ANALISIS POTENSI DAN DEGRADASI SUMBERDAYA PERIKANAN CUMI-CUMI
(Urotheutis chinensis) KABUPATEN BANGKA SELATAN
Analysis of Potential and Degradation of Squid Fishery Resources in Rengency of South Bangka Kurniawan1)
1)
Staff Pengajar Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan FPPB Universitas Bangka Belitung; Email: awal.rizka@yahoo.com
Abstrak
Populasi cumi-cumi di perairan Kabupaten Bangka Selatan semakin hari kian terancam keberadaanya, mengingat intensitas pencemaran akibat aktivitas pertambangan timah di laut. Hal ini sangat berpengaruh terhadap hasil tangkapan nelayan. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran terkait keberlanjutan perikanan cumi di Kabupaten Bangka Selatan. Secara spesifik tujuan penelituian ini yaitu : 1) Mengkaji potensi sumberdaya cumi-cumi di Kabupaten Bangka Selatan, 2) Menganalisis laju degredasi sumberdaya cumi-cumi di Kabupaten Bangka Selatan. Metode yang digunakan dalam penelitian potensi sumberdaya perikanan cumi adalah gabungan dari penelitian deskriptif. Pendugaan tingkat dan batas maksimal pemanfaatan sumberdaya perikanan cumi dilakukan dengan menerapkan model surplus produksi. Hasil analisis dari penelitian ini menunjukkan bahwa kondisi sumberdaya cumi-cumi masih lestari. Hal ini dikarenakan pada kondisi aktual
effort yang diupayakan sebanyak 52.309 trip per tahun lebih kecil dibandingkan dengan effort pada kondisi MSY
(87.600 trip), MEY (76.326 trip) dan OA (15.2652 trip). Wilayah perairan di Kabupaten Bangka Selatan selama 2009-2013 belum terdegradasi, karena rata-rata laju degradasi masih di bawah nilai standar, yaitu laju degradasi rata-rata sebesar 0,036 per tahun. Hal ini berarti belum terjadi penurunan kualitas dan kuantitas sumberdaya cumi-cumi. Laju degradasi yang terjadi selama tahun 2009-2013 cenderung meningkat dengan mengikuti persamaan y = 0,0361x + 0,0718.
Keyword: Pemanfaatan, cumi-cumi, potensi, degradasi
PENDAHULUAN
Cumi-cumi (Urotheutis chinensis) merupakan merupakan sumberdaya perikanan bernilai ekonomis tinggi dan komoditas unggulan perikanan Kabupaten Bangka Selatan yang ditangkap dengan menggunakan alat tangkap bagan tancap, bagan apung dan pancing ulur. Populasi cumi-cumi di perairan Kabupaten Bangka Selatan semakin hari kian terancam keberadaanya, mengingat intensitas pencemaran akibat aktivitas pertambangan timah di laut.
Eksploitasi yang semakin meningkat dalam aktivitas pertambangan timah di laut setiap tahunnya akan mengakibatkan penurunan stok sumberdaya perikanan, hal ini disebabkan laju pertumbuhan alami sumberdaya perikanan tidak sejalan dengan ekploitasi sumberdaya, sehingga memerlukan adanya pengkajian secara menyeluruh. Untuk mengkaji hal tersebut dalam pola pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan khususnya perikanan cumi di perairan Kabupaten Bangka Selatan, maka digunakanlah analisis bio-tenik dan anailsis bio-ekonomi.
Analisis bio-teknik digunakan untuk mengetahui kondisi potensi sumberdaya cumi-cumi, kondisi optimum dari tingkat upaya penangkapan cumi-cumi serta untuk mengetahui apakah pengoperasian unit penangkapan cumi-cumi (pancing, bagan tancap dan bagan apung) efektif
dan efisien. Untuk menetapkan tingkat upaya pemanfaatan maksimum lestari cumi-cumi secara ekonomi, maka digunakan analisis bio-ekonomi. Pendekatan ini dilakukan untuk memaksimumkan keuntungan.
Upaya mempertahankan ketersediaan dan kesinambungan sumberdaya cumi-cumi perlu dilakukan pendekatan kehati-hatian dalam sehingga keberlanjutan perikanan tangkap khususnya perikanan cumi secara ekologi dapat dipertahankan.
Pemanfaatan sumberdaya perikanan cumi di Kabupaten Bangka Selatan memerlukan pengkajian secara menyeluruh dan terintegrasi, dengan mempertimbangkan aspek potensi sumberdaya dan teknologi. Faktor potensi sumberdaya yang dikaji adalah potensi dan bagaimana pengelolaan potensi sumberdaya cumi-cumi, faktor teknologi yang dikaji adalah unit penangkapan, musim penangkapan, daerah penangkapan dan produktivitas cumi-cumi.
Berdasarkan uraian di atas, maka perlu adanya kajian mengenai perikanan cumi di Kabupaten Bangka Selatan dan diharapkan potensi sumberdaya cumi-cumi dapat dimanfaatkan secara optimal guna meningkatkan potensi produksi perikanan cumi-cumi di Kabupaten Bangka Selatan.
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran terkait keberlanjutan perikanan cumi di
Kabupaten Bangka Selatan. Secara spesifik tujuan penelituian ini yaitu :
1) Mengkaji potensi sumberdaya cumi-cumi di Kabupaten Bangka Selatan.
2) Menganalisis laju degredasi sumberdaya cumi-cumi di Kabupaten Bangka Selatan
Manfaat yang diharapkan dari penelitian penelitian ini yaitu dapat digunakan sebagai acuan bagi pemerintah daerah dalam merumuskan strategi kebijakan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya cumi-cumi (Urotheutis chinensis) secara berkelanjutan di Perairan Kabupaten Bangka Selatan. Dengan demikian pemanfaatan sumberdaya cumi-cumi tersebut dapat dilakukan dalam jangka panjang dengan tetap menjamin kelestariannya.
METODOLOGI
Metode yang digunakan dalam penelitian potensi sumberdaya perikanan cumi adalah gabungan dari penelitian deskriptif. Pendekatan deskriptif ini, bertujuan membuat deskriptif atau penggambaran secara sistematis, faktual dan akurat tentang fakta-fakta dan sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki (Nasir 1983).
Analisis terhadap data yang diperoleh akan difokuskan pada kajian potensi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan cumi serta peran faktor ekologis yang mempengaruhi keberlanjutan perikanan cumi. Pendugaan tingkat dan batas maksimal pemanfaatan sumberdaya perikanan cumi dilakukan dengan menerapkan model surplus produksi. Model ini memanfaatkan data produksi dan upaya penangkapan, seperti dijelaskan Clark, Yoshimoto and Pooley (1992). Parameter model yang diduga adalah r (laju pertumbuhan alami/intrinsic), q (koefisien kemampuan penangkapan) dan K (daya dukung lingkungan). Parameter-parameter tersebut diduga dengan menggunakan OLS (ordinary least square) dengan meregresikan tangkap per unit upaya (catch per unit effort = CPUE) pada periode t+1 dengan tangkap perunit upaya pada periode t serta penjumlahan input pada periode t dan t+1.
Input yang digunakan adalah jumlah trip
penangkapan dari semua jenis alat tangkap dengan indeks penangkapan yang telah distandardisasi. Standardisasi alat tangkap pada penelitian ini menggunakan persamaan Tai dan Heaps (1996) yang diacu dalam Bintoro (2005). Standarisasi dimaksudkan untuk menyeragamkan kemampuan tangkap pancing dengan bagan . Kedua alat tersebut merupakan alat tangkap yang digun akan n ela yan di Kabupat en Ban gka Selatan un tuk men an gkap cumi-cumi. Standarisasi perlu dilakukan karena kemampuan pancing dan bagan dapat berbeda-beda tergantung pada dimensi alat, metode pengoperasian, alat bantu dan
faktor-faktor lainnya. Dalam proses standarisasi ditentukan alat tangkap standar berdasarkan kriteria nilai CPUE rata-rata tertinggi. Penggunaan kriteria tersebut didasarkan pada hipotesis bahwa alat tangkap yang memiliki nilai
CPUE rata-rata terbesar pasti memiliki kemampuan tangkap yang lebih baik dibandingkan dengan alat tangkap lainnya. Perbandingan kemampuan tangkap antar alat tangkap selanjutnya dinyatakan dalam bentuk indeks yang disebut Fishing Power Index (FPI). Output akhir dari pr oses standarisasi adalah diperolehnya nilai CPUE
standar dan nilai effort standar.
Fauzi dan Sobari (2008), pendekatan analisis bio-ekonomi bisa dilakukan dengan pendekatan bulanan. Hal ini dikarenakan jika melalui data tahunan tidak menunjukkan hasil yang terbaik maka dianjurkan bisa menggunakan data bulanan. Berdasarkan pendapat yang telah dikemukanan sebelumnya, selain parameter biologi maka parameter ekonomi juga mempengaruhi model statik bio-ekonomi dalam perikanan tangkap yaitu biaya penangkapan (c) dan harga (p).
Dengan mengetahui nilai-nilai variabel di atas pada berbagai rejim pengelolaan, maka dapat diketahui kondisi bio-ekonomi perikanan tangkap di suatu perairan. Pengetahuan yang didapat selanjutnya dapat digunakan untuk pengambilan kebijakan pengembangan perikanan tangkap di perairan tersebut.
HASIL
1. Potensi Sumberdaya Cumi-Cumi
Penangkapan cumi-cumi di Kabupaten Bangka Selatan menggunakan alat tangkap seperti bagan apung, bagan tancap dan pancing cumi. Rata-rata produksi cumi-cumi tahunan yang terbanyak, dihasilkan oleh alat tangkap pancing cumi, yaitu mencapai 374,687 ton per tahun, kemudian diikuti oleh bagan tancap yang mencapai 214,29 ton per tahun.
Berdasarkan data tahunan periode 2009-2013, rata-rata produksi aktual sebesar 717,61 ton per tahun. Rata-rata total produksi aktual tertinggi terjadi pada tahun 2013 yaitu sebesar 681,36 ton sedangkan total produksi aktual terendah terjadi pada tahun 2010 yaitu sebesar 364 ton.
Perkembangan produksi aktual cumi-cumi per tahun selama tahun 2009-2013 digambarkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Perkembangan produksi aktual cumi-cumi tahunan(2009-2013)
Total effort dari masing-masing alat tangkap untuk penangkapan cumi-cumi pada perairan Kabupaten Bangka bulanan pada tahun 2009-2013 cenderung berfluktuatif dengan effort
rata-rata sebanyak 99691 trip per tahun.
Effort tertinggi dicapai pada tahun 2011 yaitu sebanyak 135564 trip dan terendah terjadi pada tahun 2013 sebanyak 5505 trip. Berdasarkan alat tangkap yang dominan, rata-rata effort dari alat tangkap pancing cumilebih besar, yaitu 42414 trip per tahun dibandingkan dengan rata-rata effort dari alat tangkap bagan apung sebesar 24869 trip per tahun.
Gambar 2 Perkembangan effort cumi-cumi tahunan (2009-2013)
A. Standarisasi effort
Standarisasi upaya yang dilakukan pada penangkapan target species dengan alat tangkap dominan dilakukan dalam rangka estimasi parameter biologi dalam perikanan yang multi species dan multi gear untuk menghindari variasi
species (ikan yang tertangkap dalam upaya yang dilakukan selain target species) dan variasi gear
(alat tangkap yang ada dari alat tangkap sejenis yang tidak beroperasi). Standarisasi effort cumi-cumi dengan menggunakan alat tangkap bagan perahu, bagan tancap dan pancing cumi di
Kabupaten Bangka Selatan dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 1 Standaridsai effort cumi-cumi di Kabupaten Bangka Selatan tahun 2009-2013
Tahun
Effort CPUE FPI pancing Total effort
Baga n tanca p Bag an apu ng Pancin g cumi Bagan tancap Bagan apung Pancin g cumi 2009 14883 114 00 195 23 0,0027713 23 0,0005 48 0,0060 54 0,45779547 6 19523 8 2010 47796 408 10 479 7 0,0034693 64 0,0021 95 0,0226 54 0,15314804 6 4797 2011 63296 646 52 761 6 0,0049061 71 0,0026 5 0,0239 03 0,20525386 3 7616 2012 33414 499 6 405 4 0,0084910 33 0,0338 02 0,0485 25 0,17498309 8 4054 2013 2649 248 7 369 0,1019670 52 0,0832 93 0,5531 27 0,18434660 2 369 Rata-rata 32407 ,6 248 69 424 14 0,0243209 88 0,0244 98 0,1308 52 0,23510541 7 42414 ,8
Sumber : Data olahan.
Standarisasi effort dilakukan dengan menggunakan unit jumlah trip per tahun selama tahun 2009-2013 dari 3 (tiga) alat tangkap yaitu bagan tancap, bagan apung dan pancing cumi yang distandarisasikan ke alat tangkap pancing cumi-cumi dengantotal effort rata-rata sebesar 42415 trip artinya jumlah effort yang dilakukan selama per tahun dalam usaha penangkapan cumi-cumi oleh nelayan yaitu sebesar 42415 trip.
Penentuan ketiga alat tangkap bagan tancap, bagan apung dan pancing cumi didasarkan pada kondisi bahwa ketiga alat tangkap ini merupakan alat tangkap yang dominan digunakan untuk menangkap cumi-cumi di lokasi penelitian. Ketiga alat tangkap tersebut memiliki kemampuan tangkap yang berbeda dalam menangkap cumi-cumi, maka diperlukan standarisasi unit fishing effort. Pancing cumi dijadikan alat tangkap
standard, mengingat rasio rata CPUE dari alat tangkap pancing cumi sebesar 0,131 lebih besar dibandingkan alat tangkap bagan tancap, bagan apungyaitu sebesar 0,024 dan 0,024.
B. Bio-teknik
Produksi tahunan sumberdaya cumi-cumi dengan alat tangkapbagan tancap, bagan apung dan pancing cumi di di daratkan Kabupaten Bangka Selatan mengalami fluktuasi. Fluktuasi yang terjadi disebabkan karena musim penangkapan yang bervariasi dan kondisi perairan yang terpengaruh akibat adanya aktivitas penambangan timah di laut. Nilai CPUE pada alat tangkap bagan tancap, bagan apung dan pancing cumi juga mengalami fluktuasi dari tahun 2009-2013 dengan rata-rata sebesar 0,024, 0,024 dan 0,013 ton per tahun. Nilai tertinggi untuk bagan tancap pada tahun 2013 sebesar 0,101967052 ton per hari dan terendah pada tahun 2009 yaitu 0,002771323. CPUE pada
alat tangkap Bagan apung dan Pancing cumi tertinggi pada tahun 2013 yaitu sebesar 0,083293 dan 0,553127 ton per tahun (Lampiran 2).
Hubungan antara upaya penangkapan (effort) dengan CPUE menunjukkan bahwa peningkatan upaya tangkap akan menyebabkan kenaikan nilai CPUE dengan persamaan regresi Y= -0,0000006x +0,3301 yang menunjukkan bahwa jika dilakukan peningkatan upaya penangkapan sebesar satu trip, maka akan mengurangi CPUE
sebesar 0,0000006 ton per trip (Gambar 13). Penurunan CPUE dalam kurun waktu bulanan pada tahun 2009-2013 karena terjadinya peningkatan jumlah unit penangkapan cumi-cumi, tidak diikuti dengan peningkatan produksi. Berdasarkan persamaan tersebut diperoleh nilai a = 0,186548705 dan b = 1,06476. Berdasarkan nilai parameter a dan b, maka kondisi ini menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya cumi-cumi di Perairan Kabupaten Bangka Selatan mengindikasikan belum terjadi overfishing secara biologi (biological overfishing).
Gambar 3 Hubungan antara CPUE dengan effort
tahunan(2009-2013)
Menurut Fauzi (2006), solusi dengan model Schaefer mempunyai kelemahan yaitu parameter biologi (r,q dan k) pada pendekatan
CPUE tidak diketahui atau tersembunyi pada parameter regresi a dan b dimana Clark, Yoshimoto dan Pooley mengembangkan model estimator CYP
pada tahun 1992 untuk mengetahui parameter biologi. Perhitungan estmasi CYP dapat dilihat pada Lampiran 2. Parameter yang diestimasi dalam hal ini meliputi tingkat pertumbuhan intrinsik (r), koefisien daya tangkap (q) dan daya dukung lingkungan (k) (Tabel 15).
Tabel 2 Hasil estimasi parameter biologi dengan model CYP
Parameter Nilai
r (ton per tahun) 0,820952463579975
q (ton per trip) 4,6857508149972
k (ton per bulan) 39811,9132666224 Sumber : Hasil analisis 2014
Hasil ketiga parameter biologi tersebut sangat berguna dalam menentukan tingkat produksi lestari, seperti MSY, MEY dan open access. Berdasarkan nilai parameter biologi yang diperoleh dari model CYP (Tabel 15), maka dapat dihitung
nilai produksi lestari. Produksi lestari merupakan hubungan antara hasil tangkapan dengan effort
dalam bentuk kuadratik, dimana tingkat effort
maupun hasil tangkapan yang diperoleh tidak akan mengancam kelestarian sumberdaya perikanan. Produksi aktual merupakan hasil tangkapan nelayan yang dicatat secara resmi oleh statistik perikanan.
Apabila eksploitasi dilakukan terus menerus tanpa memikirkan apek kelestarian stok sumberdaya beserta lingkungan perairannya berakibat semakin sedikitnya sumberdaya tersebut. Jika dengan memberi kesempatan setiap cumi-cumi melakukan tingkah laku reproduksi sebanyak satu kali, maka jumlah populasi akan dapat dipertahankan. Hubungan antara produksi aktual dan produksi lestari dengan upaya pemanfaatan cumi-cumi di Kabupaten Bangka Selatan dapat dilihat pada Gambar 15.
Gambar 4 Hubungan antara produksi aktual dan produksi lestari pada upaya pemanfaatan cumi-cumi di Kabupaten Bangka Selatan.
Gambar 4 menunjukkan semakin tinggi
effort justru menyebabkan sebagian besar produksi aktual berada di atas produksi lestari, selama bulanan pada tahun 2009-2013, hal ini menunjukkan bahwa penangkapan ikan di Perairan Kabupaten Bangka Selatan belum terjadi biological overfishing. Rata-rata effort yang digunakan selama 5 (lima) tahun sebesar 52308 trip per tahun. Meningkatnya effort menyebabkan produksi aktual sebagian besar berada di atas produksi lestari. C. Bio-ekonomi
Analisis bio-ekonomi ditujukan untuk menentukan tingkat pengusahaan maksimum bagi pelaku perikanan. Perkembangan usaha perikanan cumi-cumi tidak dapat lepas dari faktor ekonomi yang mempengaruhinya antara lain biaya penangkapan, harga ikan dan discount rate. Model bio-ekonomi merupakan salah satu alternatif pengelolaan yang dapat diterapkan demi upaya optimalisasi pengusahaan sumberdaya perikanan cumi-cumi yang berkelanjutan.
Analisis biekonomi statik pada rejim pengelolaan sumberdaya cumi-cumi pada kondisi
sole owner (MEY), open access (OA) dan maximum sustainable yield (MEY) bulanan pada tahun 2009-2013 menunjukkan kondisi biomassa sumberdaya cumi-cumi pada kondisi MSY sebesar 19905,97 ton per tahun. Kondisi biomassa sumberdaya cumi tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan kondisi OA sebesar 5123,98 ton per tahun dan MEY
sebesar 22467,95 ton per tahun (Tabel 17). Tabel 3 Analisis bio-ekonomi model statik pada
rejim pengelolaan sumberdaya cumi-cumi
No. Parameter MEY MSY OA Aktual 1. x (ton) 22467,95 19905,97 5123,98 2. h (ton) 8035,57 88170,92 3665,14 717,61 3. E (trip) 76326 876001 152653 52309 4. Π (Rp) 144.736.690.70 0 141.578.514. 670 - (12.56 0.340. 912,23 ) Sumber : Hasil analisis 2014.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa pengusahaan sumberdaya yang dibatasi pada kondisi MEY akan memberikan keuntungan yang maksimum. Besarnya upaya pemanfaatan maksimum lestari secara ekonomi (EMEY) sebesar 76326 trip dengan rente ekonomi yang diperoleh sebesar Rp 144.736.690.700.
Produksi (h) yang didapat pada kondisi
MSY sebesar 88170,92 ton. Hasil tangkapan lebih besar jika dibandingkan dengan hasil tangkapan yang didapat pada kondisi pengelolaan OA sebesar 3665,14 ton dan kondisi pengelolaan MEY sebesar 76326 ton.
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kondisi sumberdaya cumi-cumi masih lestari. Hal ini dikarenakan hasil tangkapan cumi-cumi pada kondisi MSY adalah kondisi hasil tangkapan yang maksimum lestari (Gambar 16).
Gambar 5 Hubungan antara hasil lestari cumi-cumi dengan upaya penangkapan di Kabupaten Bangka Selatan.
Gambar 16 menunjukkan hubungan total penerimaan (TR) dan biaya penangkapan (TC) kegiatan pemanfaatan sumberdaya cumi-cumi di Kabupaten Bangka Selatan. Dengan adanya keuntungan dalam pengelolaan sumberdaya menjadi pendorong bagi nelayan untuk mengembangkan usaha perikanan cumi-cumi dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya. Pemanfaatan sumberdaya cumi-cumi di Kabupaten Bangka Selatan diduga belum terjadi economic overfishing, karena pada kondisi aktual effort yang diupayakan sebanyak 52309 trip per tahun lebih kecil dibandingkan dengan effort pada kondisi MSY (87600 trip), MEY
(76326 trip) dan OA (152652 trip).
Gambar 6 Perbandingan rejim pengelolaan sumberdaya cumi-cumi
1) Kondisi MSY
Kondisi MSY merupakan batas dari pemanfaatan sumberdaya cumi-cumi yang dapat dilakukan tanpa mengganggu kelestariannya untuk tumbuh kembali. Pada kondisi ini merupakan kondisi maksimum lestari, yang apabila hasil tangkapan aktual lebih besar dari pada kondisi ini akan menyebabkan hasil tangkapan cumi-cumi menjadi tidak sustainable.
Besarnya nilai potensi lestari cumi-cumi di di Kabupaten Bangka Selatan adalah 8170,9 ton per tahun, yang dapat ditangkap dengan upaya sebesar 87601 trip per tahun. Nilai rente ekonomi yang diperoleh pada pengusahaan kondisi MSY adalah sebesar Rp 141.578.514.670,69 per bulan.
Hasil tangkapan cumi-cumi pada kondisi
MSY lebih kecil dibandingkan dengan hasil tangkapan pada kondisi aktual. Pada kondisi aktual hasil tangkapan cumi-cumi yang diperoleh yaitu sebesar 717,61 ton per tahun. Jika dilihat dari besarnya tingkat upaya yang dilakukan, dapat terlihat bahwa pada kondisi MSY upaya yang dilakukan lebih besar dibandingkan pada kondisi aktual yaitu sebesar 52309 trip per tahun. Hal tersebut menyebabkan keuntungan yang diperoleh pada kondisi aktual mengalami kerugian mencapai Rp (12.560.340.912,23) per tahun. Hal tersebut
diakibatkan effort yang tidak seimbang dengan hasil tangkapan yang diperoleh.
2) Kondisi MEY
Kondisi MEY atau kondisi optimal secara statik merupakan konndisi ideal untuk pemanfaatan sumberdaya ikan. Hal ini sesuai dengan pendapat Martasuganda et al. (2002), bahwa kondisi EMEY merupakan kondisi yang ideal untuk pemanfaatan sumberdaya ikan, karena terjaminnya kelestarian sumberdaya ikan dan nelayan juga akan memperoleh keuntungan optimum. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa effort pada rejim pengelolaan MEY lebih rendah dibandingkan dengan rejim pengelolaan OA dan MSY, yaitu 152653 trip dan 87601 per tahun. Jika dilihat dari tingkat rente ekonomi, nilai MEY merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan rejim pengelolaan
OA dan MSY, yaitu sebesar Rp 144.736.690.700,67 dan Rp. 141578514670,69 atau nilai rente ekonomi
MEY berada pada kondisi maksimum. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada tingkat produksi ini tingkat upaya penangkapan sudah dilakukan dengan efisien, sehingga diperoleh hasil tangkapan yang lebih baik dan kemudian diikuti oleh pencapaian rente ekonomi maksimum.
Pemanfaatan sumberdaya yang dibatasi oleh kondisi MEY (terkendali) akan memberikan rente ekonomi yang maksimum, karena upaya penangkapan yang terkendali, sehingga total penerimaan yang diperoleh lebih besar daripada total pengeluaran. Implikasi pemanfaatan sumberdaya yang terkendali dapat dilihat dari penggunaan effort yang dibutuhkan (EMEY) dalam penangkapan jauh lebih kecil dibandingkan dengan yang dibutuhkan untuk mencapai titik MEY
maupun kondisi OA. Lebih jelasnya dikatakan bahwa rejim pengelolaan MEY terlihat lebih bersahabat dengan lingkungan (conservative munded) dibandingkan dengan kondisi EMEY. 3) Kondisi OA
Effort pada rejim pengelolaan OA di Perairan Kabupaten Bangka Selatan sebanyak 152653 trip per tahun. Effort tersebut lebih besar dibandingkan dengan effort pada kondisi pengelolaan MSY dan MEY. Besarnya effort pada rejim pengelolaan OA disebabkan oleh sifat dari rejim OA dimana setiap orang boleh melakukan kegiatan penangkapan di Indonesia termasuk di Perairan Kabupaten Bangka Selatan.
Produksi yang diperoleh didapat pada rejim pengelolaan OA di Perairan Kabupaten Bangka Selatan sebesar 3665,14 ton per tahun dimana yang diperoleh sama dengan nol (TR=TC). Artinya jika sumberdaya cumi-cumi dibiarkan ditangkap oleh nelayan, maka persaingan usaha pada kondisi ini menjadi tidak terbatas dan dampaknya tingkat resiko yang harus ditanggung nelayan menjadi lebih besar karena persaingan
untuk mendapatkan produksi menjadi lebih ketat. Akibat sifat sumberdaya yang terbuka, nelayan cenderung mengembangkan jumlah alat tangkapnya maupun tingkat upaya penangkapan untuk mendapatkan hasil tangkapan yang sebanyak-banyaknya.
D. Laju degradasi
Degradasi diartikan sebagai penurunan kualitas atau kuantitas sumberdaya perikanan yang dapat diperbaharui. Dalam hal ini sumberdaya alam dapat diperbaharukan berkurang kemampuan alaminya untuk bergenerasi sesuai dengan kapasitas produksinya, sehingga laju degradasi sumberdaya perikanan akan memberikan suatu gambaran yang menunjukkan adanya gejala penurunan potensi dari sumberdaya perikanan. Kondisi ini terjadi baik karena kondisi alami maupun karena pengaruh aktivitas manusia. Pada sumberdaya alam pesisir dan laut, kebanyakan degradasi ini disebabkan ulah manusia, baik berupa aktivitas produksi (penangkapan atau eksploitasi) maupun karena aktivitas non produksi, seperti pencemaran akibat limbah domestik ataupun industri (Fauzi dan Anna 2005).
Analisis degradasi sumberdaya perikanan cumi-cumi di Perairan Kabupaten Bangka Selatan dilakukan untuk mengetahui sejauh mana laju degradasi terjadi pada sumberdaya cumi-cumi yang diakibatkan oleh aktifitas penangkapan. Eksploitasi sumberdaya cumi-cumi yang melebihi titik keseimbangannya menyebabkan terdegradasinya sumberdaya tersebut (Gambar 7).
Gambar 7 Laju degradasi sumberdaya cumi-cumi Wilayah perairan di Kabupaten Bangka Selatan selama 2009-2013 belum terdegradasi, karena rata-rata laju degradasi masih di bawah nilai standar, yaitu laju degradasi rata-rata sebesar 0,036 per tahun. Hal ini berarti belum terjadi penurunan kualitas dan kuantitas sumberdaya cumi-cumi. Laju degradasi yang terjadi selama tahun 2009-2013 cenderung meningkat dengan mengikuti persamaan y = 0,0361x + 0,0718. Kecenderungan meningkatnya laju degradasi sumberdaya cumi-cumi di Kabupaten Bangka Selatan erat kaitannya dengan tingkat ekploitasi sumberdaya cumi-cumi yang semakin besar.
PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan potensi sumberdaya cumi-cumi secara
sustainable dapat dilakukan dengan mengetahui rejim pengelolaan sumberdaya cumi-cumi secara optimal dimana secara biologi pemanfaatan aktual dari tahun 2009-2013 masih di bawah nilai produksi lestari dengan rata-rata effort sebesar 52308 trip. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi pemanfaatan sumberdaya cumi-cumi sebagian besar belum melampaui batas maksimum lestari, sehingga secara biologi dapat dikatakan bahwa di Perairan Kabupaten Bangka Selatan belum terjadi
biological overfishing.
Produksi aktual sebesar 717,61 ton lebih besar dibandingkan pengelolaan sumberdaya cumi-cumi secara lestari sebesar 8170,92 ton. Secara ekonomi pemanfaatan sumberdaya cumi-cumi di Perairan Kabupaten Bangka Selatan khususnya diduga masih belum terjadi economic overfishing
pada kondisi aktual sebanyak 52309 trip per tahun lebih kecil dibandingkan dengan effort pada pengelolaan sumberdya perikanan cumi-cumi secara ekonomi sebesar 76326 trip. Hal ini menunjukkan bahwa dalam pemanfaatan sumberdaya cumi-cumi secara optimal yang akan memberikan nilai manfaat optimal dalam jangka panjang, maka perlu adanya peningkatan effort yang ada.
Apabila regulasi mengenai pengaturan upaya penangkapan tidak diiringi dengan adanya upaya restocking terhadap perairan yang ada akan menyebabkan terjadinya degredasi lingkungan. Hal ini sesuai dengan pendapat Hamdan et al. (2006), bahwa pengaturan alat tangkap tidak diiringi dengan adanya upaya
restocking terhadap perairan yang ada akan menyebabkan terjadinya degredasi lingkungan yang berakibat buruk kepada produksi perikanan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pemerintah dan otoritas lainnya memerlukan suatu pedoman dalam pemanfaatan maupun pengelolaannya yaitu Tata Laksana untuk Perikanan yang Bertanggungjawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries) untuk memberi kelengkapan yang dibutuhkan, secara nasional dalam rangka menjamin pengusahaan sumberdaya hayati perairan secara lestari yang selaras dan serasi dengan lingkungannya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rasdani (2004) dan Dirjen Perikanan Tangkap (2002), bahwa pemerintah atau otoritas lainnya melaksanakan pengelolaan sumberdaya perikanan secara terpadu dan terarah, sehingga sumberdaya perikanan akan dimanfaatkan secara berdaya guna dan berhasil guna, dengan cara melakukan pengelolaan secara terpadu yang melibatkan berbagai pihak terkait (stakeholders)
demi kelestarian sumberdaya perikanan beserta lingkungannya.
Inti dari CCRF bidang perikanan tangkap akan menjamin sumberdaya perikanan dan lingkungannya secara lestari dengan mengikuti sistem Monitoring / Pemantauan, Controlling
/Pengendalian, Surveillance/Pengawasan (MCSE) dan Law Enforcement/ Penegakan Hukum) yaitu suatu sistem yang harus ditegakkan dan dijalankan dalam rangka memelihara dan menjaga kelestarian sumberdaya perikanan dan lingkungannya di Perairan Indonesia pada umumnya dan Perairan Kabupaten Bangka Selatan pada khususnya.
Diharapkan kepada pemerintah daerah melalui dinas terkait, dapat membuat suatu kebijakan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan cumi di Kabupaten Bangka Selatan secara optimal. Kebijakan yang diambil adalah memberikan izin terhadap penambahan dan pengoperasian alat tangkap yang belum melebihi kondisi lestari.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
1. Sumberdaya cumi-cumi secara optimal dimana secara biologi pemanfaatan aktual dari tahun 2009-2013 masih di bawah nilai produksi lestari dengan rata-rata effort sebesar 52308 trip. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi pemanfaatan sumberdaya cumi-cumi sebagian besar belum melampaui batas maksimum lestari, sehingga secara biologi dapat dikatakan bahwa di perairan Kabupaten Bangka Selatan belum terjadi biological overfishing.
2. Laju degradasi yang terjadi selama tahun 2009-2013 cenderung meningkat dengan mengikuti persamaan y = 0,0361x + 0,0718. Kecenderungan meningkatnya laju degradasi sumberdaya cumi-cumi di Kabupaten Bangka Selatan erat kaitannya dengan tingkat ekploitasi sumberdaya cumi-cumi yang semakin besar. Saran
1. Tingkat pemanfaatan sumberdaya cumi-cumi di Kabupaten Bangka selatan harus terus dipertahankan agar tidak terjadi overfishing dengan penerapan regulasi aturan-aturan yang jelas.
2. Perlunya sosialisasi pentingnya pemanfaatan lestari dalam pemanfaatan sumberdaya cumi-cumi di Kabupaten Bangka Selatan.
3. Perlu adanya kajian tentang tingkat efektifitas pelaksanaan peraturan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan di Kabupaten Bangka Selatan.
DAFTAR PUSTAKA
Anggoro, S. 2001. Pengelolaan Dan Pemantauan Pencemaran Dan Kerusakan Laut. Penerbit PT. Sains Plus Kemala Rahmadika.
Annual Report. 2010. Laporan Tahunan Tim Peneliti Terumbu Karang Universitas Bangka Belitung. UBB. Bangka.
Annual Report. 2008. Laporan Tahunan PT. Timah tbk Persero tahun 2008. Bangka.
Ayodhyoa. A.U. 1981. Teknik Penangkapan Ikan. Bagian Tekhnik Penangkapan Ikan. Institud Pertanian Bogor. Bogor.
Dahuri, R dan Arumsyah, S. 1994. Ekosistem Pesisir. Makalah Pada Marine and Mangement Training. PSL UNDANA Kupang. NTT.
Darmono. 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran: Hubungannya dengan Toksikologi Senyawa Logam. UI Press. Jakarta. 145 hal.
DKP. 2002. Pengertian Perairan. Departemen Kelautan Dan Perikanan. Jakarta.
Dinas Kelautan dan Perikanan Bangka. 2008. Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bangka. Sungailiat. Kabupaten Bangka Selatan (2013)
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bangka Belitung. 2012. Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bangka Belitung. Pangkalpinang
Henny, C. & G. S. Ajie. 2009. Kandungan logam pada biota akuatik kolong bekas tambang timah di Pulau Bangka. Prosiding Seminar Nasional Forum Perairan Umum Indonesia VI. Balai Riset Perikanan Perairan Umum, Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Palembang: 221-230.
Henny, C. 2011. “Kolong” Bekas Tambang Timah Di Pulau Bangka: Permasalahan Kualitas Air Dan Alternatif Solusi Untuk Pemanfaatan. Pusat Penelitian Limnologi-LIPI.
Ilyas, M, et al. 1996. Teknologi Survei Laut. ISBN 979-95038-0-9. Direktorat Teknologi inventarisasi Sumberdaya Alam Deputi Bidang Pengembangan Kekayaan Alam Deputi Bidang Pengembangan Kekayaan Alam Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jakarta.
Kelly, M. G. dan B. A. Whitton. 1989. Interspesific Differences in Zn, Cd and Pb accumulation by freshwater Algae and Bryophites. Hidrobiologia. (175): 1-11. KMNLH, 2004. Pedoman Penetapan Baku Mutu
Lingkungan. Kantor Menteri Negara Kependudukan Lingkungan Hidup 2004. Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Kep-51/MENEGLH/ 2004. Sekretariat Negara, Jakarta.
Kurniawan, 2013. Pengaruh Aktifitas Penambangan Timah Terhadap Kualitas Air Laut Dan Ikan Kakap Merah Di Perairan Kabupaten Bangka. Tesis UNDIP.
LIPI. 2011. Logam Berat Sisa Penambangan Timah Bangka. Pusat Peneliti Geoteknologi LIPI. Jakarta.
Subowo, Mulyadi, S. Widodo dan Asep Nugraha. 1999. Status dan Penyebaran Pb, Cd, dan Pestisida pada Lahan Sawah Intensifikasi di Pinggir Jalan Raya. Prosiding. Bidang Kimia dan Bioteknologi Tanah, Puslittanak, Bogor.
Subowo, Mulyadi, S. Widodo dan Asep Nugraha. 1999. Status dan Penyebaran Pb, Cd, dan Pestisida pada Lahan Sawah Intensifikasi di Pinggir Jalan Raya. Prosiding. Bidang Kimia dan Bioteknologi Tanah, Puslittanak, Bogor.
Sudirman, dan Mallawa, Achmar. 2004. Teknik Penangkapan Ikan. Rineka Cipta, Jakarta, 168 hlm.
Supriharyono. 2000. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Djambatan. Jakarta.