15
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kajian Teori
1. Filosofi Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Dan Penataan Ruang
Sesuai dengan yang telah disebutkan dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa tujuan bernegara adalah
untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial. Oleh karena itu, perlindungan segenap bangsa dan
peningkatan kesejahteraan umum merupakan tanggung jawab penting bernegara.
Salah satu bentuk perlindungan tersebut adalah terjaminnya hak atas pangan bagi
segenap rakyat yang merupakan hak asasi manusia yang sangat fundamental
sehingga menjadi tanggung jawab negara untuk memenuhinya.
Di dalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya,
termasuk perekonomiannya, terutama masih bercorak agraris, bumi, air dan ruang
angkasa, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat
penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur sebagai yang kita
cita-citakan. Untuk mencapai cita-cita tersebut, diperlukanlah suatu hukum agraria
yang nasional, yang tidak lagi bersifat dualisme, yang sederhana dan yang
16
memberi kemungkinan akan tercapainya fungsi bumi, air dan ruang angkasa
sebagai yang dimaksud di atas dan harus sesuai pula dengan kepentingan rakyat
dan negara serta memenuhi keperluannya menurut permintaan zaman dalam
segala soal agraria. Lain dari itu hukum agraria nasional harus mewujudkan
penjelmaan daripada asas kerohanian negara dan cita-cita bangsa yaitu Ketuhanan
Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial
serta khususnya harus merupakan pelaksanaan daripada ketentuan dalam Pasal 33
Undang-Undang Dasar dan Garis-garis Besar Haluan Negara yang tercantum di
dalam Manifesto Politik Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1959 dan
ditegaskan di dalam Pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960. Maka, pada
pokoknya tujuan Undang-Undang Pokok Agraria adalah:
a) Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional,
yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran,
kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat
tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur;
b) Meletakkan dasar-dasar bagi untuk mengadakan kesatuan dan
kesederhanaan dalam hukum pertanahan;
c) Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum
mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Pemerintah memperoleh kewenangan untuk mengatur bidang pertanahan
berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang
Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
17
lebih lanjut dalam Undang-Undang nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Aturan pelaksaan dari Pasal 33 ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945 tersebut terdapat didalam Pasal 2 Undang-Undang-Undang-Undang Pokok
Agraria. Tanah atau lahan merupakan sumber kehidupan, kekuasaan, dan
kesejahteraan. Oleh karena kedudukan tanah yang bersifat sedemikian strategis
ini, negara sebagai organisasi kekuasaan rakyat yang paling tinggi, menguasai
tanah untuk dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Indonesia
dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.1 Wewenang yang didapat oleh
negara ini bersumber dari hak menguasai sumber daya alam oleh negara yang
bersifat publik. Artinya, disini negara hanya memiliki wewenang untuk mengatur
(wewenang regulasi) dan bukan untuk menguasai tanah secara fisik dan
menggunakan tanahnya sebagaimana wewenang pemegang hak atas tanah yang
bersifat pribadi. Adapun kekuasaan negara itu mengenai semua bumi, air, dan
ruang angkasa, jadi baik yang sudah dihaki oleh seseorang maupun yang tidak.
Kekuasaan negara mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak
dibatasi oleh isi hak itu, artinya sampai seberapa negara memberi kekuasaan
kepada yang mempunyainya untuk menggunakan haknya, sampai disitulah batas
kekuasaan negara tersebut.
1 Hak menguasai dari negara tersebut memberi wewenang untuk: a. mengatur dan
18
2. Asas dan Tujuan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan dan kedaulatan pangan perlu
diselenggarakan pembangunan dan perlindungan pertanian berkelanjutan. Terkait
hal tersebut, pemerintah telah membentuk Undang-Undang Nomor 41 Tahun
2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 149). Dengan adanya
undang-undang tersebut, pemerintah telah mengupayakan untuk melindungi keberadaan
lahan untuk kepentingan pertanian pangan dari laju pertumbuhan penduduk dan
perekonomian di berbagai wilayah Indonesia. Kata berkelanjutan seringkali
digunakan dalam berbagai konteks, termasuk diantaranya adalah pembangunan.
Makna yang sesungguhnya dari kata berkelanjutan adalah menjaga agar suatu
proses terus berlangsung atau juga dapat diartikan sebuah kemampuan untuk
bertahan dan menjaga agar tidak terjadi penurunan atau degradasi.2
Menurut Satjipto Rahardjo, asas hukum merupakan jantungnya ilmu hukum.
Karena merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum
dan sebagai alasan bagi lahirnya peraturan hukum, ini berarti bahwa
peraturan-peraturan hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan pada asas-asas tersebut.3
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009
tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan terdapat 13 asas
yang menjadi dasar diselenggarakannya perlindungan lahan pertanian pangan
berkelanjutan yaitu:
2 Abdul Sukur, Pertanian Berkelanjutan, Malang, 2008, hal. 25
19 a) Asas manfaat;
Yang dimaksud dengan manfaat adalah perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan diselenggarakan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, baik generasi kini maupun generasi masa depan.
b) Asas keberlanjutan dan konsisten;
Yang dimaksud dengan keberlanjutan dan konsisten adalah perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan yang Fungsi, pemanfaatan, dan produktivitas lahan dipertahankan secara konsisten dan lestari untuk menjamin terwujudnya kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional dengan memperhatikan generasi masa kini dan masa mendatang.
c) Asas keterpaduan;
Yang dimaksud dengan keterpaduan adalah perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan yang diselenggarakan dengan mengintegrasikan berbagai kepentingan yang bersifat lintas sektor, lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan.
d) Asas keterbukaan dan akuntabilitas;
Yang dimaksud dengan keterbukaan dan akuntabilitas adalah perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan yang diselenggarakan dengan memberikan akses yang seluas-luasnya untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan.
e) Asas kebersamaan dan gotong royong;
Yang dimaksud dengan kebersamaan dan gotong royong adalah perlindungan lahan pertanian pangan diselenggarakan secara bersama-sama baik antara pemerintah, pemerintah daerah, pemilik lahan, petani, kelompok tani, dan dunia usaha untuk meningkatkan kesejahteraan petani.
f) Asas partisipatif;
Yang dimaksud dengan partisipatif adalah perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan yang melibatkan masyarakat dalam perencanaan, pembiayaan, dan pengawasan.
g) Asas keadilan;
Yang dimaksud dengan keadilan adalah perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan yang harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa terkecuali.
h) Asas keserasian, keselarasan, dan keseimbangan;
20
dan keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat, lingkungan, dan kepentingan bangsa dan negara serta kemampuan maksimum daerah.
i) Asas kelestarian lingkungan dan kearifan lokal;
Yang dimaksud dengan kelestarian lingkungan dan kearifan lokal adalah perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan yang harus memperhatikan kelestarian lingkungan dan ekosistemnya serta karakteristik budaya dan daerahnya dalam rangka mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan.
j) Asas desentralisasi;
Yang dimaksud dengan desentralisasi adalah perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan yang diselenggarakan di daerah dengan memperhatikan kemampuan maksimum daerah.
k) Asas tanggung jawab negara;
Yang dimaksud dengan tanggung jawab negara adalah perlindungan lahan pertanian yang dimiliki negara karena peran yang kuat dan tanggung jawab terhadap keseluruhan aspek pengelolaan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan.
l) Asas keragaman;
Yang dimaksud dengan keragaman adalah perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan yang memperhatikan keankearagaman pangan pokok, misalnya padi, jagung, sagu, dan ubi kayu.
m) Asas sosial dan budaya.
Yang dimaksud dengan sosial dan budaya adalah perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan yang memperhatikan fungsi sosial lahan dan pemanfaatan lahan sesuai budaya yang bersifat spesifik lokasi dan kearifan lokal misalnya jagung sebagai makanan pokok penduduk Pulau Madura dan sagu sebagai makanan pokok penduduk Kepulauan Maluku.
Lahan adalah bagian daratan dari permukaan bumi sebagai suatu lingkungan
fisik yang meliputi tanah beserta segenap faktor yang mempengaruhi
penggunaannya seperti iklim, relief, aspek geologi, dan hidrologi yang terbentuk
secara alami maupun akibat pengaruh manusia.4 Lahan merupakan sumber daya
alam yang bersifat langka karena jumlahnya tidak bertambah, tetapi kebutuhan
4 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian
21
terhadap lahan selalu meningkat. Sedangkan lahan pertanian adalah bidang lahan
yang digunakan untuk usaha pertanian.5 Lahan pertanian memiliki peran dan
fungsi yang strategis bagi masyarakat Indonesia yang bercorak agraris karena
terdapat sejumlah besar penduduk Indonesia yang menggantungkan hidup pada
sektor pertanian. Dengan demikian, lahan tidak saja memiliki nilai ekonomis,
tetapi juga sosial, dan bahkan memiliki nilai religius. Dalam rangka pembangunan
pertanian yang berkelanjutan, lahan merupakan sumber daya pokok dalam usaha
pertanian, terutama pada kondisi yang sebagian besar bidang usahanya masih
bergantung pada pola pertanian berbasis lahan. Maka, tujuan dibentuknya
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 ini adalah:6
a. melindungi kawasan dan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan;
b. menjamin tersedianya lahan pertanian pangan secara berkelanjutan;
c. mewujudkan kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan;
d. melindungi kepemilikan lahan pertanian pangan milik petani;
e. meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan petani dan masyarakat;
f. meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan petani;
g. meningkatkan penyediaan lapangan kerja bagi kehidupan yang layak;
h. mempertahankan keseimbangan ekologis; dan
i. mewujudkan revitalisasi pertanian.
Sementara itu alih fungsi lahan pertanian merupakan ancaman terhadap
pencapaian ketahanan dan kedaulatan pangan. Alih fungsi lahan merupakan
perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya yang
direncanakan semula menjadi fungsi lain. Alih fungsi lahan mempunyai implikasi
22
yang serius terhadap produksi pangan, lingkungan fisik, serta kesejahteraan
masyarakat pertanian dan perdesaan yang kehidupannya bergantung pada
lahannya. Alih fungsi lahan pertanian terbesar adalah untuk lahan industri,
pemukiman dan sarana publik. Alih fungsi lahan pertanian (dalam hal ini kasus
sawah) menjadi penggunaan non pertanian seperti kompleks perumahan, kawasan
industri, kawasan perdagangan dan sarana publik dapat menimbulkan dampak
negatif secara ekonomi, sosial dan lingkungan.7 Alih fungsi lahan-lahan pertanian
subur selama ini kurang diimbangi oleh upaya-upaya terpadu mengembangkan
lahan pertanian melalui pencetakan lahan pertanian baru yang potensial. Di sisi
lain, alih fungsi lahan pertanian pangan menyebabkan makin sempitnya luas lahan
yang diusahakan dan sering berdampak pada menurunnya tingkat kesejahteraan
petani. Oleh karena itu, pengendalian alih fungsi lahan pertanian pangan melalui
perlindungan lahan pertanian pangan merupakan salah satu upaya untuk
mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan, dalam rangka meningkatkan
kemakmuran dan kesejahteraan petani dan masyarakat pada umumnya.
Ancaman terhadap ketahanan pangan telah mengakibatkan Indonesia harus
sering mengimpor produk-produk pangan untuk memenuhi kebutuhan dalam
negeri. Dalam keadaan jumlah penduduk yang masih terus meningkat jumlahnya,
ancaman-ancaman terhadap produksi pangan telah memunculkan kerisauan akan
terjadi keadaan rawan pangan pada masa yang akan datang. Akibatnya dalam
waktu yang akan datang Indonesia membutuhkan tambahan ketersediaan pangan
dan lahan pangan.
7Bambang Irawan, “
Konversi Lahan Sawah: Potensi Dampak, Pola Pemanfaatannya, dan Faktor
23
Perlindungan lahan pertanian pangan merupakan upaya yang tidak
terpisahkan dari reforma agraria, yang mencakup upaya penataan yang terkait
dengan aspek penguasaan atau pemanfaatan sebagaimana yang ditetapkan dalam
Pasal 2 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
IX/MPR-RI/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya
Alam.
Aspek penguasaan/pemilikan berkaitan dengan hubungan hukum antara
manusia dan lahan, sedangkan aspek penggunaan/pemanfaatan terkait dengan
kegiatan pengambilan manfaat atau nilai tambah atas sumber daya lahan.
Ketentuan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dimaksudkan agar
bidang-bidang lahan tertentu hanya boleh digunakan untuk aktifitas pertanian
pangan yang sesuai. Untuk mengimplementasikannya, diperlukan
pengaturan-pengaturan terkait dengan penguasaan/pemililikan lahannya agar
penguasaan/pemilikan lahan terdistribusikan secara efisien dan berkeadilan. Pada
saat yang sama diharapkan luas lahan yang diusahakan petani dapat meningkat
secara memadai sehingga dapat menjamin kesejahteraan keluarga petani serta
tercapainya produksi pangan yang mencukupi kebutuhan.
Seperti halnya dalam rangka program pemerintah untuk menunjang
pelaksanaan pembangunan pada umumnya dan PELITA II pada khususnya, perlu
digariskan kebijaksanaan dan ditetapkan ketentuan-ketentuan mengenai
penyediaan dan pemberian tanah untuk keperluan perusahaan-perusahaan, baik
yang diselenggarakan dengan maupun tanpa fasilitas-fasilitas penanaman modal,
dibentuklah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1974 tentang
24
Keperluan Perusahaan jo. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1987
tentang Penyediaan Dan Pemberian Hak Atas Tanah Untuk Keperluan Perusahaan
Pembangunan Perumahan. Pengaturan ini tidak terlepas dari keberadaan tanah
yang merupakan salah satu modal pokok Bangsa Indonesia dan adalah salah satu
unsur utama dalam pembangunan menuju terbentuknya masyarakat yang adil dan
makmur berdasarkan Pancasila. Sehubungan dengan hal tersebut, kebijaksanaan
dan ketentuan-ketentuan untuk mengatur pemberian tanah untuk keperluan
perusahaan haruslah dapat menciptakan suasana dan keadaan yang
menguntungkan dan serasi untuk menunjang kegiatan-kegiatan pembangunan,
dengan tujuan agar pada satu pihak kebutuhan pengusaha akan tanah dapat
dicukupi dengan memuaskan dan pada pihak lain sekaligus terselenggara tertib
penguasaan dan penggunaan tanah berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, hingga tanah yang tersedia benar-benar dapat dimanfaatkan sesuai
dengan fungsi sosialnya.
Seperti pendapat Bambang Irawan, bahwa alih fungsi lahan pertanian yang
terbesar adalah untuk lahan industri.8 Pembangunan dan pengembangan kawasan
industri ini secara umum telah diatur melalui kebijakan pemerintah dengan
dibuatnya Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1989 tentang Kawasan Industri.
Tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah dengan membuat Keputusan Presiden
Nomor 53 Tahun 1989 tentang Kawasan Industri ini adalah untuk mendorong
serta mengatur perkembangan kegiatan industri di Indonesia untuk dapat lebih
maju serta pengembangan kegiatan industri yang akan terjadi lebih dapat teratur
dengan menempati kawasan-kawasan industri yang telah ditentukan lebih lanjut.
25
Kebijakan ini diperlukan untuk mengatur penguasaan kawasan industri secara
produktif dan efisien dalam rangka mempercepat pertumbuhan industri, baik
untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun untuk ekspor.
Dalam rangka pelaksanaan kegiatan pembangunan yang berkelanjutan, hal
yang terkait dengan penggunaan tanah perlu selalu diarahkan sehingga dapat
berlangsung sesuai dengan rencana tata ruang wilayah yang telah ditentukan.
Maka, pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1990
tentang Penggunaan Tanah Bagi Pembangunan Kawasan Industri untuk
menghindari salah penafsiran mengenai penggunaan tanah. Keputusan Presiden
Nomor 33 Tahun 1990 tentang Penggunaan Tanah Bagi Pembangunan Kawasan
Industri ini bertujuan sebagai tindak lanjut serta pedoman penggunaan tanah bagi
kawasan industri sebagaimana apa yang telah dimaksud dalam ketentuan
Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1989 tentang Kawasan Industri.
Jadi pada dasarnya penyelenggaraan perlindungan lahan pertanian ini
berdasarkan pada asas keberlanjutan dan konsisten agar fungsi serta pemanfaatan
lahan pertanian yang ada dapat dipertahankan secara konsisten dan lestari dengan
melindungi kawasan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan. Hal ini tidak
terlepas dari tujuan penyelenggaraan perlindungan lahan pertanian pangan yang
menjamin bahwa kesediaan lahan pertanian pangan dijamin secara berkelanjutan
serta demi terwujudnya kemandirian, ketahanan, serta kedaulatan pangan. Dan
pada akhirnya kesejahteraan dan kemakmuran para petani serta masyarakat akan
26 3. Asas Dan Tujuan Penataan Ruang
Perlindungan lahan pertanian pangan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dalam penataan ruang, dalam hal ini terdapat dalam rencana tata
ruang wilayah di daera. Maka pemerintah membentuk Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4725).
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang, penyelenggaraan penataan ruang ini berdasarkan pada asas:
a) Keterpaduan
Yang dimaksud dengan “keterpaduan” adalah bahwa penataan
ruang diselenggarakan dengan mengintegrasikan berbagai kepentingan yang bersifat lintas sektor, lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan. Pemangku kepentingan, antara lain, adalah Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
b) Keserasian, keselarasan, keseimbangan
Yang dimaksud dengan “keserasian, keselarasan, dan keseimbangan” adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan
dengan mewujudkan keserasian antara struktur ruang dan pola ruang, keselarasan antara kehidupan manusia dengan lingkungannya, keseimbangan pertumbuhan dan perkembangan antardaerah serta antara kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan.
c) Keberlanjutan
Yang dimaksud dengan “keberlanjutan” adalah bahwa penataan
ruang diselenggarakan dengan menjamin kelestarian dan kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan dengan memperhatikan kepentingan generasi mendatang.
d) Keberdayagunaan dan keberhasilgunaan
Yang dimaksud dengan “keberdayagunaan dan keberhasilgunaan”
adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan mengoptimalkan manfaat ruang dan sumber daya yang terkandung di dalamnya serta menjamin terwujudnya tata ruang yang berkualitas.
e) Keterbukaan
Yang dimaksud dengan “keterbukaan” adalah bahwa penataan
seluas-27
luasnya kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan penataan ruang.
f) Kebersamaan dan kemitraan
Yang dimaksud dengan “kebersamaan dan kemitraan” adalah
bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan
g) Perlindungan kepentingan umum
Yang dimaksud dengan “pelindungan kepentingan umum” adalah
bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan mengutamakan kepentingan masyarakat.
h) Kepastian hukum dan keadilan
Yang dimaksud dengan “kepastian hukum dan keadilan” adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan berlandaskan hukum/ketentuan peraturan perundang-undangan dan bahwa penataan ruang dilaksanakan dengan mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat serta melindungi hak dan kewajiban semua pihak secara adil dengan jaminan kepastian hukum.
i) Akuntabilitas
Yang dimaksud dengan “akuntabilitas” adalah bahwa
penyelenggaraan penataan ruang dapat dipertanggungjawabkan, baik prosesnya, pembiayaannya, maupun hasilnya.
Sedangkan berdasarkan pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang, penyelenggaraan penataan ruang ini bertujuan
untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan
berkelanjutan berlandaskan wawasan nusantara dan ketahanan nasional dengan:
a) Terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan;
b) Terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan
c) Terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
28
Ruang yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk
ruang di dalam bumi, sebagai tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan
kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya, pada dasarnya ketersediaannya
tidak tak terbatas. Berkaitan dengan hal tersebut, dan untuk mewujudkan ruang
wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan
wawasan nusantara dan ketahanan nasional, undang-undang tentang penataan
ruang ini mengamanatkan perlunya dilakukan penataan ruang yang dapat
mengharmoniskan lingkungan alam dan lingkungan buatan, yang mampu
mewujudkan keterpaduan penggunaan sumber daya alam dan sumber daya
buatan, serta yang dapat memberikan pelindungan terhadap fungsi ruang dan
pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan hidup akibat pemanfaatan ruang.
Kaidah penataan ruang ini harus dapat diterapkan dan diwujudkan dalam setiap
proses perencanaan tata ruang wilayah.
Ruang sebagai sumber daya pada dasarnya tidak mengenal batas wilayah.
Namun, untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman,
produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan
Nasional, serta sejalan dengan kebijakan otonomi daerah yang nyata, luas, dan
bertanggung jawab, penataan ruang menuntut kejelasan pendekatan dalam proses
perencanaannya demi menjaga keselarasan, keserasian, keseimbangan, dan
keterpaduan antar daerah, antara pusat dan daerah, antar sektor, dan antar
pemangku kepentingan. Dalam Undang-Undang ini, penataan ruang didasarkan
pada pendekatan sistem, fungsi utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan
29
Berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah tersebut, wewenang
penyelenggaraan penataan ruang oleh Pemerintah dan pemerintah daerah, yang
mencakup kegiatan pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan
penataan ruang, didasarkan pada pendekatan wilayah dengan batasan wilayah
administratif. Dengan pendekatan wilayah administratif tersebut, penataan ruang
seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri atas wilayah
nasional, wilayah provinsi, wilayah kabupaten, dan wilayah kota, yang setiap
wilayah tersebut merupakan subsistem ruang menurut batasan administratif. Di
dalam subsistem tersebut terdapat sumber daya manusia dengan berbagai macam
kegiatan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya buatan, dan dengan
tingkat pemanfaatan ruang yang berbeda-beda, yang apabila tidak ditata dengan
baik dapat mendorong ke arah adanya ketidakseimbangan pembangunan
antarwilayah serta ketidaksinambungan pemanfaatan ruang. Berkaitan dengan
penataan ruang wilayah kota, Undang-Undang ini secara khusus mengamanatkan
perlunya penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau, yang proporsi
luasannya ditetapkan paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota,
yang diisi oleh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja
ditanam.
Penataan ruang dengan pendekatan kegiatan utama kawasan terdiri atas
penataan ruang kawasan perkotaan dan penataan ruang kawasan perdesaan.
Kawasan perkotaan, menurut besarannya, dapat berbentuk kawasan perkotaan
kecil, kawasan perkotaan sedang, kawasan perkotaan besar, kawasan
metropolitan, dan kawasan megapolitan. Penataan ruang kawasan metropolitan
30
perkotaan inti dengan kawasan perkotaan di sekitarnya yang saling memiliki
keterkaitan fungsional dan dihubungkan dengan jaringan prasarana wilayah yang
terintegrasi, merupakan pedoman untuk keterpaduan perencanaan tata ruang
wilayah administrasi di dalam kawasan, dan merupakan alat untuk
mengoordinasikan pelaksanaan pembangunan lintas wilayah administratif yang
bersangkutan. Penataan ruang kawasan perdesaan diselenggarakan pada kawasan
perdesaan yang merupakan bagian wilayah kabupaten atau pada kawasan yang
secara fungsional berciri perdesaan yang mencakup 2 (dua) atau lebih wilayah
kabupaten pada 1 (satu) atau lebih wilayah provinsi. Kawasan perdesaan yang
merupakan bagian wilayah kabupaten dapat berupa kawasan agropolitan.
Dalam hal ini, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang memerintahkan perlunya perlindungan terhadap kawasan lahan abadi
pertanian pangan yang pengaturannya dengan Undang-Undang. Untuk itu,
perlindungan lahan pertanian pangan perlu dilakukan dengan menetapkan
kawasan-kawasan pertanian pangan yang perlu dilindungi. Kawasan pertanian
pangan merupakan bagian dari penataan kawasan perdesaan pada wilayah
kabupaten. Dalam kenyataannya lahan-lahan pertanian pangan berlokasi di
wilayah kota juga perlu mendapat perlindungan. Perlindungan kawasan pertanian
pangan dan lahan pertanian pangan meliputi perencanaan dan penetapan,
pengembangan, penelitian, pemanfaatan dan pembinaan, pengendalian,
pengawasan, pengembangan sistem informasi, perlindungan dan pemberdayaan
petani, peran serta masyarakat, dan pembiayaan. Perlindungan kawasan dan lahan
pertanian pangan dilakukan dengan menghargai kearifan budaya lokal serta
31
Maka sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor
26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, strategi dan arahan kebijaksanaan
pemanfaatan ruang wilayah nasional perlu dijabarkan ke dalam rencana tata ruang
provinsi dan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota. Sebagai pelaksanaan
peraturan perundang-undangan tersebut, maka Pemerintah Kabupaten Semarang
telah membuat Peraturan Daerah Kabupaten Semarang Nomor 6 Tahun 2011
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Semarang Tahun 2011-2031.
Kota Salatiga juga telah membuat Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 4 Tahun
2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Salatiga Tahun 2010-2030. Hal
ini bertujuan agar pembangunan di Kabupaten Semarang dan Kota Salatiga perlu
diarahkan dengan memanfaatkan ruang wilayah secara berdaya guna, berhasil
guna, serasi, selaras, seimbang, dan berkelanjutan dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan. Selain itu, dalam rangka
mewujudkan keterpaduan pembangunan antar sektor, daerah, dan masyarakat
maka rencana tata ruang wilayah merupakan arahan lokasi investasi pembangunan
yang dilaksanakan pemerintah, masyarakat, dan/atau dunia usaha. Dalam hal ini,
pelaksanaan pembangunan di Kabupaten Semarang dan Kota Salatiga harus sesuai
dengan rencana tata ruang, agar dalam pemanfaatan ruang tidak bertentangan
dengan substansi RTRW daerah yang telah disepakati.
Jadi pada dasarnya asas dan tujuan penyelenggaraan penataan ruang
didasarkan pada asas keberlanjutan dimana kelestarian dan kelangsungan daya
dukung dan daya tampung lingkungan yang ada selalu memperhatikan
kepentingan generasi mendatang, tidak hanya kepentingan di masa sekarang saja
32
berkelanjutan. Arti penting dan bernilainya ruang yang bisa di mukimi manusia
dan makluk hidup lainnya, telah diterjemahkan oleh setiap negara melalui ikhtiar
pengaturan penataan ruang, yang hampir bisa dipastikan misinya adalah
bagaimana menjadikan ruang semakin habitable (layak huni) seraya kelangsungan
manfaat ruang untuk manusia generasi mendatang.9
B.
Hasil Penelitian
1. Isi Pengaturan Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Keberhasilan pembangunan pertanian tidak lepas dari upaya secara
berkelanjutan untuk melakukan pemanfaatan lahan dengan sebaik-baiknya. Lahan
memiliki fungsi yang sangat penting dalam pengembangan usaha pertanian. Oleh
karena itu, keberadaan lahan pertanian perlu dilindungi, dijaga serta
dikembangkan secara terus menerus sehingga mampu mendukung peningkatan
produksi dan ketahanan pangan nasional.
Akan tetapi, muncul suatu persoalan bahwa ketersediaan lahan pertanian,
terutama lahan untuk sawah, semakin lama malah semakin berkurang.
Ketersediaan luas lahan yang ada bersifat tetap, sedangkan jumlah pengguna akan
lahan ini semakin meningkat seiring dengan lajunya pertumbuhan penduduk dan
pertumbuhan ekonomi. Yang terjadi kemudian adalah sulitnya untuk menghindari
alih fungsi lahan. Alih fungsi lahan yaitu perubahan fungsi sebagian atau seluruh
kawasan lahan dari fungsinya seperti yang direncanakan semula. perubahan
9
Herman Hermit, Pembahasan Undang-Undang Penataan Ruang (UU No. 26 Tahun 2007),
33
penggunaan lahan. Alih fungsi lahan yang terjadi di tingkat daerah ini seolah-olah
tidak terbendung. Oleh karena itu, pemerintah telah mengeluarkan peraturan
perundang-undangan baik itu di tingkat pusat, provinsi, maupun di daerah sebagai
acuan pelaksanaan dalam rangka untuk melindungi lahan pertanian serta menekan
lajunya alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian.
a. Peraturan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Di Tingkat Pusat
Terdapat 14 peraturan perundang-undangan yang terkait dengan upaya
perlindungan lahan pertanian. Peraturan tersebut diantaranya adalah sebagai
berikut:
1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan
Isi dari ketentuan undang-undang ini dapat dibagi ke dalam:
a) Perlindungan lahan pertanian berkelanjutan
Pasal 1 ayat (3):
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional.
Pasal 6:
Perlindungan lahan pertanian pangan mencakup lahan pertanian pangan dan lahan cadangan pangan berkelanjutan yang berada di dalam atau di luar kawasan pertanian pangan.
Pasal 18:
Perlindungan lahan pertanian berkelanjutan dilakukan dengan penetapan:
(a) kawasan pertanian pangan berkelanjutan
(b) lahan pertanian pangan berkelanjutan di dalam dan di luar kawasan pertanian pangan berkelanjutan
34 b) Pengaturan alih fungsi lahan
Pasal 44 ayat (1), (2) dan (3):
(1) Lahan yang sudah ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan dilarang dialihfungsikan.
(2) Dalam hal untuk kepentingan umum, lahan pertanian pangan berkelanjutan dapat dialihfungsikan dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
(3) Pengalihfungsian lahan yang telah ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan hanya dapat dilakukan dengan syarat yaitu:
(a) dilakukan kajian kelayakan strategis, (b) disusun rencana alih fungsi lahan,
(c) dibebaskan kepemilikan haknya dari pemilik, dan
(d) disediakan lahan pengganti terhadap lahan pertanian pangan berkelanjutan yang dialihfungsikan.
Pasal 46 ayat (1):
(1) Penyediaan lahan pengganti terhadap Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang dialihfungsikan dilakukan atas dasar kesesuaian lahan, dengan ketentuan sebagai berikut:
(a) Paling sedikit tiga kali luas lahan dalam hal yang dialihfungsikan lahan beririgasi
(b) Paling sedikit dua kali luas lahan dalam hal yang dialihfungsikan lahan reklamasi rawa pasang surut dan nonpasang surut (lebak), dan
(c) Paling sedikit satu kali luas lahan dalam hal yang dialihfungsikan lahan tidak beririgasi.
Pasal 49:
Lahan pengganti lahan pertanian pangan berkelanjutan ditetapkan dengan:
(a) Peraturan daerah kabupaten/kota dalam hal lahan pengganti terletak di dalam satu kabupaten/kota pada satu provinsi,
(b) Peraturan daerah provinsi dalam hal lahan pengganti terletak di dalam dua kabupaten/kota atau lebihpada satu provinsi, dan (c) Peraturan pemerintah dalam hal lahan pengganti terletak di
dalam dua provinsi atau lebih.
Pasal 50 ayat (1) dan (2):
(1) Segala bentuk perizinan yang mengakibatkan alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan batal demi hukum, kecuali untuk kepentingan umum;
35
2) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2011 tentang Penetapan Dan alih
Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Pasal 35:
(1) Lahan yang sudah ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilindungi dan dilarang dialihfungsikan.
(2) Alih fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan hanya dapat dilakukan oleh pemerintah atau pemerintah daerah dalam rangka pengadaan tanah untuk kepentingan umum atau terjadi bencana.
Pasal 38:
(1) Penyediaan lahan pengganti lahan pertanian pangan berkelanjutan dilakukan oleh pihak yang mengalihfungsikan
(2) Dalam hal alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan dilakukan karena terjadi bencana, lahan pengganti wajib disediakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
3) Keputusan Presiden Republik Indonesia No 53 Tahun 1989 Tentang
Kawasan Industri
Pasal 7:
Pembangunan Kawasan Industri tidak mengurangi areal tanah pertanian dan tidak dilakukan di atas tanah yang mempunyai fungsi utama untuk melindungi sumber daya alam dan warisan budaya.
4) Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1990 Tentang Penggunaan Tanah
Bagi Pembangunan Kawasan Industri
Pasal 1 ayat (1):
Pencadangan tanah dan/atau pemberian ijin lokasi dan ijin pembebasan tanah bagi setiap perusahaan kawasan industri, dilakukan dengan ketentuan tidak mengurangi areal tanah pertanian
Pasal 2 huruf (a):
Pelaksanaan kegiatan pembangunan kawasan industri juga tidak dapat dilakukan pada kawasan pertanian.
5) Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 590/11108/SJ tanggal 24
Oktober 1984 Tentang Perubahan Tanah Pertanian ke Non Pertanian
36
usaha peningkatan produksi pangan. Mengintruksikan kepada Bappeda untuk melaksanakan inventarisasi yang teliti tentang status penggunaan tanah yang dialih fungsi berdasarkan data dari instansi-instansi yang berkaitan. Mengeluarkan Perda sesuai dengan Peraturan Perundangan yang berlaku berkaitan dengan penggunaan tanah pertanian.
6) Surat Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 410-1851 tanggal 15
Juni 1994 Tentang Pencegahan Penggunaan Tanah Sawah Beririgasi
Teknis Untuk Penggunaan Non Pertanian Melalui Penyusunan Rencana
Tata Ruang
Menginstruksikan kepada semua Gubernur dan semua Bupati/Walikota untuk menghindarkan ketidakcocokan antara Rencana Tata Ruang dan larangan penggunaan tanah sawah beririgasi teknis untuk non pertanian, maka dalam menyusun Rencana Tata Ruang wilayah agar tidak memperuntukkan tanah sawah beririgasi teknis untuk penggunaan non pertanian. apabila terpaksa harus memperuntukkan tanah sawah beririgasi teknis untuk kegiatan non pertanian karena pertimbangan-pertimbangan tertentu, agar terlebih dahulu dikonsultasikan kepada Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional yang diberi tugas antara lain untuk menangani masalah tata ruang yang terjadi di daerah.
7) Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 410-2261 tanggal 22 Juli 1994 tentang Pencegahan
Penggunaan Tanah Sawah Beririgasi Teknis untuk Penggunaan Tanah
Non-Pertanian
37
8) Surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua
Bappenas Nomor: 5334/MK/9/1994 Tanggal 29 September 1994
tentang Perubahan Penggunaan Tanah Sawah Beririgasi Teknis untuk
Penggunaan Non-Pertanian yang ditujukan kepada Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Jo. Surat Edaran Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 460-3346
Tanggal 31 Oktober 1994 tentang Perubahan Penggunaan Tanah Sawah
Beririgasi Teknis untuk Penggunaan Tanah Nonpertanian
Menyampaikan petunjuk agar dalam rangka pemberian izin pemanfaatan ruang atau izin lokasi harus mengacu ke RTRW tang telah ada dan tidak memberikan izin lokasi kepada lahan sawah beririgasi teknis. Terhadap izin lokasi yang terlanjur diterbitkan, diberlakukan pembatasan-pembatasan sampai izin lokasinya habis dan tidak dapat diperpanjang lagi, dengan memperhatikan kemajuan pembebasan tanah dan kegiatan pembangunan dimaksud.
9) Surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional /Ketua
BAPPENAS Nomor 5335/MK/9/1994 tanggal 29 September 1994
tentang Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah tingkat
Kabupaten/Kota
Menginstruksikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk mencegah perubahan penggunan sawah beririgasi teknis untuk penggunaan diluar pertanian. Dalam menegakkan ketentuan tersebut maka Rencana Tata Ruang Wilayah yang didalamnya tercantum rencana penggunaan tanah sawah beririgasi teknis untuk penggunaan bukan pertanian perlu disempurnakan. Selain itu Rencana Tata Ruang Wilayah yang telah ada dan yang sedang dipersiapkan agar sungguh-sungguh sesuai dengan kaidah-kaidah tata ruang yang benar.
10)Surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/Ketua BAPPENAS
Nomor 5417/MK/10/1994 tanggal 4 Oktober 1994 tentang Efisiensi
38
Ditujukan kepada Menteri Negara Perumahan Rakyat untukmengarahkan lokasi pengembangan perumahan pada lahan-lahanyang telah diberikan izin lokasi yang telah ada serta menghindari lahan sawah beririgasi teknis.
11)Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 474/4263/SJ tanggal 27
Desember 1994 tentang Peninjauan Kembali RTRW Provinsi dan
Kabupaten/Kota
Ditujukan kepada Gubernur serta tembusannya kepada Bupati/Walikota se-Indonesia, menyampaikan petunjuk agar keberadaan lahan sawah beririgasi teknis dipertahankan, dengan cara tidak mengijinkan perubahan penggunaan lahan pertanian irigasi teknis menjadi penggunaan lahan non-pertanian, mengamankan jaringan beririgasi teknis yang ada serta memanfaatkannya semaksimal mungkin untuk peningkatan produksi pertanian. Bagi RTRW Kabupaen/Kota yang didalamnya tercantum rencana alih fungsi penggunaan lahan sawah beririgasi teknis ke penggunaan lahan non-pertanian, maka RTRW tersebut agar disempurnakan atau ditinjau kembali dengan mengikuti kaidah-kaidah tata ruang yang benar.
12)Surat Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 460-1594 tanggal 5
Juni 1996 tentang Pencegahan Konversi Tanah Sawah Irigasi Teknis
Menjadi Tanah Kering
39
b. Peraturan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Di Tingkat Provinsi
Terdapat 3 peraturan perundang-undangan di tingkat Provinsi Jawa
Tengah yang terkait dengan upaya perlindungan lahan pertanian pangan
berkelanjutan. Peraturan tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 2 Tahun 2013 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan Provinsi Jawa Tengah
Pasal 23:
Pemerintah Daerah melindungi luasan lahan pertanian pangan berkelanjutan dan dilarang untuk dialihfungsikan. Larangan alih fungsi tersebut dikecualikan lahan pertanian pangan berkelanjutan dalam rangka pengadaan tanah untuk kepentingan umum atau terjadi bencana. Setiap orang yang melakukan alih fungsi pada lahan pertanian pangan berkelanjutan di luar ketentuan wajib mengembalikan keadaan tanah lahan pertanian pangan berkelanjutan ke keadaan semula.
2) Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 47 Tahun 2013 tentang Petunjuk
Teknis, Kriteria, Persyaratan, Dan Tata Cara Alih Fungsi Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan Provinsi Jawa Tengah
Pasal 11:
Lahan yang sudah ditetapkan berdasarkan kriteria dan persyaratan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilindungi dan dilarang dialihfungsikan serta hanya dapat dilakukan oleh pemerintah atau pemerintah daerah dalam rangka pengadaan tanah untuk kepentingan umum atau terjadi bencana.
3) Instruksi Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/107/1985 tanggal 25 Maret
1985 tentang Pencegahan Perubahan Tanah Pertanian ke Non Pertanian
yang Tidak Terkendalikan
40
terkendali sehingga dapat mengganggu usaha peningkatan produksi pangan. Berhubung dengan itu, dipandang perlu mengeluarkan instruksi untuk pencegahan terjadinya hal tersebut.
Menginstruksikan kepada semua Bupati/Walikota untuk melaksanakan upaya pencegahan terjadinya alih fungsi tanah pertanian ke non pertanian yang tidak terkendali, juga menginstruksikan kepada Kepala BPN Propinsi untuk membantu Bupati/Walikota dalam melaksanakan instruksi tersebut dan mengeluarkan petunjuk teknis instruksi tersebut serta melakukan pengawasan atas pelaksanaan instruksi tersebut.
Setiap perubahan tanah pertanian ke non pertanian harus dengan ijin dari Bupati/Walikota. Dalam rangka penyelesaian permohonan ijin perubahan tanah pertanian ke non pertanian, harus memperhatikan pertimbangan dari Panitia Pertimbangan Perubahan Penggunaan Tanah Pertanian ke Non Pertanian yang dibentuk oleh Bupati/Walikota. Bupati/Walikota melakukan pengawasan terhadap terjadinya atau kemungkinan terjadinya perubahan tanah pertanian ke non pertanian di secara koordinatif dengan instansi-instansi pemerintah yang ada di daerah.
Bupati/Walikota dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota selalu memonitor dan melakukan pendataan terhadap pelaksanaan ijin perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian.
c. Peraturan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Di Kabupaten Semarang
Pemerintah Kabupaten Semarang belum menetapkan peraturan daerah
tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Pengaturan
terkait perlindungan lahan pertanian di Kabupaten Semarang hanya dapat
ditemukan di dalam Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Semarang yang akan dibahas dalam sub bab berikutnya dalam
41
d. Peraturan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Di Kota Salatiga
Terdapat 1 peraturan perundang-undangan di Kota Salatiga yang terkait
dengan upaya perlindungan lahan pertanian. Peraturan tersebut adalah
sebagai berikut:
1) Surat Keputusan Walikota Salatiga Nomor 591.05/23/2002 tanggal 1
Februari 2002 tentang Panitia Pertimbangan Perubahan Penggunaan Tanah
Pertanian ke Non Pertanian
Memperhatikan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 590/11108/SJ tanggal 24 Oktober 1984 tentang Perubahan Tanah Pertanian ke Non Pertanian dan Instruksi Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/107/1985 tanggal 25 Maret 1985 tentang Pencegahan Perubahan Tanah Pertanian ke Non Pertanian yang Tidak Terkendali, Walikota Salatiga memutuskan Panitia Pertimbangan Perubahan Penggunaan Tanah Pertanian ke Non Pertanian yang memiliki tugas yaitu:
a. Membantu Walikota dalam pengendalian dan penyelesaian ijin perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian dari seseorang/badan hukum dengan menyajikan bahan-bahan pertimbangan tentang tanah yang menjadi obyek permohonan,
b. Mengadakan peninjauan lapangan dan wawancara dengan pemohon menyangkut status tanah, keadaan fisik tanah dan lingkungan hidup sekitarnya,
c. Membuat Berita Acara hasil-hasil sidang dan pemeriksaan tanah,
d. Bertanggung jawab dan melaporkan hasilnya kepada Walikota.
2. Isi Pengaturan Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Tujuan dari diadakannya suatu pembangunan berkelanjutan adalah dalam
rangka mencapai sebuah kualitas kehidupan yang lebih baik bagi semua secara
adil dan seimbang untuk saat ini, esok dan juga generasi mendatang. Dalam
42
terjadinya menurunnya kualitas lingkungan yang secara perlahan dampaknya
mulai dirasakan oleh masyarakat. Oleh karena itu, kebijakan pembangunan
berkelanjutan yang ada harus mampu menjaga serta meningkatkan kualitas
lingkungan.
Dalam upaya mencapai tujuan nasional, dilakukanlah kegiatan
pembangunan nasional sebagai rangkaian upaya pembangunan yang
berkesinambungan yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa
dan negara.10 Dampak dari dilakukannya kegiatan tersebut adalah memungkinkan
terjadinya pemanfaatan lingkungan secara berlebihan sehingga dapat
mengakibatkan pengrusakan dan pencemaran lingkungan secara global. Maka,
dalam rangka untuk mengurangi kemungkinan timbulnya dampak negatif dari
kegiatan pembangunan nasional tersebut diperlukanlah suatu perencanaan
pembangunan yang baik.
Fenomena mengenai alih fungsi lahan juga tidak lepas dari pengaruh adanya
kegiatan pembangunan nasional. Alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian
yang terjadi seperti pembangunan di sektor industri, perumahan, jasa serta
kegiatan pembangunan perekonomian lainnya telah memicu terjadinya alih fungsi
lahan yang tak terkendali. Hal ini tentunya juga berkaitan dengan pengaturan
tentang penataan ruang.
Penyelenggaraan penataan ruang wilayah nasional diatur dalam
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Penataan ruang adalah
proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan
ruang. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dapat menjadi fungsi koordinasi
10 Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan
43
dan pengendalian dengan munculnya pemahaman bersama mengenai
pembangunan nasional kedepannya. Tata ruang merupakan wujud struktur ruang
dan pola ruang yang disusun secara nasional, regional, dan lokal. Secara nasional,
pengaturan tata ruang ini diatur dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
yang kemudian dijabarkan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan
juga diturunkan kembali ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.
a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
Berdasarkan ketentuan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang yang mengatur bahwa rencana tata ruang
wilayah nasional yang ada haruslah diatur lebih lanjut ke dalam peraturan
pemerintah, maka terbentuklah Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
Salah satu tujuan dari perencanaan tata ruang wilayah nasional
adalah untuk mewujudkan ruang wilayah yang aman, nyaman, produktif dan
berkelajutan. Menurut penjelasan dalam Pasal 2 PP No. 26 Tahun 2008
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, produktif disini berarti
proses produksi dan distribusi yang berjalan secara efisien sehingga mampu
memberikan nilai tambah ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat,
sekaligus meningkatkan daya saing. Sementara itu berkelanjutan dapat
diartikan sebagai kondisi kualitas lingkungan fisik yang dapat dipertahankan
bahkan ditingkatkan, termasuk pula antisipasi untuk mengembangkan
orientasi ekonomi kawasan setelah habisnya sumber daya alam tak
44
dalam kegiatan ekonomi serta dukungan sumber daya alam yang ada dalam
rangka pembangunan kegiatan ekonomi tersebut.
Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam PP No. 26 tahun 2008
tentang RTRW Nasional, kawasan peruntukan pertanian masuk ke dalam
kategori kawasan budidaya. Penetapan kawasan peruntukan pertanian ini
dilakukan dengan memperhatikan beberapa kriteria yaitu:11
a) Memiliki kesesuaian lahan untuk dikembangkan sebagai kawasan
pertanian;
b) Ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan abadi;
c) Mendukung ketahanan pangan nasional; dan/atau
d) Dapat dikembangkan sesuai dengan tingkat ketersediaan air.
Kriteria-kriteria tersebut sangatlah perlu untuk diperhatikan karena
apabila alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian berlangsung secara
terus-menerus akan berdampak pada sulitnya untuk memperoleh kesesuaian
lahan yang dapat digunakan untuk mengembangkan kawasan pertanian.
Dengan adanya kesesuaian lahan ini maka langkah selanjutnya yaitu perlu
adanya penetapan perlindungan atas lahan pertanian tersebut agar dapat
dimanfaatkan secara berkelanjutan dalam rangka mendukung program
ketahanan pangan nasional.
Selain itu pula, menurut penjelasan Pasal 66 ayat (1) PP No. 26
Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, penetapan
kriteria kawasan peruntukan pertanian secara tepat diharapkan akan
45
mendorong terwujudnya kawasan pertanian yang memberikan manfaat
berikut:
a) Memelihara dan meningkatkan ketahanan pangan nasional;
b) Meningkatkan daya dukung lahan melalui pembukaan lahan baru untuk pertanian tanaman pangan (padi sawah, padi gogo, palawija, kacang-kacangan dan umbi-umbian), perkebunan, peternakan, holtikultura dan pendayagunaan investasi;
c) Meningkatkan perkembangan pembangunan lintas sektor dan sub sektorserta kegiatan ekonomi sekitarnya;
d) Meningkatkan upaya pelestarian dan konservasi sumber daya alam untuk pertanianserta fungsi lindung;
e) Menciptakan kesempatan kerja dan meningkatkan pendapatan serta kesejahteraan masyarakat;
f) Meningkatkan pendapatan nasional dan daerah;
g) Mendorong perkembangan industri hulu dan hilir melalui efek kaitan; h) Mengendalikan adanya alih fungsi lahan dari pertanian ke non
pertanian agar keadaan lahan tetap abadi;
i) Melestarikan nilai sosial budaya dan daya tarik kawasan perdesaan; dan/atau
j) Mendorong pengembangan sumber energi terbarukan.
Terkait dengan upaya agar kriteria penetapan kawasan pertanian ini
ditaati oleh semua pihak, maka diperlukanlah suatu instrumen
pengendaliannya yaitu salah satunya dengan menyusun peraturan zonasi.
Hal ini diatur dalam Pasal 108 PP No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional yang menyatakan bahwa peraturan zonasi untuk
kawasan peruntukan pertanian disusun dengan memperhatikan:
a) Pemanfaatan ruang untuk pemukiman petani dengan kepadatan
rendah; dan
b) Ketentuan pelarangan alih fungsi lahan menjadi lahan budidaya non
pertanian kecuali untuk pembangunan sistem jaringan prasarana
utama.
Peraturan mengenai zonasi ini tentunya mendukung pula dengan
46
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang pada dasarnya
mengatur tentang adanya larangan pengalihfungsian lahan pertanian ke non
pertanian.
b. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah
Sesuai dengan ketentuan Pasal 78 ayat (4) huruf b UU No. 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang yaitu setiap daerah provinsi diwajibkan untuk
menyusun peraturan daerah mengenai rencana tata ruang wilayah provinsi,
maka Pemerintah Provinsi Jawa Tengah telah membentuk Peraturan Daerah
Provinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009-2029. Rencana tata ruang
wilayah Provinsi Jawa Tengah ini merupakan arahan kebijakan dan strategi
pemanfaatan ruang wilayah daerah yang menjadi pedoman bagi penataan
ruang wilayah daerah yang merupakan dasar dalam penyusunan program
pembangunan.
Tujuan dari dibentuknya penataan ruang wilayah provinsi ini adalah
demi terwujudnya ruang Provinsi Jawa Tengah yang lestari dengan
memperhatikan pemerataan pembangunan wilayah.12 Selain itu, rencana tata
ruang wilayah Provinsi Jawa Tengah juga dijadikan pedoman untuk:13
a) Pembangunan dan rujukan bagi penyusunan rencana pembangunan
jangka panjang daerah dan rencana pembangunan jangka menengah
daerah;
b) Perumusan kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang di wilayah
provinsi;
12 Pasal 4 Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Rencana Tata
47
c) Mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan
perkembangan wilayah provinsi serta keserasian antar sektor;
d) Pengarahan lokasi investasi yang dilaksanakan pemerintah daerah
dan/atau masyarakat;
e) Pengawasan terhadap perizinan lokasi pembangunan;
f) Penyusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota;
g) Rujukan bagi penyusunan rencana penanggulangan bencana; dan
h) Penyusunan rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Terkait dengan upaya untuk melindungi lahan pertanian, pemerintah
daerah Provinsi Jawa Tengah telah menetapkan kawasan peruntukan
pertanian yang masuk ke dalam kategori kawasan budidaya. Kawasan
budidaya ini merupakan wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama
untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam,
sumber daya manusia dan sumber daya buatan. Dalam ketentuan Pasal 30
Perda Provinsi Jawa Tengah No. 6 Tahun 2010 tentang RTRW Provinsi
Jawa Tengah Tahun 2009-2029 menyebutkan bahwa pola ruang wilayah
provinsi menggambarkan rencana sebaran kawasan lindung dan kawasan
budidaya. Dan pola ruang untuk kawasan budidaya tersebut salah satunya
meliputi kawasan peruntukan pertanian.
Kawasan peruntukan pertanian itu sendiri dibagi lagi ke dalam 2
jenis yaitu kawasan pertanian lahan basah dan kawasan pertanian lahan
kering. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah telah menetapkan kawasan
pertanian lahan basah yang diarahkan untuk dipertahankan sebagai kawasan
48
955.587 hektar ditetapkan sebagai kawasan pertanian lahan kering yang
disebar ke dalam beberapa kabupaten/kota di Jawa Tengah.
c. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Semarang
Sebagaimana apa yang telah dijelaskan dalam UU No. 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang bahwa penataan ruang wilayah kota, wilayah
provinsi, dan wilayah kabupaten/kota dilakukan secara terpadu dan tidak
dipisah-pisahkan. Penyusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota
mengacu kepada rencana tata ruang wilayah nasional dan rencana tata ruang
wilayah provinsi. Di Kabupaten Semarang, peraturan mengenai penataan
ruang ini diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Semarang Nomor 6
Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Semarang
Tahun 2011-2031.
Dalam penjelasan umum Perda RTRW Kabupaten Semarang antara
lain disebutkan bahwa wilayah Kabupaten Semarang meliputi daratan,
perairan dan udara, terdiri dari wilayah kecamatan yang masing-masing
merupakan suatu ekosistem. Masing-masing subsistem meliputi aspek
politik, sosial budaya, pertahanan keamanan, dan kelembagaan dengan
corak ragam dan daya dukung yang berbeda satu dengan yang lainnya.
penataan ruang daerah yang yang didasarkan pada karakteristik dan daya
dukungnya serta didukung oleh teknologi yang sesuai, akan meningkatkan
keserasian, keselarasan dan keseimbangan subsistem yang satu berpengaruh
pada subsistem yang lainnya, sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi
sistem ruang secara keseluruhan serta dalam pengaturan ruang yang
49
memadukan berbagai kebijakan pemanfaatan ruang. Dengan maksud
tersebut, maka pelaksanaan pembangunan di Kabupaten Semarang harus
sesuai dengan rencana tata ruang agar dalam pemanfaatan ruang tidak
bertentangan dengan substansi RTRW daerah yang telah disepakati.
Tujuan dibentuknya penataan ruang wilayah ini adalah terwujudnya
daerah sebagai penyangga ibukota Provinsi Jawa Tengah dalam arti
penyangga perekonomian wilayah terutama pada sektor industri, jasa-jasa,
dan pertanian, serta penyangga ekologi wilayah berkaitan dengan
keberadaan kawasan lindung dan pemanfaatan sumberdaya air lintas
wilayah. Selain itu juga bertujuan sebagai kawasan pertumbuhan dalam
rangka mendorong pembangunan ekonomi di selurung wilayah Kabupaten
Semarang berbasis industri, pertanian dan pariwisata yang aman, nyaman,
produktif, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Penyusunan rencana
tata ruang wilayah Kabupaten Semarang ini juga menjadi pedoman dan
rujukan bagi:14
a) Perumusan kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang wilayah;
b) Terwujudnya keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan
perkembangan antar wilayah serta keserasian antar sektor;
c) Pengarahan lokasi investasi yang dilaksanakan pemerintah dan/atau
masyarakat; dan
d) Pengawasan terhadap perijinan lokasi pembangunan.
Terkait dengan upaya perlindungan lahan pertanian di Kabupaten
Semarang, masuk ke dalam ruang lingkup rencana pola ruang wilayah. Pola
14 Pasal 94 Peraturan Daerah Kabupaten Semarang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Rencana Tata
50
ruang wilayah kabupaten ini merupakan rencana distribusi peruntukan ruang
wilayah kabupaten yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung
dan budidaya yang dituju sampai dengan akhir masa berlakunya RTRW
Kabupaten Semarang 20 tahun yang dapat memberikan gambaran
pemanfaatan ruang wilayah kabupaten yang dituju sampai dengan akhir
masa berlakunya perencanaan 20 tahun. Kawasan budidaya adalah wilayah
yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar
kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber
daya buatan. Pola ruang kawasan budidaya salah satunya meliputi kawasan
peruntukan pertanian dan kawasan pertanian tanaman pangan masuk ke
dalam salah satu kategori tersebut. Kawasan pertanian tanaman pangan
merupakan lahan pertanian sawah atau lahan basah yang digunakan untuk
tanaman pangan sesuai dengan pola tanamnya yang perairannya dapat
diperoleh secara alamiah maupun teknis.
Upaya perlindungan lahan pertanian oleh Pemerintah Kabupaten
Semarang dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 32 ayat (1) sampai ayat (3)
Perda Kabupaten Semarang No. 6 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupten Semarang Tahun 2011-2031 yang berbunyi:
1) Kawasan peruntukan pertanian meliputi: a) Kawasan pertanian tanaman pangan; b) Kawasan holtikultura;
c) Kawasan perkebunan; d) Kawasan peternakan.
2) Kawasan pertanian tanaman pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tersebar di seluruh Kabupaten Semarang, dengan luas keseluruhan kurang lebih 24.340 hektar.
51
Dari ketentuan tersebut dapat diartikan bahwa Pemerintah
Kabupaten Semarang telah menargetkan keseluruhan kawasan pertanian
tanaman pangan seluas ± 24.340 hektar pada tahun 2031 mendatang. Selain
itu, luas kawasan pertanian pangan berkelanjutan yang dipenuhi dari luas
kawasan peruntukan pertanian tanaman pangan yang diperthanakan
keseluruhan atau sekurang-kurangnya seluas ± 22.896 hektar juga telah
ditetapkan.
Dalam rangka untuk mempertahankan luas kawasan pertanian
tanaman pangan diperulakanlah upaya pengendalian pemanfaatan ruang
untuk mencegah adanya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian. Pasal
61 huruf (b) dan (c) Perda RTRW Kabupaten Semarang telah mengatur
bahwa “ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan pertanian tanaman pangan disusun dengan memperhatikan mencegah alih fungsi
lahan pertanian lahan basah terutama lahan sawah beririgasi menjadi
lahan budidaya non-pertanian dan ketentuan pelarangan alih fungsi lahan
basah beririgasi menjadi lahan budidaya non-pertanian kecuali untuk
pembangunan kepentingan umum harus mengacu peraturan
perundang-undangan yang berlaku.”15 Ketentuan mengenai peraturan zonasi ini tentunya sangat mendukung program pemerintah pusat untuk menekan
terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian.
15
52
d. Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Salatiga
Sesuai dengan ketentuan Pasal 26 ayat (7) UU No. 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang, rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota
ditetapkan dengan peraturan daerah kabupaten/kota. Maka berdasarkan
ketentuan tersebut RTRW Kota Salatiga diatur dalam Peraturan Daerah
Kota Salatiga Nomor 4 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Kota Salatiga Tahun 2010-2030.
Sebagai salah satu rencana tata ruang skala kota, rencana tata ruang
wilayah kota merupakan tahapan penting dalam proses penataan ruang
secara keseluruhan, memuat konsep-konsep dan kebijakan pengembangan,
serta koordinasi antar instansi terkait dalam proses pengaturan ruang.
Dengan ditetapkannya UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan
PP No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional,
mengamanatkan bahwa dalam penataan ruang perlu diperhatikan 3 tahapan
yaitu perencanaan ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian ruang.
Rencana tata ruang wilayah Kota Salatiga ini memiliki peran dan
fungsi sebagai alat operasionalisasi pelaksanaan pembangunan di wilayah
Kota Salatiga. Selain itu rencana tata ruang wilayah Kota Salatiga juga
menjadi pedoman untuk:16
a) Memformulasikan kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah kota;
b) Mewujudkan keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan perkembangan wilayah Kota Salatiga serta keserasian antarsektor; c) Memberikan arah bagi penyusunan indikasi program utama dalam
RTRW kota;
d) Pengarahan lokasi investasi yang dilaksanakan pemerintah dan/atau masyarakat; dan
16 Pasal 3 Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 4 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang
53
e) Penetapan ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kota.
Terkait dengan upaya perlindungan lahan pertanian, Pemerintah
Kota Salatiga telah menetapkan ketentuan luas kawasan peruntukan
pertanian. Hal itu masuk ke dalam kategori rencana pola ruang wilayah kota
untuk kawasan budidaya. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 55
ayat (1) sampai dengan ayat (4) Peraturan Daerah Kota Salatiga No. 4
Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Salatiga yang
berbunyi:
1) Kawasan peruntukan pertanian meliputi: a) Pertanian tanaman pangan; b) Holtikultura;
c) Perkebunan; dan d) Peternakan.
2) Kawasan pertanian tanaman pangan sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a meliputi:
a) Kawasan pertanian peruntukan lahan basah; dan b) Kawasan pertanian peruntukan lahan kering.
3) Kawasan peruntukan lahan basah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi:
a) Sawah beririgasi teknis ditetapkan sebagai kawasan lahan pertanian pangan berkelanjutan dengan luas kurang lebih 274 hektar terletak di sebagian Kelurahan Ledok, Kelurahan Tingkir Tengah, Kelurahan Tingkir Lor, Kelurahan Kalibening, Kelurahan Kutowinangun, Kelurahan Mangunsari, Kelurahan Salatiga, dan Kelurahan Kauman Kidul.
b) Sawah beririgasi setengah teknis terletak di sebagian Kelurahan Tingkir Tengah, Kelurahan Sidorejo Kidul, Kelurahan Kecandran, Kelurahan Pulutan, Kelurahan Sidorejo Lor, Kelurahan Bugel, dan Kelurahan Kauman Kidul; dan
c) Sawah beririgasi sederhana terletak di sebagian Kelurahan Ledok, Kelurahan Pulutan, Kelurahan Blotongan, dan Kelurahan Kauman Kidul.
4) Kawasan peruntukan pertanian lahan kering ditetapkan sebagai kawasan lahan pertanian pangan berkelanjutan dengan luas kurang lebih 205 hektar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi:
54
c) Sebagian Kecamatan Argomulyo; dan d) Sebagian Kecamatan Sidomukti.
Dengan ketentuan tersebut berarti bahwa Pemerintah Kota Salatiga
pada tahun 2030 mendatang telah menargetkan seluas ± 274 hektar sawah
beririgasi teknis sebagai kawasan lahan pertanian pangan berkelanjutan
untuk kawasan peruntukan pertanian lahan basah. Serta yang ditambah
dengan kawasan peruntukan pertanian lahan kering seluas ±205 hektar
sebagai kawasan lahan pertanian pangan berkelanjutan.
Selain itu pula terkait dengan permasalahan adanya alih fungsi lahan
pertanian ke nonpertanian, Pemerintah Kota Salatiga juga telah berupaya
untuk menekan laju alih fungsi lahan tersebut. Hal ini didasarkan pada
ketentuan yang terdapat dalam Pasal 55 ayat (8) huruf a dan b Peraturan
Daerah Kota Salatiga No. 4 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota Salatiga yang berbunyi Rencana pengembangan kawasan
peruntukan pertanian meliputi:
a) Pembatasan alih fungsi lahan pertanian tanaman pangan
untuk kegiatan non pertanian;
b) Peningkatan status sawah beririgasi sederhana dan setengah
teknis secara bertahap menjadi sawah beririgasi teknis.
C.
Analisis
Terkait dengan ketentuan hukum mengenai pengaturan perlindungan lahan
pertanian pangan berkelanjutan dalam wujud larangan alih fungsi lahan dan juga
soal penataan ruang secara nasional terdapat pada 16 peraturan