• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Kebijakan Moneter Januari 2010

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Tinjauan Kebijakan Moneter Januari 2010"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

Tinjauan Kebijakan Moneter

Januari 2010

Tinjauan Kebijakan Moneter (TKM) dipublikasikan secara bulanan oleh Bank Indonesia setelah Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada setiap bulan Februari, Maret, Mei, Juni, Agustus, September, November, dan Desember. Laporan ini dimaksudkan sebagai media bagi Dewan Gubernur Bank Indonesia untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat luas mengenai evaluasi kondisi moneter terkini atas asesmen dan prakiraan perekonomian Indonesia serta respon kebijakan moneter Bank Indonesia yang dipublikasikan dalam Laporan Kebijakan Moneter (LKM) secara triwulanan pada setiap bulan Januari, April, Juli dan Oktober. Secara rinci, TKM menyampaikan hasil evaluasi atas perkembangan terkini mengenai inflasi, nilai tukar dan kondisi moneter selama bulan laporan, serta keputusan respon kebijakan moneter yang ditempuh Bank Indonesia.

Dewan Gubernur

Darmin Nasution Deputi Gubernur Senior Hartadi A. Sarwono Deputi Gubernur Siti Ch. Fadjrijah Deputi Gubernur S. Budi Rochadi Deputi Gubernur Muliaman D. Hadad Deputi Gubernur Ardhayadi Mitroatmodjo Deputi Gubernur

(4)

Daftar Isi

I. Statement Kebijakan Moneter ...3

II. Perkembangan dan Kebijakan Moneter ...7

Perkembangan Ekonomi Dunia ...7

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia ...10

Inflasi ...13

Nilai Tukar Rupiah ...15

Kebijakan Moneter ...17

Suku Bunga ...17

Dana, Kredit, dan Uang Beredar ...19

Pasar Saham ...21

Pasar SUN ...22

Pasar Reksadana ...23

Kondisi Perbankan ...24

(5)

I.

STATEMENT

KEBIJAKAN MONETER

Perkembangan berbagai indikator ekonomi menjelang akhir tahun 2009 ditandai oleh terus berlanjutnya perbaikan kondisi makroekonomi Indonesia. Perbaikan tersebut ditopang oleh

meningkatnya optimisme terhadap pertumbuhan ekonomi domestik dan global, serta terjaganya kestabilan makroekonomi domestik. Pertumbuhan ekonomi tahun 2009 diprakirakan tumbuh 4,3%, inflasi tercatat sebesar 2,78%, Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) mencatat surplus, dan nilai tukar secara point-to-point menguat sebesar 15,65% dibandingkan dengan tahun lalu. Di tengah-tengah krisis global, berbagai kinerja yang cukup positif tersebut tidak terlepas dari daya tahan permintaan domestik yang kuat, sektor perbankan yang tetap sehat dan stabil, ekspektasi pemulihan ekonomi global yang semakin optimis, serta respons kebijakan fiskal dan moneter yang akomodatif dalam mendukung terjaganya perekonomian domestik.

Kondisi perekonomian dan pasar keuangan global secara umum terus mencatat perkembangan yang positif. Proses pemulihan ekonomi di negara maju terus berlangsung. Hal tersebut sejalan dengan membaiknya kinerja konsumsi dan produksi, serta kondisi pasar tenaga kerja yang mulai mengindikasikan perbaikan. Kondisi pasar tenaga kerja di AS dan Jepang membaik sejalan dengan perbaikan konsumsi dan produksi. Sementara itu, ekonomi Asia yang memiliki peranan semakin penting sebagai penggerak utama pemulihan ekonomi global juga tumbuh semakin kuat. Sejalan dengan itu, kinerja pasar keuangan global terus membaik. Meskipun sempat mengalami tekanan akibat kembali menurunnya kepercayaan investor terkait krisis utang Dubai World dan krisis fiskal Yunani, dampak kedua krisis tersebut berlangsung singkat dan rambatannya bersifat minimal terhadap pasar keuangan dunia. Inflasi global tahun 2009 diprakirakan mulai meningkat sejalan dengan proses pemulihan ekonomi dunia, walaupun masih lebih rendah dibandingkan inflasi tahun 2008. Kondisi tersebut memungkinkan sejumlah negara maju untuk cenderung mempertahankan kebijakan moneter yang akomodatif. Sampai saat ini, sebagian besar bank sentral negara maju seperti AS, Inggris, dan Jepang masih menahan kenaikan suku bunganya pada bulan Desember sebagai upaya mendorong pemulihan ekonomi.

(6)

Di sisi domestik, perbaikan ekonomi global mendukung kinerja ekspor dan peningkatan investasi. Kinerja ekspor yang anjlok sangat signifikan di semester I-2009, mulai membaik pada pertengahan tahun sejalan dengan pemulihan perekonomian global yang kian membaik dan peningkatan harga komoditas. Beberapa sektor yang berorientasi ekspor seperti sektor industri pengolahan diperkirakan menunjukkan kinerja yang lebih baik pada kuartal IV-2009 seiring dengan membaiknya permintaan eksternal. Di sisi domestik, konsumsi rumah tangga masih tumbuh pada level tinggi, didorong oleh stabilnya daya beli masyarakat serta keyakinan konsumen yang masih terjaga. Membaiknya ekspor dan tetap tingginya konsumsi mendorong optimisme pelaku usaha untuk meningkatkan investasi, terutama sejak pertengahan tahun 2009. Pada triwulan IV-2009, investasi diperkirakan tumbuh lebih tinggi yang tercermin antara lain pada peningkatan konsumsi semen dan perbaikan pertumbuhan impor barang modal. Dengan semakin membaiknya kondisi perekonomian tersebut, pertumbuhan ekonomi secara tahunan di kuartal IV-2009 diperkirakan akan mencapai sebesar 4,4%. Secara keseluruhan tahun 2009, perekonomian diperkirakan akan tumbuh sebesar 4,3%.

Ketahanan perekonomian domestik juga dibarengi penurunan tekanan inflasi. Inflasi pada bulan Desember tercatat sebesar 0,33% (mtm), jauh lebih rendah dari rata-rata historisnya. Secara tahunan, inflasi IHK mencapai 2,78% (yoy), sementara inflasi inti tercatat sebesar 4,28% (yoy) pada tahun 2009. Rendahnya realisasi inflasi tidak terlepas dari perkembangan eksternal dan berbagai kebijakan yang ditempuh Pemerintah. Kontraksi ekonomi global yang cukup dalam mengakibatkan turunnya harga komoditas dunia di tahun 2009. Kondisi tersebut juga menyebabkan perlambatan kinerja ekonomi domestik. Selain dari sisi eksternal, rendahnya realisasi inflasi antara lain juga terkait dengan kecenderungan apresiasi nilai tukar rupiah di tahun 2009. Derasnya aliran masuk modal asing ke pasar keuangan domestik telah mendorong penguatan nilai tukar rupiah, terutama sejak akhir triwulan I-2009. Selain itu rendahnya realisasi inflasi selama tahun 2009 juga tidak terlepas dari berbagai kebijakan yang ditempuh oleh Pemerintah. Penurunan harga komoditas internasional, termasuk minyak mentah, memberi ruang bagi Pemerintah untuk kembali menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) pada awal tahun. Sementara itu, upaya Pemerintah untuk menjaga pasokan dan distribusi komoditas bahan pangan, terutama beras, menyebabkan inflasi volatile food tercatat cukup rendah dibandingkan dengan pola historisnya. Dengan berbagai perkembangan tersebut,

(7)

realisasi inflasi berada di bawah kisaran sasaran inflasi tahun 2009 sebesar 4,5% ± 1%.

Kinerja Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) mencatat surplus mendukung penguatan nilai tukar rupiah. Pada tahun 2009, NPI mencatat surplus dengan posisi cadangan devisa mencapai USD66,1 miliar atau setara 6,6 bulan pembayaran impor dan utang luar negeri (ULN) Pemerintah. Surplus NPI terutama dipengaruhi oleh menurunnya impor secara signifikan searah dengan menurunnya kebutuhan bahan baku impor untuk industri yang berorientasi ekspor maupun menurunnya impor barang-barang konsumsi. Kinerja ekspor, walaupun masih mencatat pertumbuhan negatif, namun masih lebih baik dibandingkan dengan pertumbuhan impor. Hal ini terutama disebabkan oleh menguatnya permintaan ekspor komoditas sumber daya alam terutama dari negara-negara emerging Asia, yang mengalami proses pemulihan yang lebih cepat. Di samping itu, surplus NPI didukung oleh derasnya arus modal masuk ke dalam negeri yang didorong oleh prospek makroekonomi yang membaik, imbal hasil rupiah yang relatif tinggi, serta semakin membaiknya tingkat kepercayaan internasional terhadap korporasi domestik. Sejalan dengan perkembangan NPI tersebut, perkembangan nilai tukar Rupiah cenderung menguat sejak akhir triwulan I-2009. Dibandingkan dengan tahun 2008, rupiah secara point-to-point menguat sebesar 15,65% menjadi Rp9.425/USD.

Di sektor keuangan, stabilitas sistem perbankan tetap terjaga, namun penyesuaian suku bunga kredit belum seperti yang diharapkan. Penurunan suku bunga, khususnya suku bunga deposito perbankan, masih terus berlangsung. Namun demikian, transmisi kebijakan moneter melalui suku bunga sebagaimana tercermin pada penurunan suku bunga kredit masih relatif terbatas. Tingkat suku bunga kredit yang belum turun secara signifikan, kegiatan ekonomi yang belum meningkat secara pesat, serta persepsi risiko dari perbankan yang masih tinggi mengakibatkan kredit perbankan sejak Januari hingga November 2009 baru tumbuh 5,7% (ytd). Di jalur harga aset, stance kebijakan yang cenderung longgar direspons secara baik di pasar saham maupun SUN. Indeks harga di bursa saham meningkat sejalan dengan derasnya arus masuk modal asing dan perkembangan positif di pasar keuangan global. Di pasar obligasi, yield SUN terus menurun sejalan dengan optimisme pemulihan ekonomi dunia, membaiknya persepsi risiko global terhadap Indonesia, disertai terjaganya inflasi dan sustainabilitas fiskal. Di sisi

(8)

mikro perbankan, stabilitas sistem perbankan nasional tetap stabil. Hal itu diindikasikan oleh masih terjaganya rasio kecukupan modal (CAR) per November 2009 sebesar 17%. Sementara itu, rasio gross Non Performing Loan (NPL) tetap terkendali pada 4,4% dengan rasio net sebesar 1,4%. Likuiditas Perbankan, termasuk likuiditas di pasar uang antar bank makin membaik dan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) meningkat.

Ke depan, prospek perekonomian Indonesia diperkirakan akan membaik, meskipun berbagai faktor risiko dan ketidakpastian perlu terus dicermati. Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi mencapai 5,0-5,5% pada tahun 2010. Inflasi ditargetkan mencapai kisaran 5±1% pada tahun 2010. Upaya percepatan momentum untuk akselerasi pertumbuhan ekonomi dengan tetap menjaga inflasi yang rendah masih dihadapkan pada berbagai tantangan-tantangan mikro dan struktural dalam perekonomian seperti kelemahan daya saing sektor industri, struktur pasar komoditas bahan pokok yang cenderung oligopolistik dan berbagai permasalahan terkait lokasi sentra produksi, distribusi, dan tata niaga. Belum optimalnya transmisi kebijakan moneter melalui jalur kredit merupakan tantangan yang akan menjadi prioritas untuk segera dipecahkan.

Mempertimbangkan permasalahan dan tantangan tersebut, kebijakan moneter Bank Indonesia untuk mencapai sasaran inflasi sebesar 5±1% di tahun 2010 akan didukung oleh implementasi serangkai langkah kebijakan. Di sisi operasional, fokus kebijakan diarahkan untuk meningkatkan efektifitas transmisi kebijakan moneter, mengelola ekses likuiditas perbankan, dan menjaga volatilitas nilai tukar dalam rangka terjaganya ekspektasi inflasi masyarakat. Di sisi struktural, upaya koordinasi dengan Pemerintah akan ditingkatkan untuk memitigasi dampak struktural inflasi yang bersumber dari masalah distribusi, tata niaga, dan struktur pasar komoditas bahan pokok. Untuk itu, Tim Pengendalian Inflasi yang merupakan tim lintas departemen yang terkait dengan pengendalian inflasi akan terus diefektifkan baik di pusat maupun di daerah.

Dengan mempertimbangkan bahwa tingkat BI Rate 6,5% masih konsisten dengan sasaran inflasi tahun 2010 sebesar 5% ±1% dan arah kebijakan moneter saat ini juga dipandang masih kondusif bagi proses pemulihan perekonomian dan berlangsungnya intermediasi perbankan, Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 6 Januari 2010 memutuskan untuk mempertahankan BI

(9)

Rate pada level 6,5% dengan koridor suku bunga yang juga tetap sebesar +/-50 bps di sekitar BI Rate, yaitu suku bunga repo sebesar 7% dan suku bunga FASBI sebesar 6%.

II. PERKEMBANGAN EKONOMI DAN

KEBIJAKAN MONETER

Kinerja perekonomian Indonesia terus menunjukkan perbaikan seiring dengan kondisi perekonomian dan pasar keuangan global yang semakin membaik. Di sisi harga, inflasi selama keseluruhan tahun 2009 tercatat cukup rendah jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya terutama didorong oleh faktor nonfundamental. Sementara itu, kebijakan moneter yang cenderung longgar pada tahun 2009 mendorong peningkatan harga aset termasuk IHSG. Di sisi mikro perbankan, kondisi perbankan nasional tetap stabil.

Perkembangan Ekonomi Dunia

Secara umum, kondisi perekonomian dan pasar keuangan global terus membaik. Proses pemulihan ekonomi negara maju terus berlangsung. Hal tersebut sejalan dengan membaiknya kinerja konsumsi dan produksi, serta kondisi pasar tenaga kerja yang secara umum

terindikasi mulai membaik. Sementara itu, ekonomi Asia memiliki peranan penting sebagai penggerak utama pemulihan ekonomi global. Permintaan domestik di kawasan Asia semakin tumbuh solid didukung oleh stimulus fiskal di tengah membaiknya kondisi eksternal. Pesatnya pemulihan ekonomi Asia direspons pasar keuangan dengan berlanjutnya perbaikan berbagai indikator di pasar keuangan terutama harga saham. China sebagai motor penggerak perekonomian Asia mengalami pemulihan yang cepat. Pesatnya pertumbuhan ekonomi China mendorong aliran masuk modal asing serta memacu impor tumbuh pesat melampaui pertumbuhan ekspor. Membaiknya kinerja eksternal tersebut disertai dengan pemulihan konsumsi menjadikan ekonomi Asia pulih lebih cepat dibandingkan dengan kawasan lain.

Perekonomian di negara maju masih terus mengalami proses pemulihan. Musim liburan seperti Thanksgiving di AS dan silver week di Jepang mengakibatkan pengeluaran rumah tangga dan indikator penjualan eceran di kedua negara tersebut meningkat. Kondisi pasar

(10)

tenaga kerja di kedua negara tersebut juga membaik sejalan dengan perbaikan konsumsi dan produksi. Sementara itu, kondisi pasar tenaga kerja di Eropa masih terus memburuk dan mendorong menurunnya pendapatan rumah tangga. Mulai meredanya efek stimulus fiskal di AS dan Jepang, memicu Pemerintah AS dan Jepang untuk merencanakan paket stimulus fiskal tahap dua. Kondisi ini diperkirakan akan membantu mendorong proses pemulihan lebih lanjut.

Secara umum, perekonomian AS mulai menunjukkan

peningkatan yang didukung oleh perbaikan konsumsi dan kondisi ketenagakerjaan. Konsumsi rumah tangga AS mengalami perbaikan terutama terlihat dari indikator penjualan eceran AS antara lain akibat program cash for clunkers (Grafik 2.1). Pemerintah AS menyediakan dana sebesar 1 milyar dolar AS untuk menyediakan sekitar 4.000 dolar AS per kendaraan bagi pembeli yang menukar kendaraannya yang berbahan bakar kurang efisien untuk membeli kendaraan yang berbahan bakar lebih efisien. Program tersebut mampu mendongkrak penjualan mobil dan tren penguatan keyakinan konsumen terhadap prospek ekonomi ke depan. Di samping itu, perbaikan ekonomi AS juga tercermin dari meredanya tekanan PHK sehingga tingkat pengangguran menurun dari 10,2% pada bulan Oktober menjadi 10,0% pada bulan November. Namun demikian, masih tingginya tingkat pengangguran tersebut mendorong pemerintah AS merencanakan untuk meluncurkan paket stimulus fiskal tahap kedua yang diperkirakan mencapai USD 150 miliar. Paket stimulus kedua ini akan bersumber dari sisa program TARP (Trouble Assets Relief Programme) khususnya program CPP (Capital Purchase Programme) yang tidak terpakai sejalan dengan membaiknya kondisi permodalan perbankan.

Sektor produksi di AS mulai mengalami perbaikan. Ekspektasi membaiknya konsumsi di AS direspons dengan peningkatan jumlah stok barang (inventory) oleh sektor produksi. Peningkatan jumlah stok barang ini dilakukan sebagai upaya untuk mengantisipasi kuatnya konsumsi rumah tangga menjelang libur akhir tahun. Perbaikan sektor produksi AS tercermin dari kenaikan indeks produksi dan kapasitas produksi (Grafik 2.2). Namun, indeks Survei Manajer Pembelian (PMI) sedikit melemah di bulan November terkait kekhawatiran meredanya efek stimulus fiskal. Secara umum, sektor produksi ke depan diperkirakan akan terus menguat. Tren pelemahan dollar dan terjaganya risk appetite investor

mengakibatkan pasar keuangan global terus menguat. Kinerja pasar keuangan global terus membaik meskipun sempat mengalami tekanan akibat kembali menurunnya kepercayaan investor terkait krisis utang Dubai

Grafik 2.1 Real Income Spending Rumah Tangga AS

Grafik 2.2 Industrial Production dan Capacity Utilisation AS ����������������� ������������ ������������ �������� ������ �������� ����������� �� �� �� � � � � ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ���� ���� ���� ��� ��� ������ ����������������� ��� ��� ��� ����� ����� ����� ����� ����� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ���� ���� ���� �� �� �� �� �� �������������������� ����������������������������

(11)

World dan krisis fiskal Yunani. Namun demikian, dampak kedua krisis tersebut berlangsung singkat dan rambatannya bersifat minimal terhadap pasar keuangan dunia. Bursa saham global seperti terindikasi dari indeks komposit MSCI menunjukkan penguatan. Kondisi likuiditas global juga semakin membaik seperti tergambar dari menyempitnya spread LIBOR to Overnight Index Swap (OIS) akibat unconventional measures yang masih ditempuh Bank Sentral AS, Euro, Jepang, dan Inggris. Sementara itu, masih terjaganya persepsi risiko investor dan prospek ekonomi yang kian membaik mendorong perpindahan arus dana dari US Treasury Securities ke aset-aset yang lebih berisiko seperti bursa saham, surat-surat berharga korporasi dan aset-aset negara berkembang. Pasar keuangan Asia juga membaik seiring dengan perbaikan fundamental ekonomi Asia. Inflasi dunia tahun 2009 diprakirakan relatif masih sama dibandingkan dengan bulan sebelumnya seiring dengan proses pemulihan ekonomi dunia yang masih berlangsung. Prakiraan laju inflasi global untuk keseluruhan tahun 2009 pada bulan Desember relatif sama dari bulan sebelumnya yaitu sebesar 1,73% (yoy) akibat meningkatnya aktivitas ekonomi dunia serta harga komoditas internasional. Namun demikian, prakiraan inflasi tersebut menurun jika dibandingkan dengan rata-rata inflasi tahun sebelumnya yang sebesar 6,0%. Tekanan inflasi di negara berkembang diprakirakan sebesar 3,98% (yoy), sementara di kelompok negara maju diprakirakan sebesar 0,04% (yoy).

Suku bunga kebijakan di sebagian besar negara maju masih

akomodatif. Sebagian besar bank sentral negara maju seperti AS, Inggris, Jepang, Kanada, Selandia Baru, Swedia, dan Swiss masih menahan kenaikan suku bunganya pada bulan Desember sebagai upaya mendorong pemulihan ekonomi. Namun, bank sentral Australia (RBA) kembali

memutuskan untuk menempuh kebijakan ketat dengan menaikkan suku bunga acuan untuk ketiga kalinya dalam tahun ini sehingga mencapai 3,75%. Tujuan kebijakan ketat ini adalah untuk mencegah terjadinya asset bubble dan tekanan inflasi Australia yang diperkirakan mulai meningkat. Respons kebijakan moneter negara berkembang terutama di Asia masih tetap, meskipun di kawasan Amerikan Latin respons kebijakan beberapa negara sudah akomodatif. Secara keseluruhan tahun, kebijakan moneter bank sentral negara maju dan negara berkembang cenderung longgar di level yang rendah. Kebijakan moneter yang longgar ditempuh sebagai upaya untuk melonggarkan tekanan di pasar keuangan dan menahan kejatuhan permintaan domestik yang lebih dalam.

(12)

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk keseluruhan tahun 2009 diperkirakan mencapai 4,3% (yoy). Selama paruh pertama tahun 2009, tekanan pelemahan permintaan global yang terjadi sejak awal tahun berdampak pada penurunan pertumbuhan ekspor dan investasi. Lemahnya pertumbuhan ekspor dan investasi berimplikasi pada turunnya daya beli masyarakat dan memicu terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Namun demikian, adanya kegiatan Pemilu serta berbagai upaya Pemerintah untuk meningkatkan daya beli masyarakat melalui program Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan pengurangan pajak penghasilan membantu konsumsi rumah tangga untuk tumbuh cukup tinggi. Dengan perkembangan tersebut, pada semester pertama tahun 2009 konsumsi rumah tangga tumbuh sebesar 6,0% pada triwulan I dan 4,8% pada triwulan II (yoy). Meskipun melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, pertumbuhan konsumsi rumah tangga tersebut masih cukup tinggi. Memasuki semester kedua tahun 2009, meskipun faktor Pemilu sudah usai, namun pertumbuhan konsumsi rumah tangga masih relatif stabil yaitu 4,7%. Hal tersebut terkait dengan masih tingginya konsumsi kelompok masyarakat menengah atas, realisasi gaji ke-13, dan adanya pola musiman konsumsi menjelang hari raya keagamaan. Di samping itu, perbaikan kinerja ekspor juga diperkirakan membantu tingkat konsumsi pada semester kedua tahun 2009. Dari sisi penawaran, melambatnya perekonomian dunia berpengaruh terhadap kinerja sektor

tradables sementara kinerja sektor nontradables masih membaik. Melambatnya perekonomian dunia berdampak minimal terhadap sektor pertanian dan perdagangan, namun memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap kinerja sektor industri pengolahan seiring dengan menurunnya permintaan ekspor negara mitra dagang. Penyelenggaraan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden pada paro pertama tahun 2009 memberikan dorongan terhadap kinerja sektor nontradables serta sektor industri terutama subsektor industri makanan dan minuman, tekstil, dan kertas. Sementara itu, sektor pengangkutan dan komunikasi tumbuh tinggi sepanjang tahun 2009 terutama ditopang oleh subsektor komunikasi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan IV-2009

diprakirakan akan meningkat seiring dengan semakin membaiknya kondisi perekonomian global dan domestik. Di sisi permintaan, konsumsi rumah tangga diprakirakan masih berada pada level tinggi yang

didorong oleh stabilnya daya beli masyarakat serta keyakinan konsumen Grafik 2.3 Penjualan Produk Elektronik

�������� ��� ��� �� �� �� �� � � � � � �������� ���� ���� ���� � �� ��� �� � �� ��� �� � �� ��� ��� �������������������� �� ��������� ����������

(13)

yang masih terjaga. Hal tersebut pada akhirnya juga akan mendorong optimisme pelaku usaha untuk meningkatkan investasi. Kinerja ekspor diperkirakan semakin membaik terkait dengan perekonomian global yang kian membaik dan peningkatan harga komoditas. Di sisi penawaran, beberapa sektor diperkirakan akan menunjukkan perbaikan seiring dengan membaiknya permintaan eksternal dan stabilnya perekonomian domestik. Konsumsi rumah tangga pada triwulan IV-2009 diprakirakan masih tumbuh relatif tinggi. Prakiraan tersebut sejalan dengan perkembangan indikator penuntun konsumsi rumah tangga yang mengindikasikan perbaikan. Dorongan faktor musiman menjelang akhir tahun dan peningkatan pendapatan ekspor diperkirakan menopang kestabilan pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kuartal IV-2009. Stabilnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga juga didukung oleh perkembangan beberapa indikator dini. Daya beli masyarakat yang terkait dengan konsumsi barang tahan lama seperti produk elektronik dan kendaraan bermotor tumbuh meningkat pada Oktober 2009 (Grafik 2.3 dan 2.4). Indeks penjualan eceran sampai dengan pertengahan triwulan IV-2009 juga tumbuh membaik ditopang oleh meningkatnya penjualan pada kelompok pakaian dan perlengkapan, kelompok bahan konstruksi, serta kelompok makanan dan tembakau (Grafik 2.5). Searah dengan hal tersebut, pertumbuhan impor barang konsumsi pada awal triwulan IV-2009 juga mengkonfirmasi stabilnya konsumsi masyarakat. Perbaikan pertumbuhan konsumsi juga tercermin pada kenaikan pertumbuhan M1 riil hingga Oktober 2009 (Grafik 2.6).

Pertumbuhan investasi (PMTB) pada triwulan IV-2009 diprakirakan membaik seiring dengan membaiknya permintaan eksternal dan domestik. Perbaikan pertumbuhan impor barang modal, masih tingginya konsumsi semen, serta perkiraan lonjakan realisasi belanja modal Pemerintah pada akhir tahun mendukung indikasi peningkatan pertumbuhan investasi pada triwulan IV-2009 (Grafik 2.7, 2.8, dan 2.9). Jika dilihat dari strukturnya, pangsa utama pertumbuhan investasi pada triwulan IV-2009 diperkirakan masih bersumber dari investasi bangunan. Di sisi pembiayaan, dukungan pembiayaan investasi masih relatif memadai sebagaimana ditunjukkan oleh pertumbuhan kredit investasi rill yang cukup tinggi (Grafik 2.10).

Sejalan dengan membaiknya kondisi perekonomian negara mitra dagang, kinerja ekspor pada triwulan IV-2009 diprakirakan membaik. Indikasi membaiknya kinerja ekspor tercermin dari membaiknya

Grafik 2.4 Pertumbuhan Penjualan Mobil

Grafik 2.5 Indeks Penjualan Eceran -SPE BI

Grafik 2.6 Pertumbuhan M1 Riil dan PDB Konsumsi RT �������� ������������������ ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ���� ���� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ������ ������ ���� ����� ����� ����� ����� ������ ������ ������ ������������������ ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ���� ���� �� �� �� �� �� � �� �� �� �� �� ��� ��� ����������������� ������������� ��� �� � �� �� �� � � � � � ���� ���� ���� � �� ��� �� � �� ��� �� � �� ��� ��

(14)

permintaan negara maju seperti Amerika dan China. Selain itu,

membaiknya indeks produksi, indeks kepercayaan konsumen dan sentimen bisnis negara Eropa dan China juga mendorong peningkatan pertumbuhan ekspor. Indikasi perbaikan juga tercermin dari masih tingginya volume perdagangan global yang tercermin dari indeks Baltic Dry posisi Desember 2009. Sementara itu, perdagangan dengan negara lainnya seperti India juga diperkirakan semakin membaik sehubungan dengan disepakatinya Free Trade Agreement (AI-FTA) negara-negara ASEAN dengan India. Di sisi pembiayaan ekspor, mulai beroperasinya Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dan penundaan kewajiban L/C pada semester II-2009 diharapkan dapat mendorong perbaikan pembiayaan kegiatan ekspor. Menurut sektor dan golongan komoditas, pertumbuhan ekspor nonmigas masih ditopang oleh ekspor komoditas primer berupa produk pertambangan seperti batubara dan produk hasil industri seperti minyak kelapa sawit.

Pertumbuhan impor pada triwulan IV-2009 juga diprakirakan membaik sejalan dengan meningkatnya permintaan domestik dan eksternal. Perbaikan pertumbuhan impor diperkirakan sejalan dengan membaiknya konsumsi rumah tangga serta dorongan permintaan bahan baku dan barang modal untuk kegiatan produksi terutama di sektor industri. Selain itu, indikasi berlanjutnya perbaikan pertumbuhan impor dikonfirmasi oleh peningkatan pertumbuhan bea masuk impor dimana bea masuk impor yang semakin meningkat mencerminkan nilai impor yang juga semakin meningkat. Distribusi pertumbuhan impor terutama disumbang oleh pertumbuhan impor bahan baku/penolong yang tumbuh membaik. Pangsa pertumbuhan nilai impor sepanjang bulan Januari-Oktober 2009 masih didominasi oleh pertumbuhan komoditas impor kelompok barang modal yang menunjang kegiatan produksi, seperti mesin/pesawat mekanik serta mesin dan peralatan listrik. Dengan perkembangan tersebut dan didukung oleh perkembangan ekonomi global yang kondusif, kinerja Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) tercatat surplus.

Perbaikan kinerja sektoral diprakirakan akan berlanjut pada triwulan IV-2009 seiring dengan membaiknya permintaan eksternal dan stabilnya permintaan dalam negeri. Membaiknya permintaan eksternal diperkirakan dapat mendorong pertumbuhan sektor tradables yaitu sektor industri pengolahan (subsektor makanan, minuman, dan tembakau, subsektor tekstil, subsektor kimia, subsektor alat angkutan,

Grafik 2.7 Pertumbuhan Impor Barang Modal dan PMTB

Grafik 2.8 Pertumbuhan Konsumsi Semen

Grafik 2.9 Belanja Modal Pemerintah

������������������������ ������ ��������� � � � � � �� �� �� �� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ���� ���� ��� ��� � �� �� �� �� ��� ��� ��� � � � � � �� �� �� �� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ���� ���� ��� ��� ��� �� � � �� �� �� �� �� �� ����������������� ����������������� � � �� �� �� �� ���� ���� ���� � �� ��� �� � �� ��� �� � �� ��� ��

(15)

mesin dan peralatannya), sektor pertanian (subsektor perkebunan), serta pertambangan (subsektor pertambangan nonmigas). Sementara itu, stabilnya permintaan domestik menjadi sumber pendorong pertumbuhan sektor nontradables yaitu sektor perdagangan, sektor pengangkutan dan komunikasi, dan sektor bangunan. Jika dilihat dari strukturnya, pangsa terbesar perekonomian masih berasal dari sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel dan restoran, serta sektor pertanian. Sementara itu, penyumbang utama dalam pertumbuhan berasal dari sektor

pengangkutan dan komunikasi, sektor pertanian, dan sektor keuangan, persewaan, dan jasa.

I n f l a s i

Secara keseluruhan tahun, inflasi IHK tahun 2009 menurun tajam dibandingkan tahun sebelumnya terutama didorong oleh faktor nonfundamental. Penurunan tekanan inflasi tersebut antara lain tidak terlepas dari penurunan harga minyak mentah internasional yang mendorong Pemerintah untuk menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada awal tahun 2009. Dampak penurunan harga BBM bersubsidi tersebut mengakibatkan inflasi administered prices tercatat deflasi. Inflasi volatile food juga tercatat lebih rendah dari pola normalnya sejalan dengan dukungan Pemerintah untuk menjaga pasokan dan tidak adanya hambatan distribusi bahan pangan. Di sisi lain, tekanan faktor fundamental juga mengalami penurunan. Penurunan laju inflasi inti terkait dengan penurunan tekanan faktor eksternal seiring dengan menurunnya inflasi negara mitra dagang dan penguatan nilai tukar rupiah sejak akhir triwulan I-2009. Dengan perkembangan tersebut, inflasi IHK tercatat sebesar 2,78% (yoy, Grafik 2.11) atau berada di bawah sasaran inflasi yang ditetapkan Pemerintah yaitu sebesar 4,5±1%.

Pemulihan ekonomi yang sedang berlangsung belum memberikan tekanan yang signifikan pada inflasi triwulan IV-2009. Dampak dari faktor musiman perayaan hari besar keagamaan dan Tahun Baru juga berada di bawah pola historisnya. Secara triwulanan, inflasi IHK triwulan IV-2009 mencapai 0,49% (qtq) atau menurun jika dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang sebesar 2,07% (qtq). Penurunan inflasi tersebut terutama didorong oleh penurunan inflasi volatile food terkait dengan pola musiman pasca hari raya. Di sisi administered prices, inflasi relatif minimal sejalan dengan minimalnya dampak kebijakan administered prices

Grafik 2.10 Pertumbuhan Kredit Investasi dan PMTB

Grafik 2.11 Perkembangan Inflasi ������ ��� �� � � �� �� �� �� �� �� ���� ���� ���� � �� ��� �� � �� ��� �� � �� ��� �� �� � � �� �� �� �� ������ ����������������� ���������������� ������ ������ ��� ��������� � � � � � � � �� � � � � � � � � � ������ � � � � � � � � � ������ � � � � � � � � � ������ ���� ���� ���� �� �� �� � � � � ��

(16)

non-strategis. Sementara itu, tekanan inflasi di sisi fundamental menurun sejalan dengan menurunnya tekanan dari inflasi impor.

Jika dilihat dari faktor yang memengaruhinya, penurunan inflasi pada triwulan IV-2009 terutama diakibatkan oleh faktor nonfundamental. Inflasi volatile food juga menunjukkan tren menurun berkaitan dengan koreksi harga pasca hari raya Lebaran serta terjaganya pasokan dan lancarnya proses distribusi. Pola musiman hari raya Idul Adha, Natal dan Tahun Baru memberikan tekanan inflasi yang lebih rendah dibandingkan dengan pola normalnya terkait terjaganya pasokan. Sementara itu, tekanan inflasi di sisi administered price juga relatif minimal. Berdasarkan kelompok pengeluarannya, menurunnya tekanan inflasi pada triwulan laporan disebabkan oleh penurunan laju inflasi pada hampir seluruh kelompok pengeluaran, terutama pada kelompok bahan makanan (Grafik 2.12). Menurunnya laju inflasi bahan makanan terkait dengan terkoreksinya harga pasca bulan Ramadhan dan hari raya Lebaran. Sementara itu, peningkatan harga hanya terjadi pada kelompok transportasi menjadi deflasi sebesar 3,67% setelah triwulan sebelumnya tercatat deflasi yang cukup tajam sebesar 6,09%. Penurunan deflasi tersebut, terutama didorong oleh peningkatan tarif angkutan udara yang cukup tinggi di triwulan IV-2009 terkait dengan pola musimanl akhir tahun.

Secara triwulanan, inflasi administered price tercatat sekitar 0,69% atau meningkat jika dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang sebesar 0,61%. Peningkatan inflasi administered price terutama didorong oleh kenaikan harga rokok yang diperkirakan terkait dengan rencana kenaikan cukai rokok sebesar 14% dan bahan bakar rumah tangga terkait kelangkaan pasokan. Sementara itu, kenaikan tarif tol sebesar 15% per 28 September 2009 dan kenaikan harga gas elpiji per 10 Oktober 2009 sebesar 1,7% memberikan sumbangan inflasi yang minimal yakni masing-masing sebesar 0,01%. Di sisi lain, penurunan harga BBM nonsubsidi pada triwulan laporan terkait dengan penurunan harga minyak internasional. Sejalan dengan perkembangan tersebut, laju inflasi tahunan administered prices tercatat deflasi sebesar 3,26% (yoy).

Tekanan inflasi volatile food menurun dibandingkan dengan triwulan sebelumnya seiring dengan relatif terjaganya kondisi pasokan dan harga pangan global yang masih dalam level moderat. Secara triwulanan, inflasi volatile food sebesar 0,69% atau menurun tajam bila dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang sebesar

Grafik 2.14 Ekspektasi Inflasi - Consensus Forecast

Grafik 2.13 Inflasi IHPB Impor, IHK Komoditas Impor

Grafik 2.12 Perkembangan Inflasi Menurut Kelompok Barang dan Jasa (%, mtm) ������ ���� ���� ���� � � � � �� �� � � � � �� �� � � � � �� �� ���� ���� ���� ���� ��� ��� ��� ���� ���� ������������� ��������� ��������� ������������������������ ������������� ������������ ������� �������������������� ������������� ����� ������ ���� ���� ���� ���� ���� � � � � �� �� � � � � �� �� � � � � �� �� � � � � �� �� � � � � �� �� �� �� � �� ��� ��� � � � �� �� � � � ������ ���������������������������������� �������������������������� �������������������������� ������ ��������������������������� � � � � � � ���� ���� �������������������������� �������������������������� � � � � � � � � � �� �� �� � � � � � � � � � �� �� �� ��� ��������� ��� ��� ��� ������������������� ��� ��� ��� ��� ������ ��� ��������� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ������ ��� ��� ��� ��� ���

(17)

tercatat 5,38%. Penurunan inflasi tersebut terutama disebabkan oleh pola musiman pasca hari raya. Peningkatan harga yang cukup tinggi pada triwulan laporan terjadi pada komoditas bumbu-bumbuan terkait dengan gagal panen yang terjadi di beberapa daerah. Dengan perkembangan tersebut, laju inflasi tahunan volatile food tercatat sebesar 3,95% atau menurun dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang sebesar 4,98%. Sejalan dengan menurunnya tekanan dari inflasi impor, tekanan inflasi inti menurun jika dibandingkan dengan triwulan sebelumnya (Grafik 2.13). Penurunan laju inflasi tersebut terkait dengan menurunnya tekanan faktor eksternal sejalan dengan kecenderungan apresiasi nilai tukar rupiah. Sementara itu, meskipun sisi permintaan terindikasi mulai meningkat, namun belum memberikan tekanan yang berarti terhadap harga seiring dengan masih memadainya respons sisi penawaran. Dengan perkembangan tersebut, secara triwulanan inflasi inti mencapai 0,79% atau menurun bila dibandingkan dengan inflasi triwulan sebelumnya yang sebesar 1,55%. Di samping itu, secara umum ekspektasi inflasi masih relatif stabil sejalan dengan tidak adanya unfavorable shocks dan relatif menurunnya tekanan eksternal (Grafik 2.14 dan 2.15). Jika dilihat dari komponen barangnya, emas perhiasan merupakan komoditas yang memberikan andil cukup besar terhadap inflasi triwulan IV-2009 dengan sumbangan sebesar 0,13%. Hal tersebut sejalan dengan kenaikan harga emas dunia yang cukup tinggi pada tahun 2009 (Grafik 2.16). Dengan perkembangan tersebut, laju inflasi inti tercatat sebesar 4,28% (yoy) atau menurun dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 4,86% (yoy).

Nilai Tukar Rupiah

Secara keseluruhan, selama tahun 2009 rupiah cenderung bergerak menguat sejalan dengan mulai pulihnya kondisi perekonomian global dan membaiknya risk appetite investor global. Pergerakan nilai tukar rupiah juga ditopang oleh keseimbangan permintaan dan penawaran valas di pasar domestik dan fundamental perekonomian domestik yang cukup solid. Sementara itu, fundamental perekonomian domestik yang cukup kokoh juga turut menopang kestabilan nilai tukar rupiah. Prakiraan perekonomian domestik yang cukup prospektif, imbal hasil rupiah yang tinggi, serta jumlah cadangan devisa yang mencapai 66,1 miliar dolar AS atau setara dengan 6,6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah memberikan sinyal kepada investor

Grafik 2.15 Ekspektasi Inflasi Pedagang - SPE BI

Grafik 2.16 Perkembangan Harga Emas Internasional dan Domestik

Grafik 2.17 Volatilitas Nilai Tukar Rupiah

������������������������������������������ ������������������������������������������ �������������������������������� ������ ������ ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� � � � � � � � � ������� � � � � � � � � ������� � � � � � � � � ����� ���� ���� ���� �� �� �� � � ��������� ������ ������ ������ ������ ������ ������ ���� ���� ��� ��� ��� ���������� ������������������� ��� ��� ������ ������ ��� ��� ��� ��� ������ ��� ��� ������ ������ ��� ��� ��� ��� ������ � ��� � ��� � ��� � ��� � ��� � ��� � ��� � ��� � ��� � ��� � ��� � ��� � ��� � ��� � ��� ������ ��� �� �� �� ��� ��� � ��� � ���� �� �� �� ���� ���� ������ ������� � � � � � �� �� ���� ���� ����� ����� ����� ����� ����� ����� ���� ���� ��� ��� ��� ������ ��� ��� ��� ������ ������ ��� ������������ ��� ��� ��� ��������� ��� ���� ���������������� ���� ���� ���� ���� ���� ���������� ����������������� ����������� ������������

(18)

mengenai ketahanan perekonomian domestik terhadap tekanan-tekanan dari sektor eksternal.

Nilai tukar rupiah selama Desember 2009 secara umum relatif stabil, tercermin dari volatilitas yang menurun, meski sedikit terdepresiasi. Volatilitas rupiah menurun dari 0,60% di bulan November menjadi 0,20% di bulan Desember (Grafik 2.17). Secara rata-rata, rupiah melemah 0,05% dari Rp 9.447/USD pada bulan November menjadi Rp 9.452/USD pada bulan Desember (Grafik 2.18 dan 2.19). Pada akhir periode laporan, rupiah ditutup pada level Rp 9.425/USD atau melemah sebesar 0,31% (ptp) dari level Rp 9.455/ USD pada bulan November. Melemahnya nilai tukar rupiah dipicu oleh crisis utang Dubai World, penurunan credit rating Yunani dan kondisi fiskal beberapa negara Eropa yang memburuk. Namun kondisi tersebut tidak berlangsung lama seiring dengan semakin membaiknya proses pemulihan ekonomi diberbagai kawasan terutama di Asia. Sementara itu, nilai tukar rupiah selama triwulan IV-2009 secara rata-rata mencapai Rp 9.459/ USD. Adapun nilai tukar rupiah selama tahun 2009 rata-rata mencapai Rp 10.374/USD.

Secara umum persepsi risiko investasi di Indonesia masih relatif baik. Meski sempat memburuk akibat krisis Dubai World pada awal Desember 2009, persepsi investor global terhadap perekonomian domestik pada periode selanjutnya semakin membaik sejalan dengan pemulihan yang terjadi di pasar keuangan global (Grafik 2.20). spread EMBIG bergerak turun dari level 342 bps pada November menjadi 294 bps dan yield spread Global Bond RI dengan US T-Note juga menurun dari 295 bps pada November menjadi 174 bps. Sementara itu, CDS Indonesia juga bergerak turun ke level 192 bps dari 229 bps pada periode November 2009 searah dengan penurunan CDS kawasan Asia (Grafik 2.21). Level CDS Indonesia tersebut masih lebih baik dibandingkan dengan Vietnam, meskipun masih lebihtinggi dibandingkan dengan Filipina. Persepsi investor terhadap nilai tukar rupiah juga relatif terjaga tercermin dari stabilnya pergerakan indikator premi swap yang mengindikasikan minimalnya potensi tekanan terhadap rupiah (Grafik 2.22).

Imbal hasil investasi dalam rupiah masih relatif tinggi dibandingkan dengan negara lain di kawasan Asia. Pergerakan spread suku bunga dalam negeri dan luar negeri (Uncovered Interest Rate Parity - UCIP) relatif stabil dibandingkan dengan bulan sebelumnya, sejalan dengan keputusan Bank Indonesia untuk mempertahankan BI Rate pada level 6,5%. Indikator UCIP hanya naik 7 bps menjadi 6,51% dari 6,44% pada

Grafik 2.19 Apresiasi/Depresiasi Rata-Rata Nilai Tukar Desember 2009 dibandingkan dengan November 2009

Grafik 2.20 Pergerakan Bursa Saham Global Grafik 2.18 Rata-rata Nilai Tukar Rupiah

���� ���� ��� ������������ ��� ��� ��� ������ ������ ��� ������������ ��� ��� ��� ��������� ��� ������ ���� ���� ���� ���� ����� ����� ����� ����� ����� ����� ����� ����������� ����������������� ����������������� ����� ������ ������ ������ ������ ����� ����� ����� ���������� ��������� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� �������������� ����������������� ������������� ��������������������� ������ ������ ������ ������ ������ ������ ������ ���� ���� ���� ����� ���� ����� ���� ���� ����� ����� ����� ����� ����� ����� ���� ����� ���� ����� ����� �� ������� ��� �������� ��� ��� ���� ��������� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ���� ���� ���� ��� ��� ���� ���� ��� ��� ��� ��� ��� ���� ��� ���

(19)

periode sebelumnya. Sementara itu, sejalan dengan membaiknya indikator risiko, indikator Covered Interest Rate Parity (CIP) mengalami peningkatan dari 3,52% menjadi 4,77% pada periode laporan. Tingginya yield spread obligasi rupiah relatif terhadap negara kawasan Asia lainnya masih menjadi daya tarik bagi investor asing untuk berinvestasi pada instrumen rupiah (Grafik 2.23).

Kebijakan Moneter

Suku Bunga

Selama 2009, Bank Indonesia menetapkan kebijakan moneter yang longgar sejalan dengan tekanan inflasi yang menurun. Kebijakan tersebut dilaksanakan melalui penurunan BI Rate sebesar 275 bps hingga Agustus 2009 untuk mendorong aktifitas perekonomian masyarakat yang cenderung turun akibat krisis global Dalam perkembangannya, berbagai indikator yang ada menunjukkan indikasi bahwa tekanan inflasi akan kembali meningkat dan kembali ke kondisi normalnya di 2010. Dengan demikian diperlukan kebijakan moneter yang bersifat antisipatif namun dipandang masih cukup akomodatif untuk mendukung proses pemulihan ekonomi domestik. Kebijakan ini terlihat dari BI Rate yang cenderung tetap di level 6,5% sejak September 2009

Penurunan BI Rate ditransmisikan dengan baik ke suku bunga jangka pendek. Hal itu tercermin dari kondisi suku bunga PUAB O/N yang bergerak mengikuti BI Rate selama tahun 2009. Rata-rata harian suku bunga PUAB O/N menurun sebesar 312 bps, dari level 9,38% pada akhir tahun 2008 menjadi 6,26% pada Desember 2009. Selain itu, suku bunga PUAB juga terus terkendali di sekitar BI Rate selama 2009. Hal ini sejalan dengan perubahan sasaran operasional kebijakan moneter ke PUAB O/N sejak Juli 2008, yang juga disertai dengan penguatan instrument operasi pasar terbuka (OPT) dan koridor suku bunga (standing facilities).

Selain ke suku bunga jangka pendek, transmisi kebijakan moneter ke suku bunga PUAB dengan jangka waktu yang lebih panjang juga berjalan baik. Kondisi tersebut mengindikasikan perbaikan persepsi risiko likuiditas (liquidity risk) dan penurunan counterparty risk Rata-rata suku bunga PUAB dengan jangka waktu di atas O/N mengalami penurunan, terutama untuk PUAB dengan jangka waktu di atas 30 hari. Namun

Grafik 2.21 Indikator Persepsi Risiko Indonesia

Grafik 2.22 Premi Swap Berbagai Tenor

Grafik 2.23 Perbandingan Yield Spread Government Bond Beberapa Negara Regional ��� ����������������� ����������� ������������������� �������������������� ������������� ������������������ ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ���� ���� � � �� �� �� ��������� ��������� ��������� ���������� ���� ���� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ������������������������� �� � � �� �� �� ��� ������������ ��� ��� ��� ������ ������ ��� ������������ ��� ��� ��� ������ ������ ���� ���� ����������������������������������������� ����������������� ��������� �������� �������� �������� ��������� ���� ���� ���� ���� �����

(20)

demikian patut dicermati kondisi mikrostruktur pasar PUAB, khususnya tenor di atas 27 hari yang rentan bergerak asimetri dibandingkan dengan tenor yang lebih likuid. Hal tersebut bersumber dari tipisnya volume transaksi yang dibarengi dengan terbatasnya frekuensi transaksi.

Distribusi likuiditas di pasar uang semakin merata sejalan dengan persepsi risiko di pasar uang yang menurun. Rata-rata harian kisaran suku bunga tertinggi dan terendah di PUAB O/N tercatat menurun yang mengindikasikan turunnya segmentasi perbankan. Selain itu, persepsi risiko likuiditas untuk jangka waktu yang lebih panjang juga diindikasikan membaik. Indikasi tersebut ditunjukkan oleh perilaku perbankan yang melakukan transaksi PUAB dengan jangka waktu yang lebih panjang (60, 90 hingga 365 hari) sejak Oktober 2009. Kondisi tersebut juga memberikan indikasi counterparty risk perbankan yang menurun khususnya terhadap bank asing dan beberapa BPD.

Sementara itu, transmisi kebijakan moneter ke suku bunga deposito semakin baik. Sejak Januari hingga November 2009, penurunan BI Rate sebesar 275 bps telah direspons oleh penurunan suku bunga deposito 1 bulan yang mencapai 359 bps. Penurunan suku bunga deposito ini lebih baik dibandingkan dengan periode penurunan BI Rate sebelumnya (2006-2007) yang hanya menurun sebesar 226 bps dalam kurun waktu yang sama. Di periode pemberhentian penurunan BI Rate (September hingga Desember 2009), penurunan suku bunga deposito juga masih berlangsung, meskipun dengan besaran yang lebih rendah. Sementara itu, suku bunga deposito di tenor lain khususnya di atas 6 bulan tercatat menurun sangat lambat,

Di sisi suku bunga kredit, transmisi kebijakan moneter masih berjalan lambat, khususnya pada suku bunga kredit konsumsi. Selama tahun 2009, rata-rata suku bunga kredit secara agregat (rata-rata suku bunga kredit modal kerja, kredit investasi dan kredit konsumsi) hanya menurun sebesar 85 bps. Penurunan tersebut sangat rendah jika dibandingkan dengan penurunan BI Rate dan suku bunga deposito 1 bulan. Berdasarkan jenis penggunaannya, penurunan suku bunga kredit selama 2009 terutama terjadi pada suku bunga kredit investasi dan modal kerja masing-masing sebesar 137 bps dan 126 bps. Sementara itu, suku bunga kredit konsumsi sedikit mengalami peningkatan sebesar 7 bps selaras dengan karakteristik jenis kredit ini yang permintaannya relatif tidak terlalu elastis dengan perubahan suku bunga. Rigidnya penurunan

suku bunga kredit konsumsi antara lain disebabkan oleh cukup besarnya Grafik 2.24 Perkembangan Berbagai Suku Bunga

���� ���� ����� ����� ����� ����� ����� ����� ���� ���� ���� ���� ���� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ������� �������������� ������������������ ���������������� ���������������

(21)

porsi penggunaan kredit lainnya termasuk kredit tanpa agunan dan kredit kendaraan bermotor dimana suku bunga yang dikenakan cukup tinggi.

Tabel 2.1

Perkembangan Berbagai Suku Bunga Suku Bunga (%)

BI Rate 9,5 9,25 8,75 8,25 7,75 7,5 7,25 7.00 6,75 6,5 6,5 6,5 6,5

Penjaminan Deposito 10,00 10,00 9,50 9,00 8,25 7,75 7,75 7,50 7,25 7,00 7,00 7,00 7,00

Dep 1 bulan (Weighted Average) 10,40 10,75 10,52 9,88 9,42 9,04 8,77 8,52 8,31 7,94 7,43 7,38 7,16

Base Lending Rate 14,07 14,16 14,18 13,98 13,94 13,78 13,64 13,40 13,20 13.00 12,96 13,01 12,94

Kredit Modal Kerja (KMK) 15,13 15,22 15,23 15,08 14,99 14,82 14,68 14,52 14,45 14,3 14,17 14,09 13,96

Kredit Investasi (KI) 14,28 14,4 14,37 14,23 14,05 14,05 13,94 13,78 13,58 13,48 13,2 13,2 13,03

Kredit Konsumsi (KK) 16,24 16,4 16,46 16,53 16,46 16,48 16,57 16,63 16,66 16,62 16,67 16,53 16,47

2008 2009

Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov

Dana, Kredit, dan Uang Beredar

Selama tahun 2009, posisi Dana Pihak Ketiga (DPK) meningkat. Posisi DPK sampai dengan November 2009 meningkat sebesar Rp143,7 triliun dari akhir tahun sebelumnya menjadi Rp1,897 triliun. Meningkatnya posisi DPK terutama bersumber dari peningkatan deposito rupiah sebesar Rp62,4 triliun, yang sebagian besar merupakan deposito milik perorangan. Posisi komponen DPK lainnya, tabungan, khususnya tabungan milik BUMS dan perorangan,juga berada dalam tren yang meningkat sejak triwulan III-2009 seiring dengan menurunnya suku bunga deposito. Sementara itu, posisi deposito valas mengalami penurunan sebesar Rp9,1 triliun terkait dengan penguatan nilai tukar rupiah. Meskipun secara keseluruhan posisi DPK meningkat, pertumbuhan DPK sampai dengan November 2009 diindikasi masih melambat yaitu hanya sebesar 11,1% (yoy) lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan pada akhir tahun sebelumnya yang mencapai 16,1% (yoy) (Grafik 2.25).

Di jalur kredit, transmisi kebijakan moneter masih terhambat seiring dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi dalam negeri dan tingginya suku bunga kredit. Sejak Januari hingga November 2009, pertambahan kredit (termasuk channeling) baru mencapai Rp77,3 triliun menjadi Rp1.430,9 triliun atau baru tumbuh sebesar 5,7% (ytd). Pertambahan tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan pertambahan kredit (termasuk channeling) pada periode yang sama tahun 2008 yang mencapai Rp297,8 triliun atau tumbuh 28,5% (ytd). Dengan

Grafik 2.25 Pertumbuhan Kredit, DPK, dan BI Rate ���������� ����������� � � � �� �� �� �� �� �� �� �� �� �� ��� ��� ������ ��� ��� ��� ��� ��������� ������ ��� ������ ��� ��� ��� ��� ��� ��� ���� ���� � ��� � ��� � ��� � ��� �� ��������� ������������ �������

(22)

perkembangan tersebut, pertumbuhan tahunan kredit sampai dengan November 2009 masih melambat menjadi 4,3% (yoy) dari 29,5% (yoy) di akhir tahun 2008 (Grafik 2.25).

Dilihat berdasarkan jenis penggunaannya, kredit konsumsi masih mencatatkan pertambahan yang cukup besar, sedangkan kredit modal kerja justru mengalami koreksi yang cukup dalam (Grafik 2.26). Hingga November 2009, kredit konsumsi mengalami peningkatan sebesar 17,3% (yoy), melambat dari tahun sebelumnya sebesar 29,9%. Kontraksi pada kredit modal kerja yang mencapai 3,1 (yoy) khususnya terjadi pada sektor industri dan sektor jasa dunia usaha sejalan dengan belum pulihnya aktifitas perekonomian dalam negeri. Hal tersebut menjadi salah satu faktor penyebab masih lambatnya pertumbuhan kredit secara keseluruhan. Sementara itu, secara sektoral, kredit pada sektor listrik, air dan gas masih tumbuh relatif tinggi sejalan dengan pembangunan infrastruktur khususnya kelistrikan. Sampai dengan November 2009, pertumbuhan kredit sektor listrik, air dan gas mencapai 27,1% (yoy) dan 27,3% (ytd) yang merupakan pertumbuhan kredit sektoral tertinggi. Meskipun demikian, secara keseluruhan, pertumbuhan kredit di seluruh sektor ekonomi masih mengalami perlambatan.

Perlambatan pertumbuhan ekonomi tercermin pada pertumbuhan

M1 yang juga tumbuh melambat. Sampai dengan November 2009,

posisi M1 meningkat sebesar Rp41,2 triliun, sementara posisi M2, dan M2 Rupiah menunjukkan peningkatan masing-masing sebesar Rp168,9 triliun dan Rp142,9 triliun dibandingkan dengan akhir tahun 2008. Dengan demikian, rata-rata pertumbuhan tahunan likuiditas perekonomian M1 pada tahun 2009 menurun menjadi 6,7% dari 17,1% pada tahun 2008. Sementara itu, rata-rata pertumbuhan tahunan likuiditas perekonomian M2 relatif stabil di sekitar 16% (Grafik 2.27 dan 2.28). Pertumbuhan M1 yang melambat dari tahun sebelumnya ditopang oleh pergerakan giro. Sementara itu, pertumbuhan M2 dan M2 Rupiah yang akseleratif terutama dipengaruhi oleh operasi keuangan Pemerintah yang ekspansif. Berbagai kondisi di atas mencerminkan bahwa indikasi peningkatan aktifitas perekonomian masyarakat tampak belum cukup kuat.

Grafik 2.26 Pertumbuhan Kredit per Jenis Penggunaan

Grafik 2.27 Pertumbuhan Uang Beredar (Nominal)

Grafik 2.28 Pertumbuhan Uang Beredar (Riil) �������������� ��� � �� �� �� �� �� ��� ��������������� ��� ��� ������������ ��� ��� ������������ ��� ��� ��� ��������� ��� ��� ��� ���� ���� ���� ���� ���� ��� �� �� ������� ���� ���� ���� ���� ���� � � � �� �� �� �� �� � � � � � �� � � � � � �� � � � � � �� � � � � � �� � � � � � �� �� ����� ������� ���� ���� ���� ���� ���� � � � � � �� �� �� �� �� �� �� �� � � � � �� �� �� ��� � � � � � �� � � � � � �� � � � � � �� � � � � � �� ������� ������������� �������

(23)

Pasar Saham

Kebijakan moneter yang cenderung longgar pada tahun 2009 mendorong peningkatan harga aset termasuk IHSG. Penurunan BI rate sebesar 275 bps selama tahun 2009 ditransmisikan dalam bentuk peningkatan IHSG sebesar 87% (yoy). Pertumbuhan tersebut merupakan pertumbuhan indeks tertinggi diantara beberapa indeks regional (Grafik 2.29). IHSG pada akhir tahun 2009 ditutup pada level 2534,36. Selain dipengaruhi oleh BI Rate, peningkatan IHSG juga dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti perkembangan bursa regional (bursa STI). Pemulihan ekonomi global yang berjalan semakin baik mampu mengembalikan kepercayaan investor untuk kembali menanamkan asetnya. Hal itu ditambah dengan membaiknya likuiditas global yang pada gilirannya mampu mendorong kinerja pasar keuangan global serta menciptakan sentimen positif bagi perkembangan pasar keuangan di emerging market termasuk Indonesia. Di sisi lain, indikator makro dan mikro ekonomi dalam negeri cukup kondusif untuk mendorong penguatan IHSG. Di sisi makro, beberapa indikator yang memberikan sinyal positif antara lain penguatan nilai tukar, pertumbuhan ekonomi yang masih positif, inflasi yang terkendali serta stabilitas politik yang terjaga. Sementara itu di sisi mikro perusahaan, kemampuan emiten untuk membukukan pendapatan operasional dan laba bersih selama tahun 2009 secara agregat tercatat meningkat. Kondisi tersebut mendorong beberapa emiten mengalokasikan peningkatan anggaran belanja modal untuk tahun 2010. Sejalan dengan dinamika tersebut faktor risiko di pasar saham baik eksternal maupun domestik bergerak membaik.

Volume perdagangan di bursa domestik selama tahun 2009 pun tercatat stabil. Volume perdagangan saham mencapai Rp3,99 triliun per hari, relatif stabil jika dibanding tahun sebelumnya yang mencapai Rp4,41 triliun per hari (Grafik 2.30). Pada tahun 2009, net beli asing tercatat sebesar Rp13,92 triliun atau lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya mencapai Rp18,65 triliun. Namun demikian kembali masuknya arus modal asing khususnya pada triwulan II dan III, pada akhirnya turut membantu menjaga kepercayaan investor domestik. Dari sisi sektoral, sektor-sektor yang berbasis komoditas seperti pertambangan dan perkebunan mengalami penguatan paling signifikan sejalan dengan kembali reboundnya harga komoditas di pasar internasional. Penguatan indeks pertambangan dan aneka industri tersebut bahkan berada diatas rata-rata sektor lainnya.

Grafik 2.29 IHSG dan Indeks Regional

Grafik 2.30 IHSG dan Nilai Perdagangan ����������������� ���������������� �������������� ����������������� ��������� �������������� ������������������ ������� ��������������� ������������������� �������������� �������������� ��������������� ����� ����� ����� ����� ����� ����� ����� ����� ����� ����� ����� ����� � �� �� �� ��� ��� ����������� � � � � � �� ���� ���� ���� � �� ��� �� � �� ��� �� � �� ��� �� � ��� ����� ����� ����� ����� ����� ��������������� ������������������ ����������

(24)

Grafik 2.31 Nilai Perdagangan SUN

Pasar SUN

Di pasar SUN, transmisi kebijakan moneter tercermin dalam

bentuk penurunan yield SUN dengan besaran yang berbeda antar

tenornya. Penurunan BI Rate sebesar 275 bps selama tahun 2009 diikuti oleh penurunan yield secara rata-rata sebesar 246 bps. SUN dengan tenor jangka pendek tercatat lebih responsif dalam penurunan yield. Penurunan yield SUN untuk tenor jangka pendek, menengah dan panjang masing-masing sebesar 375 bps, 239 bps, dan 130 bps. Dinamika pergerakan yield di pasar SUN tersebut tentunya dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berasal baik dari eksternal maupun domestik. Dari sisi eksternal, pulihnya kinerja SUN didorong oleh tingginya minat investor asing di pasar SUN. Pemangkasan Fed Fund Rate mencapai 0%-0,25% dan kondisi likuiditas global yang masih berlimpah menyebabkan investor mulai mengalihkan investasinya pada highyieldingasset termasuk SUN. Sejalan dengan hal tersebut, indikator risiko Indonesia yang dicerminkan oleh CDS turut membaik dan semakin menambah kepercayaan investor pada SUN. Sementara itu, dari sisi domestik, indikator makro ekonomi masih terjaga. Penguatan nilai tukar, pertumbuhan ekonomi yang masih positif serta inflasi yang terkendali mampu memberikan sinyal positif bagi investor. Sustainabilitas fiskal1 kondusif terhadap kinerja pasar SUN terkait dengan

rendahnya tekanan terhadap keuangan pemerintah.

Sementara itu, kembali pulihnya kepercayaan investor asing meningkatkan likuiditas pasar SUN. Investor asing mencatatkan peningkatan posisi kepemilikan SUN sebesar Rp20,1 triliun atau naik dibandingkan dengan periode sebelumnya yang mencapai Rp9,6 triliun. Namun, peningkatan posisi kepemilikan SUN tersebut tidak diikuti oleh volume perdagangan SUN yang secara rata-rata justru mengalami penurunan. Volume total perdagangan SUN pada tahun 2009 tercatat sebesar Rp3,39 triliun per hari atau turun dari posisinya pada tahun 2008 yang mencapai Rp4,49 per hari (Grafik 2.31). Meskipun volume perdagangan mengalami penurunan, frekuensi rata-rata harian

perdagangan SUN pada tahun 2009 tercatat naik dari 266,3 kali per hari menjadi 270,8 kali per hari (Grafik 2.32).

Grafik 2.32 Frekuensi Perdagangan SBN 1 Salah satu indikator yang digunakan adalah rasio stok utang per PDB

����������� � � � � � � � � � � �� � � �� �� �� �� �� �� ���������������������������� ����������� ���� ���� ���� � �� ��� �� � �� ��� �� � �� ��� �� ����������� � ��� ��� ��� ��� ��� ��� ���� ���� ���� � �� ��� �� � �� ��� �� � �� ��� �� � � �� �� �� �� �� �� �������������������������� �����������

(25)

Pasar Reksadana

Berlanjutnya pelonggaran kebijakan moneter di tahun 2009 dan penurunan suku bunga simpanan bank yang diikuti oleh

membaiknya kinerja underlying asset mendorong peningkatan

NAB reksadana. Nilai Aktiva Bersih (NAB) Reksadana sampai dengan 16 Desember 2009 meningkat hingga mencapai Rp113 triliun atau jauh meningkat dibandingkan dengan NAB pada awal tahun 2009 yang hanya sebesar Rp74,3 triliun (Grafik 2.33). Jenis reksadana yang berkontribusi terhadap peningkatan NAB tersebut diantaranya reksadana saham, terproteksi dan pendapatan tetap. NAB ketiga jenis reksadana tersebut pada November 2009 masing-masing mencapai Rp36,5 triliun, Rp33,7 triliun dan Rp13,2 triliun.

Masih kondusifnya stabilitas makro ekonomi direspon oleh pengelola reksadana dengan menerbitkan produk-produk reksadana baru sehingga turut menggairahkan aktivitas perdagangan reksadana. Beberapa produk tersebut diantaranya reksadana syariah dan reksadana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif (KIK). Beberapa kebijakan lain yang mampu menumbuhkan NAB reksadana diantaranya adalah pengenaan PPH final sebesar 0% yang masih akan diterapkan untuk bunga dan diskonto atas obligasi yang diperoleh pada 2009-2010.

Grafik 2.33 Perkembangan Reksadana ��������������������������������������� ����������� � �� �� �� �� ��� ��� ��� ������������������� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ���� �������������������������������� ���� � � �� �� ��� �� �� �� �� �� �� ���� �� �������� ���������

(26)

Kondisi Perbankan

Kinerja sektor perbankan selama 2009 secara umum tetap baik. Indikator-indikator utama perbankan seperti rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio - CAR), rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan - NPL), Net Interest Margin (NIM) dan Return On Asset (ROA) tetap

menunjukkan perkembangan yang cukup baik dan stabil di tengah kondisi global yang belum stabil. NPL tetap terjaga di bawah 5%, sedangkan CAR masih solid di level 17%, jauh berada di atas level minimal yang ditetapkan BI sebesar 8%. Sementara itu, Return On Asset (ROA) dan Net Interest Margin (NIM) tetap stabil sebesar 2,6% dan 0,5% (Tabel 2.2).

III. RESPONS KEBIJAKAN MONETER

Pada 6 Januari 2010, Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia memutuskan untuk mempertahankan BI Rate pada level 6,5%. Rapat Dewan Gubernur memandang bahwa tingkat suku bunga BI Rate yang berlaku saat ini sebesar 6,5% masih konsisten dengan pencapaian sasaran inflasi tahun 2010 sebesar 5%±1% dan cukup kondusif untuk mendukung proses pemulihan perekonomian dan intermediasi perbankan.

Tabel 2.2

Kondisi Umum Perbankan Indikator Utama Total Aset (T Rp) 2.303,4 2.310,6 2.307,1 2.344,9 2.352,1 2.327,4 2.309,8 2.354,3 2.331,4 2.384,6 2.388,6 2.392,7 2.439,7 DPK (T Rp) 1.707,9 1.753,3 1.745,6 1.767,1 1.786,2 1.780,9 1.783,6 1.824,3 1.806,6 1.847,0 1.857,3 1.863,5 1.897,0 Kredit (T Rp) 1.371,9 1.353,6 1.325,3 1.334,2 1.342,1 1.332,1 1.339,2 1.368,9 1.370,2 1.400,4 1.399,9 1.410,4 1.430,9 LDR (%) 80,3 77,2 75,9 75,5 75,1 74,8 75,1 75,0 75,8 75,8 75,4 75,7 75,4 NPLs Gross* (%) 4,0 3,8 4,2 4,3 4,5 4,6 4,7 4,5 4,6 4,5 4,3 4,3 4,4 NPLs Net * (%) 1,5 1,5 1,6 1,6 1,9 2,0 1,9 1,7 1,7 1,5 1,3 1,2 1,4 CAR (%) 16,3 16,2 17,6 17,7 17,4 17,6 17,3 17,0 17,0 17,0 17,7 17,6 17,0 NIM (%) 0,5 0,5 0,5 0,3 0,6 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,4 0,5 0,5 ROA (%) 2,6 2,3 2,7 2,6 2,8 2,7 2,7 2,7 2,7 2,7 2,6 2,7 2,6 2008 2009

Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov

Gambar

Grafik 2.2 Industrial Production dan
Grafik 2.6 Pertumbuhan M1 Riil dan PDB
Grafik 2.8 Pertumbuhan Konsumsi Semen
Grafik 2.11  Perkembangan Inflasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

• Membantu auditor menyediakan jaminan wajar bahwa audit yang memadai telah dilakukan sesuai dengn standar audit yang umum diterima. • Kepemilikan

Faktor Pendorong : Warga antusias terhadap kegiatan yang dilakukan, warga bersedia menerima dengan baik saran pencegahan dan pengobatan tekanan darah yang

Pada Saat Pengumuman ini Proses pengesahan DIPA belum Selesai maka apabila nama dan Nilai paket dalam dokumen anggaran ini tidak tersedia atau tidak cukup

Berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan oleh Pejabat Pengadaan Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Manggarai Barat, maka hasilnya adalah sebagai berikut:. Nama

Scenario Rancang Bangun Sistem Informasi E-Recruitment User melihat iklan lowongan Klik button apply Menampilkan halaman login Memiliki akun memil iki Lakukan registrasi

1 2003 Matematika Untuk Fisika dan Teknik 1 Adicita Yogyakarta Buku PT 2 2003 Matematika Untuk Fisika dan Teknik 2 Adicita Yogyakarta Buku PT 3 2004 Asas_asas Fisika SMA 1A dan

Perubahan sistem pemilu itulah yang melatarbelakangi DPD Partai Gerindra untuk melaksanakan pendidikan politik dibeberapa wilayah di Jawa Timur termasuk di Kabupaten Mojokerto

Pembentukan peraturan daerah di tingkat provinsi atau kabupaten/kota merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari kewenangan konstitusional yang dimiliki oleh