• Tidak ada hasil yang ditemukan

ADAPTASI DAN PERILAKU KATAK POHON JAWA (Rhacophorus margaritifer Schlegel 1837) DI PENANGKARAN TAMAN SAFARI INDONESIA I CISARUA, JAWA BARAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ADAPTASI DAN PERILAKU KATAK POHON JAWA (Rhacophorus margaritifer Schlegel 1837) DI PENANGKARAN TAMAN SAFARI INDONESIA I CISARUA, JAWA BARAT"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

ADAPTASI DAN PERILAKU KATAK POHON JAWA

(

Rhacophorus margaritifer

Schlegel 1837) DI PENANGKARAN

TAMAN SAFARI INDONESIA I CISARUA, JAWA BARAT

AFNELASARI EKA LESTARI

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2013

(2)

RINGKASAN

AFNELASARI EKA LESTARI. Adaptasi dan Perilaku Katak Pohon Jawa (Rhacophorus margaritifer Schlegel 1837) di Penangkaran Taman Safari Indonesia I Cisarua, Jawa Barat. Dibimbing oleh MIRZA DIKARI KUSRINI dan BURHANUDDIN MASY’UD.

Katak Pohon Jawa (Rhacophorus margaritifer Schlegel 1837) merupakan katak endemik P. Jawa yang populasinya terancam akibat aktivitas manusia dan adanya kontaminasi jamur Batrachochytrium dendrobatidis (Bd). Oleh karena itu upaya sterilisasi terhadap jamur Bd merupakan salah satu awal penting dalam perlindungan R. margaritifer di luar habitat alaminya.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji: 1) perilaku katak sebelum dan setelah perlakuan sterilisasi; 2) pemberian suhu terbaik untuk sterilisasi jamur Bd dengan perlakuan pemanasan terhadap daya hidup katak; dan 3) perkembangan perilaku adaptasi katak di kandang pemeliharaan pasca sterilisasi. Penelitian dilakukan di Taman Safari Indonesia (TSI) I Cisarua, Jawa Barat mencakup kegiatan pengumpulan calon indukan di Curug Jaksa dan Rumah Dua. Kegiatan sterilisasi menggunakan dua model pemanas akuarium yaitu pemanas akuarium dengan prinsip pemberian uap panas (I) dan pemanas akuarium dengan pemberian suhu panas kering (II). Sebanyak 12 katak disterilisasi dengan 3 perlakuan suhu berbeda pada masing–masing pemanas. Metode yang digunakan dalam pengamatan perilaku adaptasi selama pemeliharaan adalah ad libitum sampling.

Kondisi katak setelah ditangkap dan dipindahkan ke kandang pemeliharaan sementara umumnya baik dimana beberapa katak aktif bergerak meskipun ada yang diam. Sebelum disterilisasi semua individu dalam kondisi istirahat. Perlakuan suhu sterilisasi 37˚C selama 4 jam merupakan suhu sterilisasi yang paling efektif untuk R. margaritifer. Dari segi fisik, kandang pemeliharaan (terrarium) yang disediakan TSI belum mencukupi kebutuhan gerak katak. Kondisi ini menyebabkan terdapatnya luka pada bagian moncong katak. Hanya ada perbedaan suhu yang kecil antara habitat alami dan terrarium dan hal ini tampaknya tidak mempengaruhi aktivitas R. margaritifer. Katak aktif pada malam hari dari pukul 18.00–23.00. Saat siang hari, katak memanfaatkan substrat seperti kaca terrarium, daun hanjuang, batuan, dan lampu neon untuk beristirahat.

Secara keseluruhan, daun hanjuang dan kaca terrarium merupakan subtrat yang paling banyak dimanfaatkan oleh katak sebesar 23%. Selama 30 hari masa pemeliharaan, katak belum dapat beradaptasi dengan baik dilihat dari konsumsi jumlah pakan dan perubahan bobot tubuh yang tidak stabil. Perilaku individu sebelum dan setelah sterilisasi R. margaritifer adalah sama yang menunjukkan dugaan bahwa kegiatan sterilisasi tidak berdampak negatif. Keberhasilan hidup setelah sterilisasi mencapai 100% dimana tidak ditemukan adanya katak yang mati.

(3)

SUMMARY

AFNELASARI EKA LESTARI. Adaptation and Behaviour of Javanese Tree Frog (Rhacophorus margaritifer Schlegel 1837) in Indonesian Safari Park I Captivity Cisarua, West Java. Under supervision of MIRZA DIKARI KUSRINI and BURHANUDDIN MASY’UD.

Javanese Tree Frog (R. margaritifer 1837) is an endemic frog of Java Island. Population of this species is threatened due to human activity and the pathogenic fungus Batrachochytrium dendrobatidis (Bd). Therefor sterilization of Bd is needed as the first effort to protect of R. margaritifer outside their natural habitats.

The research aims to assess: 1) frog behaviour after and before sterilization treatment; 2) best temperature for sterilization by heat treatment for Bd on frogs vitality; and 3) behaviour of frog’s adaptation in terrarium after sterilization. Research were conducted in Indonesian Safari Park I Cisarua, West Java includes specimen’s collection in Curug Jaksa and Rumah Dua. Sterilization were carried out using two methods, i.e (I) aquarium heater with hot steam and (II) aquarium heater with dry heat temperature. A total of 12 frogs were sterilized with 3 different temperature treatment for each heater. Ad libitum sampling methods was used in the observation of the behaviour of adaptation during captivity.

In general the condition of frog captured for experiment and moved to temporary terrarium were good, in which most of them were active. All of frogs were resting before sterilization. The most effective sterilization temperature for R. margaritifer is 37˚C for 4 hours. Terrarium provided by Indonesian Safari Park were not sufficient for its movement as shown with the injured in snout part of frogs. There is only a small differences of temperature between natural habitats and terrarium which is not affecting R. margaritifer activity. Frogs were active in the evening from 18.00–23.00. During the daytime, frogs use different kind of a substrate to rest such as terrarium glass, hanjuang leafes, rocks, and fluorescent bulb.

Overall, hanjuang leafes and terrarium glass was the most widely used by frogs to 23%. During 30 day period of captivity, in view from the number of feed consumption and unstable changes of body weight, frogs haven’t been able to adapt properly. Behaviour of R. margaritifer before and after sterilization suggesting that sterilization had not caused negative effect to R. margaritifer behaviour. The survival of frogs in captivity was 100% since no mortality were observed after sterilization.

(4)

ADAPTASI DAN PERILAKU KATAK POHON JAWA

(

Rhacophorus margaritifer

Schlegel 1837) DI PENANGKARAN

TAMAN SAFARI INDONESIA I CISARUA, JAWA BARAT

AFNELASARI EKA LESTARI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2013

(5)

Judul Skripsi : Adaptasi dan Perilaku Katak Pohon Jawa (Rhacophorus margaritifer Schlegel 1837) di Penangkaran Taman Safari Indonesia I Cisarua, Jawa Barat.

Nama : Afnelasari Eka Lestari

NIM : E34080026

Menyetujui :

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, MS NIP. 196511141990022 001 NIP. 195811211986031 003

Mengetahui,

Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS NIP. 19580915 198403 1 003

(6)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Adaptasi dan Perilaku Katak Pohon Jawa (Rhacophorus margaritifer Schlegel 1837) di Penangkaran Taman Safari Indonesia I Cisarua, Jawa Barat” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Maret 2013

Afnelasari Eka Lestari E34080026

(7)

RIWAYAT HIDUP

Afnelasari Eka Lestari dilahirkan di Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan pada tanggal 2 Agustus 1990. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara yang terlahir dari kedua orang tua bernama Abd. Fattah Nurdin, Sp (ayah) dan Surce Magdalena (ibu). Penulis memulai pendidikan formal di SDN Centre II Benteng tahun 1996-2002, dilanjutkan dengan Sekolah Menengah Pertama di SMPN 1 Benteng lulus tahun 2005, dan Sekolah Menengah Atas di SMAN 1 Benteng lulus tahun 2008. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor dengan Jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan.

Pada tahun pertama di IPB, penulis aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Basket IPB. Penulis juga aktif mengikuti berbagai kegiatan selama diperkuliahan seperti Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) sebagai anggota biro Sosial Lingkungan periode 2009-2010 dan sebagai bendahara Kelompok Pemerhati Herpetofauna (KPH-Python) periode 2010-2011.

Penulis mempunyai pengalaman lapang meliputi Eksplorasi Flora dan Fauna Indonesia (RAFFLESIA) di Cagar Alam Gunung Burangrang Purwakarta (2010) dan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (2011), Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Cagar Alam Gunung Papandayan-Sancang (2010), Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi, Jawa Barat (2011) serta Praktek Kerja Profesi (PKLP) di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Sulawesi Selatan (2012). Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Institut Pertanian Bogor, penulis menyelesaikan skripsi yang berjudul “Adaptasi dan Perilaku Katak Pohon Jawa (Rhacophorus margaritifer Schlegel 1837) di Penangkaran Taman Safari Indonesia I Cisarua, Jawa Barat” dibimbing oleh Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini M.Si dan Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, MS.

(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillah. Puji dan syukur dipanjatkan ke-Hadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Salawat dan salam penulis sampaikan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, kepada keluarga dan para sahabatnya serta para pengikutnya. Ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis ucapkan kepada :

1. Orangtua tercinta Abd. Fattah Nurdin, Sp dan Surce Magdalena sebagai guru terbaik dalam hidup. Allohummaghfirlii waliwaalidaiya warhamhuma kamaa robbayaanii soghiroo. Adikku tersayang, Afreza Dwi Pamungkas atas dukungan dan semangat hingga skripsi ini selesai.

2. Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si dan Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, MS selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bantuan, arahan, kasih sayang, pengertian dan kesabarannya selama membimbing. Allohumma nawwir qolbii bi nuuri hidaayatika kamaa nawwartal ardho bi nuuri syamsyika wa qomarika abadan abadaa.

3. Dr. Ir. Naresworo Nugroho MS, Dr. Ir. Nandi Kosmaryandi M.Sc, dan Dr. Ir. Rahmat Hermawan M.ScF yang telah memberikan masukan bagi penyempurnaan skripsi ini.

4. Seluruh dosen dan staf Departemen KSHE dan Fakultas Kehutanan IPB yang telah membantu selama proses belajar khususnya bu Evan dan bu Ratna. 5. Bapak Drs. Jansen Manansang dan Ibu DrH. Retno atas izin dan bantuan

fasilitas selama penelitian di Taman Safari Indonesia.

6. Bapak Keni Sultan, S.Pt dan Bapak Imam Purwadi yang telah memberikan kemudahan dalam pelaksanaan penelitian.

7. Staf Re-Prima Taman Safari Indonesia, Pak Mur, Pak Rofandi, Pak Dedi, Pak Bambang, Pak Rofei, Pak Karja, Mas Iwan, Mas Agung, Teh Reni, Mbak Dian, Mbak Rini, Fahmi “Oge”, dan Mas Ibnu atas keceriaan, kebersamaan, dan nasehat kepada penulis selama melakukan penelitian.

8. Keluarga Pak Kusno, ibu, emak, Aris, Adi, Arya, atas kekeluargaan, semangat, dan tempat tinggal yang hangat selama penelitian berlangsung.

(9)

9. Imam Syahrir “Iim” yang telah mendampingi dan memberikan banyak pelajaran berharga selama penelitian.

10.Staf Laboratorium Katak, Luthfia Nuraini Rachman S.Hut, M.Si, Arief Tajalli S.Hut, dan Inggar Ul- Hasanah S.Hut yang telah memberikan saran dan masukan kepada penulis.

11.Teman-teman Lab. Katak dan Lab. Anling, Fatwa Nirza, S.Hut, Rika Sri Wahyuni, S.Hut, Arya Arismaya Metananda S.Hut, Raden Tirtayasa, S.Hut, dan Faith Fitrian, S.Hut atas bantuan dan keceriaannya.

12.Tim PKLP Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Davi, Rafika, Inong, Arni, Widi, Malau, Adis yang selalu membawa kebahagiaan dan keceriaan. 13.Teman-teman KSHE 45 “Edelweis” tanpa terkecuali, atas kekompakan,

persaudaraan, persahabatan, suka duka, serta semua hal yang telah dilakukan bersama. Kalian tidak akan tergantikan selamanya.

14.Rekan-rekan HIMAKOVA khususnya Kelompok Pemerhati Herpetofauna (KPH) “Python” HIMAKOVA.

15.Hani Kristiani S.Hut, Debora Fretty S.Hut, Widya Maricella S.Stat, Murniati, Arni Novriana SE, dan penghuni ITB lain yang telah mengajarkan arti kekeluargaan.

16.My Frogmate Fiqh Chairunnisa S.Hut atas kebersamaan, tangis, tawa, dan motivasi dalam melewati perjalanan panjang yang penuh perjuangan.

17.Wawan Sumanto, A. Nur Rahmah Kurniasari, dan Ryan Anshari yang telah mengajarkan arti persahabatan dan kekeluargaan.

18.Muhammad Taufik Ridwan atas doa, pengertian, kasih sayang, dan semangat kepada penulis.

19.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah memberikan segala bentuk bantuan dan dukungan dalam penyelesaian skripsi ini.

(10)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala kasih dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Adaptasi dan Perilaku Katak Pohon Jawa (Rhacophorus margaritifer Schlegel 1837) di Penangkaran Taman Safari Indonesia I Cisarua, Jawa Barat”. Skripsi ini merupakan laporan akhir dan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Karya tulis ini tidak dapat terwujud tanpa adanya bantuan dan kerjasama dari berbagai pihak. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini M.Si dan Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud MS selaku dosen pembimbing. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada orangtua dan seluruh keluarga serta sahabat atas dukungan dan motivasinya.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan karena keterbatasan yang dimiliki. Saran dan kritik sangat diperlukan untuk perbaikan dan pengembangan skripsi ini. Penulis berharap semoga penelitian ini bermanfaat bagi pembaca dan menjadi salah satu sumber ilmu pengetahuan.

Bogor, Maret 2013

Afnelasari Eka Lestari E34080026

(11)

DAFTAR ISI

Halaman KATA PENGANTAR ... i DAFTAR ISI ... ii DAFTAR TABEL ... iv DAFTAR GAMBAR ... v DAFTAR LAMPIRAN ... vi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Tujuan ... 2 1.3 Manfaat ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi dan Morfologi ... 3

2.2 Ekologi ... 4

2.3 Perilaku Amfibi... ... 5

2.3.1 Perilaku kawin ... 5

2.3.2 Perilaku makan ... 6

2.3.3 Perilaku bersarang ... 6

2.4 Pemeliharaan Amfibi secara Ek-situ ... 7

BAB III METODE PENELITIAN 3.1Waktu dan Lokasi ... 10

3.2 Alat dan Bahan ... 10

3.3 Pengumpulan Data ... 11

3.3.1 Jenis data ... ... 11

3.3.2 Uji coba pemeliharaan ... 11

3.4 Analisis Data ... 18

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Curug Jaksa ... 19

4.2 Rumah Dua ... 20

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil ... 22

5.1.1 Pemeliharaan R. margaritifer pra sterilisasi ... 22

(12)

5.1.3 Perkembangan adaptasi dan perilaku R. margaritifer di

kandang pemeliharaan pasca sterilisasi ... 25

5.2 Pembahasan ... 38

5.2.1 Pemeliharaan R. margaritifer pra sterilisasi ... 38

5.2.2 Kondisi dan perilaku R. margaritifer selama sterilisasi ... 39

5.2.3 Perkembangan adaptasi dan perilaku R. margaritifer di kandang pemeliharaan pasca sterilisasi ... 41

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 52

6.2 Saran ... 52

DAFTAR PUSTAKA ... 53

(13)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1 Alat dan bahan penelitian ... 10

2 Bobot tubuh dan SVL masing-masing individu R. margaritifer ... 14

3 Kondisi R. margaritifer setelah disterilisasi dengan pemanas I ... 23

4 Kondisi R. margaritifer setelah disterilisasi dengan pemanas II ... 24

5 Perbandingan kondisi R. margaritifer yang disterilisasi dengan dua model pemanas akuarium ... 24

6 Pemanfaatan ruang untuk istirahat R. margaritifer ... 27

7 Rata-rata jumlah konsumsi pakan R. margaritifer selama 30 hari ... 30

8 Rataan pertumbuhan bobot tubuh (g) R. margaritifer jantan selama 30 hari ... 32

9 Rataan pertumbuhan bobot tubuh (g) R. margaritifer betina selama 30 hari ... 33

10 Rataan pertumbuhan SVL (mm) R. margaritifer jantan dalam 30 hari .. 34

11 Rataan pertumbuhan SVL (mm) R. margaritifer betina dalam 30 hari .. 35

12 Nilai suhu dan kelembaban rata-rata seluruh terrarium selama 30 hari 37

(14)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1 Rhacoporus margaritifer jantan dan betina ... 3

2 Pemanas akuarium untuk sterilisasi individu R. margaritifer ... 13

3 Model pemanas akuarium untuk sterilisasi ... 13

4 R. margaritifer di dalam kandang pemeliharaan sementara... 15

5 Bentuk kandang pemeliharaan (terrarium) ... 16

6 Kondisi habitat alami R. margaritifer di Taman Safari Indonesia ... 20

7 Kondisi aliran sungai di Rumah Dua ... 21

8 Kondisi R. margaritifer setelah sterilisasi ... 23

9 Lokasi beristirahat R. margaritifer dalam terrarium ... 26

10 Pemanfaatansubstrat dalam terrarium oleh R. margaritifer selama 30 hari ... 28

11 Jumlah konsumsi jangkrik masing-masing terrarium dalam 10 hari. ... 29

12 Feses R. margaritifer di terrarium 6 dan feses yang ditemukan pada daun di terrarium 4 ... 30

13 Pertumbuhan bobot tubuh (g) R. margaritifer jantan ... 31

14 Pertumbuhan bobot tubuh (g) R. margaritifer betina. ... 32

15 Pertumbuhan SVL (mm) R. margaritifer jantan... 34

16 Pertumbuhan SVL (mm) R. margaritifer betina... 35

17 Rata-rata suhu terrarium selama 30 hari ... 36

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1 Rata–rata suhu terrarium selama 30 hari ... 58 2 Rata–rata suhu tubuh R. margaritifer selama 30 hari ... 58

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Rhacophorus margaritifer merupakan salah satu jenis amfibi dari famili Rhacophoridae yang hidup di hutan pegunungan primer. Katak yang merupakan salah satu spesies endemik pulau Jawa ini berdasarkan IUCN Red List ver 2011.2 termasuk kategori Least Concern, dimana tingkat populasinya dianggap cukup tinggi sehingga tidak masuk dalam kategori terancam. Mengingat jenis ini merupakan jenis yang hanya dijumpai di hutan dan endemik Jawa yang berarti hanya bisa ditemukan di pulau Jawa, salah satu pulau terpadat di Indonesia maka keberadaan populasi R. margaritifer rentan terhadap aktivitas manusia.

Hal lain yang dapat mengancam keberadaan R. margaritifer adalah keberadaan jamur Batrachochytrium dendrobatidis (Bd) (Kusrini et al. 2008). Penelitian Kusrini et al. (2008) mencatat adanya infeksi Bd pada R. margaritifer di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Jamur Bd menyebabkan penyakit Chytridiomycosis, penyakit yang mengakibatkan penurunan dan kepunahan amfibi secara global (Skerratt et al. 2007).

Di beberapa negara, kegiatan konservasi dalam bentuk penangkaran amfibi telah banyak dijumpai. Tidak hanya sebatas penangkaran, program pelepasliaran kembali juga dilakukan untuk mengatasi rendahnya populasi jenis-jenis yang terancam di alam. Richard et al. (2008) melaporkan bahwa sebanyak 110 spesies amfibi di dunia berada dalam program penangkaran dan pelepasliaran kembali. Aksi konservasi ek-situ terhadap amfibi belum pernah dilakukan di Indonesia. Pada awal tahun 2012, TSI bekerja sama dengan Fakultas Kehutanan IPB merencanakan kegiatan uji coba penangkaran beberapa jenis katak endemik, diantaranya jenis R. margaritifer. Taman Safari Indonesia I (TSI) adalah salah satu kawasan konservasi ex-situ yang berlokasi di Kecamatan Cisarua–Bogor. Individu R. margaritifer yang akan digunakan dalam uji coba penangkaran akan diambil dari sekitar kawasan TSI yang merupakan kawasan penyangga Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango.

(17)

Mengingat hasil penelitian yang menunjukkan keberadaan Bd di kawasan Cibodas, TNGGP maka diasumsikan bahwa semua individu R.margaritifer terkena jamur Bd dan perlu perlakuan sterilisasi untuk menghilangkan jamur tersebut. Berdasarkan data dan informasi yang ada dapat dinyatakan bahwa pengembangan penangkaran katak ini belum tersedia, sehingga upaya penangkaran katak ini menjadi penting.

Tahap awal dari pengembangan penangkaran adalah proses adaptasi satwa di dalam kandang penangkaran sebagai habitat barunya. Keberhasilan proses adaptasi akan berpengaruh terhadap keberhasilan proses penangkaran selanjutnya. Oleh karena itu, informasi tentang perilaku adaptasi katak dalam penangkaran penting untuk diketahui. Untuk mendukung langkah awal TSI dalam upaya konservasi ek-situ R. margaritifer maka dilakukan penelitian untuk menganalisis adaptasi R. margaritifer dalam penangkaran.

1.2Tujuan

Penelitian mengenai penangkaran R. margaritifer ini bertujuan untuk : a. Mengkaji perilaku R. margaritifer sebelum dan setelah perlakuan sterilisasi. b. Mengkaji pemberian suhu terbaik untuk sterilisasi jamur Bd dengan

perlakuan pemanasan terhadap daya hidup R. margaritifer.

c. Mengkaji perkembangan perilaku adaptasi katak di kandang pemeliharaan pasca sterilisasi jamur Bd.

1.3Manfaat

Manfaat dari penelitian ini adalah menjadi sumber informasi terbaru yang dapat dijadikan referensi dan pertimbangan untuk melakukan penelitian lanjutan yang lebih komprehensif mengenai cara penangkaran amfibi yang baik dan benar.

(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Taksonomi dan Morfologi

Katak Pohon Jawa (Rhacophorus margaritifer Schlegel, 1837) termasuk kedalam famili Rhacophoridae dan memiliki sub-famili Rhacophorinae (Frost 2011). Anggota famili Rhacophoridae yang dikenal dari Asia Selatan dan Afrika terdiri dari 10 genus, tetapi di Indonesia hanya terdapat empat genus dari famili Rhacophoridae yaitu Nyctixalus (2 jenis), Polypedates (5 jenis), Rhacophorus (20 jenis), dan Philautus (17 jenis). R.margaritifer merupakan salah satu endemik Pulau Jawa yang berasal dari genus Rhacophorus. Di Pulau Jawa, hanya terdapat dua jenis yang berasal dari genus Rhacophorus yaitu R. reinwardtii dan R. margaritifer (Iskandar 1998).

Bentuk tubuh R. margaritifer relatif gembung dengan ukuran bervariasi dari kecil sampai sedang. R. margaritifer memiliki tekstur kulit bagian dorsum yang halus sedangkan kulit pada bagian perut termasuk bagian bawah kaki berbintik kecil kasar. Jari tangan berselaput kira-kira setengah atau dua pertiga jari. Semua jari kaki berselaput sampai ke piringannya kecuali jari keempat. Pada tumit, terdapat lapisan kulit (flap), tonjolan kulit terdapat di sepanjang pinggir lengan, dasar kaki sampai jari luar (Iskandar 1998).

Gambar 1 Rhacoporus margaritifer: (a) R. margaritifer jantan; (b) R. margaritifer betina.

Katak ini memiliki timpanum yang terlihat jelas. Pada individu yang sama, warna kulit dorsal dapat berubah dari coklat gelap, coklat kemerahan sampai coklat terang atau kuning. Bagian dorsal biasanya berwarna hitam atau terang.

(19)

Pada sisi ventral berwarna keputihan (Kurniati 2003). Ukuran SVL (Snout Vent Length) pada jantan dewasa mencapai 50 mm dan pada betina dewasa mencapai 60 mm (Iskandar 1998), sedangkan menurut Kurniati (2003) pada jantan dewasa berkisar antara 36–45 mm dan pada betina dewasa antara 44–68 mm. Pada umumnya, ukuran tubuh individu betina dewasa lebih besar daripada jantan dewasa.

2.2 Ekologi

Menurut Iskandar (1998), amfibi menghuni habitat yang sangat bervariasi dari yang tergenang di bawah permukaan air sampai yang hidup di puncak pohon yang tinggi. Untuk jenis amfibi yang hidup di daerah yang sangat dingin atau sebaliknya, mereka memiliki adaptasi khusus yang membantu mereka untuk bertahan (McLaren & Rotundo 1985). R. margaritifer biasa ditemukan di dalam hutan primer pada ketinggian diatas 250–1500 meter dpl (Iskandar 1998), tetapi dapat pula dijumpai pada ketinggian sampai dengan 1700 meter dpl (Kurniati 2003). Habitat yang dijumpai berupa kolam atau pada aliran air yang bergerak lambat, juga di semak di hutan primer maupun daerah terbuka seperti perkebunan teh atau rawa gambut yang dekat dengan air (Kurniati 2003).

Amfibi selalu hidup berasosiasi dengan air. Terdapat beberapa amfibi yang hidup di sekitar sungai dan ada juga yang tidak pernah meninggalkan air. Amfibi yang hidup di luar air mendatangi air pada periode tertentu saja (Iskandar 1998). Menurut Kusrini et al. (2005, 2007), di TNGP hampir semua individu R. margaritifer ditemukan pada lokasi yang berjarak antara 0–10 meter dari sumber air dan hanya sedikit yang berada lebih dari 10 meter dari sungai. Selama ini, amfibi bergantung pada kadar air dari substrat yang disinggahinya. Beberapa hidup di hutan untuk menjaga kelembaban kulitnya dari kekeringan seperti R. margaritifer. Untuk R. margaritifer yang merupakan satwa arboreal , sumber kelembaban pada kulitnya berasal dari kondensasi pada daun di semak–semak atau pepohonan (Duellman & Trueb 1994).

Meskipun banyak amfibi yang aktif selama dan setelah hujan deras, tapi pada umumnya mereka hanya aktif pada malam hari (Duellman & Trueb 1994). R. margaritifer termasuk satwa nokturnal seperti kebanyakan amfibi lain. Pada penelitian Firdaus (2011) menunjukkan bahwa persentase keaktifan berpindah R.

(20)

margaritifer mencapai 100 % pada pukul 19.00–23.00 dari total 6 individu yang diamati.

2.3 Perilaku Amfibi 2.3.1 Perilaku kawin

Menurut Duellman dan Trueb (1994), katak pada umumnya melakukan perkawinan eksternal dimana fertilisasi juga berlangsung secara eksternal. Perkawinan pada katak disebut amplexus dimana katak jantan berada diatas katak betina. Saat amplexus, posisi katak jantan menyerupai kuda–kuda dengan bagian depan tubuhnya melingkari tubuh katak betina (Stebbins & Cohen 1995).

R. margaritifer melakukan aktivitas kawin ketika musim hujan pada waktu malam hari dimana menurut Firdaus (2011) malam adalah waktu pergerakan aktif R. margaritifer. Katak betina akan mendatangi lokasi tempat berkumpulnya katak jantan yang siap kawin. Saat akan melakukan aktivitas berbiak, R. margaritifer jantan memiliki ciri khusus yang dimulai dengan aktivitas calling dimana katak jantan mengeluarkan suara. Aktivitas calling dilakukan bersamaan dengan aktivitas menunggu katak jantan lain untuk mengeluarkan suara bersamaan. Keberadaan air menjadi pedoman dalam menentukan titik pertemuan katak jantan dan katak betina (Hypananda 2012).

Pada umumnya, R. margaritifer jantan melakukan panggilan pada tempat terbuka seperti ranting atau cabang tumbuhan dengan ketinggian kurang dari 3 meter dari permukaan tanah (Hypananda 2012). Hal ini hampir sama terjadi juga pada kerabat dekatnya R. reinwardtii. R. reinwardtii melakukan amplexus yang umumnya terjadi di atas pohon dengan ketinggian ± 2 m dari permukaan tanah (Yazid 2006). Setelah mendengar panggilan, Katak betina R. margaritifer akan mendekati katak jantan lalu katak jantan menaiki tubuh katak betina. Pada posisi amplexus ini, katak betina akan membawa katak jantan masuk ke dalam air sampai waktu tertentu lalu naik lagi untuk mencari daun kecubung yang sesuai untuk peletakan telur (Hypananda 2012).

Tipe amplexus pada R. reinwardtii adalah axillary dimana menurut Duellman dan Trueb (1994) kaki depan katak jantan memeluk bagian samping kaki depan katak betina, kloaka berdekatan. Tipe yang sama juga dimiliki oleh R. margaritifer, dimana saat katak jantan berada di punggung betina, kaki belakang

(21)

katak jantan memegang bagian bawah perut katak betina sedangkan kaki depan katak jantan memegang ketiak kaki depan katak betina. Pada kondisi ini, kaki depan katak jantan seperti menekan perut katak betina sehingga bagian perut katak betina menggembung ke bawah (Hypananda 2012).

2.3.2 Perilaku makan

Kebanyakan amfibi memangsa berbagai jenis hewan yang bisa mereka telan. Beberapa spesies merupakan kanibal, khususnya ketika jumlah anakan melimpah (Stebbins & Cohen 1995). Cara berburu mangsa untuk setiap jenis katak berbeda tergantung jenisnya. Katak dengan ukuran tubuh yang gemuk dan memiliki mulut lebar mencari mangsa dengan cara diam dan menunggu, biasanya memanfaatkan mangsa berukuran besar dalam jumlah yang sedikit. Berbeda dengan katak dengan ukuran tubuh yang ramping dan bermulut runcing biasanya aktif dalam berburu. Jenis katak ini berburu mangsa berukuran kecil dalam jumlah banyak (Duellman & Trueb 1994).

Kebutuhan R. margaritifer akan pakan berbeda antara individu jantan dan individu betina. Menurut Rahman (2009), individu betina memanfaatkan pakan dalam jumlah yang lebih besar daripada individu jantan karena betina membutuhkan energi yang lebih besar ketika musim kawin tiba. Jenis pakan yang dikonsumsi juga berbeda tergantung habitatnya. Individu suatu jenis tertentu mungkin menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam jenis dan jumlah mangsa yang dimakan di habitat yang berbeda, hal ini pula mencerminkan perbedaan ketersediaan mangsa antar habitat (Stebbins & Cohen 1995). Menurut Rahman (2009), R. margaritifer sebagai satwa arboreal yang aktivitasnya tidak pernah berada di lantai hutan memanfaatkan jenis serangga yang aktif pada malam hari dan beraktivitas secara arboreal.

2.3.3 Perilaku bersarang

Penggunaan tempat untuk bertelur amfibi sangat beragam (Goin et al. 1978). Beberapa telur katak ditempatkan di lokasi yang dekat dengan air sehingga ketika telur menetas, berudu mudah mencapai air (Robert & Davies 1997). Hal ini juga terjadi pada R. margaritifer. Menurut Aritonang (2010), selubung busa (clutch) yang berisi telur R. margaritifer diletakkan pada daun hijau segar,

(22)

tersembunyi, dan dibiarkan menggantung di atas aliran air sungai jernih atau genangan air. Telur dalam busa ditutup dengan dedaunan oleh betina sampai selubung busa tidak kelihatan lalu betina meninggalkan telurnya.

Selubung busa ini diletakkan pada tumbuh-tumbuhan yang berada di sekitar air terjun atau sungai. Habitat sungai, air terjun, dan genangan air yang dipilih sebagai lokasi yang dekat dengan tempat peletakan selubung busa adalah habitat yang didominasi oleh tumbuhan air seperti kecubung gunung, pacar air, selada air, dan lumut (Aritonang 2010). Tidak hanya pada tumbuhan, Hypananda (2012) menemukan bahwa R. margaritifer juga meletakkan sarang di bawah bebatuan. Akan tetapi, hal ini sangat jarang terjadi.

Lokasi bersarang R. margaritifer harus memiliki komponen-komponen lingkungan yang mendukung keberlangsungan hidup berudu yang akan menetas nanti. Beberapa komponen lingkungan yang penting adalah ketersediaan pakan dan arus air. Berudu yang menetas pada habitat yang memiliki pakan yang terbatas akan menurunkan peluang hidup berudu R. margaritifer dan sebaliknya. Menurut Aritonang (2010), berudu yang hidup pada habitat tersebut mengalami persaingan dalam perebutan pakan sehingga meningkatkan mortalitas. Hal ini juga diungkapkan oleh Schiesari et al. (2006) dimana berudu yang hidup di habitat yang kaya akan pakan mengalami laju pertumbuhan yang tinggi dibandingkan habitat yang miskin pakan.

Peningkatan laju mortalitas berudu R. margaritifer juga terjadi apabila berudu terbawa hanyut oleh arus sungai yang deras. Pemilihan lokasi bersarang R. margaritifer menentukan tingkat keberhasilan hidup menjadi katak dewasa.

2.4 Pemeliharaan Amfibi secara Ek–Situ

Secara umum, pemeliharaan amfibi secara ek-situ di Indonesia belum pernah dilakukan. Menurut Poole dan Grow (2012) ada beberapa aspek penting yang perlu diperhatikan dalam penangkaran amfibi, yaitu :

a. Kandang

Komponen yang diperlukan dalam kandang tergantung dari habitat alami dan kebiasaan di alam jenis amfibi itu sendiri. Adapun komponen-komponen tersebut mencakup display background, substrat, komponen kandang, tumbuhan, dan air.

(23)

b. Air (Sumber dan Kualitas)

Amfibi selalu hidup berdekatan dengan air sehingga mereka sangat peka dengan perubahan kualitas dan kuantitas air. Suhu, pH, amonia, nitrat, nitrit, alkalinitas, dan tingkat kekerasan yang terkandung dalam air harus selalu diperhatikan secara berkala agar tidak berbahaya bagi amfibi. c. Kondisi Lingkungan

Parameter lingkungan yang sesuai dengan habitat amfibi akan berdampak positif bagi keberlangsungan hidup amfibi itu sendiri. Parameter ini mencakup suhu udara, kelembaban, dan pencahayaan. Ketiga parameter ini harus disesuaikan dengan kondisi habitat alami amfibi, dalam hal ini R. margaritifer.

d. Pakan

Di alam, amfibi memperoleh nutrisi untuk tubuhnya dari pakan alaminya. Persaingan dalam memperoleh pakan yang bernutrisi tinggi dapat menyebabkan malnutrisi pada amfibi apabila ketersediaan pakan di alam tidak mencukupi. Dalam penangkaran, kendala-kendala ini harus diatasi untuk menjamin kesejahteraan satwa. Oleh karena itu, pakan yang akan diberikan harus tersedia di toko, diperoleh dari alam, dan dibudidayakan. Beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam memilih pakan untuk satwa adalah mengandung kalsium yang cukup, lemak, vitamin dan ukuran pakan. Selain itu pula, frekuensi pemberian makanan harus diperhatikan dan sesuai dengan kebiasaan satwa di alam. e. Tingkah Laku di alam

Kegiatan pengayaan di penangkaran dengan tujuan agar satwa dapat berperilaku seperti biasanya di alam penting dilakukan. Hal ini untuk mencegah satwa dari stres dan timbulnya penyakit. Fokus utama pengayaan adalah untuk membuat habitat buatan semirip mungkin dengan habitat alaminya sehingga mendorong satwa untuk berperilaku normal. Perilaku alami satwa yang penting adalah perilaku makan dan respon saat pemberian makan. Hal ini pula yang menentukan berhasil tidaknya satwa berkembangbiak.

(24)

f. Pemeliharaan kesehatan

Satwa yang dipindahkan dari alam ke habitat buatan perlu dikarantina terlebih dahulu minimal 30 hari agar satwa tidak tertekan akibat proses pemindahan tersebut. Proses pemindahan ini menyebabkan kebanyakan satwa mengalami stres, dehidrasi, kepanasan, kelaparan, atau trauma fisik pada kulit atau organ internalnya.

Dalam proses karantina, juga dilakukan sterilisasi pada satwa agar bakteri atau virus berbahaya yang dibawa tidak berkembangbiak dan tertular ke satwa lain. Pada penelitian Kusrini et al. (2008) teridentifikasi bahwa R. margaritifer di TNGP positif terkontaminasi jamur Batrachochytrium dendrobatidis (Bd) yang menyebabkan penyakit Chytridiomycosis. Jamur ini yang menyebabkan penurunan populasi amfibi secara global. Oleh karena itu, sterilisasi jamur Bd perlu dilakukan untuk menjamin kesehatan R. margaritifer di penangkaran.

Apabila aspek-aspek tersebut terpenuhi, peluang keberhasilan dalam kegiatan penangkaran amfibi tentunya akan meningkat. Hal ini terbukti dalam penelitian Narayan et al. (2007), dimana upaya manajemen penangkaran yang dilakukan di habitat kandang buatan outdoor pada 10 individu dewasa Platymantis vitianus berhasil menghasilkan telur dalam waktu ± 7 bulan. Kandang ini dibuat semirip mungkin dengan habitat P. vitianus yang merupakan satwa terestrial. Substrat alami (serasah, bambu, kayu busuk, tempurung kelapa), suhu, kelembaban, dan pakan (jangkrik rumah Achetus domesticus) yang disediakan semirip mungkin dengan habitat alaminya. Meningkatnya keberhasilan penangkaran juga dilaporkan oleh Richard et al. (2008) dimana sebanyak 21 spesies amfibi dari penangkaran berhasil dilepaskan kembali ke alam, 19 diantaranya adalah jenis anura.

(25)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi

Penelitian dilakukan mulai tanggal 19 Agustus–30 September 2012. Pengambilan data dilakukan di Taman Safari Indonesia I, yang terdiri atas :

a. Pengumpulan individu Rhacophorus margaritifer dilakukan di Curug Jaksa dan Rumah Dua Taman Safari Indonesia I pada 19 Agustus, 28 Agustus, dan 29 Agustus 2012,

b. Kegiatan sterilisasi dilakukan pada tanggal 20 Agustus, 29 Agustus, dan 30 Agustus 2012, dan

c. Pengamatan adaptasi dan perilaku adaptasi satwa dilakukan mulai tanggal 20 Agustus–30 September 2012 di kandang pemeliharaan (terrarium).

Pencatatan data dalam kandang pemeliharaan dilakukan selama 1 bulan. 3.2 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian dikelompokkan berdasarkan kegunaannya dalam pengumpulan dan analisis data sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1 Alat dan bahan penelitian

No Nama Alat/Bahan Kegunaan

1 a b c d e f g Pengumpulan Katak

Senter dan baterai Plastik spesimen 2 kg Dry wet pH meter/indikator universal Kotak peralatan Sepatu boot Alat tulis Penerangan

Menyimpan katak sementara Mengukur suhu dan kelembaban di lingkungan

Mengukur pH Tempat peralatan Alas kaki

Pencatatan data di lapang

2

a b

Dokumentasi

Buku catatan lapang/tally sheet

Kamera digital Dokumentasi data Dokumentasi gambar/foto 3 a b c d e f

Pemeliharaan Kesehatan (Sterilisasi

dari jamur Bd)

Akuarium pemanas (kotak plastik) Alkohol 70%

Kawat ram Seng

Termometer digital Jam tangan/stopwatch

Sterilisasi katak dari jamur Bd

Desinfektan pemanas akuarium Penyangga katak

Kotak tempat katak di sterilisasi

Mengukur suhu di dalam pemanas akuarium Pengukur waktu

(26)

Tabel 1 Alat dan bahan penelitian (lanjutan)

No Nama Alat/Bahan Kegunaan

4 a b c d e f g h i j k

Penangkaran dan Perawatan

6 buah terrarium Substrat

Jangka sorong 0,05 mm

Neraca pegas (Pesola 100 g, 60 g) Lampu neon Termometer Pompa air Termometer tembak Alkohol 70% Kain sterilisasi Pakan

Menampung katak untuk diamati Modifikasi habitat alami di terrarium Pengukur SVL katak

Pengukur bobot tubuh katak Pencahayaan di terrarium

Mengukur suhu dan kelembaban di dalam dan luar terarium

Mengatur sirkulasi air

Mengukur suhu tubuh indukan Sterilisasi terrarium

Membersihkan kaca terrarium Makanan untuk katak (jangkrik)

3.3 Pengumpulan Data 3.3.1 Jenis data

Data yang diambil meliputi : (1) Data individu (bobot tubuh, jenis kelamin, kondisi kesehatan, panjang katak dari moncong hingga anus atau Snout Vent Length (SVL)); (2) Kondisi perkandangan (ukuran kandang, komposisi habitat, jenis kandang, suhu dan kelembaban); (3) Perilaku R. margaritifer sebelum dan selama sterilisasi; (4) Aktivitas harian di kandang pemeliharaan setelah sterilisasi; (5) Ketersediaan dan frekuensi pemberian pakan; (6) Kualitas air; (7) Pemeliharaan kesehatan (khususnya penanganan terhadap jamur Bd); dan (8) Perubahan bobot tubuh diukur sebelum dan sesudah katak dimasukkan ke kandang dengan interval waktu pengukuran 10 hari sekali dalam 1 bulan untuk melihat keberhasilan adaptasinya.

3.3.2 Uji coba pemeliharaan

3.3.2.1Pengumpulan dan pemeliharaan pra sterilisasi R. margaritifer

Waktu pengumpulan R. margaritifer dimulai pada pukul 19.00–23.00 dengan cara mengumpulkan langsung individu R. margaritifer yang ditemukan di kedua lokasi pengumpulan. Metode yang digunakan adalah Visual Encounter Survey (VES) dimana pengambilan individu dilakukan berdasarkan perjumpaan langsung pada jalur terestrial maupun akuatik. Individu yang dikumpulkan adalah individu dewasa dengan ukuran tubuh jantan berkisar 36–55 mm dan betina 39– 68 mm.

(27)

Pengumpulan dilakukan dengan cara menyusuri bibir sungai, badan sungai, dan tepi sungai. Individu yang ditemukan ditangkap dan dipindahkan langsung ke dalam plastik spesimen berukuran 2 kg. Data dan informasi mengenai kondisi habitat alami R. margaritifer diamati langsung selama pengumpulan. Suhu dan kelembaban lingkungan di sekitar lokasi ditemukannya indukan diukur menggunakan dry wet. Dry wet adalah alat untuk mengukur suhu dan kelembaban lingkungan. Kualitas air di sekitar lokasi juga diukur keasamannya menggunakan indikator universal.

Setelah ditangkap, katak tersebut dikeluarkan dari plastik spesimen lalu disimpan di kandang pemeliharaan sementara. Sebanyak 8–10 individu dimasukkan ke dalam kandang pemeliharaan sementara. Keesokan harinya, individu yang ditemukan langsung disterilisasi.

3.3.2.2Sterilisasi dari jamur Bd

Sebelum dipindahkan ke dalam terrarium, karena diasumsikan bahwa semua individu R. margaritifer terkontaminasi jamur Bd maka dilakukan sterilisasi terlebih dahulu. Ada 3 perlakuan suhu yang digunakan dalam mensterilkan R. margaritifer yaitu sterilisasi dengan suhu 37oC selama 4 jam, suhu 47oC selama 30 menit, dan suhu 60oC selama 5 menit (Johnson et al. 2003), masing–masing metode digunakan 3 indukan R. margaritifer, sehingga total indukan yang disterilisasi sebanyak 9 individu. Individu lain yang belum disterilisasi dijadikan sebagai kontrol dengan perlakuan suhu kamar.

Alat yang digunakan dalam sterilisasi ini adalah pemanas akuarium (Gambar 2). Pemanas akuarium merupakan kotak plastik dengan ukuran 30x20x20 cm, dibuat sedemikian rupa sehingga berfungsi sebagai pemanas. Terdapat 2 macam pemanas akuarium yang digunakan yaitu pemanas akuarium dengan prinsip steam (I) dan pemanas akuarium modifikasi (II).

Pada sterilisasi dengan pemanas akuarium I, katak diletakkan di atas kawat penyangga agar tubuh katak tidak langsung menyentuh air yang digunakan sebagai media penghantar panas. Pemberian suhu panas pada katak prinsipnya menggunakan uap air panas yang langsung mengenai tubuh katak. Pemanas akuarium dibagi menjadi 3 bagian dengan menggunakan kawat ram. Individu

(28)

kemudian diletakkan ke dalam masing–masing bagian. Pengulangan dilakukan sebanyak 3 kali dengan perlakuan suhu masing–masing 37oC selama 4 jam, 47oC selama 30 menit, dan 60oC selama 5 menit. Total individu yang disterilisasi sebanyak 9 individu.

Gambar 2 Pemanas akuarium untuk sterilisasi individu R. margaritifer. Pada model pemanas akuarium II prinsip pemanasan dengan uap air dihilangkan. Berikut perbedaan pemanas akuarium yang pertama dan setelah modifikasi (Gambar 3).

Gambar 3 Model pemanas akuarium untuk sterilisasi: (a) Model pemanas akuarium I; (b) Model pemanas akuarium II.

Pada model pemanas akuariun kedua, hanya suhu udara panas yang langsung mengenai tubuh katak karena terhalang seng. Seng dibentuk persegi panjang dengan dimensi 30x18x11 cm dan tebal seng 1 mm. Masing–masing individu diletakkan di dalam seng yang telah dibentuk lalu bagian atasnya ditutup menggunakan kawat kasa agar katak tidak melompat keluar. Pengulangan juga dilakukan sebanyak 3 kali dengan masing–masing perlakuan suhu seperti pada pemanas akuarium I. Total 9 individu telah disterilisasi dengan pemanas akuarium II.

Kegiatan sterilisasi dilakukan pada siang hari yaitu dari jam 12.00–17.00. Selama proses sterilisasi, kondisi individu yang dikenai perlakuan suhu diamati dan dibandingkan dengan individu kontrol. Individu yang sekarat setelah

(29)

disterilisasi dilepaskan kembali. Hasil dari ketiga perlakuan suhu dibandingkan dan dianalisis sterilisasi mana yang lebih cocok untuk R. margaritifer. Selanjutnya, R. margaritifer yang digunakan sebagai kontrol juga diberi perlakuan suhu sterilisasi yang paling cocok. Suhu yang efektif adalah perlakuan suhu pada individu dimana dijumpai tingkat kematian individu yang rendah.

Perilaku katak setelah disterilisasi juga diamati dan dicatat. SVL dan bobot tubuh individu R. margaritifer diukur menggunakan jangka sorong dan neraca pegas. Data awal mengenai ukuran masing–masing individu yang berhasil disterilisasi tersaji pada Tabel 2.

Tabel 2 Bobot tubuh dan SVL masing–masing individu R. margaritifer

Tr 1 Tr 2 Tr 3 Tr 4 Tr 5 Tr 6 Bobot Tubuh (g) 3 13,5 4 13 3 19 3,5 16 4,5 9 7 19 SVL (mm) 42,75 65 40,6 63,15 37,95 64,65 43 60,5 44,55 65,05 51,75 63,35 Ket : Tr = Terrarium 3.3.2.3Penangkaran

Katak yang telah disterilisasi lalu dimasukkan ke dalam terrarium yang fasilitasnya dimodifikasi semirip mungkin sesuai dengan standar penangkaran amfibi menurut Poole dan Grow (2012). Katak dimasukkan secara berpasangan ke dalam 6 kandang yang disediakan. Data mengenai kondisi fisik kandang diamati dan dicatat. Ada 2 macam kandang yang digunakan, yaitu :

a. Kandang Pemeliharaan Sementara

Kandang pemeliharaan sementara digunakan untuk menampung R. margaritifer yang baru ditangkap dari alam sebelum disterilisasi. Kandang ini terbuat dari kotak plastik yang berdimensi 35x21x22,5 cm dengan ketebalan 3 mm. Bagian atas kotak ditutup dengan kawat ram agar katak tidak keluar dan udara dapat keluar masuk. Kondisi di dalam kandang dibuat semirip mungkin dengan habitat alami R. margaritifer (Gambar 4).

(30)

Gambar 4 Rhacophorus margaritifer di dalam kandang pemeliharaan sementara. Substrat yang digunakan dalam kandang berupa batuan, kayu, air, dan tumbuhan diambil langsung dari sekitar habitat alami R. margaritifer. Digunakan 2 kotak plastik untuk menampung individu hasil tangkapan. Masing–masing kandang berisi sekitar 8-10 individu.

b. Kandang Pemeliharaan (Terrarium)

Kandang pemeliharaan atau terrarium yang digunakan berbahan kaca dengan tebal kaca 5 mm. Ada 2 bentuk terrarium yang digunakan untuk R. margaritifer yaitu terrarium vertikal dan terrarium horizontal (Gambar 5). Terrarium vertikal memiliki panjang 38,5 cm, lebar 38,5 cm, dan tinggi 100 cm. Bagian penutup terbuat dari kayu pada bagian sisinya dan kawat kasa di bagian tengah. Panjang dan lebar kayu di bagian sisi 46,5 cm dengan tinggi 3 cm. Panjang dan lebar kawat kasa di bagian tengah 42 cm.

Terrarium horizontal berdimensi 98,5x37,5x59,5 cm. Terrarium ini disekat menjadi 2 bagian sehingga mampu menampung 2 pasang R. margaritifer. Sekat terbuat dari papan triplek dengan tebal 8 mm. Masing–masing bagian terrarium memiliki panjang 48,5 cm dengan lebar dan tinggi yang sama. Bagian penutup juga terbuat dari kayu di bagian sisi dengan panjang 105,5 cm, lebar 45,5 cm, dan tinggi 3 cm lalu kawat kasa di bagian tengah dengan panjang 101 cm dan lebar 41,5 cm. Digunakan 4 terrarium, 2 terrarium vertikal dan 2 terrarium horizontal yang disekat menjadi 2 bagian sehingga diperoleh total 6 kandang pemeliharaan yang digunakan untuk penangkaran R. margaritifer.

(31)

(a) (b)

Gambar 5 Bentuk kandang pemeliharaan (terrarium): (a) Terrarium vertikal; (b)Terrarium horizontal.

Substrat yang digunakan terdiri dari tumbuhan hanjuang, batang kayu, tumbuhan berbahan plastik, batuan, dan air yang diperoleh dari aliran yang sama dengan habitat alaminya. Sebelum ditata ke dalam terrarium, terlebih dahulu terrarium dibersihkan dengan alkohol 70% menggunakan kain sterilisasi. Komponen yang dimasukkan ke dalam terrarium juga dibersihkan terlebih dahulu. Setelah semua komponen tertata rapi selanjutnya terrarium diisi air sekitar ±10 cm, diusahakan agar batuan tidak tenggelam.

Untuk terrarium vertikal digunakan 1 lampu neon untuk penerangan dan 1 pompa air. Sedangkan terrarium horizontal yang disekat menjadi 2 bagian juga hanya menggunakan 1 lampu neon di bagian tengah terrarium dan 1 pompa air. Mesin pompa air berguna untuk membersihkan air dalam terrarium dari kotoran– kotoran yang berasal dari substrat juga bangkai sisa pakan (jangkrik) yang tidak dimakan.

c. Pakan

Kebutuhan pakan berbeda antara individu jantan dan betina. Dilihat dari ukuran tubuh, individu betina membutuhkan pakan yang lebih banyak daripada jantan. Menurut Rahman (2009), individu R. margaritifer lebih banyak memangsa dari kelas insekta dan lebih sedikit memangsa dari kelas Gastropoda. Serangga yang dimangsa umumnya arboreal. Selama masa pemeliharaan, pakan yang dipilih adalah jangkrik. Jenis pakan ini dipilih karena berasal dari ordo Orthoptera yang paling banyak dimanfaatkan oleh R. margaritifer di alam (Rahman 2009).

(32)

Selain itu, jangkrik juga merupakan pakan yang mudah diperoleh dari toko–toko tertentu.

Ukuran tubuh jangkrik yang diberikan sebagai pakan berbeda-beda. Untuk katak jantan diberikan jangkrik dengan ukuran panjang 0,75–1 cm, sedangkan untuk katak betina diberikan jangkrik dengan ukuran panjang 1,5–2,25 cm. Pemberian pakan dilakukan setiap hari sekali pada waktu aktif R. margaritifer sebanyak 4 ekor jangkrik di masing–masing terrarium dengan komposisi 2 jangkrik untuk katak betina dan 2 untuk katak jantan.

3.3.2.4Adaptasi dan perilaku selama di penangkaran

Katak yang berhasil disterilisasi dipindahkan langsung ke dalam terrarium. Sebelumnya, terrarium juga dibersihkan dengan menggunakan alkohol 70% dan kain sterilisasi. Metode yang digunakan dalam pengamatan adaptasi dan perilaku R. margaritifer adalah ad libitum sampling dimana pengamat mengamati dan mencatat setiap aktivitas R. margaritifer dalam terrarium. Proses pengamatan dan pencatatan selama waktu aktif R. margaritifer berlangsung 30 hari.

Definisi dalam pengamatan perilaku menggunakan istilah yang dipakai Firdaus (2011), dimana katak aktif didefinisikan sebagai katak dengan posisi mata terbuka dan bergerak sebagai perubahan posisi penemuan katak dari posisi sebelumnya. Data pergerakan katak dikelompokkan kedalam beberapa perilaku yaitu :

a. Berjalan, didefinisikan sebagai katak melakukan perpindahan posisi ke segala arah dengan jarak minimal sama dengan SVL atau lebih dari dua kali melangkahkan kaki dengan berjalan tanpa adanya lompatan dalam satu waktu.

b. Melompat didefinisikan sebagai katak melakukan perpindahan posisi ke segala arah dengan melompat dalam satu waktu.

c. Bergerak tidak berpindah didefinisikan sebagai katak melakukan pergerakan kesegala arah yang menyebabkan perubahan orientasi dan atau menyebabkan katak tersebut berpindah posisi namun tidak melebihi SVL atau dua langkah dalam satu waktu.

(33)

d. Diam didefinisikan sebagai katak tidak melakukan pergerakan apapun atau diam.

Proses adaptasi R. margaritifer diamati berdasarkan pertumbuhan individu, interaksi dengan komponen terrarium, perilaku katak, dan pakan. Aspek pertumbuhan yang meliputi bobot tubuh dan Snout Vent Length (SVL) katak diukur setiap 10 hari selama 1 bulan menggunakan jangka sorong dan neraca pegas.

Suhu dan kelembaban merupakan salah satu faktor fisik yang dapat mempengaruhi aktivitas amfibi. Ada 3 aspek yang diamati dalam pengukuran suhu yaitu suhu terrarium, suhu tubuh katak jantan, dan suhu tubuh katak betina. Pengukuran suhu dilakukan 3 kali dalam sehari (24 jam) yaitu pagi hari (pukul 10.00), siang hari (pukul 14.00), dan malam hari (pukul 20.00).

3.4 Analisis Data

Penangkaran pada R. margaritifer bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor keberhasilan adaptasi selama kegiatan penangkaran yang ditentukan berdasarkan kondisi habitat buatan, kesehatan, perilaku harian, dan pemberian pakan. Data yang diperoleh dianalisis dalam bentuk deskriptif. Setiap aktivitas yang dilakukan setiap hari dijelaskan secara deskriptif termasuk perilaku R. margaritifer pasca sterilisasi.

Salah satu faktor yang menetukan keberhasilan adaptasi yaitu pertumbuhan bobot tubuh dan SVL. Bobot tubuh dan SVL diukur selama satu bulan dengan interval waktu selama 10 hari sehingga diketahui rata-rata pertumbuhan bobot tubuh dan SVL per hari.

𝑅𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑢𝑚𝑏𝑢ℎ𝑎𝑛 𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑡𝑢𝑏𝑢ℎ = 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑎𝑚𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑡𝑢𝑏𝑢ℎ 𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢 (ℎ𝑎𝑟𝑖)

𝑅𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑢𝑚𝑏𝑢ℎ𝑎𝑛 𝑆𝑉𝐿 = 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑎𝑚𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑆𝑉𝐿 𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢 (ℎ𝑎𝑟𝑖)

(34)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Taman Safari Indonesia terletak di Desa Cibereum, Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor. Pada awal dibuka untuk umum, luas lahan TSI hanya 55 ha. Seiring perkembangannya hingga 2006-2008 luas TSI mencapai ± 165 ha, dengan luas tanah yang sudah bersetifikat (1990-2006) adalah ± 103,815 ha atau 62,92 % dengan perincian Hak Guna Bangunan (HGB) seluas ± 19,8915 ha dan Hak Guna Pakai (HGP) seluas ± 83,9235 ha. Sampai 2008, TSI Cisarua–Bogor mengalami penambahan lahan seluas 110 ha dalam waktu 22 tahun.

Pengumpulan individu Rhacophorus margaritifer dilakukan di sekitar kawasan Taman Safari Indonesia. Terdapat 2 lokasi tempat pengumpulan individu yaitu Curug Jaksa dan Rumah Dua. Deskripsi mengenai kondisi habitat pada dua lokasi ini dilakukan selama pengumpulan R. margaritifer dan wawancara langsung dengan petugas Taman Safari Indonesia.

4.1Curug Jaksa

Lokasi pengambilan R. margaritifer di Curug Jaksa dilakukan di sekitar jalur lokasi wisata. Suhu yang diamati pada siang hari berkisar antara 19,6–21,8oC saat cuaca mendung, ± 20oC saat gerimis, dan 20,5–22oC saat cuaca cerah. Sedangkan saat pengamatan, suhu berkisar antara 19,5–21,5oC saat cuaca mendung, ± 20oC saat gerimis, dan antara 20–21,5oC saat cerah. Habitat di lokasi ini didominasi oleh tumbuhan Damar (Agathis dammara), Angsana (Pterocarpus indicus) dan Kecubung (Brugmansia suaveolens).

Terdapat air terjun setinggi ± 25 meter yang dibawahnya dibentuk seperti kolam. Ada 2 aliran air yang ditemukan yaitu yang terdapat di sebelah kanan jalur masuk lokasi wisata (Gambar 6a) dan aliran air sungai yang berasal dari air terjun (Gambar 6b). Tutupan tajuk cukup rapat karena masih merupakan bagian dari hutan primer pegunungan. Tingkat gangguan oleh aktivitas manusia cukup tinggi di lokasi ini terutama pada akhir pekan karena dijadikan sebagai salah satu objek wisata di Taman Safari Indonesia. Hal ini pula yang menyebabkan banyaknya

(35)

sampah bekas aktivitas pengunjung yang ditemukan di aliran sungai yang berasal langsung dari air terjun.

Gambar 6 Kondisi habitat alami R. margaritifer di TSI: (a) Aliran air di sebelah kanan jalur masuk lokasi wisata Curug Jaksa; (b) Aliran sungai dari air terjun; dan (c) Kondisi vegetasi di sekitar lokasi pengumpulan R. margaritifer.

Kegiatan pengumpulan individu dilakukan pada 2 aliran air dengan kecepatan yang berbeda. Aliran air yang berada di sebelah kanan jalur masuk lokasi wisata cenderung lambat daripada aliran sungai yang berasal langsung dari Curug Jaksa. Substrat kedua aliran air adalah kerikil dan batuan. Nilai pH yang diukur adalah 6.

4.2Rumah Dua

Terdapat satu aliran sungai yang dijadikan lokasi pengumpulan R. margaritifer di Rumah Dua. Tutupan tajuknya lebih rapat dibeberapa titik pengamatan. Habitat di lokasi ini didominasi oleh tumbuhan Kecubung (Brugmansia suaveolens).

(36)

Lokasi Rumah Dua berdekatan dengan area camping ground dan sering dijadikan jalur tracking untuk kegiatan–kegiatan outbound. Aliran air sungai di Rumah Dua cukup deras dengan substrat yang didominasi oleh batuan sungai (Gambar 7).

Gambar 7 Kondisi aliran sungai di Rumah Dua.

Tingkat keasaman air berkisar antara 6-7. Suhu di siang hari berkisar antara 19,5–21,5oC saat cuaca mendung, ± 20oC saat gerimis, dan 20–22oC saat cuaca cerah. Sedangkan kisaran suhu di malam hari antara 20–21oC saat cuaca mendung dan gerimis, dan 19,5–21,5oC saat cerah.

(37)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil

5.1.1 Pemeliharaan R. margaritifer pra sterilisasi

Kegiatan penangkaran Rhacophorus margaritifer di Taman Safari Indonesia dimulai dengan kegiatan pengumpulan katak yang dilakukan di Curug Jaksa dan Rumah Dua pada tanggal 19 Agustus 2012. Sebanyak 12 individu R. margaritifer yang diperoleh langsung dipindahkan ke kandang pemeliharaan sementara saat malam penangkapan. Saat dipindahkan ke kandang, beberapa individu ada yang diam dan ada pula yang aktif bergerak. Suhu di kandang pemeliharaan sementara merupakan suhu ruangan yang berkisar antara 18-20˚C.

Keesokan harinya sebelum disterilisasi, semua individu ditemukan beristirahat dalam kandang pemeliharaan sementara. Sebagian besar menempel di dinding kandang pada bagian atas, lalu ada pula yang bersembunyi di sela batuan dan daun hanjuang. Setelah disterilisasi, individu yang berhasil hidup lalu dipindahkan ke kandang pemeliharaan (terrarium). Terdapat banyak katak yang mati akibat sterilisasi sehingga dilakukan lagi pengumpulan individu R. margaritifer pada tanggal 28 dan 29 Agustus 2012. Ditemukan sebanyak 12 individu lagi yang langsung dipindahkan ke kandang pemeliharaan sementara. Pemeliharaan individu di kandang pemeliharaan sementara hanya berlangsung selama ± 14 jam.

5.1.2 Kondisi dan perilaku R. margaritifer selama sterilisasi

Hasil yang diperoleh dari percobaan pada pemanas akuarium dengan pemberian uap panas menunjukkan kegagalan dimana hanya 2 individu katak dari 9 individu (22,22%) yang bertahan hidup. Kondisi R. margaritifer yang disterilisasi dengan model pemanas akuarium I dapat dilihat pada Tabel 3.

Ketika dimasukkan kedalam pemanas akuarium dengan suhu yang telah mencapai tingkatan yang diinginkan, perilaku katak yang diamati umumnya hanya diam dan melompat sesekali. Perubahan perilaku terjadi beberapa detik sebelum katak akhirnya mati dimana katak melompat–lompat mencoba keluar dari pemanas akuarium.

(38)

Tabel 3 Kondisi R. margaritifer setelah disterilisasi dengan model pemanas akuarium I

Perlakuan Suhu Sterilisasi Individu Katak Kondisi

I 37oC selama 4 jam A (Betina) Mati pada 2 jam pertama B (Betina) Hidup C (Jantan) Hidup

II 47oC selama 30 menit A (Betina) Mati pada menit ke-14 B (Betina) Mati pada menit ke-14 C (Betina) Mati pada menit ke-15

III 60oC selama 5 menit A (Jantan) Mati pada menit ke-3 B (Betina) Mati pada menit ke-2 C (Betina) Mati pada menit ke-3

Katak mati dengan kondisi badan kaku, jari–jari melipat kedalam, warna tubuh lebih pucat dari yang sebelumnya, tubuh yang lembek dan basah akibat uap air, dan ditemukan pula kondisi dimana katak mati dengan lidah menjulur keluar (Gambar 8).

Gambar 8 Kondisi R. margaritifer setelah sterilisasi.

Sementara itu, modifikasi pemanas akuarium kedua dimana prinsip pemberian panas melalui uap air dihilangkan mendapatkan hasil yang lebih baik (Tabel 4). Tingkat keberhasilan pada percobaan kedua jauh lebih tinggi dari percobaan pertama yaitu sebesar 44,44%. Dari hasil sterilisasi ini, 4 individu R. margaritifer digunakan dalam uji coba penangkaran karena katak yang sekarat dilepas ke alam.

(39)

Tabel 4 Kondisi R. margaritifer setelah disterilisasi dengan model pemanas akuarium II

Perlakuan Suhu Sterilisasi Individu Katak Kondisi

I 37oC selama 4 jam A (Betina) Hidup B (Betina) Hidup C (Jantan) Hidup

II 47oC selama 30 menit A (Jantan) Hidup B (Betina) Sekarat pada menit

ke-23 C (Betina) Sekarat pada menit

ke-20

III 60oC selama 5 menit A (Jantan) Mati pada menit ke-2 B (Jantan) Mati pada menit ke-2 C (Betina) Sekarat pada menit

ke-5

Berdasarkan data yang diperoleh, pemberian suhu panas yang paling efektif bagi R. margaritifer adalah suhu pada tingkatan 37oC selama 4 jam dan model pemanas akuarium yang paling cocok digunakan adalah model pemanas akuarium II. Hal tersebut terlihat pada Tabel 5 dimana persentase keberhasilan sterilisasi mencapai 100% pada perlakuan sterilisasi dengan suhu 37oC selama 4 jam menggunakan model pemanas II.

Tabel 5 Perbandingan kondisi R. margaritifer yang disterilisasi dengan dua model pemanas akuarium Model Pemanas Akuarium Kondisi R. margaritifer Perlakuan I (37˚C selama 4 jam) II (47˚C selama 30 menit) III (60˚C selama 5 menit) I Hidup 2 - - Mati 1 3 3 Sekarat - - - Persentase keberhasilan (%) 66,67 0 0 II Hidup 3 1 - Mati - - 2 Sekarat - 2 1 Persentase keberhasilan (%) 100 33,33 0

Hasil sterilisasi dengan pemanas akuarium I dan II diperoleh 3 pasang R. margaritifer sehingga dibutuhkan 3 pasang lagi yang disterilisasi dengan suhu yang paling efektif yaitu perlakuan suhu 37oC selama 4 jam. Sebanyak 3 pasang individu yang disterilisasi dengan perlakuan suhu paling efektif berhasil hidup.

(40)

Total sebanyak 24 individu R. margaritifer telah disterilkan dimana 12 individu diantaranya hidup, 3 individu dilepas kembali, dan 9 individu mati. Selanjutnya, 6 pasang R. margaritifer yang telah disterilisasi langsung dipindahkan ke dalam kandang yang telah disiapkan.

5.1.3 Perkembangan adaptasi dan perilaku R. margaritifer di kandang pemeliharaan pasca sterilisasi

5.1.3.1 Perilaku adaptasi R. margaritifer

Keenam pasang R. margaritifer yang dimasukkan ke terrarium masing-masing, aktif pada waktu malam dan tidur ketika siang. Saat siang hari, katak hanya akan terbangun ketika pengamat membersihkan terrarium. Katak yang terganggu akan langsung melompat ke dalam air dan bersembunyi dibalik batuan. Kondisi ini terjadi hingga beberapa saat setelah pengamat menutup kembali akuarium. Setelah merasa aman, katak tersebut akan kembali lagi ke lokasi tidurnya. Beberapa katak memilih lokasi tidur yang berbeda dari lokasi tidur awalnya. Meskipun begitu, dihari berikutnya masing–masing individu selalu ditemukan di lokasi tidur awal mereka. Kondisi perpindahan lokasi tidur ini hanya dijumpai apabila katak merasa terganggu.

Pada awal pengamatan, kebanyakan katak akan tidur di kaca terrarium ataupun di lampu terrarium (Gambar 9a dan 9b). Hari berikutnya katak tersebut mulai menjelajah ke semua sudut terrarium dan beberapa memilih daun untuk tempat tidur mereka (Gambar 9c). Lokasi tidur antara katak jantan dan katak betina selalu berjauhan. Jarak antar katak berkisar 20–50 cm.

Katak umumnya aktif sekitar pukul 18.00 tetapi belum melakukan pergerakan berpindah. Pergerakan terjadi dimulai antara pukul 19.00–19.30, semua katak telah berpindah dari lokasi tidurnya. Individu tersebut ada yang beraktivitas seperti bergerak atau melompat dan ada juga yang hanya diam. Perilaku yang teramati adalah diam lalu bergerak dan melompat ke substrat yang ada didekatnya kemudian diam lagi dalam waktu yang cukup lama. Perilaku ini terjadi berulang–ulang sampai pada pukul 22.00. Pada waktu itu, perilaku kebanyakan individu adalah diam meskipun beberapa masih melakukan aktivitas. Pukul 23.00 semua katak tidak melakukan aktivitas lagi atau diam. Ketika diam,

(41)

individu tidak selalu berada di lokasi istirahatnya. Akan tetapi ketika diamati pada keesokan harinya, masing–masing individu akan kembali ke lokasi istirahatnya.

Gambar 9 Lokasi beristirahat R. margaritifer dalam terrarium : (a) Katak yang tidur di kaca terrarium; (b) Katak yang tidur di lampu neon; dan (c) Katak yang mulai beradaptasi.

Selama waktu pengamatan, interaksi antara individu jantan dan betina jarang terjadi. Katak di terrarium 1 menunjukkan tingkat interaksi yang lebih banyak dibanding terrarium lain. Bentuk interaksi tersebut yakni katak berada pada substrat yang sama dalam waktu yang lama atau katak melompat saling menghampiri. Selain itu, interaksi juga terjadi antara individu di terrarium 2, 3, 4, dan 5 meskipun jarang. Individu di terrarium 6 tidak pernah menunjukkan interaksi apapun. Katak pada terrarium ini ketika diamati posisinya selalu berjauhan.

Secara keseluruhan, perilaku yang umum dijumpai selama waktu aktif Rhacophorus margaritifer adalah diam, bergerak, melompat, dan berpindah. Frekuensi terjadinya masing–masing perilaku ini hampir sama karena selama pengamatan katak sangat aktif. Perilaku yang tidak umum dijumpai adalah individu betina terrarium 3 ditemukan berenang di air. Hal ini hanya terjadi sekali.

(42)

Perilaku umum R. margaritifer yang tidak dijumpai selama pengamatan ada tiga macam yaitu perilaku bersuara, makan, dan kawin.

5.1.3.2 Penggunaan ruang terrarium

Pengamatan pada pagi, siang, dan sore hari menunjukkan penggunaan ruang terrarium untuk tidur individu R. margaritifer. Masing–masing 6 pasang individu ini memiliki lokasi tidur yang berbeda–beda (Tabel 6). Data pada Tabel 6 diperoleh berdasarkan pengamatan selama 30 hari. Terdapat katak yang memiliki 2 lokasi tidur yang sering digunakan seperti pada betina terrarium 1, jantan dan betina terrarium 4, serta jantan terrarium 5. Perbandingan penggunaan lokasi tidur 1 dan lokasi tidur 2 adalah 70% : 30%. Hal ini disebabkan lokasi 2 hanya akan digunakan oleh katak setelah katak mendapat gangguan dari luar. Gangguan umumnya berasal dari pengamat yang akan membersihkan terrarium. Sedangkan katak lain, setelah mendapat gangguan tetap akan kembali ke lokasi tidurnya semula.

Tabel 6 Pemanfaatan ruang untuk istirahat R. margaritifer

Terrarium Jenis Kelamin Lokasi beristirahat

1

J Kaca terrarium

B

(1)

Daun hanjuang, (2)Batuan

2

J Daun hanjuang

B Di atas lampu neon

3

J Daun hanjuang

B Di atas lampu neon

4

J

(1)

Kaca terrarium, (2)daun hanjuang

B

(1)

Kaca terrarium, (2)daun hanjuang

5

J

(1)

Kaca terrarium, (2)daun hanjuang B Di atas lampu neon

6 J Daun hanjuang

B Di atas lampu neon

Katak jantan dan betina sangat jarang terlihat memanfaatkan lokasi tidur yang sama. Kondisi ini hanya terjadi pada katak di terrarium 4. Dalam 30 hari masa pemeliharaan, kondisi tersebut terjadi hanya sekitar 3–5 kali. Meskipun menggunakan substrat yang sama seperti daun hanjuang untuk tidur tetapi jarak

Gambar

Gambar 2 Pemanas akuarium untuk sterilisasi individu R. margaritifer.  Pada  model  pemanas  akuarium  II  prinsip  pemanasan  dengan  uap  air  dihilangkan
Gambar 4 Rhacophorus margaritifer di dalam kandang pemeliharaan sementara.  Substrat  yang  digunakan  dalam  kandang  berupa  batuan,  kayu,  air,  dan  tumbuhan diambil langsung dari sekitar habitat alami  R
Gambar  5  Bentuk  kandang  pemeliharaan  (terrarium):  (a)  Terrarium  vertikal;  (b)Terrarium horizontal
Gambar 6  Kondisi  habitat alami  R. margaritifer  di TSI:  (a) Aliran air di sebelah  kanan jalur masuk lokasi wisata Curug Jaksa; (b) Aliran sungai dari air  terjun;  dan  (c)  Kondisi  vegetasi  di  sekitar  lokasi  pengumpulan  R
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kajian Struktural, Stilistika, jeung Etnopedagogi dina Kumpulan Sajak Periode Taun 2000-an Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu..

[r]

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu komunikasi, terutama dalam kajian media pembelajaran yang mencoba mengkaji cerita

Namun di sisi lain, pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami fluktuatif bahkan beberapa tahun terakhir justru mengalami perlambatan.Selain itu, beberapa penelitian

Unit pelaksana akademik memiliki fleksibilitas untuk melakukan pengembangan SPMA dengan tetap mengacu pada SPMA di tingkat universitas sesuai dengan: (a) Kebijakan Akademik,

1) Guru melaksanakan proses pembelajaran seperti biasa. 2) Pada saat kegiatan pembelajaran berlangsung, observer/ teman sejawat mengamati proses pembelajaran Ilmu

Penelitian ini bersifat korelasional (hubungan) untuk itu data yang dikorelasikan harus memiliki dua syarat yaitu data berdistribusi normal dan antara variabel X dengan

Adapun saran yang dapat peneliti berikan di dalam penelitian ini yaitu: (1) Sebelum proses pembelajaran dimulai harus diberikan motivasi kepada peserta didik agar