• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - BELLA NADIA BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA - BELLA NADIA BAB II"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hasil Penelitian Terdahulu

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Faridlatul Hasanahdkk (2013), tentang

profil penggalian informasi dan rekomendasi pelayanan swamedikasi oleh staf apotek

terhadap kasus diare anak di apotek wilayah surabaya yang bertujuan mengetahui

informasi apa saja yang digali serta rekomendasi yang diberikan oleh staf apotek pada

klien yang melakukan swamedikasi dengan keluhan diare. Sesuai dengan skenario

peneliti menyebutkan akan membeli obat diare. Informasi yang digali dan

direkomendasikan yang diberikan oleh staf apotek dicatat dalam lembar ceklist dengan metode ASMETHOD dalam kegiatan patient assessment agar dapat ditetapkan rekomendasi obat yang rasional. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebanyak

38,9% staf apotek (n=35) menggali informasi tentang “untuk siapa obat diminta”, 10,0%

(n=9) menanyakan tentang “spesifikasi diare” dan 3,3% (n=3) bertanya “gejala yang

menyertai diare”. Seluruh apotek (90) menyediakan obat untuk diare, 43 apotek (47,8%)

merekomendasikan obat golongan adsorben, 27,8% (n=25) merekomendasikan obat

golongan antimotilitas dan 3 apotek (3,3%) merekomendasian antibiotik.

Data penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Felicia pada tahun 2014, bahwa

tidakadastaffarmasi yang memintainformasilengkapdaripelanggan apotek. Terdapat 30

(100%) orang yang bertanya tentang umur pasien; 5 (16,67%) orang yang bertanya tentang siapakah pasiennya; 6 (20%) orang bertanya tentang obat apa yang telah

diberikan untuk menanggapi gejala tersebut; tidak ada (0%) orang yang bertanya tentang

obat lain yang sedang dikonsumsi oleh pasien; 10 (33%) orang bertanya tentang durasi

gejala; tidak ada (0%) yang bertanya tentang gejala lain yang menyertai; 11 (36,67%)

orang yang bertanya tetang gejala yang berbahaya. Penelitian Johnson (2013) Apoteker di

masyarakattampaknya lebih mengandalkan umpan balik konsumen danpengalaman

pribadi dibanding bukti percobaan klinissaat membuat rekomendasi over-the-counter,sebuah praktik yang bertentangan dengan prinsip-prinsip EBM.faktor pembatas untuk pengambilan EBM meliputikurangnya sumber daya dan waktu, serta kurangnya

keterampilandalam menilai karya ilmiah. Solusi bisatermasuk meningkatkan kesadaran

(2)

menilai pelatihan, dan memberikan informasi yang disesuaikanke lingkungan apotek

masyarakat.

Penelitian yang dilakukan Muslicnah, dkk (2010), faktor lingkungan (penampilan apotek), 76,86% masyarakat menginginkan penampilan apotek yang baik. Penelitian yang

dilakukan oleh Mote (2009), pasien mengharapkan petugas yang ramah dalam melayani

adalah sebesar 80,6%. Penelitian yang dilakukan oleh Abdullah, dkk (2010), 93,4%

masyarakat membutuhkan pelayananinformasi obat di apotek. Penelitian yang dilakukan

oleh Firdaus dan Muliksin (2010), 70% masyarakat menyatakan ketersediaan obat yang

lengkap merupakan hal yang penting. Penelitian yang dilakukan oleh Kurniawan (2012),

86.7% pasien puas bila mendapat pelayanan yang cepat, tetapi layanan kefarmasian di

apotek saat ini masih belum banyak dipraktekkan, jika ada beberapa yang telah

melakukannya kemungkinan masih belum optimal dan menjadikan faktor pertimbangan

dalam pemilihan sebuah apotek. Penelitian yang dilakukan oleh Ginting (2009), apotek

yang melaksanakan standar pelayanan kefarmasian hanya 47,63%, sedangkan penelitian

yang dilakukan oleh Rachmandani dkk (2011), tentang pelaksanaan pelayanan kefarmasian di apotek baru dilakukan sebesar 56,16%. Peningkatan perekonomian

masyarakat, kemudahan komunikasi serta peningkatan pengetahuan sebagai hasil

pembangunan nasional di segala bidang telah menyebabkan masyarakat menuntut

pelayanan kesehatan yang lebih bermutu, ramah serta sanggup memenuhi kebutuhan

masyarakat.

B. Landasan Teori

1. Pelayanan Swamedikasi

Pelayanan swamedikasi merupakan pelayanan terhadap pasien atau klien yang

datang dengan keluhan gejala yang timbul atau dengan meminta suatu produk obat

tertentu tanpa resep dari dokter.Swamedikasi berarti mengobati segala keluhan pada

diri sendiri dengan obat-obatan yang dibeli bebas di apotek atas inisiatif sendiri tanpa

nasehat dokter (Indriyanti, 2009).

Pelayanan swamedikasi memiliki persentase yang lebih tinggi dibandingkan

pelayanan resep, yaitu antara 20–70%. Sekarang ini, masyarakat akan berusaha

mengatasi sendiri masalah kesehatannya yang sifatnya sederhana dan umum diderita.

Hal itu dilakukan karena pengobatan sendiri (swamedikasi) dianggap lebih murah dan

praktis.Kondisi seperti ini merupakan tantangan dan kesempatan bagi pemerintah,

(3)

swamedikasi sehingga dapat mendukung tindakan swamedikasi secara tepat, aman

dan rasional (BPOM, 2004; Depkes RI, 2006; Rinukti, 2005).

Pada pelayanan swamedikasi terdapat beberapa profil pelayanan yang

diberikan oleh petugas apotek kepada pasien swamedikasi yang terdiri dari

patientassessment, rekomendasi, informasi obat dan informasi non farmakologi.

a. Patient Assessment

Patient assessment merupakan suatu penilaian terhadap keadaan pasienyang penting dilakukan untuk pertimbangan apoteker dalam penentuan

identifikasi pasien sebelum membuat sebuah rekomendasi. Hal-hal yang perlu

dipertimbangkan dalam pengambilan tindakan oleh apoteker sebelum konseling

yang dijadikan referensi untuk rekomendasi adalah sejarah pengobatan, obat untuk

siapa, umur pasien, penyebab sakit, durasi sakit, lokasi sakit, gejala

sakit,pengobatan lain yang sedang digunakan, obat sejenis lainnya yang

digunakan, alergi obat, apakah pernah terjadi sakit seperti sebelumnya, gejala lain,

dan apakah sudah ke dokter (Chua, dkk., 2006).

Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk menggali informasi

dari klien yang bisa ditanyakan oleh apoteker diidentifikasi berdasarkan pada

WWHAM (Who the patient?, What are thesymptoms?, How long have the symptoms been presents?, Action taken?, Medication being taken?), ASMETHOD (Age/appearance, Self/someone else, Medication, Extra medication, Time symptoms, History, Other accompanying symptoms, Danger symptoms), SITDOWNSIR (Site/location, Intensity/severity, Tipe/nature, Duration, Onset, With other symptoms, Annoyed by, Spread/radiation, Incidence, Relieved by), ENCORE (Explore, No medication option, Care, Observe, Refer, Explain) (Blenkinsopp dan Paxton, 2002).

b. Rekomendasi

Rekomendasi merupakan saran menganjurkan yang diberikan oleh petugas

apotek kepada pasien swamedikasi yaitu dapat berupa rujukan ke dokter ataupun

rekomendasi obat.Petugas apotek harus dapat membedakan tingkat keseriusan

gejala penyakit yang timbul dan tindakan yang harus diambil sehingga dapat

memberikan saran berupa pemberian obat atau rujukan ke dokter.Rekomendasi

(4)

dokter jika gejala penyakitnya berat atau parah (Blenkinsopp dan Paxton, 2002;

Chua, dkk., 2006).

c. Informasi Obat

Pelayanan informasi obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh

apoteker dalam pemberian informasi mengenai obat yang tidak memihak,

dievaluasi secara kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek penggunaan

obat kepada profesi kesehatan lain, pasien atau masyarakat (Depkes RI, 2014).

Informasi obat yang diberikan pada pasien sekurang-kurangnya meliputi:

cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas

serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi. Adapun

informasi yang perlu disampaikan terkait penggunaan obat bebas atau obat bebas

terbatas antara lain (Menkes RI, 2004; Depkes RI, 2006):

1) Khasiat obat: Apoteker perlu menerangkan dengan jelas apa khasiat obatyang

bersangkutan, sesuai atau tidak dengan indikasi atau gangguan kesehatan yang

dialami pasien.

2) Kontraidikasi: pasien juga perlu diberi tahu dengan jelas kontraindikasi dari

obat yang diberikan, agar tidak menggunakannya jika memiliki kontra indikasi

dimaksud.

3) Efek samping dan cara mengatasinya (jika ada): pasien juga perlu diberi

informasi tentang efek samping yang mungkin muncul, serta apa yang harus

dilakukan untuk menghindari atau mengatasinya. Cara pemakaian: cara

pemakaian harus disampaikan secara jelas kepada pasien untuk menghindari salah pemakaian, apakah ditelan, dihirup, dioleskan, dimasukkan melalui anus,

atau cara lain.

4) Dosis: sesuai dengan kondisi kesehatan pasien, Apoteker dapat menyarankan

dosis sesuai dengan yang disarankan oleh produsen (sebagaimana petunjuk

pemakaian yang tertera di etiket) atau dapat menyarankan dosis lain sesuai

dengan pengetahuan yang dimilikinya.

5) Waktu pemakaian: waktu pemakaian juga harus diinformasikan dengan jelas

kepada pasien, misalnya sebelum atau sesudah makan atau saat akan tidur.

6) Lama penggunaan: lama penggunaan obat juga harus diinformasikan kepada

pasien, agar pasien tidak menggunakan obat secara berkepanjangan karena

(5)

7) Hal yang harus diperhatikan sewaktu minum obat tersebut, misalnya

pantangan makanan atau tidak boleh minum obat tertentu dalam waktu

bersamaan.

a) Hal apa yang harus dilakukan jika lupa memakai obat.

b) Cara penyimpanan obat yang baik.

c) Cara memperlakukan obat yang masih tersisa.

d) Cara membedakan obat yang masih baik dan sudah rusak.

2. Obat

Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang

digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan

patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan,

peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia (Depkes RI, 2014).

a. Penggolongan Obat

Obat dapat dibagi menjadi 6 golongan yaitu (Menkes RI, 1990; MenkesRI,

1993; Menkes RI, 1999; Depkes RI, 2006) :

1) Obat Bebas

Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli

tanpa resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas adalah

lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna hitam.Contoh: parasetamol,

vitamin.

2) Obat Bebas Terbatas

Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat keras

tetapi masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter, dan disertai

dengan tanda peringatan.Tanda khusus pada kemasan dan etiket.

Obat bebas terbatas adalah lingkaran biru dengan garis tepi berwarna

(6)

peringatan.Tanda peringatan ini diberikan karena hanya dengan takaran dan

kemasan tertentu obat ini aman dipakai untuk pengobatan sendiri. Tanda

peringatan berupa empat persegi panjang dengan huruf putih pada dasar hitam

yang terdiri dari enam macam, yaitu :

Contoh: CTM, antimo

3) Obat Keras

Obat keras adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotek dengan resep

dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket adalah huruf K dalam lingkaran

merah dengan garis tepi berwarna hitam.Contoh: asam mefenamat, tetrasiklin,

sefalosporin, dsb.

4) Obat Wajib Apotek (OWA)

Obat wajib apotek adalah obat keras yang dapat diserahkan oleh

Apotekerkepada pasien di apotek tanpa resep dokter.Sampai saat ini terdapat

tiga daftar obat yang diperbolehkan diserahkan tanpa resep dokter. Peraturan

mengenai Daftar Obat Wajib Apotek tercantum dalam :

a) Keputusan Menteri Kesehatan nomor 347/MenKes/SK/VII/1990 tentang

(7)

b) Peraturan Menteri Kesehatan nomor 924/Menkes/Per/X/1993 tentang

Daftar Obat Wajib Apotek No. 2

c) Keputusan Menteri Kesehatan nomor 1176/Menkes/SK/X/1999 tentang

Daftar Obat Wajib Apotek No. 3

Contoh: Asam mefenamat, salep hidrokortison, salep kloramfenikol.

5) Obat Psikotropika

Obat psikotropika adalah obat keras alamiah maupun sintetis bukan

narkotik, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan

saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan

perilaku.Contoh: diazepam, fenobarbital.

6) Obat Narkotika

Obat narkotika adalah obat keras yang berasal dari tanaman atau bukan

tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan

penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai

menghilangkan rasa nyeri dan menimbulkan ketergantungan.

Contoh: morfin dan petidin.

3. Penggunaan Obat Swamedikasi

Dalam penatalaksanaan swamedikasi, masyarakat memerlukan pedoman yang

terpadu agar tidak terjadi kesalahan pengobatan (medication error).Apoteker sebagai salah satu profesi kesehatan sudah seharusnya berperan sebagai pemberi informasi

(drug informer) khususnya untuk obat-obat yang digunakan dalam swamedikasi.Obat-obat yang dapat digunakan dalam swamedikasi adalah swamedikasi.Obat-obat-swamedikasi.Obat-obat yang termasuk dalam

golongan Obat Bebas, Obat Bebas Terbatas dan obat-obat dalam Daftar Obat Wajib

Apotek (DOWA) (Depkes RI, 1990; Depkes RI, 2006).

Sebelum menggunakan obat, termasuk obat bebas dan bebas terbatas harus

diketahui sifat dan cara pemakaiannya agar penggunaannya tepat dan aman. Informasi

tersebut dapat diperoleh dari brosur dan etiket yang tertera pada kemasan obat. Dalam

menentukan jenis obat yang akan diberikan kepada pasien swamedikasi ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu (Depkes RI, 2006):

(8)

b. Kondisi khusus misalnya hamil, menyusui, bayi, lanjut usia, diabetes mellitus, dan

lain-lain.

c. Riwayat alergi atau reaksi yang tidak diinginkan terhadap obat tertentu.

d. Pilihlah obat yang sesuai dengan gejala penyakit dan tidak ada interaksinya

dengan obat yang sedang diminum.

Pada pasien swamedikasi terdapat cara penggunaan obat yang harus

diperhatikan antara lain sebagai berikut (Depkes RI, 2006):

a. Penggunaan obat tidak untuk pemakaian secara terus menerus.

b. Gunakan obat sesuai dengan anjuran yang tertera pada etiket atau brosur.

c. Bila obat yang digunakan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan, hentikan

penggunaan dan tanyakan kepada apoteker dan dokter.

d. Hindarkan menggunakan obat orang lain walaupun gejala penyakit sama.

e. Untuk mendapatkan informasi penggunaan obat yang lebih lengkap, tanyakan

kepada apoteker.

4. ApotekdanApoteker

Menurut KepMenKes No.1027/MENKES/SK/IX/2004, apotek adalah tempat

tertentu tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan kefarmasian,

perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat.Menurut definisi tersebut dapat

diketahui bahwa apotek merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan dalam

membantu mewujudkan tercapainya derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat,

selain itu juga sebagai salah satu tempat pengabdian dan praktek profesi apoteker

dalam melakukan pekerjaan kefarmasian (Depkes RI, 2004).

Menurut KepMenKes No.1027/MENKES/SK/IX/2004 apoteker adalah sarjana

farmasi yang telah lulus pendidikan profesi dan telah mengucapkansumpah

berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan berhak melakukan pekerjaan

kefarmasian di Indonesia sebagai apoteker.Menurut definisi tersebut 6 seorang

apoteker merupakan lulusan perguruan tinggi farmasi yang memenuhi ciri profesi

yaitu memiliki pengetahuan yang berbatas jelas dan pendidikan khusus berbasis

keahlian pada jenjang perguruan tinggi (Depkes RI, 2004).

Menurut PerMenKes No.922/MENKES/PER/X/1993 apotek dapat

diselenggarakan oleh apotekeryang bertindak sebagai Apoteker Pengelola Apotek

(APA) dan sekaligus sebagai Pemilik Sarana Apotek (PSA). Dapat diselenggarakan

(9)

Apoteker Pengelola Apotek (APA) sedang pihak lain seorang apoteker atau tidak

yang bertindak sebagai Pemilik Sarana Apotek (PSA). Dalam hal ini apoteker

menggunakan sarana pihak lain sehingga penggunaan sarana didasarkan atas

perjanjian kerjasama antara apoteker dan pemilik sarana (Depkes RI, 1993).

Peran apoteker adalah melakukan pelayanan kefarmasian

(pharmaceuticalcare) yang merupakan bentuk pelayanan dan tanggung jawab langsung profesi apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan kualitas

hidup pasien (Depkes RI, 2004). Menurut PP 51 Tahun 2009, pelayanan kefarmasian

dari pengelolaan obat sebagai komoditi kepada pelayanan yang komprehensif

(pharmaceutical care) dalam pengertian tidak saja sebagai pengelola obat namun dalam pengertian yang lebih luas mencakup pelaksanaan pemberian informasi untuk

mendukung penggunaan obat yang benar dan rasional, monitoring penggunaan obat

untuk mengetahui tujuan akhir serta kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan

(medication error) (Depkes RI, 2009).

Pelayanan farmasi yang baik akan mendukung keberhasilan suatu terapi,

sehingga berhasilnya suatu terapi tidak hanya ditentukan oleh diagnosis dan pemilihan

obat yang tepat, tetapi juga kepatuhan (compliance) pasien untuk mengikuti terapi yang telah ditentukan. Kepatuhan pasien telah ditentukan oleh beberapa hal antara lain

persepsi tentang kesehatan, pengalaman mengobati sendiri, pengalaman dari terapi

sebelumnya, lingkungan, adanya efek samping obat, keadaan ekonomi, interaksi

dengan tenaga kesehatan dan informasi penggunaan obat dari apoteker (Depkes RI,

Referensi

Dokumen terkait

Kaleng yang sudah siap pada posisi berputar akan berputar sesuai dengan rotasi putaran motor yang di kendalikan oleh inverter toshiba yang telah disiapkan.. Kaleng sarden

Kelompok A yang terdiri atas genotipe IP-1A, IP-1M, Lombok Barat, Bima, Lombok Timur dan Lombok Tengah mempunyai kesamaan pada karakter tipe tanaman, warna batang muda, warna

Sebaliknya jika sebuah segmen dibuat selalu gelap, atau tidak sefasa dengan common, maka segmen ini dapat dihubungkan dengan rangkaian inverter yang mendapat masukan

Melalui kegiatan pengamatan tayangan power point siswa dapat menganalisis informasi yang disampaikan paparan iklan dari media cetak dengan benar.. Melalui

Sistem pengambilan keputusan yang akan digunakan pada penelitian ini adalah metode Electre (Elimination and Choice Translation Reality), yang diharapkan dapat

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik memahami dan mengerti tentang anatomi dan fisiologi apendik, memahami patogenesa abses apendik, memahami dan mengerti diagnosa, pengelolaan

Dengan demikian komparator yang dihasilkan ini memungkinkan untuk dapat digunakan sebagai kit tiosianat dengan cara membandingkan intensitas warna sampel tiosianat

Untuk menghindari unsur subjektif dalam melakukan penyeleksian penerima beasiswa, maka tujuan dari penelitian ini yaitu menghasilkan suatu aplikasi sistem pendukung keputusan yang