• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Akomodasi KetentuanKetentuan Protokol Palermo Tahun 2000 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam Hukum Nasional Indonesia T1 BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "T1__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Akomodasi KetentuanKetentuan Protokol Palermo Tahun 2000 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam Hukum Nasional Indonesia T1 BAB I"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kemajuan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi yang

mengakselerasi terjadinya globalisasi dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan untuk

menyelubungi perbudakan dan penghambaan ke dalam bentuk baru yang dikenal

dengan istilah perdagangan orang atau Human Trafficking/ Trafficking in Persons.

Human Trafficking merupakan salah satu bentuk perlakuan buruk dari pelanggaran

harkat dan martabat manusia. Human Trafficking merupakan salah satu bentuk

kejahatan yang sangat sulit diberantas dan disebut oleh masyarakat internasional

sebagai bentuk perbudakan modern dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.1

Definisi Human Trafficking mengalami perkembangan sampai ditetapkannya

“protocol to prevent, Suppress, and punish Trafficking in Persons, Especially Women

and Children, Suplementing the United Nations Convention Against Trasnational

Organized Crime” yang diartikan dengan protokol untuk mencegah, memberantas,

dan menghukum tindak pidana Human Trafficking terutama perempuan dan anak

sebagai tambahan atas Konvensi PBB Tahun 2000 melawan Kejahatan Terorganisasi

Transnasional. Protokol ini dikeluarkan PBB yang kemudian dikenal dengan sebutan

Protokol Palermo atauPalermo Convention 2000, dalam protokol tersebut yang

dimaksud dengan Human Traffcking dimuat pada Article 3.

For the purposes of this protocol:

a. “Trafficking in persons” shall mean the recruitment, transportation, transfer, barbouring or receipt of persons, by means of the teart or use of force or other

(2)

forms of coercion, of abduction, of fraud, of deception, of the abuse of power or of a position of ulnerability or of the giving or receiving of payments or benefits to achieve the consent of a person having control over another person, for the purposes of exploitation. Exploitation shall include, at a minimum, the exploitation of the prostitution of ather forms of sexual exploitation, forced labour or services, slavery or pratices similar to slavery, servitude or the removal of organs; (Perdagangan manusia "berarti perekrutan, pengangkutan, pengalihan, penarikan atau penerimaan orang, dengan menggunakan teart atau penggunaan kekerasan atau bentuk pemaksaan lainnya, penculikan, penipuan, penipuan, penyalahgunaan wewenang atau posisi ulnerability atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau tunjangan untuk mencapai persetujuan seseorang yang memiliki kendali atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi setidaknya mencakup eksploitasi pelacuran bentuk eksploitasi seksual, kerja paksa atau layanan paksa, perbudakan atau perbudakan yang serupa dengan perbudakan, penghambaan atau pengangkatan organ);

b. The consent of a victim of trafficking in persons to the intended exploitation set

foth in subparagraph (a) of this article shall be irrelevant where any of the means set forth in subparagraph (a) have been used;(Persetujuan dari korba n perdagangan manusia terhadap eksploitasi yang dimaksud diatur dalam sub-paragraf (a) pasal ini tidak relevan bila salah satu cara yang disebutkan dalam sub-ayat (a) telah digunakan)

c. The recruitment, transportation, transfer, harbouring oe receipt oa a child for the

purpose of exploitation shaal be considered “trafficking in persons” even of this does not involve any of the means set forth in subparagraph (a) of this article; (Perekrutan, pengangkutan, pengalihan, penyimpanan tanda terima oa anak untuk tujuan eksploitasi dianggap sebagai "perda gangan orang", bahkan hal ini tidak melibatkan sarana yang disebutkan dalam sub-ayat (a) pasal ini);

d. “Child shall mean any person under eighteen years of age”.2(Anak berarti setiap

orang di ba wah usia delapan belas tahun)

Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur dari perbuatan orang

adalah:

1. Perbuatan: merekrut, memindahkan, menyembunyikan atau menerima.

2. Saran (cara) untuk mengendalikan korban: ancaman, penggunaan, paksaan,

berbagai bentuk kekerasan, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan

kekuasaan atau posisi rentan atau pemberian/penerimaan pembayaran atau

keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali

atas korban.

3. Tujuan: Eksploitasi, setidaknya untuk prostitusi atau bentuk eksploitasi seksual

lainnya, kerja paksa, perbudakan, penghambaan, dan pengambilan organ tubuh.3

2 Elfina Lebrine Sahetapy, Eksploitasi Seksual Komersial Mengintai Anak, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2011, hal 24.

(3)

Lahirnya Protokol Tahun 2000 tentang Mencegah, Memberantas dan

Menghukum Tindak Pidana Perdagangan Orang, khususnya Perempuan dan Anak,

yang dikenal sebagai Protokol Palermo telah menjadi pendorong disahkannya

Undang-Undang No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Perdagangan Orang (PTPPO).

a. Secara lebih luas, upaya perlindungan terhadap masyarakat agar hak-haknya dapat

dipenuhi juga tercantum dalam: Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia

(DUHAM) yang diratifikasi Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948.

b. CEDAW (Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi

Terhadap Perempuan) yang diratifikasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)

melalui Resolusi Majelis Umum 34/180 pada tanggal 18 Desember 1979 dan

disahkan oleh Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 24 Juli 1984 melalui

Undang-Undang No 7/1984.

c. Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial Budaya (ECOSOC)

yang diratifikasi PBB melalui Resolusi Majelis Umum 2200A (XXI) pada tanggal

16 Desember 1966 dan disahkan Pemerintah Republik Indonesia melalui

Undang-Undang No 11 Tahun 2005.

d. Konvensi Hak Anak yang diratifikasi Majelis Umum pada tanggal 20 November

1989, Konvensi ILO No. 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera

Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, dan

Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Pada April 2007 Pemerintah Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang

No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

(PTPPO). Ini menandai keseriusan pemerintah dalam menyatakan isyarat “upaya‟

terhadap praktik perdagangan orang yang telah berlangsung cukup lama.4

Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) ini dikatakan bahwa:

4Departemen Kehakiman AS, Kantor Pengembangan, Asisten, dan Pelatihan Kerja Sama Luar Negeri (OPDAT)

(4)

“Perdagangan Orang tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan,

penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,

penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan hutang atau memberi

bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang

kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi”.

Secara yuridis, rumusan delik Trafficking in Persons ke dalam undang-undang

mutlak diperlukan untuk kriminalisasi perbuatan. Dalam pengaturan Undang-Undang

No 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak, dengan adanya pengaturan tersebut mampu

mengkriminalisasi kejahatan perdagangan anak, namun dalam dinamika norma

undang-undang ini masih setengah hati, yang melahirkan multi interpretasi,

pemulihan, dan repatriasi saksi dan korban. Mengingat kompleksnya masalah

kejahatan Trafficking ini, maka diperlukan adanya peraturan perundang-undangan

yang mengatur secara khusus tentang kejahatan ini. Pada saat ini, belum ada definisi

hukum yang bakutentang perdagangan anak di Indonesia baik dalam KUHP maupun

Peraturan Perundang-undangan lainnya.5

Dalam Pasal 28 I ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa,

“hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani,

hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di

hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut

adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”.

Dengan demikian Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 sebagai

konstitusi, melindungi hak untuk tidak disiksa dan hak untuk tidak diperbudak dan

(5)

juga melindungi keberadaan individu khususnya dalam penelitian tentang Human

Trafficking.

Penyusunan Undang-Undang No 21 Tahun 2007 adalah perwujudan

komitmen Indonesia untuk melaksanakan Protokol PBB Tahun 2000 tentang

mencegah, memberantas, dan menghukum tindak pidana perdagangan orang,

khususnya perempuan dan anak (Protokol Palermo). Sebagai landasan menyusun

program aksi maka dikeluarkan pedoman pelaksanaan program aksi nasional dengan

dikeluarkan Keputusan Presiden No. 88 Tahun 2002, dalam penjelasannya Bab I

Pendahuluan huruf (a) Latar Belakang yang menyebutkan bahwa, diperlukannya suatu

rencana aksi nasional penghapusan perdagangan atau trafficking perempuan dan anak

yang dapat jadi arahan. Adapun rencana tersebut disusun dengan memperhatikan

pokok-pokok penyusunan aksi, yang terdiri dari:

a. Menjamin peningkatan dan pemajuan atas upaya-upaya perlindungan terhadap korban Trafficking orang khususnya anak dan perempuan;

b. Mewujudkan kegiatan-kegiatan, baik preventif maupun represif atau pratek-praktek Trafficking orang khususnya anak dan perempuan;

c. Mendorong pembentukan dan/atau penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindakan Trafficking orang khususnya anak dan perempuan.6

Perdagangan orang telah dinyatakan secara eksplisit dalam KUHP dalam Pasal

296, 297, 298 dan Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang HAM dalam Pasal 65.

Dalam praktik yang ditemukan pihak aparat penegak hukum juga tetap

memperlakukan KUHP Pasal 296 : “barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau

memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya

sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu

tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah”, Pasal

297 : “perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum dewa sa,

(6)

diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun, Pasal 298 (1) dalam hal pemidanaan berdasarkan salah satu kejahatan dalam pasal 281, 284-290 dan 292-297,

pencabutan hak-hak berdasarkan Pasal 35 No. 1-5 dapat dinyatakan, (2) jika yang

bersalah melakukan salah satu kejahatan berdasarkan pasal 292-297 dalam melakukan

pencarian-nya, maka hak untuk melakukan pencarian itu dapat dicabut. Pasal tersebut

seringkali tidak mampu menyeret para pelakunya karena unsur-unsur dari KUHP

mengenai perdagangan anak dan perempuan yang digunakan dalam penanganannya

belum sesuai dengan peraturan-peraturan yang ada dalam KUHP, sehingga banyak

unsur dari kasus perdagangan anak dan perempuan tidak terjerat oleh pasal tersebut.

Ketiga pasal di atas yaitu Pasal 296, Pasal 297, dan Pasal 298 hanya dapat menjerat

perdagangan anak dan perempuan untuk tujuan seksual saja, karena ke 3 pasal

tersebut masuk dalam kelompok kejahatan terhadap kesusilaan.7

Dalam KUHP menganut sistem pengancaman maksimal tanpa batasan

ancaman minimal. Undang-Undang ini sangat jelas menggambarkan bahwa

perdagangan orang bukan suatu kejahatan pidana biasa tetapi merupakan suatu

kejahatan yang serius. Untuk meminimalisasi potensi tentang perdagangan orang

dibutuhkan kerja sama yang baik antara pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat,

dan keluarga. Pemerintah wajib membuat kebijakan, program, kegiatan, dan

mengalokasikan anggaran untuk melaksanakan pencegahan dan penanganan sampai

pada pemberantasan tindak perdagangan orang.8

Tujuan dari pelaksanaan dan penerapan Protokol Palermo ini untuk melihat

apakah ada perbedaan dalam penerapan penanggulangan yang sudah dilakukan oleh

7Supriyadi Widodo Eddyono, Perdagangan Manusia Dalam Rancangan KUHP, cet. 1, (Jakarta:ELSAM, 2005), hal. 8.

(7)

negara ini dalam aksi perdagangan orang terkhususnya perdagangan anak (Child

Trafficking) yang termuat dalam Undang-Undang Republik Indonesia No 14 Tahun

2009 tentang Pengesahan Protocol To Prevent, Suppress, and Punish Trafficking in

Person, Especially Women and Children, Supplementing The United Nations

Convention Against Transnational Organized Crime (Protokol untuk mencegah,

menindak, dan menghukum perdagangan orang, terutama perempuan dan anak-anak,

melengkapi konvensi perserikatan bangsa-bangsa menentang tindak pidana

transnasional yang terorganisasi). Dalam Protokol Palermo yang dibahas yaitu:

Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women

and Children (Protokol untuk Mencegah, Menekan dan Menghukum Perdagangan

Manusia, khususnya Perempuan dan Anak-anak). Protokol ini juga disebut sebagai

Protokol Perdagangan Manusia atau Protokol TCP/ TIP (Transmission Control

Protocol/ Transmission Internet Protocol) PBB adalah sebuah protokol untuk

Konvensi Menentang Kejahatan Terorganisir Transnasional, ini adalah salah satu dari

tiga Protokol Palermo.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan dari uraian yang telah dikemukakan dalam latar belakang, maka

permasalahan yang akan diteliti adalah: Bagaimana Ketentuan Protokol Palermo

Tahun 2000 tentang Human Trafficking (perdagangan orang) yang diakomodasikan

dalam peraturan perundang-undangan Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

(8)

Untuk Mengetahui Ketentuan Protokol Palermo Tahun 2000 tentang Human

Trafficking (perdagangan orang) yang diakomodasikan dalam Peraturan

Perundang-Undangan Indonesia.

D. Manfaat Penelitian

1. Teoritis

Menambah Ilmu, khususnya dalam bidang Hukum Pidana (Protokol

Palermo) dan ketentuan-ketentuan yang mengatur pemberantasan tindak pidana

perdagangan orang, Menambah Referenasi tentang kajian hukum pidana dan

Internasional, khususnya dalam Perdagangan Orang.

2. Praktis

Dengan Penelitian ini, diharapkan mampu membantu pemberantasan tindak

pidana terhadap orang, khususnya korban terhadap perempuan dan anak. Dengan

dasar-dasar argumen yang kuat dalam hukum.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian hukum atau penelitian yuridis normatif.

Oleh karena itu sesuai dengan isu hukumnya, penelitian ini akan mengkaji bahan

hukum berupa peraturan perundang-undangan,9 KUHP, Undang-Undang No 7

Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk

Diskiriminasi terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of

Discrimination Against Women), serta Keputusan Presiden No 36 Tahun 1990

tentang Pengesahan Konvensi tentang Hak-Hak Anak, Undang-Undang No 39

Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No 21 Tahun 2007

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO),

(9)

Undang No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dengan mengkaji itu

maka akan didapat pemahaman ketentuan hukum yang mengatur Pelaksanaan dan

Penerapan Protokol Palermo tentang Pemberantasan Tindak Pidana orang.

2. Jenis Pendekatan

Dalam penelitian ini digunakan pendekatan Undang-Undang (statute

approach) dan pendekatan komparatif (comparative approach). Pendekatan

Undang-Undang (statute approach), yaitu pendekatan yang dilakukan dengan

menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu

hukum yang sedang ditangani. Pendekatan komparatif (comparative approach),

yaitu pendekatan yang dilakukan dengan membandingkan peraturan hukum di

suatu negara dengan peraturan hukum di negara lain (dapat 1 negara atau lebih),

mengenai hal yang sama. Kegunaan pendekatan ini adalah untuk memperoleh

persamaan dan perbedaan di antara Undang-Undang tersebut.

3. Jenis Data Penelitian

a. Bahan Hukum Primer

Bahan Hukum Primer yaitu, Bahan hukum yang bersifat autoritatif yang

artinya mempunyai autotitas, yang dalam penelitian ini menggunakan

Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, KUHP,

Undang-Undang No 7 Tahun 1984 tentang pengesahan konvensi mengenai

penghapusan segala bentuk diskiriminasi terhadap wanita (Convention on the

Elimination of All Forms of Discrimanation Against Women),

Undang-Undang No 14 Tahun 2009 tentang Protokol untuk Pencegahan, Penekanan,

dan Penghukuman Perdagangan Orang, Khusunya Perempuan dan Anak,

Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa terhadap Kejahatan

(10)

tentang Pengesahan Konvensi tentang Hak-Hak Anak, Undang-Undang No 39

Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang No 21 Tahun 2007

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO),

Undang-Undang No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang

bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum tersebut

meliputi buku-buku hukum termasuk skripsi, kamus-kamus hukum,

Referensi

Dokumen terkait

Majalah Info Bekasi memiliki pendapatan melalui iklan dan hanya melakukan penjualan tidak kurang dari 5% dari total 15.000 exemplar setiap edisinya, untuk itu ada aspek-aspek

Pedagogi kritis, tambahnya, menawarkan pisau untuk melakukan kritik terhadap pandangan-pandangan lama yang sudah ketinggalan jaman, merumuskan pandangan baru tentang

Dalam melakukan analisis pemeringkatan website PT Lion Air, PT Garuda Indonesia dan PT Sriwijaya Air, penulis menggunakan tools pemeringkatan web yaitu Alexa Rank untuk

(1) Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk

[r]

untuk mengetahui prestasi siswa dalam mengerjakan soal cerita

Lembaga Penempatan Anak Sementara di Provinsi Lampung belum terdapat bangunan tersendiri, namun sesuai dengan Undang-Undang Sisterm Peradilan Pidana Anak yang

 Pendekatan situasional atau pendekatan kontingensi merupakan suatu teori yang berusaha mencari jalan tengah antara pandangan yang mengatakan adanya asas- asas organisasi dan