• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

184

Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum

Available online http://ojs.uma.ac.id/index.php/gakkum

Aspek Hukum Penyederhanaan Perizinan Badan Usaha di

Bidang Lingkungan Hidup dalam Undang-Undang Cipta

Kerja

Legal Aspects of Simplification of Business Entity Licensing in

the Environmental Sector in the Job Creation Law

Fitri Yanni Dewi Siregar

Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Medan Area, Indonesia Diterima:29 Juni 2020; Direview: 16 Desember 2020; Disetujui:26 Desember 2020

*Coresponding Email: fitriyannisiregar@yahoo.co.id Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Konsep perizinan berusaha di bidang lingkungan hidup yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) menggunakan pendekatan berbasis izin (lisence approach) yang akan diubah menjadi penerapan standar dan berbaris risiko (Risk-Based Approach/RBA) dalam Undang-Undang Cipta Kerja, hal ini berarti bahwa nantinya pemberian izin akan dilakukan oleh pemerintah pusat berdasarkan perhitungan nilai tingkat bahaya dan nilai potensi terjadi bahaya terhadap aspek kesehatan, keselamatan, lingkungan dan/atau pemanfaatan sumber daya. Metode penelitian yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis normatif berdasarkan bahan hukum primer. Penelitian ini menggunakan pendekatan: statute approach, conceptual approach, serta case approach. Tehnik penelusuran bahan hukum menggunakan tehnik studi dokumen, serta analisis kajian menggunakan analisis kualitatif.

Kata Kunci: Perizinan; Lingkungan Hidup; Cipta Kerja.

Abstract

This study aims to determine the concept of business licensing in the environmental sector contained in Law Number 32 of 2009 concerning Environmental Protection and Management (UUPPLH) using a permit-based approach (license approach) which will be converted into a standard application and a risk line (Risk). -Based Approach / RBA) in the Job Creation Law, this means that later the granting of permits will be carried out by the central government based on the calculation of the value of the level of danger and the value of potential hazards to aspects of health, safety, environment and / or resource utilization. The research method used is a normative juridical approach based on primary legal materials. This study uses an approach: statute approach, conceptual approach, and case approach. The technique of tracing legal materials uses document study techniques, and the analysis of studies uses qualitative analysis.

Keywords: Licensing; Environment; Job Creation.

How to Cite: Siregar, F. Y. D. (2020). Aspek Hukum Penyederhanaan Perizinan Badan Usaha di Bidang Lingkungan Hidup dalam Undang-Undang Cipta Kerja, Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum, 7 (2) 2020 : 184-192

(2)

185

PENDAHULUAN

Lingkungan hidup merupakan

kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang

memengaruhi alam itu sendiri,

kelangsungan peri kehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain (Syahrin, dkk, 2018)

Lingkungan hidup dalam perspektif teoritis dipandang sebagai bagian mutlak dari kehidupan manusia, tidak terlepas dari kehidupan manusia itu sendiri (Siahaan N.H.T., 2009). Salah satu instrumen konkrit pengelolaan lingkungan hidup adalah izin. Izin merupakan alat pemerintah yang bersifat yuridis preventif, dan digunakan sebagai instrumen administrasi untuk mengendalikan perilaku masyarakat. Karena itu, sifat suatu izin adalah preventif, tidak bisa dilepaskan dengan perintah dan kewajiban yang harus ditaati oleh pemagang izin (N.H.T. Siahaan, 2009). Siti Sundari Rangkuti mengatakan bahwa jenis perizinan yang umumnya mengenai kegiatan-kegiatan yang mempunyai dampak penting terhadap lingkungan dikenal dengan istilah izin lingkungan

(environmental licence atau

milieuvergunning) (Rangkuti, 1996).

Izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan

hidup sebagai prasyarat untuk

memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan. Adapun keterkaitan anatara izin dan lingkungan yakni izin merupakan salah satu upaya pencegahan terhadap kerusakan lingkungan hidup adalah melalui kebijakan sistem perizinan lingkungan (Rhitti H. dan Y. Sri Pudyatmoko. 2016). Izin lingkungan dan persyaratan harus dibuat berdasarkan

ukuran-ukuran yuridis yang

memperhitungkan keadaan individual

kegiatan industri yang memiliki dampak pada langkah-langkah pengelolaan lingkungan hidup (Wijoyo, 2012).

Perizinan berasal dari kata izin yang berarti pernyataan mengabulkan (tidak melarang dan sebagainya). Izin (vergunning) adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan peraturan perundang-undangan. Izin dapat juga diartikan sebagai dispensasi atau pelepasan/pembebasan dari suatu larangan. Sedangkan lingkungan hidup menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 32 Tahun

2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) diartikan sebagai kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. (Adrian Sutedi, 2011). Perizinan lingkungan hidup dalam arti luas adalah salah satu bentuk instrumen perlindungan dan pengelolaan lingkungan

hidup preventif dalam rangka

pengendalian dampak lingkungan hidup, sedangkan dalam arti sempit merupakan pemanfaatan sumber daya lingkungan hidup (Cahyaningrum, 2019).

Konsep perizinan sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) yakni, pertama terdapat dalam Pasal 1 angka 35 UUPPLH bahwa Izin Lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib AMDAL atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan

hidup sebagai prasyarat untuk

memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan. Kedua terdapat dalam Pasal 1 angka 36 UUPPLH bahwa Izin Usaha dan/atau kegiatan adalah izin yang diterbitkan oleh

(3)

186

instansi teknis untuk melakukan usaha dan/atau kegiatan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 35 terdapat upaya untuk menggabungkan antara izin lingkungan dengan izin usaha dan/atau kegiatan. (Takdir Rahmadi, 2011). Izin lingkungan adalah prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan. Dengan demikian, izin usaha dan/atau kegiatan akan diberikan oleh instansi teknis apabila pemrakarsa usaha dan/atau kegiatan sudah memiliki izin lingkungan. Apabila izin lingkungan dicabut, izin usaha dan/atau kegiatan dibatalkan. Ketentuan mengenai izin lingkungan akan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Konsep perizinan berusaha di bidang lingkungan hidup yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) dengan menggunakan pendekatan berbasis izin

(lisence approach) yang akan diubah

menjadi penerapan standar dan berbaris risiko (Risk-Based Approach/RBA) dan Undang-Undang Cipta Kerja, hal ini berarti bahwa pemberian izin akan dilakukan oleh

pemerintah pusat berdasarkan

perhitungan nilai tingkat bahaya dan nilai potensi terjadi bahaya terhadap aspek kesehatan, keselamatan, lingkungan dan/atau pemanfaatan sumber daya.

Adapun Potensi terjadinya bahaya dikelompokkan menjadi tidak pernah terjadi, jarang terjadi, pernah terjadi, sering terjadi. Hal ini berpotensi mengabaikan risiko-risiko yang belum atau tidak terindentifikasi sebelumnya. Sedangkan pengawasan terhadap kegiatan badan usaha dilakukan dengan intensitas pelaksanaan berdasarkan tingkat risiko kegiatan usaha yang diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.

METODE PENELITIAN

Bentuk penelitian ini adalah yuridis-normatif yang merupakan penelitian

hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder (Soekanto, Mamudji, 2011). Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini berupa pendekatan undang-undang (statute approach), meliputi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan isu yang dibahas; pendekatan konseptual (conseptual

approach), yaitu pendekatan yang

beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum dan pendekatan kasus (case approach), yang perlu dipahami dalam pendekatan ini adalah ratio decidendi yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai kepada putusannya. Penelitian ini menggunakan data sekunder dengan analisis data kualitatif (Marzuki, 2010).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Konstruksi Hukum Pengaturan

Perizinan Badan Usaha Di Indonesia Berdasarkan UUPLH

Peraturan Perundang-undangan diakui keberadaannya dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Namun dalam praktek pelaksanaan pemerintahan sehari hari, seringkali dijumpai produk peraturan kebijakan (beleidregel, policy rule) yang memiliki karakteristik berbeda peraturan perundang-undangan (Syaputra, 2016). Salah satunya terkat dengan perizinan.

Konstruksi hukum terhadap

pengaturan perizinan badan usaha di Indonesia dalam lingkungan hidup saat ini kita mengacu pada UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkugan Hidup atau selanjutnya disingkat dengan UUPPLH dan terdapat aturan pelaksana dari UUPPLH ini yaitu Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan. Perizinan berasal dari kata izin yang berarti pernyataan mengabulkan (tidak melarang dan sebagainya). Izin (vergunning) adalah

(4)

187

suatu persetujuan dari penguasa

berdasarkan undang-undang atau

peraturan pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan peraturan perundang-undangan.

Izin juga diartikan sebagai dispensasi atau pelepasan/pembebasan dari suatu larangan (Adrian Sutedi, 2011). Apabila kita kembali kebelakang tentang sajarah pengaturan izin di Indonesia, pertama kali diawali dengan pengaturan masalah perizinan lingkungan yang diatur didalam

Hinder Ordinantie (HO) atau disebut

dengan Ordonansi Gangguan Stb. 1926 No. 226 dengan judul Niuwe Bepalingen motrent het Oprichten van Inrichtingen, welke Gevaar, Schade of Hinder Kunnen Veroorzaken, yang dimulai berlaku sejak tanggal 1 Agustus 1926, kemudian diubah dan ditambah dengan Stb. 1927 No. 449, Stb. 1940 No. 14 dan 450 (Rangkuti, 2005). Izin merupakan alat pemerintah yang bersifat yuridis preventif, dan digunakan sebagai instrument administrasi untuk mengendalikan perilaku masyarakat. Karena itu, sifat suatu izin adalah preventif, tidak bisa dilepaskan dengan perintah dan kewajiban yang harus ditaati oleh pemagang izin (N.H.T, Siahaan 2009). Disisi lain bahwa fungsi izin adalah represif, izin berfungsi sebagai instrumen untuk menanggulangi masalah lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas manusia yang melekat dengan dasar perizinan, artinya bahwa suatu usaha yang memperoleh izin atas pengelolaan lingkungan, dibebani kewajiban untuk melakukan penanggulangan pencemaran atau perusakan lingkungan yang timbul dari aktivitas usahanya (Helmi, 2010). Badan usaha juga harus melihat dan menjaga keberlangsungan lingkungan, kualitas lingkungan serta pemulihan atas lingkungan yang telah dicemari oleh kegiatan usaha.

Izin lingkungan yang termuat dalam UUPPLH ini menggabungkan proses

pengurusan keputusan kelayakan

lingkungan hidup, izin pembuangan limbah cair, dan izin limbah bahan beracun berbahaya (B-3).

Pada saat ini ketiga perizinan tersebut digabungkan serta diurus sekaligus atau menjadi satu kali dalam bentuk izin lingkungan. Syaratnya pun sudah jelas pada saat untuk pengurusan penerbitan izin lingkungan oleh badan usaha, yaitu analisis mengenai dampak

lingkungan (AMDAL) atau upaya

pengelolaan lingkungan hidup (UKL) dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UPL). Sehingga tanpa ketiga dokumen, izin lingkungan tersebut izin usaha tidak akan diberikan.

Selain pengaturan izin yang diatur

dalam UUPPLH, pemerintah juga

mengeluarkan peraturan turunan dari UU ini sebagai peraturan teknis dalam pelaksanaannya, peraturan tersebut ialah Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan, yang secara umum Peraturan Pemerintah ini memuat prosedur teknis dari izin lingkungan yang rigid dan ketat, sehingga setiap badan usaha yang akan memperoleh izin lingkungan harus mengikuti serta taat terhadap Peraturan Pemerintah ini. Hal ini menyebabkan bagi pelaku usaha untuk bekerja keras dan ekstra untuk memenuhi berbagai prosedur yang dicantumkan dalam Peraturan Pemerintah tersebut. Selain itu juga, setiap pelaku usaha juga

harus menyiapkan dokumentasi

penyusunan AMDAL serta siap mendanai segala bentuk pengeluaran yang diperlukan untuk penyusunan dokumen AMDAL.

Diatur dalam Pasal 42 dan Pasal 47 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa permohonan Izin Lingkungan disampaikan bersamaan dengan pengajuan penilaian Andal dan RKL-RPL atau pemeriksaan UKL-UPL. Begitu pula penerbitan izin lingkungan

(5)

188

diterbitkannya Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau Rekomendasi UKL-UPL. Izin Lingkungan sebagaimana dimaksud diterbitkan oleh:

a. Menteri, untuk Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau Rekomendasi UKL-UPL yang diterbitkan oleh Menteri;

b. Gubernur, untuk Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau Rekomendasi UKL-UPL yang diterbitkan oleh Gubernur; dan

c. Bupati/Walikota, untuk Keputusan KelayakanLingkungan Hidup atau

Rekomendasi UKL-UPL yang

diterbitkan oleh Bupati/Walikota. Terkait dengan Usaha dan/atau Kegiatan yang direncanakan Pemrakarsa wajib memiliki izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (izin PPLH), Izin Lingkungan mencantumkan jumlah dan jenis izin PPLH sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Izin PPLH tersebut antara lain:

a. izin pembuangan limbah cair;

b. izin pemanfaatan air limbah untuk aplikasi ke tanah;

c. izin penyimpanan sementara limbah B3;

d. izin pengumpulan limbah B3; e. izin pengangkutan limbah B3; f. izin pemanfaatan limbah B3; g. izin pengolahan limbah B3; h. izin penimbunan limbah B3;

i. izin pembuangan air limbah ke laut; j. izin dumping;

k. izin reinjeksi ke dalam formasi, dan/atau izin venting.

Wacana Pengaturan Perizinan

Lingkungan Hidup dalam Undang-Undang Cipta Kerja

Hadirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (selanjutnya disebut UU Cipta Kerja) yang menyederhanakan lebih 70 aturan di negeri ini dimaksudkan untuk kemudahan berinvestasi dengan alasan agar

mendorong penciptaan lapangan kerja. Bermacam UU pun diubah, termasuklah UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Kehutanan, permbangan dan masih banyak yang lainnya yang berkaitan dengan lingkungan hidup.

UU Cipta Kerja mengubah konsepsi kegiatan usaha dari berbasis izin menjadi penerapan standar dan berbasis risiko. Perizinan berusaha adalah pelaksanaan pengawasan yang merupakan instrumen pemerintah dalam rangka pengendalian kegiatan usaha agar berjalan dengan baik.

Penerapan perizinan berusaha berbasis risiko sebagimana diatur dalam

Undang-Undang Cipta dilakukan

berdasarkan penetapan risiko kegiatan usaha.

1) Penetapan tingkat risiko diperoleh berdasarkan perhitungan nilai tingkat bahaya dan nilai potensi terjadinya bahaya.

2) Penilaian tingkat bahaya tersebut dilakukan terhadap aspek :

a.Kesehatan; b.Keselamatan;

c.Lingkungan; dan/atau d.Pemanfaatan sumber daya.

3) Penilaian tingkat bahaya kegiatan

usaha dilakukan dengan

memperhitungkan: a.jenis kegiatan usaha; b.kriteria kegiatan usaha;

c.lokasi kegiatan usaha; dan/atau d.keterbatasan sumber daya. 4) Potensi terjadinya bahaya meliputi :

a.tidak pernah terjadi; b.jarang terjadi; c.pernah terjadi; atau d.sering terjadi.

5) Penilaian tingkat bahaya dan penilaian atas potensi bahaya, tingkat risiko usaha ditetapkan menjadi :

a.kegiatan usaha berisiko rendah; b.kegiatan usaha berisiko menengah;

atau

(6)

189

Terdapat catatan penting pada Pasal 8 ini, karena menurut penulis terjadi ketidakjelasan penentuan kriterian tingkat bahaya dan klasifikasi potensi terjadinya bahaya berpotensi yang akan mengabaikan risiko-risiko yang belum atau tidak teridentifikasi. Selain itu juga penilaian tingkat bahaya untuk menentukan tingkat risiko kegiatan usaha tidak terdapat aspek risiko kebencanaan, sehingga suatu kegiatan usaha berpotensi untuk menghilangkan risiko bencana alam ataupun bencana yang disebabkan oleh manusia. Selain itu terdapat beberapa proyek strategis nasional yang berada dalam kawasan risiko bencana.

Pada Pasal 11 ayat (2) mengatakan bahwa Izin merupakan persetujuan Pemerintah Pusat untuk pelaksanaan kegiatan usaha yang wajib dipenuhi oleh pelaku usaha sebelum melaksanakan kegiatan usaha. Pemberian izin pada UU Cipta Kerja ini dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat. Hal ini sangat disayangkan bahwa Pemerintah Daerah akan kehilangan kewenangannya dalam menerbitkan izin, lebih krusial lagi tidak adanya AMDAL akan sangat berdampak buruk terhadap keberlanjutan lingkungan hidup atas pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh badan usaha/kegiatan.

Serta didalam Pasal 12 yang mengatur tentang Pengawasan terhadap setiap kegiatan usaha dilakukan dengan intensitas pelaksanaan berdasarkan tingkat risiko kegiatan usaha, menurut hemat penulis tidak ada penjelasan intensitas pelaksanaan berdasarkan tingkat risiko kegiatan usaha seperti apa. Hal ini dapat berakibat pada abainya pelanggaran-pelanggaran dan eskalasi risiko.

Peraturan berbasis risiko dalam UU Cipta Kerja tidak dapat diterapkan dengan baik di Indonesia, karena regulasi berbasis resiko dilakukan untuk meningkatkan efesiensi regulasi dengan memberi

prioritas kepada hal-hal yang risikonya dinilai tinggi, sesuai dengan tujuan regulasi Sesuai dengan teorinya, dalam melakukan regulasi berbasis risiko, regulator akan diharuskan melakukan hal-hal berikut: (Baldwin, Cave and Lodge, 2012).

a. mendefenisikan dengan jelas tujuan dari regulasi dan mendefinisikan risiko-resiko apa saja yang dihadapi dalam mencapai tujuan regulasi tersebut;

b. menentukan risiko yang dapat diterima dan tidak (risk appettie); c. membuat pemeringkatan risiko berdas

arkan kemungkinan (likehood) dan dampak (severity) dari suatu resiko; d. mengalokasikan sumber daya sesuai

dengan peringkat resikonya.

Pada kondisi seperti ini, terdapat risiko-risiko dimana regulasi berbasis risiko tidak dapat diterapkan dengan baik di Indonesia. Dimana lewat mekanisme

omnibus law ini, pemerintah sebagai

regulator akan kebingungan apa yang menjadi mandat dan tujuan regulasi. Contohnya saja tujuan dari omnibus law yang akan diterapkan di Indonesia yang menyangkut masalah lingkungan ialah untuk menarik investasi, membuka lapangan kerja dan lain sebagainya. Namun dalam Pasal 3 UUPPLH, regulasi yang dibuat pemerintah tersebut memilki tujuan melindungi NKRI dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem, menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia dan sebagainya.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa antara mendatangkan atau menarik investasi dengan tujuan untuk melindungi lingkungan ialah menurut hemat penulis adalah dua tujuan yang bisa jadi bertentangan atau berbeda tujuan. Karena logikanya saja mendangkan investasi bisa dicapai dengan merusak lingkungan tanpa

(7)

190

melihat aspek-aspek perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang akan menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan. Pemerintah baru bisa mendefinisikan risiko setelah tahu ada tujuan regulasinya, jika investasi menjadi tujuan dari regulasi tersebut, maka aturan lingkungan yang ketat dan dianggap menyulitkan oleh para investor adalah faktor utama dari risiko tersebut. Namun, sebaliknya jika tujuan regulasi itu ialah perlindungan lingkungan, maka investasi di suatu wilayah justru menjadi faktor risikonya.

Pada penentuan risiko pun

cenderung subjektif dan mudah

diperdebatkan, karena dalam penentuan risiko setiap orang atau komunitas bisa berbeda-beda. Ada sebagian orang yang bersifat menghindari risiko (Risk Averse) sementara yang lainnya mengambil risiko (risk taker). Serta dalam pemeringkatan risiko tersebut akan memerlukan sangat banyak data, serta pada praktiknya terdapat beberapa kegagalan pendekatan berbasis risiko ketika yang dianggap risikonya kecil kemudian berubah menjadi besar karena tidak pernah diawasi.

Pada penghapusan izin lingkungan pun tidak sesuai dengan sistem pengaturan pengelolaan lingkungan hidup dan akan menyulitkan pengawasan dan penegakan hukum. Pengelolaan dan

perlindungan lingkungan hidup

memerlukan sistem pengaturan yang dapat menyeluruh, termasuk didalamnya pilihan instrumen pengelolaan lingkungan hidup yang tepat dan komprehensif. Pengahapusan izin lingkungan dalam

Omnibus Law akan berpotensi

menimbulkan masalah antara lain : (ICEL) a. tanpa izin lingkungan pemerintah

akan kesulitan untuk melakukan pengawasan dan menegakkan hukum; b. dihapusnya izin lingkungan akan

berdampak pada berkurangnya kesempatan bagi masyarakat untuk

menganulir atau mengoreksi

keputusan yang melanggar hukum yang berkaitan dengan aspek lingkungan hidup;

c. dihapusnya izin lingkungan akan mengurangi aspek pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;

Penghilangan ancaman sanksi pidana bagi pelanggaran izin akan memberi sinyal positif bagi pelaku usaha untuk memilih mengabaikan lingkungan hidup, karena pada prinsipnya hukum pidana ialah

mengatur suatu perbuatan yang

berdasarkan norma sosial masyarakat

dengan tujuan untuk mendorong

terwujudnya norma sosial yang

menyatakan perbuatan tersebut salah. Pada UUPPLH ketentuan pidana yang terkait izin lingkungan berlaku bagi kegiatan usaha yang berpotensi besar merusak atau mencemari lingkungan namun tidak memiliki izin lingkungan atau tidak menjalankan sanksi administrasi. Pelanggaran terhadap izin sangat mungkin

berdampak pada pencemaran dan

kerusakan lingkungan, bahkan sangat mungkin pula berdampak pada kesehatan, kesejahteraan, dan mengancam nyawa masyarakat terdampak. Dengan demikian, penghapusan sanksi pidana bagi perbuatan pengabaian, perusakan dan pencemaran lingkungan sama saja dengan menganggap bahwa perbuatan tersebut bukan kesalahan.

Adanya wacana membatasi pelibatan masyarakat dalam proses studi dampak dan pengambilan keputusan kelayakan lingkungan hidup berbanding terbalik dengan semangat demokrasi. Salah satu wacana Omnibus Law ialah mengubah norma pengumuman kepada masyarakat dari dilakukan dengan cara yang mudah diketahui masyarakat menjadi dilakukan melalui sistem elektronik dan atau cara lain yang ditetapkan oleh pemerintah (Materi Focus Group Discussion (FGD) KLHK, 2019.) Apabila benar demikian yang akan terjadi, maka kualitas aturan dan

(8)

191

impelmentasi partisipasi public akan memburuk.

Pelibatan masyarakat perlu diawali dengan memberikan informasi yang mudah dipahami sehingga masyarakat mampu mengetahui risiko atau prediksi

dampak usaha/kegiatan terhadap

kehidupan mereka. Pelibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan layak lingkungan atau tidaknya suatu usaha/kegaitan penting untuk beberapa alasan, antara lain: (ICEL)

a. sarana agar produk keputusan yang dibuat adalah keputusan yang

mendapatkan dukungan dari

masyarakat sehingga memudahkan proses pengawasan penaatan dan penegakan hukumnya;

b. menjadi sarana pendidikan politik agar masyarakat ikut merasa memiliki,

hingga menumbuhkan rasa

bertanggung jawab secara moril atas dampak dan potensi dampak dari keputusan terkait pembangunan bagi generasi sekarang dan mendatang; c. sarana memperdalam pemahaman

pembuat kebijakan terhadap masalah aktual yang tumbuh di masyarakat. SIMPULAN

Konsep perizinan berusaha di bidang lingkungan hidup yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup (UUPPLH)

menggunakan pendekatan berbasis izin

(lisence approach) yang akan diubah

menjadi penerapan standar dan berbaris risiko (Risk-Based Approach/RBA) dalam

Omnibus Law, hal ini berarti bahwa

pemberian izin akan dilakukan oleh

pemerintah pusat berdasarkan

perhitungan nilai tingkat bahaya dan nilai potensi terjadi bahaya terhadap aspek kesehatan, keselamatan, lingkungan dan/atau pemanfaatan sumber daya.

Proses perizinan dengan

menggunakan konsep pendekatan

berbasis izin (License Approach) yang diatur dalam UUPPLH sudah baik dan optimal diterapkan di Indonesia, namun apabila ada beberapa kekurangan seharusnya diperbaiki atau ditingkatkan bukan malah diganti atau di hapus dengan menjadi pendekatan berbaris risiko (Risk Based Approach/RBA) yang ada didalam Omnibus Law.

DAFTAR PUSTAKA

Baldwin, R. Cave, M. & Lodge, M. (2012). Understanding Regulation: Theory, Strategy, and Practice (2nd ed, Oxford University Press 2012). Dikutip oleh ICEL, Hukum dan Kebijakan Lingkungan Dalam Proses Percepatan Investasi: Catatan Terhadap Wacana Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Seri#1.

Cahyaningrum, M. (2019). Sistem Perizinan Lingkungan Hidup Dalam Upaya Pembangunan Infrastruktur Yang Berwawasan Lingkungan, Jurnal Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya: 2 H, R. dan Pudyatmoko Y.S. (2016). Kebijakan

Perizinan Lingkungan Hidup Di Daerah Istimewa Yogyakarta, Jurnal Mimbar Hukum. Vol. 28 (2): 265

Helmi. (2010). Kedudukan Izin Lingkungan Dalam Sistem Perizinan Di Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum, Vol 2 (2): 2

ICEL, Hukum dan Kebijakan Lingkungan Dalam Proses Percepatan Investasi: Catatan Terhadap Wacana Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja.

Marzuki, P. M. (2010). Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Persada Group

Materi Power Point Focus Group Discussion (FGD) KLHK, 15 Desember 2019.

Memahami Gagasan Omnibus Law,

https://business- law.binus.ac.id/2019/10/03/memahami-gagasan-omnibus-law/, dikutip pada 01 April 2020.

Menyoal Omnibus Law,

https://investor.id/archive/menyoal-omnibus-law, dikutip pada 01 April 2020. Prins, W.F. dan Adisapoetra, R.K., (1978), Pengantar

Ilmu Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Pradnya Paramita

Rangkuti, S.S. (2005). Hukum Lingkungan dan Kebijkasanaan Lingkungan Nasional, Edisi Keempat, Surabaya: Airlangga University Press

Siahaan N.H.T. (2009). Hukum Lingkungan, 2009, Jakarta: Pancuran Alam.

(9)

192

Soekanto, S. dan Mamudji, S. (2011). Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan ke-13. Jakarta: Rajawali Pers

Sutedi, A, (2011), Hukum Perizinan dalam Sektor Pelayanan Publik, Cetakan kedua, Jakarta: Sinar Grafika

Syahrin, A. Anggusti, M. Alsa, A.A. (2018). Hukum Lingkungan Indonesia (Suatu Pengantar), Jakarta: Prenada Media Group

Syaputra, M.Y.A. (2016). Kajian Yuridis Terhadap Penegasan Hiearaki Peraturan Perundang- Undangan Di Indonesia Dalam Perspektif Stufen Theorie, Mercatoria Vol. 9 (2): 101

Tanggapan Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Atas Usulan Ruu Omnibus Law “Cipta Lapangan Kerja” Yang Terkait Dengan

Lingkungan Hidup Dan Kehutanan, Omnibus Law (Cipta Lapangan Kerja), Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia, Bogor, 27 Desember 2019

Wijoyo, S. (2012). Persyaratan Perizinan Lingkungan Dan Arti Pentingnya Bagi Upaya Pengelolaan Lingkungan Di Indonesa, Jurnal Yuridika. Vol 27 (2): 98

Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2012 Tentang Izin Lingkungan

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.

Referensi

Dokumen terkait

Pada perdagangan hari ini, kami perkirakan harga Surat Utang Negara masih akan berpeluang mengalami kenaikan dengan masih didukung oleh kenaikan cadangan devisa

No Nama Lengkap Wilayah

Umumnya rumah tradisional Banjar dibangun dengan ber-anjung (ba-anjung) yaitu sayap bangunan yang menjorok dari samping kanan dan kiri bangunan utama karena itu disebut

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus, karena atas berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan Tugas Perencanaan Unit Pengolahan Pangan dengan judul:

Variabel pada penelitian ini adalah umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, status pernikahan, dan daerah tempat tinggal pada karakteristik

Hasil ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi kepemilikan institusional dalam suatu perusahaan maka tingkat pengendalian terhadap tindakan manajemen sangat tinggi

Metode ini dilakukan dengan mengajukan pertanyaan secara langsung terhadap semua pihak yang terkait dengan Proyek Pembangunan Hotel Ibis Style seperti pihak Kotraktor,

Berdasarkan hasil pengujian UAT 2 didapatkan hasil presentase 100% bahwa pengguna merasa sistem yang telah dikembangkan sesuai dengan yang diharapkan serta sistem teruji dapat