• Tidak ada hasil yang ditemukan

SeminarPerikanan BI Manado 20Nov08

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "SeminarPerikanan BI Manado 20Nov08"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1 Kawasan konservasi perairan

PENGELOLAAN KAWASAN PERLINDUNGAN LAUT (KPL) YANG EFEKTIF SEBAGAI ALAT UKUR PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP DI INDONESIA

Makalah disajikan pada Seminar Nasional Pembangunan Kelautan Kawasan Indonesia Timur yang tangguh dalam pengembangan ekonomi sumberdaya

pesisir dan laut, di Manado, 20 November 2008

Oleh:

D.G.R. Wiadnya dan Abdul Halim

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya, Malang: kontak: dgr_wiadnya@ub.ac.id The Nature Conservancy – Coral Triangle Center (TNC – CTC)

Jl. Pengembak No. 2 Sanur 80228 Denpasar Bali; Telp/Fax: 0361-287272 / 0361-270737 http://www.coraltrianglecenter.org

ABSTRAK

Makalah ini disusun dari: tiga artikel ilmiah yang diterbitkan pada jurnal Fisheries and Marine Ecology dan Marine Research in Indonesia, dan Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia edisi Sosial Ekonomi, penelusuran kebijakan kolaboratif pengelolaan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) dan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan rumusan seminar serta diskusi terkait dengan pengelolaan Kawasan Konservasi, terutama KPL di Indonesia.

Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) menyadari bahwa beberapa wilayah pengelolaan perikanan sudah mengalami tangkap lebih, namun kebijakan operasional DKP masih untuk meningkatkan produksi dari 4,88 juta ton pada tahun 2004 menjadi 5,10 juta ton yang diharapkan dicapai pada tahun 2006. Hal ini dilakukan melalui penambahan jumlah usaha dengan mengundang investasi asing. Pada makalah ini penulis menyampaikan beberapa argumentasi untuk menggeser kebijakan pengelolaan perikanan tangkap dalam rangka pemulihan stok sumberdaya dan mempertahankan usaha perikanan tangkap, sebagai berikut: (1) pengelola perikanan memahami bahwa sebagian besar sumberdaya perikanan laut sudah mengalami tangkap lebih atau, dengan kata lain, eksploitasi sudah tidak menguntungkan lagi; (2) Pengelola perikanan menyadari bahwa pemindahan usaha penangkapan dari wilayah yang mengalami tangkap lebih ke wilayah lainnya akan menyebabkan tidak berdaya (collapse) perikanan tangkap setempat, dan; (3) Pergeseran pengelolaan perikanan dari ketergantungan terhadap model MSY menuju pengelolaan berdasarkan pendekatan ekosistem, dimana KPL akan memegang peran yang sangat penting. Selanjutnya, keterlibatan dan dukungan daerah, masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya akan meningkatkan efektifitas pengelolaan KPL sehingga mempercepat pencapaian tujuan perikanan berkelanjutan.

EFFECTIVE MARINE PROTECTED AREAS (MPAs) MANAGEMENT AS TOOL FOR CAPTURE FISHERIES MANAGEMENT IN INDONESIA

ABSTRACT

This paper is formulated from the following information: three scientific articles published in Fisheries and Marine Ecology, Marine Research in Indonesia and Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia edisi Sosial Ekonomi, government policies on collaborative management of protected areas and notes from seminars and discussions regarding the collaborative management of the protected areas including MPAs in Indonesia.

Whereas Ministry of Marine Affairs and Fisheries (DKP) officially admitted that some fisheries are already over-exploited, DKP’s policy still is to increase production from 4.88 million ton in 2004 to 5.1 million ton in 2006, possibly by inviting foreign investments leading to increased effort. In this paper, the authors argue that the following shift in capture fisheries management policy must be achieved to ensure the survival of Indonesia’s fish stocks and fisheries, as follows:

(1) Acceptance by fisheries managers that ‘untapped resources’ may not exist or cannot be

(2)

2 Kawasan konservasi perairan

important role. Furthermore, support and involvement of local government, communities and other stakeholders will increase the management effectiveness of MPAs and hence avoid collapse of the surrounding fisheries.

PENDAHULUAN

Penangkapan berlebih atau ‘over-exploitation’1 sudah menjadi kenyataan pada berbagai perikanan tangkap di dunia – Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) memperkirakan 75% dari perikanan laut dunia sudah tereksploitasi penuh (fully-exploited), mengalami tangkap lebih (over-exploited) atau stok yang tersisa bahkan sudah terkuras (depleted) – hanya 25% dari sumberdaya masih berada pada kondisi tangkap kurang,

under-exploited (FAO, 2002). Total produksi perikanan tangkap dunia pada tahun 2003 ternyata 6,3% lebih rendah dibanding puncak produksi pada tahun 2000 (FAO, 2004). Sekali terjadi sumberdaya sudah menipis, maka stok ikan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk pulih kembali, bahkan pada kondisi penangkapan dihentikan sekalipun. Masalah ini sudah menjadi pesan khusus SEKJEN PBB pada Hari Lingkungan Hidup sedunia tanggal 5 Juni 2004.

DKP sangat memahami permasalahan penangkapan berlebih di perairan laut Indonesia Bagian Barat, khususnya perairan pantai Utara Jawa. Didorong oleh harapan publik agar sektor perikanan bisa memberikan kontribusi terhadap peningkatan penerimaan pemerintah melalui peningkatan produksi hasil tangkap, DKP mencari ‘sumberdaya yang

tidak pernah habis’ tersebut di Indonesia Bagian Timur (Widodo, 2003). Pertanyaannya adalah sampai sejauh mana perairan laut Indonesia Bagian Timur bisa dikembangkan untuk perikanan tangkap, dengan memperhatikan aspek keberlanjutan sumberdaya. Apakah perairan Indonesia Bagian Timur termasuk bagian dari 25% perikanan tangkap dunia, yang menurut FAO bisa dikembangkan lebih lanjut?

Sebuah artikel dalam Kompas 21 Januari 2004 (Hakim, 2004) menggambarkan beberapa wilayah perairan laut yang sudah mengalami tangkap lebih, sementara beberapa wilayah lainnya masih berada dalam kondisi tangkap kurang. DKP mengangkat masalah ini dan menyelesaikannya dengan cara memfasilitasi transmigrasi nelayan (pernyataan pers DKP, tanggal 29 Agustus 2003, 20 Januari 2004 dan 9 Desember 2004; diakses melalui http://www.dkp.go.id tanggal 21 April 2006). Lebih lanjut, Pemerintah Indonesia sangat gencar mengundang investor asing untuk mengeksploitasi sumberdaya yang dianggap tidak akan pernah habis tersebut – situs Kedutaan Inggris di Indonesia mengundang industri perikanan tangkap di Inggris dalam memanfaatkan peluang ini melalui suplai armada perikanan, tenaga ABK, alat tangkap gill net, pukat harimau, pancing pole & line, pukat cincin, beserta pelayanan konsultasi dan transfer teknologi ( http://www.britain-in-indonesia.or.id/commer6.htm, diakses pada 21 April 2006). Sebuah artikel dalam the Jakarta Post tanggal 3 Oktober 2005 menuliskan pernyataan Menteri Perikanan Indonesia yang mengundang investor Thailand, Filipina dan Cina untuk berinvestasi senilai US$ 1 juta dalam mengeksploitasi perikanan di wilayah timur Indonesia, termasuk Maluku dan Papua (diakses dari http://www.thejakartapost.com/).

1

(3)

3 Kawasan konservasi perairan

Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji tiga aspek terkait dengan sektor perikanan sebagai berikut: (1) apakah stok perikanan Indonesia bisa terus dipertahankan meningkat dengan meningkatnya laju eksploitasi, (2) pengembangan alternatif kebijakan perikanan tangkap berbasis ekosistem dengan penekanan pada peranan KPL sebagai alat pengelolaan perikanan tangkap dan (3) keterlibatan berbagai pihak dalam pengelolaan KPL.

MSY – DASAR KEBIJAKAN PERIKANAN TANGKAP

Pada tahun 1950-an, Schaefer mengembangkan metode analisis data effort atau upaya dengan hasil tangkap (Smith, 1988). Metode inilah yang digunakan oleh DKP, seperti juga banyak institusi perikanan lainnya di dunia, untuk menduga potensi hasil tangkapan (PCI 2001a; 2001b; 2001c; Venema, 1996). Secara esensial, DKP menelusuri informasi tentang jumlah armada perikanan dengan jumlah total hasil tangkapan dari armada tersebut. Dengan perhitungan sederhana bisa dihasilkan suatu penduga potensi hasil tangkap dan juga ukuran atau jumlah alat yang beroperasi untuk menghasilkan potensi tersebut. Potensi hasil tangkapan ini sering disebut dengan Maximum Sustainable Yield, MSY, atau hasil tangkapan maksimum berimbang lestari (Gambar 1).

Sasaran pengelolaan perikanan tangkap ditentukan dari nilai MSY. Dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian, sasaran pengelolaan perikanan tangkap Indonesia telah ditetapkan pada 80% dari nilai MSY (DKP, 2005). Karena keuntungan ekonomi maksimum berada di bawah nilai MSY (Gulland, 1983), prinsip kehati-hatian ini cukup beralasan, baik secara logika maupun dalam perhitungan ekonomi (rupiah).

Publikasi terakhir memperoleh dugaan MSY sekitar 5,0 juta ton (DKP, 2003). Sebelumnya ada 5 (lima) studi yang sudah dilakukan terkait dengan MSY, yaitu: (a) Martosubroto, melalui tinjauan data akhir tahun 1980an yang didapatkan dari Dirjen Perikanan Tangkap bersama Balai Penelitian Perikanan Laut, (b) Dirjen Perikanan Tangkap 1995 melalui tinjauan data sejak awal tahun 1980an, (c) Indonesia-/FAO/DANIDA 1995 melalui pengkajian semua data yang tersedia (Venema, 1996), (d) Pusat Riset Perikanan Tangkap (PURISPT) melaui riset pengkajian stok bersama LIPI (PURISPT, 2001) dan (e) tinjauan ulang oleh Pacific Consultants International (PCI, 2001c). PCI menyajikan 6 (enam) penduga terhadap nilai MSY yang satu sama lain berbeda, bervariasi antara 3,67 sampai 7,7 juta ton. Hasil pendugaan pada tahun 2001 mendapatkan nilai 6,26 juta ton. Nilai ini ditetapkan sebagai dugaan formal dan diadopsi oleh pemerintah melalui SK Menteri DKP No. Kep. 18/Men/2002 dan Jumlah Tangkapan yang diperbolehkan (JTB) ditetapkan pada 5,02 juta ton per tahun. Menurut statistik terakhir, produksi perikanan tangkap Indonesia adalah 4,88 juta ton pada tahun 2004 (DKP, 2005). Apakah perbedaan antara nilai MSY dengan produksi riil ini bisa diartikan

sebagai ‘ruang’ untuk memperluas armada perikanan? Jawabannya adalah ‘tidak bisa’. Ada tiga hal penting yang harus diperhatikan terkait dengan perhitungan nilai MSY. Pertama, hasil perhitungan sangat tergantung dari kualitas statistik perikanan yang digunakan sebagai input. Kedua, metode perhitungan selalu berdasarkan atas sejumlah asumsi yang sangat jarang sekali terpenuhi, dua asumsi yang paling penting diantaranya adalah stok ikan berada dalam kondisi keseimbangan serta hasil tangkap-per-unit-usaha merupakan petunjuk yang baik bagi ukuran besarnya populasi. Yang terakhir, dan sering kali terjadi pada kasus perikanan tangkap Indonesia, adalah hasil dari perhitungan diterjemahkan berbeda dari kondisi seharusnya.

(4)

4 Kawasan konservasi perairan

ahli perikanan mengabaikan kemampuan adaptasi dan kapasitas sumberdaya nelayan. Ketika nelayan tidak puas dengan hasil tangkap harian yang didapat, kemungkinan dia akan pindah ke bagian lain dari terumbu karang dimana ikan diperkirakan masih cukup banyak (Sadovy et al., 2003). Kadang kala, nelayan juga bisa beralih menggunakan alat tangkap yang lebih efektif, atau mencari jenis ikan lain yang masih cukup banyak. Pada skenario ini penangkapan ikan akan terus berlanjut sampai stok terkuras. Kegagalan dan jatuhnya perikanan Cod di perairan Atlantik (Kanada) pada tahun 1990an bisa dijadikan contoh, dengan dampak ekonomi yang sangat parah dan bahkan menjadi mimpi buruk dalam sejarah ekonomi Negeri Kanada (Walters & Maguire, 1996).

Masalah lain yang juga sering terjadi adalah interpretasi pemerintah terhadap penduga dari MSY, dan bagaimana hasil tangkapan yang didapat digunakan untuk memformulasi kebijakan perikanan tangkap (Gillet, 1996). Pembuat kebijakan menafsirkan

‘hasil tangkapan’ di bawah nilai MSY sebagai tanda adanya ruang bagi perluasan atau peningkatan armada penangkapan ikan. Interpretasi tersebut kurang dapat dipertanggung jawabkan. Tampaknya, perbedaan antara total hasil tangkapan Indonesia saat ini yang mencapai 4,88 juta ton (2004) dengan nilai dugaan MSY sebesar 5.02 juta ton juga ditafsirkan secara keliru (Wiadnya et al, 2005).

Penangkapan berlebih diartikan sebagai jumlah usaha penangkapan sedemikian tinggi dimana stok ikan tidak mempunyai kesempatan (waktu) untuk berkembang, sehingga total hasil tangkapan lebih rendah dibandingkan pada jumlah usaha yang lebih rendah (Sparre & Venema, 1992; Gulland 1983; Gambar 1). Evaluasi terhadap status perikanan tangkap hanya bermanfaat jika kita mempertimbangkan juga bahwa jumlah usaha penangkapan dan MSY itu sendiri kurang baik sebagai sebuah target dalam pengelolaan. Sebagai gantinya, pengelolaan harus difokuskan pada perkiraan jumlah unit usaha penangkapan yang menghasilkan nilai MSY, yaitu MSE atau Usaha Maksimum Lestari (jumlah usaha yang menghasilkan tangkapan MSY, seperti ilustrasi pada Gambar 1). Hampir semua analisis yang dilakukan terhadap perikanan tangkap sebenarnya sudah menunjukkan kondisi dimana MSE sudah terlewati, sehingga perikanan menghasilkan tangkapan yang menurun karena terjadinya tangkap lebih (Widodo, Wiadnyana, & Nugroho, 2003).

Saat ini, paling tidak, terdapat 15 studi yang mempelajari status perikanan tangkap di Indonesia per Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) dan kategori spesies ikan di dalam tangkapan. Secara umum, 56 dari 129 kesimpulan menyatakan bahwa perikanan Indonesia sudah berada pada konsdisi tangkap lebih, 26 kesimpulan menyatakan pada kondisi tereksploitasi penuh, 8 kesimpulan menyatakan belum jelas dan 37 kesimpulan menyatakan pada kondisi tangkap kurang (Wiadnya et al 2005). Hasil studi menyimpulkan bahwa hampir seluruh perikanan berada pada kondisi tangkap lebih atau tereksploitasi penuh, kecuali WPP Laut Banda dan Laut Seram serta Teluk Tomini. Namun kedua WPP ini tidak mewakili perikanan di bagian timur Indonesia. Terkait dengan perikanan demersal (ikan kakap) di Perairan Arafura, Badrudin & Blaber (2003) menyimpulkan bahwa jika tekanan penangkapan dipertahankan pada kondisi saat ini (2002), perikanan akan segera kolaps dan tidak bisa pulih kembali.

MASA DEPAN PERIKANAN INDONESIA – PERAN KPL

(5)

multi-5 Kawasan konservasi perairan

spesies’, hampir tidak mungkin atau paling tidak, sangat mahal sekali untuk mendapatkan data yang memenuhi kualitas dan bisa digunakan untuk menduga MSY (Widodo, Wiadnyana & Nugroho, 2003). Bahkan, jika data tersedia, maka hasil perhitungan tampaknya akan mendapatkan penduga MSY yang terlalu optimistik. Oleh karena itu, sangat tepat dan sudah saatnya untuk tidak lagi berpedoman semata pada nilai MSY sebagai tujuan pengelolaan.

Naskah kebijakan yang dikeluarkan oleh DKP sangat jelas menyebutkan tentang status perikanan tangkap Indonesia. Dalam kondisi stok perikanan tangkap yang sudah menipis dan hampir kolaps, tidak saja di Indonesia tetapi juga di dunia, maka usaha terus-menerus untuk mengembangkan perikanan tangkap secara tidak terkontrol dan tidak terkelola secara baik jelas merupakan kebijakan yang kurang tepat. Sebagai gantinya, kita memerlukan suatu kebijakan yang betul-betul segar untuk memulihkan stok sumberdaya perikanan (Mous et al 2005). Naskah kebijakan tersebut menyarankan untuk ‘menciptakan,

membangun, dan meningkatkan kesadaran dalam usaha untuk merubah persepsi dan pemikiran masyarakat agar menghentikan pemikiran romantis bahwa sumberdaya laut kita, terutama perikanan, tidak akan pernah habis’ (PCI, 2001a). Terkait dengan hal ini, rencana investasi perikanan tangkap di perairan Indonesia Bagian Timur yang diumumkan baru-baru ini (Jakarta Post, 3 Oktober 2005), serta rencana lainnya tentang intensifikasi usaha perikanan tangkap harus dipertimbangkan kembali secara cermat.

Alternatif pengelolaan untuk mengatasi kelemahan dari pendekatan MSY yang banyak diterapkan akhir-akhir ini adalah pengelolaan berbasis ekosistem melalui pembentukan suatu jejaring KPL (Gell & Roberts, 2002; National Research Council, 2001; Roberts & Hawkins, 2000; Ward, Heinemann & Evans, 2001). Definisi IUCN (International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources) tentang KPL

adalah ‘suatu wilayah perairan pasang surut bersama badan air di bawahnya dan terkait dengan flora, fauna, dan penampakan sejarah serta budaya, dilindungi secara hukum atau cara lain yang efektif, untuk melindungi sebagian atau seluruh lingkungan di sekitarnya’. Selain fungsinya sebagai alat untuk konservasi keanekaragaman hayati, KPL juga banyak dinyatakan sebagai alat pengelolaan perikanan tangkap yang harus diintegrasikan kedalam perencanaan pengelolaan pesisir terpadu (Gell & Roberts, 2002; National Research Council, 2001; Roberts & Hawkins, 2000; Ward, Heinemann & Evans, 2001).

Pembuktian ilmiah sudah cukup kuat menyatakan bahwa KPL, dengan suatu kawasan ‘larang-ambil’ yang substansial di dalamnya, menyebabkan peningkatan biomas ikan, ukuran ikan yang lebih besar, dan komposisi spesies yang lebih alami (27 studi ditinjau dalam Roberts & Hawkins (2000)). Pembuktian ilmiah sekarang sedang dikembangkan untuk mengetahui manfaat komersial dari KPL (3 studi ditinjau dalam Roberts & Hawkins (2000)). Roberts et al., (2001) melaporkan bahwa sebuah jejaring terdiri dari 5 KPL yang berukuran kecil di St. Lucia diketahui telah meningkatkan hasil tangkapan nelayan tradisional antara 40 dan 90%, sementara KPL di Merrit Island National Wildlife Refuge (Florida) telah meningkatkan persediaan jumlah dan ukuran ikan bagi pemancing rekreasional di perairan sekitarnya sejak tahun 1970an. Setelah mempelajari pengaruh KPL terhadap perikanan lobster di Selandia Baru (Kelly, Scott & MacDiarmid, 2002) bisa disimpulkan bahwa emigrasi dari lobster ke dalam wilayah penangkapan di sekitarnya menurunkan kerugian jangka panjang yang akan diderita oleh nelayan lokal dari hilangnya kesempatan menangkap lobster.

(6)

6 Kawasan konservasi perairan

dewasa dari dalam kawasan larang-ambil ke wilayah perikanan di sekitarnya, (2) ekspor telur dan/atau larva yang bersifat planktonik dari wilayah larang-ambil ke wilayah perikanan di sekitarnya dan (3) mencegah hancurnya perikanan tangkap secara keseluruhan jika pengelolaan perikanan di luar kawasan larang-ambil mengalami kegagalan. Selanjutnya, KPL bisa menjadi alat untuk perlindungan tempat-tempat sensitif, seperti agregasi pemijahan ikan, khususnya ikan karang (Johannes, 1998).

Biaya penetapan dan pengelolaan KPL cukup tinggi, namun manfaat yang didapatkan ternyata jauh lebih tinggi. Sebuah jejaring KPL global dengan ukuran 20-30% dari luas laut dunia diperkirakan memerlukan biaya $5-19 miliar per tahun, namun akan menghasilkan tangkapan ikan yang keberlanjutan senilai $ 70-80 miliar setiap tahunnya. Jejaring KPL tersebut juga diperkirakan memberikan jasa ekosistem setara $ 4,5 – 6,7 juta setiap tahun (Balmford et al. 2004). Total biaya yang dibutuhkan untuk membuat dan mengelola jejaring KPL ternyata lebih rendah dibandingkan dengan pembelanjaan subsidi terhadap industri perikanan yang kita ketahui tidak berkelanjutan, yaitu $15-30 miliar per tahun (Balmford et al. 2004). Tingginya biaya pengelolaan KPL, namun sepadan dengan tingginya manfaat yang diperoleh, merupakan justifikasi kuat untuk segera merumuskan mekanisme dan implementasi secara konsisten dari suatu sistem pendanaan pengelolaan

KPL yang berkelanjutan. ‘Users pay principles’ perlu diterapkan secara proporsional, adil

dan transparan dalam skema pendanaan tersebut.

PELIBATAN PEMERINTAH DAERAH

Undang-Undang (UU) No 32 tahun 2004 antara lain menyebutkan kewenangan pemerintah daerah dalam pengelolaan wilayah laut, termasuk dalam bidang konservasi (pasal 18, ayat (3) point (a). Namun mekanisme pengelolaan ini secara teknis belum diatur dengan peraturan yang lebih detail. Dengan demikian, keterlibatan pemerintah daerah dalam penetapan dan pengelolaan KPL di Indonesia dalam pembahasan ini masih berpedoman pada: Konvensi Keanekaragaman Hayati yang diratifikasi melalui UU No. 5 tahun 1994, UU No 5 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dan UU No 31 tahun 2004 tentang perikanan.

Indonesia telah meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Keanekaragaman Hayati (UN Convention on Biological Diversity), melalui UU No. 5 tahun 1994. Sebagai konsekuensinya, Indonesia harus melaksanakan hal-hal yang dimandatkan dalam konvensi tersebut, termasuk perkembangan-perkembangan kebijakan yang terjadi, khususnya yang terkait dengan upaya konservasi keanekaragaman hayati. Pasal 8 Konvensi Keanekaragaman Hayati mengharuskan setiap negara untuk menetapkan sistem perlindungan kawasan, termasuk pedoman penyeleksian, pendirian dan pengelolaan kawasan konservasi. Untuk itu, Pemerintah perlu menyusun suatu sistem yang berlaku secara nasional yang mengatur hal-hal umum tentang pembentukan dan pengelolaan KPL. Dengan alasan tersebut, pemerintah pusat masih terus bekerja keras dalam menggalang bentuk keterlibatan pemerintah daerah berdasarkan prinsip yang saling menguntungkan, namun sejalan dengan prinsip konvensi keanekaragaman hayati.

(7)

7 Kawasan konservasi perairan

berbasis pemerintah, state-based management, menjadi pengelolaan berbasis multi-pihak,

multi-stakeholder based management / collaborative management.

Terkait dengan pengelolaan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan, melalui UU No 31 tahun 2004, secara implisit pemerintah berkeinginan untuk memperluas dan memperbanyak jumlah KPL di Indonesia, dari yang sudah ada selama ini. Saat ini, DKP sedang mempersiapkan PP tentang konservasi sumberdaya ikan. Dari Rancangan PP tersebut, DKP tampaknya akan memberikan kewenangan yang lebih luas kepada pemerintah daerah dalam kebijakan pembentukan dan pengelolaan suaka perikanan. Alokasi ruang dan pemetaan KPL perlu dipadukan dalam rencana tata ruang daerah dan didukung oleh peraturan yang menjamin kepastian pngelolaannya secara legal.

Seperti telah dijelaskan, KPL berdampak pada peningkatan hasil tangkapan nelayan dan berkembangnya pariwisata di dalam dan sekitar kawasan. keberhasilan pengelolaan KPL, dengan demikian, akan berdampak langsung pada keuntungan jangka panjang dari masyarakat sekitar kawasan maupun penerimaan daerah. Untuk kepentingan ekonomi jangka panjang ini, pemerintah daerah bersama masyarakat lokal akan memegang peran kunci yang menentukan keberhasilan pengelolaan KPL di Indonesia. Dengan semakin terbatasnya pendanaan pemerintah dalam pengelolaan kawasan konservasi, maka peran utama pemerintah daerah adalah dalam menggalang pendanaan konservasi ke arah yang lebih mandiri dan penegakan aturan konservasi secara konsisten.

KESIMPULAN DAN SARAN

Stok sumberdaya ikan pada beberapa wilayah pengelolaan perikanan berada pada kondisi tereksploitasi penuh atau bahkan mengalami penangkapan berlebih. Saran kebijakan kepada pemerintah yang diajukan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir mensyaratkan penurunan atau paling tidak jangan lagi menambah tekanan terhadap sumberdaya yang ada saat ini. Namun kenyataannya masih banyak kebijakan operasional pemerintah (DKP) pada tingkat lapang yang mengupayakan peningkatan hasil tangkap melalui perluasan usaha penangkapan.

Masa depan perikanan tangkap Indonesia, dengan demikian, akan sangat tergantung dari:

- Komitmen pemerintah (DKP) untuk menggeser kebijakan perikanan dari pengelolaan beorientasi pada pengembangan usaha menuju pada pengelolaan yang berkelanjutan, bisa menerima atau bahkan menginginkan hasil tangkap yang stabil dan menurunkan jumlah usaha penangkapan kalau diperlukan

- DKP dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan dapat menerima prinsip bahwa sebagian besar sumberdaya ikan di laut sudah mengalami tangkap lebih, dengan kata lain, eksploitasi tidak lagi menguntungkan

- Pengelola perikanan tangkap memahami dan menerima bahwa pemindahan usaha penangkapan dari wilayah yang mengalami tangkap lebih ke wilayah yang disebut

‘sumberdaya tidak akan pernah habis’ merupakan rencana yang ‘kurang tepat’ dan bahkan menyebabkan perikanan tangkap setempat menjadi tidak berdaya (collapse), bukan peningkatan penerimaan daerah.

(8)

8 Kawasan konservasi perairan

Perubahan paradigma pembangunan kearah desentralisasi yang terjadi belakangan ini telah menggeser kebijakan pengelolaan konservasi, termasuk KPL di Indonesia, dari berbasis pemerintah, state-based management, menjadi pengelolaan berbasis multi-pihak,

multi-stakeholder based management sesuai dengan UU No 5/1990, UU No. 5 tahun 1994, UU No. 31/2004, PP No. 68/1998 dan Permenhut No. P.19/Menhut-II/2004. Keterlibatan pemerintah daerah dalam meningkatkan efektifitas pengelolaan konservasi, termasuk KPL, akan sangat bermanfaat bagi keuntungan jangka panjang ekonomi setempat.

DAFTAR PUSTAKA

Badrudin & Blaber S. 2003. Pengkajian stok sumberdaya ikan kakap merah di perairan Laut Arafura dan Laut Timor [Review of the red snapper stock and fishery in the Arafura and Timor Seas]. In: Widodo J., Wiadnyana N.N. & Nugroho D. (Eds).

Prosiding forum pengkajian stok ikan laut 2003. Jakarta, 23-24 Juli 2003. PUSRIPT-BRKP, DKP, Jakarta. pp. 47-56.

Balmford A., Gravestock P., Hockley N., McClean C.J. & Roberts C.M. 2004. The worldwide costs of marine protected areas. Ecology– PNAS 101, 9694-9697

DKP 2003. Siaran Pers, 27 Maret 2003 – DKP Gandeng MPN kaji ulang stok sumberdaya ikan nasional. Download dari situs http://www.dkp.go.id/ pada tanggal 21 April 2006

DKP 2005. Kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan dalam rangka pengembangan industri perikanan terpadu. Makalah disajikan pada pertemuan pemaparan dan diskusi rencana program kerja eselon I tahun 2006 lingkup Departemen Kelautan dan Perikanan, di Purwakarta, tanggal 5-7 April 2005. Direktorat SDI, Ditjen Perikanan Tangkap, DKP, 12 pp.

FAO 2002. The state of the world fisheries and aquaculture 2002. FAO, Rome: FAO, 150 pp.

FAO 2004. The state of the world fisheries and aquaculture 2004. FAO, Rome: FAO, 153 pp

Gell, F.R. & Roberts C.M. 2002. The fishery effects of marine reserves and fishery closures. WWF-US, 1250 24th Street, NW, Washington, DC 20037, USA. 89 p.

Gillet R. 1996. Marine fisheries resources and management in Indonesia with emphasis on the extended economic zone. Workshop Presentation Paper 1, Workshop on

Strengthening Marine Resource Development in Indonesia, April 23, 1996. TCP/INS/4553. Rome: FAO, 37 pp.

Gulland J.A.1983. Fish stock assessment. A manual of basic methods. Wiley & Sons, Chichester: Wiley & Sons, 223 p.

Hakim A L. 2004. Perlunya mereorientasi paradigma pembangunan kelautan. Kompas 21 January 2004.

Johannes R.E. 1998. Tropical marine reserves should encompass spawning aggregation sites. Parks 8:2, 53-54

(9)

9 Kawasan konservasi perairan

Mous, P.J., J.S. Pet, Z. Arifin, R. Djohani, M.V. Erdmann, A. Halim, M. Knight, L. Pet-Soede & G. Wiadnya 2005. Policy needs to improve marine capture fisheries management and to define a role for marine protected areas in Indonesia. Fisheries Management and Ecology, 2005, 12, 259-268

National Research Council 2001. Marine Protected Areas. Tools for sustaining ocean ecosystems. National Academy Press, Washington, D.C. 272 pp

PCI 2001a. Study on fisheries development policy formulation. Volume I. White Paper. Report by Pacific Consultants International under Jakarta Fishing Port / Market Development Project (Phase IV: JBIC Loan No. IP-403), 234 pp. + Annexes)

PCI 2001b. Study on fisheries development policy formulation. Volume II. Review and analysis of policies and performances and recommendations. Report by Pacific Consultants International under Jakarta Fishing Port / Market Development Project (Phase IV: JBIC Loan No. IP-403)), 659 pp + Annexes.

PCI 2001c. Study on fisheries development policy formulation. Volume III. Database for analysis of study. Report by Pacific Consultants International under Jakarta Fishing Port / Market Development Project (Phase IV: JBIC Loan No. IP-403), 138 pp

PURISPT 2001. Pengkajian stok ikan di perairan Indonesia. Kerjasama BRKP-DKP dengan P2O-LIPI, Jakarta, 125 pp.

Roberts C.M., Bohnsack J.A., Gell F., Hawkins J.P. & Goodridge R. 2001. Effects of marine reserves on adjacent fisheries. Science294, 1920-1923

Roberts C.M. & J. P. Hawkins 2000. Fully-protected marine reserves: A guide. WWF-Washington DC USA, University of York, York, UK. 131 pp.

Sadovy Y.J., Donaldson, T.J., Graham, T.R., McGilvray F., Muldoon, G.J., Phillips M.J., Rimmer M.A., Smith B., & Yeeting, A. 2003. While stocks last: the live reef food fish trade. Manila, Phillippines; Asian Development Bank, 146 pp.

Smith T.D 1988. Stock assessment methods: the first fifty years. In: J.A. Gulland (ed.) Fish population dynamics. The implications for management. Chichester: Wiley & Sons,. pp. 1-33.

Sparre P. & Venema S.C. 1992. Introduction to tropical fish stock assessment. Part I - Manual. FAO Fisheries Technical Paper 306/1, 376 p.

Venema S.C. 1996 (ed.). Report on the Indonesia/FAO/DANIDA Workshop on the assessment of the potential of the marine fishery resources of Indonesia. GCP/INT/575/DEN. FAO fisheries Technical Paper338, 42 pp + Annexes.

Walters C. & Maguire J.J. 1996. Lessons for stock assessment from the northern cod collapse. Reviews in Fish Biology and Fisheries6: 125-137.

Ward T. J., Heinemann D. & Evans N. 2001. The role of marine reserves as fisheries management tools: a review of concepts, evidence and international experience. Canberra, Australia: Bureau of Rural Sciences, 192pp.

(10)

10 Kawasan konservasi perairan

Widodo J. 2003. Pengkajian stok sumber daya ikan laut Indonesia tahun 2002 [Review of

Indonesia’s marine fishery of 2002]. In: Widodo J., Wiadnyana N.N. & Nugroho D. (Eds). Prosiding forum pengkajian stok ikan laut 2003. Jakarta, 23-24 Juli 2003. PUSRIPT-BRKP, Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta. pp. 1-12.

(11)

11 Kawasan konservasi perairan

effort (boat days)

0 10000 20000 30000 40000

y

ie

ld

(t

on

s)

0 2000 4000 6000 8000

(b) Cost of fishing MSY

MSE

over-exploitation under-exploitation

(a) Schaeffer model

(c)

[image:11.595.88.473.101.371.2]

(d)

Gambar 1. Data tahunan dari hasil tangkapan total (sumbu-Y) dan total usaha atau effort untuk mendapatkan hasil tersebut (sumbu-X) dari gambaran sebuah perikanan tangkap secara hipotetis selama periode 10 tahun (titik-titik berwarna hitam), bersama dengan kurva biaya dari effort yang berbeda.

Keterangan Gambar: Model Schaefer (a) adalah sebuah parabola (hasil tangkap = a * usaha + b *

usaha2), dimana a dan b bisa diduga dengan membuat sebuah garis dari data hasil observasi antara

hasil tangkap – usaha. Dalam hal ini, a = 0,5303 dan b = - 1,1524·10-5. Jumlah usaha yang

mendapatkan nilai MSY disebut Usaha Maksimum Lestari (MSE). Ketentuan yang berlaku adalah bahwa MSE = -a/(2b) = 23.007, sementara MSY = 6.100 ton. Definisi tangkap kurang adalah wilayah dimana jumlah usaha < MSE, sementara tangkap lebih adalah wilayah dimana jumlah usaha yang ada > MSE; pada kedua kondisi tangkap kurang atau lebih, total hasil tangkap lebih rendah dari MSY. Biaya untuk menangkap ikan (grafik b) di sini diasumsikan meningkat secara lurus dengan meningkatnya jumlah usaha. Keuntungan ekonomi dari usaha penangkapan, yaitu perbedaan antara kurva hasil tangkap (a) dengan biaya penangkapan (b), mencapai nilai maksimal

pada jumlah usaha lebih rendah dari MSE (bandingkan antara (c) dengan (d)). Sumber – Grafik

Gambar

Gambar 1.  Data tahunan dari hasil tangkapan total (sumbu-Y) dan total usaha atau effort untuk mendapatkan hasil tersebut (sumbu-X) dari gambaran sebuah perikanan tangkap secara hipotetis selama periode 10 tahun (titik-titik berwarna hitam), bersama dengan

Referensi

Dokumen terkait

6)   fotokopi  Oaftar  Penilaian  Pelaksanaan  Pekerjaan/OP3  Tahun  2013  dan  Sasaran  Kinerja  Pegawai/SKP Tahun 2014. .. 2  . b.   Kenaikan 

Hasil penelitian menunjukkan bahwa di samping ada kuri- kulum yang berbasis pada madrasah, pesantren Roudhatul Khuffadz juga menerapkan konsep kurikulum kewirausahaan dalam

Tak ada jalan yang lebih baik untuk memperkembangkan karunia pem- beritaan Injil daripada memberitakan Injil. Hal ini dapat kita lihat dalam pelayanan C.M. Ward, salah seorang

Oleh karena , secara historis, struktur Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau sebagai organisasi yang mewadahi ninik mamak dan pemuka adat, sebenarnya tidak terdapat dalam

Pada studi ini telah dikembangkan model empiris dengan analisa regresi untuk memprediksi daya dukung total pondasi tiang bor pada tanah ekspansif. khususnya di lingkungan laut

1) Bakteri dengan kode isolat 3R tumbuh di atas permukaan medium, bentuk koloni circular , elevasi low convex , tepi entire dan struktur dalam finely granular. Bentuk

Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, Jakarta : PT.Bumi Aksara.. Mudrajad Kuncoro,

Berdasarkan hasil angket variabel potensi belajar siswa tersebut, maka dapat dipahami bahwa gambaran potensi belajar siswa dalam mata pelajaran akidah akhlak di