• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bermain Petak Umpet di Tengah Trotoar (Strategi Bertahan Pedagang Kaki Lima di Jakarta) - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Bermain Petak Umpet di Tengah Trotoar (Strategi Bertahan Pedagang Kaki Lima di Jakarta) - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

....sapa suruh datang Jakarta, sandiri suru sandiri rasa ado e... sayang

Lagu daerah Maluku

2Secawan Anggur Kebimbangan

barat secawan anggur, Jakarta telah menawarkan sejumlah impian dan angan-angan bagi sejumlah orang. 1 Ia telah menyihir sejumlah orang dari

seluruh pelosok nusantara untuk ikut berebut impian dan angan-angan itu. Meski

I

1 Pada zaman penjajahan Belanda memang pemukiman di sejumlah perkampungan pribumi

(2)

setiap jengkal tanah yang tersisa di ibu kota negara ini, sudah terlalu sumpek untuk mampu menampung orang demi orang dari sejumlah etnik dan profesi.

Mengapa orang-orang dari luar Jakarta, dari waktu- ke waktu dan secara terus menerus, datang dan menetap di Jakarta? Siapakah pendatang dari Jakarta tersebut? Dan, untuk apa mereka datang ke Jakarta?

Di antara mereka yang bermimpi ingin mendapatkan anggur di Jakarta adalah sebagai besar untuk mendapatkan pekerjaan atau berdagang. Sayangnya, di antara mereka justru tanpa modal yang memadai. Mereka memang mempunyai relasi atau kerabar atau teman yang lebih dulu tinggal di Jakarta, namun ketrampilan yang mereka miliki kurang memadai dengan tuntutan dan persaingan yang tercipta. Sementara penduduk yang lebih dahulu menempati ruang di Jakarta – dengan sumber daya yang rendah -- juga harus bersaing dengan yang lain.

Seperti juga ciri kota lainnya, Jakarta mempunyai ciri-ciri berupa kerumunan orang-orang yang datang dan pergi, sehingga masing-masing tidak saling mengenal. Hubungan di antara mereka lebih superfisial. Mobilitasnya tinggi, setiap warga mempunyai kemampuan untuk terikat pada tradisi yang ada dan mempunyai kecenderungan untuk menciptakan tradisi-tradisi baru dalam kehidupan mereka.

(3)

perorangan, karena itu berkembang dan berfungsinya spesialis-spesialis dalam berbagai bidang keahlian dan pekerjaan.

Sebagai kota yang memang sejak semula bercorak ekonomi dan menekankan pada usaha-usaha komersial, maka tak salahlah jika sejumlah orang dari berbagai etnik di seluruh penjuru republik ini menyerbu dan berebut mendapatkan impian dan angan-angan tersebut. Sayangnya, dari sejumlah orang yang berebut impian dan angan-angan itu, ternyata sebagian besar hanya berpendidikan rendah. Sebut saja, mereka hanya tamat sekolah dasar atau bahkan tak sampai lulus dari tingkat dasar tersebut. 2

Apa yang bakal terjadi jika yang memperebutkan impian dan angan-angan itu begitu meruah, sementara anggur yang tersisa dalam cawan itu tak lagi penuh? Apakah impian dan angan-angan itu bisa dirasakan, jika setetes pun mereka sulit benar untuk mendapatkannya? Belum lagi, mereka juga harus berhadapan dengan sejumlah aturan yang telah terbentuk dan dibentuk, mampukah kemudian mereka melakukan strategi untuk menyiasati peraturan tersebut? Atau justru mereka membuat aturan sendiri yang kemudian berujung bahwa kontestasi kekuasaanlah yang sebenarnya sedang mereka mainkan dalam “kompetisi” tersebut?

Di antara pertanyaan demi pertanyaan itulah, keberadaan pedagang kali lima yang konon paling menandai dinamika perkotaan – terutama di Jakarta — menjadi salah satu jawabannya. Jumlah pedagang kaki lima kurang lebih 74.000 orang (bps3100@jakarta.wasantara.net.id). Ia seolah menjadi salah satu representasi dari sejumlah pemeran (actors) yang sedang memperebutkan secawan anggur. Ia pula yang kemudian harus berbenturan dengan sejumlah aturan, dan sekaligus “bermain” dengan sejumlah strategi untuk menyiasati peraturan tersebut. Bahkan ia pula yang kemudian memainkan peranan dalam kontestasi kekuasaan di antara lingkungan yang ada di sekitarnya.

2 Catatan Badan Pusat Statitik tahun 2000, tingkat pendidikan penduduk yang tamat/tidak tamat

(4)

Misalnya, adanya Peraturan Daerah-Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 11 tahun 1988, tentang “Ketertiban umum dalam wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta”. Peraturan Daerah ini merupakan pengganti dari Peraturan Daerah Nomor 3 tahun 1972 tentang Ketertiban umum dalam Wilayah Daerah Khususnya Ibukota Jakarta dan Peraturan Dearah Nomor. 7 tahun 1977, sehubungan dengan telah diaturnya salah satu aspek ketertiban umum tersebut, yaitu masalah kebersihan lingkungan dalam Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 1988. Selain itu penetapan kembali Peraturan Ketertiban Umum ini dimaksudkan pula untuk dapat menampung dan menyesuaikan dengan perekambangan keadaan dan kebutuhan dewasa ini. Peraturan itu, oleh Pemda DKI dianggap sangat penting untuk memberikan motivasi dalam menumbuhkan dan menegakkan serta mendidik masyarakat untuk berperilaku disiplin guna mewujudkan tata kehidupan perkotaan masyarakat Jakarta yang lebih tertib, teratur, nyaman dan tentram, lebih-lebih dalam kedudukan Jakarta selaku Kota Metropolitan sekaligus Ibukota Negara.

Sementara Perarturan Daerah Nomor 11 Tahun 1988 mengatur tentang sembilan tertib hukum yaitu, tertib jalan dan angkutan jalan raya; tertib jalur hijau, taman dan tempat umum; tertib sungai, saluran, kolam dan lepas pantai; tertib lingkungan; tertib usaha tertentu; tertib bangunan; tertib pemilik, penghuni bangunan; tertib sosial; tertib kesehatan. Isi Sementara Perarturan Daerah Nomor 11 Tahun 1988 mengatur tentang sembilan tertib hukum yaitu, tertib jalan dan angkutan jalan raya; tertib jalur hijau, taman dan tempat umum; tertib sungai, saluran, kolam dan lepas pantai; tertib lingkungan; tertib usaha tertentu; tertib bangunan; tertib pemilik, penghuni bangunan; tertib sosial; tertib kesehatan. Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1988 juga terdiri dari: XVI bab dan 32 pasal yang mengatur tentang ketentuan umum; tertib jalan dan angkutan jalan raya; tertib jalur hijau, taman dan tempat umum; tertib sungai, saluran, kolam dan lepas pantai; tertib lingkungan; tertib usaha tertentu; tertib bangunan; tertib pemilik, penghuni bangunan; tertib sosial; tertib kesehatan; ketentuan pidana; pembinaan; pengawasan; penyelidikan; ketentuan peralihan; dan ketentuan penutup

Kakinya Ada Lima

(5)

Gerobak dorong mempunyai tiga kaki bebentuk bulat yang berfungsi sebagai roda. Ditambah dua kaki si penjual. Jumlahnya jadi lima kan?3

Seperti juga telah tersaji pada tulisan terdahulu keberadaan pedagang kaki lima menjadi menarik untuk didiskusikan. Sebab, keberadaannya pedagang kaki lima sangat menandai dinamika dan mobilitas di perkotaan. Selain itu, keberadaannya menjadi “jawaban terakhir” proses pertumbuhan kesempatan kerja yang lambat dan menjadi salah satu resep mengatasi kemiskinan di lingkungan perkotaan. Ia

mampu mengatasi

kemiskinan di lingkungan perkotaan, salah satu alasannya karena ia padat karya (membutuhkan modal yang tidak terlalu besar), mandiri, bersifat kewiraswastaan, dan tak terlalu banyak menggantungkan pada uluran tangan pemerintah (bandingkan pada Broomley, 1978).

Tanggapan senada juga diungkapkan Breman (1980), yang pada dasarnya memandang sektor informal merupakan suatu jenis teori dualisme baru, yang

3 Kartini Kartono (1980) mendefinisikan pedagang kaki lima sebagai “orang yang dengan modal

(6)

juga sejalan dengan pemikiran Boeke tentang masyarakat petani. Dualisme tersebut memuat penjelasan bahwa sektor informal di satu pihak menunjuk pada perekonomian pasar di kota, sementara di pihak lain menunjuk perekonomian subsisten di pedesaan dengan ciri utamanya sistem produksi pertanian yang statis.4

Maka, para petani yang kemudian meninggalkan dunia pertanian statis itu berusaha berkerja di kota dan menekuni sektor informal, sebenarnya merupakan pilihan yang paling rasional untuk mengatasi kemiskinan di pedesaan. Apalagi --seperti juga yang telah diungkapkan pada bagian sebelumnya -- sektor informal lebih berciri padat karya, tidak menuntut jenjang pendidikan yang terlalu tinggi, lebih mudah untuk keluar masuk menekuni bidang usaha tertentu, serta dapat dilakukan dari ruang lingkup keluarga. Bahkan Papanek (1975) mengungkapkan, betapa pun kecilnya pendapatan yang diperoleh dari sektor informal di perkotaan, kesempatan kerja di kota (seperti Jakarta) dianggap juah lebih baik daripada lapisan berpendapatan rendah di pedesaan Jawa.

Melihat kenyataan tersebut, persyaratan menekuni sektor informal seolah-olah tidak seberat dibandingkan sektor formal, namun bukan berarti setiap orang yang menekuni sektor informal dengan mudah bisa berkembang dan memperoleh penghasilan yang memadai secara cepat. Dengan elastisitas yang terdapat pada sektor informal, kemudian lebih memberi ruang untuk keluar masuk menekuni bidang usaha tertentu, mengakibatkan sektor ini banyak menarik minat sejumlah orang.

Aturan Main

Jika kita ibaratkan sebuah permainan, maka para pedagang kaki lima ketika melakukan interaksi dan menjalankan usahanya ternyata tak bisa terlepas dari aturan main yang telah ada. Munculnya Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1988 misalnya— tak sekadar mengatur tempat usaha, perizinan, pembinaan dan

4 Meskipun demikian, menurut Boeke (1953), perkembangan masyarakat petani pada dasarnya

(7)

pegawasan, namun ia juga telah membuka lembaran baru bagi keberadaan kaki lima. Aturan itu di satu sisi, memang mengakomodasi keberadaan pedagang kaki lima, seperti ditetapkannya sejumlah lokasi untuk usaha sektor informal tersebut. Namun, di sisi lain sebenarnya oleh para pedagang kaki lima dianggap telah membatasi usahanya. Apalagi, seperti keterangan sejumlah informan, pedagang kaki lima pada dasarnya tidak bisa dilokalisasi.

Kepala Sub Bidang Tatausaha Tramtib dan Linmas(Ketentraman, Ketertiban dan Perlindungan Masyarakat) Kotamadya Jakarta Selatan, H. Muchtar.BA mengemukakan, ”Pemerintah Daerah Jakarta Selatan membuat program ‘Minggu bersih’. Setiap hari minggu, Walikota, bersama seluruh stafnya, turun melakukan penyuluhan kepada masyarakat pada 10 kecamatan. Staf pemerintah daerah ini dibagi dalam 10 kelompok. Pada hari Minggu itu mereka membersihkan lingkungan bersama staf Kecamatan dan Kelurahan setempat, sambil mengumpulkan para pedagang kaki lima, untuk mensosialisasikan Peraturan Daerah Nomor 11 tahun 1988 dan Perda No.11 tahun1988”.

Di Kotamadya Jakarta Selatan, telah ada Suku Dinas Tramtib dan Linmas tingkat 10 kecamatan dan 65 kelurahan di Daerah Ibukota Jakarta Selatan: Secara hierarkis, masing-masing tingkatan tersebut memiliki kewenangan untuk melakukan tindakaan penertiban berdasarkan batas wilayah dan besar-kecilnya yang akan ditertibkan.

Pada tingkat Kotamadya, Suku Dinas Tramtib dan Linmas, misalnya memiliki kewenangan menelakukan penertiban di seluruh wilayah Kotamadya Jakarta Selatan, manakala pihak yang akan ditertibkan jumlahnya cukup besar sehingga membutuhkan aparat yang banyak. Pada tingkat Kecamatan, Seksi Tramtib memiliki kewenangan untuk melakukan penertiban dalam wilayah adminstrasi Kecamatan yang bersangkutan manakala pihak yang akan ditertibkan tersebut jumlahnya relatif terlalu tidak terlalu banyak. Demikian pula pada tingkat Kelurahan, Subseksi Tramtib juga memiliki kewenangan untuk melakukan penertiban dalam lingkungan kerjanya dalam lingkup yang lebih kecil. Adapaun keseluruhan jumlah tenaga operasi lapangan Trambtib dan Linmas, di Kotamadya Jakarta Selatan terdapat 1170 personil, yang dibagi juga pada lima sampai sepuluh orang pada setiap Kecamatan dan Kelurahan.

Target operasi petugas Trambtib, tentu pada pedagang kaki lima yang melakukan penjualan pada lokasi-lokasi rawan PMKS. Operasi yang dilakukan petugas Tramtib berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1988, Bab VI ‘tentang tertib usaha tertentu’, pasal 16, juga Perda No.11 tahun 1988.

(8)

ini juga disosialisasikan kepada pedagang kaki lima dan masyarakat pada umumnya bahwa ada peraturan daerah yang emngatur tentang ketertiban di lokasi jalur hijau, trotoar dan jalan-jalan, sesuai Perda No.11 tahun 1988.

Kedua, tindakan preventif yaitu suatu tindakan pemeberdayaan dan peningktan ketahanan masyarakat dalam mengantisipasi berbagai kemungkinan tindakan anarkis di masyarakat antara lain pembinaan pos-pos pertahanan sipil, penempatan petugas Linmas dan Satuan Polisi Pamong Praja pada lokasi-lokasi di mana terdapat pedagang kaki lima tidak resmi.

Ketiga, tindakan represif yaitu suatu tindakan tegas yang ditempuh oleh Pemda dengan melakukan operasi pembongkran terhadap pedagang kaki lima yang dianggap membangkang. Dalam tindakan represif ini, dibagi lagi ke dalam tiga jenis operasi yakni : operasi rutin, operasi sektor dan operasi terpadu.

Pemilihan jenis operasi ini lebih dititikberatkan pada jumlah yang akan ditertibkan dan ruang lingkup wilayah di mana pedagang kaki lima itu berada. Pertama, operasi rutin, adalah suatu bentuk operasi yang dilakukan di tingkat kelurahan yang bekerja sama dengan pihak ecamatan. Operasi rutin ini dilakukan setiap saat manakala di suatu lokasi terlarang telah terdapat sejumlah pedagang kaki lima yang melakukan aktivitas penjualan dan telah menganggu ketertiban umum. Untuk melakukan operasi rutin ini pihak Kelurahan dan Kecamatan berkoordinasi dengan pihak Polsek dan Koramil setempat. Biasanya jenis operasi ini dilakukan bial jumlah pedagang kaki lima di suatu lokasi relatif masih sedikit, yakni sekitar kurang dari 15 orang/unit usaha.

Kedua, operasi sektor adalah suatu bentuk operasi yang dilakukan oleh gabungan beberapa Kecamatan. Operasi sektor ini dilakukan manakala ada sejumlah pedagang kaki lima di sutau wilayah di mana secara administratif berada dalam dua wilayah Kecamatan serta jumlahnya juga relatif lebih banyak, yakni 15 sampai 30 orang/unit usaha. Untuk itu, dalam melakukan operasi sektor ini antara satu Kecamatan dengan Kecamatan lain melakukan langkah koordinasi, demikian pula setia Polsek di setiap sektor melakukan koordinasi, serta setia Koramil di setiap rayon militer. Untuk. Untuk Wilayah Jakarta Selatan operasi sektor ini dilakukan oleh lima Kecamatan. Lima Kecamatan di sektor Utara meliputi : Kecamatan Setia Budi, Pancoran, Tebet, Pasar Minggu, Mampang Prapatan. Lima Kecamatan di sektor Selatan : Kecamatan Kebayoran Baru, Pasanggrahan, Cilandak, Kebayoran Lama, Jagakarsa.

Ketiga, operasi terpadu adalah suatu bentuk operasi yang dilakukan di tingkat Kotamadya yang melibatkan berbagai unsur di tingkat Kotamadya, misalnya Polres, Kodim dan berbagai unsur lainnya. Biasanya operasi terpadu ini dilakukan manakala jumlah pedagang kaki lima relatif cukup banyak, misalnya sekitar lebih dari 30 orang serta lokasinya berada di berbagai wilayah. Jenis operasi ini biasanya dilakukan secara maraton atau estafet dari suatu lokasi ke lokasi lain dengan melibatkan personil yang lebih besar.

(9)

selama 24 jam. Biasanya model stationer ini dilakukan dalam bentuk pendirian pos-pos penjagaan dan biasanya masuk kategori operasi rutin. Sedangkan model mobil adalah suatu model penertiban secara berpindah-pindah sebagaimana yang dilakukan dalam operasi sektor dan operasi terpadu.

Secara operasional, dalam pelaksanaan penertiban berbagai unsur terlibat secara langsung. Adapun unsur yang terjun ke lokasi penertiban yang berhadapan langsung dengan pedagang kaki lima : Dinas Tramtib yang terdiri dari Polisi Pamong Praja (Polisi PP), Bantuan Polisi Pamong Praja (Banpol PP), Perlindungan Masyarakat (Linmas). Para petugas operasi ini juga dilengkapi dengan pakaian seragam operasi lapangan yang berbeda-beda, sesuai dengan alur tugas operasi yang berbeda juga,

“Kami yang turun di lapangan ini dalam dua bentuk petugas yang berbeda. Petugas yang turun lapangan dengan pakai seragam berwarna coklat muda, pada dada kiri atas dari seragamnya tertempel atribut petugas, terbaca “Linmas”, mereka adalah petugas Linmas (pelindungan masyarakat), tujuan operasi mereka melindungi masyarakat termasuk PKL dengan mengsosialisasikan, mengingtakan, menasihatkan secara terus menerus PKL tentang peraturan pemerinantah No. 11 Tahun 1988, lokasi-lokasi rawan usaha , dll hal-hal lainnya. Berbeda dengan petugas yang berseragam warna biru yang dilengkapi dengan tongkat kecil ditangan, pada dada kiri atas, tertempel atribut petugas, masing-masing : “Trambi”, mereka merupakan petugas penertiban, “Polisi PP”, mereka membantu operasi penertiba, “Banpol PP”, mereka petugas yang terlibat juga bersama dalam penertiban.Para petugas ini tidak lagi menegur dan melarang tetapi secara tegas demngan penuh wibawa langsung melaksanakan operasi pembersihan lokasi pada daerah yang rawan usaha.

Aturan main itu, apakah akan selalu diindahkan oleh para pedagang kaki lima, atau justru mereka sebenarnya sedang mencari celah-celah yang dapat dinegosiasi? Jika mereka mampu melakukan negosiasi atas aturan main tersebut, tentu sebenarnya mereka telah memiliki posisi tawar atas jenis usaha yang mereka lakukan.

(10)

Tertib Lingkungan dan Tertib Usaha. Seperti seluruh jalan Gatot Subroto, daerah pusat perkantoran, kawasan rawan usaha, tapi begitulah masih banyak PKL informal yang secara sembunyi-sembunyi melakukan usaha mereka. Terkadang mereka sangat tidak tahu diri, begitu kami tidak ada kawasan tertib kota dikotorkan dengan seluruh sampah mereka, wajarlah sesuai aturan hukum harus ditindak demi ketertiban sosial.

Belum lagi, persoalan oknum petugas yang bisa saja justru “bekerja sama” dengan para pedagang kaki lima dalam rangka menyiasati aturan main tersebut. Sehingga tidak mengherankan, jika terjadi operasi penertiban sejumlah petugas tidak menemui para pedagang kaki lima, karena biasanya sehari sebelumnya informasi akan adanya operasi tersebut telah “bocor” ke telinga pedagang kaki lima. Dan, yang membocorkan juga dari aparat petugas itu sendiri.

Untuk itulah, di antara jenis operasi penertiban pedagang kaki lima, menurut hasil wawancara dengan salah seorang petugas Tramtib (ketentraman dan ketertiban) Kotamadya Jakarta Selatan, operasi terpadu merupakan jenis operasi yang memiliki skala yang paling besar dan karena itu juga memiliki tantangan yang tidak sedikit. Hal itu sesuai dengan sesuai Peraturan Daerah Nomor 11 tahun 1988, pada Bab XII, pasal 28 ; yang menyatakan bahwa “Pemerintah Daerah berkewajiban menyelenggarakan pembinaan ketertiban umum dalam wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta”

Ada sejumlah langkah-langkah sebagai prasyarat dilakukannya penertiban. Diawali dengan ada laporan dari masyarakat atau dilihat langsung oleh pihak Tramtib bahwa di lokasi rawan PMKS, sudah banyak pedagang kaki lima yang melakukan kegiatan penjualan. Atas data itu, kemudian ditindaklanjuti dengan membuat Surat Edaran yang ditujukan kepada pedagang kaki lima agar dapat membongkar dan memindahkan barang dagangannya sendiri. Memberi kesempatan bagi pedagang kaki lima selama 7 x 24 jam atau selama seminggu dapat pindah dari lokasi rawan PMKS.

Jika pada tenggang waktu yang diberikan itu tidak diindahkan, maka pihak Pemda melakukan rapat koordinasi dengan berbagai Dinas/Instansi untuk memebahas permasalahan keberadaan pedagang kaki lima tersebut . Adapun Dinas/Instansi yang terlibat meliputi Dinas Tramtib, Kodim, Polers, Kecamatan/Kelurahan, bagian perekonomian, badan kesatuan bangsa, suku Dinas Kebersihan, Suku Dinas Kesehatan, Suku Dinas Koperasi dan UKM (unit usaha kecil), Suku Dinas Pertanaman, PU, PLN, dan Suku Dinas Kebakaran .

(11)

mengantisipasi adanya pembakaran lapak dan fasilitas lainnya. Sementara Suku Dinas Perekonomian dan opersai Usaha Kecil dan Menengah dalam rangka memikirkan langka dan upaya pembinaan, serta PU dan Dinas Pertamanan dibutuhkan manakala di lokasi harus ada perbaikan ataukah pembangunan trotoar atau taman.

Tahap selanjutnya penentuan jadwal pelaksanaan penertiban. Jadwal ini sangat tergantung dengan kondisi dan situasi yang berkembang, Misalnya, pertimbangan kondisi sosial politik, baik ditingkat nasional maupun yang terjadi di Di Jakarta serta pertimbangan teknis lainnya. Secara operasional, dalam pelaksanaan penertiban berbagai unsur terlibat secara langsung. Adapun unsur yang terjun ke lokasi penertiban yang berhadapan langsung dengan pedagang kaki lima dalam penertiban yang berskala besar, antara lain: Dinas Tramtib yang etrdiri dari Polisi Pamong Praja (Polisi PP), Bnatuan Polisi Pamong Praja (Banpol PP),Perlindungan Masyarakat (Linmas), Polres, Kodim, Pemadam Kebakaran, Bagian Angkutan.

Persoalan Ruang

Kota adalah sebuah ruang fisik yang dijadikan tempat untuk melakukan kegiatan-kegiatan para warganya. Dari waktu ke waktu ruang-ruang dalam wilayah kota diatur dan ditata secara terencana mengantisipasi dinamika kehidupan kota dengan berbagai perubahan yang terus berlangsung. Perubahan-perubahan dan penataan ruang-ruang kota yang dilakukan pemerintah daerah bertujuan untuk mendayagunakan manfaat ruang (Suparlan,2004 :67). Kota perlu ditata semaksimal mungkin demi keuntungan ekonomi maupun keuntungan-keuntungan sosial, politik dan kehidupan pada umumnya

Penataan ruang-ruang kota akan terkait dengan campur tangan Pemda dalam menetapkan aturan, nilai, norma-norma sosial untuk ditaati oleh seluruh lapisan masyarakat. Untuk itu dibutuhkan sosialisasi aturan tersebut kepada msayarakat. Sebab, secara luas sosialisasi dapat diartikan sebagai suatu proses dimana warga masyarakat dididik untuk mengenal, memahami, mentaati dan menghargai norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.

(12)

dan masyarakatnya maka ia akan menjadi warga masyarakat yang liar (lihat Soetomo, 1995:140).

Peran norma sosial sebagai faktor pembatas perilaku individu individu dalam hidup bermasyarakat sangatlah penting. Sebab perilaku menyipang dapat saja terjadi karena perbedaan interpretasi tentang batas-batas toleransi, mengakibatkan munculnya perilaku yang melanggaran norma-norma dalam kehidupan bermasyarakat. Di dalam studi mengenai perilaku manusia pada lingkungannya (envioronmental bahaviour), menurut Rapoport (1990) mencakup ada tiga unsur, yaitu : karakteristik pemakai dikaitkan dengan perilakunya, dampak dari lingkungan fisik terhadap pemakai dan mekanisme hubungan yang terjadi antara pemakai dan lingkungannya.

(13)

kehidupannya selalu menggunakan ruang-ruang yang ada untuk melakukan kegiatannya -- baik itu pada lingkup kota, lingkungan pemukiman atau rumah tinggal.

Setiap kegiatan manusia membutuhkan ruang, terutama berkaitan dengan interaksi di antara mereka. Jika para pejalan kaki membutuhkan trotoar untuk berjalan dengan aman atau para penumpang angkutan kota membutuhkan halte untuk menunggu kendaraan, maka ruang (untuk publik) menjadi sesuatu yang tidak bisa ditawar. Akan tetapi, ketika berjalan atau menunggu angkutan tak jarang sejumlah orang akan haus atau lapar, maka persediaan minuman dan makanan itu, tentu akan menjadi kebutuhan yang harus dipenuhi dari ruang tersebut.

Pertimbangan itulah, yang kemudian ditangkap oleh para pedagang kaki lima. Artinya, jika para pedagang kaki lima kemduian “dituduh” banyak menyita ruang (publik) -- seperti trotoar, badan jalan, atau juga fasilitas umum lainnya— tentu bukan tanpa sebab. Apalagi jika pembanguan fasilitas komersial (perdagangan) yang disediakan pemerintah sering kali tidak bisa dijangkau oleh para pedagang kaki lima. Maka, ruang publik bagi pejalan kaki atau penumpang angkutan, juga menjadi milik pedagang kaki lima. Dengan demikian, kegiatan pedagang kaki lima pada dasarnya tidak hanya dilakukan pada ruang-ruang yang sengaja diperuntukkan pada kegiatan komersial semata, seperti stasiun, pasar, dan emperan toko saja. Kegiatan itu ternyata bisa dilakukan ruang manapun, sepanjang ruang tersebut mampu mengakomodasi kebutuhan masing-masing penggunanya.

Berdasarkan hasil observasi di lapangan pedagang kakilima juga sering melakukan kegiatan hingga malam hari, dengan lampu pelita atau elektronik. Masing-masing menggunakan ruang sesuai kebutuhan antara lain dengan membuka tenda, atau memasakan bangku dan meja untuk pedagang makanan, atau menggunakan gerobak terbuka dan tertutup bagi penjual makanan, jajanan, memasang meja dan kursi kayu untuk penjual makanan jajanan, buah-buah, minuman dan lainnya, bentuk yang sedapat mungkin dapat dipasang dan dibongkar pada waktu pulang. Hal ini umumnya terjadi pada trotoar dan bahu jalan .

(14)

yang ditemui pada pedagang kaki lima yang berjulan pada jalan Gatot Subroto depan Kartika dan SCTV., di sore hari dari jam 17.00 sampai jam 22.00 WIB. Kesempatan ini digunakan pedagang kaki lima, karena waktu tersebut sebahgaian dari pegawai baru pulang kerja, dan banyak yang menunggu bus di depan halte disitu. pedagang kaki lima lebih banyak menjajahkan makana dan minuman.

Pedagang kaki lima yang berlokasi di samping bawah jembatan depan Planet Hollywood 21 ini hanya berdagang di sore hingga malam hari sejak pukul lima sore hingga jam 12 malam. Sore itu saya sms dengan kelompok saya bahwa saya berada di lokasi ini, sementara teman saya menyebutkan sedang berada di seberangnya sedang menemui informan. Matahari sudah surut, dan keadaan mulai gelap, pembeli bertambah, silih berganti saya memesan soto ayam. Pedagang di sekitar itu hanya seputar tujuh orang. Gerobag; Soto ayam, sate ayam, siomay, nasi goreng, pedagang rokok, pedagang nasi, pedagang otak-otak.

Pembeli di gerobag soto ayam ini kebanyakan dari kalangan pekerja di kantor yang menunggu bus, juga dari kalangan masyarakat menengah, dimana mereka akan menonton acara di planet Hollywood 21. Gerobag soto ayam yang terletak bersebelahan dengan penjual rokok ini tergolong gerobag yang bersih dan penataan barang-barang dagangannya teratur. Tidak terkesan kumuh dan peralatannyapun tampak bersih. Gerobag soto dikelilingi bangku tempat duduk di sisi depan dan samping kiri. Dan bangku bebas yang bisa diduduki oleh

pembeli nasi goreng ataupun soto ataupun penunggu bus (salah satu fieldnote

peneliti).

Penggunaan ruang publik dan fasilitas sosial dapat dimanfaatkan oleh pedagang kaki lima, sebab ruang publik dan fasilitas sosial pada dasarnya juga dianggap sebagi ruang bersama, siapa saja boleh menggunakannya. Bila ada satu pedagang kaki lima yang telah menempati bahu jalan atau suatu trotoar akan juga mengundang yang lain terlibat bersama. Tolerasi terpelihara berkaitan dengan rasa persaudaraan yang kuat diantara pedagang kaki lima Selain itu pedagang kaki lima merasa aman dengan adanya berbagai pedagang kakilima lain ada bersama dan mempunyai kepentingan bersama.

(15)

Pemanfaatan trotoar oleh pedagang kaki lima berkaitan erat dengan kehidupan masyarakat didominasi oleh berbagai kegiatan yang menyebabkan ruang-ruang dipergunakan semaksimal mungkin. Jalan merupakan ruang multifungsi, baik sebagai tempat bekerja dan tempat melakukan kegiatan sosial. Ruang-ruang digunakan semaksimal mungkin disesuaikan kebutuhan dan sedapat mungkin dekat tempat tinggal pedagang kaki lima (Guinness, 1986; Bhatt, 1990; dan Murdiyanti,1992)

Ruang-ruang yang ditempati pedagang kaki lima sedapat mungkin mempunyai kontak langsung dengan pejalan kaki dan fleksibilitas terhadap peenmpatan kegiatan, yaitu di daerah perkantoran, perdagangan, pendidikan dan menempati area di pinggir jalan; atau dengan kata lain sektor informal umumnya berada di semua tempat keramaian atau tempat tinggal. Kecendrungan lain adalah pemanfaatan ruang yang dapat memberikan kenyamanan untuk berinteraksi sosial sebagai hasil dari proses terjadinya keinginan untuk melakukan kontak dan komunikasi antara masyarakat secara luas (Mulyati,1994).

(16)

Referensi

Dokumen terkait

dalam suatu pembelajaran bukan hanya siswa yang aktif belajar tetapi di lain.. pihak, guru juga harus mengorganisasi suatu kondisi yang

 Tugas diterima terlambat 6 hari dari waktu yang ditentukan  Isi tugas tidak menggambarkan cara berpikir logis dan sistematis  Aktivitas di kelas biasa.  Kehadiran tatap muka

Pada kelompok dewasa tua yang sehat dan mengalami defisiensi gizi, maka asupan vitamin dan suplemen makanan dapat meningkatkan respons sistem imun, ditunjukkan dengan

Melalui praktek mata kuliah ini, para mahasiswa diharapkan sekurang- kurangnya dapat memberikan bantuan yang dibutuhkan oleh individu dalam situasi kelompok dengan

Tugas akhir ini bertujuan membuat sebuah program aplikasi yang bias digunakan semua kalangan, khususnya dalam hal menerjemahkan kata dari bahasa Indonesia-Simalungun dan

Pertemuan 13 Pemahaman mengenai masalah belajar: problems of the social disadvantaged learner (deskripsi peraku siswa yang merugikan secara sosial, jenis-jenis

Sejalan dengan lajunya perkembangan dunia teknologi modern saat ini,mengakibatkan perubahan kehidupan manusia dalam menangani setiap permasalahan yang terjadi yang

dan siswa, catatan lapangan, hasil wawancara, dan Lembar Kerja Siswa (LKS). 1) Data Hasil Observasi Guru Dan Siswa dan Catatan Lapangan.. Data ini didapatkan dari lembar observasi