BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 72 Volume 3, Nomor 2, Agustus 2005
RESENSI BUKU
Judul : Kejahatan Korporasi Yang Mengerikan
Penulis : Singgih, S.H, (Penerbit Pusat Study Hukum Bisnis Fakultas
Hukum Universitas Pelita Harapan Jakarta)
Tahun terbit : 2005
Oleh : Eddie Rinaldy, S.H.
Dalam sistem hukum publik Indonesia, khususnya dalam kodifikasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), korporasi belum termasuk sebagai subjek hukum. Korporasi ditetapkan sebagai subjek hukum hanya terdapat dalam ketentuan yang bersifat khusus misalnya, Undang-Undang tentang Bursa (UU No. 13/1951), Undang-Undang tentang Pengusutan, Penuntut dan Peradilan Tidak Pidana Ekonomi (UU No. 7/Drt /1955). Konsekuensi hukumnya adalah korporasi tidak dapat diminta pertanggung jawaban dalam wilayah hukum publik dan tidak dapat dikenakan sanksi pidana.
Dalam perkembangan hukum (baca: hukum ekonomi) delik yang merupakan perbuatan melawan atau melanggar hukum dalam wilayah hukum publik tidak jarang dilakukan oleh korporasi. Dalam rancangan UU tentang KUHP yang baru, dimasukan usulan bahwa korporasi merupakan subjek hukum
sehingga pelanggaran yang dilakukan korporasi diancam dengan sanksi pidana. Dalam rancangan tersebut dikemukakan
“korporasi dapat dipertanggungjawabkan dalam
melakukan tindak pidana” (Pasal 44); “jika tindak pidana dilakukan atau untuk korporasi, penjatuhan pidananya dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya” (Pasal 45). Persoalannya adalah sejauh mana batasan yang disebut dengan korporasi yang dapat diancam jika melakukan pelanggaran hukum. Apakah semua badan usaha, atau hanya terbatas badan usaha yang berbadan hukum saja. Sejatinya buku ini tidak mengulas persoalan hukum yang terkait dengan badan hukum dalam sistem hukum bisnis Indonesia.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 73 Volume 3, Nomor 2, Agustus 2005
tersebut menggambarkan bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh korporasi membawa dampak kemanusian yang cukup luas, baik dilihat dari jumlah korban yang berjatuhan maupun persoalan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. Contoh adalah, musibah akibat kerusakan yang terjadi di pabrik tenaga nuklir Chernobil pada 26 April 1986 di Negara bagian Ukraina, Uni Soviet; kebocoran 27 ton gas beracun mematikan di pabrik pestisida Union Carbide di Bhopal, India pada 2 Desember 1984. Di dalam negeri persoalan pupuk organik beracun yang ditumpuk di Pelabuhan Pulau Galang, Batam Kepulauan Riau yang berasal dari Singapura.
Menurut salah satu kutipan yang ada dalam buku ini yaitu pendapat dari Joseph F. Sheley dalam
bukunya Explaining Crime (1987),
yang mengatakan bahwa Corporate Crime (Kejahatan Korporasi) dibagi dan didefinisikan dalam enam kategori yaitu, defrauding the stock holders (perusahaan tidak melaporkan besar keuntungan yang sebenarnya kepada pemegang
saham), defrauding the public
(mengelabui publik tentang
produk-produknya terutama yang berkaitan
dengan mutu dan bahan),
defrauding the government
(membuat laporan pajak yang tidak
benar), endangering employees
(perusahaan yang tidak
memperhatikan keselamatan kerja
para karyawannya), illegal
intervention in the polical process (berkolusi dengan partai politik dengan memberikan sumbangan
kampanye) dan endangering the
public welfare (proses produk yang menimbulkan polusi (debu, limbah B3, suara dan lains ebagainya)).
Berdasarkan fakta hukum buku ini mengangkat pula sejumlah kejahatan korporasi di bidang keuangan. Kejahatan korporasi di bidang keuangan yang lazim disebut sebagai kejahatan kerah
putih (white collar Crime), secara
signifikan telah terbukti dapat berakibat buruk terhadap sistem keuangan. Contoh yang popular adalah kasus Enron di Amerika Serikat, malparatik yang dilakukan oleh akuntan Arthur Anderson.
Di Indonesia mungkin dapat diangkat yaitu kasus ekspor fiktif yang dilakukan oleh Gramarindo Group melalui Bank BNI. Kejahatan korporasi lainnya menurut buku ini antara lain adalah pembenturan kepentingan bidang akunting, pembenturan kepentingan bagi analis, pendapatan dari frontloading, biaya yang dibukukan
secara tidak benar, insider loan,
insider trading, spinning pada IPO (initial public offering).
Buku ini menyajikan kurang lebih 38 contoh kasus kejahatan korporasi yang dikategorikan melanggar hukum publik (pidana)
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 74 Volume 3, Nomor 2, Agustus 2005
Dari fakta hukum diketahui bahwa kejahatan korporasi tidak saja dilakukan oleh satu korporasi, tetapi dapat dilakukan oleh dua atau lebih korporasi secara
bersama-sama melakukan pelanggaran hukum, contohnya
kasus Enron. Berdasarkan studi yang dilakukan secara khusus bahwa kejahatan korporasi juga terbukti membawa dampak kerugian terhadap kehidupan baik dari segi pencemaran lingkungan maupun musnahnya satwa yang dlindungi. Fakta lapangan
mengungkapkan bahwa pembuangan limbah produksi
secara sengaja tanpa pertimbangan AMDAL dapat menyebabkan kematian, baik manusia maupun makhluk hayati lainnya.
Pesan yang ingin disampaikan buku ini adalah urgensi dan
mendorong pemerintah merumuskan ketentuan perundangan yang terkait dengan
kejahatan korporasi baik yang akan membawa dampak pada keselamatan hidup manusia, sistem keuangan maupun sistem lingkungan.
Kritik yang perlu dialamatkan adalah, contoh kasus yang dituangkan dalam buku ini dominan mengangkat permasalahan yang terjadi di luar negeri, padahal masalah serupa juga banyak terjadi di dalam negeri. Memotret kasus domestik tersebut diharapkan dapat menjadi faktor pendorong agar ketentuan perundangan yang