• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Geomorfologi adalah ilmu yang mempelajari bentuklahan yang membentuk konfigurasi permukaan bumi. Menurut Zuidam and Cancelado (1979) geomorfologi merupakan studi yang mendiskripsikan bentuklahan serta proses – proses yang mempengaruhi dan menganalisis hubungan timbal balik antara bentuklahan dan proses – proses yang mempengaruhinya dalam konteks kelingkungan. Bentuklahan merupakan bagian permukaan bumi yang keberadaanya sangat dipengaruhi oleh relief, struktur geologi, batuan dan proses yang dialami.

Permukaan bumi selalu mengalami perubahan bentuk akibat adanya proses geomorfologi. Proses – proses geomorfologi meninggalkan bekas – bekasnya yang nyata pada bentuklahan, dan setiap proses geomorfologi akan membangun suatu karakteristik tertentu pada bentuklahannya (Thornbury, 1958). Proses – proses geomorfologi dapat bersifat konstruksional maupun destruksional. Degradasi merupakan salah satu proses geomorfologi yang cenderung menyebabkan penurunan permukaan bumi dengan di dalamnya mencakup proses pelapukan, gerak massa tanah atau batuan dan erosi yang dipengaruhi oleh faktor geologis, iklim, topografi, vegetasi dan tanah.

Pergerakan massa tanah atau batuan dapat terjadi dengan diawali oleh terganggunya kestabilan lereng akibat berbagai faktor sehingga menyebabkan massa tanah atau batuan di suatu bidang tidak stabil dan berpotensi untuk mengalami pergerakan menuruni lereng dan dapat menjadi peristiwa longsorlahan. Longsorlahan akibat dari lereng yang tidak stabil dapat berubah menjadi bencana apabila peristiwa tersebut berada di daerah yang terdapat berlangsungnya kegiatan manusia. Seperti halnya bencana longsorlahan yang telah terjadi di Propinsi Jawa Tengah.

(2)

2 Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, pada tanggal 3 Januari 2006, mengalami bencana longsorlahan yang mengakibatkan tertimbunnya desa dibawah perbukitan (Direktorat Geologi dan Tata Lingkungan, 2009). Akibat tanah longsor tersebut, 76 korban meninggal, 212 rumah dan 5,2 hektar lahan persawahan tertimbun lumpur dan batu besar. Longsor lahan yang terjadi diakibatkan kurang sigapnya masyarakat dalam mengantisipasi ketika bahaya tersebut mengancam maupun kurangnya perhatian masyarakat akan ancaman bahaya longsor yang akan terjadi. Sehingga menimbulkan kerusakan yang sangat berat seperti rusaknya fasilitas penduduk maupun lahan pertanian bahkan mengkibatkan rusaknya rumah – rumah warga sehingga dapat menelan korban manusia.

Menurut Kepala Dinas Energi Sumber Daya Mineral, meluasnya kawasan rawan longsor di suatu tempat dapat disebabkan oleh perilaku manusia yang mengubah tata guna lahan dan iklim ekstrim (Samariansyah, 2011). Pembukaan lahan sebagai contoh pengubahan tata guna lahan yang kebanyakan digunakan untuk pertanian, permukiman, dan industri menjadi penyebab utama longsor karena mengurangi daya dukung tanah sehingga lereng menjadi labil. Pada saat musim penghujan dikhawatirkan ancaman bencana longsor semakin tinggi.

Kestabilan lereng sangat ditentukan oleh variabel – variabel fisik medan yang saling berhubungan. Kondisi fisik medan yang ada sangat perlu diperhatikan berkaitan dengan adanya perkembangan petumbuhan penduduk yang semakin meningkat dan adanya proses alam yang terjadi. Bentuk dan kemiringan lereng, kekuatan material, kedudukan muka air tanah dan kondisi drainase setempat sangat berkaitan pula dengan kondisi kestabilan lereng Verhoef (1985, dalam Zakaria, t.t).

Penelitian mengenai kestabilan lereng sangat diperlukan untuk mengantisipasi adanya gerakan tanah secara dini sebelum terjadi bencana longsorlahan. Secara keruangan kerentanan gerakan tanah dapat dipresentasikan berdasarkan variabel – variabel yang mempengaruhinya, sehingga pola agihan gerakan tanah dapat diamati. Berdasarkan hal tersebut

(3)

3 maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui tingkat kestabilan lereng pada Sub DAS Progo Hulu Kabupaten Temanggung dan pengaruhnya terhadap kerentanan gerakan massa serta sebaran kerentanan gerakan massa di daerah penelitian.

1.2. Perumusan Masalah

Gerakan massa tanah berupa longsoran akibat dari lereng yang tidak stabil dapat menjadi bencana yang membahayakan. Banyak faktor semacam kondisi geologi, hidrologi, topografi, iklim dan perubahan cuaca dapat mempengaruhi stabilitas lereng yang mengakibatkan longsoran (Hardiyatmo, 2006). Longsor seringkali terjadi akibat adanya pergerakan tanah pada kondisi daerah lereng yang curam, tingkat kelembapan tinggi, vegetasi jarang (lahan terbuka) dan material kurang kompak. Faktor lain untuk timbulnya longsor adalah rembesan, pelapukan dan aktifitas geologi seperti patahan dan rekahan.

Sub DAS Progo Hulu merupakan bagian dari sistem daerah aliran sungai Progo yang berada di daerah administrasi Kabupaten Temanggung, Propinsi Jawa Tengah. Berdasarkan dari data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (2010 dalam Suara Merdeka, 2010) daerah yang paling banyak memiliki lokasi rawan longsor di Jawa Tengah terdapat di Kabupaten Temanggung (274 desa) kemudian disusul Wonosobo (260 desa), Banyumas (238 desa), dan Kabupaten Magelang (163 desa). Beberapa daerah rawan bencana longsorlahan di Kabupaten Temanggung tersebut diantaranya berada di Sub DAS Progo Hulu.

Sub DAS Progo Hulu mengalami peningkatan kepadatan penduduk di tiap tahunnya. Berdasarkan data statistik pada tahun 2010, dapat diketahui bahwa daerah – daerah yang berada dalam bagian Sub DAS Progo Hulu dengan kepadatan penduduk tinggi sebagian besar berada di daerah perbukitan dan pegunungan. Seperti halnya di kecamatan Ngadirejo dengan luas 53,31 km2 memiliki kepadatan 1.011 jiwa/ km2, Kecamatan Jumo seluas 29,32 km2 dengan kepadatan mencapai 929 jiwa setiap kilometer persegi

(4)

4 (BPS, 2011). Perkembangan penduduk demikian dapat menyebabkan Sub DAS Progo Hulu semakin rentan mengalami tekanan penduduk terhadap tata guna lahan. Lahan yang dibuka sebagai permukiman pada sub DAS ini yang terjadi tidak hanya berada di satu titik pusat kota, tetapi mulai berkembang ke beberapa daerah sekitarnya yang umumnya bertopografi berbukit maupun bergunung.

Menurut data statistik pada tahun 2010 penggunaan lahan terbesar di daerah Temanggung berupa tegalan yaitu mencapai 32,27% dari luas lahan sebesar 82.616 Ha. Lahan untuk persawahan pengairan maupun tadah hujan 23,7%, perkebunan 10,65%, kolam dan lahan lainnya 3,49% serta pembukaan untuk lahan bangunan sudah mencapai 12,42%. Sedangkan lahan yang digunakan sebagai hutan rakyat/ negara hanya sebesar 18,51% (BPS, 2011). Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa tata guna lahan di Sub DAS Progo Hulu lebih banyak digunakan untuk lahan terbuka. Banyaknya lahan tersebut secara langsung menyebabkan perubahan bentuk pada fisik lereng, misalnya pemotongan atau pengeprasan lereng untuk kepentingan peningkatan kemudahan aksessibilitas jalan dan penggalian maupun pengurugan tanah yang menyebabkan beban lereng menjadi berubah dan lereng menjadi semakin tidak stabil.

Sub DAS Progo Hulu memiliki topografi yang beragam dari dataran hingga bergunung, sehingga lereng yang ada juga bervariasi. Curah hujan di Sub DAS Progo Hulu rata – rata mencapai lebih dari 2.000 mm/tahun dengan suhu berkisar 200 – 300C. Sebagai faktor pemicu, curah hujan dapat menyebabkan tanah menjadi jenuh sehingga merubah sifat fisik tanah. Suhu juga dapat mempengaruhi proses pelapukan yang ada.

Kondisi demikian dapat memberikan indikasi pada Sub DAS Progo Hulu menjadi kawasan yang rentan terhadap bencana gerakan tanah. Bencana yang terjadi dapat mengakibatkan kerugian material bahkan korban jiwa karena sebagian besar berada di tempat manusia melangsungkan kegiatan. Minimnya informasi kondisi kestabilan lereng di daerah ini dapat mengakibatkan banyaknya resiko yang ditanggung oleh pihak – pihak yang

(5)

5 terkait. Sehingga informasi berupa data spasial yang dipresentasikan dalam peta sangat diperlukan.

Medan merupakan kenampakan pada lahan yang kompleks dengan atribut sifat fisik di permukaan bumi dan di dekat permukaan bumi (Zuidam and Cancelado, 1979). Agar dapat mengetahui secara detail kondisi dan karakteristik medan maka daerah penelitian dilakukan pengelompokan ke dalam satuan medan sebagai satuan pemetaan.

Berdasarkan uraian di atas, maka dalam penelitian ini dapat dirumuskan permasalahan yang akan dikaji :

1. Bagaimanakah tingkat kestabilan lereng di Sub DAS Progo Hulu Kabupaten Temanggung ?

2. Bagaimanakah pola agihan kerentanan gerakan massa tanah di Sub DAS Progo Hulu Kabupaten Temanggung ?

3. Bagaimanakah pengaruh kestabilan lereng terhadap kerentanan gerakan massa tanah di Sub DAS Progo Hulu Kabupaten Temanggung ?

1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan :

1. Mengetahui tingkat kestabilan lereng di Sub DAS Progo Hulu Kabupaten Temanggung.

2. Mengetahui pola agihan kerentanan gerakan masa tanah di Sub DAS Progo Hulu Kabupten Temanggung.

3. Mengetahui pengaruh tingkat kestabilan lereng terhadap kerentanan gerakan massa tanah pada Sub DAS Progo Hulu Kabupten Temanggung.

1.4. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini adalah terapan ilmu geomorfologi dengan hasil akhir dapat mengetahui pengaruh kestabialan lereng terhadap kerentanan gerakan massa tanah berdasarkan kondisi medan. Selain itu dapat mengetahui agihan kerentanan gerakan massa tanah berdasarkan peta tingkat kerentanan gerakan massa tanah di daerah penelitian. Sehingga dari hasil penelitian ini

(6)

6 diharapkan dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dalam bidang kebencanaan.

Penelitian ini juga diharapkan dapat digunakan sebagai tambahan informasi dan bahan pertimbangan bagi masyarakat untuk pemanfaatan lahan maupun pemerintah daerah setempat dalam penentuan kebijakan terutama pengaturan pemanfaatan lahan di lingkungan Sub DAS Progo Hulu Kabupaten Temanggung.

1.5. Tinjauan Pustaka 1.5.1. Telaah Pustaka

Geomorfologi adalah ilmu yang menitikberatkan pada bentuklahan yang merupakan cerminan dari hasil interaksi proses endogen dan eksogen. Menurut Dibyosaputro (1997), proses geomorfologis menyangkut semua perubahan fisik maupun kimia yang terjadi dipermukaan bumi oleh tenaga – tenaga geomorfologis. Proses geomorfologis dapat menyisakan bentuklahan yang berbeda. Sehingga bentuklahan merupakan hasil dari proses geomorfologis yang beroperasi di permukaan bumi.

Bergeraknya massa tanah dan batuan disebabkan karena adanya gangguan keseimbangan lereng yang bergerak ke tempat yang lebih rendah (Direktorat Geologi dan Tata Lingkungan, 2009). Gerakan massa merupakan salah satu dari proses geomorfologis yang memiliki berbagai macam bentuk sesuai dengan tipe gerakan dan materialnya. Varnes (1978 dalam Zakaria t.t) membagi gerakan tanah dan batuan terdiri atas jatuhan (fall), jungkiran (topple), luncuran (slide), nendatan (slump), gerak horizontal/ bentang lateral (lateral spread), aliran (flow), rayapan

(creep) dan majemuk (complex). Sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1.1.

Jatuhan (falls) merupakan massa batuan bergerak melalui udara, termasuk gerak jatuh bebas, meloncat dan penggelindingan bongkah batu dan bahan rombakan tanpa banyak bersinggungan satu

(7)

7 dengan yang lain. Jatuhan banyak terjadi pada lereng terjal atau tegak yang terdiri dari batun yang mempunyai bidang – bidang tidak menerus (diskontinuitas) (Hardiyatmo, 2006).

Tabel 1.1 Jenis Gerakan Tanah dan Batuan Menurut Varnes (1978)

Sumber: Zakaria, t.t

Jatuhan (falls) merupakan massa batuan bergerak melalui udara, termasuk gerak jatuh bebas, meloncat dan penggelindingan bongkah batu dan bahan rombakan tanpa banyak bersinggungan satu dengan yang lain. Jatuhan banyak terjadi pada lereng terjal atau tegak yang terdiri dari batun yang mempunyai bidang – bidang tidak menerus (diskontinuitas) (Hardiyatmo, 2006).

Jatuhan pada tanah biasanya terjadi pada material yang mudah tererosi diatas tanah yang tahan terhadap erosi. Gerakan ini dapat terjadi pada semua jenis batuan yang terjadi di sepanjang kekar, bidang dasar atau zona patahan lokal. Terjadi akibat oleh pelapukan, perubahan temperatur,

(8)

8 tekanan air atau penggalian/ penggerusan bagian bawah lereng. Termasuk jenis gerakan ini adalah runtuhan batu, bahan rombakan maupun tanah.

Gambar 1.1 Ilustrasi Gerakan Tanah Berupa Jatuhan Batuan Menurut Varnes (Hardiyatmo, 2006)

Robohan (topples) merupakan jenis gerakan yang hampir mirip dengan jatuhan. Pada umumnya robohan diakibatkan dari air yang mengisi retakan dan terjadi pada lereng batuan yang sangat terjal hingga tegak.

(9)

9 Pada robohan, gerakan yang terjadi adalah mengguling hingga roboh yang berakibat batuan lepas dari permukaan lerengnya.

Gambar 1.2 Ilustrasi Robohan Batuan (Hardiyatmo, 2006)

Longsoran - longsoran gelinciran (slides) adalah gerakan yang disebabkan keruntuhan melalui satu atau beberapa bidang yang dapat diamati ataupun diduga. Pada Tabel.1.1 diketahui bahwa longsoran terbagi atas dua jenis, yaitu rotasi dan translasi. Longsoran rotasi merupakan longsoran gelinciran dengan bidang longsor melengkung dan gerakannya dapat menghasilkan susunan material tidak banyak berubah.

Longsoran rotasional dibedakan menjadi tiga macam (Hardiyatmo, 2006), yaitu:

1. Penggelinciran (slips/ slump) sebagai gerakan longsoran rotasional yang terjadi dalam lempung lunak bergerak pada kesatuan yang sama dan menghasilkan bidang longsor yang mendekatai lingkaran.

2. Longsoran rotasional berlipat (multiple rotational slides) sebagai bentuk longsoran yang berkembang secara bertahap dan menyebar ke belakang di sepanjang biadang longsor.

3. Longsoran berurutan (successive slips) merupakan kesatuan dari longsoran rotasional dangkal yang terbentuk secara berurutan pada lempung terkonsolidasi berlebihan retak – retak

(10)

10 Gambar 1.3 Macam – Macam Longsoran Rotasional (Hardiyatmo, 2006)

Longsoran translasional sebagai gerakan yang terjadi di sepanjang material lemah dengan arah sejajar pada lereng. Longsoran ini terbagai atas:

1. Longsoran blok translasional (translational block slides), terjadi pada lapisan batuan dengan lereng yang miring. Dipicu oleh penggalian lereng bagian bawah.

2. Longsoran pelat (slab) terjadi di lereng lempung yang lapuk dengan gerakan yang mendekati sejajar dengan perumukaan tanah yang terletak pada lapisan batu.

3. Longsoran translasional berlipat (multiple translational slides),

merupakan longsoran pelat yang kemudian bertahap pada sisi atasnya akibat puncak longsoran sebelumnya melunak akibat resapan air hujan. 4. Longsoran translasional mundur (retrogressive translational slides).

Merupakan lonsoran yang pada umumnya terjadi pada lempung berlapis pada lereng yang tidak begitu miring atau datar.

(11)

11 Gambar 1.4 Macam – Macam Longsoran Translasional (Hardiyatmo,

2006)

Aliran (flow) adalah gerakan yang dipengaruhi oleh jumlah kandungan atau kadar airtanah, terjadi pada material tak terkonsolidasi dengan bidang geser yang relatif sempit. Termasuk dalam jenis gerakan aliran kering adalah sandrun (larianpasir), aliran fragmen batu, aliran

loess. Sedangkan jenis gerakan aliran basah adalah aliran pasir-lanau, aliran tanah cepat, aliran tanah lambat, aliran lumpur, dan aliran bahan rombakan. Broms, 1975 dalam Hardiyatmo 2006, membagi aliran menjadi empat tipe, yaitu:

1. Aliran tanah (earth flow), merupakan aliran pada tanah berlempung dipicu oleh adanya air hujan yang teresap pada tanah. Dapat berlangsung terus menerus hingga sudut lereng semakin mengecil. 2. Aliran lumpur (mud flow), sering terjadi pada lereng dengan sudut

kemiringa 50 hingga 150 yang memiliki lapisan lempung di antara lapisan pasir halus. Material ini mengalami perubahan tekanan air pori akibat meresapnya air hujan sehingga tanah terpecah menjadi campuran pasir, lumpur dan bongkahan lempung.

3. Aliran debris (debris flow) merupakan aliran dengan material kasar dengan bentuk aliran yang sempit dan memanjang. Sering terjadi pada saat hujan lebat atau banjir yang tiba – tiba.

4. Aliran longsoran (flow slide) sebagai bentuk aliran akibat dari sifat likuid pada lapisan pasir halus yang tidak padat dan pada umumnya terjadi pada lereng bagian bawah.

(12)

12 Gambar 1.5 Longsoran Tipe Aliran (Hardiyatmo, 2006)

Lereng dapat mengalami gerakan rayapan dengan cara terus menerus (perlahan) akibat dari tegangan geser yang rendah dengan waktu yang lama tanpa menyebabkan keruntuhan lereng. Rayapan menerus ini dapat terjadi pada tanah – tanah lempungan dan batuan yang kelebihan beban. Hardiyatmo (2006), mendefinisikan rayapan sebagai gerakan tanah atau batuan pembentuk lereng yang kurang lebih kontinyu dalam arah tertentu. Gerakan dalam bentuk rayapan terjadi hampir dalam semua tipe lereng tanah dan batuan dan tidak selalu berakhir dengan longsor. Karena tanah dan batuan akan sering dapat bertahan, walaupun tegangan yang bekerja jauh lebih tinggi daripada saat terjadinya rayapan.

Rayapan (creep) adalah gerakan yang dapat dibedakan dalam hal kecepatan gerakannya yang secara alami dan biasanya lambat. Kecepatan gerakan ditentukan oleh kemiringn lereng, dengan kecepatan gerakan tanah akibat rayapan berkisar anatar 1 mm sampai 10 m/th (Summerfield, 1991 dalam Hardiyatmo 2006). Rayapan tanah dapat terjadi karena adanya lempung yang mudah mengembang dan menyusut. Selain itu dapat dikarenakan tekanan air pori tinggi yang dapat mengurangi kuat geser tanah dan menyebabkan tanah bergerak ke bawah lereng.

(13)

13 Gambar 1.6 Ilustrasi Longsoran Rayapan (Zakaria, t.t)

Gerak horisontal/ bentangan lateral (lateral spread), merupakan jenis longsoran yang dipengaruhi oleh pergerakan bentangan material batuan secara horisontal. Terjadi akibat sifat likuid pada tanah granuler atau turunnya massa batuan yang terpecah – pecah ke dalam material lunak di bawahnya. Longsoran majemuk (complex landslide) merupakan gabungan dari dua atau tiga jenis gerakan dari gerakan tanah.

Identifikasi longsoran sangat penting untuk mengetahui tipe dan penyebab longsoran. Secara umum gerakan tanah dapat diamati pada lereng – lereng yang mulai mengalami retakan di bagian atasnya dan terjadi penggembungan pada kaki lereng. Scarp yang menyingkap tanaman menunjukkan gerakan tanah masih aktif. Arah gerakan dapat diamati dari posisi arah akar tanaman yang tersingkap. Adanya rembesan memberikan petunjuk sebagai kaki atau ujung kaki longsoran.

Pada material tanah pada umumnya gerakan tanah menyebabkan longsoran berbentuk rotasional. Dalam Hardiyatmo (2006), bagian – bagian dari longsoran dapat diketahui berdasarkan definisi bagian longsoran menurut Cruden dan Varnes (1992), yaitu :

1. Mahkota (crown), merupakan bagian longsoran yang berada di atas lonsoran.

(14)

14 2. Scarp mayor atau scarp utama (main scarp) adalah zona pada ujung atas longsoran yang tidak terganggu oleh longsoran berupa permukaan miring tajam.

3. Puncak (top) sebagai titik tertinggi pada bidang yang saling bersinggungan antara material yang tidak bergerak dengan scarp

utama.

4. Kepala (head) adalah bagian atas longsoran di antara material yang bergerak dengan scarp utama.

5. Scarp minor (minor scarp), merupakan permukaan dengan kemiringan yang tajam pada material akibat perbedaan gerakan.

6. Tubuh utama (main body) yaitu bagian yang menutupi permukaan bidang longsor.

7. Kaki (foot) merupakan material yang bergerak melewati kaki lereng. 8. Ujung bawah (tip), sebagai titik pada kaki longsoran yang merupakan

titik terjauh dari puncak longsoran.

9. Ujung kaki (toe) adalah titik terbawah pada material yang bergerak. 10. Bidang longsor atau bidang runtuh (surface of rupture) adalah

permukaan bidang longsor yang merupakan bagian terbawah dari material bergerak.

11. Ujung kaki bidang longsor (toe of surface rupture) merupakan perpotongan antara bidang longsor terbawah dengan permukaan tanah asli.

12. Permukaan pemisah (surface of separation) merupakan permukaan tanah asli yang tertutup oleh material longsoran.

13. Material pindahan (displaced material) merupakan material yang bergerak, berpindah dari tempat asalnya,

14. Zona ambles (depletion zona) merupakan area yang kedudukanya berada di bawah permukaan asli akibat beban material yang berpindah di tempat tersebut.

15. Zona akumulasi (accumulatin) merupakan volume material yang menumpuk/ berkumpul di atas tanah asli.

(15)

15 16. Sisi luar (flank) adalah material yang daerahnya berdekatan langsung

dengan sisi luar bindang longsor.

17. Permukaan tanah asli (original ground surface) adalah permukaan lereng sebelum terjadi longsoran.

Lereng yang tidak stabil dapat menyebabkan lereng menjadi bergerak. Gerakan tanah dapat disebabkan oleh pengaruh gaya berat (Thornbury, 1958). Gaya berat merupakan salah satu faktor berasal dari tubuh lereng, dipengaruhi adanya gravitasi yang merupakan kekuatan yang bertindak di mana - mana di permukaan bumi serta menarik segala sesuatu dalam arah menuju pusat bumi.

Gambar 1.7 Komponen Gaya Gravitasi pada Lereng (Zakaria, t.t) Pada lereng, gaya gravitasi terdiri atas dua komponen yaitu gravitasi potensial (gp) bergerak tegak lurus dengan kemiringan lereng dan gravitasi tangensial (gt) yang bergerak searah dengan kemiringan lereng. Gravitasi potensial berperan untuk menahan tanah agar tetap berada dalam posisi sedangkan gravitasi tangensial mendorong tanah dengan searah kemiringan lereng. Kedua komponen ini dapat berperan menentukan kestabilan lereng terkait gaya yang dimiliki pada suatu massa tanah maupun batuan.

Selain faktor gaya gravitasi, kestabilan lereng juga dipengaruhi oleh faktor – faktor antara lain:

1. Topografi

Topografi di dalamnya menyangkut kemiringan lereng, panjang lereng maupun bentuk lereng. Keadaan morfologi suatu daerah akan mempengaruhi kemantapan lereng. Hal ini disebabkan

(16)

16 karena morfologi sangat menentukan laju erosi, pengendapan, menentukan arah aliran tanah dan air permukaan dan mempengaruhi pelapukan batuan.

Lereng akan mempengaruhi bidang gelincir yang menyebabkan tanah longsor. Kemiringan lereng berkaitan dengan besar kecilnya sudut lereng yang mempengaruhi besar kecilnya daya dorong tanah. Semakin besar sudut kemiringan lereng maka akan semakin kecil daya hambat lereng sehingga lereng akan menjadi tidak stabil karena akan mudah terjadi pergerakan.

2. Geologi

Karakteristik geologi di suatu daerah akan mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap perubahan permukaan bumi untuk mencapai suatu kesetimbangan. Faktor-faktor geologi yang mempengaruhi kestabilan lereng adalah litologi, stratigrafi dan struktur geologi.

Struktur geologi yang mempengaruhi kestabilan lereng adalah seperti komposisi lapisan, dan formasi susunan batuannya. Karakteristik batuan penyusun pada batu lempung mempunyai karakteristik kedap air, lengket dan licin apabila basah. Pada massa tanah dengan karakter demikian akan mudah tergelincir dan mengalami keruntuhan akibat kondisi lereng yang labil.

Batuan endapan gunung api dan batuan sedimen berukuran pasir dan campuran antara kerikil, pasir, dan lempung umumnya kurang kuat. Batuan tersebut akan mudah menjadi tanah bila mengalami proses pelapukan dan umumnya menjadi sangat labil dan rentan mengalami keruntuhan bila terdapat pada lereng yang terjal.

Sesar dapat menyebabkan tanah menjadi tidak stabil pada lereng tertentu. Zona sesar merupakan zona batuan yang mengalami penghancuran disebabkan pergeseran batuan pada bidang patahan. Pada zona sesar tersebut daya tahan menjadi lemah, sehingga lebih

(17)

17 mudah mengalami proses pelapukan, erosi sehingga kestabilan terganggu.

Geologi di suatu daerah sangat mempengaruhi keadaan hidrologi tanah. Air hujan masuk ke dalam tanah dan berakumulasi hingga mengalami kejenuhan. Ketika akumulasi air tersebut terdapat pada lapisan lunak dan keras yang berselang seling akan membuat massa tanah menjadi tidak stabil. Zona bidang batas tanah dan batuan dasar dapat menjadi bidang gelincir pada saat gerakan apabila air tanah menjadi jenuh dengan arah kemiringanya searah dengan kemiringan lereng.

Aktivitas kegempaan mengakibatkan getaran dapat menimbulkan tanah menjadi retak. Getaran yang terjadi biasanya diakibatkan oleh gempabumi, ledakan, getaran mesin, dan getaran lalulintas kendaraan. Akibat yang ditimbulkannya adalah tanah, badan jalan, lantai, dan dinding rumah menjadi retak dan lereng menjadi tidak stabil.

3. Hidrologi

Curah hujan sebagai variabel iklim dapat mempengaruhi kondisi hidrologi tanah setelah air hujan teresap ke dalam tanah. Air yang teresap dapat mempengaruhi tinggi rendahnya permukaan air tanah (water table) yang dapat menyebabkan kejenuhan sehingga beban tanah meningkat. Adanya infiltrasi air hujan pada tanah, mengakibatkan perubahan kadar air tanah. Bila kadar air berubah maka pada umumnya derajat kejenuhan tanah juga mengalami perubahan.

Suatu massa tanah terdiri dari butiran tanah dan ruang pori diantara butiran tanah. Dimana ruang pori ini dapat terisi oleh air atau udara atau gabungan antara keduanya. Bila seluruh ruang pori terisi oleh air maka massa tanah berada pada kondisi jenuh sehingga lereng menjadi tidak stabil.

(18)

18 Perubahan angka pori dengan bertambahnya kadar air tanah akibat adanya infiltrasi air hujan mengakibatkan terjadi perubahan volume tanah dimana tanah akan mengembang. Pada kondisi ini tanah sudah banyak mengandung air dalam pori - pori tanahnya, adanya air dalam pori tanah akan menyebabkan jarak antar butiran tanah akan menjadi lebih jauh, bidang geser antar partikel tanah lebih besar sehingga tanah akan mengembang (Hasrullah, t.t).

Selain mempengaruhi kondisi hidrologikal tanah juga akan memicu lereng menjadi labil akibat gerusan air hujan pada bagian lapisan tanah yang lemah. Peningkatan kadar air tanah dapat memperbesar debit air tanah dan erosi di bawah permukaan (Zakaria, t.t).

4. Penggunaan lahan

Lereng yang tidak stabil sering terjadi di daerah tata lahan yang terbuka antara lain persawahan, perladangan, dan adanya genangan air pada lereng yang terjal. Pada lahan persawahan berteras, adanya genangan air membuat penambahan beban pada lereng dan perakaran tanaman pada umumnya kurang kuat untuk mengikat butir tanah. Akibatnya tanah menjadi lembek dan jenuh dengan air sehingga tanah menjadi sangat labil.

Vegetasi sangat mempengaruhi kekuatan lereng. Terutama posisi tanaman keras dan kerapatannya. Adanya akar sebagai pengikat agregat tanah dapat mengurangi gerakan tanah pada lereng. Daerah perladangan akar pohon tidak dapat menembus bidang longsoran yang dalam sehingga pengikatan tanah tidak maksimal sehingga tanah mudah bergerak.

Tumbuhan dapat mengurangi tekanan pori dalam lereng karena adanya proses evapotranspirasi, selain itu akar dapat mengikat partikel tanah di permukaan dan menambah kekasaran permukaan, sehingga dapat mengurangi kemudahan erosi dan memperkuat lereng dapat mencegah adanya longsoran dangkal.

(19)

19 Greenway (1987, dalam Anderson and Richards, 1989) vegetasi sangat mempengaruhi stabilitas lereng karena adanya hubungan dasar mekanisme yaitu hidrologikal dan mekanikal. Hidrologikal muncul adanya gangguan terhadap siklus hidrologi misalnya penurunan kandungan air dalam tanah akan menyebabkan pengerutan tanah yaitu timbulnya pecahan atau rekahan yang dapat menambah kapasitas infiltrasi.

Mekanikal muncul dari interaksi antara sistem daun dan perakaran dari tumbuhan tersebut. Salah satunya adalah akar yang menembus lapisan tanah dapat menahan lapisan tanah atas sebagai penopang, berat pohon memberikan beban pada lereng sehingga dapat menambah komponen gaya normal.

5. Aktivitas manusia

Aktivitas manusia tidak selamanya bersifat membangun bagi lingkungan disekitarnya. Bahkan sebagian besar aktivitas dari mereka adalah bersifat destruktif tanpa mengindahkan ancaman yang akan terjadi. Perluasan lahan di daerah perbukitan maupun pegunungan untuk keperluan pembangunan permukiman maupun jalan dapat menimbulkan resiko longsoran akibat lereng yang tidak stabil.

Penimbunan tanah pada lembah belum terpadatkan sempurna seperti tanah asli yang berada di bawahnya sangat stabil. Apabila hujan akan terjadi penurunan tanah yang kemudian diikuti dengan retakan tanah dan sangat mudah mengalami keruntuhan. Penambahan beban seperti beban bangunan pada lereng, dan kendaraan akan memperbesar gaya pendorong terjadinya keruntuhan, terutama di sekitar tikungan jalan pada daerah lembah. Akibatnya adalah sering terjadinya penurunan tanah dan retakan yang arahnya kearah lembah. Kegiatan pemotongan lereng (cut and fill) jika tanpa perencanaan dapat menyebabkan perubahan keseimbangan tekanan pada lereng (Zakaria, t.t).

(20)

20 Gerakan massa pada dasarnya terjadi pada lereng yang tidak stabil. Tanah atau batuan dalam keadaan tidak terganggu (alamiah), umumnya berada dalam kondisi yang seimbang terhadap gaya – gaya yang timbul dari dalam. Pada suatu waktu tanah atau batuan mengalami perubahan keseimbangan akibat pengangkatan, penurunan, penggalian, penimbunan, maupun proses perubahan lainnya, maka akan berusaha untuk mencapai keadaaan yang baru secara alamiah.

Tingkat kerentanan gerakan massa tanah merupakan tingkat potensi atau kecenderungan suatu lereng untuk bergerak. Kerentanan gerakan massa tanah di suatu daerah dapat dilakukan pemodelan dengan sistem informasi geografi berdasarkan kestabilan lereng yang dianalisis dari data - data hasil survei dan kompilasi data – data sekunder berupa peta – peta yang berkaitan dengan karakteristik fisik daerah pemetaan.

Hasil pemodelan berupa peta kerentanan gerakan tanah yang mempresentasikan potensi terjadinya gerakan massa berdasarkan tingkat kestabilan lerengnya. Informasi dari peta kerentanan gerakan massa tanah tersebut dapat digunakan sebagai informasi awal untuk analisa resiko dan penanggulangan bencana serta sebagai acuan dasar untuk pengembangan wilayah.

Pemetaan tingkat kerentanan gerakan massa tanah di dalam setiap satuan pemetaan harus diketahui secara jelas kondisi dan karakteristiknya. Untuk mengetahui hal tersebut diperlukan satuan pemetaan yang dapat menampakkan kekompleksitasnya yaitu satuan medan. Medan merupakan kenampakan pada lahan yang kompleks dengan atribut sifat fisik di permukaan bumi dan di dekat permukaan bumi (Zuidam and Cancelado, 1979). Menurut Dibyosaputro (1992) pemetaan daerah bahaya longsorlahan dapat digunakan metode pengharkatan antara parameter – parameter lahan di setiap satuan lahan.

(21)

21 1.5.2. Penelitian Sebelumnya

Penelitian untuk mengetahui persebaran daerah rawan longsor telah dilakukan oleh Sidik (2010). Dengan menggunakan model deterministik dapat menilai tingkat keakuratan SINMAP untuk memprediksi tingkat kerawanan longsor serta mengetahui tingkat kerawanan longsor yang dominan di daerah kajian penelitiannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model SINMAP dapat memprediksi kerawanan longsor hingga mencapai keakuratan 79% dan di daerah penelitian diketahui dominasi daerah dengan tingkat kerawanan longsor sedang hinga sangat tinggi.

Penelitian untuk mengetahui tingkat kerentanan gerakan tanah di daerah Patuk, Gunung Kidul, yang dilakukan oleh Marjuki (2010) dengan metode skoring menghasilkan 3 tingkat kerentanan yaitu rendah dengan luas 10,95%, rendah 84,48% dan tinggi seluas 4,57%. Selain itu dilakukan pula penelitian mengenai pola keruangan titik longsor dengan memploting titik sebaran longsor kemudian dlakukan analisis tetangga terdekat dengan hasil diketahui 0 – 0,7 merupakan pola mengelompok, 0,7 – 1,4 pola tersebar tidak merata, 1,4 – 2,149 adalah pola tersebar merata. Penelitian dilakukan dengan metode validasi, yaitu overlaying peta kerentanan longsor dengan peta sebaran titik longsor diketahui terdapat titik longsor dengan tingkat kerentanan rendah 4 titik, 48 titik sedang dan 9 titik tinggi. Dengan mentabulasi hasil overlay dengan menggunakan 6 parameter diketahui memiliki tingkat keakuratan yang belum baik.

Tingkat kerentanan longsor di Kecamatan Bulu Kabupaten Temanggung telah dilakukan oleh Ningsih (2005) dengan menggunakan metode pembobotan pada setiap faktor yang digunakan dan analisis deskriptif kualitatif untuk mengetahui keterkaitan anatara derah kerentanan longsor dengan bentuk penggunaan lahan. Hasil dari penelitian tersebut diketahui bahwa Kecamatan Bulu memiliki tingkat kerentanan longsor rendah hingga sedang. Berdasarkan analisisi yang digunakan

(22)

22 diketahui pula bahwa sawah adalah bentuk penggunaan lahan paling dominan di daerah kerentanan longsor.

Sumariyatun (2002) telah menganalisis medan terhadap variasi tipe gerakan massa tanah di suatu daerah aliran sungai. Tujuan dari penelitiannya adalah untuk mengetahui distribusi kenampakan dan tipe dari kejadian massa gerakan tanah serta pola persebarannya dengan mengidentifikasi fariasi medan dan karakter faktor – faktor penyusun medan. Berdasarkan metode survey lapangan penelitian yang dilakukan diperoleh hasil bahwa di daerah kajiannya diketahui tipe gerakan massa tanah dipengaruhioleh erosi karena perbedaan kemiringan lereng, kadar air dan penggunaan lahan. Gerakan massa tanah di daerah penelitiannya banyak terpolakan di daerah dengan klas kemiringan V dengan 9 kejadian.

1.6. Kerangka Pemikiran

Gaya yang bekerja pada suatu massa tanah maupun batuan dapat menghasilkan keruntuhan. Gaya – gaya tersebut dapat berasal dari dalam maupun gaya luar yang menghasilkan tegangan dan regangan yang menimbulkan adanya suatu tekanan geser dan hambatan geser. Perbedaan nilai tekanan dan hambatan geser mengakibatkan lereng mengalami perubahan keseimbangan.

Lereng secara langsung akan berhubungan dengan kondisi curah hujan sebagai penentu iklim, geologi, morfologi dan hidrologi tanah serta aktivitas manusia yang melibatkan perubahan lahan yang ada di dalamnya. Sehingga kondisi lereng sangat dipengaruhi oleh karakteristik sifat fisik pada setiap medannya.

Perubahan - perubahan yang terjadi pada suatu lereng, baik secara cepat maupun lambat, akibat dari interaksi dengan parameter – parameter tersebut dapat mengakibatkan terjadinya mekanisme gerakan. Perubahan-perubahan ini bisa berlangsung alami atau dipengaruhi oleh aktivitas manusia dan menyebabkan gangguan kepada kesetimbangan lereng untuk cenderung bergerak. Ketidakstabilan lereng memicu terjadinya pergerakan massa tanah

(23)

23 yang bergerak pada suatu bidang luncur dengan arah tegak, mendatar maupun miring. Bergeraknya massa tanah akibat tidak stabilnya lereng dipengaruhi dengan karakteristik fisik pada setiap satuan medan.

Satuan medan merupakan satuan terkecil yang mencerminkan pada karakteristiknya yaitu bentuklahan, lereng, tanah dan penggunaan lahan. Diketahuinya kondisi dari parameter – parameter tersebut maka dapat mengetahui seberapa besar tingkat kestabilan lereng yang berpotensi menimbulkan kelongsoran. Tingkat potensi atau kecenderungan suatu lereng untuk bergerak umumnya disebut sebagai tingkat kerentanan. Tingkat kerentanan dapat dikaji melalui identifikasi dan analisis berbagai aspek yang mempengaruhi kondisi kestabilan suatu lereng, dan dapat diwujudkan dalam suatu peta zona kerentanan.

Pemetaan sebaran atau agihan - agihan kerentanan gerakan massa tanah mendasarkan pada pengharkatan antara pengaruh kualitas medan terhadap kerentanan gerakan massa, yaitu relief, tanah, penggunaan lahan dan bentuklahan. Agihan kerentanan gerakan massa mempergunakan satuan medan sebagai satuan pemetaannya dengan pertimbangan bahwa satuan medan merupakan satuan pemetaan detail yang dapat menggambarkan kondisi geomorfologis secara jelas.

(24)

24 Keterangan:

: input

: proses : output

Gambar 1.8 Diagram Kerangka Pemikiran Massa tanah / batuan

Kondisi fisik satuan medan (iklim, geologi, morfologi, hidrologi tanah,

aktivitas manusia) Gaya

Terjadi tekanan dan hambatan geser pada massa tanah/ batuan

Perubahan kondisi mekanik dan fisik massa

tanah/ batuan

Tingkat kerentanan gerakan massa tanah tiap

satuan medan Massa tanah berpotensi untuk bergerak/ longsor Lereng tidak stabil

Keseimbangan massa tanah/ batuan pada lereng terganggu

(25)

25 Tabel 1.2 Perbandingan Penelitian Sebelumnya

Peneliti Judul Penelitian Tujuan Penelitian Metode Hasil Peneitian

Sidik, 2010 Analisis Stabilitas Lereng untuk Zonasi Daerah Rawan Longsor di DAS Secang

Kulonprogo dengan Menggunakan Model Deterministik.

- Mengetahui persebaran daerah rawan ongsor di daerah penelitian. - Menilai keakuratan

SINMAP dalam

menentukan daerah rawan lonsor.

- Analisis kulitatif dan kuantitatif.

- Analisis komparatif.

-Diketahui DAS Serang didominasi oleh daerah dengan tingkat kerawanan longsor sedang hingga sangat tinggi

-Hasil validasi menggunakan success rate menunjukkan model SINMAP mampu memrediksi tingkat kerwanan longsor dengan nilai keberhasilan mencapai 79%. Marjuki, 2010 Tingkat Kerentanan

Longsor dan Pola Keruangan Titik Longsor di Kecamatan Patuk Kabupaten Gunung Kidul.

- Mengetahui kerentanan longsor di daerah peneitian. - Mengetahui pola keruangan titik longor yang terdapat di daerah penelitian.

- Mengetahui tingkat ketepatan peta keretanan longsor berdasarkan pola keruangan longsor di daerah penelitian.

- Metode skoring.

- Metode analisis tetangga terdekat dengan memploting titik sebaran longsor untuk mengetahui pola keruangan longsor.

- Metode validasi dengan mengoverlay peta tingat kerentanan longsor dengan peta sebaran titik longsor

-Hail skoring diketahui terdapat 3 tingkat kerentanan longsor di daerah penelitian dengan luas 4,57% kerentanan tinggi, 84,48% sedang dan 10,95% rendah.

-Pola keruangan diketahui ada 3 kelompok, 0 – 0,7 pola mengelompok, 0,7 – 1,4 pola tersebar tidak merata, 1,4 – 2,149 pola tersebar merata.

-Diketahui tingakat keakuratan peta kerentanan belum baik dengan analisis tabulasi yang menggunakan 6 parameter longsor.

Ningsih, 2005 Tingkat Kerentanan Longsor di Kecamatan Bulu Kabupaten Temanggung. - Mengkaji tingkat kerentanan longsor di daerah penelitian.

- Mengkaji keterkaitan antara tingkat kerentanan longsor dan bentuk penggunaan lahan di daerah penelitian.

- Metode survey.

- Analisis tingkat kerentanan longsor menggunakan

pembobotan pada setiap faktor. - Analisis deskriptif kualitatif

berdasarkan table dan grafik hubungan antara kerentanan longsor dan bentuk

penggunaan lahan.

- Diketahui Kecamatan Bulu memiliki tingkat kerentanan longsor rendah hingga sedang. - Penggunaan lahan paling dominan di daerah

rentan mengalami longsoran adalah sawah. - Kerentanan longsor akan semakin

bertambah akibat perubahan kemiringan lereng karena penggunaan lahan.

(26)

26 Lanjutan Tabel 1.2 Perbandingan penelitian sebelumnya

Peneliti Judul Penelitian Tujuan Penelitian Metode Hasil Peneitian

Sumariyatun, 2002

Analisis Medam Terhadap Variasi Tipe Gerakan Massa Tanah di Daerah Aliran Sungai Sitelogo Kecamatan Kajoran Kabupaten Magelang Jawa Tengah - Identifikasi varaiasi medan dan karakter faktor – faktor penyusun medan.

- Mengetahui distribusi kenampakan dan tipe dari kejadian gerkan massa.

Mengetahui keterkaitan antara faktor –faktor medan dengan tipe gerak massa.

Metode digunakan adalah survey lapangan dengan metode pengambilan sampel purposive sampling.

- Tipe gerakan massa tanah terbanyak dipengaruhi oleh erosi alur dan parit. - Faktor pengaruh gerakan massa adalah

kemiringn lereng dan tanah terutama kadar air dan perubahan penggunaan lahan. Gerakan tanah dari faktor komponen medan terbanyak dijumpai pada klas lereng V (9 kejadian). Alhakim, 2013 Pengaruh Kestabilan Lereng Terhadap Kerentanan Gerakan Massa Tanah di Sub DAS Progo Hulu Kabupaten Temanggung - Mengetahui tingkat kestabilan lereng di daerah penelitian - Mengetahui pengaruh

tingkat kestabilan lereng terhadap gerakan massa tanah

- Mengetahui pola sebaran kerentanan gerakan massa di daerah penelitian.

- Analisis kuantitif dengan memberikan bobot pada masing – masing parameter kestabilan lereng - Analisis kualitatif

hubungan parameter kestabilan lereng dengan parameter fisik yang memepengaruhi kerentanan gerakan massa.

- Analisis spasial utnuk mengathui pola agihan kerentanan gerakan massa

- Sub DAS PrgoHulu sebagian besar memilki tingkat kestabilan lereng sedang, diikuti dengan tingkat tinggi, tingkat kestabilan rendah dengan luas terkecil.

- Kerentanan gerakan massa tanah sangat dipengaruhi oleh kestabilan lereng rendah dengan tingkat curah hujan tinggi hingga sangat tinggi dan lahan yang ada didominasi oleh fenomena fisik yang terjadi secara intensif.

- Agihan kerentanan gerakan massa tanah sebagian besar memilki tingkat kerentanan sedang, diikuti kerentanan tinggi dan sebagian kecil memilki tingkt kerentanan rendah. Sebaran agihan dipengaruhi adanya fenomena fisik yang terjadi secara intensif.

Gambar

Tabel 1.1 Jenis Gerakan Tanah dan Batuan Menurut Varnes (1978)
Gambar  1.1  Ilustrasi  Gerakan  Tanah  Berupa  Jatuhan  Batuan  Menurut  Varnes (Hardiyatmo, 2006)
Gambar 1.2 Ilustrasi Robohan Batuan (Hardiyatmo, 2006)
Gambar 1.7 Komponen Gaya Gravitasi pada Lereng (Zakaria, t.t)  Pada  lereng,  gaya  gravitasi  terdiri  atas  dua  komponen  yaitu  gravitasi potensial (gp) bergerak tegak lurus dengan kemiringan lereng dan  gravitasi  tangensial  (gt)  yang  bergerak  sea
+2

Referensi

Dokumen terkait

Perbedaan sumberdaya yang dimiliki oleh suatu negara menyebabkan negara tersebut berusaha menghasilkan komoditas dengan biaya yang relatif lebih murah ketimbang harus mengimpor

Setelah penentuan hari pelaksanaan Ngusaba Dodol, diutuslah saye (petugas yang ditunjuk pada saat sangkep), yang bertujuan untuk menginformasikan kepada masyarakat

Pada tingkat kabupaten/kota, faktor yang mempengaruhi penderita filariasis di Provinsi NAD adalah jarak ke sarana pelayanan terdekat, jarak yang diperlukan untuk

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Ekstrak Etanolik Herba Ciplukan memberi- kan efek sitotoksik dan mampu meng- induksi apoptosis pada sel kanker payudara MCF-7

Perbandingan kandungan nutrisi kulit buah Kakao tanpa fermentasi dan kulit buah Kakao yang difermentasi dengan Aspergillus niger dapat dilihat pada tabel 1.. Kandungan nutris

Faktor-faktor yang mempengaruhi sound absorption adalah kerapatan kayu, modulus elastisitas, kadar air, temperatur, intensitas dan frekuensi dari suara, serta kondisi pada

Pada penelitian ini tidak dilakukan analisis awal terhadap Zn – tersedia tanah, dan pada penelitian ini juga dilakukan pemupukan Zn dengan dosis maksimal (10 kg/ha),