• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan Pengaruh Pemberian Direct Myofascial Release dan Self Myofascial Release Terhadap Penurunan Nyeri Myofascial Trigger Point Upper Trapezius Pada Pembatik Tulis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Perbedaan Pengaruh Pemberian Direct Myofascial Release dan Self Myofascial Release Terhadap Penurunan Nyeri Myofascial Trigger Point Upper Trapezius Pada Pembatik Tulis"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN PENGARUH PEMBERIAN DIRECT

MYOFASCIAL RELEASE DAN SELF MYOFASCIAL RELEASE

TERHADAP PENURUNAN NYERI MYOFASCIAL TRIGGER

POINT UPPER TRAPEZIUS PADA PEMBATIK TULIS

Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I pada Jurusan Fisioterapi Fakultas Ilmu Kesehatan

Oleh:

ABIL FADHE AL HAKIM J120130077

PROGRAM STUDI S1 FISIOTERAPI FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2019

(2)
(3)
(4)
(5)

v

PERBEDAAN PENGARUH PEMBERIAN DIRECT MYOFASCIAL

RELEASE DAN SELF MYOFASCIAL RELEASE TERHADAP

PENURUNAN NYERI MYOFASCIAL TRIGGER POINT UPPER

TRAPEZIUS PADA PEMBATIK TULIS

Abstrak

Latar Belakang: Myofascial trigger point upper trapezius adalah gangguan pada otot trapezius yang terjadi karena adanya taut band pada otot. Jika disentuh atau ditekan dapat menyebabkan nyeri lokal atau nyeri menjalar dengan pola spesifik. Ada banyak sekali penanganan yang dapat dilakukan untuk mengurangi nyeri oeleh fisioterapi,salah satunya yaitu dengan direct myofascial release dan self myofascial release.Tujuan: untuk mengetahi efektivitas penurunan nyeri antara direct myofascial release dan self myofascial release pada myofascial trigger point upper trapezius.Metode: Penelitian ini menggunakan metode quasi experiment dengan pendekatan two group pre and post test .Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 20 orang dibagi menjadi 2 kelompok experiment.10 orang diberikan direct myofascial release 2 kali seminggu selama 3 minggu. 10 orang diberikan selfmyofascial release 2 kali seminggu selama 3 minggu.Pengukuran pre-test diakukan sebelum terapi pertama dan pengukuran post-test setelah dilakukan terapi terakhir menggunakan numeric rating scale (NRS).Hasil: Uji beda pengaruh untuk masing masing kelompok menggunakan wilcoxon test.Uji beda selisih antar 2 kelompok menggunakan mann-whitney test didapatkan hasil p: 0,033 (p <0,05).Hasil uji statistik menunjukkan adanya perbedaan efektivitas penurunan nyeri antara direct myofascial release dan self myofascial release pada myofascial trigger point upper trapezius.Kesimpulan: Pemberian direct myofascial release lebih baik dalam menurunkan nyeri dibandingkan self myofascial release pada myofascial trigger point syndrome upper trapezius. Kata Kunci: myofascial trigger point upper trapezius, direct myofascial releaseself myofascial release.

(6)

vi Abstract

Background: Myofascial trigger point upper trapezius is a disturbance in the trapezius muscle that occurs due to a taut band in the muscle. If touched or pressed can cause local pain or pain radiating with a specific pattern. There are lots of treatments that can be done to reduce pain by physiotherapy, one of which is direct myofascial release and self myofascial release. Objective: to determine the effectiveness of reducing pain between direct myofascial release and self myofascial release on the upper trapezius myofascial trigger point. Method: This study used a quasi experimental method with a two group pre and post test approach. The number of samples in this study were 20 people divided into 2 experimental groups.10 people were given direct myofascial release 2 times a week for 3 weeks. 10 people were given self-myofascial release twice a week for 3 weeks. Pre-test measurements were carried out before the first therapy and post-test measurements after the last therapy was performed using a numeric rating scale (NRS). Results: Different test of the effect of profit of each group using Wilcoxon test. Difference test between 2 groups using mann-whitney test showed p: 0.033 (p <0.05). The results of statistical tests showed difference in the effectiveness of pain reduction between direct myofascial release. and self-myofascial release on the upper trapezius self-myofascial trigger point. Conclusion: direct myofascial release is better at reducing pain than self myofascial release on myofascial trigger point upper trapezius syndrome.

Keywords: myofascial trigger point upper trapezius, direct myofascial release self myofascial release.

1. PENDAHULUAN

Myofascial pain syndrome sering terjadi pada masyarakat umum dengan angka kejadian pada wanita sekitar 55% dan pada pria 45%, prevalensi dari pasien yang mengalami trigger point berkisar 25%. Pada umumnya angka kejadian myofascial pain syndrome terjadi pada usia 27-50tahun dimana pada usia tersebut merupakan usia produktif kerja. (Delgadoet.al, 2009). Menurut Kalichman dan Vulfsons

(2010) menyatakan,myofascial trigger point (MTPS) merupakan penyebab nyeri terbanyak, 85%pada pasien yang datang ke poliklinik atau klinik khusus nyeri.

Menurut Fatmawati (2013), nyeri leher dan bahu akibat MTPS otot upper trapezius apabila tidak tertangani dengan baik sangat mengganggu aktifitas seseorang hingga mengalami hambatan saat melakukan pekerjaan dan aktifitas sehari hari. Dalam hal ini akan sangat mempengaruhi kinerja dan produktifitas dalam industri batik.

Myofascial release adalah teknik manual yang digunakan untuk meregangkan ikatan jaringan fasia dalam otot dan meningkatkan ROM. Lebih lanjut Shah dan Bhalara (2012) menjelaskan, myofascial release dalam pelaksanaannya ada 3 tipe yaitu Direct myofascial release (DMR), indirect

(7)

vii

myofascial release (IDMR) dan self myofascial release (SMR). Pada penelitian ini penulis ingin mengetahui antara 2 metode yaitu DMR dan SMR dalam menurunkan nyeri yang lebih baik.

Direct myofascial release adalah pemijatan yang dilakukan terapis menggunakan ruas jari, siku atau alat dengan memberikan tekanan selama secara langsung pada jaringan yang mempunyai titik nyeri (Laimi et. al,2017). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Werenski (2011), penerapan DMR efektif untuk kasus myofascial dan hasilnya adalah turunnya nyeri dan meningkatkan LGS pada otot mengalami MTPS.

Self myofascial release adalah proses pemijatan yang dilakukan oleh diri sendiri dengan menggunakan bantuan alat untuk meregangkan bagian otot yang menegang dan juga melepas taut band dalam jaringan serabut otot (Clark dan Lucett, 2011). Dalam penelitian yang dilakukan Lee et. al, (2017), terapi SMR memberikan pengaruh penurunan nyeri yang signifikan selama 6 kali terapi yang dilakukan.

2. METODE

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif jenis quarsi exsperimet, dengan rancangan penelitian yang bersifat two group pretest and post test desgin. Jumlah populasi dalam penelitian ini sebanyak 33 orang. Sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan sebanyak 20 orang. Pengukuran pre test dan post test menggunakan numeric rating scale (NRS). Uji beda pengaruh dari masing – masing kelompok menggunakan wilcoxon test, sedangkan untuk uji beda pengaruh antara dua kelompok menggunakan uji man withney test

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 HASIL

3.1.1 Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Usia Tabel 1. karakteistik berdasakan usia

Berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa usia responden paling banyak kejadian myofascial trigger point upper trapeziuspada kelompok 1 adalah usia 46-51 tahun

Usia Responden Kelompok I Kelompok II Responden Presentase Responden Presentase

28-33 2 20% 2 20% 34-39 2 20% 1 10% 40-45 2 20% 3 30% 46-51 3 30% 2 20% 52-56 1 10% 2 20% Jumlah 10 100% 10 100%

(8)

viii

sebanyak 3 orang sedangkan pada kelompok 2 pada rentang usia 40-45 tahun sebanyak 3 orang.

3.1.2 Berdasarkan jenis kelamin

Tabel 2. karakteristik berdasarkan jenis kelamin

Berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa subjek pada masing- masing kelompok paling banyak perempuan yaitu sebanyak 6 orang pada kelompok 1, dan 8 orang pada kelompok 2.

3.1.3 Nilai Nyeri Myofascial Trigger Point Upper Trapezius

Tabel 3. Nilai Nyeri Myofascial Trigger Point Upper Trapezius

Nilai NRS Kelompok I Kelompok II

Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah

1-3 (nyeri ringan) 1 8 1 4

4-6 (nyeri sedang) 9 2 9 6

7-10 (nyeri berat) 0 0 0 0

Jumlah 10 10 10 10

Karakteristik nilai nyeri pada kelompok I pada sebelum diberikan intervensi pada nyeri sedang yaitu 9 sebanyak dan nyeri ringan 1 orang, setelah diberikan intervensi 2 orang nyeri sedang dan 8 orang nyeri ringan. Pada kelompok 2 sebelum diberikan intervensi 9 orang nyeri sedang dan 1 orang nyeri ringan, setelah diberikan intervensi menjadi 6 orang nyeri sedang dan 4 orang nyeri ringan.

3.1.4 Selisih beda nyeri antara kelompok I dan kelompok II

Tabel 4. selisih beda nyeri antara kelompok I dan kelompok II

Statistik Kelompok I Kelompok II

Sebelum Sesudah Selisih Sebelum Sesudah Selisih

Mean 4,7 3 1,7 4,7 3,8 0,9

SD 0,94868 0,66667 0,28201 0,94868 0,78881 0,15987

Minimum 3 2 1 6 5 1

Maximum 6 4 2 3 3 0

Usia Responden Kelompok I Kelompok II Responden Presentase Responden Presentase

Laki-laki 4 40% 2 20%

Perempuan 6 60% 8 80%

(9)

ix

Berdasarkan tabel diatas terjadi penurunan rerata nyeri pada kelompok I (direct myofascial release) sebanyak 1,7. Sedangkan pada kelompok II (self myofascial release) terjadi penurunan sebanyak 0,9.

3.1.5 Uji statisti kelompok I

Tabel 5. hasil uji statistik kelompok I

Mean Z P

Nyeri Pre test 4,7 -2,859 0,004 Post Test 3

Hasil analisis dengan menggunakan uji wilcoxon pada kelompok I diperoleh nilai p : 0,004 atau nilai p < 0,05 sehingga Ho ditolak dan Ha diterima yang berarti ada pengaruh pemberian direct myofascial release terhadap penurunan nyeri

myofascial trigger point upper trapezius

3.1.6 Uji statistik kelompok II

Tabel 6. hasil uji statistik kelomok II

Mean Z P

Nyeri Pre test 4,7 -2,714 0,007 Post Test 3,8

Hasil analisis dengan menggunakan uji wilcoxon pada kelompok II diperoleh nilai p : 0,007 atau nilai p < 0,05 sehingga Ho ditolak dan Ha diterima yang berartiada pengaruh pemberian self myofascial release terhadap penurunan nyeri myofascial trigger point upper trapezius

3.1.6 Uji beda pengaruh antar 2 kelompok

Tabel 7. hasil uji beda pengaruh antar 2 kelompok

Hasil analisis menggunakan uji Mann Withney diperoleh nilai p : 0,033 atau nilai p <0,05 sehingga Ho ditolak dan Ha diterima, yang berarti ada perbedaan pengaruh antara pemberian direct myofascial release dan self myofascial release terhadap penurunan nyeri myofascial trigger point upper trapezius.Dari tabel 7 dapat diketahui bahwa pemberian direct myofascial release lebih efektif daripada pemberian self myofascial release dalam penurunan nyeri myofascial trigger point upper trapezius dengan cara melihat selisih mean antara kelompok I dan

Perlakuan Mean selisih Z P

Selisih nyeri pre - post

DMR 1,7 -2,134 0,033

(10)

x

kelompok II. Kelompok I memiliki selisih mean 1,7 lebih besar daripada kelompok II yang mempunyai selisih mean 0,9.

3.2 PEMBAHASAN

Beberapa penelitian menunjukkan direct myofascial release dapat meningkatkan elasisitas jaringan lunak dan melepas mekanisme spasme dan adhesi pada otot sehingga nyeri dapat berkurang. Menurut Paolini (2009) menjelaskan Gate control theory termasuk interpersonal attention, parasimpatis respon sistem saraf otonom, dan melepaskan serotonin. Gatecontrol theory rangsangan sensorik, seperti tekanan, perjalanan jalur sistem saraf yang lebih cepat daripada melakukan rangsangan rasa sakit.Semakin cepat rangsangan tekanan muncul maka akan mengganggutransmisi rangsangan yang menyakitkan ke otak, sehingga menutupgerbang untuk persepsi nyeri otak. Interpersonal attention mengacu padaperhatian langsung atau komunikasi antar muka antar peneliti dan responden. Perhatian peneliti yang diberikan kepada responden akan menimbulkan sikap percaya dalam diri responden sehingga mempengaruhi secara psikologis responden. Sentuhan atau kontak langsung akan memberikan efek menenangkan sehingga mengurangi persepsi nyeri yangdirasakan oeh responden. Hal ini berkaitan dengan respon parasimpatis darisistem saraf otonom. Stimulasi respons parasimpatis mengurangi pelepasanhormon stres, kecemasan, depresi, dan rasa sakit, diertai menciptakan rasanyaman. Pelepasan serotonin menghambat transmisi rangsangan berbahaya ke otak. Neurotransmitter penghambat lainnya, seperti endorfin,dapat dilepaskan oleh tekanan yang dihasilkan oleh terapi.

Secara teoritis kerangka kerja metode body work dapat digunakan untuk memahami mekanisme self myofascial release. Tekanan mekanis yang diberikan adalah secara teori untuk mengurangi adhesi antara lapisan jaringan dan mengurangi kekakuan otot pada serat otot. Menerapkan tekanan yang lama dan kuat dengan bola tenis ke muscle belly menyebabkan otot menjadi rileks. Efek pijatan menggunakan bola tenis tersebut untuk membantu responden mengurangi iskemia, meningkatkan sirkulasi darah ke kulit dan otot, mengurangi aktivitas parasimpatis dan melepaskan hormon relaksasi dan endorfin. Kemungkinan efek neurologis terjadi dengan stimulasi refleks, mengurangi rangsangan neuromuskuler otot dan meminimalkan aktivitas dan nyeri myofascial tigger point, cramp, dan spasme (Sherer, 2013).

Aplikasi Direct Myofascial Releasedan Self Myofascial Release memiliki efektivitas yang berbeda dalam menurunkan nyeri myofascial trigger point upper trapezius. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Wilke dan Voght (2018) menjelaskan bahwa aplikasi Self Myofascial Release kurang efektif dalam menurunkan nyeri dikarenakan foam roller yang digunakan kurang memberikan tekanan atau kompresi pada daerah yang mengalami myofascial trigger point. Hal ini dapat diakibatkan oleh permukaan foam roller yang terlalu luas sehingga akan memperbesar titik tekannya. Selain itu pada aplikasi ini pasien melakukan terapi sendiri dimana pasien memerlukan usaha sehingga beberapa pasien mengeluh kurang nyaman. Beberapa pasien yang tidak dapat menahan nyeri berlebih akan

(11)

xi

cenderung mengurangi kompresi yang diberikan, sehingga hasilnya menjadi kurangef ektif.

Aplikasi Direct Myofascial Release memberikan efek lebih efektif karena peneliti memiliki control langsung dalam pemberian penekanan selama terapi dilakukan. Selain itu terjadi interpersonal attention atau komunikasi antarmuka dengan pasien diikuti dengan sentuhan atau kontak langsung dengan pasien dimana pasien akan lebih nyaman secara psikologis karena terapi dilakukan oleh terapis langsung. Hal ini akan mempengaruhi parasimpatis pelepasan hormone stres, kecemasan, depresi, dan rasa sakit, yang mana akan menimbulkan efek nyaman pada pasien.

Berdasarkan hasil penelitian Direct Myofascial Release memiliki hasil mean pre-post terapi sebesar 1,7dan Self Myofascial Release memiliki hasil mean pre-post terapi sebesar 0,9. Dapat disimpulkan pembeerian Direct Myofascial Release lebih efektif dalam menurunkan nyeri myofascial trigger point upper trapezius pada pembatik tulis Laweyan Surakarta dibandingkan pemberian Self Myofascial Release

4. PENUTUP

4.1 Simpulan

4.1.1 Pemberian direct myofascial release dapat menurunkan nyeri pada myofascial trigger point syndrome upper trapezius.

4.1.2 Pemberian self myofascial release dapat menurunkan nyeri pada myofascial trigger point syndrome upper trapezius.

4.1.3 Pemberian direct myofascial release lebih baik dalam menurunkan nyeri dibandingkan self myofascial release pada myofascial trigger point syndrome upper trapezius.

4.2 Saran

4.2.1 Bagi Peneliti Selanjutnya

Peneliti selanjutnya disarankan mengikutsertakan faktor lainnya seperti riwayat penyakit pasien, cedera yang pernah diderita, asupan nutrisi. Agar lebih mengetahui kualitas dari intervensi yang diberikan perlu dilakukan dalam jumlah sampel yang lebih banyak.

4.2.2 Bagi Responden

Responden dapat menerapkan self myofascial release sendiri dirumah sebagai suatu pilihan terapi yang murah dan mudah tetapi sesuai dengan edukasi yang telah diberikan oleh peneliti.

4.2.3 Bagi Tenaga Kesehatan

Dapat dijadikan sebagai tambahan pengetahuan ataupun sebagai pilihan modalitas yang akan digunakan bagi tenaga kesehatan terutama

(12)

xii

fisioterapi dalam memberikan penatalaksanaan atau terapi kepada pasien.

DAFTAR PUSTAKA

Clark, MA, Lucett SL. 2011. NASM Essentials of Corrective Exercise Training, Baltimore, MD:Lippincott Williams &Wilkins

Delgado, E.V, Cascos-Romero, J., & Gay Escoda, C. (2009). Myofascial pain syndrome associated with trigger points: a literature review.(I): Epidemiology, clinical treatment and etiopathogeny. Medicina Oral,Patología Oral y Cirugia Bucal, 2009, vol. 14, num. 10, p. 494-498. Fatmawati, F. (2013). “Penurunan Nyeri dan Disabilitas dengan Integrated

Neuromuscular Inhibition Techniques (INIT) dan Massage Efflurage pada Myofascial Trigger Point Otot Trapezius Bagian Atas”. Sport and fitness journal. Bali : Universitas Udayana.

Laimi, K., Mäkilä, A., Bärlund, E., Katajapuu, N., Oksanen, A., Seikkula, V. Karppinen, J., Saltychev, M. 2017. Effectiveness of myofascial release in treatment of chronic musculoskeletal pain: a systematic review. Clinicalrehabilitation, 0269215517732820.

Lee, M., Kim, M., Oh, S., Choi, Y. J., Lee, D., Lee, S. H., & Yoon, B. (2017). A self determination theory-based self-myofascial release program in older adults with myofascial trigger points in the neck and back: a pilot study. Physiotherapy theory and practice, 33(9), 681-694.

Kalichman, L., & Vulfsons, S. (2010). Dry needling in the management of musculoskeletal pain. J Am Board Fam Med, 23(5), 640-646.

Paolini, J. (2009). Review of myofascial release as an effective massage therapy technique. Athletic Therapy Today, 14(5), 30-34.

Shah, S., & Bhalara, A. 2012. Myofascial release. Inter J Health Sci Res, 2(2), 69-77.

Sherer E. (2013). Effects of utilizing a myofascial foam roll on hamstring flexibility. Charleston, Illinois: Eastern Illinois University.

Werenski, J. (2011). The Effectiveness of Myofascial Release techniques in the treatment of Myofascial Pain: A literature review. Journal of Musculoskeletal Pain, 23(27-35).

(13)

xiii

Wilke, J., Vogt, L., & Banzer, W. (2018). Immediate effects of self-myofascial release on latent trigger point sensitivity: a randomized, placebo-controlled trial. Biology of sport, 35(4), 349.

Gambar

Tabel 2. karakteristik berdasarkan jenis kelamin

Referensi

Dokumen terkait

Data Pengukuran Kadmium Pada Perubahan Berbagai Variasi Konsentrasi Terhadap Penyerapan Logam Berat Kadmium (Cd (II)) oleh N.. Data Pengukuran Kadmium Pada Perubahan

Pengembangan sistem informasi akuntansi berbasis komputer dapat berarti menyusun suatu sistem tersebut menjadi sistem baru untuk menggantikan sistem yang lama

Pengaruh risiko operasional terhadap CAR adalah negatif atau berlawanan arah, karena kenaikan pada biaya operasional yang lebih besar dibandingkan dengan

Tesis ini berjudul : “ REKAM MEDIS DAN PERLINDUNGAN HUKUM PASIEN”, (Penelitian Hukum Normatif Terhadap Undang-Undang No.29/04 Tentang Praktik Kedokteran dan Permenkes

Also, if T and U are directly congruent triangles, then T and U have two pairs of corresponding angles of equal measures as you proceed around the triangles in the same

4.1.4.4 Pengaruh Perputaran Modal Kerja ( Working Capital Turnover ), Perputaran Persediaan ( Inventory Turnover ), dan Perputa ran Piutang ( Account Receivable Turnover )

Produk hukum tidak bisa lepas dari kondisi politik suatu negara. Jadi situasi politik yang tidak kondusif bagi demokrasi akan melahirkan produk hukum yang pada akhirnya bisa

Belajar menunjukkan kepada apa yang harus dilakukan seseorang sebagai penerima pelajaran (siswa), sedangkan mengajar menunjukkan kepada apa yang harus dilakukan