• Tidak ada hasil yang ditemukan

2008 perluasan keanggotaan muhammadiyah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "2008 perluasan keanggotaan muhammadiyah"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PERLUASAN KEANGGOTAAN MUHAMMADIYAH DAN KRISIS PARADIGMA

Abstrak:

KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, memiliki pandangan yang cerdas dan cukup jernih melihat kondisi umatnya, sehingga dalam berdakwah lebih menekankan amal usaha. Dia tahu kalau Islam itu bisa dilihat baik dari kacamata filosofis maupun kacamata praktis; dan dia memilih cara yang kedua. Dia tidak mau menulis satu kitab pun, takut menambah perpecahan umat; dia tidak muluk-muluk mau mengganti sistem pemerintah Belanda, dia mau bekerjasama dengan Belanda.

Dalam perkembangannya Muhammadiyah menempatkan diri dalam kubu modernisme, karena ideologi modern itu dirasa cocok dengan komunitas warganya yang berasal dari daerah perkotaan. Kemudian terbukti, pemikiran Islam modern ala Muhammadiyah relatif berhasil mengangkat kelas menengah Islam untuk mengisi pos-pos dalam struktur negara modern. Bahkan, amal usaha Muhammadiyah berhasil melakukan ekspansi ke daerah pedesaan. Akan tetapi kesuksesan ini diikuti dengan munculnya krisis dalam tubuh Muhammadiyah, dimana mereka yang dari daerah pedesaan tetap memegang teguh tradisi. Mereka seolah menjadi anak tiri dalam keluarga besar Muhammadiyah karena secara organisasi masih belum mengakomodasi tradisi.

A. Pendahuluan

Muhammadiyah relatif berhasil dalam percaturan di era modern dan aktivitas dakwahnya sudah berhasil menjangkau ke daerah-daerah pedesaan. Ibarat dua sisi mata uang, keberhasilan ini diikuti dengan munculnya krisis dalam tubuh Muhammadiyah. Ditengarai ada dua penyebab terjadinya krisis ini. Pertama, paradigma lama dicobaterapkan pada anggota baru yang memiliki latar belakang sosio-historis berbeda. Walaupun mereka menerima modernisasi, anggota baru ini masih terikat pada tradisi karena mereka tinggal di daerah pedesaan. Padahal pembaharuan Muhammadiyah selama ini hanya memberi kerangka pemikiran bagi masyarakat perkotaan yang sudah tidak terikat lagi pada tradisi. Dengan demikian, perluasan keanggotaan harus diikuti dengan perluasaan kerangka pemikiran agar tidak terjadi gejolak dalam tubuh Muhammadiyah.

(2)

satu kitab lagi karena dikhawatirkan dapat menambah runyam suasana. Model dakwah Kyai Dahlan memang praktis.1

Bila Muhammadiyah tidak menjawab kedua jenis tantangan tersebut, mereka yang berasal dari daerah pedesaan akan merasa dianaktirikan oleh keluarga besar Muhammadiyah sendiri. Dilihat dari latar belakang pendidikannya mereka akan mengalami kesulitan dalam membela keyakinannya pada tradisi. Mereka memerlukan uluran tangan kalangan elit Muhammadiyah agar bersedia mengakomodasi warisan tradisi itu.

B. Krisis Paradigma dan Eksodus Warga Muhammadiyah

Menguaknya persoalan tradisi dalam Muhammadiyah adalah konsekuensi logis dari perluasan keanggotaan Muhammadiyah ke daerah pedesaan. Namun hasil dari dialektika itu belum ditindaklanjuti dengan kebijakan organisasi untuk mengakomodasi peran tradisi. Hal ini dapat dimaklumi mengingat kalangan elit Muhammadiyah hidup di daerah perkotaan (atau di suatu komplek perumahan yang warganya para pendatang), sehingga kebijakan menggalakkan tradisi dirasakan tidak banyak manfaatnya dan seakan mengada-ada.

Memang sikap toleran terhadap tradisi dapat dilihat pada pemikiran para elit Muhammadiyah secara individual. Bahkan mereka membolehkan anggotanya dari daerah pedesaan berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan tradisi. Akan tetapi pemikiran kritis tersebut tidak menjadi sikap organisasi. Disamping alasan tidak menjadi interest kalangan elit, hal ini akan nampak kontradiksi dengan sikap organisasi, dimana Muhammadiyah telah menempuh langkah berperang melawan TBC (Takhayul, Bid’ah, dan Churafat).

Saya kira hal itu tidak akan mengurangi kredibilitas pembaharuan Muhammadiyah, mengingat pemikiran keagamaan yang dikembangkan hendaknya mewakili kepentingan para pendukungnya. Ketika ada perluasan keanggotaan sudah sewajarnya kepentingan mereka juga diakomodasi. Tanpa ada usaha konstruktif seperti itu, mereka riskan terhadap pemikiran yang ditawarkan oleh pihak luar Muhammadiyah. Tuduhan PKS melakukan infiltrasi ke dalam tubuh Muhammadiyah apakah tidak mengada-ada? Kenapa kaum muda Muhammadiyah cenderung masuk gerakan Tarbiyah PKS? Lalu apakah salah bila PKS menjajakan pemikirannya? Bukankah dunia sekarang ini merupakan tempat kontes segala

1KH A.R. Fachruddin, 1990, “Dari KH. A.R. Fachruddin untuk DR. Nurcholish Madjij”, dalam Sujarwanto

(3)

bentuk pemikiran, beda dengan zamannya Kyai Dahlan yang merasa tidak perlu menulis sebuah kitab.

Memang bisa ada beberapa teori untuk menjelaskan gejala eksodus warga Muhammadiyah ke dalam PKS. Bila melihat hasil penelitian yang dilakukan AMM (Angkatan Muda Muhammadiyah) yang bekerjasama dengan Sugeng Saryadi Syndicat

maka tidak ada teori yang bisa mengklaim sebagai teori yang paling absah. Penelitian itu mengungkapkan prosentasi anggota Muhammadiyah dalam suatu partai sebagai berikut, Golkar 20,3%, PAN 57,9%, PPP 18,2%, PBB 52,1%, dan PKS 68,7%.2 Prosentasi terbesar masuk PKS, berarti ada kemungkinan orang Muhammadiyah ini mendirikan PKS dan kemudian mencari anggota dari luar. Teori kedua, 33,3% orang luar berhasil menarik keluar orang Muhammadiyah.

Dari penelitian itu orang Muhammadiyah merasa at home di PKS, tetapi apakah angka 68,7% bisa mewakili anggota Muhammadiyah secara keseluruhan ataukah mencermin kelompok menengah ke bawahnya? Angka itu cenderung mencerminkan kelompok menengah ke bawahnya.3 Bila dilihat basis pimpinan PKS maka mereka termasuk kalangan pemuda Muhammadiyah. Mereka kalangan terpelajar yang masih belum menduduki jabatan teras di Muhammadiyah. Bisa saja mereka adalah putera/puteri anggota Muhammadiyah yang datang dari daerah pedesaan, sehingga mereka merasa terpanggil untuk menyelamatkan warisan tradisi, disamping mungkin ada juga ambisi kekuasaan. Atau mereka bermain politik mendirikan (atau masuk) PKS, karena mereka tidak terwakili dalam PAN, partai yang dibidani oleh Muhammadiyah.

Apakah mereka salah mendirikan (atau masuk) PKS? Bukankah Muhammadiyah memberi kebebasan kepada warganya untuk memilih partai politik. Sebagai ormas keagamaan, Muhammadiyah hendaknya menjaga jarak yang sama terhadap semua partai politik. Memang orang partai tidak boleh memanfaatkan segala fasilitas amal usaha Muhammadiyah, termasuk mereka yang masuk partai yang dibidani Muhammadiyah. Mereka hendaknya secara mandiri mengembangkan aktivitas politiknya bersaing dengan partai lainnya termasuk PKS. Bila orang PAN bisa memanfaatkan fasilitas amal usaha Muhammadiyah, sedangkan mereka yang dipartai lain, terutama PKS, tidak diberi kesempatan yang sama maka mereka merasa dianaktirikan.

2AMM, “Beberapa Catatan Pasca Pemilu”, hal. 2. 3

(4)

Kita juga tidak boleh gegabah mengatakan bahwa buku yang ditulis Haedar Nashir

Manifestasi Gerakan Tarbiyah: Bagaimana Sikap Muhammadiyah? merupakan suara unsur PAN di Muhammadiyah. Faktanya beliau bukan pengurus dan bukan anggota PAN, melainkan pengurus PP Muhammadiyah, walaupun buku itu tidak bisa diklaim sebagai suara seluruh jajaran PP Muhammadiyah. Paling tidak itu suatu cermin adanya kesamaan ideologi antara Muhammadiyah dengan PAN.

C. Paradigma Muhammadiyah Vs Paradigma PKS

Sebagaimana dikatakan Haedar Nashir hubungan Muhammadiyah dengan semua partai tidak ada masalah, kecuali dengan PKS. Hal ini terjadi karena PKS sebagai Gerakan Tarbiyah memiliki ideologi, mungkin lebih tepatnya saya katakan segi ideologi keagamaan, karena setiap partai politik hendaknya memiliki ideologi tertentu. Selanjutnya konflik Muhammadiyah dan PKS akan dilihat dari segi fiqihnya, sebagai aspek operasional ideologi dalam kehidupan sehari-hari.

Apakah salah bila PKS mengembangkan ideologi keagamaan? Memang Muhammadiyah pantas khawatir bila PKS mempolitisasi agama. Agaknya belum ada bukti yang cukup kearah itu dan Muhammadiyah dapat saja menjalankan fungsi kontrolnya, bukan melakukan serangan yang tidak proporsional. Cara dan sikap seperti itu jelas bertentangan dengan cara dan sikap Kyai Dahlan dalam berdakwah, seperti yang dicontohkan dalam diuraikan di atas.

Muhammadiyah juga boleh khawatir dengan pemikiran keagamaan yang berkembang dalam PKS. Bukan hanya melakukan pengamatan dari luar saja, tetapi perlu dikembangkan suasana dialogis agar diketahui pemikiran keagamaan dari mereka yang masuk PKS, sehingga akan menjaminan tingkat obyektivitas.

Kecurigaan PKS mempolitisasi agama dan tidak toleran tidak terbukti, namun demikian konflik antara Muhammadiyah dan PKS sungguh-sungguh nyata. Ini bisa dilihat dalam kasus pemilihan Walikota Jogja, dimana PKS masuk Koalisi Merah Putih (KMP) berhadap-hadapan dengan Koalisi Rakyat Jogja (KRJ) yang terdiri Golkar dan PAN4. Terbentuknya koalisi Golkar dengan PAN karena Golkar tidak merepresentasikan sebagai suatu ideologi agama. Sedangkan konflik politik PAN dengan PKS karena PKS memerankan diri sebagai suatu ideologi agama.

4

(5)

Agaknya konflik PKS dengan Muhammadiyah berakar dari kesamaam peran sebagai ideologi agama. PKS dianggap menggerogoti usaha pembaharuan Muhammadiyah, sehingga harus dilawan sekuat tenaga. Bahkan caranya kadang melanggar etika sesama gerakan Islam, seperti dengan menulis artikel yang mendeskreditkan PKS sebagai alat Gus Dur dalam rangka memperlemah Muhammadiyah.5

Rongrongan terhadap gerakan pembaharuan Muhammadiyah berupa dukungan PKS pada proyek TBC (Takhayul, Bid’ah, dan Churafat). Mereka menilai PKS telah menodai agama Islam demi meraih dukungan politik. Tindakan PKS yang dianggap menyimpang aqidah seperti memperbolehkan tahlilan, melakukan istighosah, dan menganjurkan ruqyah untuk menentukan awal puasa dan awal hari raya.6

Dituduh kalau latar belakang PKS mendukung proyek ‘TBC’ adalah kepentingan politik, dimana PKS ingin berada di semua segmen umat Islam. Saya kira pilihan membela tradisi memiliki akar yang lebih dalam lagi pada tataran filosofis. Konsekuensinya PKS melakukan akomodasi terhadap tradisi, sesuatu yang tidak ditolerir Muhammadiyah. Bagi Muhammadiyah ajaran agama tidak bisa diakomodasikan dengan kehendak umat; baginya patokan yang harus dirujuk adalah Al Qur’an dan Hadits.

Muhammadiyah menuduh PKS telah menyimpang dari rel jalannya partai politik yang sebenarnya, karena memerankan diri sebagai Gerakan Tarbiyah dalam upayanya melakukan pembinaan terhadap anggotanya. Muhammadiyah menginginkan PKS menampilkan kinerja sebagai partai yang dapat menarik simpati warga Muhammadiyah, jangan sampai partai menjadi ideologi agama.7

Tapi apa salah bila partai memiliki ideologi, termasuk ideologi agama. Memang sudah seharusnya partai memiliki landasan ideologi yang akan diperjuangkan secara demokratis. Yang menjadi masalah adalah PKS memilih ideologi agama, dan memaksanya berhadap-hadapan dengan Muhammadiyah. Bila logika ini dibalik, berarti Muhammadiyah juga memiliki ideologi. Walaupun Muhammadiyah bukan partai politik, tetapi Muhammadiyah bermain politik, yang diistilahkan mantan Ketua PP Amien Rais sebagai politik tingkat tinggi (high politic) karena Muhammadiyah tidak menjalankan intrik-intrik politik praktis.

5AMM, “Beberapa Catatan Pasca Pemilu”, hal 1. 6

Ibid., hal 3; juga Haedar Nashir, 2006, hal 25, 28, 45. 7

(6)

Memang urusan politik merupakan sesuatu yang inheren dalam setiap gerakan yang bertujuan membangkitkan kesadaran, dan yang perlu dibedakan adalah politik praktis (pendekatan politik) dalam bentuk partai politik dan non-politik praktis atau pendekatan kultural. Apalagi kita di Indonesia, tidak mungkin melepaskan diri dari berpolitik, karena kita bisa kena imbas permainan politik yang dimainkan oleh pihak luar. Hal ini terjadi karena sektor publik (negara) tidak mau menggembangkan sektor private (Civil Society) yang fungsinya sebagai check and balance yang akan menjamin tegaknya demokrasi. Negara selalu campur tangan terhadap sektor private demi melanggengkan kekuasaannya. Negara disini tidak melihat politik sebagai suatu seni, dimana berbagai aktor bisa saling bergantian memerintah untuk memberikan pengabdian yang terbaik bagi negara.

Dari segi fiqih, Muhammadiyah dan PKS tentu memiliki perbedaan. Sebenarnya perbedaan fiqih merupakan suatu yang manusiawi karena masing-masing mewakili suatu komunitas yang berbeda, disamping tentunya situasi dan kondisi yang berbeda. Bila hal ini disadari maka keduanya akan bisa mengembangkan suatu kerjasama yang tulus. Yang sering terjadi pendekatan fiqih cenderung mendorong konflik dan cenderung eksklusif. Sebab fiqih kemudian menjadi identitas golongan. Kalau fiqih anda tidak sama maka anda di luar golongan saya.8

Gejala eksklusif organisasi-organisasi Islam muncul karena kesalahan memaknai fiqih sebagai syari’ah. Padahal antara syari’ah dan fiqih itu berbeda. Islam itu identik dengan syari’ah, dan tentunya setiap Muslim akan menjalankan syari’ah. Dan fiqih itu adalah produk dari syari’ah dan karenanya fiqih mengundung unsur relatif, karena dipengaruhi oleh faktor ruang dan waktu. Mengingat konteks ruang dan waktu itu masing-masing organisasi Islam berbeda maka mereka juga mengembangkan pemikiran fiqih yang berbeda.

PKS juga mengembangan pemikiran keagamaan tersendiri. PKS sering dikatakan sebagai pendukung syari’ah Islam, sekedar untuk membedakan dengan Muhammadiyah yang dikatakan sebagai pembela konsep negara bangsa (nation state). Syari’ah di sini dimaknai sebagai pemikiran fiqih klasik, suatu fiqih yang punya tendensius politik dengan cita-cita mendirikan suatu negara Islam atau bahkan terwujudnya kekhalifahan Islam. Namun PKS menghindari cara-cara radikal dalam mewujudkan cita-cita itu, sehingga PKS tidak ragu maupun canggung dalam merumuskan tujuan politiknya, yaitu mendukung

8

(7)

Negara Pancasila dan tegaknya syari’ah Islam. Memang kalau kita lihat sejarahnya penerapan fiqih klasik itu bisa dipisahkan dengan pemegang otoritas politik. Fiqih klasik lebih berperan sebagai moral force.

Sikap PKS yang luwes dan fleksibel dalam menerapkan fiqih telah menjadikan PKS mampu bergerak cepat dan gesit dalam berpolitik. Apalagi tendensi politik untuk mendirikan Negara Islam sekarang ini tidak sekuat zaman dulu, karena memang konteksnya sudah sangat berbeda. Sekarang partai-partai politik di Indonesia cenderung bersifat pragmatis, dengan tidak mementingkan tercapainya tujuan ideologis masing-masing partai secara mutlak. Hal ini sangat positif menghindari pecahnya konflik horisontal maupun vertikal. Yang dipentingkan oleh partai politik sekarang ini adalah keteladanan dan kesediaan membela dan membantu rakyat kecil.

Dengan orientasi pada kepentingan rakyat kecil itulah PKS bersikat inklusif, karena tidak ingin membenturkan rakyat kecil demi kepentingan ideologisnya. PKS lebih mengedepankan terwujudnya nilai-nilai universal Islam sebagai substansi dari Islam itu sendiri, seperti keadilan, kesejahteraan, dan keselamatan. Karena itu dalam kasus pemilihan Walikota Jogja, PKS dapat menjalin aliansi politik dengan PDIP, Partai Demokrat dan PPP dalam Koalisi Merah Putih (KMP), padahal mereka memiliki ideologi yang tidak mudah disatukan. Hal itu wujud dari sikap PKS yang berpikir rasional dan pragmatis dalam berpolitik dan berdakwah demi terciptanya kesejahteraan rakyat.

D. Memperluas Paragidma Muhammadiyah

Dari uraian di atas diketahui kalau perselisihan Muhammadiyah dan PKS bermula dari masalah ideologi agama. Ideologi agama berpusat pada masalah aqidah atau konsep Keesaan Tuhan (the concept of the Oneness of God). Muhammadiyah menilai PKS sudah menyimpang dari konsep aqidah yang dikenal dengan ‘Aqidah Anti-TBC’. Hal itu dilakukan PKS demi meraih dukungan politik dari umat. Hal ini tidak bisa ditolerir oleh Muhammadiyah. Bila ingin mendapatkan dukungan dari Muhammadiyah maka PKS diminta meninggalkan muatan ideologi (Butir 6).

(8)

bersifat subyektif tetapi bersifat obyektif.9 Untuk itu pengertian TBC perlu diklarifikasi dengan obyek yang menjadi sasaran tuduhan itu, apakah mereka tidak percaya kepada konsep Keesaan Tuhan? Apalagi penerimaan suatu kebenaran, lebih tepatnya kebenaran relatif, itu ditentukan oleh mayoritas anggota suatu masyarakat. Temuan ini patut direspon secara positif, disamping ada upaya-upaya yang kontinyu untuk meningkatkan kualitas daya serap masyarakat terhadap kebenaran itu. Inilah yang dinamakan pendidikan/tarbiyah/dakwah.

Kuntowijoyo menengarai Muhammadiyah terjangkit penyakit involusi berupa ekstensifikasi, yaitu terjadi ekspansi aqidah yang sebenarnya bukan aqidah dipandang aqidah.10 Kesenian dalam Muhammadiyah tidak bisa berkembang, karena imaginasi berkesenian telah dipasung oleh aqidah yang mengatasnamakan gerakan purifikasi. Dia menyarankan purifikasi membatasi diri pada yang benar-benar esensial. Dalam kasus Wayang Sadat, dia menilai usaha-usaha rasionalisasi dan demitologisasi terhadap Wayang Sadat sudah keluar dari patokan “yang benar-benar esensial”. Bila seorang dalang Wayang Sadat tidak berani membuat cerita carangan karena tuntutan demitologisasi dan rasionalisasi maka Wayang Sadat akan kehabisan napas. Kalau Wayang Sadat Mati maka salah satu sistem simbol Islam akan hilang.

Lebih lanjut Kuntowijoyo menggugat, kalau semua dianggap sebagai aqidah (yang hanya Allah dan Rasul-Nya yang mempunyai otoritas), lalu dimana letak urusan agama?11 Apalagi ada sebuah hadits “Kalian lebih tahu urusan dunia kalian.” Apakah kesenian bukan “urusan dunia” sehingga perlu demitologisasi dan rasionalisasi? Agama tetap memerlukan sistem simbol atau agama tetap memerlukan kebudayaan agama. Tanpa kebudayaan maka agama akan menjadi agama pribadi. Tanpa kebudayaan, agama sebagai kolektivitas tidak akan dapat tempat.

Adalah sulit menilai seseorang itu sudah tidak percaya pada konsep Keesaan Tuhan hanya dengan melihat seseorang itu mengikuti suatu tradisi. Bukankah tradisi/budaya itu lebih luas dari masalah aqidah? Budaya merupakan manifestasi dan implementasi dari aqidah dalam suatu masyarakat dan karenanya merupakan gabungan antara unsur normatif (aqidah) dan unsur situasional bagi penerapan prinsip-prinsip normatif tersebut. Dengan

9Kuntowijoyo, 1995, “Menggerakkan Kembali Khittah Muhammadiyah sebagai Organisa

si Sosial

Keagamaan”, dalam KSL, Intelektualisme Muhammadiyah: Menyongsong Era Baru, Bandung: Mizan dan KSL, hal87.

10Kuntowijoyo, 2000, “Islam dan Budaya Lokal”, dalam M Azhar dan Hamim Ilyas ed.,

Pengembangan Pemikiran Keislaman Muhammadiyah: Purifikasi dan Dinamisasi, Yogyakarta: LPPI, hal 299.

11

(9)

demikian dalam budaya itu terkait suatu sistem yang mengatur kehidupan sesama anggotanya baik itu berkaitan dengan prinsip-prinsip, norma-norma, aturan-aturan, dan prosedur pengambilan keputusan yang akan menjamin prinsip keseimbangan di dalam suatu masyarakat.

Apakah ideologi yang sedang menjadi mainstream di Muhammadiyah sekarang ini merupakan sesuatu yang inheren sejak kelahirannya? Kalau dilihat pendirian KH Ahmad Dahlan yang tidak mau menulis kitab dan lebih menekankan amal usaha maka pada mulanya Muhammadiyah tidak terlalu konsen dengan masalah suatu paham. Hal ini mengingat Islam bukanlah suatu ideologi, walaupun bisa diperankan sebagai suatu ideologi kemanusiaan yang mengarah kepada kemajuan dengan metodanya demokrasi.

Selain aqidah, persoalan krusial umat Islam berikutnya adalah syariah. Apakah persepsi Muhammadiyah terhadap syariah itu tidak pernah mengalami perkembangan? Sebelum menjawab pertanyaan itu ada baiknya bila kita membandingkan syariah yang diyakini Muhammadiyah dengan yang diyakini PKS. PKS meyakini syariah sebagaimana yang terkodifikasi dalam fiqih hasil ulama klasik, yang menyatukan urusan agama dengan urusan politik. Fiqh semacam ini merupakan produk dari sistem kekhalifahan Islam, sehingga pemikiran politiknya bersifat negara theosentris. Dengan demikian cita-cita politik PKS adalah terbentuknya Daulah Islamiah dan Kekhalifahan Islam.

Namun bila melihat AD/ART PKS tidak sampai ke arah terbentuknya negara Islam, melainkan tegaknya syariah Islam dalam wadah NKRI. Hal ini berarti PKS menerima dasar negara Pancasila. Landasannya Pancasila sebagai ideologi terbuka dapat diinjeksi dengan visi dan nilai-nilai substantif Islam. Lebih praktisnya lagi, PKS bermain politik dengan sasaran dapat menghasilkan produk hukum yang dapat melindungi kepentingan umat yang menjadi konstituennya. PKS menyadari konstituen yang diwakilinya adalah masyarakat menengah ke bawah yang masih membutuhkan perlindungan. Dengan demikian, syariah yang diperjuangkan PKS tidak dimaksudkan sebagai satu-satunya tafsir syariah yang benar.

(10)

Sementara Muhammadiyah tidak berpretensi menegakkan syariah sebagaimana tekodifikasi dalam fiqih klasik. Muhammadiyah membedakan Islam dengan fiqih. Islam pada dasarnya adalah syariah, sedangkan fiqih adalah syariah sebagaimana yang diyakini oleh ulama klasik. Muhammadiyah melihat ada perbedaan yang fundamental antara situasi dan kondisi saat fiqih klasik dibuat dengan situasi sekarang ini.

Memang pada saat menjelang kemerdekaan Muhammadiyah memperjuangkan berdirinya negara Islam sebagaimana yang dikehendaki oleh fiqih klasik.12 Pada saat itu Ki Bagus Hadikusumo, Ketua PP Muhammadiyah saat itu, bahu membahu dengan wakil Islam lainnya mengusahakan agar menjadi negara Islam; memang akhirnya hanya disetujui Piagam Jakarta. Kesediaan wakil Islam berkompromi seperti itu karena syariah tidak identik dengan negara Islam. Mereka membela negara Islam dan akhirnya hanya Piagam Jakarta, sebagai suatu konsesi yang patut diberikan pada umat Islam yang banyak andilnya dalam kemerdekaan tetapi posisi mereka masih lemah untuk dapat berpartisipasi secara aktif dalam negara yang akan didirikan nantinya.

Sekarang ini jajaran PP Muhammadiyah mendukung penuh NKRI karena mereka melihat struktur negara yang ada sekarang ini sudah banyak diisi oleh orang-orang Muhammadiyah. Mereka dapat mempengaruhi kebijakan negara untuk mendukung kegiatan dakwah Muhammadiyah. Mereka khawatir terjadi perubahan ideologi akan mengakibatkannya tersingkir dalam lingkaran kekuasaan yang ada. Tentu, kebijakan ini tidak bisa diterima sepenuhnya oleh lapisan kelas menengah ke bawah Muhammadiyah yang belum menduduki posisi penting dalam struktur pemerintahan negara. Unsur terdidik dari lapisan ini cenderung masuk ke dalam kancah politik, khususnya PKS, untuk memperjuangkan dihargainya tradisi.

12

Referensi

Dokumen terkait

Dengan alasan-alasan tersebut diatas maka tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana kontribusi komitmen organisasional dan

Mayoritas penduduk sudah merasa nyaman dengan bangunan relokasi tersebut, walaupun tingkat ekonomi yang berbeda beda, dan kebutuhan ruang yang berbeda beda, tetapi dengan ukuran

Pelipitnya menggunakan rotan (aten-aten), nilai alami yang dihasilkan oleh kipas ketetap terlihat, fungsinya untuk hiasan dan berkipas Harganya Rp 5.000 peritem.. Produk

Inventor yang tidak bertindak sebagai pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melampirkan pernyataan yang dilengkapi dengan bukti yang cukup bahwa yang

Ada pengaruh terhadap kecemasan lansia kelompok post perlakuan dan post kontrol di Balai Rehabilitsi Sosial “Mandiri” Pucang Gading Semarang, dengan menggunakan t-test

Hasil analisis hubungan antara karakteristik responden yang terdiri dari umur, jumlah tanggungan keluarga, pendidikan, luas lahan usahatani, pendapatan usahatani,

Meskipun informan dari Bangkalan menyebutkan sapaan untuk generasi keempat ini dengan sapaan jujuk toa , hal ini tidak bisa diterima sebagai perubahan dalam bahasa

Namun CMV- satRNA juga tidak menunjukkan adanya reksi antagonis dengan TMV maupun PVY karena infeksi masing-masing virus tidak menghambat perkembangan virus lain yang diamati