• Tidak ada hasil yang ditemukan

I DON T HAVE ENOUGH FAITH TO BE AN ATHEIST Oleh: Norman L. Geisler, Frank Turek

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I DON T HAVE ENOUGH FAITH TO BE AN ATHEIST Oleh: Norman L. Geisler, Frank Turek"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

I DON’T HAVE ENOUGH FAITH TO BE AN ATHEIST Oleh: Norman L. Geisler, Frank Turek

Diterbitkan oleh LITERATUR SAAT

Jalan Anggrek Merpati 12, Malang 65141 Telp. (0341) 490750, Fax. (0341) 494129

website: www.literatursaat.org

Penulis : Norman L. Geisler, Frank Turek Alih Bahasa : Christine L. W. Emma

Penyunting : Chilianha Jusuf Penata Letak : Yusak P. Palulungan Gambar Sampul : Lie Ivan Abimanyu

Edisi terjemahan telah mendapat izin dari penerbit buku asli. Cetakan Pertama : 2014

Cetakan Kedua : 2015 Cetakan Ketiga : 2016

Dilarang memproduksi sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit. I Don’t Have Enough Faith to Be an Atheist / Norman L. Geisler, Frank Turek–– Alih bahasa, Christine L. W. Emma––Cet. 5––Malang : Literatur SAAT, 2019.

494 hlm. ; 22 cm

ISBN 978-602-7788-13-8

I Don’t Have Enough Faith to Be an Atheist

Copyright © 2004 Norman L. Geisler and Frank Turek Published by Crossway Books

a division of Good News Publishers 1300 Crescent Street

Wheaton, Illinois 60187 All rights reserved.

Cetakan Keempat : 2017 Cetakan Kelima : 2019

(3)

Kata Pengantar oleh David Limbaugh

Prakata: Berapa Besar Iman yang Anda Butuhkan untuk Memercayai Buku Ini?

Ucapan Terima Kasih

Pendahuluan: Menemukan Gambaran Besar dari Puzzle Kehidupan 1 Mampukah Kita Menangani Kebenaran?

2 Mengapa Setiap Orang Harus Memercayai Sesuatu? 3 Pada Mulanya Ada S.U.R.G.E. yang Luar Biasa 4 Rancangan Ilahi

5 Kehidupan yang Pertama: Hukum Alam atau Keagungan Ilahi?

6 Bentuk-bentuk Kehidupan Baru: Dari Goo Menjadi You via Zoo?

7 Bunda Teresa vs. Hitler

8 Mukjizat: Tanda dari Tuhan atau Tipuan?

9 Apakah Kita Memiliki Kesaksian Awal Mengenai Tuhan Yesus?

10 Apakah Kita Memiliki Kesaksian dari Saksi Mata tentang Tuhan Yesus?

11 Sepuluh Alasan Utama Kita Mengetahui Bahwa Para Penulis PB Menceritakan Kebenaran

12 Apakah Yesus Benar-benar Bangkit dari Kematian? 13 Siapakah Yesus: Tuhan? Atau Hanya Guru Moral

yang Hebat?

14 Apa yang Yesus Ajarkan Mengenai Alkitab?

15 Kesimpulan: Hakim, Raja yang Melayani dan Gambaran Besar

Apendiks 1: Jika Tuhan Ada, Mengapa Ia Mengizinkan Kejahatan Terjadi?

Apendiks 2: Bukankah Itu Hanya Interpretasi Anda Saja? Apendiks 3: Mengapa “Jesus Seminar” Tidak Berbicara

tentang Yesus Catatan 7 15 17 19 39 57 81 105 125 151 187 219 247 279 307 335 367 399 425 439 455 463 467

(4)

Mampukah Kita Menangani Kebenaran?

“Manusia berjuang mendapatkan kebenaran dari waktu ke waktu, namun sebagian besar cepat menyerah dan segera melupakannya, seolah-olah tidak terjadi apa-apa.”

––Winston ChurChill

Dalam film A Few Good Men, Tom Cruise berperan sebagai seorang penga- cara Angkatan Laut yang sedang menyelidiki seorang kolonel Angkatan Laut, yang diperankan oleh Jack Nicholson, mengenai pembunuhan yang menimpa salah satu anak buahnya. Adegan di ruang pengadilan yang dramatis berubah menjadi perang mulut saat Cruise menuduh Nicholson terlibat di dalam pembunuhan itu:

Cruise : “Kolonel, apakah Anda memerintahkan untuk membunyikan tanda bahaya?”

Hakim : “Anda tidak perlu menjawab pertanyaan itu!”

Nicholson : “Saya akan jawab pertanyaan itu . . . Anda menginginkan jawaban?”

Cruise : “Saya kira saya butuh jawaban itu.” Nicholson : “Anda menginginkan jawaban!” Cruise : “Saya menginginkan kebenaran!”

Nicholson : “Anda tidak akan bisa menerima kebenaran!”

Mungkin saja Nicholson sedang berteriak kepada semua orang Amerika dan bukan hanya kepada Cruise karena tampaknya banyak orang yang tidak bisa menerima kebenaran. Di satu sisi, kami menginginkan kebenaran di hampir setiap area kehidupan. Sebagai contoh; kita menginginkan kebe- naran dari:

 Orang yang kita kasihi (tidak ada orang yang mau dibohongi

oleh pasangan atau anak)

 Dokter (kita membutuhkan resep obat yang tepat dan tindakan

(5)

 Pialang saham (kita berharap mereka mengungkapkan kebenaran

tentang perusahaan-perusahaan yang mereka rekomendasikan)

 Pengadilan (kita ingin mereka menghukum orang yang

benar-benar bersalah)

 Perusahaan (kita ingin mereka mengatakan kebenaran dan meng-

gaji kita dengan adil)

 Perusahaan penerbangan (kita menginginkan penerbangan yang

benar-benar aman dan pilot-pilot yang benar-benar sehat)

Kita juga mengharapkan kebenaran ketika kita memilih buku referensi, membaca artikel atau menonton siaran berita. Kita menginginkan kebenaran dari iklan-iklan, guru-guru, dan politikus-politikus. Kita menganggap bahwa setiap rambu-rambu lalu lintas, botol-botol obat, dan label-label makanan mengungkapkan kebenaran. Nyatanya, kita menginginkan kebenaran di hampir setiap sisi kehidupan yang memengaruhi uang, relasi, keamanan atau kesehatan kita.

Di sisi lain, kendati kita menuntut kebenaran dalam area-area tersebut, banyak dari kita yang mengatakan tidak tertarik dengan kebenaran yang berkaitan dengan moralitas atau agama. Nyatanya, banyak yang langsung menolak gagasan bahwa agama apa pun bisa saja benar.

Kami yakin, Anda tahu ada kontradiksi besar di sini. Mengapa kita menuntut kebenaran di dalam setiap aspek, kecuali moralitas dan agama? Mengapa kita mengatakan, “Bagi Anda hal itu benar, tetapi tidak untuk saya,” ketika kita berbicara mengenai moralitas atau agama, namun kita tidak pernah berpikir demikian ketika berbicara dengan pialang saham mengenai uang kita atau dengan dokter mengenai kesehatan kita.

Meskipun beberapa orang mungkin mengakuinya, penolakan kita terhadap kebenaran agama dan moral sering kali karena keinginan-keinginan pribadi dan bukan karena latar belakang intelektual kita––kita hanya tidak

bersedia bertanggung jawab terhadap standar-standar moral atau doktrin-doktrin agama apa pun. Maka kita dengan butanya menerima klaim yang akan menjadi bumerang bagi kita sendiri dari kaum intelektual yang benar secara politik bahwa kebenaran itu tidak ada; semua hal bersifat relatif; tidak ada yang absolut; semua hanyalah opini; Anda tidak boleh menghakimi; agama itu hanyalah kepercayaan, bukan fakta! Mungkin Augustine benar ketika ia menyatakan bahwa kita mencintai kebenaran ketika kebenaran membantu kita, tetapi kita membencinya ketika kebenaran itu merugikan kita. Mungkin kita memang tidak bisa menerima kebenaran.

(6)

Untuk mengatasi kontradiksi dalam budaya kita, kita perlu mengamati empat pertanyaan mengenai kebenaran:

1. Apakah kebenaran itu?

2. Dapatkah kebenaran diketahui?

3. Dapatkah kebenaran mengenai Tuhan diketahui? 4. Lalu? Siapa yang peduli terhadap kebenaran?

Kita akan membahas pertanyaan-pertanyaan ini dalam bab ini dan bab selanjutnya.

A

pAkAh

k

ebenArAn

I

tu

? F

AktA

M

engenAI

k

ebenArAn

Apakah kebenaran itu? Sederhana sekali, kebenaran “mengatakan sesuatu apa adanya.” Ketika pemerintah Romawi, Pilatus, bertanya kepada Yesus “Apakah kebenaran itu?” dua ribu tahun yang lalu, ia tidak menunggu jawaban Yesus. Sebaliknya, Pilatus segera bertindak seakan-akan ia mengetahui setidaknya beberapa fakta. Mengenai Yesus, ia menyatakan, “Aku tidak menemukan kesalahan pada pria ini” (lih. Yoh.18:38). Dengan membebaskan Yesus dari tuduhan, Pilatus “mengatakan sesuatu apa adanya.”

Kebenaran juga dapat didefinisikan sebagai “hal yang berhubungan dengan objek yang dimaksud” atau “hal yang menjelaskan keadaan sebe- narnya.” Pendapat Pilatus benar karena hal itu sesuai dengan objeknya, yang menjelaskan keadaan sebenarnya secara akurat. Yesus benar-benar tidak bersalah.

Berlawanan dengan apa yang diajarkan di sekian banyak sekolah-sekolah umum, kebenaran tidak bersifat relatif, melainkan absolut. Jika sesuatu itu benar, maka ia benar untuk semua orang, di segala waktu dan tempat. Semua klaim kebenaran bersifat absolut, terbatas dan eksklusif. Kebenaran tidak termasuk hal yang berlawanan dengan kebenaran (contohnya, kebenaran mengklaim bahwa pernyataan “segala sesuatu itu tidak benar” adalah salah). Faktanya, semua kebenaran tidak termasuk hal yang berlawanan dengan kebenaran itu sendiri, bahkan kebenaran-kebenaran religius.

Beberapa tahun yang lalu ada keajaiban yang benar-benar konyol ketika saya (Norm) berdebat dengan seorang humanis religius bernama Michael Constantine Kolenda. Dari sekian banyak kaum ateis yang pernah berdebat dengan saya, ia, salah satu dari beberapa orang ateis yang membaca buku saya yang berjudul Christian Apologetics sebelum debat tersebut.

(7)

Ketika tiba gilirannya, Kolenda mengangkat tinggi-tinggi buku saya dan berkata, “Orang-orang Kristen ini adalah orang-orang yang benar-benar berpikiran sempit. Saya sudah membaca buku Dr. Geisler. Tahukah Anda apa yang ia percayai? Ia percaya bahwa kekristenan itu benar dan hal lain yang bertentangan salah! Orang-orang Kristen ini benar-benar cupet!”

Nah, Kolenda sendiri juga menulis buku berjudul Religion Without God (yang intinya seperti romansa tanpa pasangan!) yang sudah saya baca sebelumnya. Ketika tiba giliran saya, saya mengangkat buku Kolenda dan berkata, “Orang-orang humanis ini benar-benar orang yang berpikiran sempit. Saya sudah membaca buku Dr. Kolenda. Tahukah Anda apa yang ia percayai? Ia percaya bahwa humanisme itu benar dan hal lain yang bertentangan dengan itu salah! Orang-orang humanis ini benar-benar picik!”

Para penonton tertawa geli karena mereka mengerti maksudnya. Klaim kebenaran kaum humanis dan Kristen sama-sama sempit. Karena jika H (Humanisme) benar, maka yang lainnya salah. Demikian juga, jika K (kekris- tenan) benar, maka yang lainnya salah.

Ada banyak kebenaran mengenai kebenaran. Berikut ini beberapa con- tohnya:

 Kebenaran ditemukan, bukan dibuat. Kebenaran muncul dengan

sendirinya dari pengetahuan siapa pun (Teori gravitasi ada sebe- lum Newton).

 Kebenaran bersifat lintas budaya. Jika sesuatu benar, maka hal

itu juga benar untuk semua orang, di segala waktu dan tempat (2+2=4 untuk semua orang, di mana saja, kapan saja).

 Kebenaran tidak berubah meskipun keyakinan kita terhadap

kebenaran itu berubah (Ketika kita mulai percaya bahwa bumi itu bulat dan bukannya rata, kebenaran tentang bumi tidak berubah,

keyakinan kita tentang bumi itulah yang berubah).

 Keyakinan tidak dapat mengubah fakta, sebesar apa pun keya-

kinan itu (Ada orang yang benar-benar yakin bahwa bumi itu rata, tapi hal itu hanya akan membuatnya benar-benar salah).

 Kebenaran tidak dipengaruhi oleh sikap orang yang meyakininya.

(Orang yang arogan tidak membuat kebenaran yang diyakininya salah. Seorang yang rendah hati tidak membuat kesalahan yang diyakininya benar).

(8)

 Semua kebenaran adalah kebenaran-kebenaran yang absolut.

Bahkan kebenaran yang tampak relatif sebenarnya bersifat absolut (Sebagai contoh, “Saya, Frank Turek, merasa panas di tanggal 20 November, 2003” bisa saja tampak sebagai kebenaran yang relatif, namun sebenarnya bersifat absolut bagi semua orang di mana pun juga, bahwa hari itu Frank Turek merasa kepanasan). Pendek kata, keyakinan yang berlawanan bisa saja benar, tetapi kebenaran

yang berlawanan adalah hal yang tidak mungkin. Kita dapat memercayai

bahwa semua hal itu benar, tetapi kita tidak dapat membuat semua hal menjadi benar.

Hal ini sebenarnya wajar, namun bagaimana kita dapat menghadapi tun- tutan modern yang menyatakan bahwa tidak ada kebenaran? Dua karakter kartun berikut dapat membantu kita:

Taktik Road Runner

Jika seseorang berkata pada Anda, “Saya memiliki satu gagasan untukmu yang pasti dapat mengubah kemampuanmu untuk dengan cepat dan jelas mengetahui pernyataan-pernyataan dan juga filosofi yang salah yang telah meracuni budaya kita,” apakah Anda tertarik? Itulah yang akan kita laku- kan sekarang. Sebenarnya, jika kita hanya bisa memilih satu kemampuan berpikir sebagai pelajaran paling berharga yang telah kita pelajari di semi- nari dan pendidikan pascasarjana, kemampuan tersebut tidak lain adalah kemampuan untuk mengetahui dan menyangkal pernyataan-pernyataan bunuh diri (self-defeating). Sebuah insiden yang terjadi di sebuah program percakapan radio baru-baru ini akan menjelaskan maksud kami tentang pernyataan bunuh diri.

Pembawa acara program tersebut adalah seorang penganut liberal ber- nama Jerry. Ia sedang memandu subjek moralitas melalui telepon yang disiarkan melalui radio. Setelah mendengarkan sekian banyak penelepon yang dengan tegas menyatakan bahwa posisi moral tertentu adalah benar, seorang penelepon berteriak, “Jerry! Jerry! Kebenaran itu tidak ada!”

Saya (Frank) berlari menuju telepon dan mulai menekan nomor dengan marah. Nada sibuk. Nada sibuk. Nada sibuk. Saya ingin segera tersambung dan berkata, “Jerry! Untuk pria yang berkata, ‘Tidak ada yang namanya kebenaran,’––apakah itu benar?”

(9)

Saya tidak pernah tersambung. Dan tentu saja Jerry setuju dengan penelepon itu, tanpa pernah menyadari bahwa pernyataannya tidak mungkin benar, karena itu adalah pernyataan bunuh diri.

Pernyataan bunuh diri adalah pernyataan yang gagal memenuhi stan- darnya sendiri. Kami yakin Anda menyadari bahwa pernyataan si pene- lepon “tidak ada kebenaran” dianggap benar dan dengan demikian menjadi pernyataan bunuh diri. Hal itu sama saja dengan berkata, “Saya tidak dapat berbicara dalam bahasa Indonesia.” Jika seseorang mengatakan demikian, Anda jelas akan merespons, “Tunggu dulu! Pernyataan Anda salah karena Anda baru saja mengatakannya dalam bahasa Indonesia!”

Pernyataan bunuh diri sering kali ada dalam budaya pascamodern kita, dan jika Anda telah menajamkan kemampuan Anda untuk mendeteksinya, Anda pasti akan menjadi pembela kebenaran yang tidak kenal takut. Anda pasti pernah mendengar orang mengatakan, “Semua kebenaran bersifat relatif!” dan “Tidak ada yang namanya kebenaran absolut!” Kini Anda telah dipersenjatai untuk menangkis pernyataan konyol seperti itu dengan cara yang amat sederhana bahwa pernyataan itu tidak memenuhi kriteria- nya sendiri. Dengan kata lain, dengan membalikkan pernyataan bunuh diri itu, Anda dapat menyingkapkan keadaannya yang tidak masuk akal.

Kami menyebut proses pembalikan pernyataan bunuh diri ini sebagai taktik “Road Runner” karena hal itu mengingatkan kami pada karakter kartun bernama Road Runner dan Wile E. Coyote. Jika Anda ingat, tujuan satu-satunya dari Coyote adalah untuk mengejar dan mendapatkan Road Runner

yang gesit dan menjadikannya santapan malam. Tetapi Road Runner benar-benar gesit dan cerdik. Ketika Coyote sedang berlari dalam kecepatan tinggi,

Road Runner tiba-tiba berhenti tepat di ujung jurang, membiarkan Coyote

melayang sebentar di udara, tanpa pengaman. Ketika Coyote menyadari bahwa ia tidak menjejak tanah, ia segera—gedebuk—terjun bebas ke dasar jurang.

Nah, itulah yang dilakukan taktik Road Runner kepada kaum relativis dan pascamodernis di zaman kita. Taktik ini membantu mereka menyadari bahwa argumen mereka tidak dapat mempertahankan dirinya sendiri. Tentu saja mereka akan jatuh dan menabrak jurang. Ini akan membuat Anda terlihat superjenius! Mari gunakan taktik Road Runner ini di kampus untuk menjelaskan maksud kami.

(10)

Taktik Road Runner Masuk Kampus

Taktik Road Runner amat dibutuhkan khususnya oleh mahasiswa masa kini. Mengapa? Karena jika Anda mendengarkan ajaran-ajaran para profesor di universitas, mereka akan mengatakan tidak ada kebenaran. Yang membuat kami terheran-heran adalah bahwa orang tua di seluruh dunia membayar ribuan dolar untuk biaya kuliah supaya anak-anaknya diajari “kebenaran” bahwa tidak ada kebenaran, tanpa menyebutkan teori-teori bunuh diri lain seperti: “Semua kebenaran bersifat relatif ” (Apakah itu kebenaran yang bersifat relatif?), “tidak ada yang absolut” (Apakah Anda benar-benar

yakin?); dan “Itu benar untukmu tapi tidak untukku!” (Apakah pernyataan itu benar untukmu saja, atau pernyataan itu juga benar untuk orang lainnya?). Pernyataan terakhir bisa saja menjadi mantra di zaman ini, tetapi dunia tidak bekerja dengan cara demikian. Coba saja ucapkan mantra itu kepada petugas bank Anda, polisi atau petugas pajak dan lihatlah apa yang terjadi!

Tentu saja mantra-mantra modern ini salah karena mereka membunuh diri sendiri. Namun bagi mereka yang masih memercayainya seperti orang buta, kita memiliki beberapa pertanyaan: Jika memang tidak ada kebenaran, apa gunanya kita mempelajari sesuatu? Mengapa mahasiswa harus men- dengarkan dosennya? Toh, sang dosen tidak memiliki kebenaran. Apa gunanya pergi ke sekolah dan membayar uang sekolah? Dan apa gunanya menaati larangan-larangan moral dari sang dosen tentang menyontek atau plagiarisme?

Gagasan-gagasan memiliki konsekuensi. Gagasan yang baik memiliki konsekuensi, begitu juga dengan gagasan-gagasan yang buruk. Tentu saja banyak mahasiswa menyadari implikasi buruk dari gagasan-gagasan pascamodern dan berlaku sesuai dengan implikasi tersebut. Jika kita meng- ajari mereka bahwa tidak ada yang benar ataupun salah, kenapa kita terkejut ketika ada pelajar yang menembak teman sekelas mereka atau seorang ibu remaja yang membuang bayinya di tempat sampah? Kenapa mereka harus bertindak “benar” jika kita mengajari mereka bahwa tidak ada yang namanya “kebenaran?”

C. S. Lewis mengungkapkan betapa absurdnya mengharapkan kebaikan dari orang yang diajarkan bahwa tidak ada kebaikan: “Secara sederhana kita menghilangkan organ tertentu dan mengharapkan fungsinya. Kita menciptakan manusia tanpa hati dan berharap memetik kebaikan dan manfaat dari mereka. Kita menertawakan kesetiaan dan terkejut saat menemukan

(11)

musuh dalam selimut. Kita mengebiri dan berharap [binatang] yang sudah dikebiri itu berkembang biak.”1

Kebenaran dari masalah tersebut adalah: gagasan-gagasan yang salah tentang kebenaran menuntun kita pada gagasan-gagasan yang salah mengenai kehidupan. Dalam banyak kasus, gagasan yang salah ini memberikan pembenaran terhadap perilaku yang benar-benar tidak bermoral, karena jika Anda dapat membunuh konsep tentang kebenaran, Anda dapat membunuh konsep agama atau moralitas apa pun yang benar. Dalam budaya kita, banyak orang telah mencobanya, dan dalam empat puluh tahun terakhir dekadensi moral dan agama telah mengunjukkan taringnya. Sayangnya, konsekuensi dari tindakan mereka yang menghancurkan, tidak saja benar bagi mereka sendiri––tetapi juga bagi kita semua.

Jadi, kebenaran benar-benar ada, tidak dapat disangkal. Mereka yang mengingkari kebenaran akan membuat klaim bunuh diri bahwa tidak ada kebenaran. Berkaitan dengan hal ini, mereka, seperti Winnie the Pooh— menjawab ketukan pintu dengan berkata, “Tidak ada orang di rumah!”

Sekarang mari kita lihat bagaimana taktik Road Runner dapat mem- bantu kita menjawab klaim kebenaran skeptis yang berkata bahwa “Kebenaran tidak dapat diketahui!”

D

ApAtkAh

k

ebenArAn

D

IketAhuI

? t

ok

. . . t

ok

. . .

Kaum Kristen Injili percaya bahwa mereka harus mematuhi perintah Yesus “jadikanlah semua bangsa murid-Ku” (Mat. 28:19). Untuk membantu umat Kristen melaksanakan “Amanat Agung” ini, D. James Kennedy menciptakan teknik penginjilan dari pintu ke pintu yang dinamakan “Evangelism Explosion” (EE). Jika Anda adalah orang Kristen, teknik EE ini akan mem- bantu Anda dengan cepat mengetahui keadaan spiritual seseorang. Setelah Anda memperkenalkan diri, Anda akan memberikan pertanyaan sebagai berikut kepada orang yang membukakan pintu rumahnya:

1. Bolehkah saya memberikan pertanyaan rohani pada Anda? Dan,

2. Jika Anda meninggal hari ini dan berdiri di hadapan Allah, dan Allah bertanya kepada Anda, “Mengapa Aku harus mengizinkanmu masuk ke dalam surga-Ku?” Apa jawab Anda?

Banyak orang akan penasaran dan menjawab ya untuk pertanyaan pertama (Jika mereka berkata, ‘Apa maksud Anda dengan pertanyaan rohani?” teruskanlah dan tanyakan pada mereka pertanyaan kedua). Untuk pertanyaan

(12)

nomor dua, buku panduan EE memperkirakan bahwa orang non-Kristen biasanya memberikan jawaban yang “baik.” Seperti, “Allah akan menerimaku karena pada dasarnya saya orang baik. Saya tidak pernah membunuh siapa pun, saya pergi ke gereja, saya memberi kepada yang miskin . . .” Jika demikian, buku panduan EE meminta Anda untuk merespons dengan Injil (atau “kabar baik”): bahwa semua orang (termasuk Anda) jauh dari standar Allah yang sempurna, dan tidak ada satu pun perbuatan baik yang dapat menghapus fakta bahwa Anda telah berbuat dosa. Namun kabar baiknya adalah Anda dapat diselamatkan dari penghukuman dengan percaya kepada Kristus, yang dihukum untuk menggantikan Anda.

Meskipun teknik ini berulang kali berhasil dilakukan, beberapa orang non-Kristen tidak merespons kedua pertanyaan tersebut seperti yang diha- rapkan. Sebagai contoh, suatu malam saya (Norm) memutuskan untuk menerapkan teknik EE ini bersama dengan seorang kawan segereja. Begini- lah kejadiannya:

Tok . . . tok . . . tok.

“Siapa itu?” (Seorang pria membukakan pintu.)

Saya mengulurkan tangan dan berkata, “Hai! Nama saya Norm Geisler, ini teman saya, Ron, dan kami dari gereja di ujung jalan.”

“Saya Don,” jawab pria itu, matanya dengan cepat menyelidiki kami. Saya segera bertindak dengan mengajukan pertanyaan pertama: “Don, apakah Anda keberatan jika saya menanyakan pertanyaan spiritual?”

“Tidak, silahkan saja,” kata Don terus terang, sepertinya benar-benar menginginkan Firman Tuhan untuk hidangan penutup.

Saya memberikan pertanyaan kedua padanya: “Don, jika Anda meninggal hari ini dan berdiri di hadapan Allah, dan Allah bertanya, ‘Mengapa Aku harus membiarkanmu masuk ke surga-Ku?’ Apakah yang akan Anda katakan?”

Don balik bertanya, “Saya akan berkata pada Allah, ‘Kenapa Engkau tidak membiarkan saya masuk surga?’”

Astaga . . . seharusnya dia tidak menjawab demikian! Maksud saya, jawaban seperti itu tidak ada di buku panduan!

Setelah panik sebentar, saya berdoa dalam hati dan kemudian menjawab, “Don, jika kami mengetuk pintu Anda agar kami bisa masuk, dan Anda ber- tanya pada kami, ‘Mengapa aku harus mengizinkanmu masuk?’ dan kami menjawab ‘Mengapa Anda tidak mengizinkan kami masuk?’ apakah jawab Anda?”

(13)

Don menunjuk dada saya dan berkata dengan tegas, “Saya akan menga- takan kepada Anda ke mana Anda harus pergi!”

Dengan cepat saya membalas, “Itulah yang akan dikatakan Allah kepada Anda!”

Don tampak terkejut sebentar, namun kemudian ia memicingkan mata dan berkata, “Begini ya, saya tidak percaya Allah. Saya ateis.”

“Anda seorang ateis?” “Ya, benar!”

“Nah, apakah Anda benar-benar yakin bahwa tidak ada Allah?” tanya saya.

Ia diam sejenak dan berkata, “Mm . . . tidak, saya tidak benar-benar

yakin. Saya kira mungkin saja Allah itu ada.”

“Maka Anda bukanlah seorang ateis—Anda adalah seorang agnostik.” Saya memberitahu dia, “Karena seorang ateis berkata, ‘Saya tahu Allah itu tidak ada,’ dan seorang agnostik berkata, ‘Saya tidak tahu apakah Allah itu ada.’”

“Yah . . . baiklah. Kalau begitu sepertinya saya agnostik,” akunya. Nah, inilah kemajuan yang saya tunggu-tunggu. Dengan hanya satu pertanyaan kami beralih dari ateisme menuju agnostisisme! Namun saya masih harus mencari tahu agnostik seperti apakah Don ini.

Maka saya bertanya, “Don, Anda jenis agnostik yang seperti apa?” Ia tertawa dan bertanya, “Apa maksud Anda?” (Mungkin ia berpikir, “Semenit yang lalu saya adalah seorang ateis—saya tidak tahu sekarang orang agnostik macam apa saya ini!”)

“Nah, Don. Ada dua macam agnostik,” jelas saya. “Ada orang agnostik

biasa yang berkata bahwa ia tidak yakin terhadap sesuatu, dan ada orang agnostik parah yang berkata ia tidak dapat mengetahui sesuatu dengan yakin.”

Don yakin dengan hal ini. Ia berkata, “Saya jenis yang kedua. Anda tidak dapat mengetahui sesuatu secara pasti.”

Menyadari bahwa pernyataannya bunuh diri, saya meluncurkan taktik

Road Runner dengan bertanya, “Don, jika Anda berkata bahwa Anda tidak dapat mengetahui sesuatu dengan pasti, maka bagaimana Anda tahu hal itu

dengan pasti?”

Terlihat bingung, ia berkata, “Apa maksud Anda?”

Saya coba memperjelas dengan cara lain, “Bagaimana Anda tahu bahwa Anda tidak mengetahui sesuatu dengan pasti?”

(14)

Saya bisa melihat bahwa hal ini jelas baginya namun saya memutuskan untuk menambahkan satu poin lagi: “Lagi pula Don, Anda tidak mungkin bersikap skeptis terhadap apa pun karena itu berarti Anda meragukan skep- tisisme. Namun, semakin Anda meragukan skeptisisme maka Anda akan semakin menjadi skeptis.”

Ia mengelak. “Oke, sepertinya saya benar-benar dapat mengetahui sesu- atu dengan pasti. Pasti saya termasuk golongan agnostik biasa.”

Sekarang kami benar-benar sedang bergerak. Dengan beberapa perta- nyaan, Don telah berpindah dari ateisme kepada agnostisisme parah dan kemudian agnostisme biasa.

Saya melanjutkan, “Karena Anda kini sudah mengakui bahwa Anda dapat mengetahui, mengapa Anda tidak tahu bahwa Allah itu ada?”

Dengan mengangkat bahu, ia berkata, “Mungkin karena tidak ada yang memberi saya bukti.”

Sekarang saya meluncurkan pertanyaan yang amat berharga: “Maukah Anda melihat beberapa bukti?”

“Tentu saja,” jawabnya.

Inilah tipe orang yang paling enak diajak bicara: Seseorang yang mau melihat bukti. Memiliki kemauan adalah hal yang penting. Bukti tidak dapat meyakinkan mereka yang tidak memiliki kemauan.

Karena Don mau, kami memberi dia buku karya Frank Morison yang berjudul Who Moved the Stone?2 Dulu Morison adalah seorang skeptis yang

menulis buku dengan tujuan melawan kekristenan namun sebaliknya menjadi percaya karena terbukti kekristenan itu benar (Nyatanya, bagian pertama buku itu berjudul “The Book That Refused to Be Written”).

Kami mengunjungi Don beberapa saat kemudian. Ia menjelaskan bukti-bukti yang dipaparkan Morison sebagai “sangat meyakinkan.” Beberapa minggu kemudian, ketika kami sedang mempelajari kitab Yohanes, Don menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadinya.

Kini Don menjadi seorang diaken di gereja Baptis dekat St. Louis, Missouri. Setiap tahun, setiap Minggu pagi, ia menyetir bus gereja ke dae- rah lokal untuk menjemput anak-anak yang orang tuanya tidak ke gereja. Pelayanannya sangat berarti bagi saya (Norm) karena dua orang seperti Don (Pak Costie dan Pak Sweetland) telah menjemput saya dengan bus gereja lebih dari 400 kali—setiap hari Minggu ketika saya berumur sembilan hingga tujuh belas tahun. Saya menerima Kristus pada umur tujuh belas tahun dan itu semua karena pelayanan bus tersebut. Saya rasa perkataan ini ada

(15)

benarnya: “Apa yang ditabur akan dituai,” meskipun itu hanyalah bus Sekolah Minggu.

M

ungkInkAh

S

eMuA

A

gAMA

I

tu

b

enAr

?

Moral dari kisah EE di atas adalah bahwa agnostisisme ataupun skeptisisme adalah tindakan bunuh diri. Kaum agnostik dan skeptik membuat klaim kebenaran bahwa klaim kebenaran tidak dapat dibuat. Mereka berkata bahwa kebenaran tidak dapat diketahui tetapi kemudian mengklaim bahwa pandangan mereka benar. Anda tidak mungkin mengenggam keduanya.

Maka kini kita telah menetapkan bahwa kebenaran dapat diketahui. Nyatanya, kebenaran tidak dapat disangkal. Namun, selanjutnya apa? Tidak bisakah semua agama benar? Sayangnya, bukan hanya dunia sekuler yang dibingungkan oleh pertanyaan ini, beberapa pendeta gereja pun bergumul dengan hal ini.

Seorang guru besar seminari bernama Ronald Nash pernah mendengar sebuah contoh menarik mengenai hal ini. Ia bercerita tentang seorang maha- siswanya yang dua tahun lalu pulang ke kampung halamannya di Bowling Green, Kentucky, dan menghabiskan waktunya di sana selama liburan Natal. Selama masa liburan itu, mahasiswa yang memercayai Alkitab ini memutus- kan untuk menantang dirinya suatu Minggu dan menghadiri kebaktian sebuah gereja yang belum pernah ia datangi sebelumnya. Namun, segera setelah sang pendeta menyebutkan kalimat pertama dalam khotbahnya, mahasiswa ini menyadari bahwa ia telah membuat kesalahan—pendeta itu menyangkal Alkitab.

“Tema khotbah saya pagi ini,” sang pendeta memulai khotbah, “Adalah bahwa semua agama itu benar!” Mahasiswa ini gelisah di kursinya saat pen- deta itu meyakinkan setiap jemaat bahwa semua agama itu ‘benar!’

Ketika khotbah itu berakhir, mahasiswa itu ingin menyelinap pergi tanpa diketahui, namun pastor berbadan besar yang berjubah itu sedang menunggu di pintu, memberikan pelukan kepada setiap jemaat yang melewatinya.

“Nak,” sang pendeta menyambut mahasiswa itu, “Anda dari mana?” “Sebenarnya saya datang dari Bowling Green, pak. Saya sedang liburan dari seminari.”

“Seminari! Bagus. Jadi, agama apa yang Anda percaya, Nak?” “Saya rasa lebih baik saya tidak mengatakannya, Pak.”

“Mengapa tidak?”

(16)

“Oh, Nak, Anda tidak menyinggung saya. Lagi pula, tidak masalah agama apa pun yang Anda anut––mereka semua benar. Jadi apa yang Anda percayai?”

“Baiklah,” mahasiswa itu menyerah. Ia mendekati sang pendeta, menang- kupkan tangan ke mulutnya dan berbisik, “Pak, saya percaya Anda akan masuk neraka!”

Wajah pendeta itu memerah sembari berusaha menjawab. “Saya, ah, saya pikir, ah, saya sudah membuat kesalahan! Tidak semua kepercayaan itu benar karena sudah jelas kepercayaan Anda itu salah!”

Tentu saja, seperti yang akhirnya disadari sang pendeta, tidak mungkin semua agama benar, karena banyak kepercayaan religius yang bertolak bela- kang. Mereka mengajarkan hal yang bertentangan. Sebagai contoh, umat Kristen konservatif percaya bahwa orang yang belum menerima Kristus sebagai Juruselamat mereka telah memilih neraka sebagai tujuan akhir mereka. Hal ini sering kali diabaikan, namun banyak agama lain yang memercayai hal ini, mereka juga akan pergi ke neraka. Umat Hindu pada umumnya percaya bahwa setiap orang, apa pun agamanya, berada di dalam siklus reinkarnasi berdasarkan perbuatan semasa hidupnya. Semua kepercayaan yang berlawanan ini tidak mungkin semuanya benar.

Sebenarnya, agama-agama dunia memiliki lebih banyak perbedaan daripada persamaan. Gagasan bahwa semua agama pada dasarnya mengajarkan hal yang sama—bahwa kita harus saling mengasihi satu sama lain—menunjukkan kesalahpahaman yang serius dari agama-agama dunia. Meskipun sebagian besar agama memiliki nilai moral yang sama karena Tuhan telah mena- namkan yang benar dan yang salah pada alam bawah sadar kita (Kita akan membahasnya di bab 7), mereka tidak sepakat dalam hampir semua isu besar, termasuk natur Allah, natur manusia, dosa, keselamatan, surga, neraka dan ciptaan!

Coba pikirkan: Natur Allah, natur manusia, dosa, keselamatan, surga, neraka dan ciptaan. Semua itu adalah isu besar! Berikut ini beberapa per- bedaannya:

• Yahudi, Kristen dan muslim memercayai versi yang berbeda

mengenai Tuhan yang Ilahi, sementara sebagian besar orang Hindu dan New Age percaya bahwa segala sesuatu yang ada adalah bagian dari impersonal kekuatan panteistik yang mereka sebut Allah.

(17)

• Banyak orang Hindu percaya bahwa kejahatan hanyalah ilusi

semata, sementara orang Kristen, muslim dan Yahudi percaya bahwa roh jahat benar-benar nyata.

• Orang Kristen percaya bahwa manusia diselamatkan oleh anu-

gerah, sementara agama lainnya, jika mereka benar percaya pada keselamatan, mengajarkan bahwa keselamatan diperoleh dengan perbuatan baik (definisi ‘baik’ dan diselamatkan dari ‘apa’ sangat beragam).

Itu semua hanyalah sebagian dari berbagai perbedaan yang hakiki. Jadi rasanya tidak mungkin bila dikatakan semua agama mengajarkan hal yang sama!

Kebenaran versus Toleransi

Meskipun sebagian besar agama memiliki beberapa kepercayaan yang benar, tidak semua kepercayaan religius benar hanya karena mereka secara eksklusif sama––mereka mengajarkan hal yang berlawanan. Dengan kata lain, beberapa kepercayaan religius pasti salah. Tetapi sekarang Anda tidak mungkin lagi mengatakan hal ini. Anda harus bersikap ‘toleran’ terhadap kepercayaan apa pun. Dan di dalam budaya masa kini, toleransi tidak lagi berarti memaklumi sesuatu yang Anda yakini salah (lagi pula, Anda tidak menoleransi hal yang Anda setujui). Toleransi di zaman ini berarti harus menerima setiap kepercayaan sebagai hal yang benar! Dalam konteks religius, dikenal dengan sebutan pluralisme religius––kepercayaan bahwa semua agama itu benar adanya. Ada beberapa masalah dengan definisi baru dari toleransi ini.

Pertama, misalnya saja kita bersyukur karena memiliki kebebasan ber- agama di negara ini, dan kita tidak percaya dengan pemaksaan agama secara hukum (baca buku kami berjudul Legislating Morality).3 Kita semua

menyadari bahaya dari intoleransi agama dan percaya bahwa kita harus menerima dan menghormati orang yang memiliki keyakinan berbeda. Namun tidak berarti bahwa kita secara pribadi harus meyakini bahwa semua agama itu benar. Karena dua jenis kepercayaan yang berbeda satu sama lain tidak mungkin benar, tidak masuk akal jika kita bersikap seolah-olah mereka sama-sama benar. Faktanya, secara pribadi, akan sangat berbahaya jika seseorang menganggapnya demikian. Jika kekristenan benar, maka kelak Anda akan binasa jika tidak menjadi Kristen. Begitu juga, jika agama lain yang benar, maka takdir Anda akan berakhir di neraka jika tidak menganut agama itu.

(18)

Kedua, klaim bahwa “Anda tidak boleh mempertanyakan kepercayaan orang lain” adalah kepercayaan kaum pluralis. Namun sebenarnya keperca- yaan ini sama eksklusifnya dan sama-sama “tidak toleran” seperti kepercayaan orang Kristen atau muslim. Dengan kata lain, kaum pluralis berpikir semua kepercayaan yang non-pluralis itu salah. Jadi kaum pluralis itu sama seperti kaum dogmatik dan orang yang berpikiran tertutup, sama seperti orang yang membuat klaim kebenaran di tempat umum. Dan mereka ingin agar semua orang yang tidak setuju dengan mereka melihat dengan cara mereka.

Ketiga, larangan untuk mempertanyakan kepercayaan seseorang juga merupakan posisi moral yang absolut. Kenapa kita tidak boleh memper- tanyakan keyakinan seseorang? Apakah mempertanyakan keyakinan orang lain itu berarti amoral? Jika memang benar demikian, menurut standar siapa? Apakah kaum pluralis memiliki alasan untuk mendukung kepercayaan mereka yang tidak boleh kita pertanyakan, atau itu hanyalah sekadar opini pribadi yang ingin mereka paksakan kepada kita? Jika mereka tidak dapat memberikan alasan yang masuk akal untuk standar moral tersebut, mengapa kita membiarkan mereka melakukannya pada kita? Dan mengapa mereka berusaha memaksakan hal tersebut? Mereka benar-benar tidak ‘toleran.’

Keempat, Alkitab memerintahkan umat Kristen untuk mempertanya- kan kepercayaan (mis., Kel. 13:1-5, 1Yoh. 4:1; Gal. 1:8, 2Kor. 11:13; dsb.). Karena umat Kristen memiliki kepercayaan bahwa mereka harus mempertanyakan kepercayaan religius orang lain, maka kaum pluralis–– sesuai dengan standar mereka sendiri––harus menerima kepercayaan ini juga. Namun tentu saja mereka tidak melakukannya. Ironisnya, kaum pluralis yang mendukung toleransi yang baru tidak benar-benar toleran. Mereka hanya toleran dengan orang yang sepaham dengan mereka saja.

Kelima, klaim kaum pluralis bahwa kita seharusnya tidak mempertanya- kan kepercayaan orang lain adalah bentuk lain dari larangan budaya yang salah kaprah terhadap penghakiman. Larangan terhadap penghakiman itu salah karena gagal memenuhi standarnya sendiri: “Kamu tidak boleh menghakimi” itu sendiri adalah sebuah penghakiman! (Kaum pluralis salah mengartikan perkataan Yesus mengenai penghakiman [Mat. 7:1-5]. Yesus tidak melarang penghakiman, tetapi Ia melarang orang menghakimi dengan munafik). Tentu saja, semua orang, kaum pluralis, umat Kristen, kaum ateis, agnostik, semuanya membuat penghakiman. Maka masalahnya bukan mengenai apa- kah kita menghakimi atau tidak menghakimi, tetapi lebih kepada apakah kita menghakimi dengan benar atau tidak.

(19)

Akhirnya, apakah kaum pluralis siap menerima kepercayaan yang benar dari kaum teroris––terutama ketika mereka percaya bahwa semua orang yang tidak seagama dengan mereka (termasuk kaum pluralis) harus dibu- nuh? Apakah mereka siap menerima kepercayaan mereka yang memerca- yai pengurbanan anak atau tindakan kejam lainnya? Kami harap tidak.

Jika kita menghormati hak orang lain untuk memercayai apa yang mereka mau, maka kita adalah orang-orang bodoh, dan bahkan mungkin tidak memiliki kasih, yang begitu saja menerima bahwa semua agama itu benar. Mengapa hal ini dianggap tidak mengasihi? Karena jika kekristenan benar, maka pendapat bahwa agama yang lain juga benar adalah tindakan tidak mengasihi. Membiarkan kesalahan tersebut berarti membiarkan mereka berjalan menuju kebinasaan. Sebaliknya, jika kekristenan benar, kita harus dengan lugas mengatakan kebenaran pada mereka karena hanya kebenaran- lah yang dapat membebaskan mereka.

Dulu Aku Buta namun Kini Aku Melihat

Apakah yang dikatakan pluralitas kepercayaan mengenai kebenaran dalam agama? Sekilas, kehadiran dari sekian banyak kepercayaan yang saling berkontradiksi dapat saja memperkuat perumpamaan gajah yang kita sebutkan di bagian pendahuluan––bahwa kebenaran di dalam agama tidak dapat diketahui. Namun sebenarnya justru sebaliknya.

Untuk mengingatkan Anda kembali, di dalam perumpamaan ini seekor gajah sedang diteliti oleh enam orang buta. Setiap orang buta merasakan bagian yang berbeda dari gajah tersebut dan karenanya memiliki pemahaman yang berbeda mengenai objek yang ada di depan mereka. Satu orang memegang gadingnya dan berkata, “Ini adalah sebuah tombak!” Satu orang lain memegang belalai dan berkata, “Ini adalah ular!” Satu orang memegang kaki berkata “Ini adalah pohon!” Satu orang yang memegang ekor berpikir, “Saya memegang tali!” Satu orang yang memegang telinga percaya,” Ini adalah kipas!” dan orang yang bersandar pada gajah yakin, “Ini adalah dinding!” Keenam orang buta ini menggambarkan agama-agama dunia, karena mereka sampai pada kesimpulan yang berbeda-beda mengenai apa yang mereka rasakan. Seperti setiap orang buta, kita diajarkan bahwa tidak ada agama yang memiliki kebenaran. Kebenaran religius bersifat relatif bagi setiap pribadi. Kebenaran itu bersifat subjektif, bukan objektif.

(20)

Mungkin hal ini terlihat persuasif hingga Anda sendiri bertanya pada diri sendiri: “Apakah perspektif orang yang menceritakan perumpamaan itu?” Hmmmmmm, coba kita lihat, orang yang menceritakan perumpamaan itu . . . sepertinya memiliki perspektif yang objektif terhadap keseluruhan peristiwa karena ia dapat melihat bahwa orang buta itu salah. Tepat sekali! Sebenarnya, ia tidak akan tahu bahwa orang buta itu melakukan kesalahan jika ia tidak memiliki sudut pandang objektif yang benar!

Maka jika orang yang menceritakan perumpamaan tersebut memiliki sudut pandang yang objektif, mengapa orang-orang buta itu tidak? Bisa saja —jika mereka tiba-tiba dapat melihat, mereka juga akan menyadari bahwa mereka salah. Yang ada di depan mereka adalah gajah, bukan dinding, kipas atau tali.

Kita juga dapat melihat kebenaran di dalam agama. Sayangnya, banyak dari kita yang mengingkari bahwa ada kebenaran di dalam agama, sebenar- nya tidak benar-benar buta, melainkan ingin menjadi buta. Kita tidak mau mengakui bahwa ada kebenaran di dalam agama karena hal itu akan membuat kita menjadi pesakitan. Namun jika kita membuka mata dan berhenti bersembunyi di balik omong kosong bahwa kebenaran tidak dapat diketahui, maka kita akan dapat melihat kebenaran itu. Dan bukan hanya kebenaran dalam area yang kita inginkan—uang, relasi, kesehatan, hukum, dan lain-lain—tetapi juga kebenaran di dalam agama. Sama seperti kata orang buta yang disembuhkan Yesus, “Dulu aku buta, sekarang aku melihat.”

Mungkin kaum skeptis akan berkata, “Tunggu dulu! Perumpamaan gajah itu mungkin perumpamaan yang buruk, namun mereka tetap saja tidak dapat membuktikan bahwa kebenaran di dalam agama dapat diketahui. Anda sudah membuktikan bahwa kebenaran dapat diketahui, tetapi belum tentu dapat dilakukan dalam agama. Faktanya, bukankah David Hume dan Immanuel Kant tidak setuju dengan gagasan kebenaran di dalam agama?”

Sama sekali tidak, dan kita akan mendiskusikannya pada bab selanjut- nya.

r

IngkASAn

1. Meskipun relativisme telah menyebar di dalam kebudayaan kita, kebenaran tetap bersifat absolut, eksklusif dan dapat diketahui. Mengingkari kebenaran absolut dan fakta bahwa ia dapat dike- tahui sama saja dengan bunuh diri.

(21)

2. Taktik “Road Runner” membalikkan pernyataan itu sendiri dan membantu mengungkap pernyataan bunuh diri (yang salah) yang amat umum terjadi di masa kini. Hal ini termasuk pernyataan seperti, “Tidak ada kebenaran!” (Apakah itu benar?); “Semua kebenaran itu relatif!” (Apakah pernyataan itu relatif?), dan “Anda tidak dapat mengetahui kebenaran!” (Lalu bagaimana Anda dapat mengetahui hal itu?); pada dasarnya setiap pernyataan yang tidak dapat dipercaya (karena melawan diri sendiri) pasti salah. Kaum relativis dikalahkan oleh logika mereka sendiri.

3. Kebenaran tidak tergantung pada perasaan atau pilihan kita. Sesuatu yang benar, tetaplah benar, tidak peduli kita menyukainya atau tidak.

4. Berlawanan dengan opini populer, agama besar dunia tidak “mengajarkan hal yang sama.” Mereka memiliki perbedaan-perbedaan hakiki dan hanya persetujuan yang superfisial. Semua agama tidak mungkin benar pada saat yang sama karena mereka mengajarkan hal yang kontradiktif.

5. Secara logika, karena tidak mungkin bahwa semua agama benar, maka kita tidak dapat menganut definisi baru toleransi yang memaksa kita untuk menerima ide yang mustahil bahwa semua kepercayaan itu benar. Kita harus menghormati kepercayaan orang lain, namun dengan kasih tetap memberitahu kebenaran pada mereka. Lagi pula, jika Anda benar-benar mengasihi dan menghargai orang lain, Anda akan mengatakan kebenaran tentang informasi yang memiliki konsekuensi kekal.

(22)

Referensi

Dokumen terkait

Pajak Penghasilan Pasal 21 menurut Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-31/PJ/2012 Tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran Dan Pelaporan

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa umur bibit batang bawah berpengaruh nyata terhadap persentase keberhasilan pertautan sambungan, sedangkan konsentrasi pupuk

asetat, borneol, simen. Kina, damar, malam.. as. CI CINN NNAM AMOM OMI COR I CORTE TEX X..

Tabel 3 menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik pada perubahan skor tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku ibu serta tingkat kecukupan energi,

Hal yang harus dilakukan dalam kegiatan penilaian proses pada pembelajaran seni adalah guru dapat menentukan kondisi siswa yang memiliki prestasi menurut

Jadi nilai ekonomi kayu bakar keseluruhan yang dimanfaatkan Desa Kuta rayat selama satu tahun dari 30 jumlah responden yang menggunakan kayu bakar adalah

dikembangkan berdasarkan penelitian Claramita, Prabandari, van Dalen, dan van der Vleuten (2010) tentang kebutuhan komunikasi dalam konteks budaya Indonesia. Untuk mencapai

Desain bentuk busana bedaya Putri Pakungwati yaitu kebaya berwarna putih tanpa kancing ditutup dengan kemben berwarna hijau, bros dikaitkan sebagai pengganti kancing/hiasan pada