregorius Christo Dewangga Yudhistira yang selalu
menanyakan kapan selesai skripsinya. Terima kasih atas dukungan dan
semangat yang sudah diberikan kepada penulis.
11.Seluruh keluarga besar Mbah Joko dan Mbah Yatno yang tidak dapat
disebutkan satu persatu, atas doa dan dukungannya.
12.Albertus Hariwangsa Panuluh, atas perhatian, semangat, dukungan, dan
xii
13.Sahabat (yang katanya konco kenthel) Vero, Sherly, Ayu, Ovin, Riri,
Bryan, Gatyo, Putra, untuk persahabatannya sehingga penulis dapat
merasakan bahagia selama mengerjakan skripsi.
14.Teman-Teman P2TKP, Pak Toni, Mbak Thia, Pak Landung, Bu Sari,
Mbak Vista, Feni, Vivin, Novi, Jeanet, Alvia, Martha, Anju, Efrem, Bella,
Lito, Raisa, Rinta, Dara, Marlina, Tuti, atas ilmu yang sudah diberikan
selama penulis bekerja disana.
15.Teman mengerjakan skirpsi di perpustakaan, Rea, Sherly, Vero, Ayu,
Ovin. Terima kasih atas waktunya untuk mau mengerjakan skripsi
bersama.
16.Teman-teman Psikologi angkatan 2009 yang bersama-sama berproses,
belajar dan berjuang.
17.Teman-teman PSM CF 2009 atas dukungan dan semangat yang diberikan
untuk penulis.
18.Gembritz Girls’ Generation, Lala, Listya, Mbak Esti, atas waktu luang
yang sudah kita lakukan, sehingga penulis tidak merasa bosan selama
mengerjakan skripsi.
19.Teman-teman SMA VL angkatan 16, terkhusus untuk Dicsa, Elisa,
Kristya, Chintia atas waktunya untuk kita bermain bersama.
20.Teman-teman yang sudah bersedia membantu penulis menyebarkan skala
penelitian, dan semua pihak yang telah membantu dan mendukung
penulis, baik secara langsung maupun tidak langsung selama proses
xiii
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki kelemahan dan
kekurangan. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan dan sangat terbuka untuk
saran dan kritik yang bersifat membangun bagi skripsi ini. Semoga skripsi ini
dapat bermanfaat bagi semua orang yang membacanya.
Yogyakarta, 16 Juni 2014
Penulis,
xiv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xiv
DAFTAR TABEL...xviii
DAFTAR LAMPIRAN ... xix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penelitian ... 5
D. Manfaat Penelitian ... 6
1. Manfaat Teoritis... 6
2. Manfaat Praktis ... 6
xv
A. Perkawinan ... 7
1. Pengertian Perkawinan ... 7
2. Peran Suami Istri dalam Perkawinan ... 8
3. Tahap Perkembangan Keluarga ... 10
B. Pengertian Kepuasan Perkawinan ... 13
1. Pengertian Kepuasan ... 13
2. Pengertian Kepuasan Perkawinan... 14
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkawinan ... 16
4. Area dalam Perkawinan ... 17
C. Pengertian Bekerja ... 29
1. Pengertian Bekerja ... 29
2. Konsekuensi Istri yang Bekerja ... 30
3. Konsekuensi Istri yang Tidak Bekerja ... 32
D. Pengertian Suami ... 33
1. Pengertian Suami ... 33
2. Harapan Suami Akan Perkawinan ... 34
E. Perbedaan Kepuasan Perkawinan Pada Suami Antara yang Memiliki Istri Bekerja Dengan Istri Tidak Bekerja ... 36
F. Hipotesis ... 39
G. Skema ... 40
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 41
A. Jenis Penelitian ... 41
xvi
1. Variabel Bebas ... 41
2. Variabel Tergantung ... 41
C. Definisi Operasional ... 41
1. Kepuasan Perkawinan ... 41
2. Istri Bekerja dan Istri Tidak Bekerja ... 42
D. Subjek Penelitian ... 42
E. Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 43
1. Metode ... 43
2. Alat Pengumpulan Data ... 43
F. Pengujian Alat Ukur ... 45
1. Validitas ... 46
2. Seleksi Item ... 46
3. Reliabilitas ... 49
G. Metode Analisis Data ... 50
1. Uji Asumsi ... 50
a. Uji Normalitas ... 50
b. Uji Homogenitas Varian ... 50
2. Uji Hipotesis ... 50
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 52
A. Pelaksanaan Penelitian ... 52
B. Deskripsi Subjek Penelitian ... 52
C. Hasil Penelitian ... 54
xvii
a. Uji Normalitas ... 54
b. Uji Homogenitas Varian ... 55
2. Uji Hipotesis ... 56
D. Hasil Tambahan ... 58
E. Pembahasan ... 59
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 65
A. Kesimpulan ... 65
B. Saran ... 65
1. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 65
2. Bagi Calon Pasangan Suami Istri ... 65
DAFTAR PUSTAKA ... 66
xviii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Blue Print Skala Kepuasan Perkawinan ... 44
Tabel 2. Item-Item Skala Kepuasan Perkawinan Sebelum Try Out ... 45
Tabel 3. Item-Item Skala Kepuasan Perkawinan Sesudah Try Out ... 48
Tabel 4. Item-Item Skala Kepuasan Perkawinan Setelah Pengurangan Item .. 49
Tabel 5. Deskripsi Subjek Berdasarkan Usia ... 52
Tabel 6. Deskripsi Subjek Berdasarkan Pekerjaan ... 53
Tabel 7. Deskripsi Subjek Berdasarkan Gaji Tiap Tahun ... 53
Tabel 8. Deskripsi Subjek Berdasarkan Pekerjaan Istri Pada Suami Yang Memiliki Istri Bekerja ... 53
Tabel 9. Deskripsi Subjek Berdasarkan Gaji Istri Pada Suami Yang Memiliki Istri Bekerja ... 54
Tabel 10. Deskripsi Subjek Berdasarkan Jumlah Anak Yang Dimiliki ... 54
Tabel 11. Deskripsi Subjek Berdasarkan Usia Anak Pertama ... 54
Tabel 12. Hasil Uji Normalitas ... 55
Tabel 13. Hasil Uji Homogenitas ... 55
Tabel 14. Hasil Uji Beda Independent-Sample T-test ... 56
Tabel 15. Hasil Mean Empiris Kedua Kelompok ... 57
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Skala Penelitian ... 74
Lampiran 2. Uji Reliabilitas ... 84
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Perkawinan merupakan keinginan bagi kebanyakan manusia. Hal ini
sesuai dengan siklus ataupun fase kehidupan yang akan manusia alami
pada masa dewasa awal (Santrock, 2002). Menurut Hornby (dalam
Walgito, 2010), perkawinan merupakan bersatunya dua orang sebagai
suami istri, yang bertujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari
pengertian yang sudah dipaparkan, maka tujuan dari perkawinan itu sendiri
adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar dapat
mengembangkan kepribadiannya dalam rangka mencapai kesejahteraan,
baik spiritual maupun materiil (Kertamuda, 2009). Kesejahteraan materiil
merupakan salah satu sarana untuk mencapai kesejahteraan dalam sebuah
perkawinan. Salah satu cara keluarga mencapai kesejahteraan yaitu dengan
adanya sebuah tata ekonomi. Pada tatanan tersebut semua anggota
keluarga berhak dan bertanggung jawab dalam mengatur perekonomian
dalam keluarga (Eyre & Eyre,1995).
Menurut Kerkmann dkk. (dalam Dakin & Wampler, 2008), pasangan
yang ada di dalam keluarga. Dalam rangka memenuhi kebutuhan ekonomi
keluarga, baik suami, istri, maupun suami dan istri, harus memiliki sebuah
pekerjaan. Peran utama suami adalah pencari nafkah, sehingga kebanyakan
suami merupakan tulang punggung keluarga (Hermawati, 2007). Pada era
globalisasi saat ini, banyak hal yang semakin berkembang dan salah
satunya adalah wanita. Wanita diperbolehkan melakukan pekerjaan yang
dilakukan oleh pria. Dengan demikian, wanita, dalam hal ini adalah istri,
dapat ikut ambil bagian dalam proses pemenuhan ekonomi keluarga.
Istri memiliki berbagai macam alasan untuk bekerja dan tidak lagi
berperan sebagai ibu rumah tangga. Pada sebuah survey yang dilakukan
oleh majalah Femina, wanita lebih merasa cemas mengenai
masalah-masalah yang berkaitan dengan keuangan dibandingkan dengan pria
(Femina, No. 08/XLI, 2013). Wanita mencemaskan hal tersebut dan ikut
bekerja karena ada banyak hal mengenai masalah rumah tangga yang
memerlukan uang. Selain itu, istri yang bekerja merasa puas karena dapat
memenuhi kebutuhan yang ada pada dirinya sendiri (Aleem & Danish,
2008). Melihat hal tersebut, istri yang bekerja akan memiliki dua peran,
yaitu sebagai ibu rumah tangga dan sebagai wanita karir yang memiliki
pekerjaan di luar rumah. Adanya dua peran tersebut tentu akan
mempengaruhi kehidupan perkawinan mereka, terutama dalam mencapai
kebahagian bersama pasangan.
Tanggung jawab dan permasalahan tentu akan muncul pada istri
tuntutan di dua tempat, yaitu lingkungan rumah dan lingkungan tempat
mereka bekerja (Hashmi dkk., 2007). Istri yang bekerja juga memiliki
kesulitan mengurus kegiatan rumah tangga mereka dibandingkan dengan
istri yang tidak bekerja (Hashmi dkk., 2007). Kesulitan tersebut
dikarenakan berkurangnya waktu yang digunakan istri untuk mengerjakan
tugas ataupun pekerjaan rumah tangga (Guzman, 2000).
Permasalahan yang disebutkan di atas, tentu akan memiliki dampak
bagi pasangan, yaitu suami. Ketika istri yang bekerja merasa stres karena
adanya tuntutan di kedua tempat mereka bekerja, maka muncul efek
negatif pada hubungan keluarga, kesejahteraan psikologis, dan kepuasan
perkawinan (Guzman, 2000). Kesulitan mengurus kegiatan rumah tangga
dirasakan istri yang bekerja karena berkurangnya waktu yang digunakan
untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Dengan demikian waktu yang
digunakan untuk memberi perhatian kepada suami juga ikut berkurang
karena fokus istri akan terbagi pada pekerjaan rumah dan pekerjaan kantor.
Inilah yang membuat suami merasa kurang mendapatkan perhatian dan
afeksi, terutama pada suami yang memiliki istri workaholic (Robinson
dkk., 2006).
Lain halnya dengan istri yang tidak bekerja. Saat istri yang bekerja
merasa kesulitan mengurus pekerjaan rumah tangga, istri yang tidak
bekerja mampu mengurus pekerjaan rumah tangga dengan baik. Hal
tersebut dikarenakan istri yang tidak bekerja fokus pada pekerjaan rumah
kehidupan rumah tangga, dan juga mengasuh anak, akan dilakukan istri
tanpa terganggu pekerjaan di luar pekerjaan rumah. Dengan demikian istri
akan dapat mengusahakan suasana rumah yang nyaman (Gunarsa &
Gunarsa, 2001). Istri yang mampu mengatur kehidupan rumah tangga,
tentu akan dirasakan oleh suami, terutama istri juga dapat memberi
perhatian bagi suami.
Suami tentu akan merasakan dampak dari pengaruh istri yang tidak
bekerja. ketika istri yang tidak bekerja mampu mengatur kelancaran rumah
tangga, tentu dapat membagi waktu antara pekerjaan rumah, mengurus
anak, dan suami. Dengan demikian suami akan merasakan perhatian yang
diberikan oleh istri. Sebagai contoh ketika suami pulang ke rumah sehabis
bekerja, akan ada orang yang menanti di rumah. Hal ini akan membuat
suami merasa diperhatikan oleh istri dan pada akhirnya suami akan merasa
nyaman dan puas dengan kehadiran istri.
Dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa baik suami
dengan istri bekerja maupun suami dengan istri tidak bekerja, memiliki
dampak bagi kepuasan perkawinan. Suami akan merasa kurang memiliki
waktu dengan istri yang bekerja. Istri akan sibuk karena kesulitan
membagi waktu antara tugas dengan pekerjaan rumah tangga. Lain halnya
dengan suami yang memiliki istri tidak bekerja. Suami akan merasa
diperhatikan karena istri dapat mengatur kehidupan berkeluarga tanpa
Salah satu faktor suksesnya sebuah perkawinan adanya rasa saling
ketergantungan satu dengan yang lain (Papalia dkk., 2008). Faktor tersebut
menjelaskan bahwa suami juga memiliki kontribusi dan aspek yang
penting dalam mewujudkan kepuasan perkawinan. Ketika hanya istri yang
diperhatikan dalam sebuah perkawinan, maka hal tersebut akan
menyebabkan ketidakharmonisan di dalam sebuah perkawinan. Cukup
banyak penelitian dilakukan mengenai kepuasan perkawinan pada istri,
tetapi sangat jarang ditemui penelitian mengenai kepuasan perkawinan
pada suami. Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti ingin melihat
kepuasan perkawinan suami dilihat dari suami yang memiliki istri bekerja
dengan suami yang memiliki istri yang tidak bekerja.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan paparan di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah: adakah perbedaan kepuasan perkawinan antara suami
yang memiliki istri bekerja dengan suami yang memiliki istri tidak
bekerja?
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini untuk melihat perbedaan kepuasan perkawinan
antara suami yang memiliki istri bekerja dengan suami yang memiliki istri
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat teoritis dari penelitian ini, diharapkan dapat menambah
pengetahuan baru mengenai kepuasan suami dalam sebuah perkawinan
2. Manfaat praktis dari penelitian ini, diharapkan dapat memberi
informasi bagi suami dan istri, serta konselor di bidang perkawinan
mengenai perbedaan kepuasan suami terhadap istri yang bekerja
dengan istri yang tidak bekerja. Penelitian ini juga diharapkan mampu
memberi informasi bagi orang yang nantinya akan menikah untuk
mempertimbangkan apakah istri akan bekerja atau tidak demi
7
BAB II
DASAR TEORI
A. PERKAWINAN
1. Pengertian Perkawinan
Perkawinan merupakan sebuah peristiwa bersatunya pasangan calon
suami istri. Penyatuan tersebut disaksikan oleh kepala agama tertentu, para
saksi, dan para undangan yang hadir, kemudian disahkan secara resmi dengan
ritual tertentu untuk menjadikan mereka pasangan suami istri (Kartono, 1992).
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1947 Tentang Perkawinan,
penjelasan mengenai perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami isteri. Tujuan dari perkawinan untuk
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa (Walgito, 2010).
Perkawinan adalah sebuah pengakuan persatuan secara hukum yang
bersifat permanen antara laki-laki dan perempuan. Keduanya akan bersatu
secara seksual, bekerja sama memenuhi ekonomi, dan mungkin akan
melahirkan atau mengadopsi, dan mengasuh anak (Strong & Cohen, 2013).
Dari penjelasan di atas, maka definisi dari perkawinan adalah
bersatunya secara hukum pasangan laki-laki dan perempuan sebagai suami
ekonomi, dan mengasuh anak, dengan tujuan membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Peran Suami Istri dalam Perkawinan
Terdapat dua jenis peran dalam perkawinan, yaitu jenis peran dalam
perkawinan tradisional dan jenis peran dalam perkawinan egalitarian (Lemme,
1995). Peran dalam perkawinan tradisional masih berdasarkan stereotip yang
terdapat di masyarakat, sedangkan peran pada perkawinan egalitarian sudah
menjadi lebih demokratik.
Saat ini kebanyakan orang masih merasa bahwa peran suami dalam
keluarga adalah sebagai pencari nafkah atau di luar domestik dan peran istri
adalah sebagai orang yang mengurusi pekerjaan rumah tangga atau pekerjaan
domestik. Anggapan tersebut masih dipercayai karena dipengaruhi oleh
pandangan normatif dan budaya yang berlaku (Ampa, 2011). Ketika istri tidak
bekerja di luar rumah, maka suami tidak ikut membantu pekerjaan rumah
tangga karena ada istri yang mengerjakan pekerjaan tersebut (Supriyantini,
2002). Istri lebih mengurusi kegiatan rumah tangga dan perekonomian yang
ada di dalam rumah tangga (Puspitawati & Fahmi, 2012).
Lain halnya dengan istri yang bekerja di luar rumah. Ketika istri
bekerja di luar rumah, maka suami akan membantu istri untuk mengerjakan
pekerjaan rumah tangga (Supriyantini, 2002). Suami dan istri akan saling
membagi tugas untuk menyelesaikan pekerjaan rumah tangga mereka. Walau
tidak membantu istri dalam mengurusi kegiatan rumah tangga (Sofiani, 2013),
mereka tetap akan membantu istri dalam menyelesaikan pekerjaan rumah
tangga. Keikutsertaan suami dalam kegiatan rumah tangga tersebut tentu
dipengaruhi oleh beberapa hal, salah satunya adalah adanya kekuatan
ekonomi yang dimiliki oleh istri (Muassomah, 2009). Ketika istri memiliki
kekuatan ekonomi yang lebih besar dari suami, maka suami akan membantu
istri untuk mengerjakan pekerjaan domestik.
Melihat hal tersebut, dapat dikatakan bahwa suami masih menganggap
peran di dalam keluarga adalah hal-hal yang berkaitan dengan urusan di luar
domestik, seperti pencari nafkah dan urusan publik (Sofiani, 2013). Peran istri
di dalam keluarga adalah mengenai hal-hal yang berkaitan dengan urusan
domestik (Puspitawati & Fahmi, 2012). Berbeda dengan istri yang bekerja di
luar rumah. Istri akan memiliki dua peran, yaitu sebagai pencari nafkah dan
sebagai ibu rumah tangga yang mengurusi hal-hal domestik (Putrianti, 2007).
Ketika istri ikut bekerja di luar rumah, maka suami juga akan membantu istri
untuk menyelesaikan urusan domestik (Supriyanti, 2002). Mereka akan
membagi tugas untuk dapat menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Bagi
beberapa suami, istri tetap boleh bekerja di luar rumah dan suami akan
membantunya untuk menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, tetapi istri juga
tidak melupakan tugasnya untuk tetap melayani suami (Putrianti, 2007).
Dari penjelasan tersebut, maka peran suami istri dalam perkawinan
perkawinan tradisional dan tipe perkawinan egalitarian. Pada tipe perkawinan
tradisional, peran suami adalah kepala rumah tangga dan bertanggung jawab
atas rumah tangga, sedangkan istri merupakan seseorang yang menjaga
berbagai hal yang ada di dalam rumah. Tipe perkawinan egalitarian adalah
ketika suami dan istri sudah lebih mampu berbagi peran dalam rumah tangga
mereka. Suami dapat membantu istri mengurusi pekerjaan rumah tangga, dan
istri dapat membantu suami mencari nafkah dengan bekerja di luar rumah.
3. Tahap Perkembangan Keluarga
Dalam keluarga terdapat tahap perkembangan sebuah keluarga, yang
mana di setiap tahapnya, masing-masing peran antar suami maupun istri
memiliki permasalahannya sendiri. Terdapat delapan tahap kehidupan
keluarga, menurut Duvall (Lemme, 1995), yaitu:
a. Pasangan Menikah (tanpa anak)
Pasangan akan membangun perkawinan yang memuaskan,
menyesuaikan kehamilan dan perjanjian sebagai orang tua, dan membuat
komunikasi yang lancar.
b. Keluarga yang sedang membesarkan anak (usia anak paling tua adalah
lahir-30 bulan)
Pasangan akan saling memiliki, menyesuaikan, dan mendorong
perkembangan bayi mereka, membangun keluarga yang memuaskan bagi
c. Keluarga dengan anak pra-sekolah (usia anak paling tua adalah 2,5-6
tahun)
Pasangan akan beradaptasi dengan kebutuhan yang mendesak dan
kepentingan anak prasekolah dalam menstimulasi, dan mengatasi turunnya
energi dan kurangnya privasi sebagai orang tua.
d. Keluarga dengan anak sekolah (usia anak paling tua adalah 6-13 tahun)
Pasangan menyesuaikan ke komunitas keluarga usia sekolah dengan
cara yang konstruktif dan mendorong prestasi pendidikan anak-anak.
e. Keluarga dengan remaja (usia anak paling tua adalah 13-20 tahun)
Pasangan berusaha menyeimbangkan kebebasan dengan tanggung
jawab sebagai remaja yang berkembang dan menghargai dirinya, serta
membangun ketertarikan postparental dan karir sebagai orang tua yang
sedang bertumbuh.
f. Keluarga dengan dewasa awal (anak pertama sampai anak terakhir sudah
meninggalkan rumah)
Pasangan akan melepaskan dewasa muda (dalam hal ini adalah anak
mereka) ke dalam pekerjaan, perguruan tinggi, perkawinan, dan
sebagainya, dengan berbagai macam bantuan yang sesuai, dan juga
mempertahankan basis rumah yang mendukung.
g. Orang tua usia pertengahan (sarang kosong sampai retirement)
Pasangan akan membangun ulang hubungan perkawinan, dan
h. Anggota keluarga yang sudah menua (retirement sampai meninggal)
Pasangan akan mengatasi rasa berkabung dan akan hidup sendiri,
menutup rumah keluarga atupun beradaptasi dengan penuaan, dan akan
menyesuaikan diri dengan pensiun.
Jika dilihat dari kedelapan tahapan tersebut, maka tahapan yang akan
digunakan dalam penelitian adalah keluarga dengan anak pra-sekolah. Ini
dikarenakan tahap ini keluarga memiliki permasalahan yang cukup kompleks.
Di tahap ini, kebanyakan para istri ikut bekerja untuk membantu suami
karena kebutuhan finansial yang sangat dibutuhkan keluarga dengan anak
pra-sekolah (Duvall, 1977). Pada tahap ini pula, keluarga sedang berkembang dan
mencoba untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak dalam keluarga dan
kebutuhan anak prasekolah. Biaya untuk membayar sewa atau cicilan rumah,
makanan, baju, rekreasi bersama anak, dan juga kejadian yang tak terduga
tentu sangat dibutuhkan. Anak di usia pra-sekolah juga tidak dapat diprediksi
dan memungkinkan muncul kejadian yang membutuhkan biaya, seperti anak
mendadak sakit atau melakukan suatu hal yang mengakibatkan anak terluka,
dan masih banyak lagi.
Banyaknya biaya yang dibutuhkan akan membuat suami maupun istri
berusaha mencari tambahan finansial untuk kebutuhan keluarga. Tidak hanya
itu, anak usia pra-sekolah memiliki tugas perkembangan. Sebagai contoh,
menguasai kebiasaan makan yang benar, dasar dari toilet trainning,
Dengan begitu, orang tua akan memberi arahan dan perhatian ekstra kepada
anak. Mengasuh anak juga memiliki kesulitan tersendiri (Heaton & Albrecht,
1990), sehingga orang tua akan berusaha memberikan perhatian sebaik
mungkin.
Saat suami istri memiliki fokus bekerja untuk memenuhi kebutuhan
keluarga, mereka juga dihadapkan situasi bahwa mereka memberi perhatian
yang lebih pada anak. Fokus antara bekerja dan memberi perhatian yang lebih
pada anak akan mengakibatkan waktu yang dimiliki untuk suami dan istri
akan berkurang. Suami istri memiliki kesibukan dengan pekerjaannya dan
kesulitan dalam mengasuh ataupun memberi perhatian kepada anak. Hal
inilah yang tentu mempengaruhi kepuasan pada perkawinan mereka.
B. PENGERTIAN KEPUASAN PERKAWINAN 1. Pengertian Kepuasan
Menurut Oliver (dalam Chen & Chen, 2010), kepuasan mengacu pada
perbedaan yang dirasakan antara harapan sebelum melakukan suatu hal
dengan yang dirasakan setelah melakukan. Jika harapan yang diinginkan
ternyata berbeda, maka muncul rasa ketidakpuasan, dan demikian sebaliknya.
Kepuasan juga didefinisikan sebagai sebuah reaksi subjektif (Chaplin
dalam Demers, dkk., 1996). Reaksi subjektif ini muncul dari keadaan yang
Kepuasan merupakan sikap yang positif (Linder-Pelz dalam Demers,
dkk., 1996). Hal tersebut akan mempengaruhi hasil dari faktor sosial
psikologis, termasuk persepsi, evaluasi, dan perbandingan.
Dari penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kepuasan
merupakan reaksi subjektif yang mucul dari keadaan atau harapan yang
dirasakan dan mengarah kepada sikap yang positif.
2. Pengertian Kepuasan Perkawinan
Hendrick dan Hendrick (dalam Haseley, 2006), mendefinisikan
kepuasan perkawinan sebagai pengalaman subjektif seseorang. Kepuasan
tersebut tentu mengenai kebahagiaan yang dirasakannya dan kepuasan dalam
hubungan perkawinan.
Coleman (dalam Prasetya, 2007) menjelaskan bahwa dalam
mendefinisikan kepuasan dalam sebuah perkawinan terdapat tiga cara, yaitu:
a. Evaluasi subjektif
Definisi kepuasan perkawinan ditentukan oleh seseorang yang terlibat
dalam perkawinan tersebut. Dalam menentukan definisi tersebut, seseorang
dapat dipengaruhi oleh latar belakang budaya, media massa, model orang
tua, pengalaman pribadi dengan lawan jenis, dan lain sebagainya.
b. Pertukaran sosial
Definisi kepuasan perkawinan adalah dengan cara membandingkan
sebuah harapan. Perbandingan tersebut merupakan harapan dari sebuah
c. Indeks tertentu
Dalam mendefinisikan kepuasan perkawinan, seseorang melibatkan
beberapa kondisi terkait kepuasan perkawinan itu sendiri. Kondisi seperti
cinta, persahabatan, komunikasi yang terbuka, kematangan emosional, dan
peran seks yang sesuai, cenderung berhubungan dengan kepuasan
perkawinan. Lain dengan kondisi seperti adanya kekerasan, alkoholisme,
kurangnya tujuan hidup bersama, dan komunikasi yang buruk, cenderung
berhubungan dengan ketidakpuasan dalam perkawinan. Dengan demikian,
maka akan memungkinkan terjadinya penilaian yang lebih objektif.
Menurut teori interdependensi, yaitu perspektif yang menganalisis
pola interaksi antara pasangan (Taylor dkk, 2009), terdapat beberapa hal yang
dapat membuat seseorang menjadi puas, yaitu:
a. Manfaat lebih besar dibandingkan dengan kerugian.
Kerugian dianggap sebagai kejadian yang tidak menyenangkan. Ketika
seseorang mendapatkan atau mengalami kerugian, maka ia menjadi tidak
puas dengan adanya hal tersebut.
b. Tingkat perbandingan umum seseorang.
Maksud dari perbandingan adalah bahwa seseorang merasa puas jika
sesuai dengan harapan dan keinginannya. Semakin banyak harapan dan
c. Persepsi keadilan.
Seseorang merasa puas, jika mendapatkan keadilan dalam sebuah
hubungan. Keadilan tersebut merupakan sebuah hubungan yang tidak berat
sebelah antar pasangan.
d. Menghabiskan lebih banyak waktu untuk bersama.
Pasangan cenderung bahagia jika mereka menggunakan waktu mereka
untuk pergi bersama ataupun untuk berbincang-bincang.
e. Konteks situasional.
Beberapa konteks situasional dalam sebuah lingkungan yang
memungkinkan seseorang ataupun pasangan merasa puas ataupun tidak
puas, seperti masalah finansial, pekerjaan, keharusan untuk merawat
anggota keluarga yang sakit, dan berbagai macam sumber lainnya.
Dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kepuasan
perkawinan merupakan pengalaman subjektif dari salah seorang pasangan
terhadap pasangannya, berupa perasaan bahagia, nyaman, sejahtera, dan
gembira di dalam berbagai konteks situasional. Ini dikarenakan pasangan
merasakan adanya manfaat yang lebih besar dari pasangannya, terpenuhinya
harapan, adanya keadilan dalam hubungan, dan memiliki waktu untuk
bersama-sama.
3. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Perkawinan
Dalam penelitiannya, Pujiastuti dan Retnowati (2004) menemukan
a. Tingkat Pendidikan
Pendidikan dapat memperluas wawasan, pengetahuan, dan sudut
pandang (Wright, 1993: Culbertson, 1997 dalam Pujiastuti &
Retnowati, 2004). Dengan demikian seseorang mampu mencari
solusi bagi masalah yang dihadapi. Tingkat pendidikan juga
mempengaruhi pola pikir dan motivasi seseorang dalam meraih
kebahagian dalam perkawinannya.
b. Jumlah Anak
Semakin banyak anak dalam keluarga, maka permasalahan dan
stres mengenai pemeiharaan dan pendidikan bagi anak akan lebih
besar, dibanding keluarga yang memiliki sedikit anak (Blood &
Wolfe, 1960: Long, 1984 dalam Pujiastuti & Retnowati, 2004).
c. Usia Perkawinan
Menurut Duvall (1977), usia perkawinan mempengaruhi kepuasan
dalam perkawinan. Semakin lama pasangan hidup bersama,
pasangan akan mengerti sifat pasangannya satu sama lain,
sehingga mudah untuk menerima keadaan satu sama lain.
4. Area dalam Perkawinan
Menurut Clements (1967), area interaksi dalam sebuah hubungan
a. Afeksi
Afeksi merupakan unsur dari perasaan dan emosi dari sebuah
pengalaman dari seseorang (Drever, 1986). Afeksi merupakan
perasaan mendalam, yang dimiliki pasangan suami istri (Gunarsa,
2002). Memberi perhatian dan kehangatan satu sama lain
merupakan salah satu perilaku yang muncul dalam pemberian
afeksi (Clements, 1967).
b. Komunikasi
Komunikasi merupakan hal penting dalam sebuah perkawinan
(Burleson & Denton, 1997). Munculnya permasalahan dan
kesulitan dalam menyelesaikan permasalahan merupakan salah
satu kurangnya kemampuan pasangan dalam berkomunikasi.
Selain dalam hal berbicara, kemampuan mendengarkan juga
termasuk dalam berkomunikasi (Clements, 1967).
c. Keuangan
Masalah finansial juga merupakan hal penting dalam kepuasan
perkawinan (Dakin & Wampler, 2008). Suami istri akan berusaha
untuk mengumpulkan uang karena uang merupakan sumber
ekonomi yang penting bagi rumah tangga. Hal tersebut dapat
dilihat seperti banyaknya keperluan rumah tangga yang dibutuhkan
d. Tanggung jawab
Dalam perkawinan, suami istri memiliki tanggung jawab
masing-masing. Suami bertanggung jawab untuk mendukung istri dan
anak-anak (Duvall, 1977). Istri diharapkan bertanggung jawab atas
keadaan rumah tangga, menyediakan makanan untuk keseharian,
dan memperhatikan anak-anak dan anggota keluarga lainnya yang
ada di dalam rumah mereka. Dalam melakukan tanggung jawab,
baik istri maupun suami juga saling membutuhkan dukungan,
seperti saling membantu dalam mengatur pekerjaan rumah tangga.
e. Seks
Kegiatan seksual melibatkan dua individu yang memiliki sikap
dewasa terhadap seks dan tidak memandang seks sebagai aktivitas
yang mengisolasi area-area lain dalam hubungan mereka (Firestone
dkk., 2006). Mereka memandang seks sebagai pemenuhan dari
bagian hidup dan peluang untuk memberi dan merasakan kepuasan
bagi pasangan dan diri mereka sendiri. Hubungan seksualitas tidak
hanya melakukan kegiatan seksual saja. Dalam menjalin hubungan
seksual, pasangan harus sadar terhadap peran penting hubungan
seksual bagi kehidupan mereka.
f. Pengertian
Pengertian dalam hal ini merupakan bagaimana pasangan suami
suami istri saling mengerti dalam hal perasaan, pikiran, masalah
yang dimiliki pasangan, dan lainnya.
Dalam membangun kehidupan perkawinan yang baik, kedua pasangan
harus mampu bernegosiasi dan menyelesaikan permasalahan yang timbul
dalam rumah tangga. Menurut Bagarozzi (dalam Piercy dkk., 1986), terdapat
8 area kehidupan dalam perkawinan pada pasangan suami istri, yaitu:
a. Peran perkawinan dan tugas
Peran dalam perkawinan merupakan sebuah timbal balik (Duvall,
1977). Setiap pasangan memiliki hak dan tanggung jawab yang
dibutuhkan bagi kelanjutan hidup perkawinannya. Pasangan
memperhatikan performansi ketika mengerjakan tugas
masing-masing, memberi hadiah berupa penghargaan dalam setiap tugas
yang dilakukan, seperti ucapan terima kasih, ucapan rasa puas
terhadap masakan yang dibuat, dan hukuman karena sebuah
kelalaian.
b. Pengelolaan keuangan dan pengambilan keputusan keuangan
Dalam mengelola keuangan dalam rumah tangga, besar kecilnya
penghasilan yang dihasilkan suami dan istri akan mempengaruhi
kekuatan dalam perkawinan (Cheal, 2002). Pasangan yang
menghasilkan lebih banyak uang, biasanya akan lebih banyak
c. Agama dan praktek keagamaan
Agama memiliki pengaruh yang kuat pada kualitas perkawinan
(Fincham & Beach, 2010). Agama dapat menyucikan hubungan
dengan adanya ritual dan kepercayaan yang memberkati
perkawinan. Keterlibatan agama dapat meningkatkan pemecahan
suatu masalah dan membantu memajukan tingkat kebaikan dalam
perkawinan. Suami dan istri juga akan mendapat keuntungan
ketika mereka menganut agama dan kepercayaan yang sama.
d. Hubungan seksual dan kegiatan seksual
Dalam melakukan kegiatan seksual, suami istri sadar, baik dalam
segi emosi maupun psikologis (Firestone dkk., 2006). Saat
berhubungan seksual, suami istri secara penuh sadar bahwa mereka
berhubungan seksual berdasarkan keinginan mereka berdua dan
bukan berdasarkan paksaan dari pihak manapun. Pasangan suami
istri juga memiliki keinginan yang besar, menikmati setiap kontak
fisik, merasakan kegembiraan dalam melakukan kegiatan seksual.
e. Anak-anak dan praktek membesarkan anak
Kedatangan anak menyebabkan keuntungan secara emosional bagi
orang tua (Cusinato dalam L’Abate, 1994). Hal tersebut
dikarenakan anak memberikan perasaan yang membangun dan
kepuasan bagi orang tua. Pada saat ini, praktek membesarkan anak
ini orang tua sudah mampu berbagi bobot untuk membesarkan
anak. Istri, yang pada zaman dahulu merupakan orang yang
bertanggung jawab sepenuhnya dalam hal membesarkan anak, saat
ini sudah berubah. Suami dan istri sekarang berusaha untuk
membagi tugas dalam bertanggung jawab membesarkan anak.
f. Mertua dan hubungan antargenerasi
Adanya hubungan antara suami istri dengan mertua dan
saudara-saudara mereka dapat membuat suami dan istri merasa terbantu. Ini
dikarenakan dengan adanya mertua, saudara kandung dari kedua
belah pihak, dapat membantu atau mendukung mengasuh
anak-anak mereka, ketika mereka membutuhkan bantuan (Lemme,
1995). Tidak hanya itu, dengan kehadiran mertua, orang tua, atau
saudara kandung, suami istri dapat menerima bantuan dalam
bentuk dukungan sosial dan psikologis ketika suami atau sitri
memiliki masalah. Orang tua, mertua, atau saudara dapat
membantu mereka dengan memberikan nasehat atau yang lainnya.
g. Persahabatan dan hubungan interpersonal di luar perkawinan
Adanya persahabatan ataupun hubungan interpersonal di luar
perkawinan, seperti bergaul dengan tetangga, teman kerja, dan
lainnya, dapat membantu pasangan suami istri dalam menjalani
kehidupan rumah tangga. Dengan adanya hubungan dengan
bantuan, bekerja sama dalam mencapai tujuan (Westhauser, 1994).
Sebagai contoh ketika suami istri memiliki permasalahan dengan
keluarga, pasangan suami istri dapat meminta bantuan dari sahabat,
tetangga, ataupun rekan mereka yang lainnya.
h. Rekreasi
Walau suami dan istri memiliki kehidupan yang sibuk dengan
urusan rumah tangga, mereka juga harus tetap mempunyai waktu
untuk menikmati bermain bersama (Haddock dkk., 2001). Bermain
bersama ataupun rekreasi berarti bersantai, menikmati hidup,
berbagi satu sama lain secara emosional, dan membuat
keseimbangan atas munculnya stres yang dialami akibat tanggung
jawab yang dilakukan oleh suami istri.
Setelah dilakukan sebuah penelitian untuk melihat area dalam
hubungan perkawinan, maka menurut Burr (1970) terdapat 6 area, yaitu:
a. Cara menangani keuangan
Dalam rumah tangga, suami istri dapat mengatur keuangan dalam
rumah tangga. Pasangan yang satu menggunakan uang untuk
membeli barang-barang keseharian, seperti makanan ataupun
keperluan rumah tangga. Pasangan yang lain akan memutuskan
berapa banyak uang yang akan digunakan untuk membeli
b. Aktivitas sosial pasangan
Aktivitas sosial dilakukan oleh pasangan dalam rangka memenuhi
kebutuhan, baik secara emosi maupun dukungan materi, bagi
keluarga mereka (Cheal, 2002). Dengan pasangan melakukan
berbagai macam aktivitas sosial, baik dengan teman, tetangga, dan
lainnya, pasangan akan mendapatkan hubungan yang baik dengan
mereka. Hal tersebut akan berdampak baik bagi kehidupan
keluarga mereka. Ketika pasangan memiliki masalah, pasangan
dapat meminta bantuan dari teman, tetangga, ataupun yang lain.
c. Cara pasangan melakukan pekerjaan atau tugas rumah tangga
Pekerjaan rumah tangga tidak hanya mengenai urusan mengenai
rumah, tetapi juga tanggungan dalam memiliki anak (Baxter dkk.,
2008). Walaupun memiliki tanggung jawab yang berbeda, suami
dan istri dapat secara bergantian melakukan pekerjaan atau tugas
rumah tangga (Duvall, 1977). Ketika suami melakukan pekerjaan
rumah tangga, istri dapat membantunya dengan cara melihat hasil
dari pekerjaan rumah dan lain sebagainya.
d. Persahabatan dalam perkawinan
Persahabatan dalam perkawinan dapat didefinisikan sebagai
pasangan secara sukarela berbagi berbagai macam aktivitas (Palisi,
1972), dan dapat berbagi mengenai hal-hal domestik, yaitu
mengenai perasaan dan pikiran satu sama lain (Locksley, 1980).
e. Interaksi sosial
Interaksi sosial, menurut Carstensen (dalam Papalia dkk., 2009),
memiliki tiga tujuan utama, yaitu sebagai sumber informasi,
membantu seseorang mengembangkan dan mempertahankan
kesadaran diri, dan sebagai sumber kenikmatan dan kenyamanan,
maupun kesejahteraan emosional.
f. Hubungan dengan anak-anak
Dalam berhubungan dengan anak, orang tua tentu diharapkan
mampu memberi perhatian kepada anak-anaknya. Menurut Lamb
(dalam McBride dkk., 2002), terdapat 3 konsep keterlibatan orang
tua dalam berhubungan dengan anak. Pertama adalah interaksi,
yang berarti orang tua berinteraksi bersama dengan anak dalam
berbagai aktivitas, seperti bermain bersama, memberi makan anak,
dan lain sebagainya. Kedua yaitu aksesibilitas, yang berarti orang
tua secara fisik dan psikologis ada untuk anak. Ketiga yaitu
tanggung jawab, yang berarti orang tua bertanggung jawab
terhadap kesejahteraan, seperti membuat perencanaan untuk masa
Dalam perkawinan terdapat beberapa area yang penting bagi suami
dan istri, yang akan dikerjakan bersama-sama demi tujuan dalam perkawinan.
Dari beberapa area yang sudah dijabarkan, maka dapat disimpulkan bahwa
area yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri atas 6 area, yaitu:
a. Keuangan
Area ini terdiri atas cara pasangan suami istri dalam mengelola,
menggunakan, dan mengambil keputusan berkaitan dengan
keuangan dalam keluarga. Suami istri akan berusaha untuk
mengumpulkan uang karena uang merupakan sumber ekonomi
yang penting bagi rumah tangga. Pasangan yang menghasilkan
lebih banyak uang, biasanya akan lebih banyak mengatur
bagaimana uang tersebut akan disimpan.
b. Hubungan yang intim
Area ini berkaitan dengan hubungan dan praktek seksual pada
pasangan suami istri, serta adanya afeksi dalam hubungan tersebut.
Kegiatan seksual melibatkan dua individu yang memiliki sikap
dewasa terhadap seks dan memiliki perasaan mendalam. Pasangan
suami istri memandang seks sebagai pemenuhan dari bagian hidup
dan peluang untuk memberi dan merasakan kepuasan bagi
pasangan dan diri mereka sendiri. Dalam kegiatan seksual,
pasangan memiliki keinginan yang besar, menikmati setiap kontak
Dalam hubungan yang intim, pasangan suami istri juga mampu
memberi perhatian dan kehangatan satu sama lain.
c. Tanggung jawab
Area ini terdiri atas pembagian tugas atau pekerjaan rumah tangga
pada suami istri, termasuk dalam mengurus anak. Suami dan istri
bertanggung jawab atas satu sama lain, keadaan rumah tangga, dan
anak-anak. Dalam melakukan pekerjaan rumah tangga, suami dan
istri membutuhkan dukungan, saling membantu dalam mengatur
pekerjaan rumah tangga dan mengurus anak. Pasangan diharapkan
mampu memberi perhatian pada anak, seperti berinteraksi bersama
anak dalam berbagai aktivitas, secara fisik dan psikologis ada
untuk anak, dan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan anak,
seperti membuat perencanaan untuk masa depan anak, dan
mengetahui ketika anak membutuhkan sesuatu.
d. Interaksi sosial
Area ini mengenai hubungan sosial pada suami istri dengan orang
lain di luar rumah, baik dengan tetangga, teman dekat suami dan
istri, mertua, maupun saudara. Tujuan interaksi sosial yaitu sebagai
sumber informasi, membantu mengembangkan dan
mempertahankan kesadaran diri, dan sebagai sumber kenikmatan
dan kenyamanan, maupun kesejahteraan emosional. Pasangan
kebutuhan keluarga, baik secara emosi maupun dukungan materi
(Cheal, 2002). Dengan adanya hubungan tersebut, pasangan suami
istri dapat meminta bantuan, bekerja sama dalam mencapai tujuan
seperti membantu mengasuh anak-anak mereka dan dapat
menerima bantuan dalam bentuk dukungan sosial dan psikologis.
e. Suasana persahabatan dalam perkawinan
Area ini terdiri atas rasa saling mengerti dan adanya rekreasi pada
suami istri. Pasangan secara sukarela berbagi berbagai macam
aktivitas dan dapat berbagi mengenai hal-hal domestik, yaitu
mengenai perasaan dan pikiran. Pasangan suami istri saling
mengerti dalam hal perasaan, pikiran, masalah yang dimiliki
pasangan, dan lainnya. Bermain bersama atau rekreasi berarti
bersantai, menikmati hidup, dan saling berbagi secara emosional.
f. Komunikasi
Area ini terdiri atas kemampuan pasangan untuk berkomunikasi
satu sama lain dan kemampuan mendengarkan. Pasangan suami
istri berkomunikasi, baik untuk menyampaikan sebuah
permasalahan maupun untuk menyelesaikan permasalahan, dengan
mencari jalan keluar. Munculnya permasalahan dan kesulitan
dalam menyelesaikan permasalahan merupakan salah satu
C. PENGERTIAN BEKERJA 1. Pengertian Bekerja
Pada dasarnya bekerja memiliki pengertian yang berbeda-beda pada
masing-masing orang, dan hal tersebut dikarenakan adanya tujuan yang
berbeda tiap orang dalam memperoleh pekerjaan. Concise Oxford Dictionary
(dalam Statt, 1994), mendefinisikan bekerja sebagai sebuah bentuk
pengeluaran energi, perjuangan, pengaplikasian usaha ataupun tenaga untuk
sebuah tujuan.
Bekerja merupakan sebuah kegiatan yang dilakukan seseorang untuk
menghasilkan suatu produk dan mereka akan diberikan bayaran atau upah atas
pekerjaan yang telah mereka lakukan (Cairns & Malloch, 2008). Bayaran atau
upah yang diterima, menurut Taylor (dalam Statt, 1994), merupakan salah
satu hal yang dapat memotivasi seseorang dalam bekerja dan dengan
demikian mereka mampu mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Kegiatan yang dilakukan tersebut juga dikerjakan di tempat yang
berbeda dari rumah mereka, sehingga mereka akan pergi dari rumah untuk
pergi ke tempat mereka bekerja (Cairns & Malloch, 2008). Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa tempat bekerja berada di luar rumah dan tempat untuk
bekerja biasanya seperti pabrik maupun kantor.
Hal penting lainnya dalam bekerja adalah waktu atau jam kerja yang
digunakan untuk bekerja (Schultz & Schultz, 2010). Ini dikarenakan waktu
dan juga digunakan untuk melihat produktivitas dari seseorang dalam bekerja
(Statt, 1994). Waktu yang biasanya digunakan dalam bekerja sekitar 40 jam
per minggu dalam lima hari, atau sekitar 8-10 jam setiap harinya (Schultz &
Schultz, 2010).
Dari penjelasan di atas, maka dapat dikatakan bahwa bekerja
merupakan sebuah pengaplikasian usaha maupun tenaga yang dilakukan di
sebuah tempat atau lokasi kerja dan dibatasi oleh jam kerja antara 8-10 jam,
serta diikuti dengan adanya pemberian upah atau bayaran sebagai imbal balik
tenaga yang digunakan.
2. Konsekuensi Istri yang Bekerja
Kebanyakan wanita saat ini memiliki peran istri, ibu dan salah satu
lagi adalah pencari nafkah (Feldman, 2012). Istri yang bekerja memiliki dua
pekerjaan sekaligus dan bertanggung jawab atas keduanya, yaitu bekerja di
kantor, pertokoan, ataupun pabrik dan di rumah (Schultz & Schultz, 2010).
Dengan demikian istri akan memiliki beragam konsekuensi, baik positif
maupun negatif, berkaitan dengan tanggung jawab yang diambilnya.
Istri yang bekerja, memiliki berbagai macam keuntungan dan kerugian
bagi dirinya sendiri, maupun keluarganya (Thompson & Walker, 1989;
Zedeck & Mosier, 1990 dalam Santrock, 2002). Beberapa keuntungan yang
akan didapatkan yaitu dalam hal keuangan. Dengan istri bekerja, maka
keluarga memiliki penghasilan tambahan dan hal ini akan membuat suami
(Papalia dkk., 2008). Istri juga mendapatkan hubungan yang lebih setara
dengan suami dan juga mampu meningkatkan rasa harga diri bagi para istri.
Adanya hubungan tersebut maka relasi suami dengan istri akan semakin dekat
(Papalia dkk., 2008).
Beberapa kerugian yang akan dirasakan oleh para istri yang bekerja
antara lain, adanya tuntutan waktu dan tenaga tambahan. Ketika istri bekerja,
maka suami dan istri akan saling menuntut dalam menyelesaikan pekerjaan
rumah tangga, terutama ketika memiliki anak kecil (Papalia dkk., 2008).
Konflik dalam hal pekerjaan dan keluarga juga mempengaruhi kehidupan
perkawinan. Ketika istri merasa lelah dengan pekerjaannya, baik pekerjaan
kantor maupun pekerjaan rumah tangga, suami akan kurang mendapatkan
perhatian lebih yang dinginkan. Pemenuhan kebutuhan pada anak juga akan
dirasa kurang pada istri yang bekerja (Papalia dkk., 2008). Perhatian yang
dibutuhkan oleh anak akan kurang dapat diberikan oleh istri karena istri sibuk
menangani masalah, baik pekerjaan kantor maupun pekerjaan rumah tangga.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa konsekuensi positif yang
akan didapatkan oleh istri yang bekerja antara lain hal keuangan, hubungan
yang didapat dari suami lebih setara, dan juga peningkatan rasa harga diri. Di
sisi lain, konsekuensi negatif yang akan diterima oleh istri yang bekerja antara
lain, adanya tuntutan waktu dan tenaga tambahan, konflik dalam hal pekerjaan
3. Konsekuensi Istri yang Tidak Bekerja
Banyak masyarakat dan kebanyakan istri saat ini masih menganggap
bahwa pekerjaan istri adalah hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan rumah
dan pengasuhan anak (Taylor dkk, 2009). Hal inilah yang membuat beberapa
istri memilih untuk tidak bekerja di luar rumah. Istri yang memilih menjadi
ibu rumah tangga, tentu juga memiliki tanggung jawabnya tersendiri. Adanya
tanggung jawab tersebut akan membuat berbagai macam konsekuensi positif
dan negatif, baik bagi dirinya maupun suami.
Konsekuensi positif berkaitan dengan kenyamanan dalam kehidupan
keluarga. Istri sebagai ibu rumah tangga, memiliki tugas untuk mengatur
seluruh kehidupan dan kelancaran rumah tangga. Adanya seseorang yang
mampu mengatur kehidupan rumah tangga, maka suami akan merasakan
kelancaran dalam sebuah rumah tangga. Istri juga mampu mengurus anak,
sehingga suami tidak akan kesulitan dalam mengatur dan mengasuh anak. Istri
mengusahakan suasana rumah yang nyaman (Gunarsa & Gunarsa, 2001).
Dengan demikian, istri mampu mengatur rumah tangga dengan baik, sehingga
istri dapat memberikan kenyamanan bagi keluarga, terutama perhatian bagi
suami.
Konsekuensi negatif yang dirasakan istri seperti rasa jenuh dan lelah
yang dirasakan akibat pekerjaan rutin yang monoton. Rasa jenuh ketika
memiliki rutinitas yang monoton ini dapat membuat istri merasa lelah akibat
mengikuti perubahan dan perkembangan lingkungan yang ada di luar rumah.
Mereka seolah-olah hanya mengetahui permasalahan yang ada di sekitar
rumah dan anak-anak saja (Gunarsa & Gunarsa, 1990). Selain itu, istri yang
tidak bekerja tidak mampu berkontribusi dalam hal finansial (Hu dkk., 2010).
Hal tersebut dapat menyebabkan kualitas hubungan antar suami istri menjadi
berkurang.
Dari penjabaran di atas, maka dapat disimpulkan bahwa konsekuensi
positif dari istri yang tidak bekerja antara lain dapat mengatur seluruh
kehidupan dan kelancaran rumah tangga, serta mengatur dan mengusahakan
suasana rumah yang nyaman. Konsekuensi negatif yang akan dialami oleh
istri yang tidak bekerja antara lain rasa jenuh dan lelah akibat pekerjaan rutin
yang monoton, dan kurang dapat mengikuti perubahan dan perkembangan
lingkungan yang ada di luar rumah. Ini menyebabkan perbedaan
perkembangan kehidupan psikis antar istri dengan suami, terutama dalam
komunikasi. Istri juga tidak mampu membantu suami dalam permasalahan
finansial.
D. PENGERTIAN SUAMI 1. Pengertian Suami
Dalam sebuah perkawinan tradisional, suami merupakan seseorang
yang akan menjadi dominan di dalam keluarga dan secara langsung akan
dikatakan bahwa pria seharusnya yang menjadi pemimpin di rumah, maupun
di dalam masyarakat (Taylor dkk., 2009). Dengan demikian, suami akan
menjadi pemimpin di dalam kehidupan berumah tangga, sekaligus menjadi
seseorang yang bertanggung jawab atas segala pekerjaan yang berada di luar
rumah, seperti menjadi tulang punggung keluarga. Suami juga dianggap
sebagai pelindung dan tokoh otoritas yang ada di dalam keluarga (Gunarsa &
Gunarsa, 2001).
Jika suami merupakan tulang punggung keluarga, maka suami akan
lebih banyak melakukan pekerjaan ataupun kegiatan di luar rumah. Ini
menyebabkan suami akan mengalami proses hidup yang cenderung dinamis,
tetapi kurang dapat mengikuti perkembangan yang ada di dalam rumah atau
keadaan keluarga (Gunarsa & Gunarsa, 1990).
Dari penjabaran tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa suami
merupakan kepala rumah tangga dalam sebuah keluarga yang memiliki
tanggung jawab atas perekonomian dan perkembangan di dalam keluarga.
2. Harapan Suami Akan Perkawinan
Menurut penelitian yang dikakukan oleh Gaunt (2006), suami akan
semakin merasa lebih puas akan perkawinannya jika sifat, nilai-nilai, dan
perilaku atau sikap pasangannya semakin sama dengan dirinya. Hal ini
menunjukkan suami menginginkan atau mengharapkan pasangan yang sesuai
harapan suami, maka tentu suami akan merasa puas, tidak hanya dengan
pasangannya, tetapi tentu saja dengan perkawinannya.
Dalam sebuah rumah tangga, walaupun istri memiliki pekerjaan, suami
tetap menghargai hal tersebut, tetapi suami tetap merasa kehilangan ‘pelayan’
yang seharusnya mengurusi keperluan rumah tangga (Santrock, 2002).
Kebanyakan para suami lebih suka memiliki istri yang berada di rumah
sepenuhnya untuk mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan rumah tangga.
Adanya peningkatan tugas dalam rumah tangga yang dibagikan kepada suami,
juga menyebabkan suami merasa tidak puas dengan perkawinannya (Amato
dkk., dalam Papalia dkk., 2009).
Tugas para suami yang lebih banyak berada di luar, dibandingkan di
dalam rumah, membuat para suami merasa kehilangan waktu bersama
keluarga. Ketika istri hanya mengurus rumah tangga saja dan tidak bekerja di
luar, maka suami dapat meminta istri mereka untuk memberitahukan berbagai
kejadian yang ada di dalam rumah (Gunarsa, 1990).
Para suami sangat menyandarkan dirinya dan juga mempercayai
pasangannya, yaitu istri, dalam hal dukungan sosial (Cutrona, 1996). Selain
itu, suami juga sangat bergantung pada kehidupan perkawinannya untuk
mencapai kesejahteraan. Ini disebabkan oleh kurangnya rasa percaya yang
dimiliki oleh para suami bahwa mereka mempunyai orang lain dalam
memberikan dukungan dan mereka hanya bergantung kepada istri mereka.
menguntungkan, walau mereka belum tentu bahagia dengan perkawinan
mereka (Brannon, 1996).
Salah satu hal yang dapat membuat seseorang merasa puas adalah jika
harapan yang diinginkan sesuai dengan kenyataan. Dalam sebuah perkawinan,
suami memliki harapan, antara lain bahwa istri mereka memiliki nilai-nilai,
sifat, maupun harapan-harapan yang sama dengan diri mereka. Bagi suami,
dalam rumah tangga, istri mengurusi keperluan rumah tangga, pemberi
dukungan sosial bagi suami, dan lain sebagainya. Dengan demikian ketika
istri memiliki harapan ataupun keinginan yang sama dengan suami, maka
suami akan puas dengan perkawinannya.
E. PERBEDAAN KEPUASAN PERKAWINAN PADA SUAMI ANTARA YANG MEMILIKI ISTRI BEKERJA DENGAN ISTRI TIDAK BEKERJA
Keluarga dengan anak pra-sekolah memiliki beragam permasalahan bagi
suami dan istri. Pada tahap ini, anak memiliki tugas perkembangan diantaranya,
kemampuan untuk menguasai kebiasaan makan yang benar, dasar dari toilet
trainning, mengembangkan kemampuan fisik dan lain sebagainya (Duvall, 1977).
Adanya tugas perkembangan tersebut, orang tua memiliki tugas yang penting
untuk mengasuh dan memberi perhatian lebih pada anak. Jika orang tua sibuk
mengasuh dan memberi perhatian kepada anak, maka waktu yang digunakan
Pasangan juga akan berusaha untuk beradaptasi dengan adanya kebutuhan
yang mendesak dan kepentingan anak pra-sekolah, sehingga orang tua mencoba
untuk memenuhi keperluan dari anak usia pra-sekolah (Duvall, 1977). Usaha
suami dan istri untuk memenuhi kebutuhan tersebut dilakukan karena pada tahap
tersebut anak berada pada tahap tumbuh dan berkembang, sehingga orang tua
berusaha memfasilitasi kebutuhan anak, seperti makanan, rekreasi bersama anak,
bahkan ketika anak sedang sakit. Banyaknya kebutuhan yang harus dipenuhi,
membuat orang tua berusaha mencari penghasilan agar mampu memfasilitasi
kebutuhan anak. Tercapainya kesejahteraan materiil merupakan salah satu sarana
untuk mencapai tujuan perkawinan (Kertamuda, 2009), dengan demikian suami
istri diharapkan mampu bekerja sama dan bertanggung jawab atas perekonomian
yang ada di dalam keluarga.
Dalam memenuhi kebutuhan keluarga, terkadang istri juga ikut membantu
suami untuk mencari tambahan penghasilan. Keikutsertaan istri tersebut membuat
istri memiliki peran ganda dalam keluarga. Pada istri yang bekerja, suami akan
turut membantu istri untuk menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, terutama pada
keluarga yang memiliki anak usia pra-sekolah. Walau harapan suami mengenai
istri adalah sebagai seseorang yang mengurusi keperluan rumah tangga, tetapi
ketika istri sibuk mengurusi rumah, suami mungkin akan membantu istri untuk
mengawasi anak. Suami dan istri akan berbagi tugas pekerjaan rumah tangga jika
istri kesulitan untuk menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Ini menunjukkan
perkawinan egalitarian. Pada tipe tersebut, suami dan istri sudah mampu membagi
perannya saat mengurus pekerjaan rumah tangga.
Berbeda dengan istri yang tidak bekerja, yang hanya befokus pada pekerjaan
rumah tangga. Istri yang tidak bekerja tidak membantu suami dalam hal finansial,
tetapi membantu suami dalam mengurusi pekerjaan rumah tangga. Istri dapat
fokus mengawasi dan merawat anak, mengatur keuangan rumah tangga, serta
membereskan pekerjaan yang ada di rumah. Hal ini menunjukkan bahwa peran
yang digunakan pada suami dan istri yang tidak bekerja adalah tipe perkawinan
tradisional. Suami dan istri pada tipe ini masih berdasarkan pada pandangan
normatif dan budaya yang berlaku. Suami merupakan orang yang bertanggung
jawab atas pekerjaan di luar domestik, seperti pencari nafkah, dan istri adalah
seseorang yang bertanggung jawab atas keadaan rumah tangga.
Dari kedua tipe perkawinan tersebut, tentu akan memberikan dampak bagi
suami. Pada istri yang memilih untuk ikut bekerja, maka terdapat tanggung jawab
ganda yang berbeda pada tiap perannya. Ketika istri yang bekerja merasa terbebani
dengan tuntutan waktu dan pekerjaan, maka istri akan menjadi stres dan lelah,
terutama dengan adanya anak usia pra-sekolah yang juga masih membutuhkan
perhatian. Keadaan istri tersebut tentu akan menggangu hubungan dengan suami
jika sedang berada di rumah. Selain adanya pekerjaan rumah tangga, istri juga
dituntut untuk mengasuh anak. Waktu yang digunakan oleh suami istri juga akan
berkurang karena kesibukan istri yang mengurus pekerjaan kantor dan rumah
Pada istri yang tidak bekerja, mampu mengatur dan mengusahakan suasana
rumah yang nyaman. Istri juga akan fokus dengan pekerjaan rumah tangga dan
segala kehidupan yang ada di dalam keluarga. Dengan demikian, istri mampu
mengurus tugas rumah tangga dan perkembangan anak dengan baik, karena istri
hanya bekerja di rumah. Jika demikian, suami akan merasa bahwa istri mampu
mengatasi pekerjaan rumah dan mengurus perkembangan anak. Suami juga akan
merasa diperhatikan karena istri mampu mengatur tugas rumah tangga dan anak.
Suami sangat menyandarkan dirinya kepada istri (Cutrona, 1996). Harapan
suami akan perkawinannya adalah bahwa istri memiliki nilai-nilai dan harapan
yang sama seperti suami (Gaunt, 2006). Suami yang memiliki istri bekerja tentu
akan merasa tidak puas karena istri kurang dapat memberikan perhatian kepada
suami. Pada suami yang memiliki istri tidak bekerja, tentu akan merasa puas
dengan perkawinanya karena istri mampu mengurus keperluan rumah tangga dan
memberi dukungan kepada suami. Pada akhirnya, penelitian ini diharapkan dapat
mengetahui adanya perbedaan kepuasan pada suami, baik suami yang memiliki
istri bekerja maupun suami yang memiliki istri tidak bekerja.
F. HIPOTESIS
Dari uraian di atas, maka hipotesis peneliti adalah terdapat perbedaan
kepuasan perkawinan antara suami yang memiliki istri bekerja dengan suami yang