• Tidak ada hasil yang ditemukan

DESKRIPSI IMPLEMENTASI KURIKULUM TINGKAT. docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "DESKRIPSI IMPLEMENTASI KURIKULUM TINGKAT. docx"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

DESKRIPSI IMPLEMENTASI KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN (KTSP) DI SMA, MA dan SMK KOTA PADANG

Dra. Syakbaniah1), M.Si, Prof. Dr. Festiyed, MS1) dan Prof. Dr. Aljufri B.Syarif, M.Sc2)

1) Dosen Fisika FMIPA UNP Padang, 2) Dosen Teknik Mesin FT UNP

Abstrak

Penelitian ini merupakan tahap pendahuluan penelitian tentang potensi pendidikan kabupaten/kota pada SMA, MA dan SMK kota Padang yang bertujuan untuk mempelajari dan menghimpun data secara comprehensif, baru dan aktual dengan menggunakan metoda mix (kualitatif dan kuantitatif secara serentak). Untuk data kualitatif diperoleh melalui (1) interview ke Kepala Sekolah/Wakil Kepla Sekolah bidang kurikulum, guru,(2) observasi memperhatikan lingkungan sekolah, dokumen KTSP sekolah dan merekam kondisi lokal, labor dan pustaka (intensitas cahaya dan bunyi). Data kuantitatif instrumen yang digunakan pilihan berganda, multiple respon, skala Likert dan semantik diferensial. Dari hasil penelitian tentang kurikulum sebagai ide: perumusan visi dan misi belum menampung aspirasi semua warga sekolah, dan belum melibatkan mereka, akibatnya sulit akan diperoleh dukungan yang kuat dari warga sekolah dalam implementasinya. Kurikulum sebagai proses dan kurikulum yang diimplementasikan telah terlaksana tetapi belum terkait dengan kurikulum sebagai ide. Jadi, walaupun telah diterapkan otonomi daerah kenyataannya banyak sekolah-sekolah masih memandang kebijaksanaan pusat yang harus mereka ikuti. Sehingga kreativitas, inovasi guru dan kepala sekolah ragu dan enggan mencari cara-cara baru dalam mengimplementasikan kurikulum yang cocok dengan kondisi daerah dan karakteristik siswa. Disarankan petunjuk sosialisasi dari Jakarta beragam sesuai dengan berbagai kondisi sehingga ada peluang sekolah untuk menyesuaikan.

Kata kunci: Ide, proses, dan implementasi KTSP

PENDAHULUAN

(2)

KTSP maka arah pengembangan akan selaras dengan aspirasi masyarakat, situasi dan kondisi lingkungan dan kebutuhan masyarakat, sehingga seluruh potensi (aset sekolah) dapat didayagunakan secara optimal untuk mencapai tujuan pengembangan sekolah.

Namun di lapangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) disikapi secara berbeda oleh pelaku pendidikan.Belum semua warga sekolah dapat memahami secara utuh esensi KTSP; sekolah masih menghadapi kesulitan dalam proses pelaksanaan, karena gagal mengerahkan sumber daya pendidikan secara optimal. Dokumen KTSP belum mampu mensinergikan seluruh kegiatan pengembangan ke arah yang diharapkan. Kurang sinerginya sumberdaya pendidikan seperti: sumber daya manusia, sarana dan prasarana, manajemen serta pembiayaan mungkin merupakan penyebab timbulnya sikap apriori dan penolakan secara psikologis terhadap perubahan.

Meskipun sudah ada upaya untuk memecahkan masalah tersebut, seperti: yang telah dilakukan MGMP dalam mengembangkan dan melaksanakan kurikulum, memanfaatkan hasil penelitian, tetapi belum menyangkut masalah secara keseluruhan, hanya secara parsial, sehingga masih terdapat beberapa kelemahan. Jika hal ini terus dibiarkan dan tidak ada upaya untuk mencari akar permasalahan dan perbaikannya, maka proses pembelajaran tidak akan berjalan menurut semestinya seperti tertuang dalam kurikulum. Hal inilah yang menyebabkan kegagalan upaya peningkatan kualitas proses dan hasil belajar.

Sehubungan dengan permasalahan yang disebutkan di atas, maka diperlukan upaya-upaya kongkrit untuk mengiringi suksesnya penyempurnaan kurikulum ini. Semangat perubahan KTSP mensyaratkan sekolah membangun paradigma baru. Sekolah berhak menilai keberhasilan pelaksanaannya; apakah standar kompetensi dan kompetensi dasar sudah dicapai oleh peserta didiknya. Model penilaian ini salah satunya melalui ujian sekolah. Hasil ujian sekolah menjadi alat bagi sekolah untuk meluluskan peserta didiknya, baik naik kelas maupun lulus satuan pendidikan. Implementasi KTSP dengan benar dan reformasi UN mutlak diperlukan sebagai upaya memperbaiki mutu pendidikan. Fokus penelitian ini diarahkan untuk mempelajari dan menghimpun data secara comprehensive, baru dan aktual tentang KTSP di SMA, MA dan SMK Negeri dan Swasta kota Padang. Secara spesifik, fokus penelitian tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut: • Bagaimanakah pelaksanaan kurikulum sebagai ide ?

• Bagaimanakah pelaksanan kurikulum sebagai proses ?

• Bagaimanakah pelaksanaan kurikulum yang diimplementasikan?

Sesuai dengan rumusan masalah, penelitian ini bertujuan mendeskripsikan secara faktual profil pelaksanaan KTSP di SMA, MA dan SMK Negeri dan Swasta kota Padang Deskripsi profil ini dapat dipergunakan untuk memberikan rekomendasi kebijakan tentang penyelenggaraan KTSP di sekolah-sekolah serta kepada pihak-pihak terkait. Selanjutnya, dari hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan untuk meningkatkan kualitas input dan proses pembelajaran, yang pada akhirnya berimplikasi pada peningkatan kualitas lulusan dari sekolah-sekolah yang sudah menjalankan dan yang akan melaksanakan KTSP.

(3)

Metode dan Tahapan Penelitian

Penelitian ini menerapkan metode penelitian mix (Kualitatif dan kuantitatif secara serentak). Metode kuantitatif digunakan untuk mendeskripsikan secara evaluatif fenomena yang berupa kuantitas, sedangkan metode kualitatif digunakan untuk memaknai secara verbal temuan-temuan penelitian sesuai dengan kualitas data penelitian. Sesuai dengan karakteristik dan tujuan penelitian, prosedur penelitian ini mengikuti tahapan berikut: Pada tahun pertama menggunakan pendekatan ekploratif, mempelajari dan menghimpun data secara comprehensive, baru dan aktual dari interaksi enam komponen proses pendidikan (kurikulum, tenaga pendidik, peserta didik, sarana dan prasarana, teknologi dan media pembelajaran, evaluasi).

1. Studi literatur Survey awal permasalahan proses pendidikan

2. Konfirmasi permasalahan melalui seminar/pertemuan dengan guru dan kepala sekolah

3. Mengumpulkan permasalahan proses pendidikan secara conprehensive, baru, aktual

4. Deskripsi hasil temuan untuk memperoleh indikator metode pengumpul data 5. Verifikasi hasil temuan bersama stakeholder

6. Kristalisasi hasil verifikasi

7. Cross chek berbagai informasi dari berbagai sumber Populasi dan Sampel

Pengambilan populasi di kota Padang dikarenakan 30% jumlah guru dan siswa Sumatera Barat berada di kota Padang, dan sekolahnya dapat dikelompokkan berdasarkan jenis sekolah (SMA, MA, SMK), status sekolah (negeri, swasta), dan lokasi sekolah (urban, rural).

Sampel diambil 25% dari masing-masing kelompok populasi berdasarkan jenis sekolah (SMA, MA dan SMK), status sekolah (Negeri dan Swasta), lokasi sekolah (urban dan rural) menggunakan teknik cluster random sampling. Setelah menetapkan sampel secara random sesuai dengan jenis, status dan lokasi sekolah, maka terpilih 30 sekolah sebagai sampel (Tabel 1)

Dari unit analisis sekolah sebagai sampel supaya terpilah dengan baik, maka dipilih secara acak responden 5 orang guru dan 5 orang siswa untuk masing-masing bidang studi pada setiap unit sekolah. Pengambilan sekolah berdasarkan program studi yang mengikuti Ujian Nasional (UN) tahun 2009.

Tabel 1. Sampel sekolah menurut jenis, status dan lokasi sekolah

Sekolah/ Lokasi

SMA MA SMK

Jumlah Negeri Swasta Negeri Swasta Negeri Swasta

Urban 1 6 1 1 1 8 18

Rural 3 3 1 1 1 3 12

(4)

Pada tahapan pertama telah ditetapkan 30 sekolah sampel. Ternyata sesudah turun ke lapangan ada sekolah peserta UN 2009 sudah tidak menerima siswa baru lagi, berarti sekolah tersebut ditutup, sedang dua sekolah lain mengundurkan diri dari sampel penelitian ini (tidak bersedia dijadikan sampel), sehingga tinggal 27 sekolah sampel. Untuk memenuhi kriteria awal 30 sampel maka dilakukan randomisasi kedua untuk mendapatkan 3 sekolah sebagai pengganti

Teknik Pengumpulan Data

Instrumen yang digunakan pada penelitian berupa angket, interview dan observasi. Sebelum penyusunan instrumen diawali dengan mengadakan seminar awal untuk mendapatkan informasi tentang permasalahan proses pelaksanaan KTSP secara conprehensive, baru, aktual. Seminar ini dipandang kritikal karena merekalah guru, kepala sekolah dan kepala dinas pelaku utama di lapangan. Melalui seminar diharapkan hambatan pelaksanaan KTSP dalam hal-hal yang menunjang akan dapat diidentifikasi. Setiap sekolah sampel diundang kepala sekolah dan wakil kepala sekolah bidang kurikulum dan guru bidang studi. Mereka diminta menjelaskan keunggulan program KTSP mereka dan apa hambatan dalam pelaksanaannya. Seminar dilaksanakan tanggal 23 Juli 2009 dihadiri 17 sekolah dengan jumlah peserta sebanyak 90 orang. Karena masih ada sekolah sampel yang tidak sempat mengikuti seminar, maka sekolah tersebut dikunjungi untuk mendapatkan informasi dari sekolah yangbersangkutan.

Untuk menghimpun data penelitian sesudah mendapatkan informasi kritikal dari studi kepustakaan dan informasi yang diperoleh melalui seminar, serta kunjungan ke sekolah sampel, disusun kisi-kisi instrumen sebagai pedoman penjaringan informasi melalui angket, interview dan observasi. Kisi-kisi yang disusun berdasarkan enam komponen proses pembelajaran (kurikulum, guru, siswa, sarana dan prasarana, media pendidikan/teknologi, dan evaluasi). Dari setiap obyek yang diukur diusahakan dilihat dari tiga dimensi: (a) kognitif, (b) afektif, (c) psikomotor atau: (a) potensi, (b) konten, (c) evaluasi

Teknik Analisis Data

Teknik analisis terdiri dari analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisis kualitatif dari dokumen buku KTSP, hasil wawancara, hasil observasi yang telah terkumpul dipelajari untuk dideskripsikan, kemudian dianalisis sesuai dengan jenis dan karakteristik informasi yang diperoleh. Pola analisis kualitatif seperti pada Tabel 2.

(5)

Komposisi TIM Tahap perencaan mulai dari: Menghimpun visi dan misi, Idealisme pimpinan, Kebutuhan stakeholder, Ketersedian sumberdaya yang semuanya dipandang sebagai bahan masukan. Seluruh bahan masukan ini dikaji melalui analisis SWOT yang mempertimbangkan kemajuan IPTEKS, Globalisasi, kemajuan Teknologi Informasi dan kesadaran orang tua tentang pendidikan yang akhirnya akan menghasilkan kurikulum sebagai ide dalam bentuk kompetensi lulusan yang diinginkan. Kemudian digunakan Stándar Nasional, Pedoman pembuatan Kurikulum, menetapkan tim penulis yang mampu mengkomunikasikan ide dan menyerap ide dari berbagai sumber, dan menetapkan landasan pengembagan (Visi) sebagai masukan. Semua masukan ini di olah melalui berbagai pertemuan untuk di review dan di sahkan sehingga seluruh dokumen betul-betul difahami oleh seluruh pelaku utama. Akhir dari kegiatan ini berupa buku KTSP dalam bentuk dokumen. Terakhir proses implementasi dengan menggunakan proses pembelajaran, evaluasi hasil belajar, pengukuran, outcomes, dan daya saing sekolah yang dimonitor secara terus menurus dan difeedback kembali untuk memperbaiki proses pengembangan kurikulum. Proses inilah yang dinamakan Implementasi Kurikulum.

Analisis kuantitatif dari hasil jawaban angket guru dan siswa diolah menggunakan statistik sederhana persentase dengan bantuan program SPSS, kemudian data diringkas dalam bentuk matriks untuk melakukan klasifikasi hasil-hasil penelitian. Selanjutnya, data dianalisis, dievaluasi, dan ditafsirkan secara objektif..

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Kualitatif Permasalahan Sehubungan dengan KTSP.

(6)

mengembangkan KTSP. Dapat disimpulkan bahwa sebagian besar perencanaan visi dan misi sekolah-sekolah (SMA,MA dan SMK) di kota Padang belum memberikan perhatian yang serius terhadap pengembangan kurikulum KTSP. Artinya sebagian buku KTSP sekolah menengah belum dapat dipergunakan sebagai ide pengembangan kurikulum.

Selanjutnya kajian dilakukan untuk merekam proses pembuatan kurikulum seperti: pelatihan pada penulis buku KTSP, review hasil kerja tim, dan pengesahan dokumen kurikulum. Data tentang proses ini hanya dapat diperoleh melalui wawancara. Ada beberapa sekolah yang dapat menerangkan langkah dan tim pembuat secara tertib dan ada pula sebagian kecil yang tidak ingat. Seluruh sekolah mengundang nara sumber baik lokal maupun nasional untuk pelatihan penulisan buku KTSP, sebagian besar nara sumber yang diundang berasal dari dinas pendidikan dan sekolah lain yang sudah menulis buku KTSPnya. Buku KTSP yang sudah ditulis sebagian besar direview hanya satu kali. Sewaktu penelitian ini berlangsung sebagian sekolah mengirimkan buku KTSPnya untuk disyahkan oleh dinas propinsi. Namun ditolak karena ditemukan indikasi bahwa beberapa dokumen buku KTSP berupa hasil copy paste. Sampai laporan ini dibuat belum ada sekolah yang berada dibawah naungan dinas pendidikan yang buku KTSP nya disahkan oleh dinas propinsi. Sebaliknya ada satu sekolah MA yang sudah disetujui oleh Depag Sumbar. Namun dari interview kebeberapa sekolah ada yang sudah tiga kali merevisi kurikulumnya (2007, 2008 dan 2009).

Dapat disimpulkan semangat untuk menyesuaikan kurikulum dengan kondisi yang ada cukup tinggi, walaupun hasil yang dicapai belum direview dengan matang. Dari berbagai interaksi dengan berbagai kalangan di sekolah, diduga bahwa penyebab dari rendah kemampuan sekolah untuk mengevaluasi program, karena sedikitnya personel sekolah yeng menguasai teknik-teknik evaluasi program. Fokus pengembangan sekolah lebih banyak mengembangkan evaluasi hasil belajar (classroominteraction). Dan mereka belum terlatih mengambil keputusan dari himpunan data yang ada. Akibatnya sebagain besar keputusan yang di ambil dalam memilih proses implementasi KTSP lebih banyak bertumpu kepada “common sense”. Hasil dari proses ini biasanya disebut kurikulum KTSP sekolah yang bersangkutan sebagai dokumen. Karena hasil inilah yang akan digunakan oleh seluruh warga sekolah dalam penerapan dan pengembangan kurikulum.

Kajian selanjutnya mempertimbangkan masukan apakah masukan seperti (1) proses pembelajaran, (2) hasil evaluasi pengajaran, (3) cara mengukur outcome kegiatan,(4) outcome yang diharapkan, dan (5) perumusan daya saing sekolah. Hasil analisis dokumen dan wawancara menunjukkan sebagian besar sekolah sudah melaksanakan sesuai petunjuk KTSP. Hal ini dapat dilihat dari sebagian besar penetapan ketuntasan belajar dan kegiatan remedial dan pengayaan dilakukan berdasarkan kesepakatan kelompok guru mata pelajaran melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Sedangkan kenaikan kelas dan kelulusan kebanyakan dari sekolah-sekolah yang diteliti mengacu kepada ketentuan Dinas Pendidikan, begitu juga dengan standar-standar yang lain. Dapat disimpulkan bahwa implementasi kurikulum KTSP di sekolah menengah (SMA, MA dan SMK) kota Padang telah dilakukan dengan sistematis dan sungguh-sungguh.

(7)

tersebut tidak optimal. Misalnya dalam salah satu petunjuk (Muhaimin dkk 2008) menekankan kepada mengubah strategi pembelajaran dengan menggunakan pendekatan dan metode yang variatif, sehingga memungkinkan:

 Peserta didik lebih aktif

 Iklim belajar menyenangkan

 Pengembangan budaya baca, tulis, observasi

 Fungsi guru bergeser dari pemberi inoformasi menuju seorang fasilitator

 Pemanfaatan perpustakaan, laboratorium, dan sumber belajar lain,

 Materi yang dipelajari terkait dengan lingkungan kehidupan peserta didik, sehingga dapat dimanfaatkan untuk memecahkan masalah kehidupan.

 Peserta didik terbiasa mencari informasi dari berbagai sumber

 Menggeser “teaching” menjadi “learning

 Lebih banyak komponen-komponen dalam kecakapan hidup yang biasa diinternalisasikan dalam PBM.

Tidak ada yang salah dari pernyataan di atas, semuanya memberi tahu apa yang harus dikerjakan guru namun belum membahas mengapa itu perlu dan apa penyebab utama yang memungkinkan seluruh indikator tersebut dapat dikerjakan. Kita lebih banyak berbicara tentang apa yang harus dikerjakan tetapi lupa untuk apa itu dikerjakan dan faktor apa yang penting diperhatikan agar semua itu dapat dilakukan. Penelitian sekolah Efektif di luar negeri lebih banyak mencari penyebab mengapa proses pembelajaran dapat ditingkatkan (Scheerens, j., 2000; Brighouse, T. & Woords, D., 1999; Sammons, P., Martimore, P., & Hillman, J., 1997; Coleman, J. S. dkk 1966, Jenks, dkk 1972). Mungkin ini pulalah yang menyebabkan pengembangan KTSP di Indonesia lebih banyak pengembangan kepada bentuk dari pada kepada rohnya pengembangan sekolah yang lebih efektif.

Hasil Kuantitatif Permasalahan Sehubungan dengan KTSP

Tingkat pendidikan guru hampir seluruh sekolah telah memenuhi syarat minimal ijazah guru SLTA (Permendiknas no.41, 2007), sekitar 94% telah memiliki ijazah S1, S2 dan S3. Hanya sekitar 6% yang belum memenuhi syarat atau masih memiliki ijazah D3. Dilihat dari distribusi ijazah menurut jenis sekolah dapat diduga sekolah MA dan SMK swasta belum memiliki guru yang berijazah S2 dan S3, akibatnya akan mengalami kesulitan berkembang. Sedang distribusi ijazah guru menurut lokasi rural dan urban relatif mendekati sama

(8)

Kesesuaian matapelajaran yang diampu guru sekitar 74% sesuai dengan pendidikan terakhirnya dan masih terdapat 5 % yang tidak sesuai dengan pendidikan terakhirnya. Ini menunjukkan peranan kepala sekolah dan dinas pendidikan dalam pengangkatan dan penempatan belum memperhitungkan kebutuhan guru dengan matapelajaran yang ada. Pemberdayaan guru belum dilakukan sepenuhnya oleh pemerintah daerah (pemda). Misalnya, pemda belum melakukan evaluasi pendidikan, termasuk evaluasi guru. Ini yang kerap terjadi, sehingga penerapan KTSP pun bisa melambat.

Implementasi KTSP sebenarnya membutuhkan penciptaan iklim pendidikan yang memungkinkan tumbuhnya semangat intelektual dan ilmiah bagi setiap guru, mulai dari rumah, di sekolah, maupun di masyarakat. Dalam mengembangkan semangat intelektual guru salah satunya dapat melalui keikut sertaan dalam seminar. Sehubungan dengan seminar yang berhubungan dengan penelitian guru MA, SMK, dan SMA sekitar 12% setiap tahunnya telah mengikuti dan 31% sama sekali belum mengikuti seminar. Guru yang berasal dari daerah rural lebih banyak mengikutinya (16%) dibanding daerah urban (13%) dan sekolah negeri lebih banyak (19%) dibanding swasta (9%). Selanjutnya seminar yang berhubungan dengan pembelajaran dan pendidikan terbaru15% telah mengikuti dan 12% belum mengikuti. Diantara yang mengikuti guru SMA negeri yang berasal dari daerah rural lebih banyak mengikutinya (9%) dibanding daerah urban (6%). Sekolah swasta ternyata rural lebih banyak (11%) dibanding swasta 5%. Ini menunjukkan sekolah swasta belum optimum dalam meningkatkan pembelajaran bidang studinya.

Proses pembelajaran yang baik seharusnya membawa siswa ke alam nyata (CTL), Penelitian ini mengajukan pertanyaan seberapa persen guru yang membawa siswa praktikum ke labor dan ke ke lapangan. Temuan penelitian ini sekitar 19% guru telah membawa siswa ke labor sebanyak lebih dari 6 kali untuk satu semester, sedang 47% guru belum membawa siswa ke labor untuk praktikum. Sekitar 4% guru telah membawa siswa ke lapangan untuk praktikum sebanyak lebih dari 6 kali untuk satu semester, dan hanya 55% yang belum membawa siswa ke lapangan. Pada Tabel 21 sekitar 47% siswa dari kelompok rural mengaku mengikuti praktikum komputer lebih dari 6 kali untuk satu semester, dan hanya 64% siswa dari kelompok urban mengaku mengikuti praktikum komputer lebih dari 6 kali untuk satu semester. Kegiatan praktikum komputer telah terlaksana lebih dari 6 kali dalam satu semester di sekolah negeri SMA dan SMK sekitar 20%, tetapi untuk MA yang berasal dari rural hanya 1 sampai 2 kali saja. Begitu juga sekolah MA swasta ruralnya tidak membawa siswanya praktikum komputer.

(9)

Gambar 1. Grafik Ijazah guru dengan kegiatan seminar dan kegiatan labor

Selaras dengan itu guru gagal mengambil inisiatif menggunakan “alam takambang jadi guru”, untuk membawa anak ke lapangan terutama sekolah-sekolah berlokasi di daerah rural. Hasil pengamatan di lapangan menemukan sebagian besar sekolah SMA, MA dan SMK belum diperlengkapi dengan fasilitas labor yang memadai.

Dari temuan tersebut di atas dapat disimpulkan perhatian kadinas dan kepala sekolah memandang bahwa kebutuhan labor tidak kritikal dibandingkan dengan capaian UN dan banyaknya siswa yang lulus. tambahan pula kurangnya inisiatif guru untuk memanfaatkan alam sebagai laboratorium terbuka.dan belum berorientasi pada kualitas proses pembelajaran dan membelajarkan anak. Ada pendapat mengatakan bila UN sudah bagus maka berarti anak sudah belajar dengan baik dan guru sudah mengajar dengan baik pula. Pandangan seperti ini tampaknya keliru karena terlalu menyederhanakan masalah yang kompleks. Seharusnya dalam pengembangan pendidikan diidentifikasi komponen pendidikan yang belum berkembang. Apabila komponen yang lemah ini dapat dikembangkan, maka perkembangan dapat terjadi secara signifikan. Maka perlu dikembangkan kurikulum secara integratif dan secara sistemik sehingga tidak ada satu bagian indikator yang terlupakan.

Dalam pembelajaran bentuk tugas yang diberikan oleh guru kebanyakan dalam bentuk respon tertulis, diskusi dan presentasi masing-masing 75%, 89% dan 68% baik untuk sekolah negeri maupun swasta yang berasal dari kelompok rural atau urban. Ini menunjukkan penguasaan tugas evaluasi pendidikan pengajaran masih belum memadai. Perangkat pembelajaran telah digunakan guru berupa RP 96%, LKS 70%, Ringkasan materi 78%, modul 57%, buku ajar 73%, buku paket 63%, tetapi LDS hanya 24% Kalau dibandingkan dengan tugas yang digunakan, pada kegiatan diskusi 89% memerlukan LDS. Data ini memperkokoh kesimpulan bahwa pemahaman guru tentang tugas pengajaran masih sangat mekanistik.

(10)

kebutuhan, dan minatnya. Guru dapat memusatkan perhatian pada pengembangan kompetensi peserta didik dengan menyediakan aneka ragam kegiatan belajar mengajar dan sumber belajar. Hasil penelitian penggunaan media pembelajaran sudah bervariasi, tetapi kalau dilihat hasil belajar siswa belum optimal, kebanyakan siswa memperoleh nilai di atas 75 hanya 12%. Ini artinya 88% nilai siswa tidak sesuai dengan standar pada KTSP. Hasil ini kontradiktif dengan teori Dale (1969), bahwa penggunaan media yang bervariasi akan meningkatkan capaian pembelajaran siswa. Mungkin guru terlalu banyak menggunakan media sehingga tidak memusatkan perhatian siswa. Ini memperlihatkan bahwa pemahaman guru tentang media masih sederhana.

Dari fakta tersebut di atas, walaupun ijazah guru sudah memenuhi syarat dan sebaran guru antara urban dan rural sudah relatif proposional, namun penelitian ini membuktikan bahwa penguasaan evaluasi dan metoda mengajar belum memadai. Hal ini mungkin disebabkan guru sudah sangat percaya diri sehingga merasa tidak perlu lagi mengembangkan potensi diri. Pada hal bila dilihat dari persepsi siswa hal tersebut bertolak belakang, seperti dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Persepsi guru dan persepsi siswa tentang gurunya

Gambar 2 memperlihatkan karakter diri, integritas diri, keterbukaan terhadap kritik, peran sosial guru dilihat dari persepsi guru dan persepsi siswa. Dari grafik terlihat bahwa untuk semua komponen guru cendrung menilai dirinya terlalu tinggi, sementara siswa menilai sebaliknya.

Faktor situasi lingkungan belajar yang juga berperan dalam pembelajaran seperti pencahayaan dan kebisingan lingkungan sekolah. Jika dibandingkan dengan standar di negara kita tentang penerangan buatan untuk kelas yaitu 200 - 300 lux. (Standar Penerangan Buatan dalam Gedung,1978), dan untuk kebisingan pada zona B (Intensitas 45–55 dB, Zona yang diperuntukkan bagi perumahan, tempat Pendidikan dan rekreasi). Maka intensitas cahaya dalam kelas dan perpustakaan sudah memenuhi standar, tetapi labor belum memenuhi. Untuk intensitas bunyi pada semua ruangan berada diatas 55 dB, jadi diatas standar kebisingan. Mungkin ini pulalah sulitnya siswa berkonsentrasi belajar yang akhirnya juga akan menurunkan prestasi belajarnya.

(11)

SMA, MA dan SMK untuk semua jenis sekolah memperoleh nilai di bawah KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal), sedang nilai yang diperoleh siswa untuk UN di bawah rata-rata (70). Dari 9 mata uji, hanya 3 (sekitar 33%) untuk SMA dan MA yang berada di atas KKM. Jadi KKM sekolah untuk SMA dan MA gagal meramalkan UN sebagai indikator kesuksesan sekolah yang efektif. Untuk SMK didapat 5 dari 9 mata uji yaitu sekitar 56% dibawah rata-rata, jadi ada kecendrungan yang signifikan bahwa KKM sekolah di SMK tidak dapat meramalkan skor ujian nasional karena hanya satu mata uji yang di UN kan di SMK yang mewarnai program studi masing-masing, sedang mata uji yang lain adalah mata uji penunjang. Dengan sedikitnya mata uji yang di UN kan maka varian yang dapat meramalkan skor UN menjadi kecil. Kalau ditemukan hubungan yang tidak signifikan tersebut, berarti tidak dapat diterangkan secara scientific. Kesimpulannya secara umum KKM tidak dapat digunakan sebagai indikator keberhasilan UN. Hal ini berlawanan dengan konsep keberhasilan sekolah yang efektif (Scheerens, J., 2000; Brighouse, T. & Woords, D., 1999; Sammons, P., Martimore, P., & Hillman, J., 1997).

Bila ditinjau dari jumlah siswa dalam satu kelas di SMA Negeri kebanyakan lebih dari 33 orang dan di swasta sekitar 23 sampai 33 orang. Sedang untuk MA dan SMK baik negeri maupun swasta jumlah siswa dalam satu lokal berkisar 23 sampai 27 orang. Hasil pengamatan di lapangan sekolah-sekolah favorit akan mempunyai siswa yang banyak. Ini mengindikasikan belum maksimalnya pengaturan oleh kepala dinas.

Untuk indikator: pengukuran outcome KTSP, daya saing sekolah, KTSP sebagai dokumen dan implementasi KTSP yang ditanyakan pada guru, dengan empat item pertanyaan jelas vs kabur, sistematik vs amburadul, disusun sebagian kecil orang vs bersama, dan merupakan budaya sekolah vs tidak, kebanyakan guru menyatakan kabur, amburadul, dibahas oleh sekelompok saja dan tidak merupakan budaya sekolah, dengan median sekitar 3 dibawah rata-rata dengan titik tengah 4. Menurut persepsi guru tentang KTSP yang mereka laksanakan dengan indikator: pengukuran outcome KTSP, KTSP sebagai dokumen dan implementasi KTSP telah lebih baik, namun merasa rendah untuk indikator daya saing sekolah, bahwa pengembangan kurikulum belum dibandingkan dengan sekolah lain dan kebutuhan masyarakat.

Bila dilihat dari: pelaksanaan KTSP, lingkungan sekolah, suasana ruang kelas, pengetahuan tentang ilmu pendidikan, usaha dan dampak perubahan kurikulum, produktivitas pengembangan keilmuan, karakter guru dalam berbagai situasi, integritas diri, keterbukaan terhadap kritik, peran sosial, visi dan misi KTSP, idealisasi pimpinan, kebutuhan stakeholders, lingkungan sekolah, karakteristik siswa, pedoman pembuatan KTSP, hasil evaluasi KTSP, ternyata empat indikator yang mediannya berada dibawah rata-rata adalah: lingkungan sekolah, pengetahuan tentang ilmu pendidikan, usaha dan dampak perubahan kurikulum, suasana ruang kelas. Chart ini mempertegas temuan sebelumnya. Untuk terlaksananya KTSP diperlukan lingkungan sekolah dan suasana ruang kelas yang mendukung, guru yang dapat memainkan perannya sebagai motivator, dinamisator, fasilitator, inisiator, kreator, ilustrator, konduktor, administrator koordinator dan manajer, evaluator, promotor, desainer, dan eksekutor. Hambatan pelaksanaan KTSP terletak didua area, pejabat yang berwenang dan pelaku utama pengembangan sekolah.

(12)

kekhasan sekolah, kurikulum sebagai dokumen, pelaksnaan KTSP. Terdapat enam indikator yang mediannya berada dibawah rata-rata adalah: penguasaan materi, menguasai ilmu pendidikan, menguasai cara membimbing siswa, menguasai metode pembelajaran, melaksanakan evaluasi, perencanaan pembelajaran. Kalau dilihat pendapat Tyler (perencanaan tujuan, pengalaman, metoda dan evaluasi pembelajaran) berarti seluruh aspek kurikulum Behavioristik belum terpenuhi. Sedangkan disisi lain dalam literatur pengembangan KTSP berbasis kompetensi (KBK), sementara KBK adalah turunan lansung/jelmaan dari Behavioristik. Mungkin itulah yang menyebabkan pengembangan KTSP tidak selancar yang diharapkan. Kecendrungan umum SMA lebih baik dari MA, dan MA lebih baik dari SMK. Di SMA varian skor lima indikator tersebut lebih besar dibanding di MA dan SMK. Mungkin disebabkan pilihan masyarakat dimulai dari SMA, kemudian MA dan pilihan terakhir SMK. Untuk SMA ternyata varian yang jelek berada di sekolah negeri urban, sementara di MA dan SMK ternyata varian yang jelek berada di sekolah swasta rural.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Perencanaan Kurikulum yang mengolah 1) Visi dan Misi, 2)

Idealisme Pimpinan, 3) Kebutuhan Stakeholders, 4) Ketersediaan Sumber Daya dan 5) Karakteristik Siswa sebagai masukan 6) Proses Analisis SWOT, menjadikan kurikulum sebagai penghimpunan gagasan cemerlang sehingga dapat dirumuskan kompetensi lulusan yang diharapkan, ternyata masih sangat rendah

2. Masukan seperti 1) Standar Nasional, 2) Pedoman

Pembuatan, 3) Komposisi TIM, 4) Pembuat/Pengembang, 5) Landasan yang digunakan melalui Proses Pelatihan, 6) Pembuatan, 7) Review dan 8) Pengesahan yang menghasilkan Struktur Kurikulum yang selanjutkan dapat dijadikan Kurikulum sebagai dokumen cukup memadai

3. Masukan melalui Proses Pembelajaran, Hasil evaluasi,

Pengukuruan, Outcomes, Pengukuran daya saing sekolah melalui Monitoring dan Evaluasi yang menghasilkan Implimentasi Kurikulum telah memadai namun belum terkait dengan kurikulum sebagai ide

4. Hasil penilaian proses pembelajaran dengan capaian UN (Ujian Nasional), 51 % siswa SMA, MA dan SMK untuk semua jenis sekolah memperoleh nilai dibawah KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal), dan dibawah rata-rata (70). Dengan demikian secara umum KKM tidak dapat digunakan sebagai indikator keberhasilan UN. Hal ini berlawanan dengan konsep keberhasilan sekolah yang efektif.

5. Sekolah swasta belum optimum dalam meningkatkan

pembelajaran bidang studinya, juga tugas evaluasi pendidikan pengajaran masih belum memadai, pemahaman guru tentang tugas pengajaran masih sangat mekanistik

6. Dari pelaksanaan KTSP, lingkungan sekolah, suasana ruang

(13)

situasi, integritas diri, keterbukaan terhadap kritik, peran sosial, visi dan misi KTSP, idealisasi pimpinan, kebutuhan stakeholders, lingkungan sekolah, karakteristik siswa, pedoman pembuatan KTSP, hasil evaluasi KTSP, ternyata empat indikator yang mediannya berada dibawah rata-rata, yaitu: lingkungan sekolah, pengetahuan tentang ilmu pendidikan, usaha dan dampak perubahan kurikulum dan suasana ruang kelas.

7. Indikator: penguasaan materi, menguasai ilmu pendidikan,

menguasai cara membimbing siswa, menguasai metode pembelajaran melaksanakan evaluasi, perencanaan pembelajaran, mediannya berada dibawah rata-rata, berarti seluruh aspek kurikulum Behavioristik belum terpenuhi. Sedangkan disisi lain dalam literatur pengembangan KTSP berbasis kompetensi (KBK), sementara KBK adalah turunan lansung/jelmaan dari Behavioristik. Mungkin itulah yang menyebabkan pengembangan KTSP tidak selancar yang diharapkan. Kecendrungan umum SMA lebih baik dari MA, dan MA lebih baik dari SMK. Di SMA varian skor lima indikator tersebut lebih besar dibanding di MA dan SMK. Mungkin disebabkan pilihan masyarakat dimulai dari SMA, kemudian MA dan pilihan terakhir SMK. Untuk SMA ternyata varian yang jelek berada di sekolah negeri urban. Di MA dan SMK ternyata varian yang jelek berada di sekolah swasta rural.

8. Ketersediaan sarana & prasarana pendidikan masih belum

memadai terutama antar jenis sekolah (SMA, MA, SMK), Status sekolah (Negeri & Swasta) dan Lokasi Sekolah (Urban & Rural).

Saran

1. Sebaiknya Kadinas,kepala sekolah dan menjadi jabatan

profesional dan bukan politik dan berikan wewenang lebih besar kepada kepala sekolah untuk melakukan “tuning” dalam menetapkan style dan arah pengembangan.

2. Kembangkan KTSP secara integratif, dan sistematik

sehingga ditemukan cara-cara yang efektif untuk mencapai tujuan pendidikan dan tinggalkan pendekatan “componentwise” dalam pengembangan.

3. Gunakan teknologi untuk merekam data Penerapan KTSP

dan biasakan menggunakan data dalam merumuskan kebijakan.

4. Diperlukan penelitian yang lebih komprehensif untuk

mendukung kebijakan penerapan KTSP di Indonesia.

PUSTAKA ACUAN

Abdul Muin Sibuea. (2004). Penelitian dan Pengembangan Kurikulum Bidang Studi, Makalah, KONASPI V ISBN 979-445-001-4, UNS

Aljufri B. S. 1998. Analisis Kebutuhan Pengembangan Kurikulum FPTK-IKIP Padang dalam menghadapi era Persaingan Global. Disampaikan pada Seminar Lokakarya Kurikulum FPTK IKIP Padang tanggal 27 Juli 1998.

(14)

Ansyar, Muhamad.(1989) Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum. Depdiknas, Jakarta Brighouse, T. & Woods, D. (1999). How to Improve Your School. London: Routledge.

Coleman, J. S., Campbell, E. Hobson, C., McPartland, J., Mood, A., Weinfield, F. and York, R. (1966). Equality of Educational Opportunity. Washinton: US Government Printing Office. Dale, E.(1969) . Audio Visual Methods in Teaching.(Third Edition). New York: The Dryden Press,

Holt, Rinehart and Winston, Inc

Fasli Jalal (2006). CD Data Guru + HDI + UAN

Goldstein, H. & Thomas, S. (1995). School effectiveness and value added analysis. Forum, 37, 2, 36-8.

Gray, J., McPherson, A. Dan Raffe, D. (1983). Reconstructions of Secondary Education.

London: Routledge & Gegan Paul.

Gusrizal (2007). Efektivitas Sekolah Menengah Kejuruan. Dalam Hubungannya dengan Kepemimpinan Sekolah dan Keterlibatan Dunia Kerja. (Studi pada SMK Negeri Se- Sumatera Barat). Disertasi. Program Pasacasarjana Universitas Negeri Padang. Hamilton, D. (1996). Peddling feel-good fictions. Summer forum 38, 2, 54-6.

Hanafie, Imam (2000) Plus Minus Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)

http://siswa.org/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=25&artid=14

Hanushek, E. (1979). Conceptual and empirical issues in the estimation of educational production functions. Journal of Human Resources, 14, 351-88.

Hanushek, E. (1986). The economics of schooling: production and efficiency in public schools.

Journal of economic Literature, 24,1141-77.

Jenks, C. S., Smith, M., Ackland, H., Bane, M.,J., Cohen, D., Gintis, H., Heyns, B. Dan Micholson, S. (1972). Inequality: Assessment of the Effect of Family and Schooling in

America. New York: Basic Books.

Kunandar, 2007. Guru Profesional, Implementasi KTSP dan Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru, Rajagrasindopersada, Jakarta.

Kunandar. (2007). Guru Profesional, Implementasi Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan (KTSP) dan Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada Maria Lucia aida, (2007) Perhitungan Nilai Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Berbasis

Kompetensi http://siswa.org/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=25&artid=14

Moretimore, P. Sammons, P. Dan Thomas, S. (1994). School effectiveness and value added measures, Assessment in Education, 1, 3, 315-32.

Mortimore, P., Sammons, P., Stoll, L., Lewis, D. Dan Ecob, R. (1988). School Matters: The Junior Years. Wells: Open Books.

Mulyasa, E. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Konsep, Karakteristik, dan Implementasi.

Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

(15)

Purkey, S. C. & Smith, M. S. (1983). “Effective schools: a review”.Elementary School Journal, 83, 4, 427-52.

Reynolds, D. (1982). The search for effective school improvement: a review of the British literature. Dalam D. Reynold, B. Greemers dan T. Peters (eds) School Effectiveness and improvement. Proccedings of the First International Congress, London, 1988.

Rutter, M., Maughan, b., Mortimore, P. Dan Ouston, J. (1979). Fifteen Thousand Hours: Secondary Schools and teir Effects on Children. London: Open Books.

Sammons, P., Martimore, P., & Hillman, J. (1997). 7 Key characteristics of effective schools: a response to ‘Peddling feel-good fictions’ dalam Michael Barber & John White, (Eds.) (1997). Perspectives on school effectiveness and school improvement. London: The Institute of Education University of London.

Sammons, P., Mortimore, P. Dan Thomas, S. (1993). Do Schools Perform Consistently across

Outcomes and Areas? Paper disajikan pada Seminar “School Effectiveness and School

Improvement” July 1993, Univeristy of Sheffield.

Scheerens, J. (2000). Improving School Effectiveness. Paris: Unesco: International Institute for Educational Planning.

Smith, D. Dan Tomlinson, S. (1989). The School Effect: A Study of Multiracial Comprehensives.

London: Policy Studies Institute.

Stebbins, L., St. Pierre, R., Proper, E., Anderson, R. & Cerva, T. (1977). Education as Experimentation: A Planned Variation Model, vol IV an Evaluation of Follow through.

Cambridge, MA: Abt Associates.

Sumiyarno (2004). Kebijakan Pengembangan Kurikulum Dalam Menjawab Tantangan Lokal, Nasional, Dan Global: Berdasarkan Analisis Atas Kualitas Lulusan Pendidikan, Makalah, KONASPI V ISBN 979-445-001-4, UNS

Tilaar, H. A. R. 1998. Pendidikan Tinggi di Indonesia Dewasa ini Menghadapi Tantangan Abad XXI, dalam Membangun Daya Saing Bangsa Melalui Akselerasi Mutu Pendidikan Tinggi.

Malang: Merdeka University Press.

Tilaar, H.A.R. (Ed.). 2004. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta Van der Grift,W. (1987). Self-perceptions of educational leadership and average achievement.

Dalam J. Scheerens danW. Stoel (eds). Effectiveness of School Organizations. Lisse: Swets and Zaithlinger.

Gambar

Tabel 2. Pola analisis kualitatif KTSP
Gambar 1. Grafik Ijazah guru dengan kegiatan seminar dan kegiatan labor
Gambar 2. Persepsi guru dan persepsi siswa tentang gurunya

Referensi

Dokumen terkait

KONTRIBUSI BUDAYA ORGANISASI, KOMPETENSI DAN KESIAPAN GURU TERHADAP IMPLEMENTASI.. PEMBELAJARAN KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI (KBK)

Pemahaman tersebut terlihat dari penyiapan perangkat KBK, (2) Pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi di SMP Negeri 5 Surakarta secara menyeluruh, artinya segenap guru dan

Guru yang menguasai konsep pembelajaran bahasa dan sastra berdasarkan konsep kurikulum berbasis kompetensi (juga KTSP) yang didasarkan kepada pendekatan

Guru yang menguasai konsep pembelajaran bahasa dan sastra berdasarkan konsep kurikulum berbasis kompetensi (juga KTSP) yang didasarkan kepada pendekatan

kurikulum sebelumnya yakni Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Dalam KTSP, guru dituntut untuk kreatif dalam mengembangkan materi pembelajaran yang akan disampaikan di

Kurikulum 2013 merupakan pengembangan dari kurikulum berbasis kompetensi yang dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Pengembangan tersebut tidak hanya

Untuk mengetahui perbedaan peningkatan hasil belajar siswa yang diajar dengan kurikulum Berbasis kompetensi (KBK) dan siswa yang diajar kurikulum Tingkat satuan

Para penggagas pendidikan menilai bahwa kurikulum berbasis kompetensi KBK yang lahir pada 2004 yang kemudian direvisi dan disempurnakan ke dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan KTSP