• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 15 PERWUJUDAN LEMBAGA DEMOKRASI YANG MAKIN KUKUH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 15 PERWUJUDAN LEMBAGA DEMOKRASI YANG MAKIN KUKUH"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 15

PERWUJUDAN LEMBAGA DEMOKRASI YANG MAKIN KUKUH

Tahun 2009 merupakan tahun terakhir masa pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu periode 2004—2009. Selama lima tahun terakhir, berbagai upaya dilakukan oleh Pemerintah untuk mempertahankan proses konsolidasi dan memperkuat fondasi demokrasi Indonesia agar mampu berjalan menuju demokrasi yang terkonsolidasi dalam kurun waktu lima belas tahun ke depan. Cukup banyak capaian penting di bidang pembangunan demokrasi, namun pekerjaan rumah bagi Pemerintah dan rakyat Indonesia pada 5 tahun mendatang masih banyak.

Perjalanan demokrasi dalam lima tahun terakhir memberikan pengalaman sekaligus menjadikannya tantangan untuk proses demokratisasi lima tahun ke depan menjadi jauh lebih baik. Tiba saatnya untuk mengoreksi berbagai kekuatan dan kelemahan yang dimiliki, saling terbuka untuk menerima perubahan dan bekerja sama secara positif demi kemajuan dan peningkatan kualitas demokrasi. Pemerintah tetap meyakini bahwa pelembagaan demokrasi yang kukuh adalah kunci bagi peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat secara berkelanjutan.

I. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI

Seperti halnya permasalahan pada masa lima tahun sebelumnya, permasalahan yang masih akan dihadapi lima tahun

(2)

15 - 2

mendatang adalah hal yang berkenaan dengan akuntabilitas wakil rakyat kepada konsituennya, serta masih kurang kuatnya posisi politik konstituen dalam menuntut akuntabilitas Presiden-Wakil Presiden terpilih dalam melaksanakan amanat konstituen dan rakyat Indonesia seluruhnya sebagaimana telah dituangkan dalam visi dan misinya waktu kampanye. Adanya kesenjangan hubungan antara wakil rakyat dan konstituennya merupakan permasalahan yang dihadapi oleh lembaga legislatif dalam beberapa periode kepemimpinannya pascapemerintahan Orde Baru. Di samping itu, persoalan yang dialami pada Pemilu 2009 terkait dengan DPT, persiapan penyelenggaraan pemilu, sosialisasi pendidikan pemilih, dan tingkat partisipasi pemilih. Hal itu perlu menjadi pembelajaran dan tantangan bagi KPU, Bawaslu, dan Pemerintah dalam melembagakan proses penyelenggaraan pemilu yang transparan dan akuntabel. Keterbatasan atau sempitnya waktu dan ketidaksiapan melaksanakan tahapan selalu saja menjadi batu sandungan penyelenggaraan pemilu dan pilkada yang berkualitas. Waktu lima tahun antara dua pemilu menjadi momen penting proses persiapan pilkada pada tahun selanjutnya dan pemilu pada lima tahun mendatang. Tingkat partisipasi politik dalam pilkada, sebagaimana terjadi pula dalam Pemilu 2009, cenderung menunjukkan penurunan. Permasalahan ini berpotensi akan dihadapi pula dalam pilkada yang akan dilaksanakan pada tahun 2010. Tingkat partisipasi politik merupakan salah satu alat ukur tingkat demokrasi suatu negara.

Permasalahan yang terkait dengan kinerja lembaga legislatif adalah masih cukup banyaknya keluhan di dalam masyarakat mengenai kurang optimalnya kinerja DPR dalam melaksanakan fungsi legislasi, serta dalam menyalurkan dan memperjuangkan aspirasi masyarakat yang menjadi konstituen para anggota. Berkenaan dengan fungsi pengawasan, DPR telah dapat melaksanakannya dengan kualitas yang lebih baik dari waktu ke waktu.

Permasalahan kualitas dan proses demokrasi lainnya terkait dengan kinerja dan kredibilitas parpol yang masih dinilai rendah oleh para konstituennya terutama pasca Pemilu 2009. Persepsi konstituen masih sekitar peran parpol yang belum dapat melaksanakan fungsi-fungsi agregasi, artikulasi, dan pendidikan politik sedangkan dari sisi

(3)

15 - 3 kapasitas organisasinya juga masih lemah terutama terkait dengan pola pengaderan (rekrutmen). Parpol yang mendapat kursi di lembaga legislatif hasil Pemilu 2009 akan dituntut untuk dapat melaksanakan fungsi tersebut. Oleh karena itu, tantangan ke depan adalah meraih kepercayaan konstituen melalui peningkatan kinerja parpol yang dampak positifnya dapat dirasakan oleh masyarakat konstituennya.

Organisasi masyarakat sipil secara umum masih akan mengalami hal yang tidak jauh berbeda dengan yang dialami oleh parpol. Organisasi masyarakat sipil masih akan dituntut untuk dapat melaksanakan perannya dalam mengawasi penyelenggaraan pemerintahan dan memperjuangkan aspirasi masyarakat kelompoknya terutama dalam proses penyusunan kebijakan publik. Permasalahan tersebut disebabkan oleh beberapa kondisi yang dihadapi hingga saat ini, seperti masih rendahnya kapasitas internal organisasi dalam melaksanakan kerja-kerja operasionalnya termasuk di dalamnya manajemen organisasi, pengembangan jejaring organisasi masyarakat sipil yang masih terbatas, lemahnya kinerja pengorganisasian rakyat dalam upaya mendorong perubahan dalam masyarakat. Di samping itu, juga masih lemahnya akses organisasi masyarakat sipil terhadap informasi yang disebabkan oleh minimnya fasilitasi pendukung komunikasi, rendahnya kapasitas pengurus terhadap sistem informasi dan terbatasnya dukungan media publik terhadap gerakan organisasi rakyat. Keterbatasan pendanaan untuk mendukung operasional merupakan faktor penghambat kinerja organisasi yang belum optimal. Di samping itu, dalam kegiatan sehari-hari, pola kerja OMS belum diiringi dengan nilai-nilai dan sikap volunterisme yang menjadi ciri khasnya. Permasalahan lain adalah adanya fragmentasi di kalangan organisasi masyarakat sipil, lemahnya posisi OMS secara politis terhadap proses demokratisasi dan penegakan HAM dan secara sosial mengambang, serta rendahnya kapasitas OMS dalam menggalang dana dari publik. Oleh karena itu, tantangan ke depan adalah mewujudkan kinerja organisasi masyarakat sipil yang independen dan otonom dan yang penting adalah mencapai kinerja yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat pada umumnya.

(4)

15 - 4

Hal lain yang terkait dengan masyarakat sipil, pemerintah memiliki kepercayaan bahwa sebagian besar persoalan yang ada di dalam masyarakat lebih baik diatasi melalui proses penguatan pemahaman masyarakat sendiri melalui penerapan secara tepat nilai-nilai kemandirian dan solidaritas sosial di dalam masyarakat. Organisasi masyarakat sipil dapat memainkan peran dalam memberikan advokasi kepada masyarakat, selain melakukan fungsi pengawasan kepada pemerintah dan aparat negara pada umumnya. Organisasi masyarakat sipil perlu lebih terlibat dalam mencegah eskalasi yang berkaitan dengan potensi konflik dengan mengutamakan proses komunikasi, dialog, pendidikan kewarganegaraan (civic education), advokasi serta mediasi kepada kelompok masyarakat yang terlibat konflik kepentingan ataupun terhadap aparat pemerintah dan birokrasi yang berhubungan langsung dengan masyarakat.

Permasalahan lain yang dihadapi adalah persepsi masyarakat sipil yang menunjukkan distrust terhadap kemampuan dan kredibilitas Pemerintah dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Oleh karena itu tantangan untuk meraih kepercayaan dari masyarakat sipil bagi Pemerintah adalah dengan melakukan reformasi birokrasi termasuk memberikan pelayanan publik yang benar-benar dapat dirasakan oleh masyarakat, dan menghasilkan kebijakan yang memberikan ruang bagi organisasi masyarakat sipil untuk beraktivitas dan berkembang. Hal lain adalah masih jelas terlihat adanya persoalan netralitas pemegang jabatan birokrasi.

Terkait dengan bidang komunikasi dan informasi, ketidaksiapan dalam melaksanakan UU No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) secara efektif dapat menjadi potensi persoalan pada tahun mendatang. Banyak hal yang harus dilakukan untuk melaksanakan UU tersebut, antara lain penyediaan akses informasi publik dan mempersiapkan substansi informasi publik yang bermanfaat dan dibutuhkan masyarakat serta bagi pencerdasan masyarakat. Hal lain adalah munculnya potensi gugatan atas ketidaksiapan lembaga/badan publik dalam melaksanakan undang-undang tersebut. Masih relatif rendahnya pemahaman semua pihak terhadap makna kemerdekaan dan kebebasan dalam menyampaikan, memberitakan, dan menyiarkan informasi kepada

(5)

15 - 5 publik juga merupakan permasalahan yang masih akan dihadapi ke depan. Hal itu tidak hanya menyangkut peran kalangan pers, media massa, dan lembaga-lembaga penyiaran, tetapi juga berkaitan dengan masih rendahnya pemahaman masyarakat terhadap pentingnya keterbukaan informasi bagi sebuah masyarakat demokratis. Pada satu pihak, kemerdekaan pers dalam suatu masyarakat terbuka menuntut adanya peningkatan kemampuan dan profesionalisme secara terus menerus dari masyarakat pers. Di lain pihak, masyarakat juga perlu secara cerdas menyaring dan memilah informasi yang memiliki kredibilitas tinggi atau kurang memiliki kredibilitas atau bahkan hanya kabar burung yang kurang memiliki dasar pada kejadian yang sebenarnya. Apabila kedua hal di atas bergerak maju secara konsisten, tentu akan tercipta masyarakat sipil yang makin cerdas dan siap memperjuangkan hak-hak mereka secara damai dan beradab di dalam sebuah masyarakat demokratis.

Hal lain yang masih menjadi masalah di dalam masyarakat adalah masih belum meratanya perolehan informasi seluruh anggota masyarakat di Indonesia karena masih terbatasnya infrastruktur informasi dan komunikasi yang ada. Walaupun sekelompok masyarakat tertentu sudah mampu memperoleh informasi tertentu tentang persoalan pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan serta segala persoalan publik yang berkaitan dengan dirinya, informasi yang diperoleh masyarakat seringkali masih minim dan tidak menggambarkan keadaan yang sesungguhnya tentang suatu permasalahan yang terjadi. Apabila masyarakat memperoleh informasi yang kurang lengkap tentang suatu persoalan yang kompleks, keadaan ini tidak jarang akan menimbulkan berbagai kesalahpahaman dan konflik yang tidak perlu.

Peran lembaga penyiaran publik yang belum optimal menjadi salah satu kendala penyebaran informasi publik kepada seluruh masyarakat Indonesia. Faktor kapasitas lembaga penyiaran publik termasuk sumber daya manusia dan manajemennya telah memberikan kontribusi terhadap keterbatasan peran dimaksud. Padahal, di satu sisi, peran lembaga penyiaran publik sangatlah penting untuk mendukung penyebaran informasi publik dan proses pencerdasan bangsa yang seringkali terkalahkan oleh kepentingan kelompok tertentu.

(6)

15 - 6

II. LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN DAN HASIL-HASIL YANG DICAPAI

Dalam mendukung pelaksanaan Pemilu 2009, pemerintah dan DPR telah mempersiapkan peraturan perundang-undangan bidang politik yang menjadi dasar pelaksanaan kebijakan dalam penyelenggaraan Pemilu 2009 agar dapat dilaksanakan secara demokratis, langsung, umum, bebas dan rahasia, jujur dan adil, damai, dan bertanggung jawab. Di samping itu, Pemilu 2009 diharapkan dapat menghasilkan elit-elit politik yang akan memimpin penyelenggaraan negara untuk lima tahun ke depan.

Dalam mendukung Pemilu 2009, sepanjang tahun 2008 sejumlah landasan struktural penting telah berhasil diselesaikan, yaitu UU No. 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan UU No.10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD serta UU No. 42 tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Sementara itu RUU Susunan dan Kedudukan Anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD segera akan diselesaikan pada tahun 2009. Satu lagi kemajuan penting yang dicapai dalam demokrasi Indonesia adalah melalui UU No. 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu telah ditetapkan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang bertugas mengawasi penyelenggaraan Pemilu sebagai lembaga yang bersifat permanen, bukan lagi ad hoc.

Hal lain yang juga merupakan suatu keberhasilan yang dicapai dalam proses pelembagaan demokrasi adalah adanya keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan judicial review bagi pembatalan Pasal 214 UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Konsekuensi pembatalan ini adalah penetapan calon anggota legislatif terpilih berdasarkan perolehan suara terbanyak, tidak lagi berdasarkan nomor urut yang ditetapkan oleh partai politik yang ikut di dalam pemilu legislatif. Pada tahun 2007 demokrasi Indonesia juga mencapai kemajuan serupa, yakni dengan diperbolehkannya keikutsertaan calon independen dalam pilkada melalui penetapan keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan judicial review terhadap UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Hal itu merupakan tonggak penting bagi perluasan ruang kebebasan politik masyarakat

(7)

15 - 7 luas dan peningkatan kualitas proses rekrutmen kepemimpinan politik di Indonesia karena calon independen diharapkan menjadi pemicu motivasi calon dari parpol untuk mempersiapkan diri secara lebih baik.

Perlu mendapatkan catatan penting bahwa komposisi parlemen baru memberikan harapan besar bagi peningkatan efektivitas parlemen pada lima tahun mendatang. Hal itu terjadi karena berdasarkan perhitungan ambang batas parliamentary threshold yang diamanatkan UU No.10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD dari 38 parpol nasional hanya sembilan parpol yang mendapatkan kursi di DPR.

Penyelenggaraan Pemilu 2009 mengajarkan satu hal penting pada Pemerintah, KPU, dan Bawaslu sebagai lembaga independen penyelenggara pemilu sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku, yakni berkaitan dengan masih lemahnya sistem administrasi kependudukan yang menjadi dasar penyusunan daftar pemilih tetap (DPT) dalam pemilu nasional. Hak-hak dasar masyarakat sebagai warga negara yang sudah berhak memilih dalam pemilu sudah semestinya dijamin sepenuhnya tanpa kecuali. Terkait dengan persoalan DPT tersebut, Mahkamah Konsitusi satu hari menjelang pemilu presiden/wakil presiden menetapkan keputusan bahwa warga negara yang telah berhak memilih dapat menggunakan kartu tanda penduduk (KTP) dan paspor yang dilengkapi dengan surat keterangan lainnya untuk menyalurkan haknya. Keputusan tersebut merupakan akses penting setiap warganegara untuk mendapatkan hak pilihnya.

Beberapa persoalan yang terjadi dalam penyelenggaraan Pemilu 2009, tidak saja persoalan DPT, tetapi juga persoalan keterlambatan pengesahan UU No. 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu berdampak pada terlambatnya pengangkatan dan pengisian anggota KPU periode 2007—2012, keterlambatan persetujuan pagu anggaran Pemilu 2009 berdampak pada lemahnya proses administrasi pelaksanaan anggaran penyelenggara Pemilu 2009, adanya keterbatasan pemerintah daerah untuk berpartisipasi langsung dalam penyelengaraan pemilu karena pendanaan pemilu bersumber dari APBN. Hal lain adalah kondisi administrasi wilayah NKRI yang kompleks yang menyebabkan KPU mengalami kesulitan

(8)

15 - 8

dalam menetapkan alokasi batas minimal dan maksimal kursi per daerah pemilihan dan dalam menetapkan anggota DPR, DPD, dan DPRD hasil Pemilu 2009. Karena kondisi geografis daerah tertentu KPU tidak dapat memenuhi batas minimal dan maksimal alokasi kursi DPRD, pada daerah pemilihan tersebut, KPU menetapkan alokasi kursi yang melebihi ketentuan yang telah ditetapkan, yaitu lebih dari 12 kursi.

Berbagai implikasi terhadap penyelenggaraan pemilu akibat berbagai kelemahan tersebut telah mengakibatkan banyaknya gugatan masyarakat dan juga gugatan dari kubu calon presiden/wakil presiden yang ikut serta dalam kompetisi Pemilu 2009. Pelanggaran terhadap penyelenggaraan pemilu oleh Bawaslu dikategorikan ke dalam 3 kelompok, yaitu pelanggaran administrasi, pelanggaran tindak pidana pemilu, dan pelanggaran lain-lain. Dalam pengawasan tahapan penyelenggaraan pemilu legislatif, Bawaslu mencatat terjadinya sejumlah 163 pelanggaran pada tahapan pendaftaran dan penetapan peserta pemilu, 591 pelanggaran pada tahapan pencalonan, 9.025 pelanggaran pada tahapan kampanye, dan 1.909 pelanggaran pada tahapan pemungutan dan penghitungan suara. Tindak lanjut keseluruhan pelanggaran tersebut, untuk 9.199 pelanggaran administrasi yang diterima atau ditemukan pengawas, sejumlah 5.121 diteruskan ke KPU, dan 3.715 ditangani oleh KPU. Untuk 2.629 pelanggaran tindak pidana pemilu yang diterima atau ditemukan pengawas, sejumlah 690 diteruskan ke penyidik, 258 ke Kejaksaan, 224 ke Pengadilan, dan 215 diputuskan oleh Pengadilan Negeri. Adapun dalam pengawasan tahapan penyelenggaraan pemilu presiden dan wakil presiden, tercatat sejumlah 311.082 pelanggaran pada tahapan pendaftaran pemilih, 131 pelanggaran pada tahapan masa kampanye, dan 654 pelanggaran pada tahapan pemungutan dan penghitungan suara.

Berbagai gugatan sengketa pemilu telah juga disampaikan kepada Mahkamah Konstitusi untuk mendapatkan solusi terbaik dalam mencapai keadilan demokrasi. Hal yang perlu digarisbawahi dalam penyelenggaraan Pemilu 2009 adalah suasana hati rakyat dan penerimaan rakyat terhadap hasil keputusan penyelenggaraan pemilu legislatif dan presiden/wakil presiden. Kondisi tersebut telah mengakibatkan penyelenggaraan pemilu pada umumnya berjalan

(9)

15 - 9 dengan aman dan damai walaupun ada rasa ketidakpuasan karena adanya pelanggaraan terhadap hak politik individu sebagaimana terjadi pada pemilu legislatif yang lalu. Keputusan Mahkamah Konstitusi dengan mengeluarkan KTP dan paspor untuk menjamin keadilan dan hak asasi politik warga turut berkontribusi terhadap kelancaran penyelenggaraan Pemilu 2009.

Di sisi lain, perlu digarisbawahi pula bahwa Pemilu 2009 di Indonesia termasuk pemilu yang paling kompleks di dunia. Dalam satu hari diadakan pemilu untuk memilih 4 lembaga parlemen, yaitu memilih 560 anggota DPR, 132 orang anggota DPD, dan 16.253 orang anggota DPRD provinsi, kabupaten dan kota. Jumlah pemilih mencapai 171.265.442 orang, jumlah TPS sebanyak 519.920 buah, jumlah PPS sebanyak 76.711 orang, jumlah PPK sebanyak 6471 orang dan 471 KPU kabupaten/kota, serta 33 KPU provinsi.

Berbagai hasil yang telah dicapai perlu mendapatkan perhatian bersama bahwa di tengah berbagai persoalan DPT dan berbagai persoalan lain penyelenggaraan pemilu, pada umumnya Pemilu Legislatif dan Presiden/Wakil Presiden dapat berjalan dengan demokratis, aman, dan damai. Rakyat Indonesialah yang paling berperan dalam menciptakan suasana politik yang aman dan damai. Pada Pemilu Legislatif 2009, angka partisipasi rakyat adalah 70,99%, sedangkan pada Pemilu Presiden, tingkat partisipasi rakyat adalah 72,56%.

Berkenaan dengan penyelenggaraan pilkada, sampai dengan akhir tahun 2008, secara umum pelaksanaannya berjalan relatif lancar dan aman. Beberapa pilkada memang menghadapi persoalan seperti perselisihan dalam Pilkada Gubernur Jawa Timur tahun 2008 yang akhirnya dapat diselesaikan secara hukum melalui keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk melakukan pemungutan suara ulang di dua kabupaten di Provinsi Jawa Timur. Di daerah lain, meskipun terjadi perselisihan yang cukup tajam sejak akhir 2007 mengenai hasil Pilkada Gubernur Maluku Utara antara pihak-pihak yang bersaing dalam pilkada, kasus ini sudah dapat diselesaikan secara politik dengan mempertimbangkan semua aspek hukum yang melingkupi persoalan pilkada tersebut. Secara rata-rata, tingkat partisipasi politik rakyat dalam pilkada sampai dengan akhir tahun 2008 dapat dikatakan cukup tinggi, yaitu mencapai 75,28%.

(10)

15 - 10

Perlu kiranya mendapat catatan penting bahwa sejumlah penyelenggaraan pilkada menunjukkan hasil-hasil yang menggembirakan, baik jika ditinjau dari segi proses penyelenggaraannya, partisipasi, masyarakat dan keanekaragaman peserta yang ikut pilkada, maupun jika ditinjau dari hasil-hasil pilkada itu sendiri. Pilkada yang sudah berlangsung sejak 2005 ini tidak pelak lagi telah meletakkan dasar-dasar tradisi berdemokrasi yang penting berupa pembelajaran cara berpolitik dan berdemokrasi secara baik serta kemampuan masyarakat untuk ikut serta mengawal seluruh proses penyelenggaraan pilkada sampai selesai. Pemerintah mengharapkan ini akan menjadi modal bagi konsolidasi demokrasi pada masa mendatang sejalan dengan makin menguatnya pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah.

Berkaitan dengan pemenuhan hak-hak politik sebagaimana diamanatkan dalam Konstitusi, peran pemerintah adalah memberikan iklim kondusif bagi pemenuhan hak-hak politik rakyat untuk berserikat dan berkumpul. Adanya peraturan perundang-undangan tentang partai politik dan khusus untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dengan telah ditetapkannya UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang kemudian diikuti dengan PP No. 20 tahun 2007 tentang Partai Politik telah memberikan dampak lahirnya semangat dan partisipasi politik rakyat untuk ikut berorganisasi dalam partai politik, yang terlihat dari jumlah partai politik yang ada di Indonesia. Terkait dengan Pemilu 2009, jumlah parpol yang lolos ikut dalam Pemilu 2009 berjumlah 44 partai politik termasuk 6 partai politik lokal. Berkenaan dengan masyarakat sipil, saat ini telah tumbuh banyak sekali organisasi masyarakat sipil di Indonesia.

Lebih lanjut terkait dengan salah satu pilar demokrasi, yaitu partai politik, kebijakan yang telah dilakukan oleh Pemerintah adalah menyusun PP No. 29 tahun 2005 tentang Bantuan Keuangan Parpol dan Permendagri No. 32 tahun 2005 tentang Pedoman Pengajuan, Penyerahan, dan Laporan Penggunaan Bantuan Keuangan kepada Parpol. Dikeluarkannya PP tersebut merupakan penjabaran Pasal 17 ayat (4) UU No. 31 tahun 2002 tentang Parpol. Kebijakan untuk memberikan fasilitasi bantuan keuangan telah dilakukan untuk periode kepengurusan anggota DPR periode tahun 2004 hingga tahun 2009 yang diberikan sekitar Rp21 juta per kursi DPR. Tujuannya

(11)

15 - 11 adalah untuk membantu kelancaran administrasi dan/atau sekretariat partai politik untuk dapat memperjuangkan tujuan parpol dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara guna memperkokoh integritas negara kesatuan Republik Indonesia. Sementara itu, kapasitas parpol dalam melaksanakan fungsi-fungsinya merupakan ranah (domain) parpol itu sendiri dalam melaksanakannya. Hal yang mengemuka di mata publik adalah persoalan kredibilitas dan kepercayaan parpol dalam melaksanakan fungsi sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang tentang partai politik yang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Ketimpangan salah satu pilar demokrasi tidak memungkinkan berjalannya proses konsolidasi demokrasi di Indonesia. Oleh karena itu kiranya ke depan, komunikasi yang konstruktif para lembaga demokrasi dan aktor demokrasi termasuk di dalamnya eksekutif dan legislatif dapat membicarakan hal ini bersama untuk selanjutnya berkomitmen sehingga semua pihak dapat melaksanakan aksi yang dapat berkontribusi terhadap berjalannya proses demokratisasi di Indonesia ke depan.

Selanjutnya, sebagai penjabaran Pasal 34 ayat (4) UU No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik, kebijakan yang telah dilakukan oleh Pemerintah adalah menyusun PP No. 5 tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik dan Permendagri No. 24 tahun 2009 tentang Pedoman Tata cara Penghitungan, Penganggaran dalam APBD, Pengajuan, Penyaluran, dan Laporan Pertanggungjawaban Penggunaan Bantuan Keuangan Partai Politik. Berbeda dengan periode 2004–2009, bantuan keuangan kepada partai politik untuk periode 2009–2014 diberikan secara proporsional kepada partai politik yang mendapatkan kursi di DPR dan DPRD provinsi/kabupaten/kota yang penghitungannya berdasarkan jumlah perolehan suara.

Dalam konteks untuk meningkatkan peran organisasi masyarakat sipil dalam proses demokratisasi, upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah adalah membuka ruang dialog untuk dapat memperbaiki hubungan antara pemerintah dan masyarakat sipil. Pemerintah dan masyarakat sipil, yang antara lain direpresentasikan oleh kehadiran berbagai organisasi masyarakat sipil, tampaknya telah memiliki keinginan yang sama, yaitu

(12)

15 - 12

melakukan revisi UU No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Pemerintah dan masyarakat sipil pada intinya sepakat bahwa undang-undang tersebut perlu disesuaikan dengan dinamika demokrasi yang berkembang saat ini. Upaya lain yang dilakukan oleh pemerintah adalah melakukan kerja sama dengan organisasi masyarakat sipil dalam program pendidikan politik yang tujuannya tidak hanya difokuskan pada hak dan kewajiban sebagai warga negara, tetapi sekaligus ditujukan untuk meningkatkan wawasan kebangsaan dan cinta tanah air. Program kerja sama dengan organisasi masyarakat sipil telah dilakukan sejak tahun 2005 hingga tahun 2009 ini. Lebih lanjut dapat disampaikan bahwa fasilitasi program Pemerintah untuk organisasi masyarakat sipil tersebut diharapkan sekaligus menjadi salah satu cara bagi organisasi masyarakat sipil untuk melakukan perbaikan internal organisasi ke dalam.

Pada sisi perkembangan kinerja lembaga penyelenggara negara, selama empat tahun terakhir sejak awal 2005 sampai dengan 2009 ini, Indonesia telah mengalami proses transformasi politik yang sangat berarti bagi konsolidasi demokrasi. Lembaga-lembaga penyelenggaraan negara yang sudah ada sejak beberapa dekade terakhir ini terlihat bergerak maju secara lebih dinamis dalam melaksanakan peran dan fungsi yang diberikan Konstitusi kepada mereka. Salah satu lembaga penting dengan kinerja yang sangat baik dan bersifat koordinatif dengan pemerintah adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga ini telah berhasil mengungkap sejumlah skandal korupsi tingkat tinggi di sejumlah lembaga-lembaga penting negara. Tantangannya adalah bagaimana memperkuat kapasitas kelembagaan KPK agar mampu meningkatkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia sesuai dengan harapan masyarakat luas dan sejalan dengan amanat perundang-undangan yang menjadi dasar pembentukannya.

Bidang komunikasi dan informasi mengalami kemajuan yang sangat berarti pada tahun 2008 ini, yaitu dengan telah ditetapkannya UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Undang-undang ini merupakan sebuah produk penting untuk menjamin pelembagaan lebih lanjut atas hak-hak masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan informasi yang selengkap mungkin

(13)

15 - 13 dari sumber yang seluas-luasnya tentang proses politik dan penyelenggaraan negara Republik Indonesia. Produk perundang-undangan ini sudah menempuh waktu pembahasan yang cukup panjang dan melelahkan di badan legislatif antara Pemerintah dan wakil rakyat di DPR hingga akhirnya ditetapkan pada 30 April 2008. UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik ini akan mulai berlaku efektif pada tahun 2010. Dengan demikian, selama masa transisi diharapkan sudah dapat dirampungkan PP, juknis, infrastruktur, sarana/prasarana serta hal lain yang terkait dengan pemberlakukan undang-undang dimaksud.

Pada selisih waktu yang tidak terlalu lama, sebelumnya pemerintah dan DPR juga sudah sepakat menetapkan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Hal itu tentu merupakan sebuah kemajuan yang tidak kecil dalam proses mewujudkan lembaga-lembaga demokrasi yang makin kukuh di tanah air. Kedua perundang-undangan bidang informasi di atas memberikan batasan-batasan penting mengenai apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh Pemerintah, masyarakat, dan lembaga-lembaga media massa swasta berkaitan dengan implikasi hak masyarakat untuk mendapatkan akses yang seluas mungkin atas sumber-sumber informasi publik yang strategis.

Pemerintah terus mengupayakan penyempurnaan sejumlah fasilitas penyebaran informasi publik terutama kebijakan Pemerintah di bidang politik hukum dan keamanan, perekonomian, kesejahteraan sosial, dan pengelolaan pendapat umum. Penyebaran informasi publik rutin dilakukan melalui penerbitan media cetak, media elektronik (seperti Kominfo News Room), siaran radio dan televisi daerah, forum dialog interaktif, forum publik, sarasehan, jajak pendapat, media luar ruang, forum pemberdayaan lembaga komunikasi perdesaan, pemantau media, pemanfaatan media tradisional dan pentas pertunjukan rakyat, serta penyelenggaraan

Meet The Press/Media Gathering dengan perwakilan asing.

Penyebaran informasi melalui berbagai media itu akan terus dilanjutkan dan ditingkatkan kualitas, kuantitas dan daya jangkaunya sehingga dapat menjadi jembatan komunikasi yang efektif dan efisien antara negara dan masyarakat dalam dan luar negeri.

(14)

15 - 14

Selain itu, untuk mengatasi hambatan dan kendala penyebaran informasi ke wilayah-wilayah yang terpencil serta meminimalkan kendala akses terhadap informasi publik telah pula dilakukan peningkatan koordinasi yang lebih erat dengan lembaga komunikasi pemerintah daerah yang memiliki otonomi di bidang komunikasi dan informasi. Pada sisi lain, pemerintah tetap berusaha meningkatkan pelayanan melalui mobil unit operasional kepada rakyat yang selama ini belum terjangkau infrastruktur informasi minimal yang diperlukan untuk ikut mengetahui dan mulai ikut serta berpartisipasi dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

III. TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN

Untuk melanjutkan upaya yang telah dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya, proses kualitas konsolidasi demokrasi perlu terus ditingkatkan melalui perbaikan yang tidak kenal lelah dan terus-menerus pada kualitas, kapasitas, dan kredibilitas di semua lembaga-lembaga penyelenggara negara tanpa kecuali termasuk di dalamnya lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Demokrasi Indonesia masih sangat rentan. Oleh karena itu, keberlanjutan peningkatan kinerja menjadi sangat penting dilakukan setiap tahunnya dan setiap saat untuk menjaga proses konsolidasi demokrasi agar terus berjalan ke arah yang positif dan berkelanjutan pula.

Hal yang menjadi tantangan besar tahun-tahun mendatang untuk merespons hasil rekrutmen kepemimpinan politik yang demokratis melalui pemilu 2009 dan pilkada 2005—2008 adalah meminimalkan dampak tidak sehat dari kesenjangan elektoral

(electoral disconnection), yaitu dengan cara mencari mekanisme

yang lebih struktural untuk mengoptimalkan hubungan akuntabilitas antara wakil rakyat dan konstituennya dalam periode antara dua pemilihan umum dan pilkada.

Dalam rangka peningkatan kualitas penyelenggaraan Pemilu, peranan tugas, wewenang, dan kewajiban Pengawas Pemilu perlu lebih ditingkatkan lagi. Lembaga ini perlu didorong agar dapat menjalankan tugas dengan lebih efektif lagi di masa-masa mendatang. Untuk itu, KPU dan Bawaslu perlu didorong untuk lebih bekerja secara efektif dan efisien. Kasus-kasus pelanggaran yang

(15)

15 - 15 pernah terjadi pada rangkaian penyelenggaran Pemilu 2009, diharapkan pada pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah tahun-tahun mendatang dapat diminimalisasi dan akan lebih baik apabila dapat dilakukan tindakan pencegahannya. Pendekatan pengawasan pemilu yang meliputi preemptifikasi, preventifikasi, dan represifikasi pada akhirnya diharapkan dapat mencegah pelanggaran yang mungkin akan terjadi.

Berkenaan dengan pemilu dan pilkada, pelembagaan proses penyiapan penyelenggaraannya merupakan tindak lanjut yang perlu dan akan dilakukan juga pada tahun-tahun mendatang. Hal ini meliputi antara lain

ruang lingkup pelaksanaan pendidikan pemilih dan pendidikan politik, peningkatan kapasitas lembaga penyelenggara pemilu, perbaikan mekanisme pemilu, dan upaya perbaikan dan pemutakhiran daftar pemilih secara berkelanjutan. Koordinasi antara lembaga pemerintah dan KPU serta sosialisasi proses pemilu yang berkaitan dengan DPT harus ditingkatkan sehingga kelemahan serupa tidak terjadi lagi pada pemilu-pemilu yang akan datang dan/atau pada pilkada.

Khusus mengenai pilkada, perlu diperhatikan beberapa catatan penting untuk penyempurnaan pilkada di masa depan. Saat ini memang telah berkembang wacana perlunya penyempurnaan tata cara pilkada untuk meningkatkan efisiensi. Wacana ini muncul akibat cukup mahalnya biaya untuk melaksanakan pilkada, serta “ongkos sosial” yang ditimbulkan seperti munculnya potensi konflik di beberapa daerah yang cukup rawan secara politik.

Pelaksanaan 3 fungsi lembaga legislatif, yaitu fungsi anggaran, pengawasan dan legislasi perlu ditindaklanjuti untuk menjadi prioritas utama yang harus didukung oleh kualitas sumber daya manusia, sarana dan prasarana, serta hubungan yang sinergis di lingkungan internal organisasi lembaga legislatif. Dalam hal ini, peran Pemerintah adalah memfasilitasi pelaksanaan program kegiatan melalui fasilitas dukungan administrasi anggaran.

Kinerja dan kredibilitas parpol perlu ditingkatkan dengan berbagai program yang dapat diciptakan oleh parpol itu sendiri agar dapat memenuhi fungsi dan wewenangnya sebagaimana diamanatkan

(16)

15 - 16

dalam undang-undang partai politik, begitu juga dengan kapasitas organisasi parpol terutama dalam perbaikan pola pengaderan. Pemerintah menaruh perhatian penuh untuk mendukung penciptaan parpol modern. Oleh karena itu, peran Pemerintah adalah tetap sebagaimana diamanatkan dalam peraturan pemerintah, yaitu untuk memberikan bantuan keuangan parpol serta membuka ruang akses informasi dan dukungan serta fasilitasi terkait dengan hal-hal untuk mendukung peningkatan fungsi parpol dan kapasitas parpol dalam pola pengaderan dan perekrutan calon pemimpin politik dan pendidikan politik rakyat. Perlu kiranya mendapatkan perhatian bersama bahwa proses konsolidasi demokrasi perlu melibatkan semua lembaga demokrasi dan berbagai pihak lainnya termasuk rakyat untuk berkomitmen mendukung dan melaksanakan proses demokratisasi menuju demokrasi yang terkonsolidasi.

Berkenaan dengan permasalahan yang dihadapi oleh organisasi masyarakat sipil, sesungguhnya organisasi masyarakat sipil mengharapkan dukungan Pemerintah untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi peran masyarakat sipil dalam proses demokratisasi di Indonesia. Pemerintah memiliki komitmen yang jelas tentang keberadaan masyarakat sipil sebagai salah satu prasyarat penting tercapainya konsolidasi demokrasi di Indonesia. Oleh karena itu, tindak lanjut yang perlu dilakukan adalah menciptakan iklim lingkungan yang kondusif bagi berkembangnya proses demokratisasi dan berperannya masyarakat sipil dalam proses pengawasan penyelenggara negara dan keterlibatan dalam proses penyusunan kebijakan publik. Iklim itu termasuk memberikan ruang bagi organisasi masyarakat sipil untuk memperoleh sumber pendanaan untuk mendukung berbagai aktivitas organisasi dalam memaknai proses demokratisasi. Percepatan pembuatan RUU Organisasi Masyarakat Sipil yang baru sebagai pengganti UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan akan menjadi prioritas utama yang akan dilaksanakan pada tahun 2010. Hal lain adalah Pemerintah perlu menyediakan informasi publik yang tepat dan cepat serta ketersediaan akses bagi masyarakat untuk menjangkau informasi publik. Fasilitasi pemerintah akan diberikan pula dalam bentuk ruang pengembangan pengetahuan dan peningkatan kemampuan organisasi masyarakat sipil yang

(17)

15 - 17 profesional, independen, serta memiliki ciri-ciri sebagai organisasi masyarakat yang demokratis.

Reformasi birokrasi merupakan kebijakan publik yang akan dilaksanakan pada tahun 2010 mendatang untuk merespons berbagai persoalan ketidakpercayaan masyarakat terhadap Pemerintah. Kepercayaan (trust) merupakan modal sosial bagi terbangunnya kerja sama dan hubungan yang konstruktif antara Pemerintah dan masyarakat, yang pada gilirannya akan menciptakan stabilitas sosial politik dan memberikan ruang bagi berkembangnya demokrasi.

Dukungan terhadap pelaksanaan efektivitas keterbukaan informasi publik merupakan kebijakan tindak lanjut yang akan dilaksanakan pada tahun 2010 mendatang. Keterbukaan informasi merupakan kunci penting untuk mendorong berkembangnya demokrasi di Indonesia. Kebijakan ini meliputi, antara lain, penyediaan dan penyebaran informasi publik yang bermanfaat bagi pencerdasan bangsa, penyediaan akses terhadap informasi, peningkatan kualitas sumber daya manusia di bidang komunikasi dan informasi. Pemerintah juga akan tetap menjamin kebebasan lembaga pers dan media massa serta lembaga-lembaga penyiaran swasta sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Kebijakan lain adalah meningkatkan peran lembaga penyiaran publik dalam mendorong proses demokratisasi.

Pada lain pihak, demokrasi juga menuntut penegakan supremasi hukum tanpa kompromi dan kecuali karena penegakan hukum hanya akan berhasil secara baik apabila semua pihak di semua lembaga negara dan masyarakat berada di bawah hukum tidak kebal hukum dan tidak berada di atas hukum (above the law). Berkaitan dengan hal itu, Pemerintah akan terus bertekad meningkatkan kinerja Kejaksaan Agung serta siap secara proaktif untuk bekerja sama dengan lembaga independen, seperti KPK dalam hal pemberantasan korupsi seperti yang sudah berjalan selama ini. Pemerintah dan seluruh masyarakat memiliki kepentingan agar permasalahan korupsi ini tidak lagi menjadi penghambat dalam proses pembangunan bangsa dan peningkatan kesejahteraan masyarakat luas. Oleh karena itu, semua unsur negara dan masyarakat harus bekerja sama secara kompak dan konsisten untuk mengatasinya.

Referensi

Dokumen terkait

Perlakuan dengan menggunakan nematisida dapat mengurangi populasi nematoda dan meningkatkan pertumbuhan tanaman, baik pada tanaman inang yang resisten maupun pada yang

Jika kedua fasa tersebut adalah zat cair yang tidak saling bercampur, disebut ekstraksi cair-cair.Partisi adalah keadaan kesetimbangan keberhasilan pemisahan sangat tergantung

Memahami konsep yang berkaitan dengan aturan pangkat, akar dan logaritma, fungsi aljabar sederhana, persamaan dan pertidaksamaan kuadrat, sistem persamaan linier, program

inderanya ,Anak mulaimeniru perilaku keagamaan secara sederhana danmulai mengekspre-sikan rasa sayang dan cinta kasih,Anak mampu meniru secara terbatas perilaku

Dari hasil kajian dapat disimpulkasn sebagai berikut : (1) Di lihat dari gambaran pembangunan di Kabupaten Pandeglang, dilihat dari tingkat kemiskinan, tingkat pendidikan

Data penelitian menunjukkan bahwa ekstrak metanol akar pedada menunjukkan keaktifan yang tinggi tehadap larva udang, dengan LC50 2, 9597 ppm. Dengan LC50 kurang dari 10

3. Dalam hal instansi pemerintah sebagai Pemegang Paten tidak dapat melaksanakan Patennya, Inventor atas persetujuan Pemegang Paten. dapat melaksanakan Paten dengan pihak

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa Yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun