DALAM MENYELESAIKAN SOAL MATEMATIKA DI SLB BINA BANGSA NGELOM SEPANJANG
SKRIPSI
Oleh :
AGUSTIN EKA CAHYANI NIM D74212067
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN IPA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
viii
SLB BINA BANGSA NGELOM SEPANJANG
Oleh: Agustin Eka Cahyani
ABSTRAK
Matematika merupakan mata pelajaran yang hampir semua topiknya melibatkan bilangan. Pemahaman anak mengenai bilangan bertujuan untuk menambah dan mengembangkan keterampilan berhitung. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengembangkan keterampilan berhitung yaitu dengan mental computation. Berhitung tidak hanya dapat dilakukan oleh siswa normal, melainkan juga dapat dilakukan oleh sebagian siswa yang memiliki kelainan seperti halnya pada siswa disleksia. Siswa disleksia merupakan siswa yang mengalami kesulitan dalam membaca.
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap strategi mental computation yang digunakan oleh siswa disleksia dalam menyelesaikan soal matematika. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Subjek penelitian ini terdiri dari dua siswa disleksia yang berasal dari kelas tunagrahita sedang. Pengumpulan data dilakukan dengan pemberian tes soal matematika operasi penjumlahan dan pengurangan dan kemudian setiap subjek diwawancara yang bertujuan untuk mengetahui strategi mental computation yang digunakan oleh subjek. Sedangkan untuk menguji keabsahan data, peneliti melakukan triangulasi waktu. Dari data-data yang diperoleh kemudian dianalisis berdasarkan strategi mental computation siswa.
Setelah dilakukan analisis data penelitian, didapatkan hasil sebagai berikut: dalam menyelesaikan soal matematika operasi penjumlahan bilangan satuan, siswa disleksia menggunakan strategi Spin-Arounds (komutatif) dan strategi Working from The Right dan Working from The Left untuk operasi penjumlahan pada bilangan puluhan. Sedangkan untuk operasi pengurangan pada bilangan satuan, siswa disleksia menggunakan strategi Think Addition (menjadikan penjumlahan) dan Counting Back dan pada operasi pengurangan bilangan puluhan siswa disleksia menggunakan strategi Working from The Right dan Working from The Left.
xi
PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii
PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ...iv
PERSYARATAN KEASLIAN TULISAN ...v
MOTTO ...vi
PERSEMBAHAN ... vii
ABSTRAK ... viii
KATA PENGANTAR ...ix
DAFTAR ISI ...xi
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR DIAGRAM ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...1
B. Rumusan Masalah ...6
C. Tujuan Penelitian ...6
D. Manfaat Penelitian...6
E. Definisi Operasional ...7
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Mental Computation ...9
B. Disleksia ... 20
1. Kesulitan Belajar... 20
2. Definisi Disleksia ... 22
3. Karakteristik Disleksia ... 24
4. Faktor Penyebab Disleksia ... 27
5. Asesmen Kesulitan Membaca ... 29
C. Hubungan Mental Computation dengan Disleksia ... 37
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 39
B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 39
xii
G. Teknik dan Analisis Data ... 45
H. Prosedur Penelitian ... 46
BAB IV HASIL PENELITIAN A. Deskripsi dan Analisis Hasil Penelitian ... 49
1. Analisis Data Subjek 1 ... 49
2. Analisis Data Subjek 2 ... 61
BAB V PEMBAHASAN A. Strategi Mental Computation Siswa Disleksiapada Operasi Penjumlahan ... 75
B. Strategi Mental Computation Siswa Disleksia pada Operasi Pengurangan... 76
BAB V PENUTUP A. Simpulan ... 79
B. Saran ... 79
DAFTAR PUSTAKA ... 81
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Matematika merupakan mata pelajaran yang hampir semua topiknya melibatkan bilangan. Hal tersebut selaras dengan pernyataan yang dikemukakan oleh NCTM bahwa pada dasarnya setiap kajian inti dalam matematika terkait dengan bilangan dan
operasinya1. Dengan membangun pemahaman dan pengetahuan
terkait bilangan, maka kita akan dapat menyelesaikan setiap permasalahan yang terjadi dikehidupan sehari-hari karena tanpa kita sadari aktivitas manusia tidak lepas dari bilangan dan
operasinya. Seperti yang dikemukakan oleh NCTM: “children
must understand numbers if they are to make sense of the ways numbers are used in their everyday world”. Kutipan tersebut menyatakan bahwa anak-anak harus memahami bilangan jika mereka ingin tahu bagaimana bilangan digunakan dalam kehidupan sehari-hari mereka2.
Pemahaman anak mengenai bilangan bertujuan untuk menambah dan mengembangkan keterampilan berhitung dengan bilangan sebagai alat dalam kehidupan sehari-hari. Keterampilan berhitung tersebut meliputi penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian atau yang lebih dikenal dengan aritmatika. Operasi-operasi dasar tersebut telah diajarkan kepada siswa sejak dini. Namun, beberapa penelitian yang dilakukan di Indonesia menunjukkan bahwa penguasaan anak terhadap bilangan masih
rendah khususnya dalam melakukan komputasi atau perhitungan3.
Hal tersebut mungkin terjadi karena di Sekolah umumnya para guru mengajarkan siswa untuk berhitung dengan menggunakan
1 Chusnul Khotimah Galatae. Tesis : “Profil Number Sense Mahasiswa Calon Guru SD Ditinjau Dari Gaya Kognitif Refleksif dan Impulsif”, (Surabaya: Universitas Negeri Surabaya, 2014), 3.
2 Wilda Syam Tonra. Tesis: “Profil Number Sense Siswa Smp Terhadap Pecahan Desimal Ditinjau Dari Perbedaan Gaya Kognitif Visualizer-Verbalizer”, (Surabaya: Universitas Negeri Surabaya, 2014), 1.
3
algoritma tulis atau menggunakan alat bantu pensil dan kertas. Cara tersebut memanglah sangat membantu siswa dalam melakukan perhitungan, akan tetapi cara tersebut juga akan merugikan siswa karena siswa akan kehilangan kemampuannya
dalam melakukan perhitungan menggunakan strategi mental
computation yang sebenarnya telah dimiliki ketika belum memasuki usia sekolah. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Roger bahwa algoritma tulis akan menyebabkan anak-anak berhenti menggunakan strategi berpikir intuitif mereka dan membabi buta mengikuti langkah preskriptif dari algoritma4.
Heirdsfield mengemukakan beberapa metode dalam
melakukan perhitungan, yaitu mental computation, rekaman
penulisan (penemuan siswa dan metode konvensional), dan
kalkulator atau komputer5. Mental computation merupakan proses
melakukan perhitungan tanpa menggunakan alat bantu, seperti pensil, kertas, kalkulator, ataupun komputer. Beberapa tahun terakhir mental computation mulai menjadi tren dibeberapa negara, tidak hanya negara maju melainkan juga negara berkembang seperti Indonesia. Ghazali, dkk mengemukakan bahwa di USA, Australia, UK, Selandia Baru, dan Belanda telah memasukkan
mental computation sebagai aspek penting dalam pembelajaran matematika dasar6.
Para peneliti menyimpulkan bahwa mental computation
memberikan dampak positif terhadap keberhasilan siswa dalam matematika dan salah satu faktor yang mempengaruhi akurasi, efisiensi, dan fleksibilitas untuk mengatasi permasalahan
matematika. Hal tersebut menunjukkan bahwa mental computation
tidak hanya berguna pada saat alat bantu perhitungan tidak ada melainkan juga berguna pada saat perhitungan yang ditekankan pada kecepatan.
Beberapa strategi mental computation digunakan oleh siswa
untuk menyelesaikan permasalahan yang terkait dengan
4 Ibid, 2.
5 Hanim Faizah, “Strategi Mental Computation Siswa Dalam Melakukan Operasi Hitung Penjumlahan dan Pengurangan Bilangan Asli”, (Jurnal Buana Pendidikan diterbitkan oleh FKIP Universitas PGRI Adi Buana Surabaya, 2015), 79.
perhitungan. Strategi mental computation yang digunakan oleh siswa akan sangat membantu siswa dalam menyelesaikan perhitungan dengan cepat. Reys and Barger mengungkapkan bahwa “mental computation assist in developing number sense because it makes student thinks” 7. Kutipan tersebut menjelaskan
bahwa mental computation membantu siswa dalam
mengembangkan number sense (kepekaan bilangan) karena dengan
mental computation akan membuat siswa berpikir. Hal tersebut bisa terjadi karena dalam mental computation siswa ditekankan untuk tidak menggunakan algoritma tulis yang terkesan kaku dan menghambat siswa untuk menemukan sendiri pemikiran yang terkait dengan bilangan.
McIntosh menyebutkan beberapa strategi mental
computation yang biasa digunakan oleh siswa dalam melakukan perhitungan untuk operasi penjumlahan dan pengurangan
diantaranya yaitu Spin-Arrounds (commutativity), Counting On
and Back, Doubles/Near Doubles, Bridging Ten, dan Think Addition (Inverse). Sedangkan pada buku selanjutnya, McIntosh
menyebutkan beberapa strategi mental computation yang biasa
digunakan oleh siswa dalam melakukan perhitungan pada operasi penjumlahan dan pengurangan yang melibatkan bilangan puluhan. Strategi-strategi tersebut meliputi empat strategi untuk operasi penjumlahan, dan dua strategi untuk operasi pengurangan. Empat strategi untuk operasi penjumlahan meliputi: 1) Bridging Multiples of Ten, 2) Adding Parts of The Second Number, 3) Working from The Left, 4) Working from The Right. Sedangkan dua strategi untuk
operasi pengurangan yaitu Bridging Multiples of Ten dan
Subtracting Parts of The Second Number8.
Strategi mental computation yang digunakan oleh setiap individu bisa saja berbeda. Hal tersebut bisa saja terjadi karena proses berpikir setiap individu berbeda. Proses belajar pada semua individu tidaklah selalu sama, beberapa individu mengalami kemudahan dan adakalanya beberapa individu mengalami
7 Yea-Ling Tsao, “Exploring The Conection Among Number Sense, Mental computation Performance, and The Written Computation Performance of Elementary Preservice School Teachers”. (Journal of teaching and learning, Taipei Municipal Teacher Collage, 2014).
kesulitan. Dalyono menyatakan bahwa kesulitan belajar ialah
keadaan dimana siswa tidak dapat belajar sebagaimana mestinya9.
Kesulitan belajar akademik dapat diketahui oleh guru atau orang tua ketika anak gagal menampilkan salah satu atau beberapa kemampuan akademik. Sebaliknya, kesulitan belajar yang bersifat perkembangan umumnya sukar diketahui, baik oleh orang tua maupun guru karena tidak ada pengukuran-pengukuran yang sistematik seperti halnya dalam bidang akademik10. Kesulitan belajar yang berhubungan dengan perkembangan sering tampak sebagai kesulitan belajar yang disebabkan oleh tidak dikuasainya keterampilan prasyarat, yaitu keterampilan yang harus dikuasai terlebih dahulu agar dapat menguasai bentuk keterampilan berikutnya11.
Kesulitan belajar kemungkinan disebabkan oleh gangguan di dalam saraf pusat otak atau gangguan nuerobiologis yang dapat
menimbulkan gangguan perkembangan seperti gangguan
perkembangan membaca, bicara, menulis, pemahaman, dan berhitung12. Gangguan perkembangan membaca bisa disebut juga disleksia. Menurut Hornsby disleksia tidak hanya kesulitan belajar membaca, tapi juga menulis, karena mengingat ada keterkaitan diantara keduanya. Sedangkan Grainger menyebutkan bahwa disleksia dipahami ketika kelemahan dalam membaca tidak disebabkan oleh hambatan intelektual, sensori, dan budaya
melainkan diduga disebabkan oleh fungsi otak yang minimal13.
Menurut National Institute of Health, USA kesulitan belajar adalah hambatan atau gangguan belajar pada anak dan remaja yang ditandai oleh adanya kesenjangan yang signifikan antara taraf
intelegensia dan kemampuan akademik yang seharusnya dicapai14.
9 Fajar Hidayati, Skripsi: “Kajian Kesulitan Belajar Siswa Kelas VII SMP Negeri 16 Yogyakarta dalam Mempelajari Aljabar”, (Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta, 2010), 27.
10 Chusnul Khotimah Galatae, Op. Cit., 44. 11 Ibid, 45.
12 Ridwan Idris, Loc. Cit. 13
Hal tersebut diperkuat oleh pendapat Hargreaves, yaitu:15
People with LDs have average to above average intelligence yet they have very specific impairments in one or more of the pyschological processes related to learning. These processes may include: 1) language processing; 2) visual-spatial processing; 3) visual-motor processing; 4) phonological processing; 5) processing speed; 6) working memory; 7) executive function.
Anak LD (Learning Disability / kesulitan belajar) memiliki kemampuan intelegensi yang rata-rata bahkan diatas rata-rata, namun secara psikologi mempunyai kebutuhan khusus dalam proses belajar, kebutuhan khusus bisa satu atau lebih, diantaranya: bahasa, kemampuan visual, kemampuan motorik, kemampuan wicara, kecepatan berpikir, daya ingat dan beberapa fungsi lainnya. Memanglah benar bahwa manusia diciptakan dengan segala kekurangan yang menandakan bahwa manusia tidaklah sempurna. Meskipun setiap manusia mempunyai kekurangan, tapi bukan berarti manusia harus hidup dengan ketidakpercayadirian karena setiap manusia diciptakan dengan kekurangan dan kelebihan. Begitu juga bagi siswa disleksia, meskipun mereka mengalami kesulitan dalam membaca tapi tidak dalam bidang lainnya, salah
satunya ialah matematika atau berhitung. Seperti yang
dikemukakan oleh Guszak, Ekwall & Shanker bahwa kinerja matematika siswa disleksia lebih tinggi daripada kinerja membaca16. Hal tersebut juga diperkuat oleh penelitian Steeves yang melaporkan bahwa banyak anak disleksia yang jenius dibidang matematika, sedangkan Joffe melaporkan bahwa 10%
15
Chusnul Khotimah Galatae, Op. Cit., 46.
anak disleksia menunjukkan prestasi yang sangat baik dibidang matematika17.
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas,
maka peneliti ingin mengetahui mental computation siswa
disleksia dalam menyelesaikan soal matematika. Oleh karena itu,
peneliti mengangkat judul “STRATEGI MENTAL
COMPUTATION SISWA DISLEKSIA DALAM MENYELESAIKAN SOAL MATEMATIKA DI SLB BINA BANGSA NGELOM SEPANJANG”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka peneliti merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana strategi mental computation siswa disleksia dalam
menyelesaikan soal matematika pada operasi penjumlahan?
2. Bagaimana strategi mental computation siswa disleksia dalam
menyelesaikan soal matematika pada operasi pengurangan?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan pertanyaan penelitian di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mendeskripsikan strategi mental computation siswa
disleksia dalam menyelesaikan soal matematika pada operasi penjumlahan.
2. Untuk mendeskripsikan strategi mental computation siswa
disleksia dalam menyelesaikan soal matematika pada operasi pengurangan.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Bagi sekolah tempat penelitian, sebagai bahan pertimbangan
dalam pengembangan dan penyempurnaan program
17
Kristianti Dewi, “Diskalkulia: Apakah selalu mengikuti disleksia?” diakses dari
pengajaran matematika di sekolah luar biasa khususnya terkait strategi mental computation.
2. Bagi guru, penelitian ini bermanfaat untuk mengetahui
strategi mental computation siswa disleksia dalam
menyelesaikan soal matematika sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar siswa dan mengaplikasikannya kepada siswa disleksialainnya.
3. Bagi peneliti dan peneliti lain, sebagai bahan informasi untuk
penelitian lebih lanjut tentang strategi mental computation
pada siswa disleksia.
E. Definisi Operasional
Dari permasalahan yang telah diungkapkan di atas, maka perlu disampaikan definisi operasional agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam memahami konsep, yaitu sebagai berikut: 1. Mental computation adalah proses melakukan perhitungan
tanpa menggunakan alat bantu, seperti pensil, kertas, kalkulator, ataupun komputer.
2. Strategi mental computation adalah strategi yang dilakukan siswa untuk menyelesaikan suatu perhitungan tanpa menggunakan alat bantu, seperti pensil, kertas, kalkulator, ataupun komputer.
3. Siswa disleksia adalah siswa yang mengalami kesulitan dalam
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Mental Computation
Kata mental diambil dari bahasa Latin yaitu dari kata mens
atau metis yang memiliki arti jiwa, nyawa, sukma, roh, semangat. James Draver memaknai mental yaitu “revering to the mind” maksudnya adalah sesuatu yang berhubungan dengan pikiran atau pikiran itu sendiri1. Dengan demikian mental ialah hal-hal yang
berkaitan dengan psycho atau kejiwaan yang dapat mempengaruhi
perilaku individu. Setiap perilaku dan ekspresi gerak-gerik individu
merupakan dorongan dan cerminan dari kondisi (suasana) mental2.
Sedangkan computation yaitu the procedure of calculating;
determining something by mathematical or logical methods; problem solving that involves numbers or quantities3. Computation
atau komputasi yaitu prosedur dalam menghitung; menentukan sesuatu menggunakan metode matematika; pemecahan masalah
yang melibatkan angka. Sehingga computation dapat diartikan
sebagai proses perhitungan.
Mental computation merupakan proses melakukan perhitungan tanpa menggunakan alat bantu, seperti pensil, kertas, kalkulator, ataupun komputer. Namun tanpa disadari setiap anak
terlebih dahulu menggunakan mental computation untuk
melakukan perhitungan, akan tetapi ketika sudah memasuki sekolah guru akan terlebih dahulu mengajarkan siswanya untuk
melakukan perhitungan menggunakan algoritma tulis (pen and
paper). Namun sangat disayangkan, banyak siswa yang terjebak dengan cara tersebut karena mereka seolah-olah dibiasakan untuk menggunakan algoritma tulis. Dalam beberapa penelitian
sebelumnya menyebutkan bahwa memaksa siswa untuk
mempelajari algoritma tulis sejak kecil dapat menghambat siswa untuk menemukan sendiri pemikiran tentang bilangan dan
menghambat perkembangan number sense siswa, serta menambah
1
James Draver, “A Dictionary of Psychology”, (New York: Pengin Books), 169.
2 Kartini Kartono dan Jenny Andari, “Hygiene Mental dan Kesehatan Mental dalam Islam”, (Bandung : Mandar Maju, 1989), 3.
kebingungan siswa mengenai nilai tempat suatu bilangan4. Akan tetapi, tidak selamanya algoritma tulis membawa dampak buruk bagi siswa. Algoritma tulis juga akan membantu siswa menjadi lebih baik dalam perhitungan apabila kemampuan perhitungan secara mental atau mental computation terasah dengan baik. Begitu
juga sebaliknya, Mental computation akan membantu siswa untuk
mengecek kebenaran perhitungan tertulis yang mereka lakukan, sedangkan kemampuan algoritma tulis juga dapat membantu siswa
lebih memahami strategi mental computation yang mereka
gunakan5.
Reys mengemukakan bahwa mental computation is a
process of producing an exact answer to a computational problem without any external computational aid6. Kutipan tersebut
menjelaskan bahwa mental computation adalah proses untuk
menghasilkan jawaban yang tepat dari suatu permasalahan hitungan tanpa bantuan perangkat eksternal. Seperti yang
dikemukakan oleh Heirdsfield bahwa mental computation defined
as arithmetic calculation without the aid of external devices (eg. pen and paper, calculator)” 7.
Hal tersebut menunjukkan bahwa mental computation dapat
dilihat sebagai kumpulan langkah-langkah yang dilakukan secara
mental. Reys percaya bahwa mental computation memberikan
pemahaman lebih pada struktur bilangan dan sifat-sifatnya, selain itu mental computation juga dapat meningkatkan kreativitas dan kebebasan berpikir serta mendukung siswa untuk menciptakan cara-cara pintar dalam menyelesaikan permasalahan mengenai bilangan8. Hal tersebut didukung oleh pendapat Reys dan Barger
4 Yusuf Ansori, Skripsi: “Profil Mental Computation Siswa SMP Dalam Menyelesaiakan Masalah Kontekstual Ditinjau Dari Kemampuan Matematika”, (Surabaya: Universitas Negeri Surabaya, 2013), 2.
5
Hanim Faizah, “Strategi Mental Computation Siswa Dalam Melakukan Operasi Hitung Penjumlahan dan Pengurangan Bilangan Asli”, (Jurnal Buana Pendidikan diterbitkan oleh FKIP Universitas PGRI Adi Buana Surabaya, 2015), 80.
6 Chusnul Khotimah Galatae, “Mental Computation Strategies by 5th Graders According to Object Spatial-Verbal Cognitive Style”, (makalah dipresentasikan dalam Proceeding of International on Research, Implementation and Education of Mathematics and Sciences, Universitas Negeri Yogyakarta, 2014), 1.
bahwa mental computation assists in developing number sense because it makes students think9.
McIntosh mengungkapkan beberapa alasan mengenai pentingnya mental computation diantaranya yaitu:10
a. Mental computation merupakan cara berhitung yang paling sering digunakan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari
In everyday life it is very common that an approximate answer to an arithmetic problem is needed, rather than an exact one. This is espacially so if the answer can be found quickly, without resorting to tools such as pencil and paper or a calculator or the shop’s cash register.11
Secara tidak sadar hampir sebagian masyarakat
menggunakan beberapa strategi mental computation untuk
menyelesaikan masalah yang ditemui dalam kehidupan
sehari-hari karena hampir semua aspek kehidupan
membutuhkan perhitungan, khususnya pada operasi
sederhana penjumlahan dan pengurangan dimana untuk menyelesaikannya membutuhkan waktu yang cepat dan tanpa
menggunakan alat bantu perhitungan. Oleh karena itu mental
computation merupakan satu hal penting yang harus diterapkan dari sejak dini. Sehingga tidak akan terjadi
kesulitan ketika menghadapi berbagi situasi yang
membutuhkan perhitungan.
b. Mental computation diperlukan untuk memeriksa kembali jawaban pada komputer
Penggunaan alat bantu hitung seperti kalkulator semakin banyak digunakan, namun penggunaan alat tersebut tidak bisa memastikan kita akan mendapatkan jawaban yang
9 Ibid.
10 Alistair McIntosh, “Mental Computation: A Strategies Approach (Module 1: Introduction)”, (Tasmania: University of Tasmania, 2004), 6.
11
DEECD – Victorian Departement of Education and Early Childhood Development, Mental Computation and Estimation, diakses dari
tepat. Sehingga mental computation sangat diperlukan untuk mengecek jawaban tersebut.
c. Murid-murid seharusnya menganggap bahwa mental
computation merupakan cara termudah untuk melakukan perhitungan
Matematika merupakan mata pelajaran yang ditakuti oleh sebagian siswa karena sebagian siswa tersebut merasa sulit untuk melakukan perhitungan. Namun tanpa disadari mereka akan menemui banyak permasalahan yang berkaitan
erat dengan perhitungan. Sehingga mental computation sangat
perlu diajarkan karena hal tersebut akan menunjukkan kepada siswa bahwa perhitungan merupakan hal yang mudah untuk dilakukan.
Terdapat beberapa strategi mental computation yang
digunakan oleh siswa untuk menyelesaikan permasalahan yang terkait dengan perhitungan. Strategi mental computation yang digunakan oleh siswa akan sangat membantu siswa dalam mempercepat perhitungan dan yang lebih penting ialah melatih siswa untuk membuat cara-cara baru dalam meningkatkan kemampuan berhitungnya. Berikut adalah strategi-strategi mental computation pada bilangan satuan yang dikemukakan oleh McIntosh:12
1. Spin-Arrounds (Komutatif)
Strategi ini merupakan strategi penyelesaian soal operasi penjumlahan dengan cara menjumlahkan bilangan kedua terlebih dahulu dengan bilangan pertama. Dengan kata lain siswa menjumlahkan dengan menggunakan sifat komutatif pada operasi penjumlahan.
Contoh: 2 + 5 =
5 + 2 = 7
Contoh tersebut menunjukkan bahwa untuk menjawab
2 + 5 siswa menggunakan strategi Spin-Arrounds
(commativity) yaitu dengan cara membalik 2 + 5
menjadi 5 + 2 sehingga menghasilkan jawaban yang tepat yaitu 7.
2. Counting On and Back (Menghitung Maju dan
Menghitung Mundur)
Strategi Counting On merupakan strategi penyelesaian
soal operasi penjumlahan dengan cara menghitung maju sebanyak bilangan kedua dimulai dengan bilangan yang pertama atau sebaliknya.
Contoh: 6 + 3 = 9
Contoh tersebut menunjukkan baahwa untuk
menjawab 6 + 3 siswa menggunakan strategi Counting
On yaitu dengan cara menghitung maju sebanyak tiga
langkah dari bilangan pertama sehingga menghasilkan jawaban yang tepat yaitu 9.
Sedangkan strategi Counting Back yaitu siswa akan menyelesaikan soal operasi pengurangan dengan cara menghitung mundur sebanyak bilangan kedua dari bilangan pertama atau sebaliknya.
Contoh: 7 − 5 = 2
Contoh tersebut menunjukkan bahwa untuk menjawab 7 – 5 siswa menggunakan strategi Counting Back yaitu
dengan cara menghitung mundur sebanyak lima
6
7
8
9
1
2
3
7
6
5
4
3
2
langkah dari bilangan pertama sehingga menghasilkan jawaban yang tepat yaitu 2.
3. Doubles/Near Doubles (Ganda/Dekat dengan Ganda)
Strategi Double merupakan penyelesaian soal operasi penjumlahan dengan menggunakan pengetahuan yang telah dimiliki yaitu jawaban dari penjumlahan dua angka yang sama atau double.
Contoh: 5 + 5 = 10
Contoh tersebut menunjukkan bahwa untuk menjawab
5 + 5 siswa menggunakan strategi Double karena
untuk menjawab soal tersebut siswa mengetahui jawaban tanpa menghitungnya terlebih dahulu yaitu dengan menggunakan pegetahuan yang telah dimiliki.
Sedangkan strategi Near Double merupakan strategi
yang berkaitan erat dengan penggunaan strategi Double yaitu
untuk menyelesaikan soal operasi penjumahan siswa akan menjumlahkan dua angka yang sama terlebih dahulu
menggunakan strategi Double dan kemudian
menjumlahkannya lagi dengan sebagian bilangan kedua atau pertama.
Contoh: 5 + 7 =
(5 + 5) + 2 = 10 + 2 = 12
Contoh tersebut menunjukkan bahwa untuk menjawab 5 + 7 siswa menggunakan strategi Near Double yaitu menjumlahkan dua angka yang sama terlebih dahulu yaitu 5 + 5 sehingga menghasilkan jawaban 10 dan kemudian menjumlahkannya lagi dengan dua sehingga menghasilkan jawaban akhir yang tepat yaitu 12.
4. Bridging Ten (Menghubungkan dengan 10)
bilangan-bilangan yang apabila ditambah menghasilkan jawaban 10 terlebih dahulu. Kemudian menjumlahkannya lagi dengan sebagian bilangan kedua atau yang pertama.
Contoh: 8 + 6 =
(8 + 2) + 4 = 10 + 4 = 14
Contoh tersebut menunjukkan bahwa untuk menjawab
8 + 6 siswa menggunakan strategi Bridging Ten yaitu
dengan cara menjumlahkan bilangan pertama dengan sebagian bilangan kedua sehingga menghasilkan jawaban 10. Kemudian menjumlahkannya lagi dengan sebagian dari bilangan kedua sehingga diperoleh jawaban yang tepat yaitu 14.
5. Think Addition (Menjadikan Penjumlahan)
Strategi Think Addition merupakan penyelesaian soal
operasi pengurangan dengan cara mengubah soal
pengurangan menjadi soal penjumlahan atau dengan kata lain siswa menggunakan sifat invers.
Contoh: 9 − 4 =
4 + …. = 9 4 + 5 = 9 9 − 4 = 5
McIntosh juga mengemukakan beberapa strategi mental computation yang digunakan pada bilangan puluhan yaitu sebagai berikut:13
1. Strategi mental computation pada operasi penjumlahan
a. Bridging Multiples of Ten (Menghubungkan dengan
10)
Strategi Bridging Multiples of Ten merupakan
penyelesaian soal operasi penjumlahan dengan cara siswa akan memilih salah satu bilangan yang akan dijadikan kelipatan dari 10 dengan menambahnya dengan sebagian dari bilangan yang lain dan kemudian menjumlahkan dengan sisanya.
Contoh: 47 + 8 =
47 + 3 = 50 50 + 5 = 55
Contoh tersebut menunjukkan bahwa untuk menjawab 47 + 8 siswa menggunakan metode
Bridging Multiples of Ten yaitu dengan cara siswa menambahkan bilangan pertama yaitu 47 dengan sebagian dari bilangan kedua yaitu 3 sehingga menghasilkan 50. Kemudian menjumlahkannya dengan sisa bilangan kedua yaitu 5 (8 - 3) sehingga menghasilkan jawaban yang tepat yaitu 55.
b. Adding Parts of The Second Number (Menambah
dengan Sebagian Bilangan Kedua)
Strategi ini digunakan untuk menyelesaikan soaal
operasi penjumlahan dengan cara siswa akan
menjumlahan bilangan pertama dengan bilangan kedua dimana bilangan kedua akan dipisah menjadi dua bilangan yang salah satunya akan memudahkan siswa dalam
menjumlahkannya seperti menjadikan salah satu
bilangannya menjadi kelipatan dari 10.
Contoh: 29 + 26 = 29 + (20 + 6) = 29 + 20 + 6 = 49 + 6 = 55
Contoh tersebut menunjukkan bahwa untuk menjawab 29 + 26 siswa menggunakan metode
Adding Parts of The Second Number yaitu dengan cara siswa menjumlahkan bilangan pertama dengan bilangan kedua dimana sebelum menjumlahkannya siswa terlebih dahulu memisah bilangan kedua menjadi 20 + 6 sehingga didapatkan hasil yang tepat yaitu 55.
c. Working from The Left (Menjumlahkan dari Kiri)
Strategi Working from The Left merupakan
penyelesaian soal operasi penjumlahan dengan cara siswa akan menjumlahkan bilangan pertama dan kedua dimulai dengan menjumlahkan bilangan yang berada di sebelah kiri yaitu puluhan dan kemudian menjumlahkan bilangan yang berada di sebelah kanan yaitu satuan dan kemudian menjumlahkan kedua hasil penjumlahan antar puluhan dan satuan.
Contoh: 29 + 26 =
20 + 20 = 40
9 + 6 = 15
40 + 15 = 55
Contoh tersebut menunjukkan bahwa untuk menjawab 29 + 26 siswa menggunakan metode
Working from The Left yaitu dengan cara menjumlahkan terlebih dahulu bilangan yang menempati puluhan yaitu 20 + 20 sehingga dihasilkan 40, kemudian menjumlahkan bilangan yang menempati satuan yaitu 9 + 6 sehingga
dihasilkan 15 dan langkah terakhir yaitu
d. Working from The Right (Menjumlahkan dari Kanan)
Strategi Working from The Right merupakan
penyelesaian soal operasi penjumlahan dengan cara siswa akan menjumlahkan bilangan pertama dan kedua dimulai dengan menjumlahkan bilangan yang berada di sebelah kanan yaitu satuan dan kemudian menjumlahkan bilangan yang berada di sebelah kiri yaitu puluhan dan kemudian menjumlahkan kedua hasil penjumlahan antar puluhan dan satuan.
Contoh: 29 + 26 =
9 + 6 = 15
20 + 20 = 40 15 + 40 = 55
Contoh tersebut menunjukkan bahwa untuk menjawab 29 + 26 siswa menggunakan metode
Working from The Right yaitu dengan cara menjumlahkan terlebih dahulu bilangan yang menempati satuan yaitu 9 + 6 sehingga dihasilkan 15, kemudian menjumlahkan bilangan yang menempati puluhan yaitu 20 + 20 sehingga
dihasilkan 40 dan langkah terakhir yaitu
menjumlahkan 15 dan 40 sehingga didapatkan hasil yang tepat yaitu 55.
2. Strategi mental computation pada operasi pengurangan
a. Bridging Multiples of Ten (Menghubungkan dengan
10)
Strategi Bridging Multiples of Ten merupakan
penyelesaian soal operasi pengurangan dengan cara siswa akan memilih salah satu bilangan yang akan dijadikan kelipatan dari 10 dengan mengurangkan dengan sebagian dari bilangan yang lain dan kemudian mengurangkan dengan sisanya.
Contoh: 35 - 8 =
Contoh tersebut menunjukkan bahwa untuk menjawab 35 - 8 siswa menggunakan metode
Bridging Multiples of Ten yaitu dengan cara siswa mengurangkan bilangan pertama yaitu 35 dengan sebagian dari bilangan kedua yaitu 5 sehingga menghasilkan 30. Kemudian mengurangkannya dengan sisa bilangan kedua yaitu 3 (8 - 5) sehingga menghasilkan jawaban yang tepat yaitu 27.
b. Subtracting Parts of The Second Number
(Mengurangkan dengan Sebagian Bilangan Kedua)
Strategi Subtracting Parts of The Second Number
merupakan penyelesaian soal operasi pengurangan dengan cara siswa akan mengurangkan bilangan pertama dengan bilangan kedua dimana bilangan kedua akan dipisah menjadi dua bilangan yang salah satunya akan memudahkan siswa dalam mengurangkannya seperti menjadikan salah satu bilangannya menjadi kelipatan dari 10.
Contoh: 48 - 17 =
48 – (10 + 7) =
48 – 10 – 7 =
38 - 7 = 31
Contoh tersebut menunjukkan bahwa untuk menjawab 48 - 17 siswa menggunakan metode
Subtracting Parts of The Second Number yaitu dengan cara siswa mengurangkan bilangan pertama
dengan bilangan kedua dimana sebelum
B. Disleksia
1. Kesulitan Belajar
Kesulitan belajar atau learning disability yang biasa juga disebut dengan istilah learning disorder atau learning difficulty adalah suatu kelainan yang membuat individu yang bersangkutan sulit untuk melakukan kegiatan belajar secara efektif14. Reid mengemukakan pendapatnya bahwa kesulitan belajar biasanya tidak dapat diidentifikasi sampai anak mengalami kegagalan dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik yang harus dilakukannya. Selanjutnya, ia mengatakan bahwa siswa yang teridentifikasi mengalami kesulitan belajar memiliki ciri-ciri, antara lain seperti berikut ini:15
a. Memiliki tingkat intelegensi (IQ) normal, bahkan diatas
normal, atau sedikit dibawah normal berdasarkan tes IQ. Namun, siswa yang memiliki IQ sedikit dibawah normal bukanlah karena IQ-nya yang dibawah normal, akan tetapi kesulitan belajar yang dialaminya menyebabkan ia mengalami kesulitan dalam menjalani tes IQ sehingga
memperoleh score yang rendah.
b. Mengalami kesulitan dalam beberapa mata pelajaran,
tetapi menunjukkan nilai yang baik pada mata pelajaran lain.
c. Kesulitan belajar yang dialami siswa yang berkesulitan belajar berpengaruh terhadap keberhasilan belajar yang dicapainya sehingga siswa tersebut dapat dikategorikan
ke dalam lower achiever (siswa dengan pencapaian hasil
belajar di bawah potensi yang dimilikinya).
Sebagian ahli dibidang kesulitan belajar berkeyakinan bahwa kesulitan belajar disebabkan oleh faktor yang berkaitan dengan luka minimal yang terjadi pada otak (minimaly brain damage/MBD). Akibat dari keadaan ini,
maka terjadi disfungsi minimal otak (minimal brain
dysfunction), yang menjadi penyebab terjadinya kesulitan belajar16.
14
Martini Jamaris, “Kesulitan Belajar: Perspektif, Asesmen, dan Penanggulangannya”, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2014), 3.
Catatan: - - - = dapat terjadi apabila tidak dilakukan intervensi secara tuntas diusia dini
Diagram. 2.1 Profil Kesulitan Belajar
Kesulitan Belajar
Kesulitan Belajar dalam Tugas-tugas Perkembangan
Kesulitan dalam
perhatian
Kesulitan dalam
mengingat
Kesulitan dalam
persepsi
Perseptual
motor
Kesulitan
dalam berpikir
Kesulitan
dalam bahasa
Kesulitan dalam pengolahan informasi
Kesulitan belajar akademik
Kesulitan perilaku
Kesulitan Membaca
Kesulitan Mengarang
Kesulitan Menulis
Para ahli yang berkecimpung di dalam bidang ini, antara lain ini, antara lain Mayer & Hammil, Brutten, Richardson & Mangel, Lerner, Reid & Hresko, dan Krik & Gallagher mengemukakan bahwa kesulitan belajar mencakup rentang yang luas, yang meliputi: kesulitan dalam perkembangan motorik, kesulitan perhatian, kesulitan persepsi, kesulitan dalam mengingat, mendengar, berbicara,
membaca, mengarang, aritmatik, konsep diri, dan
keterampilan sosial. Sedangkan Kirk dan Gallagher mengklasifikasikan kesulitan belajar dalam dua klasifikasi. Klasifikasi pertama berkaitan dengan aspek-aspek yang menyangkut kesulitan dalam mempelajari aspek-aspek perkembangan yang mencakup kesulitan dalam memusatkan perhatian, kesulitan dalam mengingat informasi, kesulitan dalam persepsi dan perseptual motorik, kesulitan dalam proses berpikir dan kesulitan dalam perkembangan bahasa. Kasifikasi kedua menyangkut aspek pengolahan informasi dan kesulitan belajar yang ketiga adalah kesulitan akademik, yaang mencakup kesulitan membaca, kesulitan menulis, kesulitan matematika, dan kesulitan akademik lainnya serta kesulitan perilaku17.
2. Definisi Disleksia
Istilah disleksia banyak digunakan dalam istilah
kedokteran dan dikaitkan dengan adanya gangguan fungsi neurobiologis atau gangguan saraf pusat otak. Disleksia berasal dari bahasa Yunani yang artinya “kesulitan membaca”. Bryan dan Bryan mendefinisikan disleksia sebagai suatu sindrom kesulitan dalam mempelajari komponen-komponen kata dan kalimat, mengintegrasikan komponen-komponen kata dan kalimat, dan dalam belajar segala sesuatu yang berkenaan dengan waktu, arah, dan masa18. Anak disleksia biasanya juga mengalami kesulitan dalam mengartikan atau mengenali struktur kata-kata (misalnya sisipan, penggantian atau kebalikan) atau
17 Ibid., 33.
memahaminya (misalnya, memahami fakta-fakta dasar, gagasan utama, urutan peristiwa, atau topik sebuah bacaan), serta cepat melupakan apa yang telah dibacanya. Ada juga ahli yang mendefinisikan disleksia sebagai suatu kondisi pemrosesan input atau informasi yang berbeda (dari anak normal) yang seringkali ditandai dengan kesulitan dalam membaca, yang dapat mempengaruhi cara kognisi seperti
daya ingat, kecepatan pemrosesan input, kemampuan
pengaturan waktu, aspek koordinasi dan pengendalian gerak19.
Kesulitan membaca juga bisa disebabkan oleh masalah dalam persepsi visual yaitu anak-anak yang mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi huruf. Seperti yang
diungkapkan oleh Hoefer: Reading disability is defined is an
inabality to read at a level that is considered standard or normal, given an individual’s perceived ability and their age or grade.20 Kutipan tersebut menjelaskan bahwa Reading disability atau disleksia adalah ketidakmampuan membaca pada level standar atau batas normal yang harus dikuasai oleh seorang individu yang sesuai dengan level perkembangan usia dan perkembangan intelektual. Misalnya semasa awal kanak-kanak, seorang anak yang menderita disleksia mempelajari kesulitan dalam mempelajari bahasa lisan. Selanjutnya ketika tiba masanya untuk sekolah, anak disleksia mengalami kesulitan dalam mengenali dan mengeja kata-kata, sehingga pada akhirnya mereka mengalami masalah dalam memahami maknanya. Sesuai dengan pendapat yang telah dikemukakan oleh Padget yaitu:21
Disleksia merupakan gangguan belajar bahasa yang bersifat biologis di mana gangguan utama dan sebenarnya berhubungan dengan
19
Istijani. Tesis: “Pengembangan Modul Pembelajaran Bahasa Indonesia Berbasis Multimedia untuk Anak Disleksia Pada Sekolah Dasar Inklusi”. (Surabaya: Universitas Negeri Surabaya, 2013), 26.
20 Chusnul Chotimah. Tesis: “Penerapan Metode VAKT Berbasis Parent Tutoring untuk Meningkatkan Kemampuan Membaca Permulaan Pada Anak Learning Disability di Sekolah Inklusif”, (Surabaya: Universitas Negeri Surabaya, 2013), 47.
21 Aniya, “Learning Disabilities”, diakses dari
penguasaan bacaan tertulis (membaca,
menulis, dan mengeja). Disleksia
dikarakterisasikan dengan kemampuan
membaca sandi dan mengeja yang buruk juga kekurangan dalam kesadaran fonologikal
dan/atau manipulasi fonologikal.
Karakteristik utama mungkin terjadi
bersamaan dengan kesulitan bahasa ucap dan kekurangan dalam ingatan jangka pendek.
Karakter kedua mencakup penguasaan
membaca yang buruk (karena kesulitan membaca sandi dan mengingat) dan buruknya ekspresi tertulis dan kesulitan mengorganisasi informasi untuk belajar dan mengingat kembali.
3. Karakteristik Disleksia
Sebagian ahli berargumen bahwa kesulitan mengenali
bunyi-bunyi bahasa (fonem) merupakan dasar bagi
keterlambatan kemampuan membaca. Kemampuan ini penting sekali bagi pemahaman hubungan antara bunyi bahasa dan tulisan yang mewakilinya. Berikut adalah karakteristik dari anak disleksia menurut beberapa ahli yaitu:
Menurut Reid & Hresko karakteristik disleksia adalah sebagai berikut:22
a. Membaca lamban, turun naik intonasinya, dan kata demi
kata
b. Sering membolak-balik huruf dan kata-kata
c. Kacau terhadap kata-kata yang hanya sedikit perbedaan
susunannya
d. Sering menebak dan mengulangi kata-kata dan frase.
Sedangkan Vernon mengemukakan perilaku anak
berkesulitan membaca sebagai berikut:23
a. Memiliki kekurangan dalam diskriminasi penglihatan
b. Tidak mampu menganalisis kata-kata menjadi
huruf-huruf
c. Memiliki kekurangan dalam memori visual
d. Memiliki kekurangan dalam melakukan diskriminasi
auditori
e. Tidak mampu memahami simbol bunyi
f. Kurang mampu mengintegrasikan penglihatan dengan
pendengaran
g. Kesulitan dalam mempelajari asosiasi simbol-simbol
ireguler (khusus yang berbahasa Inggris)
h. Kesulitan dalam mengurutkan kata-kata dan huruf-huruf
i. Membaca kata demi kata
j. Kurang memiliki kemampuan dalam berpikir
konseptual.
Menurut Ekwall & Shanker terdapat beberapa gejala berkaitan dengan kasus disleksia sebagai berikut:24
a. Pembalikan huruf dan kata, misalnya membalikkan
huruf b dengan d, p dengan g, m dengan n, kata kuda dengan daku, palu dengan lupa, tali dengan ilat, satu dengan utas
b. Pengingatan pada kata mengalami kesulitan atau tidak
menentu (eratik)
c. Membaca ulang oral (secara lisan) tak bertambah baik setelah menyusul
d. Membaca tanpa suara (dalam hati) atau membaca oral
(secara lisan) yang pertama
e. Ketidaksanggupan menyimpan informasi dalam memori
sampai waktu diperlukan
f. Kesulitan dalam konsentrasi
g. Koordinasi motorik tangan-mata lemah
h. Kesulitan pada pengurutan
i. Ketidaksanggupan bekerja secara cepat
j. Penghilangan tentang kata-kata dan prasa
k. Kekacauan berkaitan dengan membaca secara oral
(lisan) misalnya tak mampu membedakan antara b dan d, p dan q, m dan n
l. Diskriminasi auditori lemah
m. Miskin dalam sintaksis (ilmu tata bahasa), gagap, dan bicara terputus-putus
n. Prestasi belajar dalam berhitung tinggi daripada dalam membaca dan mengeja
o. Hyperaktivitas.
Sementara itu Guszak mengemukakan ciri-ciri anak disleksia sebagai berikut:25
a. Membalikkan huruf atau kata
b. Kesulitan atau tak mampu mengingat kata
c. Kesulitan atau tak mampu menyimpan informasi dalam
memori
d. Sulit berkonsentrasi
e. Sulit dalam melihat keterhubungan
f. Sulit melakukan koordinasi tangan-mata
g. Sulit dalam segi mengurutkan
h. Membaca lambat
i. Penanggalan kata, frasa dan sebagainya
j. Kekacauan membaca secara oral
k. Kinerja matematika secara signifikan lebih tinggi
daripada kinerja membaca.
Hal tersebut diperjelas dengan pernyataan dari HKI bahwa bentuk-bentuk-bentuk kesulitan membaca diantaranya berupa:26
a. Penambahan
Menambahkan huruf pada suku kata. Contoh : suruh – disuruh; buku – bukuku
b. Penghilangan
Menghilangkan huruf pada suku kata.
Contoh: kelapa – lapa; kompor – kopor; kelas – kela
25 Ibid, 29.
c. Pembalikan kiri – kanan
Membalikkan bentuk huruf, kata, ataupun angka dengan arah terbalik kiri – kanan.
Contoh: buku – duku; palu – lupa;
d. Pembalikan atas – bawah
Membalikkan bentuk huruf, kata, ataupun angka dengan arah terbalik atas – bawah.
Contoh: m – w; n – u; nana – uaua; mama – wawa; 2 – 5; 6 – 9
e. Penggantian
Mengganti huruf atau angka.
Contoh: mega – meja; nanas – mamas; 3 – 8
4. Faktor Penyebab Disleksia
Penyebab utama dari disleksia adalah faktor internal, yaitu kemungkinan adanya disfungsi neurologis. Disfungsi neurologis sering tidak hanya menyebabkan kesulitan belajar tetapi juga menyebabkan tunagrahita dan gangguan emosional. Berbagai faktor yang dapat menyebabkan
disfungsi neurologis yang pada gilirannya dapat
menyebabkan kesulitan belajar antara lain:27
a. Faktor genetik
Berbagai penelitian melaporkan bahwa faktor genetik berperan sangat signifikan pada kejadian disleksia. Seorang ayah yang disleksia mempunyai potensi menurunkan disleksianya sebesar 40% kepada anak laki-lakinya. Orang tua yang penandang disleksia, dilaporkan sekitar 50% anak-anaknya juga menyandang disleksia, dan jika salah satu anak adalah penyandang disleksia dilaporkan 50% saudara kandungnya juga menyandang disleksia28.
b. Luka pada otak karena trauma fisik atau karena
kekurangan oksigen
c. Biokimia yang hilang (misalnya biokimia yang
diperlukan untuk memfungsikan saraf pusat)
27 Ibid, 30.
d. Biokimia yang merusak otak (misalnya zat pewarna pada makanan), pencemaran lingkungan (misalnya pencemaran timah hitam), dan gizi yang tidak memadai
e. Pengaruh-pengaruh psikologis dan sosial yang
merugikan perkembangan anak (deprivasi lingkungan). Selain faktor tersebut di atas, terdpaata faktor-faktor lain yang menyebabkan seorang anak menderita dileksia, yaitu:29
a. Faktor Pendidikan
Metode yang digunakan dalam mengajarkan
membaca adalah metode whole-word yang mengajarkan
kata-kata sebagai satu kesatuan daripada mengajarkan kata sebagai bentuk bunyi dari suatu tulisan. Sedangkan beberapa ahli mengklaim bahwa mengajarkan membaca menggunakan metode fonetik akan memberikan fondasi yang baik untuk membaca. Metode fonetik ialah mengajarkan anak nama-nama huruf berdasarkan bunyinya.
b. Faktor Psikologis
Beberapa peneliti memasukkan disleksia ke dalam gangguan psikologis atau emosional sebagai akibat dari tindakan kurang disiplin, tidak memiliki orangtua, sering pindah sekolah, kurangnya kerjasama dengan guru, atau penyebab lain. Di sisi lain, stress juga dapat mengakibatkan disleksia, namun yang jelas sress dapat memperburuk masalah belajar.
c. Faktor Biologis
Sejumlah peneliti meyakini bahwa disleksia merupakan akibat dari penyimpangan fungsi bagian-bagan tertentu drai otak. Diyakini bahwa area-area
tertentu dari otak anak disleksia mengalami
perkembangan yang lambat dibanding dengan anak-anak normal. Di samping itu kematangan otaknya pun lambat. Faktor genetik juga diperkirakan turut berperan. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa 50% atau
lebih anak disleksia memiliki riwayat orangtua yang disleksia atau gangguan lain yang berkaitan.
d. Kecelakaan
Gangguan kemampuan membaca atau mengenali huruf serta simbol huruf akibat kerusakan saraf otak atau selaput otak, sehingga otak kiri bagian belakang terganggu. Kerusakan ini disebabkan oleh infeksi atau kecelakaan. Karena kerusakan ini, otak tidak berfungsi mengenali semua citra (image) yang ditangkap indera penglihatan karena ada gangguan sambungan otak kiri dan kanan.
5. Asesmen Kesulitan Membaca
Assesmen merupakan proses yang dilakukan dalam kegiatan secara sistematis dalam rangka mengumpulkan informasi tentang perkembangan anak dan kemajuan belajar yang dicapainya30. Dalam asesmen kesulitan belajar terdapat dua macam asesmen, yaitu asesmen formal dan asesmen informal. Asesmen formal dilakukan dengan menggunakan alat asesmen yang telah baku. Sedangkan asesmen informal merupakan bentuk asesmen nonbaku yang dikembangkan oleh guru atau pihak-pihak yang berkaitan dengan pelayanan dan penanggulangan kesulitan belajar. Nonbaku bukan berarti alat yang digunakan belum diuji coba validitas dan reabilitasnya, akan tetapi uji coba tersebut baru dilakukan dalam lingkup yang terbatas31.
Berikut adalah penjelasan dari berbagai bentuk alat
asesmen formal yang diuraikan oleh Mc.Loughlin, yaitu:32
1. Tes Intelegensi (IQ)
Tes intelegensi digunakan dalam rangka
mengukur tigkat intelegensi anak sebelum ia ditetapkan sebagai anak yang mengalami kesulitan belajar. Tes intelegeni baku yang biasa digunakan ialah Weschsler Intelligence Scale for Children-Received (WISC-R).
30 Martini Jumaris, Op. Cit., 43.
2. Tes Pencapaian Hasil Belajar
Untuk mengetahui aspek-aspek yang
berhubungan dengan pencapaian hasil belajar maka dapat dilakukan tes-tes baku seperti:
a. Woodcock-Johnson Psycho-Educational Batery
Woodcock-Johnson Psycho-Educational Batery adalah salah satu tes baku yang digunakan untuk mengukur kemampuan individu yang berusia tiga tahun sampai dengan 80 tahun. Tes ini dibagi dalam tiga bagian yang mencakup berbagai jenis subtes, yaitu mengukur kemampuan kognitif individu, mengukur pencapaian hasil belajar, dan mengukur minat individu.
b. Peabody Individual Achievement Test (PIAT)
Peabody Individual Achievement Test
(PIAT) adalah salah satu tes yang dibuat untuk mengukur kemampuan kognitif dan pencapaian hasil individu berusia enam tahun sampai dengan 60 tahun.
c. Wide Range Achievement Test (WRAT)
Wide Range Achievement Test (WRAT) bertujuan untuk mengukur kemampuan individu yang berusia tiga tahun sampai dengan 74 tahun di dalam bidang membaca, mengeja, dan aritmatik atau matematika. Tujuan khusus dari penggunaan WRAT adalah untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan individu di dalam bidang-bidang membaca, mengeja, dan aritmatik atau matematika.
d. Woodcock Reading Mastery Test
dilengkapi dengan kata yang sesuai, pemahamaan makna kata, dan pemahaman makna paragraf.
e. Keymath Diagnostic Arithmetic Test
Keymath Diagnostic Arithmetic Test
bertujuan mengukur kekuatan dan kelemahan individu dalam matematika, khususnya yang berkaitan dengan aritmatik. Tes ini diberikan pada individu berusia enam tahun sampai dengan 17 tahun.
f. Test of Written Language (TOWL)
Test of Written Language (TOWL)
bertujuan untuk mengukur kekuatan dan
kelemahan individu berusia tujuh tahun sampai dengan 18 tahun dalam bidang keterampilan berbahasa secara tertulis.
g. Test of Language Develompent Primary
(TOLD-P)
Test of Language Develompent Primary
(TOLD-P) bertujuan untuk mengukur kemampuan bahasa: penguasaan secara pasif dan penguasaan secara aktif. Tes ini diberikan untuk individu berusia empat tahun sampai dengan delapan tahun.
h. Test of Adolecent Language (TOAL)
Test of Adolecent Language (TOAL) bertujuan untuk mengukur kemampuan bahasa individu berusia 11 tahun sampai dengan 18 tahun.
Dari berbagai alat asesmen yang telah dijelaskan di atas, terdapat tiga alat asesmen baku yang biasa digunakan pada anak yang diperkirakan mengalami kesulitan membaca
yaitu Woodcock Reading Mastery Test, Test of Language
Develompent Primary (TOLD-P), dan Test of Adolecent Language (TOAL)33.
Sedangkan untuk melakukan asesmen informal pada anak yang diperkirakan mengalami kesulitan belajar dapat digunakan berbagai bentuk tes yaitu sebagai berikut:34
1. Observasi
Observasi merupakan suatu kegiatan
pengumpulan data yang memerlukan ketekunan dan keterampilan. Beberapa contoh yang berkaitan dengan
hasil observasi yang dilakukan berdasarkan
keterampilan observasi yang dilakukan berdasarkan
keterampilan observasi yang berkaitan dengan
kemampuan anak berkesulitan belajar dalam
membangun komunikasi dua arah, kemampuan
berkomunikasi yang lebih kompleks, dan kemampuan mengemukakan ide yang berkaitan dengan ekspresi emosional.
Tabel 2.1
Catatan: A= Kemampuan selalu tampak B= Kemampuan belum tampak C= Kemampuan kadang-kadang
tampak
H= dalam keadaan tertekan (lapar, bosan, takut, dll) kemampuan tidak tampak
2. Rating Scale
Rating scale digunakan sebagai alat pencatat selama melakukan pengamatan terhadap kegiatan kemajuan belajar siswa dalam bidang akademik dan perkembangannya dibidang nonakademik atau dibidang sosial. Aspek-aspek yang dapat diukur dengan
menggunakan rating scale yaitu pemahaman terhadap
apa yang didengar, kemampuan berbahasa lisan, dan perilaku sosial.
Catatan:
1= belum berkembang 2= berkembang
3= berkembang dengan baik 4= berkembang dengan sangat baik
3. Check List
Check List berbentuk pertanyaan-pertanyaan
yang dapat mewakili perilaku yang mungkin
ditampilkan siswa, misalnya perilaku dalam belajar,
perilaku dalam berteman, kemampuan dalam
menyelesaikan tugas, kemampuan dalam mengikuti diskusi, dan kegiatan lainnya.
Tabel 2.2
Check List Perkembangan Interpersonal
4. Anecdotal Record
Anecdotal Record merupakan catatan tentang peristiwa-peristiwa khusus yang dilakukan anak sehingga peristiwa tersebut perlu direkam untuk melengkapi dokumen yang diperlukan untuk menilai perkembangan anak.
Tabel 2.3 Anecdotal Record
Deskripsi Tertulis Mengenai Perilaku Anak dalam Situasi Khusus
Nama Anak : Upik, Ucok, Sari
Umur : 4 tahun
Sekolah : TK Mutiara
Pengamat/Tgl : ibu Suryati/ 6 Maret 2013
Dimensi Kecerdasan Jamak yang Diamati: Kecerdasan Interpersonal
Kejadian Komentar
Upik dan Sari sedang berada di halaman sekolah. Mereka bermain menata meja. Anak yang lain tidak berani mendekati mereka, tetapi Ucok datang mendekati mereka dan meminta makanan yang ditata Upik dan Sari. Kedua anak perempuan tersebut memandang Ucok dan berkata “Hai, kamu tidak boleh mendekat”. Ucok tidak kehilangan akal dan langsung membantu dan berkata “Aku bisa jadi ayah”. Upik dan Sari tersenyum dan berkata “Baik, kamu boleh ikut main”.
5. Studi Kasus
Studi kasus merupakan salah satu bentuk kegiatan yang dilakukan dalam asesmen informal. Misalnya, hal-hal yang berkaitan dengan riwayat perkembangan akademik atau perkembangan dan pertumbuhan seorang anak yang telah direkam dalam berbagai bentuk dokumen, seperti umur berapa anak dapat berjalan, berlari, apakah ada kesulitan dalam tumbuh kembang anak tersebut, dan lain-lain.
6. Analisis Terhadap Sampel Kinerja
Analisis terhadap sampel kinerja (work sample analysis) yang salah satu diantaranya adalah portofolio dapat digunakan sebagai bahan dalam melakukan informal asesmen. Dari dokumen yang telah dikemas dalam bentuk portofolio dapat diketahui kelemahan dan kekuatan anak.
7. Penilaian Acuan Patokan
Penilaian acuan patokan (criterion reference
evaluation) adalah salah satu bentuk penilaian yang dilakukan dengan jalan membandingkan hasil belajar yang dicapai siswa dengan tujuan belajar yang seharusnya dicapai oleh siswa tersebut, oleh karena penilaian dan penentuan posisi hasil belajar siswa tidak dibandingkan dengan hasil belajar siswa lainnya yang berada dalam kelompok yang sama.
8. Penilaian Acuan Norma
Penilaian acuan norma (norm reference
evaluation) adalah melakukan penilaian terhadap hasil belajar dengan jalan membandingkan hasil belajar siswa dengan hasil belajar siswa lain yang berada dalam kelompoknya. Akan tetapi, penilaian acuan norma banyak mendapatkan kritik dari berbagai pihak karena
tidak mencerminkan hasil belajar siswa yang
9. Reading Inventory (IRI)
Tujuan dari penggunaan IRI adalah untuk memperoleh informasi tentang kemampuan individu dalam membaca, apakah sesuai dengan tingkat perkembangannya, di atas atau di bawah tingkat perkembangannya. IRI terdiri atas tiga tingkat kemampuan membaca, yaitu tingkat mandiri, tingkat pembelajaran, dan tingkat mengecewakan. Lerner & Khiebhan menjelaskan bahwa penentuan tingkat
kemampuan membaca tersebut adalah sebagai berikut:35
a. Tingkat mandiri; apabila dapat membaca dengan
lancar dengan tingkat pemahaman terhadap isi bacaan 90% – 100%.
b. Tingkat pembelajaran; apabila dapat membaca
lancar dengan tingkat kekeliruan membaca 5% dan tingkat pemahaman terhadap isi bacaan 75%.
c. Tingkat mengecewakan; apabila dapat membaca
lancar dengan tingkat kesalahan 10% dan tingkat pemahaman terhadap isi bacaan hanya 50%.
C. Hubungan Mental Computation denganDisleksia
Mental computation merupakan perhitungan aritmatika tanpa menggunakan alat bantu seperti pensil, kertas, kalkulator. Dengan kata lain, mental computation adalah praktik melakukan perhitungan matematis hanya menggunakan otak tanpa bantuan peralatan lain. Mental computation akan membantu siswa untuk mengecek kebenaran perhitungan tertulis yang mereka lakukan, sedangkan kemampuan algoritma tulis juga dapat membantu siswa
lebih memahami strategi mental computation yang mereka miliki.
Dalam mental computation terdapat beberapa strategi yang
digunakan oleh siswa untuk menyelesaikan permasalahan yang terkait dengan perhitungan Setiap individu memiliki strategi
mental computation masing-masing, dimana yang dimaksud dengan strategi mental computation ialah sebuah metode yang digunakan lebih cepat daripada metode konvensional (metode menghitung menggunakan alat bantu yang biasa diajarkan disekolah) sehingga dapat membantu siswa untuk mempercepat
perhitungan dan menemukan cara-cara baru untuk meningkatkan kemampuan kecepatan perhitungannya.
Bryan dan Bryan mendefiniskan disleksia sebagai suatu sindrom kesulitan dalam mempelajari komponen-komponen kata dan kalimat, mengintegrasikan komponen-komponen kata dan kalimat, dan dalam belajar segala sesuatu yang berkenaan dengan waktu, arah, dan masa. Meskipun setiap manusia mempunyai kekurangan, tapi bukan berarti manusia harus hidup dengan ketidakpercayadirian karena setiap manusia diciptakan Allah dengan kekurangan dan kelebihan. Begitu juga bagi siswa disleksia, meskipun mereka mengalami kesulitan dalam membaca tapi tidak dalam bidang lainnya, salah satunya ialah matematika
atau berhitung. World Federation of Neurology mengungkapkan
bahwa disleksia merupakan suatu gangguan berupa kesulitan
dalam membaca walaupun instruksinya bersifat umum, serta memiliki intelegensi dan kesempatan sosial yang cukup baik36. Seperti yang dikemukakan oleh Guszak, Ekwall & Shanker bahwa kinerja matematika siswa disleksia lebih tinggi daripada kinerja membaca.
Setiap siswa mempunyai beberapa strategi mental
computation yang berbeda, tidak terkecuali dengan siswa disleksia. Meskipun siswa disleksia mempunyai beberapa kelemahan dalam beberapa mata pelajaran yang khususnya mengharuskan siswa
disleksia untuk membaca, akan tetapi hal tersebut tidak
menghalangi siswa disleksia untuk berprestasi dalam perhitungan atau mata pelajaran matematika. Hal tersebut telah dikemukakan oleh Guszak, Ekwall & Shanker dalam karakteristik anak disleksia. Sehingga dari penjelasan-penjelasan tersebut kita dapat mengetahui strategi mental computation yang digunakan oleh siswa disleksia.
36 Salma Artya Putri, “Disleksia Anak yang Cerdas”, diakses dari
39
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Sehingga dalam penelitian ini, peneliti akan
memamparkan atau mendeskripsikan tentang strategi mental
computation siswa disleksia dalam menyelesaikan soal matematika.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai Agustus 2016 semester genap tahun ajaran 2016/2017 dan bertempat di SLB Bina Bangsa Ngelom Sepanjang. Adapun jadwal penelitiannya sebagai berikut:
Tabel 3.1 Jadwal Penelitian
No. Tanggal Kegiatan
1. 20 Juli 2016 Permohonan izin penelitian
kepada Kepala Sekolah
2. 25 juli – 01 Agustus
2016
Pelaksanaan tes mental computation
3. 02 Agustus 2016 Penyebaran keterangan diri dan
keluarga siswa
C. Subjek Penelitian
matematika lebih tinggi dari siswa disleksia yang lain, pertimbangan dari guru kelas, dan lebih mudah untuk diajak berinteraksi.
Dalam penelitian ini, peneliti memilih dua siswa disleksia sebagai subjek penelitian yaitu S1 dan S2. Dimana dua siswa tersebut berasal dari kelas tunagrahita sedang C-1. Berikut adalah data subjek penelitian S1 dan S2:
1. Subjek S1
Nama : X
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat, Tanggal Lahir : Sidoarjo, 02 Desember 1999
Alamat : Jl. Raya Bebekan No.10 Sepanjang
Tinggi Badan : 160 cm
Urutan Kelahiran : Anak ke-2 dari 3 Bersaudara
Secara fisik keadaan subjek S1 tidak menunjukkan kelainan yang sangat signifikan jika dibandingkan dengan teman-temannya, namun dia mengalami kesulitan dalam membaca, menulis (jika didekte/menulis tanpa melihat contoh kata atau kalimat), dan berbicara dengan tutur bahasa yang kurang teratur. Dari data diri siswa, keadaan ini kemungkinan dapat disebabkan karena usia kandungan melebihi usia kandungan pada umumnya (postmature) dan melalui proses
caesar, asupan gizi yang harusnya didapat dari ASI hanya bisa dia dapat selama 7 hari sehingga mengakibatkan kurangnya asupan gizi. Hal tersebut terjadi dikarenakan subjek S1 sejak lahir sampai usia lima tahun mengalami kesulitan untuk menelan makanan sehinggga hanya dapat mengonsumsi susu formula.
merupakan orang tua yang peduli dan memperhatikan perkembangan S1 yang dapat dibuktikan dengan beberapa terapi yang pernah diikui oleh S1 yaitu terapi berjalan (2000-2001), terapi bicara (2001-2004), kursus membaca dan menulis (2006-2015).
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh peneliti dan keterangan dari guru kelas, subjek S1 merupakan siswa yang aktif, mandiri, dan bertanggungjawab. Hal tersebut terlihat dari buku kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh siswa di rumah yang setiap harinya harus diisi oleh orang
tua masing-masing siswa. Namun, subjek S1 mengalami
beberapa keadaan yang terdapat pada karakteristik disleksia yaitu membaca kata per kata, membaca lamban, sering menebak dan mengulangi kata-kata, kesulitan dalam konsentrasi, kesulitan menyimpan informasi dalam memori, dan prestasi belajar dalam berhitung lebih tinggi daripada membaca dan mengeja.
Hubungan subjek S1 dengan orangtua, saudara,
keluarga, dan dengan orang lain yang serumah sangat baik. Begitu pula dengan hubungan subjek S1 dengan guru dan
teman-teman disekolah yang terlihat dari kebiasaan subjek S1
menyapa dan memberi salam setiap guru yang ia temui, membantu teman yang mengalami kesulitan, dan selalu bergurau dengan para penjual yang berada dilingkungan sekolah.
2. Subjek S2
Nama : Y
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat, Tanggal Lahir : Sidoarjo, 01 April 2004