• Tidak ada hasil yang ditemukan

Reaktualisasi Hukum Islam (Analisis terhadap Pemikiran Munawir Sjadali) Oleh: Restu Trisna Wardani Magister Ilmu Falak UIN Walisongo Abstrak Hukum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Reaktualisasi Hukum Islam (Analisis terhadap Pemikiran Munawir Sjadali) Oleh: Restu Trisna Wardani Magister Ilmu Falak UIN Walisongo Abstrak Hukum"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Reaktualisasi Hukum Islam (Analisis terhadap Pemikiran Munawir Sjadali)

Oleh:

Restu Trisna Wardani Magister Ilmu Falak UIN Walisongo

Abstrak

Hukum Islam selalu layak untuk dikaji. Didalamnya sering terjadi pertentangan antara dalil yang satu dengan dalil yang lain, antara pemikiran yang satu dengan pemikiran yang lain. Sejarah hukum Islam mencatatkan banyak perbedaan pendapat dalam penentuan hukum oleh para ulama dan fuqaha. Namun, perbedaan tersebut merupakan hal yang perlu disyukuri. Sebab perbedaan adalah rahmat dan dengan adanya perbedaan, maka hukum Islam akan terus berkembang mengikuti zamannya. Seperti perkembangan hukum Islam yang terjadi saat ini, yakni mulai berkembangnya suatu pemikiran sumber hukum Islam yang seolah terlepas dari disiplin ilmu ushul fiqh. Pemikiran tersebut adalah dengan mengedepankan penentuan hukum Islam melalui pendekatan konsep maslahah. Walaupun konsep pemikiran ini terlihat berkembang belakangan, namun secara implisit telah digunakan sebagai landasan berpikir oleh para intelektual muslim. Tak terkecuali intelektual muslim Indonesia, Munawir Sjadzali. Beliau memunculkan ide mengenai “Reaktualisasi Ajaran Islam” dengan mengkonkritkan pada tiga kerangka metodologi, yakni adat, nasakh dan maslahah. Lebih mendalam, penulis akan

(2)

mengupas tentang garis besar pemikiran Munawir Sjadzali beserta argumen-argumen yang melatarbelakangi konsep pemikirannya. Melalui pendekatan fiqh dan ushul fiqh, penulis juga akan menggali sedikit demi sedikit mengenai aspek pembaruan hukum Islam yang ditawarkan oleh Munawir Sjadzali.

(3)

Pendahuluan

Banyak faktor yang mempengaruhi perubahan hukum Islam, beberapa diantaranya adalah kemajuan teknologi, pluralitas sosial budaya dan iklim politik dalam masyarakat. Secara implisit hal tersebut menunjukkan bahwa berubahnya hukum terjadi karena perubahan waktu.1

Sejarah mencatat bahwa pada periode pembentukan dan penyusunannya, fiqh merupakan kekuatan yang dinamis dan kreatif. Sehingga selalu kontekstual dengan berbagai keadaan masyarakat Islam dari masa ke masa. Hal itu disebabkan karena fiqh merupakan refleksi logis dari situasi dan kondisi di mana ia tumbuh dan berkembang.2

Kemudian menilik ke Indonesia, bahwa hukum Islam yang diterapkan didalamnya harus kontekstual dengan keadaan masyarakatnya. Membuat perubahan dan perkembangan pemikiran hukum Islam akhirnya menjadi kebutuhan yang sangat penting. Hal ini dilandasi karena

1As-Suyuti, Asbah wa an-Nazair, (Indonesia: Dar al-Ihya al-Kutub

al-Arabiyah, t.t.), hlm 63.

2

Farouq Abu Zaid, Hukum Islam Antara Tradisionalis dan Modernis, terj. Husein Muhammad, (Jakarta: P3M, 1986, cet. 2), hlm. 6.

(4)

adanya perbedaan kondisi umat Islam di Indonesia dengan umat Islam yang ada di Timur Tengah3.

Pertimbangannya didasarkan pada banyaknya ketentuan hukum Islam yang diterapkan di Indonesia merupakan produk ijtihad yang didasarkan pada kondisi kultur Islam yang berkembang di Timur Tengah4 dan kompleksitas umat Islam saat ini jauh lebih besar dibandingkan dengan Islam masa lalu, baik dalam kemajuan budaya maupun kemajuan teknologi.

Dalam perkembangan hukum Islam banyak bermunculan istilah-istilah untuk memaknai pembaruan hukum Islam. Istilah-istilah tersebut dimunculkan oleh

3

Setidaknya ada kesepakatan bahwa tidak semua bentuk historisitas dalam ajaran Islam perlu dipertahankan dan diterima apa adanya.

4

Peninjauan kembali terhadap aturan hukum Islam dalam aspek kemasyarakatan dapat dilakukan dengan penalaran intelektual dengan cara menempatkan kepentingan masyarakat sebagai dasar pertimbangan yang utama.

(5)

para intelektual muslim, sebagai contoh reinterpretasi5, reaktualisasi6, reorientasi7, revitalisasi8, kontekstualisasi9, dan masih banyak istilah-istilah lain yang senada dengan yang telah disebutkan di atas.10

Selain itu, terdapat juga Perkembangan pemikiran keislaman dalam sepanjang sejarahnya telah menunjukkan adanya varian-varian yang khas sesuai dengan semangat zamannya. Varian-varian itu berupa semacam metode, visi, dan kerangka berpikir yang berbeda-beda antara satu pemikiran dengan pemikiran lainnya. Ajaran dan semangat Islam akan bersifat universal (melintasi batas-batas zaman, ras, dan agama), rasional (akal dan hati nurani manusia sebagai partner dialog), dan necessary (suatu keniscayaan dan keharusan yang fitri).11

5

Penafsiran kembali (ulang), proses perbuatan menafsirkan kembali terhadap interpretasi yang sudah ada. Dapat dilihat di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) cet. 5.

6 Proses perbuatan mengaktualisasikan kembali, penyegaran dan

pembaruan nilai-nilai kehidupan masyarakat. Dapat dilihat di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) cet. 5.

7 Peninjauan kembali wawasan (untuk menentukan sikap dan

sebagainya). Dapat dilihat di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) cet. 5.

8Proses perbuatan menghidupkan atau menggiatkan kembali. Dapat

dilihat di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) cet. 5.

9 Proses perbuatan yang mengaitkan kembali konteks. Dapat dilihat di

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) cet. 5.

10Penafsiran kembali (ulang), proses perbuatan menafsirkan kembali

terhadap interpretasi yang sudah ada. Dapat dilihat di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) cet. 5.

11

Mahsun, “Rekonstruksi Pemikiran Hukum Islam Melalui Integrasi Metode Klasik Dengan Metode Saintifik Modern”, Al-Ahkam25 (2015): 5. Diakses 13 Juli 2020. doi:

(6)

Munawir Sjadzali, seorang intelektual muslim Indonesia yang pada tahun 1985 M masih menjabat sebagai Menteri Agama Republik Indonesia memunculkan gagasan tentang “Reaktualisasi Ajaran Islam” dengan mengedepankan aspek maslahah. Gagasan tersebut kemudian direspon oleh Yayasan Paramadina dengan menerbitkan tulisan beliau. Dalam tulisannya tersebut ia mengatakan bahwa, situasi dan kondisi umat Islam saat ini sangat berbeda dengan zaman Rasul dulu, akan tetapi para intelektual Islam belum berani berpikir lebih kontekstual. Akibatnya Islam yang dulu merupakan ajaran yang revolusioner, sekarang menjadi ajaran yang terbelakang dan tertinggal jauh dengan Barat.12

Hal tersebut yang menjadi alasan utama Munawir Sjadzali berani memunculkan gagasan akan pembaruan hukum Islam. Gagasan beliau dianggap terlalu berani, bahkan kontroversial untuk seorang Menteri Agama yang masih menduduki masa jabatannya. Namun, di sisi lain posisinya sebagai Menteri Agama itulah yang membuatnya memiliki wewenang dan otoritas lebih untuk mensosialisasikannya.

Biografi Munawir Sjadzali

12Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan, (Jakarta:

(7)

Munawir Sjadzali lahir di Karanganom, Klaten, Jawa Tengah pada 7 November 1925 M. Ia merupakan anak tertua dari delapan bersaudara, lahir dari pasangan Abu Aswad Hasan Sjadzali dan Tas’iyah. Dari segi ekonomi keluarganya termasuk keluarga yang kurang mampu, akan tetapi dari segi agama keluarganya dikenal sebagai keluarga yang taat beragama. Ayahnya seorang kiai sekaligus pemimpin ranting Muhammadiyah dan aktif dalam kegiatan tarekat Sjadzaliyah. Dalam diri ayahnya tergabung pemikiran modern dan jiwa sufisme, hal ini juga yang mengalir dalam diri Munawir Sjadzali. Sebagai orang yang dibesarkan dalam pemikiran tradisional, ia selalu menjaga etika leluhur dan budaya Jawa. Namun, sebagai orang modern yang berintelektual, ia merespon setiap perubahan positif termasuk dalam hal pembaruan hukum Islam.

Dua fenomena yang ada pada keluarga Munawir Sjadzali, yakni kondisi ekonomi yang serba kekurangan dan penghargaan yang tinggi terhadap ilmu-ilmu keagamaan menghadapkannya pada satu pilihan pendidikan yaitu Madrasah. Selain karena biaya pendidikan di lembaga pendidikan Islam pada saat itu relatif murah, lembaga pendidikan Islam tersebut juga mengajarkan nilai-nilai tradisional Islam. Kemudian setelah menamatkan pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah di kampung halamannya, ia melanjutkan pendidikan ke Mambaul Ulum di Solo. Setelah ia menyelesaikan pendidikan di Mambaul Ulum pada tahun 1943 M, ia mengabdi menjadi guru di sekolah Muhammadiyah di

(8)

Salatiga, lalu pindah lagi menjadi guru di sekolah Muhammadiyah di Gunungpati, Semarang. Dari sinilah keterlibatan Munawir Sjadzali dalam kegiatan-kegiatan Islam berskala Nasional dimulai.

Ia mulai bergabung dalam berbagai organisasi-organisasi keislaman, diantaranya adalah sebagai Ketua Angkatan Muda Gunungpati, Ketua Markas Pimpinan Pertempuran Hizbullah-Sabilillah (MPHS) dan Ketua Umum Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) Semarang. Di Gunungpati ini juga pertemuan pertama Munawir Sjadzali dengan Bung Karno sewaktu masih menjabat sebagai ketua Umum Putera (Pusat Tenaga Rakyat). Pada waktu itu ia sempat menulis buku yang berjudul “Mungkinkah Negara Indonesia BersendikanIslam”. Kemudian buku tersebut sampai kepada Bung Hatta dan dibaca olehnya, sampai pada suatu saat Munawir Sjadzali dipertemukan dengan Bung Hatta. Nah, dari pertemuan inilah Munawir Sjadzali dipercaya untuk bekerja di Departemen Luar Negeri.

Selanjutnya kehidupan Munawir Sjadzali mulai berubah, kesempatan untuk mengenyam pendidikan lebih lanjut telah terbuka lebar. Ia melanjutkan studi di bidang politik di Exeter University, London (1953 M-1954 M). Kemudian setelah itu ia ditugaskan sebagai diplomat di Washington, sambil bekerja ia menggunakan kesempatan untuk mendalami ilmu politik di George Town University. Akhir dari proses belajarnya, Munawir Sjadzali menulis tesis yang berjudul “Indonesian Moslem

(9)

Political Parties and Their Political Concepts”. Selama kurang lebih 32 tahun Munawir Sjadzali mengabdi di Departemen Luar Negeri dengan jabatan terakhir sebagai Direktur Jenderal Politik. Kemudian pada tanggal 19 Maret 1983 M, ia dipercaya oleh Soeharto sebagai Menteri Agama Kabinet Pembangunan IV (1983 M-1988 M) dan periode selanjutnya pada Kabinet Pembangunan V (1988 M-1993 M). Setelah tidak menjabat sebagai menteri, beliau tetap aktif sebagai anggota DPA, Ketua Komnas HAM, dosen di Pascasarjana UIN Jakarta, dan dosen terbang di berbagai Perguruan Tinggi lain.

Munawir Sjadzali meninggal dunia pada tanggal 23 Juli 2004 M di Jakarta pada usia 79 tahun.13 Karya-karyanya antara lain: Mungkinkah Negara Indonesia Bersendikan Islam (1950 M), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam (1988 M), Islam dan Tata Negara (1990 M), BungaRampai Wawasan Islam Dewasa Ini (1994 M), Kontekstualisasi Ajaran Islam (1995 M), dan Ijtihad Kemanusiaan (1997 M).

Landasan Pemikiran Munawir Sjadzali

Berawal dari menjadi Menteri Agama, Munawir Sjadzali banyak mendapatkan laporan dari para hakim di Pengadilan

13

Tentang biografi Munawir Sjadzali secara lengkap ditulis oleh Munawir Sjadzali dalam bukunya, Kontekstualisasi Ajaran Islam, (Jakarta: Paramadina dan IPHI, 1995), hlm. 1-74.

(10)

Agama bahwasanya banyak sekali terjadi penyimpangan dalam kalangan masyarakat muslim di Indonesia, sebagai contoh dalam masalah warisan. Apabila ada keluarga muslim yang meninggal dunia, maka pembagian waris yang seharusnya diselesaikan di Pengadilan Agama dengan ketentuan faraidl yang terjadi justru sebaliknya, mereka pergi ke Pengadilan Negeri untuk menyelesaikan pembagian waris tersebut. Mengejutkannya lagi hal tersebut tidak hanya dilakukan oleh masyarakat muslim awam, akan tetapi juga dilakukan oleh tokoh-tokoh agama yang tentunya paham akan masalah tersebut.14 Di sisi lain banyak kepala keluarga dalam masyarakat muslim Indonesia yang mengambil kebijakan preventif, yakni membagikan terlebih dahulu harta yang dimiliki kepada anak-anaknya sebagai hibah. Sehingga kelak ketika ajal telah menjemput tidak akan terjadi sengketa di antara anak-anaknya dalam pembagian harta warisan. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kerukunan sesama saudara. Dalam praktik ini secara normatif tidak ada penyimpangan, baik dari ketentuan al-Qur’an maupun as-Sunnah. Namun, melaksanakan ajaran agama dengan semangat demikian apakah sudah betul, inilah yang menjadi tanda tanya.

Sikap memanipulasi dalam masyarakat muslim Indonesia dalam menjalankan hukum Islam juga terlihat dalam penerapan bunga bank. Islam telah mengajarkan bahwa bunga

14

Munawir Sjadzali, Dari Lembah Kemiskinan, dalam Muh. Wahyuni Nafis (ed), Kontekstualisasi Ajaran Islam, hlm. 88-89.

(11)

bank termasuk riba dan haram hukumnya. Sementara itu, dalam realitasnya banyak dari masyarakat muslim Indonesia saat ini yang menggunakan jasa bank dalam keperluan muamalah dengan alasan dlarurat. Padahal al-Qur’an telah mengajarkan bahwa kelonggaran yang diberikan dalam keadaan dlarurat itu dengan syarat tidak adanya unsur kesengajaan dan tidak lebih dari pemenuhan kebutuhan esensial semata. Munawir Sjadzali sendiri mempertanyakan apakah tindakan yang demikian itu bukan termasuk kategori mempermainkan agama. Namun, itulah realitas yang terjadi dalam masyarakat muslim Indonesia saat ini.

Menurutnya kenyataan demikian memang banyak terjadi, bahkan dikalangan masyarakat muslim yang paham agama sekalipun. Sementara itu, di sisi lain para pelaku penyimpangan tidak bisa pula dikatakan tidak memiliki komitmen yang utuh dalam menjalankan ajaran agama Islam tanpa mengetahui faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi mereka melakukan hal tersebut. Dalam contoh kasus pembagian harta waris misalnya, Munawir Sjadzali mengatakan bahwa pembagian harta waris dalam Islam seperti yang telah ditentukan dalam al-Qur’an bukan berarti tidak adil. Melainkan masyarakat muslim sendiri yang saat ini sudah tidak percaya lagi dengan keadilan hukum faraidl. Inilah penyebab yang melatarbelakanginya untuk memunculkan gagasan “Reaktualisasi Hukum Islam”.

(12)

Kebijakan-kebijakan dari Umar bin Khattab sangat mempengaruhi pemikirannya. Dalam hal ini Munawir Sjadzali mengemukakan fakta bahwa Umar bin Khattab pernah melakukan ijtihad yang didasarkan pada aspek maslahah dalam beberapa kasus yang dihadapinya. Beberapa pertimbangan dalam situasi konkrit dan realitas umat Islam sangat mempengaruhi Umar bin Khattab dalam mengambil kebijakan hukum Islam. Pada akhirnya hal ini senantiasa mempertegas setiap kebijakan hukum Islam yang diambil oleh Umar bin Khattab adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umat.15 Menurut Ibrahim Hosen dalam catatannya, langkah ijtihad penerapan konsep maslahah yang dilakukan oleh Munawir Sjadzali tidak lepas dari tokoh Najmuddin ath-Thufi dan Abu Yusuf dalam teori adatnya. Sedangkan, beberapa ulama ahli fiqh dan ushul fiqh tidak sepakat dengan pemikiran ath-Thufi, termasuk Ibrahim Hosen sendiri. Namun, dalam hal ini Ibrahim Hosen menduga bahwa Munawir Sjadzali menggunakannya dalam penerapan konsep ijtihadnya.16

Reaktualisasi Hukum Islam (Kasus Pembagian Harta Waris)

15 Amir Nuruddin, Ijtihad Umar Ibn al-Khattab, Studi tentang

Perubahan Hukum dalam Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1987), hlm. xiii.

16Ibrahim Hosen, “

Beberapa Catatan tentang Reaktualisasi Hukum Islam”, dalam Muh. Wahyuni Nafis, Kontekstualisasi Ajaran Islam, hlm. 251-284.

(13)

Ketika masih menjabat sebagai Menteri Agama RI, Munawir Sjadzali melontarkan gagasan mengenai pentingnya reaktualisasi hukum Islam, lebih konkrit terkait hukum waris. Menurutnya, bagian dua banding satu antara laki-laki dan perempuan disamakan menjadi satu banding satu. Baginya itu merupakan persoalan sederhana tetapi sangat mendasar. Munawir Sjadzali dalam memformulasikan gagasan reaktualisasi hukum waris tersebut bukan tanpa alasan. Ia menyaksikan semakin banyak umat Islam yang mendua terkait hukum waris, bahkan mereka yang mengerti dasar hukum waris dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.17

Kemudian, Munawir Sjadzali menyarankan untuk menghindari hal-hal yang hilah terhadap agama dan daripada membiarkan sikapmendua terhadap hukum Islam terus membudaya, maka diambillah langkah konkrit untuk mereaktualisasinya. Sebab, hal ini ia lakukan untuk menghindari anggapan ke depan bahwa Islam tidak lagi relevan untuk dijadikan rujukan dalam penyelesaian masalah, jika al-Qur’an dan as-Sunnah yang sudah jelas saja tidak lagi dipercaya. Berangkat dari pemahaman QS. An-Nisa: 11:

Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu

17

Munawir Sjadzali,Bunga Rampai Wawasan Islam Dewasa Ini,(Jakarta: UI Press, 1994), hlm. 44. 18 Munawir Sjadzali, Bunga Rampai..., hlm. 6.

(14)

semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Munawir Sjadzali menyatakan bahwa, bagian harta waris yang diberikan untuk anak laki-laki adalah dua kali dari bagian harta waris yang diberikan untuk anak perempuan. Kemudian ia berusaha untuk mengkontekstualisasi hukum Islam dengan mendekonstruksi masalah pembagian harta waris tersebut.

Dalam masalah di atas ia menjelaskan bahwa,

dalam masalah pembagian harta waris antara bagian laki-laki yang mendapatkan dua kali dari bagian perempuan:

(15)

Pertama, tidak mencerminkan semangat keadilan bagi masyarakat muslim Indonesia sekarang ini. Hal tersebut terbukti dari banyaknya penyimpangan dari ketentuan faraidl yang dilakukan oleh masyarakat muslim, bahkan yang mengerti hukum Islam sekalipun dengan cara melakukan hailah. Yakni, membagikan atau menghibahkan harta kepada anak-anaknya ketika masih hidup. Ini merupakan suatu indikasi atas ketidakpercayaan masyarakat muslim dalam hokum Islam yang sudah berlaku.

Kedua adalah faktor gradualitas yang menurut Munawir Sjadzali, perempuan dalam masa jahiliyah tidak mendapatkan bagian harta waris. Sehingga ketika Islam datang derajat perempuan diangkat dengan diberi bagian harta waris, walaupun hanya separuh dari bagian harta waris laki-laki.

Menurutnya, pengangkatan derajat perempuan dengan diberi bagian harta waris tidak secara langsung disamakan dengan laki-laki, melainkan dilakukan secara bertahap. Hal ini sesuai dengan sifat gradual dalam ajaran Islam sebagaimana kasus pengharaman khamr. Apalagi dalam masa modern sekarang ini, perempuan memberikan peran yang sama seperti laki-laki di masyarakat. Maka suatu hal yang logis jika bagian harta warisnya ditingkatkan menjadi sama dengan laki-laki. Ketiga, bagian laki-laki yang dua kali lipat dari bagian perempuan dikaitkan dengan persyaratan bahwa, laki-laki mempunyai

(16)

kewajiban untuk memberi nafkah anak istri, bahkan orang tua dan adik perempuan yang belum bersuami.18

Dalam konteks zaman modern saat ini wilayah mencari nafkah tidak hanya bisa dilakukan oleh laki-laki saja, bahkan perempuan pun saat ini dituntut untuk mandiri. Sehingga sudah menjadi hal yang lumrah apabila ada perempuan yang bekerja untuk menafkahi keluarganya. Sekarang, apabila hukum pembagian waris masih diterapkan dua banding satu, maka itu dianggap sebagai bentuk ketidakadilan. Sama seperti yang dijelaskan oleh Dr. M. Atho Mundzhar, bahwa pemikiran tersebut bukanlah hal baru di kalangan negara yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam. Sebagai contoh di Somalia pemikiran seperti itu telah muncul pada tahun 1974 M, bahkan di Turki telah muncul sejak tahun 1926 M dan tak ada yang mempersoalkan hal tersebut.

Namun, sebenarnya ijtihad Munawir Sjadzali fokus kepada konsep egalitarianisme sebagai konsep yang rasional dalam kehidupan sosial dengan ditandainya bagian satu banding satu antara laki-laki dan perempuan. Munawir Sjadzali hanya menggugat pola penafsiran tekstual terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang terkait dengan hukum waris, terlebih mengenai konsep keadilan apabila dihadapkan dengan berbagai

18

Hasbullah Mursyid, Menelusuri Faktor Sosial yang MungkinBerpengaruh, hlm. 205.

(17)

konsekuensi kehidupan sosial di zaman baru yang terus berubah ini.19

Reaktualisasi Hukum Islam (Kasus Bunga Bank)

Berangkat dari pemahaman QS. Al-Baqarah: 278 “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.

Sampai sekarang banyak dari para ulama yang

mengharamkan bunga bank, tetapi tidak ada pencegahan yang konkrit dari menggunakan jasa bank. Masyarakat muslim Indonesia sekarang ini sudah terbiasa dengan sistem bunga bank, bahkan ketergantungan dengan layanan jasa bank. Keterbiasaan ini telah melekat tidak hanya pada masyarakat muslim, melainkan juga masyarakat Indonesia pada umumnya.

Menurut Munawir Sjadzali, kuncinya adalah “tidak merugikan orang lain atau tidak ada pihak yang dirugikan”. Bank merupakan lembaga yang terhormat dan sistem bunga merupakan mekanisme pengelolaan bank untuk peredaran modal. Maka, tidak adil rasanya apabila pemilik modal kehilangan daya beli modal yang dititipkan untuk jangka waktu

19

A. Sukris Sarmadi, Dekonstruksi Hukum Progresif Ahli Waris Pengganti Dalam Kompilasi Hukum Islam, (Yogyakarta: Aswaja Presindo, 2012), hlm. 12-13.

(18)

tertentu, sementara peminjam dana yang menggunakannya untuk modal usaha dan mendapatkan untung tidak harus membagi keuntungannya dengan pemilik modal.20

20

(19)

DAFTAR PUSTAKA

A. Sukris Sarmadi, Dekonstruksi HukumProgresif Ahli Waris Pengganti Dalam Kompilasi Hukum Islam, (Yogyakarta: Aswaja Presindo, 2012).

Amir Nuruddin, Ijtihad Umar Ibn al-Khattab, Studi tentang Perubahan Hukum dalam Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1987).

As-Suyuti, Asbah wa an-Nazair, (Indonesia: Dar al-Ihya al-Kutub al-Arabiyah, t.t.).

Autobiografi Munawir Sjadzali, Dari Lembah Kemiskinan.

Farouq Abu Zaid, Hukum Islam Antara Tradisionalis dan Modernis, terj. Husein Muhammad, (Jakarta: P3M, 1986, cet. 2).

Hasbullah Mursyid, Menelusuri Faktor Sosialyang Mungkin Berpengaruh.

Ibrahim Hosen, “Beberapa Catatan tentang Reaktualisasi Hukum Islam”, dalam Muh. Wahyuni Nafis (ed), Kontekstualisasi Ajaran Islam.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) cet. 5.

Mahsun, “Rekonstruksi Pemikiran Hukum Islam Melalui Integrasi Metode Klasik Dengan Metode Saintifik Modern”, Al-Ahkam. Vol. 25, No. 1. (2015): 1-18. Doi: 10.21580/ahkam.2015.1.25.191.

Munawir Sjadzali, Bunga Rampai WawasanIslam Dewasa Ini, (Jakarta: UI Press, 1994).

Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan, (Jakarta: Paramadina, 1997).

Munawir Sjadzali, Kontekstualisasi Ajaran Islam, (Jakarta: Paramadina dan IPHI, 1995).

(20)

Yunahar Ilyas, Reaktualisasi Ajaran Islam Studi atas Pemikiran Hukum Munawir Sjadzali, dalam Jurnal al-Jamiah, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Vol.44, Number 1, 2006.

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini memberi gambaran tentang peranan wakaf uang dalam mendorong pemberdayaan ekonomi umat, sebagai benang merah yang dapat ditarik dari sebuah kontruksi Kompilasi

Dalam keadaan normal insulin mengendalikan glikogenolisis (pemecahan glukosa yang disimpan) dan glukoneogenesis (pembentukan glukosa baru dari dari asam-asam amino dan

Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah dan adanya riset gap pada faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap kepuasan dan keputusan pembelian ulang Rumah

Survei pendahuluan di Puskesmas Mergangsan membuktikan bahwa dari populasi sebanyak 120 bayi usia 12-24 bulan, terdapat 9 kasus bayi gizi kurang, 4 kasus bayi gizi buruk, 3

Berdasarkan asumsi tersebut, maka hipotesa dalam peneltian ini adalah terdapat pengaruh yang signifikan antara keaktifan mengikuti organisasi Seksi Kerohanian Islam

Dari konteks tersebut dapat dielaborasi bahwa konsep relasi laki-laki dan perempuan muncul dan berkembang mulai dari hasil pemahaman terhadap teks dan konstruksi budaya,

 Bahwa pada tanggal 03 April 2013 sekira pukul 07.30 wib saksi datang kerumah terdakwa meminta uang rental mobil milik saksi dan terdakwa mengatakan masih merental mobil

Dari keempat kapang yang digunakan untuk proses biosolubilisasi ternyata yang terbaik mendegradasi batubara kompleks menjadi senyawa yang setara dengan komponen bensin dan solar