Skripsi:
Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Oleh: WAHIB AKMAL
E83212117
JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
ABSTRAK
Nama : Wahib Akmal NIM : E83212117
Judul Kontekstualisasi Makna Ka>ffah dalam Perspektif Islam (Kajian Tematik
Penafsiran Muh}ammad ‘Abduh, Must}afa> al-Mara>ghi> dan Wahbah
al-Zuh}ayli> melalui Pendekatan Semantik/Linguistik)
Penelitian ini berawal dari banyak munculnya kekerasaan bersosialisasi di masyarakat yang mengatasnamakan kelompok-kelompok dalam agama Islam. Mereka menjadikan al-Qur’an dan hadis sebagai penguat hujjah mereka dalam
beradu argumen dengan kelompok selain mereka sekaligus tameng terhadap
segala manuver yang ditujukan kepada mereka atas sifat keras dan intolerannya terhadap setiap ikhtilaf yang mendera khalayak.
Masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah 1.) Bagaimana analisis
penafsiran dari “Islam Kaffah” menurut tiga mufassir yakni Muh}ammad ‘Abduh,
Must}afa al-Mara>ghi> dan Wahbah al-Zuh}ayli>?, 2.) Bagaimana konstekstualisasi
“Isla>m Ka>ffah” dalam perspektif al-Qur’an di era kontemporer?
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis data penafsiran menurut
beberapa mufasir, di antaranya Muh{ammad ‘Abduh, Must}afa> al-Mara>ghi> dan
Wahbah al-Zuh{ayli> sebagai salah satu wakil dari sekian banyak mufasir
kontemporer yang produk penafsirannya telah beradaptasi dengan keadaan sosial-histori di masyarakat era modern tanpa memarginalisasi pendapat mufasir klasik. Disamping itu penulis juga akan mengkontekstualkan pendapat ketiga mufasir tersebut melalui pendekatan semantik/linguistik.
Dalam menjawab permasalahan tersebut, penelitian ini dilakukan
berdasarkan kepustakaan (library research) dengan menggunakan metode
penyajian secara deskriptif dan analitis. Sesuai dengan tujuan tersebut, data primer yang digunakan berasal dari penjelasan-penjelasan penafsiran oleh beberapa
mufasir dalam kitab tafsirnya, serta data sekunder yang berasal dari buku-buku
yang relevan dengan penelitian ini.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa ketiga mufasir tersebut di atas
mempunyai pemahaman yang hampir sama terkait makna “Isla>m Ka>ffah” itu
sendiri. Persamaan yang paling mencolok yakni mereka mendengungkan
asas-asas persatuan sebagai dianggapnya seseorang masuk dalam kategori “Ka>ffah”.
Begitupun sebaliknya, mereka yang sukanya berselisih atau yang senantiasa membuat orang lain bercerai-berai, justru sebenarnya mereka-lah yang telah mengikuti langkah-langkah setan, sedangkan orang-orang yang mengikuti
langkah-langkah setan bukanlah termasuk dari pemeluk “Isla>m Ka>ffah”.
Sebagaimana yg telah dijelaskan diakhir surat al-Baqarah:208 yang berbunyi ﻻ َو
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 16
C.Rumusan Masalah ... 18
D.Tujuan penelitian ... 18
E. Telaah Pustaka ... 18
F. MetodePenelitian ... 19
G.Sistematika Pembahasan ... 22
BAB II : TINJAUAN KAFFAH DAN SEMANTIK DALAM DEFINITIF A.Potret Sekilas Tentang Kaffah ... 23
B. Semantik/Linguistik ... 28
BAB III : PENAFSIRAN MUHAMMAD ABDUH, AL-MARAGHI, DAN WAHBAH ZUHAILI TERHADAP AYAT-AYAT TENTANG KAFFAH A.Ayat dan Terjemahannya ... 37
B. Biografi dan Karakteristik Kitab Tafsirnya ... 38
BAB IV : ANALISIS AYAT-AYAT TENTANG KAFFAH
1. Kaffah Dalam Tinjauan Semantik/Linguistik Dikaitkan dengan Keadaan
Sosial-Budaya Masyarakat Era Kontemporer ... 65
BAB V : PENUTUP
A.Kesimpulan ... 78 B. Saran ... 80
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Islam merupakan satu dari tiga agama samawi yang dibawa oleh Nabi
Muhammad SAW. sebagai agama terakhir yang menyempurnakan agama-agama terdahulu. Di dalamnya terkandung semua unsur kehidupan manusia, baik dalam aspek duniawi maupun ukhrawi. Dalam QS. al-Qashas:77 dijelaskan bahwa Islam
tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan (Habl min Alla>h)
yang dilaksanakan melalui ritual ibadah berupa salat, puasa, zakat, haji, dan ibadah lainya, melainkan Islam juga mengatur hubungan antara manusia dengan
manusia (Habl min al-Na>s), hubungan manusia dengan lingkungan sekitar (Habl
min al-‘A<lam), yang dalam hal ini erat hubungannya dengan sistem sosial
masyarakat, budaya, politik, hukum, teknologi, dan sebagainya.1 Di sini, Islam
memberikan dasar-dasar, norma-norma, prinsip-prinsip, dan nilai-nilai kehidupan yang harus diterapkan, dan dari sini pula Islam akan terus berkembang sesuai
dengan zaman dan budaya dimana Islam itu hadir.2
Pada konteks ini, Islam dapat berperan dalam kehidupan manusia dari segala aspek permasalahan yang dihadapi oleh manusia, baik permasalahan krisis manusia itu sendiri atau sebaliknya karena Islam memberikan semua yang dibutuhkan oleh manusia jika dipahami, dihayati dan diamalkan secara menyeluruh, yang dalam bahasa agamanya yaitu masuk ke
1
Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, (Jakarta: Kencana, 2011), 5
2
dalam Islam secarah Ka>ffah (total) sehingga dari sana akan melahirkan sikap dan akhlak yang mulia.
Nabi Muhammad SAW. telah meninggalkan dua pusaka penting untuk umatnya, yang dengannya umat Islam menjalani kehidupan keberagamaan, sosial kemasyarakatan, ekonomi, politik dan sebagainya dengan nilai-nilai yang telah disediakan di dalamnya. Adapun dua pusaka penting tersebut
adalah al-Qur’a>n dan al-Sunnah.3 Eksistensi al-Qur’an sudah teruji dan tidak
diragukan lagi sebagai sumber utama dalam Islam. Namun demikian, karena al-Qur’an merupakan kitab yang berbagai penjelasnnya masih global, maka perlu adanya interpretasi secara proporsional dan kontekstual agar dapat diserap dan
diamalkan sesuai dengan value yang terdapat di dalamnya untuk menjawab
permasalahan di era kontemporer yang dinamis.4
Al-Qur’an sendiri adalah wahyu yang diturunkan Allah kepada nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril, untuk disampaikan kepada umat Islam, dan al-Qur’an adalah sebagai pedoman aturan kehidupan bagi umat Islam yang
bersifat historis dan normatif.5 Ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat historis dan
normatif tidak semua dapat dipahami secara tekstual saja, karena banyak dari ayat-ayat al-Quran yang masih mempunyai makna yang luas (abstrak) dan perlu untuk ditafsirkan lebih dalam, agar dapat diambil sebuah hukum ataupun hikmah yang dapat dipahami dan diamalkan oleh seluruh manusia secara umum dan umat Islam secara khusus.
3
Egi Sudjana, Islam Fungsional, (Jakarta: Rajawali, 2008), 23. 4
Ibid. 5
Al-Qur’an juga sebagai aturan yang menjadi penentu dasar sikap hidup manusia, dan membutuhkan penjelasan-penjelasan yang lebih mendetail, karena pada zaman sekarang banyak permasalahan-permasalahan yang kompleks, dan tentunya tidak sama dengan permasalahan-permasalahan yang ada pada
zaman nabi Muhammad SAW.6
Al-Qur’an juga merupakan kitab suci yang tiada henti menjadi obyek pembicaraan dan senantiasa bergerak secara dinamis selama kurun waktu 14 abad yang lalu hingga sampai sekarang. Hal ini dikarenakan fungsi dan peran al-Qur’an
yang unik dan menarik dari semua aspek, seperti yang dikatakan Nashr Hami>d
Abu> Zayd ”Islam Adalah Peradaban Teks”. Statemen ini mendapat ruang yang
positif dalam melihat fenomena dan fakta di lapangan akhir-akhir ini.
Al-Qur’an diyakini sebagai pedoman hidup umat manusia, tapi di samping menjadi pedoman kehidupan, perdamaian, dan tuntunan moralitas demi keselamatan dunia-akhirat bagi individu dan sosial. Di sisi yang lain, al Qur’an seperti dikatakan Ahmad Fuad Fanani menjadi dituduh sebagai penyebab konflik, kekerasan dan kekacauan umat manusia. Hal ini tidak terlepas dari proses interpretasi terhadap teks al Qur’an yang beragam dan berbeda-beda di kalangan
umat Islam yang menimbulkan egoismenya masing-masing serta
mengatasnamakan kebenaran. Maksudnya, perbedaan itu sering berujung pada pemberian vonis kesalahan terhadap orang lain yang tidak sepaham sehingga memunculkan klaim kebenaran antar kelompok yang sama-sama mengakui
interpretasinya yang paling benar dan menganggap yang lain jauh dari kebenaran, baik dari dimensi teologis maupun sosiologis.
Fenomena tersebut tak lain di karenakan adanya perbedaan dalam suatu penafsiran kelompok-kelompok tertentu. Hingga penafsiran tersebut
dianggapnya sudah paten dan tidak bisa diubah lagi. Padahal, penafsiran itu
sifatnya relatif dan tentatif. Teks al-Qur’an yang dianggap statis dan konteksnya
yg dianggap dinamis.7
Kajian al-Qur’an sebenarnya selalu mengalami perkembangan yang dinamis seiring dengan akselerasi perkembangan kondisi sosial-budaya dan peradaban manusia. Hal ini terbukti dengan munculnya karya-karya tafsir, mulai dari klasik hingga kontemporer, dengan berbagai corak, metode, dan pendekatan yang digunakan.
Keinginan umat islam untuk selalu mendialogkan al-Qur’an sebagai teks yang terbatas dengan problem sosial kemanusiaan yang tak terbatas merupakan spirit tersendiri bagi dinamika kajian tafsir al-Qur’an. Hal ini karena al-Qur’an meskipun turun di masa lalu dengan konteks dan lokalitas sosial budaya tertentu, ia mengandung nilai-nilai universal yang akan selalu relevan untuk setiap zaman dan tempat. Karena itu, di era modern-kontemporer dewasa ini, al-Qur’an
7
harus ditafsirkan sesuai dengan tuntutan zaman.8 Dengan kata lain sebagai orang yang hidup di era kontemporer dewasa ini, kita tidak perlu menggunakan kacamata orang terdahulu dalam menafsirkan al-Qur’an. Sebab, jika problem-problem kontemporer dewasa ini harus dipecahkan dengan menggunakan metode orang-orang terdahulu yang jelas berbeda dengan problem yang kita hadapi sekarang ini maka hal itu merupakan suatu kemunduran. Sudah barang tentu hal itu menuntut adanya epistemologi baru yang sesuai dengan perkembangan situasi
sosial, budaya, ilmu pengetahuan, dan peradaban manusia.9
Konsekuensinya, mengembangkan metodologi dan epistemologi tafsir kontemporer merupakan keniscayaan sejarah yang tidak dapat dihindari. Apalagi dalam peta pemikiran ilmu-ilmu keislaman, persoalan metodologi tafsir –yang notabene adalah seperangkat konsep dan teori, proses dan prosedur untuk mengembangkan tafsir– merupakan ilmu yang belum matang sehingga selalu terbuka untuk di perbarui dan di kembangkan. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan
jika di katakan bahwa merumuskan epistemologi dan metodologi tafsir “baru” di
era modern-kontemporer dapat di pandang sebagai upaya pengembangan tafsir dalam rangka merespons tantangan zaman, mengingat pengembangan tafsir tidak
dapat di lepaskan dari persoalan epistemologi dan metodologi itu sendiri.10
Dalam surat al-Baqarah ayat 208 (Masuklah kalian ke dalam Islam
secara utuh) sebagai contoh terletak variabel-variabel perbedaan pendapat sangat
8Muh}ammad Shahru>r
, al-Kita>b wa al-Qur’a>n: Qira>’ah Mu’a>shirah, (Damaskus: Ahali li ‘an-Nashr wa at-Tawzi’, 1992), 33
9
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LkiS Printing Cemerlang, 2010), 2
fundamental di antara kaum muslimin dalam melakukan interptretasi terhadap
makna Ka>ffah dalam ayat tersebut.11
Bagi mereka yang terbiasa dengan formalisasi, tentu digunakan
penterjemahan kata “Ka>ffah” yang di kaitkan dengan sistem Islami. Dengan
demikian mereka terikat kepada sebuah sistem yang dianggap mewakili keseluruhan perwujudan ajaran Islam dalam kehidupan sebagai sesuatu yang biasa dan lumrah. Hal ini membawakan implikasi adanya keperluan akan sebuah sistem yang dapat mewakili keseluruhan aspirasi kaum muslimin. Di sisi lain, kita juga harus menghormati hak mereka yang justru mempertanyakan kehadiran sistem islami tersebut, yang secara otomatis akan membuat mereka yang tidak beragama Islam sebagai warga dunia yang kalah dari kaum muslimin dan menjadi warga
negara kelas dua.12
Bercermin dari sebuah sabda nabi Muhammad SAW yang pernah mengatakan bahwa umat islam akan terbagi menjadi 73 golongan, nampaknya hadits tersebut di zaman elit ini telah banyak terjadi dikarenakan marak munculnya kelompok-kelompok organisasi islam yang menjelma sebagai Islam Teologi hingga berani meng-kafirkan organisasi islam lainnya. Hingga yang lebih naasnya lagi, mereka berani bertindak anarkis kepada siapapun yang dianggapnya telah melenceng dari ajaran doktrin-doktrin organisasi islamnya. Padahal Rasulullah SAW telah memberikan indikasi adanya larangan untuk meng-kafirkan
11 Asgh>ar ‘Ali> Engini>r
, Islam dan Pembebasan, terj. Hairus Salim dan Imam Baihaqi, (Yogyakarta: Lkis, 2007), 77
12
saudaranya sendiri, apalagi hingga berbuat anarkis kepada sesama muslim, itu mengacu pada hadis nabi yang mengatakan bahwa sesama muslim bersaudara.
ُﺚﻳِﺪَﺣ
ِﺪْﺒَﻋ
ﷲ
ِﻦْﺑ
َﺮَﻤُﻋ
ﻲﺿر
ﷲ
،ﺎﻤﻬﻨﻋ
ﱠنَأ
َلﻮُﺳَر
ﷲ
ﻰﻠﺻ
ﷲ
ﻪﻴﻠﻋ
ﻢﻠﺳو
َلﺎَﻗ
:
»
ُﻢِﻠْﺴُﳌا
ﻮُﺧَأ
،ِﻢِﻠْﺴُﳌا
َﻻ
،ُﻪُﻤِﻠْﻈَﻳ
َﻻَو
ُﻪُﻤِﻠْﺴُﻳ
.
ْﻦَﻣَو
َنﺎَﻛ
ِﰲ
ِﺔَﺟﺎَﺣ
،ِﻪﻴ ِﺧَأ
َنﺎَﻛ
ﷲ
ِﰲ
ِﻪِﺘَﺟﺎَﺣ
.
ْﻦَﻣَو
َجﱠﺮَـﻓ
ْﻦَﻋ
ﻢِﻠْﺴُﻣ
،ًﺔَﺑْﺮُﻛ
َجﱠﺮَـﻓ
ﷲ
ُﻪْﻨَﻋ
ًﺔَﺑْﺮُﻛ
ْﻦِﻣ
ِتَ:ُﺮُﻛ
ِمْﻮَـﻳ
ِﺔَﻣﺎَﻴِﻘﻟا
.
ْﻦَﻣَو
َﱰَﺳ
،ﺎًﻤِﻠْﺴُﻣ
ُﻩَﺮَـﺘَﺳ
ﷲ
َمْﻮَـﻳ
ﺔَﻣﺎَﻴِﻘﻟا
«
.
Abdullah bin Umar r.a. berkata: Rasulullah saw. bersabda: Seorang muslim
saudara terhadap sesama muslim, tidak menganiayanya dan tidak akan
dibiarkan dianiaya orang lain. Dan siapa yang menyampaikan hajat
saudaranya, maka Allah akan menyampaikan hajatnya. Dan siapa yang
melapangkan kesusahan seorang muslim, maka Allah akan melapangkan
kesukarannya di hari qiyamat, dan siapa yang menutupi aurat seorang
muslim maka Allah akan menutupi nya di hari qiyamat. (HR.Bukhari dan
Muslim)13
Peristiwa pengeboman di Bali yang diprakarsai oleh Amrozi dkk, (yang mengaku sebagai kelompok-kelompok islam radikalisme) tentu membuat hati umat muslim lainnya miris terhadapnya. Terbaru, peristiwa penembakan di Sarina, Jakarta semakin memperpanjang daftar ‘keburukan’ umat islam. Dengan munculnya peristiwa-peristiwa tersebut, islam di klaim oleh banyak pihak sebagai agama teroris, agama yang sadis dan tak ber-peri kemanusiaan sehingga wajib dan layak untuk dimusuhi. Kelompok islam radikalisme, meng-klaim keyakinan islam mereka-lah yang terbaik. Maka dari itu, mereka memerintahkan kepada umat islam lainnya agar senantiasa mengikuti keyakinan mereka. Mereka berkeyakinan bahwa dengan masuk islam secara utuh, membuatnya bisa menjadi muslim sejati.
13 Muh}ammad Fu’a>d ‘Abdul Ba>qi>’
Sebagaimana Firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah:208
ًﺔﱠﻓﺎَﻛ ِﻢْﻠِّﺴﻟا ِﰲ اﻮُﻠُﺧْدا اﻮُﻨَﻣآ َﻦﻳِﺬﱠﻟا ﺎَﻬﱡـﻳَأ َF
ٌﲔِﺒُﻣ ﱞوُﺪَﻋ ْﻢُﻜَﻟ ُﻪﱠﻧِإ ِنﺎَﻄْﻴﱠﺸﻟا ِتاَﻮُﻄُﺧ اﻮُﻌِﺒﱠﺘَـﺗ ﻻَو
Wahai orang-orang yang beriman! masuklah ke dalam Islam secara
keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia
itu musuh yang nyata bagimu.14
Di sisi lain, munculnya ormas-ormas baru seperti HTI (Hizbu Tahrir Indonesia) dan FPI (Front Pembela Islam) yang secara terus-menerus mendengungkan sistem syari’at islam supaya di terapkan di indonesia, nyatanya merupakan wujud atas kekecewaan mereka terhadap sistem demokrasi yang dianggap gagal membina keadilan dalam kehidupan sosial-politik umat di indonesia. Ormas-ormas ini terbentuk setelah runtuhnya rezim orde baru pada bulan mei 1998. Setelah tumbangnya orde baru inilah, kelompok-kelompok radikal islam menemukan momentum untuk melakukan akselerasi politik kultural maupun struktural. Mereka beranggapan jika muslim di Indonesia belum berani menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar, maka perlu diadakan penggalangan kekuatan dalam mengentas masalah-masalah tersebut. Awalnya, kelompok-kelompok ini hanya membudayakan demonstrasi saja dalam setiap aksinya. Tapi, lambat laun ormas-ormas ini semakin menjelma layaknya sebuah lembaga peradilan dimana mereka berhak menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Puncaknya, menjelang akhir-akhir tenggelamnya tahun 2016, mereka semakin semena-mena dengan mengkafirkan saudara mereka yang sesama muslim yang tak sependapat dengan apa yang mereka sampaikan. Ormas-ormas
14
ini senantiasa mendengungkan agar umat islam yang tak sependapat dengannya disarankan supaya masuk islam secara kaffah. Dari sini-lah, penulis merasa
tertarik untuk mengkaji lebih dalam bagaimana makna “Ka>ffah” yang sebenarnya.
Dalam hemat penulis, peristiwa di atas terjadi lantaran adanya perbedaan interpretasi atas penafsiran-penafsiran berkenaan ayat tersebut. Di sisi
lain, pemberian doktrin paten yang diterapkan oleh masing-masing kelompoknya
semakin menambah rasa teguh dan gigih dalam membela bendera panjinya masing-masing. Padahal seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa penafsiran hanya bersifat relatif dan tentatif saja. Hanya kebenaran teks al-Qur’an-lah yang dianggap statis dan mutlak.
Secara singkat, Gerakan Radikalisme kebanyakan muncul dalam kalangan agama. Di beberapa negara muslim, gerakan-gerakan radikal keagamaan justru lahir pada saat proses demokratisasi sedang di gelar. Gerakan-gerakan agama radikal di Indonesia pun juga lahir di saat proses demokratisasi sedang berjalan. Otonomi daerah sebagai refleksi dari tuntutan demokrasi misalnya, justru di tandai dengan bangkitnya literalisme-radikalisme agama seperti kehendak
untuk menerapkan “Syari’at Islam”.15
Radikalisme sendiri merupakan paham pemikiran sekelompok masyarakat yang menginginkan pembaharuan untuk hidup lebih baik namun dengan cara yang tidak benar karena dengan menghalalkan segala cara. Semakin banyak gerakan yang muncul karena persoalan agama, politik maupun yang lainnya. Sebagian besar bentuk radikalisme adalah perbuatan yang negatif untuk
15
umum. Demokrasi yang seharusnya menjadikan tatanan masyarakat semakin cair,
egaliter dan inklusif, tapi yang terjadi justru sebaliknya.16
Radikalisme di sebagian masyarakat bisa muncul karena banyak hal. Salah satunya adalah karena lemahnya pemahaman agama. Radikalisme ini merupakan sasaran yang tepat bagi orang-orang yang bertujuan menyelewengkan ajaran agama atau mengajarkan paham-paham keagamaan yang sesat. Untuk sebagian masyarakat menganggap radikalisme sebagai hal yang positif karena kepentingan mereka. Seperti pelaku terorisme yang menganggap perbuatannya merupakan hal yang positif karena dia merasa telah berjihad untuk agama yang dianutnya.
Selama ini, penulis belum pernah tahu akan kitab-kitab tafsir yang menjadi rujukan mereka dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an. Hanya saja, penulis sering mendapat kabar/berita, baik dari lisan ataupun dunia maya bahwa
kitab tafsir rujukan kaum radikalisme yakni kitab tafsir Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n karya
Sayyid al-Qut}b. Menilik dari track record beliau selama membuat kitab tersebut
yakni kala beliau tengah berada di penjara.
Sayyid al-Qut}b diadili oleh Pengadilan Militer pada tanggal 12 April
1966. Tuduhannya sebagian besar berdasarkan tulisannya “Ma’a>lim fi> al-T>{ari>q”,
di mana isinya dianggap berupaya menumbangkan pemerintahan mesir dengan
kekerasan. Kemudian, pada 21 Agustus 1966 Sayyid al-Qut}b bersama ‘Abdul
Fatta>h Isma>’i>l dan Muh}ammad Yu>suf Hawwa>sy di nyatakan bersalah dan di
16Ibid.
hukum mati. Al-Qut}b dihukum gantung bersama dua orang sahabatnya itu pada
29 Agustus 1966.17
Umej Bha>tia> (Seorang peneliti di pusat studi timur tengah, dari
Harvard Univercity, AS) menilai, tafsir Fi> Z{ila>l al-Qur'a>n menyajikan cara baru
dalam menafsirkan al-Qur’an yang belum pernah dilakukan oleh ulama-ulama
klasik. Sayyid al-Qut}b memasukkan unsur-unsur politik dan ideologi dengan
sangat serasi. Boleh dibilang, tafsir yang satu ini paling unik karena menjadikan
al-Qur’an sebagai pijakan utama untuk melakukan revolusi politik dan sosial.18
Dalam kitab tafsir Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, surat al-Baqarah:208 yang
didalamnya terdapat kata “Ka>ffah”, Sayyid al-Qut}b menilai bahwa orang-orang
mukmin harus menyerahkan diri secara total kepada Allah SWT, dalam urusan yang kecil maupun besar. Hendaklah mereka hendak menyerahkan diri dengan
sebenar-benarnya secara keseluruhan, baik mengenai tashawwur persepsi,
pandangan, pemikiran maupun perasaan, niat maupun amal, kesenangan maupun ketakutan, dengan tunduk patuh kepada Allah serta ridha kepada hukum dan qadha’-Nya, tak tersisa sedikitpun dari semua itu untuk selain Allah SWT. Pasrah yang disertai dengan ketaatan yang mantap, tenang dan ridha. Menyerah kepada tangan (kekuasaan) yang menuntun langkah-langkahnya. Mereka percaya bahwa tangan itu menuntun bagi mereka kebaikan, ketulusan dan kelurusan. Arahan dakwah kepada orang-orang yang beriman ini juga mengisyaratkan bahwa disana terdapat jiwa-jiwa yang senantiasa memberontak dengan keragu-raguan untuk melakukan ketaatan yang mutlak baik secara sembunyi maupun terang-terangan.
17
http://dakwahsyariah.blogspot.com/2011/10/sejarah-islam-sayyid-qutb.html
18Ibid
Ketika seorang mukmin mematuhi ini dengan sebenar-benarnya, berarti ia telah masuk ke alam kedamaian secara menyeluruh dan kealam keselamatan secara total.19
Beliau menambahkan bahwa “Perasaan seorang mukmin selalu berjalan bersama takdir Allah dan selalu melaksanakan ketaatan kepada Allah SWT. Perasaan ini akan menuangkan ke dalam ruhnya ketenteraman, kedamaian dan kemantapan serta penerang bagi jalannya. Oleh karena itu mereka merasakan kedamaian dalam jiwanya sehingga ia rela berperang menhadapi musuh-musuh Allah dan musuh-musuhnya. Sebab ia berperang karena Allah, di jalan Allah, dan untuk menjunjung tinggi agama Allah SWT. Ia tidak berperang untuk mendapatkan kedudukan, harta rampasan, memenuhi ambisi, atau untuk
mendapatkan kekayaan kehidupan dunia.”20
Dari redaksi di atas, itu menjadi sebuah pertanda bahwa penafsiran
Sayyid al-Qut}b terhadap kalimat “Isla>m Ka>ffah’”menganjurkan seorang mukmin
yang taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya untuk berani berperang dengan siapapun musuh-musuhnya yang dirasa tidak taat terhadap aturan yang sudah dibuat Allah SWT dan Rasul-Nya.
Disamping itu, di dalam kitab Ibnu Katsir juga sedikit ada yang
menyinggung berkenaan “Ka>ffah”, dimana ada sebagian dari kalangan mufassirin
yang menjadikan kata “Ka>ffah” sebagai ha>l (keterangan keadaan) dari lafadz
al-da>khili>n, yakni masuklah kalian semua kedalam islam.21
19
Sayyid al-Qut}b, Tafsi>r Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, Jilid II, cet-1, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), 246
20Ibid
., 248
21Al-Hafi>z Ibnu Katsi>r
Menurut al-Ima>m‘Abdulla>h Ibn Ah}mad Ibn Mah}mu>d al-Nasafi> dalam
kitab tafsirnya yakni Tafsi>r al-Nasafi>, beliau berpendapat bahwa “salmi>” dengan
dibaca fathah sin-nya itu menurut ahli hijaz yang artinya menyerah dan taat.
Maksudnya menyerahlah kalian kehadirat Allah SWT dan taatlah kepada-Nya. atau Islam dan berarti pembicaraan ini ditujukan kepada ahli kitab, karena mereka Iman kepada nabi-Nya dan kitab-Nya, atau pembicaraan di tujukan kepada
orang-orang munafik karena mereka beriman hanya dengan lisannya. Kata “Ka>ffah”
(secara keseluruhan) artinya tak satupun dari kalian yang keluar dari taat kepada
Allah SWT, sehingga lafadz “Ka>ffah” itu menjadi ha>l dari dhomir yang ada pada
“udkhulu>” yang semakna dengan “jami>’an” yang artinya semua, atau “Kaffa>h”
menjadi ha>l dari al-silmi> karena ia muannats. Seakan-akan mereka diperintah
untuk melakukan seluruh ketaatan atau cabang-cabang Islam dan
syariat-syariatnya. Lafadz “Ka>ffah” dari kata “al-Kaffa”, seakan-akan mereka mencegah
jangan sampai seorang-pun dari mereka keluar, sebab mereka telah berkumpul.22
Melihat fenomena-fenomena di atas, penulis berkeinginan mengkaji
serta mengupas makna “Isla>m Ka>ffah” itu sendiri dengan mengacu pada beberapa
referensi yang ada. Penulis bermaksud mengkontekstualkan kata tersebut secara linguistik dengan mengambil pendapat-pendapat para mufassir yang di anggap penafsirannya masuk dalam ranah ketelitian leksikal atau ketelitian redaksinya seperti Muhammad Abduh, Mustofa al-Maraghi, dan Wahbah Zuhaili.
Mungkin kata “Kontekstualisasi” sangat jarang terdengar di telinga kita. Maka dari itu penulis akan sedikit menyinggung masalah ini. Secara etimologi, dalam bahasa latin “Kontektualisasi” ini terdiri dari 2 kata yakni “Con” yang berarti “bersama-sama”, dan “Tekstual” yang berarti “dari dokumen tertulis”. Secara terminologi, “Kontektualisasi” adalah usaha menempatkan sesuatu dalam konteksnya, sehingga tidak asing lagi, tetapi terjalin dan menyatu dengan keseluruhan seperti benang dalam tekstil. Dalam hal ini tidak hanya tradisi kebudayaan yang menentukan tetapi situasi dan kondisi sosial pun turut
berbicara.23 Sederhananya, “Kontekstualisasi” adalah tindakan atau proses
menempatkan informasi dalam konteks; membuat rasa informasi dari situasi atau lokasi di mana informasi itu ditemukan. Jadi “Kontekstualisasi Makna Kaffah”
adalah proses atau usaha menempatkan kata “Ka>ffah” itu sendiri dalam konteks
yang sebenarnya sehingga menyatu dalam arti keseluruhannya.
Sementara istilah modern dan kontemporer sendiri yang dianggap dua sisi yang berbeda tapi nyatanya sesuatu yang sama. Kontemporer berarti era masa kini, zaman sekarang, atau yang bersifat kekinian. Kontemporer lahir dari modernitas, sehinnga istilah modern dan kontemporer, meskipun merujuk pada
dua era, keduanya tidak memiliki penggalan waktu yang pasti.24 Tak ada
kesepakatan yang jelas tentang istilah kontemporer. Misalnya apakah istilah kontemporer meliputi abad ke-19 atau hanya merujuk pada abad ke-20 atau 21. Sebagian pakar berpandangan bahwa kontemporer identik dengan modern, keduanya saling saling digunakan secara bergantian. Dalam konteks peradaban
23
Rasid Rachman, Pengantar Sejarah Liturgi, (Tangerang: Bintang Fajar, 1999), 122.
24
Islam keduanya dipakai saat terjadi kontak intelektual pertama dunia Islam dengan Barat. Kiranya tak berlebihan bila istilah kontemporer disini mengacu
pada pengertian era yang relevan dengan tuntutan kehidupan modern.25
Maka dapat disimpulkan bahwa Tafsir Kontemporer ialah ‘Tafsir atau penjelasan ayat Al-Qur’an yang disesuaikan dengan kondisi kekinian atau saat ini’. Pengertian seperti ini sejalan dengan pengertian tajdid yakni ‘usaha untuk menyesuaikan ajaran agama dengan kehidupan kontemporer dengan jalan mentakwilkan atau menafsirkan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan
serta kondisi sosial masyarakat.26
Tafsir era kontemporer ini dimulai dari hadirnya tafsir al-Manar karya Muhammad Abduh, hingga banyak mempengaruhi metodologi penafsiran-penafsiran mufasir setelahnya diantaranya dua muridnya sendiri yakni al-Maraghi dan Rasyid Ridha. Gerakan pembaruan islam di mesir ini-lah yang juga mempengaruhi mufasir di indonesia seperti buya hamka dalam tafsirnya al-Azhar begitupun dengan Quraisy Shihab dengan al-Misbah nya dan lain-lain.
Sekedar pembuka, Muhammad Abduh sendiri berpendapat, “Kata
“ ِﻢْﻠِّﺴﻟا” ini bermakna jalan keselamatan atau sesuatu yang menyelamatkan. Dan ini
berhubungan erat dengan adanya persatuan antar sesama dengan di naungi sebuah
agama yakni Islam. Sedangkan “ ًﺔﱠﻓﺎَﻛ” sendiri adalah ha>l dari lafad “ ِﻢْﻠِّﺴﻟا” yakni
pada keseluruhan syariat Islam. Dan saya berpendapat bahwa hakikat munculnya Islam yakni sebagai penyelamat dengan melaksanakan perintah Allah SWT dan ikhlas terhadap semua perintah-Nya. Sedangkan dasar-dasar Islam yakni
25
Ahmad Syukri, Metodologi Tafsir Al Qur`an Kontemporer dalam pandangan Fazlur Rahman, (Jambi : Sulton Thaha Press, 2007), 38
26
persatuan, rukun dan damai dengan manusia lainnya, serta melarang adanya perang dan pembunuhan antar sesama umat.” Setali tiga uang, al-Maraghi dan Wahbah Zuhaili-pun demikian. Keduanya menganggap bahwa disebut “Islam Kaffah” yakni salah satunya yang mencintai persatuan dan kesatuan umat. Hanya saja, al-Maraghi tak segan memberi gelar “Telah membantu agama Allah SWT” bagi mereka yang senantiasa mengembalikan suatu kebijakan pada kebijakan saudara-saudara muslim lainnya agar tidak berselisih satu sama lain.
Penulis berniat mengambil ketiga mufasir ini, karena dianggap merupakan perwakilan serta wujud representasi dari mufasir era kontemporer yang disinyalir metode dan epistemologi produk penafsirannya menggunakan metode yang berbeda dengan para mufasir klasik. Penulis juga berpendapat bahwa hanya dengan mengambil pendapat-pendapat dari ketiga mufassir ini, setidaknya dapat meminimalisir fenomena-fenomena diatas dikarenakan ketiga mufasir tersebut juga hidup di era kontemporer-modern, sehingga produk penafsirannya-pun beradaptasi dengan peristiwa-peristiwa kontemporer-modern dan tentunya menggunakan metodologi penafsiran era reformatif berbasis nalar-kritis yang bertujuan transformatif. Berbeda hal nya dengan mufasir-mufasir klasik yang lebih menggunakan metode penafsiran era afirmatif yang berbasis nalar-ideologis.
B.Identifikasi Masalah
Skripsi ini mengangkat tentang “Silmi> Ka>ffah”, sebagai objek
akan pemahaman teks “Kaffah” itu sendiri hingga berakibat banyak terjadinya kesalahfahaman antar sesama muslim.
Ormas-ormas seperti layaknya HTI atau FPI memang sejak awal memproklamirkan “Islam Kaffah” ini, muaranya dengan segala sistem yang pernah diajarkan oleh Nabi SAW tanpa terkecuali termasuk sistem “Khilafah” itu sendiri. Tak ayal jika mereka gampang meng-klaim orang muslim lainnya dengan kata-kata ‘kafir’ bagi mereka yang tak sependapat dengan pendapatnya, bahkan juga berani mengkafirkan sistem demokrasi di negeri ini yang telah bertahan selama kurang lebih 71 tahun lamanya. Dalam hemat penulis, sistem khilafah sebenarnya sitem yang sangat baik, namun cara penyampaian maksud mereka-lah yang penulis kira kurang baik bahkan terkesan memaksa. Oleh sebab itu, penulis bermaksud mengangkat tema “Islam Kaffah” ini supaya bisa mengkaji kontekstualisasi makna islam kaffah ini.
Agar pembahasannya terfokus pada akar permasalahannya, maka penulis akan mengemukakan penafsiran ulama-ulama kontemporer dengan memakai 3 produk penafsiran masing-masing dari Muhammad Abduh, Mustofa
al-Maraghi dan Wahbah Zuhaili karena dinilai produk penafsirannya akan “Isla>m
Ka>ffah” lebih terperinci terutama tentang sentilan sisi leksikalnya atau
C.Rumusan Masalah
Jika dilihat dari latar belakang masalah tersebut, maka dapat dirumuskan masalah tersebut sebagai berikut :
1. Bagaimana analisis penafsiran dari “Islam Kaffah” menurut tiga mufassir
yakni Muhammad Abduh, Musthafa al-Maraghi dan Wahbah Zuhaili?
2. Bagaimana konstekstualisasi “Islam Kaffah” dalam perspektif al-Qur’an di
era modern-kontemporer?
D.Tujuan Penelitian
1. Menganalisis penafsiran dari “Islam Kaffah” dari penafsiran Muhammad
Abduh, Mustofa al-Maraghi dan Wahbah Zuhaili.
2. Mengkontekstualkan “Islam Kaffah” dalam perspektif al-qur’an di era
modern-kontemporer
E. Telaah Pustaka
Penelitian ini sebagaimana pembahasan judul diatas dengan menggunakan tiga surat sebagai sampel yakni surat al-Baqarah:208, surat at-Taubah:36 dan surat Saba’:28. Hanya saja dari ketiga surat tersebut, surat al-Baqarah:208 akan lebih difokuskan karena dalam ayat tersebut lafadz
“Islam/Silmi” dan “Ka>ffah” bergandengan, sedangkan kedua surat yang lain
hanya memfokuskan lafadz “Ka>ffah” nya saja.
Penulis melihat adanya sesuatu yang menarik untuk dibahas secara komprehensif. Diantaranya yakni memfokuskan kajian lafadz makna ‘kaffah’
memunculkan ke permukaan pendapat-pendapat beberapa para mufassir seperti
syaikh al-mara>ghi, syaikh muhammad ‘abduh dan syaikh wahbah al-zuhayli>, yang
terkenal jeli dan lugas dalam menafsirkan ayat-ayat al-qur’an secara harfiyah, yang kemudian dianalisis dengan mengaitkannya terhadap keadaan sosial-budaya zaman.
F. Metode Penelitian
Sebagai langkah awal penelitian tentang Ka>ffah dalam Al Qur’an,
Dibutuhkan proses penelitian yang konprehensif. Sehingga akan menghasilkan
penelitian yang perfect dalam penyusuanan skripsi ini. Untuk mencapai hasil
tersebut dibutuhkan sebuah metode penelitian karya ilmiah.
Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagaimana berikut:
a. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) dengan
menggunakan corak tafsir adabiy-ijtima>’iy sebagai antisipasi untuk beradaptasi
dengan zaman kontemporer dikarenakan adabiy-ijtima>’iy muncul dan diprakarsai
oleh Muhammad Abduh supaya tidak terkungkung dan terkurung akan produk penafsiran mufassir era klasik yang dianggapnya sudah tak relevan lagi dengan era modern-kontemporer dewasa ini. Disamping itu, penelitian ini akan
menggunakan metode mawdhu>’i/tematik sebagai konsepnya, lalu ditafsirkan
menyesuaikan serta mengaitkannya dengan situasi sosial dan peradaban masyarakat era modern-kontemporer.
b. Sumber Data
Sumber data yang digunakan terbagi menjadi dua klasifikasi, antara lain :
1. Sumber Data Primer : Kitab Tafsir Manar, Tafsir Maraghi dan Tafsir al-Munir
2. Sumber Data Sekunder, yaitu Buku penunjang lainnya, yaitu buku-buku yang berkaitan dengan tema.
c. Metode Pengumpulan Data
Dalam metode pengumpulan data, digunakan metode dokumentasi. Metode ini diterapkan terbatas pada benda-benda tertulis seperti buku, karya ilmiah atau dokumentasi tertulis lainnya.
d. Metode Analisis Data
Metode Analisis Data berarti menjelaskan data-data yang diperoleh melalui pustaka atau penelitian. Dengan menggunakan pendekatan analisis-linguistik yaitu menjelaskan dengan rinci pengertian islam kaffah kemudian
meletakkan pendapat mufassir itu sendiri akan penafsiran “Ka>ffah” yang di tafsiri
melalui pendekatan linguistik/teksnya, lalu menyingkronkan terhadap situasi sosial-budaya masyarakat. Maka dari itu, penulis memilih mufassir-mufassir yang
memakai corak adabiy-ijtima>’iy dalam penafsirannya dikarenakan corak ini lebih
G. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah pemahaman terhadap skripsi ini, Maka penulis meruntut persoalan melalui bab-bab yang masing-masing memuat persoalan yang akan dibahas yaitu :
Pada BAB I, yakni bab mengenai pendahuluan dimana di dalamnya terdapat latar belakang masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, telaah pustaka, dan metode penelitian.
Sedangkan pada BAB II, yakni mendeskripsikan tentang pengertian kaffah secara definitif dan mengurai karakteristik dari seorang muslim kaffah, serta menjelaskan semantik/linguistik mulai dari definisinya, jenis-jenis dan unsur-unsurnya hingga korelasi semantik itu sendiri dengan tataran ilmu sosial lainnya beserta analisisnya.
Di BAB III, penulis akan menguraikan penafsiran dari ketiga mufasir yakni Muhammad Abduh, Al-Maraghi, dan Wahbah Zuhaili terhadap ayat-ayat berkenaan tentang kaffah dimulai dari surat al-Baqarah:208, lalu dilanjutkan dengan surat al-Taubah:36, dan diakhiri surat Saba’:28 serta menceritakan biografi dari masing-masing mufasir sekaligus karakteristik kitabnya.
Di BAB IV, penulis akan menganalisis pendapat ketiga mufasir tersebut dengan pendekatan semantik/linguistik dan mengaitkan ketiga ayat tersebut diatas dengan keadaan sosial-budaya masyarakat era kontemporer-modern
BAB II
TINJAUAN KAFFAH DALAM SEMANTIK
DALAM DEFINITIF
A.Potret Sekilas Tentang Kaffah
1. Definisi “Ka>ffah”“Ka>ffah”“Ka>ffah”“Ka>ffah”
Secara leksikal, “Ka>ffah” mempunyai arti keseluruhan, secara total.
Terambil dari kata (kaffa-yakuffu-kaffan) yang mempunyai arti, yaitu :
mengumpulkan, menghimpun, dan mencegah tercerai-berainya sesuatu serta kemudian digunakan dengan makna jumlah, totalitas, keseluruhan sebab menghalangi tercerai-berainya bagian-bagian atau mencegah keluarnya sesuatu
bagian dari keseluruhan. Adapun ta’ marbuthoh pada kata tersebut yang asalnya
adalah “kaffan” berfungsi (1) ta’ni>ts (termasuk kelompok kata jenis perempuan)
(2) menunjukkan peralihan dari kata sifat menjadi ismiyah (kata benda) (3) lil
muba>laghah.(menunjuk makna sangat atau melebihi umumnya).
Dalam al-Qur’an, kata “Ka>ffah” disebut sebanyak 5 kali, namun
hanya dua yang menunjuk pada makna keseluruhan dalam kaitannya dengan agama Islam yang satu surat Saba’ 28 bermakna keseluruhan dalam arti Islam itu berlaku universal (untuk seluruh umat manusia) yang satunya surat al-Baqarah 208 yang bermakna keseluruhan dalam arti ajaran Islam itu bersifat integral, tidak parsial. Sedang tiga lainnya menunjuk pada makna (1) semua kaum musyrikin
al-Tawbah 36 (2) Semua kaum mu’minin al-Tawbah 36 (3) dan tidak semua kaum
Mukminin al-Tawbah 122.27
27
Demikian juga kata “Ka>ffah” disini dari segi lafadz selalu nakiroh yang disebut 5 kali dalam al-Qur’an. Sebagian ulama menyangka bahwa kata
“Ka>ffah” didalam bahasa Arab dipakai kecuali hanya dengan posisi nakiroh dan
dianggap salah jika memakai (al-alma’rifah) atau dengan (idhafah).28 Al-Baidawi
berkata: Bahwa “Ka>ffah” adalah isim yang menunjuk makna jumlah (totalitas)
karena menghalangi terpisah-pisahnya bagian-bagian, berfungsi sebagai ha>l dari
dhamir ataual-Silmi>, sebagaimana ditegaskan oleh al-Qofa>l bahwa “Ka>ffah”bisa dikembalikan kepada orang-orang yang diperintahkan masuk (Islam) dan bisa dikembalikan kepada Islam, maka bisa bermakna: masuklah kamu semua dan boleh bermakna: masuklah ke dalam semua syariat Islam.
Ima>m al-T{abari> menerangkan makna “Ka>ffah” di dalam tafsirnya
adalah :“Perintah melaksanakan seluruh syari’at-syari’at-Nya (Islam) dan hukum-hukum hudud-Nya dengan tidak mengurangi sebagiannya dan mengamalkan
sebagiannya. Yang demikian itu dimaksudkan karena “Ka>ffah” itu merupakan
sifat dari pada Islam, maka ini dapat ditakwilkan “Masuklah kamu dengan mengamalkan seluruh ajaran-ajaran Islam, dan janganlah kamu mengurangi sedikitpun dari padanya wahai ahli Iman dengan Muhammad dan dengan apa
yang ia datang dengannya.”29
Ima>m al-Qurt}ubi> menjelaskan bahwa lafadz “Ka>ffah” adalah sebagai
hal (penjelasan keadaan) dari lafadz al-silmi atau dari dlomir mu’minin.
Sedangkan pengertian “Ka>ffah” adalah jamiy’an (menyeluruh) atau ‘a>mmatan
28Wahbah al-Zuh}aili>
, Tafsi>r Al-Muni>r, (Lebanon: Da>r al-Fikr, 2007), 316
29Ibnu Jari>r al-T{abari>
, Tafsi>r al-T{abari>(Ja>mi’ al-Baya>n Fi> Ta’wi>l al-Qur’a>n), Jilid II, (Beirut: Da>r
(umum). Bila kedudukan lafadz “Ka>ffah” sebagai ha>l dari lafadz al-silmi maka
tafsir dari ayat tersebut adalah Allah SWT ‘menuntut’ orang-orang yang masuk
Islam untuk masuk ke dalam Islam secara keseluruhan (total). Tanpa ada upaya
memilih maupun memilah sebagian hukum Islam untuk tidak diamalkan.30
Pemahaman ini diperkuat dengan asba>b al-nuzu>l (sebab turunnya) ayat tersebut
yang mengisahkan ditolaknya dispensasi beberapa orang Yahudi, ketika mereka hendak masuk Islam. Tentunya hal semacam ini bukan hanya untuk orang yang mau masuk Islam saja, akan tetapi juga berlaku untuk orang-orang mu’min
sebagaimana penjelasan Ibnu Jari>r al-T{abari> yang mengutip tafsir (penjelasan)
dari Ikrimah di atas.Oleh karena itu, kaum muslimin diperintahkan untuk hanya
berserah diri, ta’at, dan melaksanakan seluruh syari’at Nabi Muhammad SAW (yakni Islam), bukan pada aturan-aturan lain.
2. 2. 2.
2. Karakteristik Muslim “Ka>ffah”“Ka>ffah” “Ka>ffah”“Ka>ffah”
Dari makna dasar “Ka>ffah” ini, tidaklah semudah membalik telapak
tangan untuk memahami pesan-pesan didalamnya, akan tetapi diperlukan proses dan panahapan serta konsistensi, yang didasari niat yang benar dan tekad yang kuat, dibekali ilmu pengetahuan yang memadai tentang Islam baik dengan pendekatan nalar burhani, nalar bayani maupun irfani secara istiqamah.
Secara harfiyah, “Ka>ffah” memang diartikan meyeluruh atau total,
namun segala sesuatu yang terikat akan suatu wadah yakni ‘islam’, kata total terasa sangat berat untuk dipikul ke pundak kaum muslim. Itu dikarenakan esensi
30
dari manusia itu sendiri yang dipenuhi dengan kelebihan dan kekurangan. Mengingat historisitas al-Qur’an yang diturunkan tidak sekaligus, akan tetapi dengan berangsur-angsur dalam kurun waktu 23 tahun disesuaikan dengan kebutuhan dan berdasarkan kasus demi kasus kehidupan, dengan maksud agar setiap ajaran Al Qur’an benar-benar dipahami secara integral dan terpatri dalam
jiwa orang-orang muslim.31 Derajat muslim kaffah dapat dicapai apabila ia taat
dan patuh kepada Allah dan Rasulnya secara lahir batin dengan melaksanakan semua ajaran dan syariatnya atas dasar keimanan dan keikhlasan. Adapun seseorang belum ‘pantas’ dikatakan seorang mukmin meski ia islam, sebagaimana telah tertera dalam firman Allah SWT dalam surat al-Hujurat : 14, yang berbunyi:
ِإ َو ْﻢُﻜِﺑﻮُﻠُﻗ ﻲِﻓ ُنﺎَﻤﯾﻹا ِﻞُﺧْﺪَﯾ ﺎﱠﻤَﻟ َو ﺎَﻨْﻤَﻠْﺳَأ اﻮُﻟﻮُﻗ ْﻦِﻜَﻟ َو اﻮُﻨِﻣْﺆُﺗ ْﻢَﻟ ْﻞُﻗ ﺎﱠﻨَﻣآ ُبا َﺮْﻋﻷا ِﺖَﻟﺎَﻗ ُﺳ َر َو َ ﱠ)ا اﻮُﻌﯿِﻄُﺗ ْن
ﻻ ُﮫَﻟﻮ
ٌﻢﯿ ِﺣ َر ٌرﻮُﻔَﻏ َ ﱠ)ا ﱠنِإ ﺎًﺌْﯿَﺷ ْﻢُﻜِﻟﺎَﻤْﻋَأ ْﻦِﻣ ْﻢُﻜْﺘِﻠَﯾ
“Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah (kepada mereka): "Kamu belum beriman, tetapi katakanlah: "Kami telah tunduk", karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tiada akan mengurangi sedikit pun (pahala) amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".
Allah SWT juga memberikan pertanda mereka yang disebut sebagai muslim
sejati, sebagaimana juga termaktub dalam lanjutan firman-Nya dalam surat al-Hujurat :
15, yang berbunyi:
ِﺴُﻔْﻧَأ َو ْﻢِﮭِﻟا َﻮْﻣَﺄِﺑ اوُﺪَھﺎَﺟ َو اﻮُﺑﺎَﺗ ْﺮَﯾ ْﻢَﻟ ﱠﻢُﺛ ِﮫِﻟﻮُﺳ َر َو ِ ﱠ)ﺎِﺑ اﻮُﻨَﻣآ َﻦﯾِﺬﱠﻟا َنﻮُﻨِﻣْﺆُﻤْﻟا ﺎَﻤﱠﻧِإ ُﻢُھ َﻚِﺌَﻟوُأ ِ ﱠ)ا ِﻞﯿِﺒَﺳ ﻲِﻓ ْﻢِﮭ
َنﻮُﻗِدﺎﱠﺼﻟا
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad
31
dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.”
Allah SWT juga mencela orang-orang yang mengambil ajaran Islam secara sepotong-sepotong, dengan mengambil hukum-hukum yang dianggap ringan kemudian menerapkannya secara asal-asalan dan meninggalkan hukum yang lainnya yang dianggap berat dan tidak sesuai dengan seleranya. Padahal sesungguhnya ajaran Islam tentang akidah, akhlak, ibadah, dan muamalah semuanya bersifat integral (terpadu dan saling melengkapi) dan harmonis serta tidak parsial. Pemahaman Islam secara parsial inilah yang pernah meracuni pemikiran sebagian ahli kitab seperti yang dilakukan oleh bani Israil, sebagaimana diterangkan dalam firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah:85, yang berbunyi:
ا ِﺾْﻌَﺒِﺑ َنﻮُﻨِﻣْﺆُﺘَﻓَأ ا َم ْﻮَﯾ َو ﺎَﯿْﻧﱡﺪﻟا ِةﺎَﯿَﺤْﻟا ﻲِﻓ ٌي ْﺰ ِﺧ ﻻِإ ْﻢُﻜْﻨِﻣ َﻚِﻟَذ ُﻞَﻌْﻔَﯾ ْﻦَﻣ ُءا َﺰَﺟ ﺎَﻤَﻓ ٍﺾْﻌَﺒِﺑ َنو ُﺮُﻔْﻜَﺗ َو ِبﺎَﺘِﻜْﻟ
ِﺔَﻣﺎَﯿِﻘْﻟ
َنﻮُﻠَﻤْﻌَﺗ ﺎﱠﻤَﻋ ٍﻞِﻓﺎَﻐِﺑ ُ ﱠ)ا ﺎَﻣ َو ِباَﺬَﻌْﻟا ِّﺪَﺷَأ ﻰَﻟِإ َنوﱡد َﺮُﯾ
“Apakah kamu (Bani Israil) beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian dari padamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.”
Disisi lain, Allah SWT juga mencela perbuatan kaum musyrik yang membuat Al Qur’an menjadi bagian-bagian dan potongan-potongan yang tercerai berai. Mereka mengambil hal-hal yang sesuai dengan hawa nafsu mereka dan kepentingan mereka dan meninggalkan hal-hal yang bertentangan dengan paham politeisme mereka sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Hijr: 89-91.
Dan katakanlah: "Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang menjelaskan"(89) Sebagaimana (Kami telah memberi peringatan), Kami telah menurunkan (azab) kepada orang-orang yang membagi-bagi (Kitab Allah),(90) (yaitu) orang-orang yang telah menjadikan Al Qur'an itu terbagi-bagi.(91)
Wahbah Zuhaili menegaskan, semua itu memberikan bukti kepada
kita bahwasanya usaha tambal sulam dan percekcokan masalah konstitusi, tasyri’,
sosial dan ekonomi dengan sebagian hukum Islam, adalah sesuatu yang tidak diperbolehkan dan tidak berguna, sebab hukum Islam itu bersifat menyeluruh, tidak parsial, didalamnya saling bersangkut-paut dan bahu membahu antara akidah, ibadah, moralitas dan muamalah, guna mewujudkan suatu masyarakat
yang unggul, kuat dan teguh.32
B.Semantik/Linguistik
1. Pengertian Semantik/Linguistik
Kata semantik sebenarnya merupakan istilah teknis yang mengacu
pada studi tentang makna. Semantik dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa
Yunani ‘sema’ (kata benda) yang berarti ‘tanda’ atau ‘lambang’. Kata kerjanya
adalah ‘semaino’ yang berarti ‘menandai’ atau ‘melambangkan’. Yang dimaksud
tanda atau lambang disini adalah tanda-tanda semantik/linguistik.
Menurut Abdul Chaer, kata semantik dalam bahasa Indonesia (Inggris:
Semantics) berasal bahasa Yunani sema artinya ‘tanda’ atau ‘lambang’. kata
kerjanya adalah ‘semaino’ yang berarti menandai atau melambangkan. Yang
dimaksud dengan tanda atau lambang sebagai padanan kata sema itu adalah tanda
32 Wahbah al-Zuh}aili>, Al-Qur’a>n al-Kari>m (Bunyatuhu> Tashri>’iyah wa Khas}a>isuhu>
linguistik seperti yang dikemukakan oleh Ferdinan de Seassure (1966) yaitu yang terdiri dari komponen yang menggantikan yang berwujud bentuk-bentuk bunyi bahasa dan komponen yang diartikan atau makna dari komponen yang pertama itu.33
Kata semantik telah disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk
bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya oleh karena itu kata semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu salah satu dari tiga tataran analisis bahasa; fonologi, gramatika, dan semantik. Selain dari istilah semantik adapula yang digunakan istilah lain seperti semiotika, semiologi, semasiologi, semememik, dan semik, untuk merujuk pada bidang studi yang mempelajari makna atau arti dari suatu arti atau lambang. Namun istilah semantik lebih umum digunakan dalam studi linguistik karena istilah-istilah yang lainnya itu mempunyai cakupan objek yang lebih luas; yakni mencakup makna tanda atau lambang pada umumnya. Termasuk tanda-tanda dalam tanda lalu lintas, kode
morse, tanda-tanda dalam ilmu matematika.34
Menurut Ferdinan de Saussure (1966), tanda lingustik terdiri dari 2 hal, yakni:
1. Komponen yang menggantikan, yang berwujud bunyi bahasa.
2. Komponen yang diartikan atau makna dari komponen pertama.
33
Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, cet ke-2, (Jakarta: Rhineka Cipta, 1995), 267
34
Kedua komponen diatas adalah tanda atau lambang, dan sedangkan yang ditandai atau dilambangkan adalah sesuatu yang berada di luar bahasa, atau
yang lazim disebut sebagai referent/ acuan / hal yang ditunjuk. Jadi, Ilmu
Semantik adalah : Ilmu yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya.
Pandangan yang bermacam-macam dari para ahli mejadikan para ahli memiliki perbedaan dalam mengartikan semantik. Pengertian semantik yang berbeda-beda tersebut justru diharapkan dapat mngembangkan disiplin ilmu
linguistik yang amat luas cakupannya.35
1. Charles Morrist
Mengemukakan bahwa semantik menelaah “hubungan-hubungan tanda-tanda dengan objek-objek yang merupakan wadah penerapan tanda-tanda tersebut”.
2. J.W.M Verhaar
Mengemukakan bahwa semantik (inggris: semantics) berarti teori makna atau teori arti, yakni cabang sistematik bahasa yang menyelidiki makna atau arti.
3. Lehrer
Semantik adalah studi tentang makna. Bagi Lehrer, semantik merupakan bidang kajian yang sangat luas, karena turut menyinggung
35
aspek struktur dan fungsi bahasa sehingga dapat dihubungkan dengan psikologi, filsafat dan antropologi.
4. Abdul Chaer
Semantik adalah ilmu tentang makna atau tentang arti. Yaitu salah satu dari 3 (tiga) tataran analisis bahasa (fonologi, gramatikal dan semantik).
2. Jenis-Jenis dan Unsur-Unsur Semantika
2.1 Jenis-jenis Semantika
Semantik memiliki memiliki objek studi makna dalam keseluruhan semantika bahasa,namun tidak semua tataran bahasa memiliki masalah semantik Leksikon. Tataran tata bahasa atau gramatika dibagi menjadi dua sub tataran,
yaitu morfologi dan sintaksis.36
a) Morfologi adalah cabang linguistik yang mempelajari struktur intern kata,
serta proses pembentukannya. Satuan dari morfologi yaitu morfem dan kata.
Contoh:
Kata “Ajar”
---- “Ajar” jika ditambahkan kata hubung “Pe” diawal, maka “Ajar” akan jadi “Pe-lajar”
---- “Ajar” jika ditambahkan kata hubung “Be” diawal, maka “Ajar” akan jadi “Be-lajar”
( kata tambah “Pe-“ dan “Be-“ dapat membedakan makna kata “Ajar” )
36
b) Sedangkan sintaksis, adalah studi mengenai hubungan kata dengan kata dalam membentuk satuan yang lebih besar, yaitu frase, klausa, dan kalimat. Sintaksis memiliki satuan yaitu kata, frase, klausa, dan kalimat. Semantik sintaktsis memiliki tataran bawahan yang disebut :
1. Fungsi gramatikal
2. Kategori gramatikal
3. Peran gramatikal
Contoh sintaksis:
Satuan dan proses dari morfologi dan sintaksis memiliki sebuah makna. Oleh karena itu, pada tataran ini ada masalah-masalah semantik yang disebut semantik gramatikal karena objek studinya adalah makna-makna gramatikal dari tataran tersebut.
Kalau yang menjadi objek penyelidikan adalah semantik leksikon, maka jenis semantiknya menjadi semantik leksikal.
Semantik leksikal yakni menyelidiki makna yang ada pada leksem dari
bahasa. Oleh karena itu, makna yang ada dalam leksem disebut makna leksikal. Leksem adalah satuan-bahasa bermakna. Istilah leksem ini dapat dipadankan dengan istilah kata, yang lazim digunakan dalam studi morfologi dan sintaksis,
Kata Fungsi Si Udin Menjaga Adiknya Dirumah sakit
Fungsi Subjek Predikat Objek K. Keterangan
Kategori Nominal Verbal Nominal Nominal
dan yang lazim didefiinisikan sebagai satuan gramatik bebas terkecil. Baik kata tunggal maupun kompositum.
Contoh semantik leksikal: Kambing = nama hewan Hitam = jenis warna
Kambing Hitam = orang yang dipersalahkan
2.2 Unsur-UnsurSemantika
Semantik berhubungan dengan tanda-tanda, sintaksis berhubungan dengan gabungan tanda-tanda (susunan tanda-tanda) sedangkan pragmatik berhubungan dengan asal-usul, pemakaian dan akibat pemakaian tanda-tanda di dalam tingkah laku berbahasa. Penggolongan tanda dapat dilakukan dengan cara:
2.2.1 Tanda yang ditimbulkan oleh alam, diketahui manusia karena pengalaman, misalnya:
a) Hari mendung tanda akan hujan.
b) Hujan terus-menerus dapat menimbulkan banjir.
c) Banjir dapat menimbulkan wabah penyakit dan kelaparan.
2.2.2 Tanda yang ditimbulkan oleh binatang, diketahui manusia dari suara binatang tersebut, misalnya:
a) Anjing menggonggong [tanda ada orang masuk halaman rumah]
b) Kucing bertengkar (mengeong) dengan ramai suaranya [tanda
2.2.3 Tanda yang ditimbulkan oleh manusia, tanda ini dibedakan atas:
a) Yang bersifat verbal, adalah tanda yang dihasilkan manusia
melalui alat-alat bicara.
b) Yang bersifat non-verbal, dibedakan menjadi 2, yaitu:
i. Tanda yang dihasilkan anggota badan, dikenal sebagai bahasa
isyarat, misalnya acungan jempol bermakna hebat, bagus.
ii. Tanda yang dihasilkan melalui bunyi (suara), misalnya
bersiul bermakna gembira, memanggil, ingin kenal dan seterusnya.
3. Hubungan Semantika dengan Tataran Ilmu-Ilmu Sosial dan Analisisnya
3.1 Korelasi Semantika dengan Sosiologi dan Antropologi
Berlainan dengan tataran analisis bahasa lain, semantik adalah cabang ilmu linguistik yang memiliki hubungan dengan ilmu sosial, seperti sosiologi dan
antropologi bahkan juga dengan filsafat dan psikologi.37
1. Semantik dan Sosiologi
Semantik berhubungan dengan sosiologi dikarenakan seringnya dijumpai kenyataan bahwa penggunaan kata tertentu untuk mengatakan sesuatu dapat menandai identitas kelompok penuturnya.
Contohnya :
Penggunaan/pemilihan kata ‘cewek’ atau ‘wanita’, akan dapat menunjukkan
identitas kelompok penuturnya.
37
Ket: Kata ‘cewek’ identik dengan kelompok anak muda, sedangkan kata ‘wanita’ terkesan lebih sopan, dan identik dengan kelompok orang tua yang
mengedepankan kesopanan.38
2. Semantik dan Antropologi.
Semantik dianggap berkepentingan dengan antropologi dikarenakan analisis makna pada sebuah bahasa, melalui pilihan kata yang dipakai penuturnya, akan dapat menjanjikan klasifikasi praktis tentang kehidupan budaya penuturnya.
Contohnya :
Penggunaan/pemilihan kata ‘ngelih’ atau ‘lesu’ yang sama-sama berarti
‘lapar’ dapat mencerminkan budaya penuturnya.
Ket: Karena kata ‘ngelih’ adalah sebutan untuk ‘lapar’ bagi masyarakat
Jogjakarta. Sedangkan kata ‘lesu’ adalah sebutan untuk ‘lapar’ bagi
masyarakat daerah Jombang.
3.2 Analisis Semantika
Dalam analisis semantik, bahasa bersifat unik dan memiliki hubungan yang erat dengan budaya masyarakat penuturnya. Maka, suatu hasil analisis pada suatu bahasa, tidak dapat digunakan untuk menganalisis bahasa lain.
Contohnya:
Penutur bahasa Inggris yang menggunakan kata ‘rice’ pada bahasa Inggris yang
mewakili nasi, beras, gabah dan padi.
Ket: Kata ‘rice’ akan memiliki makna yang berbeda dalam masing-masing konteks yang berbeda. Dapat bermakna nasi, beras, gabah, atau padi.
Tentu saja penutur bahasa Inggris hanya mengenal ‘rice’ untuk menyebut nasi, beras,gabah, dan padi. Itu dikarenakan mereka tidak memiliki budaya mengolah padi, gabah, beras dan nasi, seperti layaknya masyarakat di Indonesia.
Kesulitan lain dalam menganalisis makna adalah adanya kenyataan bahwa tidak selalu penanda dan referensi-nya memiliki hubungan satu lawan satu. Yang artinya, setiap tanda lingustik tidak selalu hanya memiliki satu makna. Ada kalanya, satu tanda lingustik memiliki dua acuan atau lebih. Dan sebaliknya, dua tanda lingustik, dapat memiliki satu acuan yang sama.
Hubungan tersebut dapat digambarkan dengan contoh-contoh berikut :
• Kata “Bisa” yang mempunyai 2 arti yakni “Racun” atau ”Dapat”...
---- (Bisa = Racun/Dapat) ----
• Kata “Buku” yang juga mempunyai 2 arti yakni “Kitab” atau “Lembar
Kertas Berjilid”...
BAB III
PENAFSIRAN MUHAMMAD ABDUH, AL-MARAGHI DAN
WAHBAH ZUHAILI TERHADAP AYAT-AYAT TENTANG
“KA
“KA
“KA
“KA<<<<FFAH”
FFAH”
FFAH”
FFAH”
A.Ayat dan Terjemahnya
1. Surat al-Baqarah : 208
ﱞوُﺪَﻋ ْﻢُﻜَﻟ ُﮫﱠﻧِإ ِنﺎَﻄْﯿﱠﺸﻟا ِتا َﻮُﻄُﺧ اﻮُﻌِﺒﱠﺘَﺗ ﻻ َو ًﺔﱠﻓﺎَﻛ ِﻢْﻠِّﺴﻟا ﻲِﻓ اﻮُﻠُﺧْدا اﻮُﻨَﻣآ َﻦﯾِﺬﱠﻟا ﺎَﮭﱡﯾَأ ﺎَﯾ ٌﻦﯿِﺒُﻣ
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.”
2. Surat al-Tawbah : 36
َﺮَﺸَﻋ ﺎَﻨْﺛا ِ ﱠ4ا َﺪْﻨِﻋ ِرﻮُﮭﱡﺸﻟا َةﱠﺪِﻋ ﱠنِإ َﻚِﻟَذ ٌم ُﺮُﺣ ٌﺔَﻌَﺑ ْرَأ ﺎَﮭْﻨِﻣ َض ْرﻷا َو ِتا َوﺎَﻤﱠﺴﻟا َﻖَﻠَﺧ َم ْﻮَﯾ ِ ﱠ4ا ِبﺎَﺘِﻛ ﻲِﻓ ا ًﺮْﮭَﺷ
ًﺔﱠﻓﺎَﻛ ْﻢُﻜَﻧﻮُﻠِﺗﺎَﻘُﯾ ﺎَﻤَﻛ ًﺔﱠﻓﺎَﻛ َﻦﯿِﻛ ِﺮْﺸُﻤْﻟا اﻮُﻠِﺗﺎَﻗ َو ْﻢُﻜَﺴُﻔْﻧَأ ﱠﻦِﮭﯿِﻓ اﻮُﻤِﻠْﻈَﺗ ﻼَﻓ ُﻢِّﯿَﻘْﻟا ُﻦﯾِّﺪﻟا َﻊَﻣ َ ﱠ4ا ﱠنَأ اﻮُﻤَﻠْﻋا َو
َﻦﯿِﻘﱠﺘُﻤْﻟا
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”
3. Surat Saba’ : 28
ِﺸَﺑ ِسﺎﱠﻨﻠِﻟ ًﺔﱠﻓﺎَﻛ ﻻِإ َكﺎَﻨْﻠَﺳ ْرَأ ﺎَﻣ َو َنﻮُﻤَﻠْﻌَﯾ ﻻ ِسﺎﱠﻨﻟا َﺮَﺜْﻛَأ ﱠﻦِﻜَﻟ َو ا ًﺮﯾِﺬَﻧ َو ا ًﺮﯿ
B.Biografi dan Karakteristik Kitab Tafsirnya
1. Muhammad Abduh (w.1324 H/1905 M)&Rasyid Ridha (w.1354 H/1935 M)
Muhammad Abduh lahir di desa Mahallat, Propinsi Gharbiyah, Mesir pada tahun 1265 H atau 1849 M. Dengan Ayahnya bernama ‘Abduh Ibn Hasan Khairulla>h, berasal turki dan ibunya seorang arab yang silsilahnya sampai pada
Umar bin Khattab. Muhammad abduh berasal dari keluarga petani yang
sederhana taat beribadah dan cinta ilmu.39
Sejak kecil ia belajar membaca dan menulis dengan orang tuanya sendiri. Dalam waktu dua tahun ia sudah hafal seluruh isi al-Qur’an. Muhammad abduh meneruskan pendidikannya di Thanta, tetapi ia tidak cocok dengan sistem pengajarannya karena mengutamakan hafalan tanpa pemahaman dan pengertian. Akhirnya ia pulang kerumahnya tetapi oleh orang tuanya tetap meminta Muhammda Abduh melanjutkan sekolahnya. Maka ia kembali ke Thanta dan belajar kepada Syekh Darwisi. Setelah menyelesaikan pendidikan di Thanta, ia meneruskan pendidikannya di al-Azhar, tetapi ia sangat kecewa karena ia hanya memperoleh pendidikan agama saja dan sistem pengajarannya tidak berbeda dengan sistem pengajaran di Thanta. Akhirnya ia bertemu dengan Jamaluddin Al-afghani dan ia memperoleh pengetahuan filsafat, ilmu kalam, matematika, teologi, politik dan jurnalis. Ia menyatakan bahwa metode pengajaran di Al-Azhar hanya bersifat verbalis yang hanya akan merusak akal dan nalar manusia. Rasa kecewa itulah yang menyebabkan ia menekuni berbagai masalah agama, sosial, politik, dan kebudayaan. Termasuk terlibat
39
dalam politik praktis yang menyebabkan ia di asingkan ke luar negeri (perancis) dengan tuduhan mendukung kegiatan pemberontakan yang di motori
oleh ‘Urabi Pasya pada tahun 1882.40
Di Paris ia semakin bersemangat melancarkan kegiatan politik dan dakwahnya yang tidak hanya ditujukan untuk mesir namun untuk seluruh umat islam di dunia. Bersama Jamaludin al-Afgani ia menerbitkan majalah dan
gerakan yang disebut dengan al-‘Urwatul Wutsqa>. Ide gerakan ini
membangkitkan semangat umat islam di dunia untuk melawan barat. Sayangnya usia majalah in tidak lama sebab pemerintah barat melarang majalah ini masuk kedaerah-daerah yang dikuasainya. Setelah penerbitannya dihentikan, Muhammad Abduh ke Tunis, kemudian kembali ke Bairut, dan
disanalah ia menyelesaikan karyanya yang berjudul Risa>lah al-Tawhi>d dan
menulis beberapa buah buku lainnya.41
Sedangkan Rasyid Ridha, Ia lahir didaerah Qalamun (sebuah desa yang tidak jauh dari Kota Tripoli, Lebanon) pada 27 Jumadil Awal 1282 H bertepatan dengan tanggal 23 September 1865 M. Dari namanya jelas bahwa
beliau merupakan salah satu keturunan Ahl al-Bayt.42 Menurut keterangan, ia
berasal dari keturunan al- Husain, cucu Nabi Muhammad SAW. Karena ia memakai gelar al- Sayyid di depan namanya, kadang- kadang ia juga dipanggil syaikh, walaupun gelar demikian sangat jarang dipakai dan lebih popular,
40Ibid.
, 11
41
Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta: PT. Universitas Indonesia, 2001)
42
ketika orang sering membuat tambahan tambahan didepan namanya sebagai
sayyid.43
Semasa kecil ia dimasukan ke Madrasah Tradisional di al- Qolamun untuk belajar menulis, berhitung dan membaca al- Qur’an. Ditahun 1882 ia
melanjutkan pelajaran di Madrasah al-Wat}aniyah al- Isla>miyah (Sekolah
Nasional Islam) di Tripoli. Di madrasah ini, selain dari bahasa arab diajarkan pula bahasa turki dan prancis, dan disamping pengetahuan- pengetahuan agama juga pengetahuan modern. Rasyid Ridha meneruskan pelajarannya di salah satu Sekolah Agama yang ada di Tripoli. Walaupun pindah sekolah hubungannya
dengan Syaikh Husain Al- Jisr berjalan terus dengan baik. Lewat hubungan
akrab itulah Rasyid Ridha lebih jauh berkenalan denagan ide- ide pembaharuan, dan syekh amat berhasrat memompa semangat muda Rasyid Ridha yang memang meminati berat alur pemikiran baru.
Rasyid Ridha juga merupakan murid dari Muhammad Abduh yang paling terdekat. Rasyid Ridha melihat perlunya diadakan tafsir modern dari al-Qur’an, yaitu tafsir yang sesuai dengan ide-ide yang dicetuskan gurunya. Ia selalu menganjurkan kepada gurunya, Muhammad ‘Abduh, supaya menulis tafsir modern. Karena selalu didesak, ‘Abduh akhirnya setuju untuk
memberikan kuliah mengenai tafsir al-Qur’an di al-Azhar.44
Sedangkan mengenai karakteristik kitab tafsirnya. Secara umum, metode yang dipakai dalam tafsir al-Manar tidak jauh berbeda dengan
43
Harun Nasition, Pembaharuan Dalam Islam, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1986), 59
44
kitab tafsir yang lain yang menggunakan metode Tahlili45 dengan menerapkan sistematika tertib Mushafi. Namun karena penekanannya terhadap operasionalisasi petunjuk al-Qur’an dalam kehidupan umat Islam secara nyata, maka tafsir ini bisa dikatakan berbeda dengan tafsir-tafsir sebelumnya. Metode yang dirintis oleh Muhammad Abduh ini selanjutnya dikembangkan oleh
murid-muridnya, seperti Rasyid Ridha, al-Maraghi dan Amin Khuli.46
Tafsir al-Manar banyak berbicara tentang sunnatulla>h dan menggugah
kesadaran umat terhadapnya. Hal tersebut terlihat dengan jelas ketika menafsirkan ayat-ayat akidah (teologis) khususnya yang berkenaan dengan hubungan antara takdir, kehendak, kekuasaan, dan keadilan Allah dengan kehendak, kebebasan, dan kemampuan manusia. Karena itu, maju-mundurnya suatu bangsa, berkembang-runtuhnya suatu negara, bahagia-sengsaranya seseorang dan kalah menangnya suatu kaum di dalam peperangan menurut teologi yang dikembangkan oleh Rasyid Ridha, tidak tergantung pada nasib, tetapi tergantung pada sejauh mana adanya keserasiannya antara perilaku mereka dengan sunatullah.
Tafsir ini disusun dengan redaksi yang mudah sambil berusaha menghindari istilah-istilah ilmu dan teknis sehingga dapat dimengerti oleh orang awam, tetapi tidak dapat diabaikan oleh orang-orang khusus (cendikiawan). Itulah cara yang ditempuh oleh filosof Islam Syaikh Muhammad Abduh dalam pengajaran di al-Azhar.
45
Mani’ ‘Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir, kajian komprehensif metode para ahli tafsir,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2003), 28
2. Mustofa al-Maraghi (w. 1371 H/1952 M)
Nama lengkap Ahmad Mustofa Al-Maraghi adalah Ah}mad Must}afa>
bin Muh}ammad bin ‘Abdul Mun’i>m Al-Mara>ghi>. Lahir di kota Maragah,
sebuah kota yang terletak dipinggiran sungai Nil, kira kira 70 km arah selatan kota Kairo Mesir, Pada Tahun 1300 H/1883 M. Ia lebih dikenal dengan sebutan
al-Maraghi karena dinisbahkan pada kota kelahirannya.47 Al-Maraghi
dibesarkan bersama delapan saudaranya dibawah naungan rumah tangga yang sarat pendidikan agama. D