• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA A. KAPANG SELULOLITIK. 1. Trichoderma viride

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA A. KAPANG SELULOLITIK. 1. Trichoderma viride"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

18

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A.

KAPANG SELULOLITIK

1.

Trichoderma viride

Trichodermaviride adalah salah satu jenis kapang tanah yang tersebar luas dan hampir

dapat ditemui di lahan-lahan pertanian dan perkebunan. Kapang ini bersifat saprofit pada tanah, kayu, dan juga dapat bersifat parasit pada kapang yang lain (Barnett, 1987). Trichoderma viride

merupakan jenis yang paling banyak dijumpai diantara genusnya dan mempunyai kelimpahan yang tinggi pada tanah dan bahan yang mengalami dekomposisi. Bentuk dan komponen-komponen sel Trichoderma viride dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Bentuk dan komponen-komponen sel Trichoderma viride : a.Konidia dan konidiosfor T.viride perbesaran 512x, b.perbesaran 1000x, c.perbesaran 1600x, d.perbesaran

4400x, e.Klamidiospora perbesaran 1600x (de Hoog, 2000)

Trichoderma viride termasuk dalam genus Trichoderma, famili Monilliaceae, ordo Monilliales, kelas fungi imperfecti, sub divisi Eumycotina, divisi Mycotina (Frazier dan Westhoff,

1988). Pada skala laboratorium, kultur kapang Trichoderma viride berwarna hijau, hal ini

disebabkan oleh adanya kumpulan konidia pada ujung hifa kapang tersebut (Pelczar et al., 1974).

Susunan sel kapang Trichoderma viride bersel banyak, berderet dan membentuk benang halus

yang disebut dengan hifa. Hifa pada kapang ini berbentuk pipih, bersekat, dan bercabang-cabang membentuk anyaman yang disebut miselium. Miseliumnya dapat tumbuh dengan cepat dan dapat memproduksi berjuta-juta spora, karena sifatnya inilah maka kapang ini memiliki daya kompetitif yang tinggi (Alexopoulus dan Mims, 1979). Dalam pertumbuhannya, bagian permukaan akan terlihat putih bersih, dan bermiselium kusam. Setelah dewasa, miselium memiliki warna hijau kekuningan (Larry, 1977).

Trichodermaviride berkembangbiak secara aseksual dengan membentuk spora di ujung fialida atau cabang dari hifa. Reproduksi Trichoderma viride adalah dengan menggunakan cara

(2)

19 Dextrose Agar (Widyastuti, 2007). Trichoderma viride dapat tumbuh optimal pada suhu 32-35°C

serta pH sekitar 4 (Enari, 1983).

Menurut Wood (1985), Trichoderma viride merupakan jenis kapang yang mampu

menghancurkan selulosa tingkat tinggi dan memiliki kemampuan mensintesis beberapa faktor esensial untuk melarutkan bagian selulosa yang terikat kuat dengan ikatan hidrogen. Selulosa yang terikat tersebut diuraikan menjadi glukosa dan gula sederhana dengan menggunakan enzim selulase yang dihasilkan oleh kapang tersebut (Mandels, 1982).

Menurut Volk (2004), keunggulan kapang Trichoderma viride sebagai penghasil enzim

selulase dikarenakan kapang ini dapat menghasilkan selulase lengkap yang dibutuhkan untuk menghidrolisis selulosa kristal dan dapat menghasilkan protein yang cukup tinggi. Miselium kapang ini dapat menghasilkan suatu enzim yang bermacam-macam, termasuk enzim selulase dan kitinase. Kapang umumnya memiliki selulase karena habitatnya pada bahan-bahan organik yang mengandung selulosa. Selulase terdiri dari komponen endo-β-1,4-glukanase, ekso-β -1,4-glukanase dan β-1,4 glukosidase (selobiase). Kapang Trichoderma viride menghasilkan ketiga

jenis enzim selulase tersebut (Crueger dan Crueger, 1982).

Menurut Gilbert dan Tsao (1983), selulase yang dihasilkan oleh Trichoderma viride

mengandung komponen terbesar berupa selobiase dan β-1,4-glukan-selobiohidrolase dalam jumlah kecil. Semua enzim ini bersifat hidrolitik dan bekerja baik secara berturut-turut atau bersamaan. Selobiohidrolase adalah enzim yang mempunyai afinitas terhadap selulosa tingkat tinggi yang mampu memecah selulosa kristal, sedangkan endoglukanase bekerja pada selulosa amorf (Coughlan, 1989). Selobiohidrolase memecah selulosa melalui pemotongan ikatan hidrogen yang menyebabkan rantai-rantai glukosa mudah untuk dihidrolisis lebih lanjut. Hidrolisis selanjutnya dilakukan oleh β–glukanase dan β–glukosidase, sehingga menghasilkan glukosa.

2.

Rhizopus oryzae

Rhizopus oryzae termasuk jenis kapang kelas phycomycetes. Kapang ini memiliki

ciri-ciri, yaitu mempunyai miselium yang tidak bersekat-sekat, warna miselium putih, sedangkan warna sporangiumnya berwarna kehitam-hitaman. Kapang ini biasanya hidup sebagai saprofit dan beberapa hidup secara parasit pada tumbuh-tumbuhan. Kapang ini memiliki bentuk seperti kapas pada awalnya, namun setelah muncul sporangium dan sporanya maka warnanya akan menjadi kehitam-hitaman. Miselium pada kapang ini terbagi atas stolon, yang menghasilkan alat-alat serupa akar (rhizoid) dan sporangiofor. Kapang Rhizopus oryzae mempunyai kemampuan

untuk mengubah pati menjadi dekstrosa, serta dapat memecah protein dan lemak yang ada di dalam bahan (Pelczar dan Chan, 1974).

Ciri-ciri dari kapang Rhizopus oryzae adalah (1) miseliumnya aseptat atau senositik, (2)

spora aseksual: sporangiospora kadang-kadang dengan konidia, (3) spora seksual: zigospora oospora, (4) habitat alaminya di air, tanah, tumbuhan dan hewan (Pelczar dan Chan, 1974). Bentuk dan komponen-komponen sel Rhizopus oryzae dapat dilihat pada Gambar 2.

Rhizopus oryzae mempunyai siklus reproduksi secara generatif dan vegetatif. Spora

kapang dapat terbentuk pada kedua siklus tersebut. Selain itu, Rhizopus oryzae juga bersifat

heterothallik, yaitu reproduksi seksual (generatif) dilakukan melalui fusi atau kapsulasi dari dua gametangia yang ukurannya seimbang. Fusi ini kemudian akan menghasilkan zigospora yang kemudian akan berkembang dan mengalami pembelahan meiosis yang diikuti oleh reduksi inti menjadi haploid. Pada saat germinasi, dinding sel zigospora akan pecah dan menghasilkan sporangium. Sporangium tersebut kemudian akan menghasilkan spora sebagai alat reproduksi seksual. Sedangkan perkembangbiakan secara vegetatif (aseksual) adalah dengan pembentukan fraksi miselium aseksual maupun sporangia secara aseksual (tidak terjadi proses peleburan dua sel) (Pelczar dan Reid, 1974).

(3)

20

Gambar 2. Bentuk dan komponen-komponen sel Rhizopus oryzae : a.Sporangiofor b.Sporangium

c.Kolumela d.Sporangiospora e.Khlamidospora (Gandjar et al.,1999)

Menurut Fardiaz (1989), kebutuhan aktivitas air (aw) minimal untuk terjadinya germinasi

spora pada kapang Rhizopus oryzae adalah 0,93 dan aw minimal untuk pertumbuhannya adalah

antara 0,95-0,98. Jika aw media di bawah 0,62 maka akan menyebabkan pertumbuhan kapang

menjadi terhambat.

Kisaran suhu yang sesuai untuk pertumbuhan kapang Rhizopus oryzae adalah sekitar 14

- 44ºC dan suhu optimum 25 - 37ºC (Steinkraus et al., 1960). Menurut Arbianto (1980), kondisi

suhu di Indonesia adalah sekitar 30ºC dengan kelembaban 90% sehingga kondisi ini sangat sesuai untuk pertumbuhan R.oryzae. Menurut Mitchell et al. (1988), pH optimum untuk pertumbuhan R.oryzae adalah sekitar 7 - 7,5. Pada media campuran yang digunakan, pH dari media adalah

berkisar antara 5 - 6,5. Hal ini tidak terlalu berpengaruh terhadap pertumbuhan spora dikarenakan kapang tersebut tetap tumbuh meskipun tidak optimal.

Rhizopus oryzae dapat menghasilkan glukoamilase. Enzim glukoamilase mampu

menghidrolisis pati secara sempurna menjadi glukosa. Enzim ini bersifat eksoamilase, yaitu dapat memutuskan rantai pati menjadi molekul-molekul glukosa pada bagian yang tidak mereduksi dari molekul tersebut (Tjokroadikoesoemo, 1986). Menurut Gandjar (2006), Rhizopus oryzae biasanya digunakan untuk memproduksi enzim amilase, protease maupun untuk

pembuatan tempe.

B.

PROSES KULTIVASI

Kultivasi adalah suatu proses perubahan kimia dalam suatu media kultur organik yang dapat berlangsung karena aksi katalisator-katalisator biokimia, yaitu enzim yang dihasilkan oleh mikroba-mikroba hidup tertentu (Tjokroadikoesoemo, 1986).

Pada skala laboratorium, kapang dapat tumbuh pada kultur diam, kultur goyang atau dalam fermentasi menggunakan pengaduk dan aerator. Luas aliran udara yang masuk ke dalam kultur menentukan perbedaan pertumbuhan maupun hasil metabolisme yang dihasilkan oleh setiap kapang dengan menggunakan metode tersebut. Media kultur untuk pertumbuhan kapang dapat menggunakan bahan sintetik maupun bahan alami. Kultur yang menggunakan bahan sintetik terdiri atas karbon,

(4)

21

gula, nitrogen, fosfat, magnesium, kalium juga dilengkapi dan bahan-bahan pendukung lainnya. Sedangkan kultur yang menggunakan bahan alami biasanya berasal dari corn steep liquor, ekstrak

maltosa, ekstrak kentang (Hanson, 2008).

Kultivasi dapat dilakukan dengan menggunakan dua jenis media, yaitu media padat dan media cair. Menurut Chalal (1985), kultivasi media padat adalah proses kultivasi yang substratnya tidak larut dan tidak mengandung air bebas, tetapi cukup mengandung air untuk keperluan hidup mikroba. Sedangkan kultivasi cair adalah proses fermentasi yang substratnya larut atau tersuspensi dalam fase cair. Menurut Rachman (1989), untuk kebanyakan kapang, pertumbuhannya pada permukaan media padat dapat membentuk spora yang lebih banyak dengan viabilitas yang lebih lama dibandingkan dengan kultur cair, sehingga untuk pembuatan inokulum kapang digunakan metode kultivasi dengan menggunakan media padat.

Proses kultivasi yang dipilih adalah kultivasi dengan menggunakan media padat. Kultivasi dengan menggunakan media padat memiliki kelebihan dikarenakan media yang digunakan relatif lebih sederhana, ruangan yang dibutuhkan kecil dibandingkan dengan rendemen yang dihasilkan, kondisi tumbuh mendekati keadaan di alam, inokulasi dapat langsung berupa spora, rendahnya kadar air dapat menghambat pertumbuhan bakteri yang tidak diinginkan, pengawasan lebih minim, tenaga yang dibutuhkan lebih sedikit dan peralatannya sederhana. Sedangkan kelemahannya adalah fermentasi ini hanya untuk pertumbuhan kapang dan pengukuran parameter-parameter proses menjadi sukar dikarenakan kurang homogen serta perlu dilakukan pra-perlakuan terhadap substrat yang digunakan (Rachman, 1989).

Faktor-faktor yang perlu ditentukan dalam persiapan fermentasi dengan medium padat, yaitu: sifat substrat, sifat mikroba serta kinetika metabolisme dan enzim. Substrat yang menjadi tempat bertumbuhnya mikroba harus mengandung air, nitrogen, karbon, mineral, vitamin dan bahan-bahan penambah lainnya (Rachman, 1989).

Kultivasi kapang menggunakan media padat membutuhkan waktu dua sampai lima hari (Winarno, 2002), sedangkan menurut Frazier (1992), kultivasi kapang selama tiga hari akan menghasilkan enzim yang paling optimum, sehingga digunakan waktu yang terbaik yaitu selama tiga hari untuk mendapatkan inokulum yang optimal. Pertumbuhan kapang dapat dilihat dari penampakannya yang berserabut seperti kapas yang mula-mula berwarna putih, tetapi jika spora timbul maka akan terbentuk berbagai warna tergantung dari jenis kapang tersebut (Fardiaz, 1992).

Setiap kapang mempunyai kurva pertumbuhan yang berbeda-beda, kurva pertumbuhan ini diperoleh dari menghitung jumlah atau bobot sel kapang. Menurut Gandjar (2006), ada 6 fase pada kurva pertumbuhan, yaitu: fase lag, fase akselerasi, fase eksponensial, fase deselerasi, fase stasioner dan fase kematian dipercepat. Fase yang menghasilkan komposisi spora kapang terbesar adalah pada fase eksponensial. Pada fase ini tingkat kematian kapang sama dengan tingkat pertumbuhannya, selain itu spora kapang juga telah dibentuk secara optimal dikarenakan adanya enzim yang menghambat pertumbuhan kapang sehingga kapang membentuk spora untuk dapat bertahan hidup.

C.

SPORA INOKULUM

Pemanenan spora kapang dapat dilakukan dengan cara membuat inokulum dari kapang tersebut. Menurut Gandjar (2006), inokulum merupakan bahan dalam bentuk padat maupun cair yang mengandung spora atau konidia yang sengaja ditambahkan pada substrat. Substrat inokulum yang berisi spora kapang dapat menghasilkan warna yang berbeda-beda tergantung dari jenis kapang (Fardiaz, 1992).

Spora kapang dapat bertahan hidup pada kondisi lingkungan yang kering dan dapat tumbuh lagi jika kondisi lingkungan memiliki kadar air yang sesuai. Spora tersebut tinggal dalam keadaan dorman. Spora kapang mempunyai lapisan dinding yang kuat, sehingga membuatnya dapat bertahan pada kondisi kering. Spora kapang hanya mempunyai kandungan air yang rendah dibandingkan dengan hifa kapang sehingga dapat bertahan dalam kondisi kering (Smith dan Onions, 1994). Menurut Ikasari et al. (1999), proses pengeringan inokulum sebaiknya dilakukan pada suhu sekitar 45-50ºC. Hal ini dikarenakan pada suhu tersebut kapang akan menjadi inaktif dan spora tidak mati.

Spora kapang memerlukan kondisi lingkungan yang sesuai agar dapat tumbuh dan bertahan hidup. Menurut Arbianto (1980), salah satu usaha untuk meningkatkan kuantitas spora adalah dengan mengoptimalkan faktor produksi yang mendukung aktivitas biologis kapang. Hal-hal yang mempengaruhinya adalah sifat-sifat campuran populasi mikroba yang digunakan, laju dan efisiensi

(5)

22

aktifitas total mikroba serta faktor-faktor lingkungan. Faktor lingkungan terdiri dari faktor intrinsik yaitu nisbah C/N media, struktur biologi bahan baku, dan kandungan air, sedangkan faktor ekstrinsik meliputi pH, kelembaban, potensial oksidasi-reduksi, ketersediaan oksigen serta aerasi.

Kapang membutuhkan karbon, nitrogen, ion organik, faktor tumbuh, energi dan air untuk metabolisme dan pertumbuhan yang diperoleh dari media. Oleh sebab itu, substrat inokulum yang digunakan harus dapat memenuhi kebutuhan minimum pertumbuhan dan kelangsungan hidup dari kapang tersebut (Walker, 1999).

D.

SUBSTRAT INOKULUM

Kapang membutuhkan substrat sebagai media untuk pertumbuhan dikarenakan mengandung bahan-bahan yang dibutuhkan oleh mikroba untuk bertahan hidup (Gandjar, 2006). Substrat merupakan bahan yang akan didegradasi oleh mikroba yang ditambahkan kedalamnya, sehingga mikroba tersebut dapat bertahan hidup di dalam substrat tersebut. Pada skala industri, bahan-bahan baku yang biasa digunakan untuk media pertumbuhan mikroba adalah produk samping hasil pertanian. Media-media yang biasa digunakan untuk fermentasi padat biasanya merupakan limbah-limbah hasil pertanian yang masih mengandung nutrisi yang cukup untuk pertumbuhan mikroba. Berikut merupakan bahan-bahan yang digunakan sebagai substrat, yaitu:

1.

Ampas Tapioka (Onggok)

Industri tapioka merupakan industri yang sudah cukup besar di Indonesia. Menurut data BPS tahun 2007, industri tapioka di indonesia adalah sekitar 19.802.508 ton pertahun. Industri tapioka menghasilkan limbah padat yang disebut sebagai ampas tapioka. Sebagian besar ampas tapioka (onggok) dimanfaatkan sebagai bahan campuran oncom, bahan baku produksi asam sitrat, bahan bakar gas metan dan bahan pakan ternak. Ampas tapioka cukup potensial digunakan sebagai sumber karbon dalam fermentasi media padat, meskipun masih memerlukan suplementasi nilai gizi seperti nitrogen. Komposisi kimia ampas tapioka disajikan pada Tabel 1.

2.

Bungkil Kacang Tanah

Bungkil kacang tanah merupakan limbah dari pengolahan minyak kacang tanah. Bungkil kacang tanah disukai ternak dan merupakan suplemen protein tumbuhan yang berkualitas baik. Bungkil kacang tanah adalah produk hasil ikutan penggilingan biji kacang tanah setelah diekstraksi minyaknya secara mekanis atau secara kimia menggunakan pelarut (Anonim, 2010). Komposisi kimia bungkil kacang tanah dapat dilihat pada Tabel 1.

3.

Ampas Tahu

Ampas tahu merupakan hasil samping dari pengolahan tahu dari sisa bubur kedelai yang telah diperas. Bentuknya padat dan teksturnya kuat walaupun kadar airnya tinggi. Hal tersebut disebabkan adanya serat kasar yang bersama-sama protein mengikat air secara hidrofilik. Ampas tahu dari hasil perasan bubuk kedelai hanya dapat bertahan tidak lebih dari 24 jam dalam keadaan tanpa perlakuan lain. Selain itu, proses pembuatan tahu secara tradisional hanya mampu mengesktrak sebagian protein, sedangkan sebagian lagi tertinggal dalam ampas tahu (Lahoni, 2003). Komposisi kimia ampas tahu dapat dilihat pada Tabel 1.

(6)

23

4.

Bekatul

Menurut Nursalim dan Razali (2007), bekatul adalah lapisan luar dari beras yang terlepas saat proses penggilingan gabah. Bekatul umumnya berwarna krem atau cokelat muda. Kulit padi terdiri atas hull yang merupakan kulit bagian terluar dan bekatul yang merupakan kulit

bagian dalam atau selaput biji. Bekatul terdiri atas beberapa lapisan, yaitu pericarp, seed coat, nucellus dan aleurone. Secara umum, dari hasil proses penggilingan padi menghasilkan bekatul

sebanyak 8-12% dari total bobot padi yang digiling, sehingga produksi bekatul halus dari penggilingan padi di Indonesia mencapai 4-6 juta ton per tahun. Komposisi kimia bekatul dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi kimia ampas tapioka, bungkil kacang tanah, ampas tahu dan bekatul

Komponen Kandungan Ampas Tapioka (%b.k) Bungkil Kacang Tanah (%b.b) Ampas Tahu (%b.k) Bekatul (%b.b) Abu 1,88 7* 7,48 1,60 Serat Kasar 17,95 12* 24,91 1,69 Lemak Kasar 0,00 3,5* 5,92 1,09 Protein Kasar 2,21 46** 21,26 8,77 Karbohidrat 64,8 - 59,57 84,36

Keterangan : * = %maksimum, ** = %minimum

Sumber: Lahoni (2003), SNI 01-4228-1996, Lahoni (2003) dan Nursalim (2007)

E.

NISBAH C/N

Kapang memerlukan kandungan karbon dan nitrogen untuk energi dan membantu dalam pertumbuhan sel-sel kapang. Perbandingan kandungan karbon dan nitrogen di dalam media disebut sebagai nisbah C/N. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Walker (1999), bahwa ada beberapa dasar penting untuk mempersiapkan media, yaitu:

1.Komposisi bahan: Kemurnian, perbandingan karbon dan nitrogen, perbedaan variasi tiap bagian, tersedianya nutrisi bagi pertumbuhan mikroba.

2.Pengaruh dari perbedaan pencampuran tiap bahan, pH yang dibutuhkan sebelum dan sesudah sterilisasi, efek sterilisasi pada mineral dan garam.

3.Perubahan pada media sebelum inokulasi, suhu, aerasi, pengadukan dan penggunaan antifoam. Komposisi nisbah C/N media yang optimum untuk pertumbuhan mikroba dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Komponen elemen-elemen yang dibutuhkan oleh mikroba untuk hidup

Elemen Bakteri (%b.k) Khamir (%b.k) Jamur (%b.k)

Karbon 50-53 45-50 40-63 Nitrogen 12-15 7,5-11 7-10 Hidrogen 7 7 - Fosfor 2-3 0,8-2,6 0,4-4,5 Sulfur 0,2-1 0,01-0,24 0,1-0,5 Kalium 1-4,5 1-4 0,2-2,5 Natrium 0,5-1 0,01-0,1 0,02-0,5 Kalsium 0,01-1,1 0,1-0,3 0,1-1,4 Magnesium 0,1-0,5 0,1-0,5 0,1-0,5 Khlorida 0,5 - - Besi 0,02-0,2 0,01-0,5 0,1-0,2

(7)

24

F.

TONGKOL JAGUNG

Tongkol jagung merupakan limbah dari jagung yang telah dipipil dan biasa digunakan untuk bahan tambahan pakan ternak (Irawadi, 1990). Karakteristik dan komposisi kimia tongkol jagung disajikan pada Tabel 3.

Tongkol jagung biasanya digunakan sebagai sumber hijuan pada pakan ternak ruminansia dikarenakan mengandung serat kasar yang tinggi. Kadar serat pada tongkol jagung terdiri atas lignin, hemiselulosa dan selulosa. Hal inilah yang menyebabkan tongkol jagung merupakan media yang tepat untuk dihidrolisis dengan menggunakan kapang yang menghasilkan enzim selulolitik (Parakkasi, 1999).

Tabel 3. Karakteristik dan komposisi kimia tongkol jagung

Komponen Kandungan (%b.b) Air 9,4 Abu 1,5 Protein kasar 2,5 Lemak kasar 0,5 Serat kasar 32 Lignin 6 Hemiselulosa 36 Selulosa 41 Sumber : Johnson (1991)

G.

PAKAN TERNAK

Limbah tanaman jagung biasa digunakan sebagai pakan ternak, terutama ternak ruminansia (Pasaribu, 1993). Menurut Prihatman (2000), kandungan protein serta serat kasar yang dapat memenuhi kebutuhan ternak ruminansia masing-masing sebesar 8% dan 15%. Ternak ruminansia memanfaatkan selulosa sebagai sumber energi utama dalam menyokong pertumbuhan, produksi dan reproduksi (Lynd et al., 2002).

Adanya bantuan mikroba rumen untuk meningkatkan kecernaan bahan makanan yang mengandung karbohidrat struktural, kandungan lignin dan silika pada bahan pakan akan mempengaruhi produksi energi metabolisme. Bahan pakan yang mengandung lignin yang tinggi akan lebih sulit dicerna, sehingga lebih banyak energi dari bahan makanan tersebut yang keluar melalui feses (Parakkasi, 1999).

Menurut Tillman et al. (1989), hewan tidak menghasilkan enzim untuk mencerna selulosa

dan hemiselulosa, tetapi mikroba yang ada di dalam saluran pencernaan yang menghasilkan enzim selulase dan hemiselulase. Hal inilah yang menyebabkan perlu dilakukannya penambahan kapang selolitik untuk meningkatkan kandungan protein di dalam pakan ternak, serta menghidrolisis serat kasar yang ada di dalam pakan tersebut sehingga mengurangi energi metabolis pada ternak ruminansia untuk mencerna pakan tersebut.

H.

HIDROLISIS SELULOSA PADA TONGKOL JAGUNG

Selulosa merupakan bahan penyusun utama jaringan serat dan dinding sel pada tumbuh-tumbuhan, seperti tongkol jagung. Selulosa terdiri atas sejumlah besar molekul glukosa yang bergandengan melalui gugus 1,4 β-glukosida dari molekul glukosa yang satu dengan gugus hidroksil C4 dari molekul glukosa yang lain. Selulosa berbentuk seperti kristal yang saling bergandengan

melalui sejenis gula (bukan glukosa) yang membentuk rantai panjang yang sangat tahan terhadap pengaruh kimia maupun enzim. Hidrolisis selulosa oleh aktivitas tanaman sangat terbatas, namun

(8)

25

sejumlah kapang dan bakteri yang hidup dari substrat hasil-hasil pertanian dapat menghasilkan sejenis selulase yang dapat menghidrolisis selulosa menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana (Tjokroadikoesoemo, 1986).

Hidrolisis selulosa juga dapat dilakukan secara kimia dengan menggunakan asam maupun secara enzimatik. Menurut Gong et al. (1981), hidrolisis bahan-bahan berselulosa akan menghasilkan

campuran gula dan xilosa yang merupakan komponen utama. Hidrolisis menggunakan asam dapat dilakukan dengan menggunakan asam kuat. Kelemahan hidrolisis ini adalah kebutuhan bahan kimia dan energi yang tinggi serta limbah hasil hidrolisis ini berbahaya (Clemants et al., 1985).

Hidrolisis secara enzimatis untuk menghidrolisis lignoselulosa dapat dilakukan dengan menggunakan mikroba yang menghasilkan ligninase dan selulase. Hidrolisis enzimatis memiliki keuntungan lebih banyak bila dibandingkan dengan hidrolisis menggunakan asam, antara lain tidak terjadinya degradasi gula hasil hidrolisis, kondisi proses yang lebih lunak (suhu rendah, dan pH netral), berpotensi menghasilkan hasil yang tinggi dan biaya pemeliharaan relatif rendah (Taherzadeh dan Karimi, 2007).

Enzim yang digunakan untuk menghidrolisis komponen selulosa adalah dengan selulase. Enzim ini dihasilkan oleh kapang dan merupakan campuran yang terdiri atas tiga macam enzim, yaitu endo β-glukonase, selobiohidrolase dan β-glukonase yang bekerja secara sinergi menghidrolisis selulosa berkristal menjadi glukosa. Selobiohidrolase menyerang struktur berkristal selulosa dan menghasilkan selobiosa (disakarida). Endo β-glukonase menghidrolisis bagian amorf selulosa menjadi senyawa dengan bobot molekul yang lebih kecil, seperti glukosa (Sasaki, 1982).

Gambar

Gambar 1. Bentuk  dan komponen-komponen sel Trichoderma viride : a.Konidia dan konidiosfor
Tabel 1. Komposisi kimia ampas tapioka, bungkil kacang tanah, ampas tahu dan bekatul  Komponen  Kandungan  Ampas  Tapioka   (%b.k)  Bungkil Kacang Tanah (%b.b)  Ampas Tahu (%b.k)  Bekatul  (%b.b)  Abu 1,88 7* 7,48 1,60  Serat Kasar  17,95  12 * 24,91 1,69
Tabel 3. Karakteristik dan komposisi kimia tongkol jagung

Referensi

Dokumen terkait

Namun, pada kenyataan yang terjadi ketika pemilik dari lembaga penyiaran swasta dirasa tidak mampu lagi untuk mengelola penyiaran dan menganggap dirinya adalah badan

[r]

Pada kelurahan ini, terdapat suatu daerah yang selalu terjadi banjir dan genangan pada saat terjadi hujan, berdasar informasi dari warga sekitar saat turun hujan

Di dalam kategori dimiliki hingga jatuh tempo adalah aset keuangan non-derivatif dengan pembayaran tetap atau telah ditentukan dan jatuh temponya telah

Jumlah produk Songket Silungkang yang dihasilkan di Kecamatan Silungkang Kota Sawahlunto tentu dipengaruhi oleh produktivitas dari pengrajin Songket Silungkang di

Tujuan dari penelitian ini adalah membuat dimensi baru terkait sosial ekonomi, yaitu kepadatan penduduk, kepadatan sekolah, dan sumber penghasilan penduduk pada kubus

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan disimpulkan bahwa: (1) rata-rata n-Gain keterampilan berpikir luwes dengan pembelajaran problem solving lebih tinggi dari

Lalu, total pendapatan Sariguna hingga Oktober tahun lalu mencapai Rp 434,82 miliar, melejit dari periode yang sama tahun 2015 sebesar Rp 294,79 miliar.. Laba bersih PT