• Tidak ada hasil yang ditemukan

Membaca kembali syariah : mengelupaskan Agama dari sisi-sisi paradoksnya studi tentang Jihad di Majelis Mujahidin Indonesia [MMI] - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Membaca kembali syariah : mengelupaskan Agama dari sisi-sisi paradoksnya studi tentang Jihad di Majelis Mujahidin Indonesia [MMI] - USD Repository"

Copied!
158
0
0

Teks penuh

(1)

M E M B A C A K E M B A L I S Y A R I ’ A H :

M E N G E L U P A S K A N A G A M A D A R I S I S I - S I S I

P A R A D O K S N Y A

Oleh

Lailatul Fitri 016322009

Magister Ilmu Religi dan Budaya (IRB)

Program Pasca Sarjana

(2)
(3)
(4)
(5)

Halaman Persembahan

Untuk

Magister Ilmu Religi Budaya Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta

Pusat Studi Islam Universitas Islam Indonesia

Father Baskara T Wardaya

Mamak-Bapak

(

(6)

Abstraksi

' (

)

'

* +

,

-

)

.

- *

)

&

Studi Tentang Jihad Di Majelis Mujahidin Indonesia

Beberapa tahun belakangan ini, umat beragama sering disuguhi dan mungkin juga menyuguhkan pertikaian dan berbagai tindak kekerasan yang sudah sangat anarkis dan brutal, dengan menggunakan simbol-simbol dan idiom-idiom agama.

Tindakan kekerasan tersebut menurut banyak kalangan tidak bermula dari ajaran agama. Karena agama, mana pun, mengajarkan nilai-nilai luhur, kebaikan, perdamaian, persaudaraan, cinta kasih, dan sebagainya. Agama pada hakikatnya mengharamkan praktik-praktik kekerasan. Praksis kekerasan itu terjadi karena adanya faktor-faktor lain di luar agama yang ikut berperan, misal sosial, politik, dan terlebih ekonomi. Apalagi kalau mengacu pada ideologi Karl Marx, teknikal topografik pertikaian agama hanyalah menjadi materialisasi dari sesuatu yang lain yaitu pertikaian ekonomi. Bahwa orang yang bertikai bukan mempertahankan kebenaran tapi keunggulan ekonomi.

Akan tetapi, kita tidak bisa menutup mata bahwa agama dengan satu dan dua cara turut memotivasi konflik dan perang. Selain, di dalam Kitab Suci tertentu dijumpai rekaman peristiwa-peristiwa perang yang di dalamnya berlangsung tindakan-tindakan biadab seperti pembakaran, perampokan, penjarahan, dan pembantaian massal. Dalam satu dan dua cara juga pertikaian dan kekerasan yang terjadi bermuara dari nilai-nilai yang terkandung dalam agama. Dengan demikian agama sendiri mengandung ajaran-ajaran yang bernuansa kekerasan.

Meskipun demikian, perlu dipahami bahwa ajaran-ajaran itu lahir dari atau dalam konteks historis tertentu. Ajaran-ajaran yang mengandung makna kekerasan lahir dari tuntutan-tuntutan saat itu yang sifatnya spesifik dan kontekstual. Oleh karena itu seharusnya ajaran-ajaran itu tidak dipandang secara meta-histories melainkan dipahami dalam konteksnya

(7)

Abstract

RE-READING THE SHARIA: UNMASKING

RELIGION FROM ITS PARADOX

A Study on the Jihad Concept of the Yogyakarta Branch of the

Majelis Mujahidin Indonesia (MMI/Council of Indonesian

Moslem Fighters)

In last few years, many members of established religion offered or are offering conflict and violences. They tend to be brutal with using religious symbols and idioms.

According to the many people, the violences are not originally from the religion. They believed that religion would only over goodness values, kindness, peace, brotherhood, love, etc. They furthermore believed that religion would banned any practice of violence. The practice of violence happened because the other factors outside religion such as social, political, and economic factors. As at Karl Marx technical of tapografhic theory-religious conflict are usually merely reflection of economic conflict. People who are in conflict usually are not because of religion but because they are defending economic interest.

But if we look closely, we will see that religion also play important role in motivating conflicts and wars. Furthermore in the Holy Books, certain Holy Books at least we will find description of wars in which there are also description of brutal act like burning, booting, robbing, and even mass killing. Many factor indicated that conflict and violence have they origin in the values are taught by religion. It is therefore in fact religion contain some teaching that have nuances violence.

Nonetheless, we need to understand religious teaching from their particular historical context. The teaching that contain nuances of violence were born from the necessity that were in specific context and circumstances. Because of that, we need to look at religious teaching not only from a historical point of view but meta-histories.

(8)

“Kata Pengantar”

Seindah apapun kata tidak bermakna jika tanpa koma, ia memerlukan jeda , ruang, dan sebagainya. (Dewi Lestari-Filosofi Kopi). Saya sangat berterima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan ruang untuk menjadi belajar bersama dan menjadi orang baik, antara lain:

1. Dr. Ir. P. Wiryono Priyoyamtama, Rektor Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Romo Paulus Suparno, yang memberikan undangan mengikuti Milad Pondok Pesantren al-Mukmin- Ngeruki, Solo dari beliau lewat Bapak St. Sunardi, bagi saya itu satu bentuk perhatian.

2. St. Sunardi, ketua program IRB yang slalu membesarkan hati dan semangat untuk menggilai teori-teori humaniora. Romo Sastra Pratedja, yang tiada henti memberi semangat mempelajari Machiavelli, dan Romo Budi G. Subanar. Kepada keluarga besar IRB yang memberikan ruang bagi kebersamaan, persaudaraan tulus, dan kasih, bertumbuh.

3. Romo F.X. Baskara T. Wardaya, atas share dan pertemanannya. Kali ini Allah memberiku 3 anugerah sekaligus: sahabat yang selembut rembulan, membuatku bangkit, more than I can be, pembimbing yang sangat teliti, dan “Romo” yang paling pemaaf sedunia. Yang akan selalu ingat dari romo, sampai kapanpun adalah kisah mawar yang baru kuntum dan belum terbuka, tak ada orang yang mengatakan “indah”. Suatu ketika mawar mekar dan memerah orang berbicara tentang mawar yang berduri, baginya, kenapa harus takut mendekat, cukup sadari durinya. Dalam hidup untuk tidak takut dengan hal-hal yang lebih besar. Bahwa tesis ini, adalah persembahanku untuk Romo

yang paling menanti karya ilmiahku. Romo Harry Susanto, pembimbing kedua, yang memberi banyak insight pada tesis ini, terima kasih telah membantu memahami tentang Yang Kudus, yang bagai hijau bagi daun, bagai embun bagi pagi dan sebagainya.

4. Ustadz Irfan Suharyadi Awwas beserta seluruh keluarga besar MMI Cabang Yogyakarta yang mempersilakan saya meneliti jihad dan memberikan kemudahan dalam mengakses data-data. Para ikhwan dan akhwat MMI yang baik, hangat, dan bersahabat, namun, karena satu dua hal tak bisa kusebut di sini. Bapak Muhaimin dan keluarga besar Pondok Pesantren Nurul Ummahat, pak Yusdani dan pak Aden di Pusat Studi Islam (PSI) UII.

(9)

6. Sahabatku Andi Dianello (atas diskusi), Rusnan (miz U, very much), Indra Ramos, Kak Firman (Gatra), Ahmad Taufiq (Tempo), Yulia (AJI dan Tri Jaya FM Solo), teman-teman IRB sepejuangan Ita dan Devi, Kamsun, Kukuh, Lilik, Maryanus pak Khoiron, juga Kemal, Tina. Singgih dan Mukhlis (atas joke-jokenya), Rudy (trims, support-nya menyelesaikan studi ini, sesegera mungkin), Ali, Wakhid (atas masukannya), Samuel dan bang Vic. Terkhusus buat Rudi Rahabeat atas dukungan, kesabaran, dan dorongan yang tiada henti-hentinya memotivasi agar ide mewujud dalam bentuk tulisan, menjadi sahabatku dalam bahagia, sekaligus sahabat sejati dalam sedih. Di tengah kesibukan, trim, telah menyempatkan mengedit tesis ini. Takkan kulupa Bang Harun al Rasyid (Cides), Dian Yanuar dan Laode yang menjadi jaminan saat saya disandera dan hampir diusir dari arena kongres. Secara khusus buat Laode Arham, yang meminjamkan kasetkaset wawancara dan dokumentasi-dokumentasi lainnya, yang saya gunakan sebagai sumber primer dalam tesis ini.

7. Teman-teman di lingkungan HMI Lafran Pane UII, di DPD PAN DIY, yang banyak memberi ruang untuk belajar bersama, Mas Sidiq, mba Tanti,… dan di C-Truth, Rudi, Tata, Aziz, Aris, Malik, dan Yanu. Ofi dan Wandi (kapan-kapan ke Merapi lagi yach, air terjun Bojong, wow), juga buat Patrick Levaique (Australian Broad Casting) untuk data-data yang dikirim juga analisis-analisisnya, Elsa, Peter, dan Anwar selama “grey November”, for time to share and understand.

8. Untuk bagian yang selalu ingin ku “baca“ ketimbang ku “rasa“, Suamiku SA, yang berbeda, baik hati. Dalam ideal yang menjadi nyata. Terima kasih, yang menerimaku sebagaimana aku ada. Qodabiyaa qalbii an

syiwaka, sungguh hatiku akan menolak dengan sendirinya, selainmu. 9. Mamak dan Bapak, setulusnya saya bermohon maaf atas sikap keras dan

(10)

Daftar Isi

Judul... i

Pernyataan Keaslian... ii

Persetujuan Pembimbing... iii

Halaman Pengesahan... iv

Halaman Persembahan... v

Motto... v

Akbstrak... vi

Kata Pengantar... viii

Daftar isi... ix

Bab I Pendahuluan 1

A. Latar Belakang

... 1

B.

Tema

... 7

C.

Rumusan Masalah

... 11

D. Sumber Acuan Utama

... 12

E.

Metode Penelitian

... 15

F.

Kerangka Teoritis

... 16

G. Relevansi Tulisan

... 17

H. Sistematika Pembahasan

... 19

Bab II Syari’ah, Kekuasaan dan Kekerasan 20

A.

Syari’ah sebagai Sumber Terbaca dan Cara

Membacanya

A.1.1. Basis Normatif Agama

A.1.2. Syari’ah Sebagai Sebuah Penafsiran

...

...

...

28

31

38

B.

Pengaruh Dalil Syari’ah pada Individu

...

51

(11)

Bab III MMI Cabang Yogyakarta dan Wacana Penegakan Syari’ah 61

A. MMI, antara Islamisasi dan Arabisme

A.1. Aspirasi dari Ba’asyir

A.2. Kharisma Ba’asyir

A.3. Arab Sebagai

Mainstream

...

...

...

...

65

66

68

70

B.

Penguatan Identitas Ideologi di Pesantren

...

75

C.

MMI dan syariah: sebuah wacana perlawanan

terhadap kolonialisme

...

80

D. MMI dan politik: demokrasi tidak sesuai

dengan Islam

...

84

E.

MMI dan Jihad: Perjuangan Melawan

Globalisasi

...

89

F.

Perempuan MMI: Syari’ah Islam Wacana

Mendiskripsikan Diri

...

94

Bab IV MMI dan Praksis Jihad; dari

Tradisi

ke “Keberagamaan yang Ekstrem”97

A. Wacana Kekerasan dalam Islam: Sebuah

Dasar

Fiqhiyah.

... 102

B.

Pengaruh Perang dalam Rumusan

Fiqh.

... 107

C.

Kedamaian yang Terkoyak.

... 111

D. Bahasa, Agama dan Budaya.

... 114

Bab V Penutup 126

A. Syari’ah: Gunung Masalah

...

127

B.

Membaca Ulang, Menghilangkan Kabut

Tebal

...

131

C.

Kekerasan Sebagai Musuh Bersama

... 133

Daftar Pustaka 138

(12)

Bab I

Pendahuluan: Agama, Syari’ah dan Praksis Kekerasan

A.

Latar Belakang dan Deskripsi Penelitian

Berbicara masalah agama,1 seperti berbicara mengenai sebuah paradoks. Di

satu sisi, agama mengajarkan pemeluknya untuk mengamalkan kasih, menghargai

sesama manusia, dan perdamaian. Agama merupakan tempat bagi pemeluknya untuk

menemukan kedalaman hidup, kedamaian, dan (mungkin juga)

penghiburan-penghiburan berupa berita gembira dan kabar pembebasan yang mengukuhkan segala

harapan menuju “tanah terjanji”. Agama pun menjadi kekuatan bagi banyak orang

untuk menghadapi berbagai penderitaan dan penindasan.2

Pada sisi ini sepertinya mustahil jika agama dari dirinya sendiri akan

mendorong orang untuk melakukan tindak kekerasan represif yang menyengsarakan

orang lain. Agama bahkan menegaskan dirinya mengharamkan praktik-praktik

kekerasan. Fitrah agama menyangkut ke-fitri-an hidup, keluhuran akhlak, ketenangan,

dan sebagainya. Kebrutalan, kezaliman dan tindakan-tindakan amoral lainnya menjadi

bertentangan dengan fitrah agama yang menjunjung tinggi keluhuran moral.3

Namun, pada sisi yang lain, agama seringkali justru “bercumbu mesra” dengan

kekerasan dan kebrutalan. Fenomenologi agama tidak terlepas dari praktik-praktik

! " !# $

$ " % &

' ( & ' ))* )+,- (

! " ! ,-"

,. / ,-0,*1 , 0 ,+ 2 3 ,0,*+4* 5 6 0 +, 7 / *14

(13)

,--kekerasan. Dalam Kitab Suci tertentu bahkan digambarkan event-event kekerasan

seperti ritual kurban, hukuman bagi pelanggaran terhadap ajaran agama berupa

hukuman potong tangan dan cambuk, serta perang. Agama juga punya “andil besar”

dalam meniupkan kecurigaan, merekayasa kebencian, mengundang kesalahpahaman,

membangkitkan kemarahan, dan membenarkan berbagai tindakan radikal, destruktif,

dan dehumanistik lainnya.4 Sejarah mencatat bahwa agama terkait dalam berbagai

tindak kekerasan, tak terkecuali di Indonesia beberapa tahun belakangan ini.

Dalam memandang paradoks itu ada pihak yang berdalih bahwa bukan agama,

melainkan pemeluknya yang mempolitisasi agama demi kepentingan pribadinya

untuk mendapatkan kekuasaan dan klaim atas kebenaran pendapatnya. Pada titik ini,

sering kali teks-teks Kitab Suci dipolitisasi sedemikian rupa, agama dijadikan tameng

untuk menutupi kepentingan dan kejahatan seseorang. Bisakah memisahkan agama

dari pemeluknya? Kalau kita mau realitis, pada dasarnya sikap dan tindakan orang

beragamalah yang dipermasalahkan.

Banyak kalangan, terutama pengamat dan akademisi menafikan faktor agama

sebagai pemicu kekerasan. Mereka cenderung melihat faktor lain, yaitu ketidakpuasan

terhadap tatanan yang ada, kesenjangan ekonomi, pertarungan politik, dan

kecemburuan sosial. Apakah dapat dikatakan bukan agama jika tindakan kekerasan itu

diilhami oleh teks-teks agama? Sangat naif jika mengabaikan begitu saja produk

: & ;

& #< ( + ( /

( /

<$ /

' ( = ' 0 !& 3 ), , "

8 ! " . >

(14)

penafsiran Kitab Suci seperti syari’ah yang membedakan orang lain, memberikan

landasan ideologis dan stereotife etis untuk memerangi umat beragama lain.

Ketakterhindaran agama dari praktik-praktik kekerasan, dalam pengamatan

Daniel L. Pas dalam bukunya Seven Theories of Religion, bermula dari nilai-nilai esoterik

dari bangunan normatif dan historis agama, yang diyakini oleh penganutnya secara

rohaniyah sebagai “kebenaran” dan “keselamatan” paling shahih dan authentic.5

“Kebenaran” dan “keselamatan” yang dikandung agama acapkali berskala internal

dan bukan eksternal antar umat lain agama. Di sinilah praktik kekerasan antar umat

beragama menjadi realitas sejarah yang sangat paradoksal dengan otentisitas

masing-masing ajaran agama.

“Kebenaran” sering dipersepsikan hanya sebagai satu klaim yakni bahwa

diriku, kelompokku, agamaku bahkan Tuhanku sajalah yang benar, dan di luar itu

semuanya adalah sesat, dan oleh karenanya halal untuk dibunuh. Maka

ujung-ujungnya adalah penggunaan kekerasan. Sedangkan “keselamatan” beroperasi untuk

meniscayakan subordinat dan inferiorisasi agama lain, yang dalam banyak interpretasi

lanjutannya melegitimasi dengan keshahihan bahkan kewajiban memerangi dan

menghancurkan ketidakbenaran itu.6 Di sinilah cara kekerasan menjadi pilihan utama.

Memperkuat bukti kalau paradoks semacam itu sungguh terjadi dalam agama

yang membuat agama berpotensi terhadap kejahatan, tepatnya kejahatan atas

kemanusian, Yonki Karman, rohaniwan dan pemerhati sosial dalam artikelnya

“Devaluasi Agama Melalui Kekerasan” mengatakan:

“Keberkaitan agama dengan kekerasan disebabkan oleh fungsi agama sebagai penghubung manusia kepada Yang Mutlak. Demi kodratnya sebagai instrumen manusia untuk berhubungan dengan kuasa-kuasa adikodrati atau Yang Mutlak agama mudah melegitimasi tindak kekerasan, bahkan kekerasan dengan pedang. Terutama pada awal kelahiran dan penyebarannya, demi tegaknya

*8 3 & ?@ ; & > 5 ))6 ,62+,A, 8

3 & # # $ $ 66 9 )A6 A+46

(15)

kewibawaan agama sanksi-sanksi yang rigid dan keras diterapkan. Disiplin hidup komunitas diberlakukan dalam masyarakat luas demi mencapai sebuah

masyarakat ideal yang hukum-hukumnya homogen”.7

Dengan demikian, realitas kekerasan konstitutif ada dalam agama, dan terjadi

melalui: intensifikasi ajaran-ajaran agama pada awal kelahirannya dan penerapan

sanksi-sanksi dan hukuman demi mendisiplinkan sebuah komunitas. Karena inheren

dalam agama, kekerasan pun mendapatkan makna teologis (peluhuran) dan sublimasi

(penghalusan). Kekerasan diarahkan untuk tujuan-tujuan kebenaran dan keselamatan.

Yang berarti bahwa sebuah tindak kekerasan tidak pernah berhenti pada tindakan itu

sendiri. Di balik itu selalu terkandung tujuan-tujuan soteriologis, demi efek

pengkudusan dan keselamatan umat pada masa tertentu.8

Andai pun betul begitu, satu hal yang perlu ditegaskan bahwa setiap teks

mempunyai konteks.9 Teks Kitab Suci tidak dirancang untuk menjadi model

kehidupan umat sepanjang masa. Ia musti dilihat dari rangka pemunculannya

(emerging) dan karenanya bersifat darurat (emergent)”. Yang berdasarkan itu semua

tindak-tindak kekerasan yang tercatat dalam Kitab Suci tidak begitu saja untuk ditiru

dan diterapkan untuk segala masa dan keadaan, terlebih bila perkembangan

masyarakat sudah semakin come of age dan kehidupan bermasyarakat sudah diikat

hukum-hukum positif. Yang berlaku untuk segala masa dan keadaan hanya nilai-nilai

soteriologisnya, yang harus diimplementasikan secara berbeda sesuai perkembangan

masa dan keadaan yang sudah tidak sama lagi dengan yang ada dalam Kitab Suci.

25 & ' (

A %

) ( B ) * + + , - ' / C

(16)

Dengan logika emerging dan emergent kasus-kasus kekerasan dalam Kitab Suci

bukan merupakan model untuk menyelesaikan problem-problem sosial, tetapi sebagai

event-event yang sifatnya einmalig, tidak untuk diulangi sebagai kasus, sehingga

efek-efek soteriologisnya harus dihadirkan dalam berbagai cara yang kontekstual sesuai

situasi dan kondisi”.10 Dengan demikian, religiositas yang membenarkan kekerasan

bukan bersumber dari ajaran agama yang terdalam, melainkan dari pemahaman

teks-teks Kitab Suci secara prima facie. Maka, pembenarannya bersifat quasi-religius.11

Ironisnya, kondisi tersebut kini dibalik. Event-event einmalig yang dulunya

terbatas pada ruang dan waktu tertentu, sekarang ini dengan begitu saja dihadirkan

sebagai pedoman-pedoman moral umat untuk segala masa dan keadaan. Teks-teks

Kitab Suci yang membolehkan penggunaan cara kekerasan diambil tanpa

mempertimbangkan kondisi faktual saat itu. Dalam Islam, kondisi ini ditambah lagi

dengan pemahaman bahwa teks-teks tersebut merupakan syari’ah.12 Syari’ah dipahami

oleh kelompok tertentu sebagai ketentuan Tuhan (Yang Mutlak) yang abadi dan

universal, yang mengatur segala bidang kehidupan (historis dan

meta-kanonik).13 Padahal syari’ah sebenarnya merupakan produk manusia pada abad

tertentu, yaitu abad VII-IX.14

-5 %

%

,& D D

D 7 D

E .

+ E

4 D .

+ ?

8

F / #

& . )A: 2 8 & 0 $ ' )2- 8

D 1 ! "

(17)

Masalahnya menjadi lebih parah ketika syari’ah yang demikian itu disakralkan,

dianggap sebagai tuntunan ilahiah di mana prinsip dan rinciannya diwahyukan. Yang

karenanya pemahaman terhadapnya harus bersifat literal, tekstual, dan harfiyah,

bahkan huruf per huruf jika perlu. Kebenaran dari sebuah realitas menurut mereka

diukur apabila bersesuaian dan tidak bertentangan dengan teks-teks syari’ah, bahkan

diverifikasi secara empiris berdasarkan kesuksesan pemeluknya, kesejahteraan umat

dan sebagainya. Penafsiran demikian tentunya mirip dengan konsep Max Weber yang

menyatakan bahwa ajaran tertentu menciptakan etos tertentu bagi pemeluknya.15 Hal

inilah yang menjadi keresahan dan melatarbelakangi penulisan tesis ini.16

“Etos” menegakkan syari’ah (baca: dalam prinsip teologis atau tauhid) selalu

ada dalam diri seorang Muslim, termasuk Muslim yang dianggap “sekuler”sekali pun,

karena pada dasarnya manusia adalah makhluk yang religius (zoon religion). Akan

tetapi, ide dan ideal tidak hadir untuk dirinya sendiri. Ada pelaku, penafsir, penghayat

dan pengamal yang menjadi subyek sekaligus obyeknya. Proses kodifikasi syari’ah

sering kali merespon berbagai dinamika umat. Dan, gerak sejarah komunitas acap kali

/ . ) 1# + 2 'G /

5 9 ,--: D

1

/ D 1 1

D ( ! ,--:+*:"

:8 < (( '*-+A

*8 # $ = C / + H

+ &

# $ + +

H +

/ # $ #

+

+ $# + G & ; 9 9 )) ! " ,,

6& F > % /&

D 0 / /

8

,--: 7 D 0

(18)

terkait dengan komunitas-komunitas lainnya. Ada episteme dan jejaring makna, ada

imajinasi,17 ada pengetahuan, dan tentu saja ada kekuasaan.18 Dengan demikian,

syari’ah merupakan konstruksi sosial yang tak luput dari interpretasi, akomodasi

kepentingan, dan adaptasi kondisi sosial-budaya, yang tentunya bisa keliru.

Oleh sebab itu, penegakan syari’ah seharusnya tak lagi mengandaikan otoritas

para pemimpin agama, melainkan pengalaman umat terutama pengalaman batin.

Pegalaman mengandaikan posisi bebas umat (semacam Lebenswelt)untuk melakukan

proses interpretasi dengan realitas-realitas hidupnya. Ruang tersebut selama ini

dimonopoli oleh pemimpin-pemimpin agama. Hal itu mengakibatkan lahirnya

fatwa-fatwa sepihak, dan secara tidak langsung memiskinkan—untuk tidak dikatakan

mematikan ruang imajinasi umat. Dalam konteks itu, umat harus berjihad dalam arti

berjuang menolong dirinya sendiri dari jejaring-jejaring kuasa yang merugikan dirinya,

dengan kata lain berjihad akbar. Dan, sebagai Muslim, gagasan ini seharusnya

dipahami sebagai bagian dari dialektika sejarah guna menemukan kembali posisi khas

syari’ah dalam konteks kekinian, yang selama ini sering terampas oleh keserakahan

dan terkikis oleh kepentingan-kepentingan jangka pendek.

B. Tema

Meski syari’ah adalah produk manusia, namun, ia merupakan hasil interpretasi

historis terhadap sumber fundamental Islam, yaitu Al Qur’an dan Sunnah atas

2# $ # $

# " $ & D

' '

(19)

berbagai problem aktual yang berkembang dalam sejarah nyata umat Islam. Atas dasar

itu ada dua nalar yang mestinya dikembangkan; (1) bahwa pada prinsipnya syari’ah

dihadirkan demi kemaslahatan umat, demi menghindarkan umat dari kejahatan,

kekerasan, dan ketidakadilan; (2) karenanya, wacana kekerasan dengan sendirinya

bertentangan prinsip dasar syari’ah.

Dalam kenyataaannya, praksis kekerasan justru terkait erat dengan rumusan–

rumusan klasik syari’ah (di bidang teologi, etika dan hukum) yang menyediakan

event-event kekerasan demi tujuan kemaslahatan. Salah satu contohnya adalah teks tentang

jihad.19 Di lain pihak juga, “kemaslahatan” yang dicitakan oleh Islam sendiri menuntut

hadirnya situasi yang kondusif, potensi-potensi yang akan menimbulkan konflik, dan

kerusakan kehidupan umat harus diatasi dengan tangan, lisan, dan diam (dengan cara

apa pun). Kondisi semacam ini digenapi dengan pemahaman bahwa tuntutan

melakukan tindakan kekerasan didasarkan pada pertimbangan etis, demi

kemaslahatan umat di dunia dan akhirat, dan demi menegakkan syari’ah Allah.

Tanpa disadari, betapa prinsip kemaslahatan yang merupakan fondasi syari’ah,

yang mestinya menolong umat dari kejahatan, ketidakadilan dan kekerasan malah

menyeleweng dari cita-citanya yang paling dasariah, yakni memaslahatkan kehidupan

manusia. Syari’ah yang semula menjadi sarana untuk mencapai tujuan kebahagian

dunia dan akhirat, pada akhirnya menjadi tujuan itu sendiri.

Hal ini, menurut penulis, dilatarbelakangi oleh beberapa sebab yang saling

berkait satu dengan lainnya, misalnya cara pembacaan teks-teks yang harfiah dan

dogmatis; ketidakmampuan mengkontekstualisasikan ajaran dengan kehidupan

konkret; ketidakberanian mengelaborasikan teks lebih jauh melalui perspektif historis

(20)

yang terkait dengan konsep itu; ketidakmampuan menangkap nilai-nilai universal

yang dikandungnya untuk diaplikasikan dalam kehidupan konkret saat ini, dan

terlebih dari adanya kecenderungan kelompok tertentu—tak jarang dari mereka yang

mengklaim “pengawal setia” syari’ah−untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi

dengan kembali kepada teks dengan melakukan pemahaman yang literal dan parsial

terhadap Al Qur’an dan Sunnah. Contoh paling nyata dalam hal ini, umpamanya

adalah mengartikan jihad dalam Al Qur’an sebatas arti harfiah yang tersurat.

Untuk memeriksa keberkaitan antara agama dengan keberagamaan yang

ekstrem ini, saya melakukan studi kasus tentang jihad di Majelis Mujahidin Indonesia

(MMI) Cabang Yogyakarta. Ini karena: Pertama, MMI menyakini bahwa syari’ah adalah

kehendak sempurna Tuhan atas kehidupan manusia, yang karenanya mereka

memproklamirkan diri sebagai institusi untuk penegakan syari’ah. MMI menjadikan

pemberlakuan syari’ah secara legalistik-formal sebagai sebuah keniscayaan. Kedua,

MMI menjadikan jihad sebagai ideologi gerakan. Mereka mendasarkan tindakan jihad

mereka pada teks-teks tertentu Al Qur’an dan Sunnah.

Doktrin finalitas syari’ah membawa konsekuensi idealisasi formalisme syari’ah

dalam kehidupan bernegara. MMI berpandangan syari’ah sebagai satu-satunya sarana

untuk mengembalikan Islam seperti pada masa keemasan, (lihat lampiran 1). Hal ini,

karena MMI meyakini syari’ah adalah induk dari segala Yang Baik,20 yang memayungi

kekuasaan,21 yang dapat memperluas dan menciptakan institusi-institusi yang adil.

Dengan pendirian seperti di atas MMI tidak hanya menempatkan syari’ah

masalah hukum (sosiologis-historis), tetapi meta-historis yang mampu menjadi kanopi

,- = 8 #= D 8 > $ ,

,--& !& " ;

(21)

seluruh permasalahan umat. Syari’ah seolah-olah adalah meta-kanonik yang ditujukan

untuk mengincar hidup baik bersama dan untuk orang lain.

Mujahid MMI sungguh-sungguh dalam menerapkan teks-teks syari’ah “versi

mereka”, yang secara garis besar dijabarkan dalam prinsip-prinsip : Tauhid (teologis),

Fiqh (prinsip hukum) dan Aqidah (prinsip etika)22 secara konservatif dalam kehidupan

sehari-hari (lihat lampiran 2), mulai dari interaksi personal hingga interaksi sosial.

Mereka tidak mengenal kompromi untuk menerapkan hukum dalam pelaksanaan

bidang peribadatan dan pengaturan hidup islami secara benar. Mereka ingin

mengembalikan “Islam” ke landasan pokok Al Qur’an dan Sunnah. Dalam rangka itu,

MMI memahamkan ke publik bahwa kejahatan-kejahatan yang menimpa masyarakat

Islam sekarang ini disebabkan oleh ketidaksetiaan akan model masyarakat Mekkah

dan Madinah.23 Untuk itu mereka merasa perlu untuk menghidupkan kembali

ajaran-ajaran Islam yang selama ini sering dinilai sudah ketinggalan jaman, seperti jilbab,

khilafah, tadarus, dan sebagainya.24

Namun, MMI menolak penggunaan cara kekerasan, meski dalam kondisi

tertentu mereka membenarkan cara-cara kekerasan, dan menganggapnya berasal dari

teks-teks syari’ah. Praksis kekerasan menjadi tambah dekat dengan kehidupan mereka

ketika menjadikan jihad dalam arti yang paling radikal; perang terhadap apa saja yang

bertentangan dengan “syari’ah” dan menjadikan kewajiban kolektif (fardhu ain) bagi

setiap Muslim. Kajian akademis ini ingin memeriksa kaitan teks-teks syari’ah dengan

praksis kekerasan di MMI Cabang Yogyakarta.

,, % 1 .
(22)

C.

Rumusan Masalah

Syari’ah bagi sebagian umat Islam lebih dari sekedar sistem hukum, bahkan

lebih dari agama itu sendiri.25 Syari’ah menjadi inspirasi bagi kelompok tertentu dalam

setiap aspek kehidupannya. Kontroversi terjadi manakala syari’ah dimaknai secara

ekstrim pada salah satu dimensinya saja, atau ketika hendak diaplikasikan. Dimaklumi

bahwa aspek ilahiah merupakan aspek ideal Islam. Ketentuan-ketentuan ilahi berlaku

universal dan mengandung konsekuensi teologis.

Syari’ah menyimpan problem serius justru: 1) ketika aspek ideal syari’ah akan

diimplementasikan dalam kehidupan aktual yang kaya dengan subyektivitas dan

nuansa-nuansa lokal; 2) (di sisi lain, tidak bisa dipungkiri) ketika berhadapan dengan

realita dalam kehidupan aktual, dalam merespon tantangan tersebut, dalam diri umat

Islam tertentu, ada kecenderungan untuk lari ke ortodoksi teks dan beromantisme

dengan sejarah masa lalu kala syari’ah diberlakukan secara ketat.

Karena itu melalui kajian akademis ini, penulis hendak mempertanyakan tiga

hal mendasar

:

1. Benarkah kekerasan dalam jihad bermula dari ajaran agama (terutama,

syari’ah) atau karena bias pemahaman?

2. Setelah teks-teks Kitab Suci tentang penggunaan kekerasan dipahami secara

kontekstual, adakah jaminan syari’ah bisa dijalankan tanpa reduksi?

3. Dalam Konteks apa jihad digunakan di MMI

,* % ( 8 D 1 ! "

D 8

(( '*-+A D

1 /

D 1 1

(23)

D.

Sumber Acuan Utama

“Intim-“nya hubungan antara agama dan kekerasan telah lama “merangsang”

minat kalangan akademisi, pengamat, dan peneliti untuk melakukan kajian dan

analisis mendalam. Penulis merasa terbantu dengan adanya beberapa buku, tesis,

skripsi, kertas kerja, makalah, kolom atau tulisan-tulisan lepas telah dibuat sebagai

reaksi atas persoalan tersebut. Meskipun demikian, dalam kajian akademis ini penulis

lebih menggunakan tiga buku sebagai acuan utama. Buku-buku itu adalah: (1) Dr,

Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, Pustaka Buku Kompas, Jakarta, Agustus 2003;

(2) Khairul Abdul Karim, Syari’ah; Sejarah Perkelahian Pemaknaan, LkiS, Yogyakarta, Juli

2003, judul asli Al-Judzur at-Tarkhiyyah li sy-Syari’ah al-Islamiyyah; (3) Irfan S. Awwas

Dakwah-Jihad Abu Bakar Ba’asyir, Wihdah Press, Yogyakarta, 2000.

Kekerasan dan agama, menurut Haryatmoko, adalah hal yang saling bertautan

satu sama lain. Ia menunjukkan sisi-sisi agama yang rentan kekerasan, yaitu: Pertama,

agama sebagai kerangka penafsiran terhadap hubungan sosial (fungsi ideologis).

Sebagai ideologi agama memantapkan satu tata sosial dan memonopoli pemaknaan

hubungan-hubungan sosial yang ada di dalamnya. Sehingga satu sentuhan ringan

pada tata sosial yang diamini agama tertentu bisa mudah memicu konflik. Kedua,

agama sebagai faktor identitas. Ketiga, agama sebagai legitimasi etis hubungan sosial.26

Ia juga melihat adanya upaya terstruktur untuk menjadikan fenomena

kekerasan sebagai sesuatu yang biasa dan lumrah, dan umat beragama yang

melakukannya merasa tidak berdosa, bahkan mereka akhirnya terbiasa menjadikannya

sebagai sarana untuk menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi. Pelembagaan

kekerasan ini mengaburkan kodratnya sebagai kekerasan karena seolah-olah disahkan

(24)

secara institusional karena institusi-institusi yang menopangnya mendapat legitimasi

dari agama, ideologi dan sistem nilai.27

Haryatmoko juga tidak melupakan akar-akar psikologis kekerasan. Dengan

meminjam filsuf Perancis Rene Girard, ia menunjukkan bahwa kekerasan datang dari

hasrat mimesis. Hasrat itu bekerja saat keinginan orang lain terhadap suatu obyek

diingini juga oleh orang lain.28 Manusia memiliki kecenderungan meniru keinginan

orang lain terhadap suatu objek. Insting mimesis ini berujung pada penguasaan

keinginan orang lain tersebut untuk menutup kekurangannya. Dalam kaitan antara

agama dan kekerasan ini Haryatmoko berpendapat :

“Kebenaran yang diklaim agama telah menumbuhkan keinginan agama lain untuk menegaskan dirinya sebagai satu-satunya yang memonopoli kebenaran. Hasrat satu agama akan kemutlakan kebenaran terhalang oleh hasrat agama lain akan hal yang sama. Itu sebabnya tiap agama berlomba-lomba mencari

pengikut demi sebuah pengakuan atas keutuhan kebenaran”.29

Sedikit berbeda dengan Haryatmoko, bagi saya, hasrat memesis tidak hanya

bekerja saat keinginan orang lain terhadap suatu obyek yang diingini oleh orang lain,

tetapi juga, saat orang lain tidak berhasrat terhadap suatu obyek yang dimilikinya. Di

sini, seseorang itu mengajak orang lain merasakan hasrat yang sama dengan hasrat

yang ia miliki.30 Ketika orang lain itu menolak terciptalah kohesi sosial dalam bentuk

tradisi-tradisi. Tradisi itulah berfungsi mempurifikasi kekerasan.

,2 % '*)

28

8 F

>

% (

,) % ( 30

% D & +& D

5 0 8

(25)

Permasalahan kekerasan yang dipicu oleh hasrat mimesis yang terhalangi ini

semakin menunjukkan bukti bahwa dari sisi individu atau kelompok pelaku

mempunyai peran penting membela kepentingan agama. Namun, persoalannya apa

yang dianggap sebagai “kebenaran”, “yang otentik”, “yang sakral” dan dibela

mati-matian dalam Islam belum tentu ia berasal dari perintah Al Qur’an?

Khairul Abdul Karim dalam buku Al-Judzur at-Tarkhiyyah li sy-Syari’ah

al-Islamiyyah mengatakan syari’ah yang dianggap otentik tak lain adalah produk ulama

abad VII-IX yang didominasi oleh nalar Arab dan nalar historis yang absurd. Lebih

ekstrem lagi, ia mengatakan bahwa ajaran-ajaran dalam syari’ah seperti pengagungan

Baitul Haram, jihad, khilafah, syura, dan sebagainya diadopsi dari tradisi lokal Arab

pra-Islam (Jahiliyah).31

Untuk melengkapi pembahasan mengenai keberkaitan agama dan praksis

kekerasan di MMI penulis menggunakan Dakwah-Jihad Abu Bakar Ba’asyir sebagai

bahan acuan lainnya. Bagi Ba’asyir, jihad adalah sebuah undangan, pertemuan, ajakan

dari Tuhan seru sekalian alam untuk melawan musuh.32 Jihad dalam arti kekerasan

fisik (bahasa otot) bukannya sesuatu yang lepas dari kendali fikir, hal itu telah

disistemasikan pada acuan masalah yang terjadi. Kekerasan diambil karena pembiaran

terhadap kekerasan massif atas Muslim di berbagai wilayah. Jihad merupakan bentuk

solidaritas dan kepedulian atas kemanusiaan. Jihad adalah teologi pembebasan untuk

menyelamatkan Muslim dari ruang nestapa yang sekian waktu melingkupi kehidupan

mereka. Cara demikian dilakukan setelah upaya dan bahasa otak (dakwah) tidak

pernah ditanggapi secara serius.

4 . *+ 4*

32

(26)

E.

Metode Penelitian

Dalam mencari keberkaitan antara teks-teks Kitab Suci (syari’ah) dengan

praksis, penulis melakukan “penggalian” konsep syari’ah sebagaimana dipahami

dalam MMI. Konsep tersebut lalu dikonfrontir dengan pemahaman syari’ah lainnya,

baik dari kelompok Islam moderat maupun dari kelompok liberal. “Penggalian” ini

berguna untuk menemukan jawaban-jawaban atas: definisi syari’ah, gagasan dasar

syari’ah, cara berpikir (nalar) dalam menginterpretsi teks syari’ah di MMI.

Selanjutnya, penulis mencari manifestasi dari pemahaman syari’ah yang

demikian dengan praksis kekerasan yang terjadi, bagaimana teks-teks yang memuat

event-event kekerasan dijalankan di MMI, dan apa akibat pemahaman syari’ah yang

parokhial tersebut bagi kelompok keagamaan lainnya di Indonesia (menyangkut pola

jihad dan aplikasinya terhadap ancaman minoritas dan etnis). Penggalian ini berguna

untuk mengetahui lebih lanjut posisi khas syari’ah dalam Islam sekaligus posisi

syari’ah dalam masyarakat.

Penulis dalam kajian akademis ini banyak menggunakan catatan historis

tentang bagaimana jihad dipahami dari waktu ke waktu. Penulis juga menggunakan

etnografi yang diperoleh dari pengamatan langsung dan wawancara dengan informan

dipilih sebagai metode pokok pengumpulan data. Untuk melihat adanya keterkaitan

antara agama, jihad dan kekerasan Dengan tidak mengesampingkan fakta sosiologis

bahwa penggunaan jihad bermakna “perang” terkait wicara sehari-hari kita yang

memaknai jihad tidak dengan perjuangan untuk menegakkan cinta kasih. Selain itu,

penelusuran literatur difungsikan sebagai data sekunder. Lebih lanjut proses analisis

akan didasarkan pada keterkaitan antara data yang ditemukan serta hubungan tiap

(27)

F.

Kerangka Teoritis

Kemunculan gerakan-gerakan keagamaan radikal dipicu oleh beberapa faktor,

di antaranya dapat dilacak pada sisi pemahaman keagamaan mereka. Pemahaman

keagamaan mereka didasarkan pada teks Kitab Suci yang tidak dielaborasi secara

kontekstual (terutama sebab-sebab historis yang terkait dengan teks tersebut).

Kelompok ini menganggap teks-teks tersebut sebagai kebenaran yang berlaku

universal yang dapat diaplikasikan ke dalam setiap situasi. Suatu kelompok dengan

pemahaman yang literal akan bermetamorfosis menjadi gerakan radikal manakala

kelompok itu secara ekonomi atau politik merasa ditindas oleh kelompok atau

pemeluk agama lain.

Topik kajian ini akan penulis dekati secara khusus dengan dasar kerangka Max

Weber tentang pemikiran rasionalitas tindakan bertujuan. Pembenaran bertitik tolak

dari tindakan rasional dalam pengertian Weber ini adalah tujuan menentukan pilihan

sarana. Kelompok-kelompok semacam MMI mendasarkan pada komitmen terhadap

nilai-nilai yang diyakini, sedangkan analisa rasional tidak ada masalah koheransi

tujuan. Menyangkut syari’ah dan motivasi jihad, Penulis juga banyak dibantu oleh

tulisan dari beberapa pemikir lain, seperti An Naim tentang pemahaman syari’ah dan

Kuntowijoyo tentang paradigma Islam untuk aksi33 atau yang disebut Kuntowijoyo

dengan “Paradigma Ilmu Sosial Propetik”.34 Pendekatan sosial Propetik penting dalam

memeriksa sejarah sosial dari perspektif moral. Artinya, nilai-nilai moral yang

mendasari gerakan-gerakan sosial. Perspektif ini penulis gunakan untuk melihat

44 8 * 3 + + / C . ))) !' + ) +

)) " 4,2+442

(28)

pengaruh ajaran-ajaran normatif dalam pelbagai teks syari’ah klasik terhadap motivasi

jihad di MMI.

G.

Relevansi Tulisan

Terlepas dari faktor-faktor di luar agama, kekerasan oleh pemeluk agama

dengan dalih perjuangan membela iman dan kebenaran, singkatnya demi kata Tuhan

sendiri sering terjadi di depan mata kita. Kekerasan itu (salah satu sebabnya) bermula

dari kebencian yang tak ternetralisir dari pemeluk agama terhadap pemeluk agama

lainnya, terutama antara Muslim dan Protestan atau Katolik.

Tulisan ini diharapkan mampu memberikan kesadaran bahwa lahirnya tindak

kekerasan tidak hanya dilatarbelakangi oleh persoalan ekonomi dan politik, tetapi juga

oleh rumusan-rumusan klasik syari’ah di bidang teologi dan hukum yang memberikan

landasan etis dan pembenaran bagi kekerasan-kekerasan berupa: pembedaan muslim

dan kafir, darl al-Islam (wilayah Islam)dan darl al-harb (wilayah yang harus diperangi),

manusia biasa dan kelompok terpilih, yang profan dan yang sakral, dan sebagainya.

Kekerasan agama sering terkait erat dengan pemahaman teks syari’ah secara parsial

dan di luar konteks.

Lantas apakah ini berarti syari’ah sebagai inspirasi moral tidak relevan lagi?

Bagaimana agar syari’ah mampu menyumbangkan kemaslahatan bagi kemanusiaan?

Di sinilah penganut agama (khususnya Muslim) dituntut melakukan dekonstruksi

pemahaman. Seperti yang ditulis Haryatmoko dalam buku Etika Politik dan Kekuasaan

“pemahaman lebih baik bila ada proses apropriasi teks”.35 Kajian akademis ini

(29)

mengajak untuk memahami dan menyadari peran kritik terhadap agama dalam

membangunkan umat dari kelelapan dogmatis.

Resistensi terhadap agama melahirkan dua hal: Pertama,etika humanis sekuler

yang memotong segala rujukan transendental dan berkonsentrasi pada manusia

semata. Tuhan sekedar dilambangkan dalam alam pikir manusia sebagai postulat.

Kedua, suatu sikap keagamaan yang peduli pada kemanusiaan.36 Agama melahirkan

etika religius yang mencoba mengatasi persoalan-persoalan dalam tata hidup bersama

sebuah komunitas politik. Etika pengampunan, misalnya, dapat menjadi landasan

untuk menghentikan spiral kekerasan yang tanpa jeda. Singkatnya agama tertantang

oleh para kritikus untuk menawarkan sesuatu yang memperkaya etika. Dan agama

yang berpaling pada kemanusiaan hanya bisa mewujud bila mau melepaskan dari baju

dogmatisnya dan memberi ruang kritis bagi para pemeluknya.37

Syari’ah itu indah, namun, keindahannya sering “menyilaukan mata” sehingga

“pengawal setia syari’ah” enggan “membuka mata” untuk melihat “sisi gelap”

syari’ah. Kajian akademis ini mencoba mengingatkan “mereka” untuk tidak lupa

bersikap kritis terhadap apa yang sesungguhnya terjadi. “Syari’ah”(dalam arti

tauhid)—kata Syafi’i Ma’arif—termanifestasi lewat sistem yang egaliter. Ia adalah

pijakan yang pasti bagi terciptanya kehidupan yang baik, lebih manusiawi, dalam

suasana rukun, damai, aman, dan bukan kehidupan yang penuh kekerasan.38 Dalam

konteks itulah syari’ah menjadi bagian dari wacana kritik sosial, apalagi jika

dielaborasi dengan keberpihakan terhadap kepentingan umat secara luas.

46. 8 G #F / H & $

+ + + ' : ? ,--4

(30)

Pembacaan kembali syari’ah akan menjadi suatu nilai viable yang memberikan

arah tegas dan positif bagi kehidupan. Selain juga akan memperkaya wacana kultural

karena umat menemukan posisi khas syari’ah sebagai “jalan kembali” kepada

dasar-dasar kemanusiaan yang paling hakiki. Dalam perspektif Islam, kemanusiaan hakiki

adalah kembali kepada fitrah manusia itu sendiri, sebagai manusia yang cenderung

kepada nilai-nilai keagamaan yang substantial dan nilai-nilai moral yang bersifat

perennial, bukan sekedar ketertundukan dogmatis dan normatif. Jika hal itu dilakukan

syari’ah akan menjadi “cahaya baru” yang terang benderang mencahayai kehidupan

ini. Muslim Indonesia akan banyak memberi warna bagi peradaban Islam bahkan

peradaban dunia.

H. Sistematika Pembahasan

Keseluruhan tesis ini dibagi dalam lima bab. Bab I. Pendahuluan, terdiri dari

latar belakang dan deskripsi penelitian, masalah penelitian, sumber acuan utama,

kerangka teoritis, metode penelitian, relevansi tulisan, dan sistematika pembahasan.

Bab II. Kekerasan dan Seruan Implementasi Syari’ah, akan membahas motivasi umat

beragama terlibat dalam tindak kekerasan (apa yang ingin mereka capai dan kenapa),

dengan memakai perspektif rasionalitas tindakan bertujuan, tampak jelas bahwa

realitas kekerasan itu bukan karena faktor psikologis, historis, tetapi agama.

Bab III. MMI Cabang Yogyakarta dan Wacana Penegakan Syari’ah, dalam bab

ini, saya mencoba menguraikan konteks sosial, politik, dan budaya tumbuh dan

berkembangnya kelompok-kelompok militansi agama, dalam kaitannya dengan

“wacana pensyari’atan”. Mungkinkah hal itu berasal dari semangat keagamaan atau

sekedar agresivitas perpolitikan? Perspektif sosial, politik dan budaya, saya gunakan

(31)

konfrontasi agama yang dicetuskan dengan kekerasan dan anarkisme. Bagi saya,

konfrontasi tersebut bukan semata persoalan warisan sejarah, tetapi juga budaya, yang

mewujud dalam rumusan-rumusan tertentu syari’ah. Saya menangkap aura-kultural

yang keras dalam pemaknaan konsep jihad di MMI.

Bab IV. MMI dan Praksis Kekerasan. Bab ini akan membahas cara MMI

membaca dan memahami rumusan-rumusan syari’ah, serta konsekuensi dari

pembacaan syari’ah demikian dengan praksis kekerasan yang terjadi yang sering kali

melibatkan para mujahid langsung maupun tidak langsung. Bab V. Penutup. Teks-teks

tertentu Al Qur’an dan Sunnah, harus diakui memang memuat rumusan-rumusan dan

event-event kekerasan. Namun, meskipun demikian Al Qur’an tidak membenarkan

tindak kekerasan (walaupun tidak ada konsep anti kekerasan yang ditonjolkan, misal,

konsep kekerasan sebagai musuh bersama). Apakah teks-teks tersebut salah?

Jawabnya, bukan dengan menyalahkan teks, tetapi memahami. Apabila kekerasan

secara frima facie itu buruk, maka pengelolahan konflik politik yang baik dalam

mengelompokkan secara damai itulah yang diperlukan. Di sini, penganut agama,

terutama para pemimpin agama wajib melakukan interpretasi ulang atas event-event

kekerasan einmalig dalam Kitab Suci agar dalam kehidupan bersama yang diamalkan

adalah nilai-nilai kemanusiaannya yang menghargai toleransi dan bukan radikalisme.

Usaha menghidupkan religiositas either-or dalam masyarakat yang serba pluralistik

seperti di Indonesia sebenarnya hanya salah satu bentuk penghadiran agama. Ulama

dan rohaniawan khususnya, penganut agama umumnya, wajib melakukan interpretasi

ulang atas event-event kekerasan di dalam Kitab Suci melalui sublimasi tahap kedua

agar yang diamalkan bukan unsur-unsur kekerasannya saja, tetapi nilai-nilai

soteriologis dari sublimasi tahap pertama. Keselamatanlah yang harus diamalkan,

(32)

Bab II

Kekerasan dan Seruan Implementasi Syari’ah

Kekerasan dengan dalih penegakan syari’ah di Indonesia beberapa tahun

belakangan ini mengalami eskalasi yang mengkhawatikan. Dari kekerasan yang

dilakukan terhadap penganut yang tidak seagama hingga terhadap penganut yang

seagama tapi berada di luar kelompoknya, dan dianggap melanggar dan menyimpang

dari perintah agama atau syari’ah, mengesankan bahwa tindak kekerasan tersebut

berorientasi pada ajaran-ajaran dan nilai-nilai syari’ah. Lebih parah lagi, kekerasan

mengikuti bunyi literer Kitab Suci. Mungkinkah kekerasan macam itu berasal dari

teks-teks syar’i?

Sebagai pedoman bagi “hidup” (islami) dan “kedirian”(Muslim); petunjuk arah

bagi Muslim dalam menjalani hidup sesuai ketentuan Ilahi. Rasanya mustahil bila

syari’ah mampu memotivasi seseorang untuk melakukan tindakan destruktif yang

akan menyengsarakan orang lain. Namun, menilik berbagai motif di balik tindakan

tersebut, di mana ada dalih agama yang dilekatkan pada tindak kekerasan itu, ada

kutipan firman yang menjadi dasarnya, dan ada rujukan agama mengapa seseorang

atau sekelompok orang melakukannya, maka, hal itu tidaklah mustahil. Karena itu,

tilikan dari perspektif agama perlu dilakukan.

Asumsi ini, disebabkan oleh sejumlah hal. Misalnya, (1) Pada kasus tertentu

kekerasan nyata-nyata berasal dari perintah tersurat Al Qur’an, seperti perintah

mempertahankan diri,1 serta dari forma-forma dan idiom-idiom syari’ah, seperti,

(33)

rahmatan lil alamin dan khaira ummah;2 (2) Kekerasan mendapatkan pijakannya pada

teks–teks syari’ah yang berisi pandangan mengenai dunia;3 (3) Kekerasan menjadi

sebentuk ketaatan dan kepatuhan dalam menjalankan perintah syari’ah, misal, jihad

dan kurban, dalam konteks tertentu, dan (4) Kekerasan menjadi bagian penting dari

pendisiplinan dan penyelamatan umat.4

Dengan berorientasi pada syari’ah, sejumlah kelompok Islam yang merasa

menjalankan perintah Allah dan Rasul, dan menggangap diri paling berkomitmen

pada asas-asas fundamen syari’ah, dengan melihat posisi organisasi dan diri tampil

sebagai penegak syari’ah. Mereka merasa mendapat mandat dari Tuhan untuk

mendisiplinkan moralitas masyarakat. Efek lebih lanjut dari keyakinan seperti ini

adalah pemahaman bahwa tindakan mereka merupakan aplikasi dari jihad.5 Mereka

! " # "

$ % &

' " $ (

$ % ! )

% ( # *

+ % , # # ) # # $ (

-' .

,# $ # % /# %

& 0 $ 0 # 1 " 2# 33 4

/# % % # 1#

% # # 1#

* 4 #

* $ # 5

40' )6 # (

* 4 4 7 # # , & ),

1# # . ). 8 )6 9 )/ .. + $

$ # 5 5 * (

# 5 1# % 5 &

% +

* 4

60 $ % % )1 '

# '- $ $ '

$ ) ' 6 " ) ' :

( # ' 3 # ' ; # )#

(34)

memandang diri mereka sebagai pejuang (mujahid) untuk melawan apa saja yang

dianggap melanggar perintah Tuhan.

Untuk memperkuat hal itu, sejumlah bagian Al Qur’an pun dijadikan sumber

justifikasi suatu tindakan. Mereka bermaksud membangun suatu “tesis” bahwa

beragam aktivitas, termasuk kekerasan tidak bisa dilepaskan dari kerusakan moral dan

kemungkaran sosial yang terjadi dalam masyarakat. Dan, cara kekerasan terpaksa

diambil demi tegaknya syari’ah. Kekerasan pun, tidak lagi dilihat sebagai kekerasan,

tetapi sebagai alat perjuangan untuk suatu tujuan yang lebih mulia. Pertimbangan nilai,

prioritas, ideologi dikesampingkan demi efektifitas realisasi sebuah tujuan. Korban

menjadi sosok tak berwajah dibandingkan dengan tujuan mulia yang dibawa pelaku.6

Dasar etikanya adalah demi kebahagiaan yang lebih besar, kerugian minimal

dikesampingkan.7

Indikasi ini bisa dilihat dari praksis kekerasan yang terjadi, yang secara garis

besar berpaut dengan dua persoalan: Pertama, sebagai respon atas pelbagai perilaku

devian dan abnormal yang dianggap sebagai ancaman bagi nilai-nilai dan eksistensi

syari’ah, seperti homoseksual, prostitusi, bahkan modernisme dan sekulerisme dalam

konteks tertentu. Kedua, sebagai reaksi atas berbagai tindak kemungkaran yang

dilarang oleh syari’ah, seperti korupsi, kriminalitas, syirik, kafir, dan sebagainya.8

5# # #

""" )( = < %#

:> ( & ? !

" # $ ; 1#* ..

37 # # % & ' 6;)

;8 5 ( % # % ( #

8 0

# ) # # , 5

( 8 8 $ ( 1

# # # # @ # # # @ # #

(35)

Syari’ah menjadi forma untuk menentukan ancaman dan tingkat keparahan dari

dekadensi moral, sekaligus forma untuk mereformasi moralitas umat.

Atas dasar itu, tanpa bermaksud mereduksi syari’ah hanya pada literer Kitab

Suci, bab ini akan memeriksa korelasi teks-teks syari’ah dengan realitas kekerasan yang

terjadi. Dan, tanpa bermaksud mengesampingkan syariah sebagai sistem nilai yang

komprehensif, yang memberi semangat hidup, tuntunan, serta petunjuk moral, bab ini

mau menunjukkan bukti bahwa basic strucure Islam ini kerap menjadi pangkal tolak

bagi keberagamaan “yang ekstrem” berupa penggunaan forma-forma dan idiom-idiom

agama dalam tindak kekerasan.

Perlu ditambahkan di sini bahwa definisi kekerasan dalam tesis ini mengacu

pada pendapat E. Kristi Poerwandari. Menurutnya kekerasan adalah semua perilaku

baik secara intensional dan ataupun karena pembiaran dan lain sebagainya, yang

menyebabkan orang lain mengalami luka, sakit, dan penderitaan. Lebih lanjut

Poerwandari menyatakan:

“Kekerasan yang dimaksud dapat dilakukan oleh individu, oleh kelompok, mungkin juga oleh negara (baik oleh aparatnya, maupun sebagai suatu sistem), dapat dilakukan oleh orang-orang dekat dengan korban, dapat merupakan suatu bentuk penyelesaian masalah personal, bentuk kekuasaan penyelesaian masalah personal, bentuk rekayasa kelompok, produk kebencian suku dan agama, dan sebagainya. Termasuk di dalamnya laki-laki terhadap lainnya, individu maupun kelompok, kekerasan laki-laki terhadap perempuan, mungkin pula kekerasan manusia terhadap dirinya sendiri melalui mutilasi, masokisme, atau pembunuhan diri”9

Dilihat dari penjelasan yang dituturkan Poerwandari di atas, kekerasan dapat

merupakan produk rekayasa dari agama. Kekerasan tidak hanya mencakup kekerasan

fisik tapi juga kekerasan psikis, kekerasan struktural, dan kekerasan kultural. Tidak

A , 0# " ( ) & * + 4

(36)

hanya diterima tetapi juga diderita.10 Ia tampak dalam bentuk konstruksi, reproduksi

atau transformasi sosial dalam hubungannya dengan hubungan sosial. Pertanyaannya,

bagaimana cara agama merekayasa kekerasan? Dan, mengapa agama sering memakai

istilah korban?

Atas pertanyaan pertama, Mark Juergensmeyer berpendapat:

“Agama membuat orang merasa memiliki nilai penting, yang tidak terbatas pada kurun waktu kehidupan saja, tetapi meluas, bahkan melampaui sejarah. Struktur ideologi agama menempatkan individu dalam kedudukan kosmis, yang sangat istimewa di hadapan Yang Maha Kuasa... Agama memberi keyakinan kepada seseorang bahwa Allah yang memilihnya untuk menganut agama... Bahwa tindakannya sesuai kehendak Allah.11

Dalam perspektif Juergensmeyer−mekanisme legitimasi pembenaran, sistem

nilai yang khas dari agama, ditambah dengan perasaan terpilih dan terpanggil inilah

yang mengaitkan agama dengan kekerasan.

Dan, atas pertanyaan kedua, menurut pengamatan Juergensmeyertak lain,

tumbuhnya kesadaran dalam diri seseorang bahwa dirinya adalah korban, bukan

pelaku. Keyakinan tentang korban ini membawa efek pada keyakinan mendalam akan

ditempuhnya perlawanan terhadap siapa saja yang selama ini menjadi pelaku atau

biang keladi munculnya korban.12 Lihat saja beberapa kasus kekerasan yang terjadi,

mulai dari perusakan terhadap warung makan yang tetap buka pada siang hari di

bulan Ramadhan, penggerebekan lokalisasi, dan sebagainya. Mereka merasa tidak ada

.0 #

" 0 1

#

0

$ " 0 > * ,

-( . . $ , . ' / $ &

(!D # 2# .. 4 # E 0 : ) ;

9 . & 0 0 1 1 2 C * F5 D 5#

(37)

yang salah dengan tindakan mereka. Mereka justru merasa mengikuti bunyi Al Qur’an

dalam mengatasi segala perbuatan “maksiat”. 13

Penggunaan kekerasan demi pendisiplinan dan penyelamatan umat semacam

ini sudah sejak lama menghiasi perjalanan sejarah umat manusia. Dalam sejarah Islam,

akar keberagamaan yang ekstrim ini dapat dilacak dari sekte Khawarij,14 yang

menghalalkan tindak pembunuhan terhadap siapa saja yang dikategorikan kafir,

murtad dan syirik. Tindakan tersebut ini didasarkan pada teks-teks tertentu syari’ah.

Di Indonesia, “pola” keberagamaan semacam itu terpampang dengan jelas di depan

mata kita pada abad 16,15 ketika Siti Jenar atau Lemah Abang dibunuh karena dianggap

menyimpang dari syari’ah karena mengaku sebagai Tuhan.

-B ! % $

$ ) A # 0 # .

- 0 " ( 0 % ) .. (1 ( 8 0!A 2# ..

-, " $ * # #

& ! 4 # # " &

8 8

# # # & ""

55 ::. , # # 5 & 0

# # & + 5

$ 4 # 5 ,

& # " - ) ) " - ) / ! / , 8 2# ' 9 ..- 6 )3 % $ 7 1 # 8 # # ( & )&

$ & 0 C(0 9 ;: -)

6, # %

" 4 $ $ ) $ " 0 # # ) # # 3

% 5 % $ # &

B # 9 < # 8# # " ) 3

% # B &

, * " # #

" $ ?& # 5 7 ( F ( ,

1# # .6).: 8 )6. )9 .. , 2# .. ;)6 4 ( &

7 $ + % $ ) # .

+ , 1 <% $

# G 1 < % >, : H B % $ I , 1 4

0 1 " ' ! # . 5 8 0 * C * 0

(38)

Hal yang sama dialami oleh Haji Ahmad Mutamakim dan Haji Ahmad Rifa’i

dalam Serat Cebolek.16 Keduanya dieksekusi mati hanya karena dianggap

menyimpang dari syari’ah. Mutamakim dieksekusi karena mengklaim mencapai

“kasunyatan” atau esensi menjadi Muhammad dan menganjurkan jema’ahnya untuk

meninggalkan syari’ah.17 Sementara itu Haji Rifa’i dihukum mati karena mengaku

satu-satunya ulama alim dan adil, dan mengharamkan pernikahan yang

diselenggarakan oleh penghulu pemerintah, serta mengharamkan sholat Jum’at selain

di masjidnya.

Meskipun begitu, masih banyak pihak yang tidak mempercayai jika syari’ah

bisa menjadi jahat dan korup. Masih ada pihak yang mempertahankan penalaran

dikotomis; syari’ah itu selalu baik; kekerasan muncul karena adanya penyimpangan

oleh individu pemeluknya, dan hal itu dapat dijumpai di mana saja.

Sejalan dengan perspektif Juergensmeyer dan catatan-catatandi atas, beberapa

tahun belakangan ini kekerasan atas nama syari’ah kembali menjadi warna kehidupan

umat beragama di Indonesia. Umat beragama semakin radikal dan fanatik dalam arti

menafikan penganut agama lain serta siapa saja yang dianggap menyalahi syari’ah.

Kebencian dan emosi terhadap kelompok lain dihalalkan, bahkan disucikan.

Kekerasan, kekejaman dianggap sebagai aplikasi jihad. Para pelaku tindak kekerasan

terhadap penganut agama lain disebut mujahid dan dielu-elukan. Pertanyaannya,

sejauh mana hubungan ajaran syari’ah dengan praksis kekerasan tersebut?

: D # ; # , $ ! &

* # ! 0 $ 9

$ % 9 " 8 D #

& (E 3 ) 3 : 0 B " (( 3 :) 3 0 # 0 B

( # 4 4 0 , # # J 7 #

$ # 8 K , 7 9 ; 3)

(39)

A. Syari’ah Sebagai Sumber Terbaca dan Cara Membacanya.

Adalah penting sebenarnya untuk mencoba memahami perbuatan seseorang

dari sudut agama. Misalnya, kenapa berpuasa, kenapa berkurban, kenapa berjilbab,

kenapa tidak makan babi, kenapa berpoligami, kenapa tidak menikah beda agama,

kenapa begini, kenapa tidak begitu? Dalam konteks agama, dengan memakai kacamata

iman, karena inti beragama adalah iman; seseorang akan menjawab

pertanyaan-pertanyaan itu dengan mengatakan, karena agama menganjurkan atau karena agama

melarang. Ini memperlihatkan agama mempengaruhi seseorang untuk melakukan

suatu tindakan.

Kendati iman tak dapat dirasionalisasi dan dikalkulasi, namun, iman dapat

diaktualisasi dan direfleksikan. Refleksi iman adalah mematuhi perintah Tuhan.

Perintah Tuhan tertuang dalam Kitab Suci. Umat beragama terdorong dan termotivasi

untuk mengamalkan iman dengan mematuhi nilai-nilai dan norma-norma yang

diterimanya dari Kitab Suci. Karena iman, umat berusaha bertindak sejalan sempurna

dengan perintah Tuhan; ada rasa mulia jika mematuhi perintah, ada rasa bersalah jika

melanggar; ada firdaus atas kebaikan, ada jahanam atas kejahatan; dari situ, ada rasa

takut akan hukuman,18 ada rasa istimewa menjadi umat terpilih dan terselamatkan.

Orientasi imbalan (reward oriented) atau “rasionalitas tindakan” dalam bahasa Weber,19

tak bisa disangkal, mampu memotivasi seseorang dalam melakukan suatu tindakan.20

;7 1 < % %

0 5#

%

# 7 # # 0 # & & 4 5 1# # ) 8 1#* )4 ...

! # # #

? 4

$ #

(40)

Sebagai orang beriman, penganut agama berkeinginan kuat untuk bertolak dari

ajaran agama, bukan sekedar melaksanakan kewajiban, tapi kehendak untuk

membuktikan kesalehan. Perintah/ketentuan ilahi dalam Islam disebut syari’ah.21

Syari’ah mengatur (untuk tidak dikatakan menyeragamkan) perilaku, ritual, bahasa,

dan pakaian seseorang; mana yang boleh dilakukan, mana yang tidak.22 Ia menjadi

rujukan utama berbagai perilaku muslim. Kelompok tertentu bahkan menjadikan

syari’ah yang formal dan literer sebagai kriteria kesalehan dan komitmen sebagai

seorang Muslim. Tak ayal, segala tindakan yang didasarkan pada syari’ah memiliki

intensitas yang dalam. Atas dasar itulah, tindakan seorang Muslim, perlu dibaca dalam

konteks keterhubungannya dengan nilai dan norma yang dianggapnya luhur ; syari’ah

Kenapa merajam orang yang berhubungan seksual tanpa ikatan perkawinan,

kenapa berjihad, kenapa meregang nyawa orang lain, kenapa melakukan bom bunuh

diri, kenapa berperang, kenapa menghukum mati, kenapa..? Terlepas dari alasan

fisikal-kuantitatif dan rasional-saintifik, dari sudut agama, seseorang akan menjawab

pertanyaan itu dengan mengatakan demi mendapatkan kemuliaan di sisi Tuhan.

# # 5 # 0 #

$ 5 C

" # # K

# #

$ 8 # # )#

% & # # *

# $ # 5 K

$ # # 5 # %

? & # I ( )

. - ) ( ! 6 . 7 5 0 $ , C(0 ;6

.3) 3

.B % 9# I , , 9 K % ,

8 A 8 )- .. ) 6 # #

$ # % $ , # 1 % - ' 8

5 7 5 $ " # A I #55 / % 7 8# % ## 8 &% > 7 L !#" 1 " 2# :

& ! ( 4# " )! * " $ " + $ $ C A55 & & , M

0 0 $ 9 .

(41)

Jawaban ini membuktikan implementasi doktrin-doktrin, ajaran-ajaran dan pandangan

tertentu syari’ah bagi seorang Muslim. Bahwa doktrin-dokrin dan ajaran-ajaran

tertentu dari syari’ah mampu menciptakan etos tertentu bagi seorang Muslim. Hal ini

menunjukkan bahwa kekerasan atas nama syari’ah yang kerap kita jumpai di depan

mata dan hidung kita ini, bisa dilacak dari sisi pemahaman keagamaan seseorang.

Pemahaman, penghayatan, bahkan pengamalan keagamaan seseorang akan

dipengaruhi oleh doktrin-doktrin, berbagai bentuk penafsiran, dan kecenderungan

pribadi atau kelompok atas apa yang diklaimkan sebagai kebenaran agama. Dengan

kata lain, ia akan dipengaruhi oleh pemahamannya tentang apa yang disahkan dan

atau tidak disahkan oleh agama. Pemahaman yang harfiah, parsial, dan

sepotong-sepotong atas syari’ah mengakibatkan seseorang terperangkap ke dalam wawasan

yang sempit dan tidak mampu melakukan kontekstualisasi ajaran dengan kehidupan

konkret, akibatnya cara-cara yang dimunculkan sering kali mengerikan dan berwatak

penuh kekerasan.

Sisi inilah yang menjelaskan mengapa mereka yang taat pada syari’ah justru

mereka berani melakukan perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai

kemanusiaan, mengapa tega membakar rumah ibadah, atau mengapa mau melakukan

kejahatan-kejahatan kemanusiaan. Persoalannya menjadi rumit, karena apa yang

disebut dengan syari’ah itu, ternyata, tak hanya mencakup perintah Allah dalam al

Qur’an dan Sunnah, tetapi juga mitos-mitos, legenda-legenda, ingatan tradisi, dan

metode-metode berpikir, bahkan pengalaman sejarah, yang oleh kelompok tertentu

(42)

A. 1.1.

Syari’ah

Sebagai Teks

Gagasan tentang ketentuan ilahi dalam Islam secara global diekspresikan dalam

syari’ah dan fiqh. Dikatakan ketentuan Ilahi karena keduanya bersumber dari Qur’an

dan Sunnah Rasul. Perbedaannya: Pertama, pada orientasi, fiqh menunjuk pada aktivitas

manusia untuk menderivasi hukum dari wahyu ke dalam term-term yang lebih

spesifik. Sebaliknya, syari’ah merujuk pada hukum-hukum Tuhan dalam kualitasnya

sebagai wahyu.23 Kedua, pada subyek, subyek syari’ah adalah Allah, maka bersifat

sempurna, universal dan abadi, sedangkan subyek fiqh adalah faqih, maka

berubah-ubah sesuai dengan perberubah-ubahan pemahaman faqih atas realitas sosio kultural dan

konteks historisnya. Atas dasar itulah, syari’ah dipahamkan sebagai produk Tuhan,

mutlak dan sakral. Sedangkan, fiqh adalah produk manusia, maka sifatnya profan.24

Saya sendiri cenderung melihat perbedaannya pada universal dan partikular.

Ruang lingkup syari’ah meliputi seluruh ajaran agama, mencakup; tauhid, aqidah dan

hukum bagi perbuatan. Sementara itu fiqh, hukum bagi perbuatan saja, tidak pada

subyek, sebab, jika merunut proses perolehan dan cara aktualisasinya, meskipun

orientasi syari’ah dan fiqh berbeda, keduanya, sama-sama menyebut Al Qur’an dan

Sunnah sebagai sumber.

Dalam pada itu, keduanya, sama-sama tidak memberikan penjelasan rinci

tentang ketentuan-ketentuan Tuhan. Ayat-ayat Al Qur’an sendiri diturunkan secara

gradual setangkup dengan adanya persoalan yang dihadapi Muslim pada waktu itu.

Setiap ayat-ayat hukum senantiasa mempunyai sebab musabab sosial historis (Asbab

-8 5 & & ! < 0 & ' )

B % & ! ( 4# " )- % 4 & !#5 M & / "

" I 2# 9 .. % $ 4 & 4$ & 1 )! *

(43)

Nuzul). Padahal, persoalan sosial historis baru terus bermunculan, yang mau tak mau

melibatkan interpretasi dan pemikiran seseorang untuk menjawabnya. Ini berarti,

syari’ah bernilai relatif dan terbuka bagi interpretasi baru. Karenanya, saya cenderung

menyebut syari’ah sebagai refleksi sistematis terhadap Qur’an dan Sunnah.

Kata syari’ah, al-syariah dan al-syir’ah, secara etimologis, berarti “jalan ke mata

air”. Istilah ini biasa digunakan oleh orang Arab untuk menyebut jalan setapak menuju

Referensi

Dokumen terkait

Dari perbandingan data FTIR diketahui bahwa semakin tinggi suhu reaksi maka semakin sedikit CO 3 2- yang terbentuk.. Berdasarkan perbandingan gugus karbonat yang

Hasil observasi awal sebelum tindakan menunjukkan bahwa proses belajar mengajar di kelas belum sepenuhnya optimal. Pembelajaran yang dilakukan guru kurang membangun proses

Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian dengan model pembelajaran Jigsaw di kelas IV pada mata pelajaran IPS adalah teknik analisis diskriptif

Hasil penelitian menunjukan bahwa pada pola pertumbuhan vegetatif untuk variabel tinggi tanaman dan tingkat percabangan aplikasi kalium nitrat pada berbagai

menunjang aktifitas olahraga dalam rangka mencapai prestasi prima”. Selain itu, tinggi rendahnya keterampilan seseorang dalam bermain bolavoli juga dipengaruhi

Hasil analisis keragaman pada setiap tabel di atas menunjukan bahwa perlakuan perbandingan tanah dan kompos daun bambu dengan S2 (2:1) pada tanaman tanjung

This comparative performance evaluation project work is related to various Mobile Ad hoc Networks (MANETs) routing protocols such as Ad-hoc on Demand

(2) Mutu pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui Sistem Penjaminan Mutu Internal STIE MURA yang merupakan kegiatan sistemik