• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERSPEKTIF DIFABILITAS DALAM POLITIK DI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERSPEKTIF DIFABILITAS DALAM POLITIK DI"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

PERSPEKTIF DIFABILITAS DALAM POLITIK DI INDONESIA Ishak Salim

Artikel ini mengupas aspek politik dalam konteks gerakan difabilitas di Indonesia demi memberi masukan bagi muatan konsepsi politik dalam RUU Difabilitas yang sedang disusun oleh DPR-RI. Berangkat dari pengalaman pengorganisasian 16 Aktifis Organisasi Difabel di 4 provinsi terkait pemilu 2014 yang dilakukan oleh Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB) dan mitra lokalnya, penulis menguraikan dinamika partisipasi politik warga difabel dan menjabarkan kontribusi penting gerakan difabilitas bagi kajian ilmu politik maupun kajian dan praktik pemilu di Indonesia. Empat provinsi tersebut adalah Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Jawa Timur dan DI Yogyakarta. Tulisan ini juga menegaskan pentingnya perspektif difabilitas dalam melakukan riset politik maupun pengorganisasian gerakan politik mengingat perspektif yang benar terkait difabel akan memengaruhi apakah sebuah proses penyusunan dan praktik atas kebijakan sosial maupun politik memasukkan atau mengucilkan difabel sebagai warga negara. Penulis merekomendasikan pentingnya memasukkan sejumlah poin pada aspek politik dalam RUU Difabilitas.

Kata kunci: perspektif disabilitas, pemilihan umum, inklusi, difabel, organisasi difabel

Pendahuluan

Pada pertengahan Januari 2014 sejumlah aktifis organisasi difabel di Kota Balikpapan dan Samarinda mendatangi Kantor KPU Provinsi Kalimantan Timur untuk memberi masukan soal Pemilu Inklusif.

Di antara mereka ada yang menggunakan kursi roda, kruk, dan tongkat. Rupanya kantor KPUD Kalimantan Timur sebagaimana juga di banyak kantor KPU daerah di Indonesia tidak aksesibel bagi mereka. Untuk memasuki kantor itu, pengguna kursi roda harus turun dan merangkak sekadar melewati tiga anak tangga. Ia berhasil tanpa perlu dipapah walaupun terpaksa menjadi bahan tontonan. Namun begitu disadarinya ruang Komisioner KPU ada di lantai dua, ia menyerah dan memilih dipapah hingga ke ruang Pak Ketua. Bagi pengguna kursi roda, berjalan dengan dipapah adalah bentuk ketidakberdayaan dan hal itu menunjukkan betapa lingkungan memang telah mendiskriminasikan dirinya.

Fenomena yang kurang lebih serupa di mana difabel kesulitan mengakses bangunan-bangunan atau kantor layanan publik juga terjadi di sejumlah tempat dengan momen politik yang sama, yakni pelaksanaan pemilu. Fenomena lain terjadi di Makassar saat pemilihan walikota berlangsung, di mana aktifis difabel memprotes buruknya desain braille template yang membingungkan pemilih “difabel netra” saat

hendak mencoblos. Pun demikian ‘pemilih tuli’ mengkritik berbagai model penyebaran informasi Kepemiluan dan kampanye peserta pemilu yang tidak akses bagi ‘bahasa’ mereka1 dan kemampuan mereka dalam mencerna berita yang bersifat audio.

Pada akhir Juli 2013 Husni Kamil, Ketua Komisi Pemilihan Umum menunjukkan kerisauan atau lebih tepat kegamangannya dalam melaksanakan pesta demokrasi dengan pelibatan penuh difabel. Ia mengharapkan perlunya mendiskusikan lebih jauh soal-soal teknis pelaksanaan Pemilu. Misalnya, soal tuntutan penyediaan kertas suara berhuruf braille dalam setiap pemilihan umum. Pada Pemilu 2014, ujarnya, dalam satu lembar kertas suara bisa ada 144 calon anggota legislatif untuk pemilihan anggota DPR saja.

"Bayangkan kalau kertas suara pemilu legislatif dijadikan huruf braille, [jika setiap partai politik mengajukan 12 calon legislatif untuk kursi DPR di tiap daerah pemilihan, penulis] akan ada 144 caleg dari 12 partai politik. Apa ini nantinya nggak bikin bingung?

1 Dalam sejumlah literatur, sejumlah komunitas tuli

(2)

Makanya kita perlu mendiskusikan lagi lebih jauh, model kertas surat suara apa yang pas untuk difabel," ujar Ketua KPU.

Tidak begitu jelas siapa pihak yang Pak Ketua KPU rujuk membikin bingung. Bagi pemilih ‘difabel netra’ kertas suara dengan template Braille jelas memudahkan. Jika yang dibuat bingung adalah para pihak penyelenggara Pemilu maka di sinilah pentingnya melibatkan mitra organisasi difabel secara maksimal dalam merancang sistem pemilihan yang aksesibel bagi seluruh ragam difabilitas. Sayangnya, sampai pada hari penjoblosan pada 9 April 2014, kertas suara untuk pemilih difabel baik untuk DPR-RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/kota pihak KPU tidak menyediakannya. Alasannya adalah rumit secara teknis, padahal di provinsi DI Yogyakarta, KPU setempat bersama KPU kota Yogyakarta dengan kesadaran akan perspektif difabilitas yang baik para komisionernya berani keluar dari kebijakan pusat dan melakukan diskresi untuk menyediakan braille template dengan bekerjasama dengan organisasi difabel CIQAL (Center for Impoving Qualified Activity in Live of People with Disabilities) di Yogyakarta.

Gambaran di atas menunjukkan bahwa penyelenggara Pemilu di Indonesia pada umumnya memang masih memiliki kelemahan dalam mengokomodir kepentingan seluruh rakyat Indonesia dengan berbagai karakteristik, khususnya bagi difabel. Padahal, Bukan saja karena Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak-Hak Difabel pada 18 Oktober 2011, namun dari segi kuantitas, jumlahnya cukup tinggi. Berdasarkan data terkini, jumlah difabel

di Indonesia mencapai angka 10%

dari total populasi (TNP2K 2012). Pun

demikian dengan mengacu kepada ‘

World

Report on Disability

(WHO 2012), di

Negara berkembang seperti Indonesia,

jumlah tersebut bisa mencapai 15%

bahkan lebih. Sayangnya, gambaran data

mengenai difabel di Indonesia tidaklah

seragam di tiap kementerian. Dengan

terminologi dan definisi yang

berbeda-beda, baik BPS, Kementerian Pendidikan,

Kementerian

Kesehatan,

serta

Kementerian Sosial masing-masing

mempresentasikan data yang tidak

seragam yang tentu saja menimbulkan

kesulitan menjadikan sebagai bahan acuan

untuk formulasi kebijakan yang tepat

sasaran.

Pemilu inklusif atau Pemilu Akses memang mensyaratkan pengetahuan akan segala hal berkaitan dengan isu disabilitas dari penyelenggara. Di sinilah letak pentingnya kehadiran sejumlah pemilih difabel yang kini begitu aktif masuk ke ruang-ruang formal Pemilu 2014 lalu untuk berdialog dengan penyelenggara pemilu di setiap tingkatan di banyak daerah. Tujuannya adalah mengajarkan kepada bangsa ini betapa ‘perspektif difabilitas’ amat penting dalam pemilu. Penting karena perspektif ini berisi “sisi manusiawi” dari sebuah sistem pemilihan atau sistem politik secara lebih luas. Jika perspektif ini berhasil ditanamkan kepada para penyelenggara sampai kepada para peserta pemilu, dan diterapkan di ranah praktis, maka pemilu ini menjadi akses bagi semua orang, bahkan tak hanya bagi warga difabel sendiri.

Dalam pengalaman sejumlah pemilih difabel yang tergabung di dalam organisasi-organisasi difabel di 4 daerah (Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Jawa Timur dan DI Yogyakarta) di mana penulis juga terlibat dalam pengorganisasian tersebut, sejumlah permasalahan dalam pemilu ditemukan dan diupayakan penyelesaiannya secara aktif oleh difabel. Serangkaian aktifitas kelompok difabel dalam pemilu ini dikoordinir oleh SIGAB (Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel) di sepanjang proses pemilu mulai dari tahap awal sampai akhir pemilu2. Salah satu aspek penting dari sebab dari tidak aksesnya Pemilu 2014 adalah masih kuatnya perspektif medik dalam memandang eksistensi disabilitas dan kemudian

2 Beberapa aktifitas organisasi-organisasi difabel di

(3)

berimplikasi kepada desain regulasi dan prosedural kepemiluan. Ragam bentuk partisipasi difabel ini kemudian melahirkan sejumlah rekomendasi penting untuk perbaikan sistem pemilu di masa yang akan datang.

Kajian Politik dan Kajian Difabilitas

Politik memiliki banyak ragam pengertian. Ilmuan-ilmuan politik seperti Roger F. Soltau, J.Barents, Harold D. Laswell, A. Kaplan, W. A. Robson, Deliar Noer, Ossip K. Flechtheim, Joyce Mitchell, Karl W. Deutsch, Hoogerwerf, David Easton, dan yang amat banyak dikenal Harold Laswell yang mendefinisikan politik sebagai “Who Gets What, When and How” atau “siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana” sudah mendefinisikan ragam pengertian politik. Bahkan Soekarno sebagai pendiri Republik ini merumuskan definisi politik sebagai‘seni memungkinkan apa yang tidak mungkin di masa lampau’.

Jika menggunakan definisi Soekarno soal apa itu politik, maka kita dapat mengoperasionalkan definisi tersebut ke dalam konteks difabel. Pernyataannya dapat berbunyi: ‘pada dua zaman di mana Soekarno dan Soeharto memerintah republik ini, keduanya belum mampu membangun sistem politik yang inklusi, maka di zaman kekinian generasi kita bersama pemimpin negara yang baru akan dapat mewujudkan sistem politik inklusi’. Upaya mengubah yang di masa lalu tidak mungkin menjadi mungkin itulah, politik! Ya, sebagaimana Soekarno dan sejumlah pendiri bangsa sudah mengubah keadaan politik dari bangsa yang dijajah menjadi bangsa yang merdeka.

Sekali lagi, itulah politik! Ia adalah proses mengubah relasi kuasa atau jejaring kuasa. Jaringan kuasa yang membentuk pola interaksi politik antara ‘pengabai’ dan ‘yang diabaikan’ (exclusion) atau penindas dan yang ditindas (expulsion).

Dari berbagai latar pemikiran yang berupaya mendefinisikan makna politik di dalam kajian keilmuan politik (political science), di awal tahun 1950-an setidaknya dikenal lima varian kajian, yakni kajian Negara (State), Kekuasaan (Power), Pengambilan Keputusan

(Decision Making), Kebijakan (Policy), dan Pembagian Kekuasaan (Distribution of Power). UNESCO bahkan pernah menerbitkan pola pengelompokkan kajian politik berdasarkan ‘Ilmu Politik Kontemporer’ di masa itu. Empat bidang utama kajian tersebut, mengkaji: [1] Teori Politik, terkait Teori politik dan Sejarah Perkembangan ide-ide politik, [2] Lembaga-lembaga politik, terkait Undang-Undang Dasar, Pemerintahan Nasional, Pemerintah Daerah dan lokal, Fungsi Ekonomi dan sosial dari pemerintah, dan Perbandingan Lembaga lembaga politik, [3] Partai Partai, Golongan-golongan dan pendapat umum yang terkait partai-partai politik, para golongan dan asosiasi, partisipasi warga negara dalam pemerintah dan administrasi serta pendapat umum, dan [4] Hubungan internasional seperti politik internasional, organisasi-organisasi dan administrasi internasional, dan hukum internasional.

(4)

Pendekatan queer3 saat ini sedang “bertemu” dengan pendekatan disabilitas kritis dalam kajian kewarganegaraan (citizenship) di mana keduanya berupaya menjelaskan kategori perilaku dan keseharian warga negara yang memiliki perbedaan dari budaya mainstream. Dalam hal ini, pendekatan Queer merupakan salah satu cara pandang untuk mencermati orientasi dan perilaku seksual yang berbeda seperti kelompok warga negara yang menyebut identitas mereka sebagai kaum LGBT. Sedangkan kajian disabilitas adalah kajian yang menelaah keseharian warga difabel berhadapan baik dengan dirinya sendiri maupun lingkungannya. Dalam salah satu literatur berjudul ‘Desiring Disability: Queer Theory Meets Disability Studies’ dijabarkan bagaimana kerangka kerja ‘teori queer’ dan ‘kajian disabilitas’ menawarkan sebuah kemungkinan-kemungkinan baru bagi bukan saja kaum LGBT maupun difabel untuk diakui dan disejajarkan dengan warga negara lain, namun juga oleh kelompok-kelompok rentan lainnya yang selama ini diabaikan oleh pengusung ideologi mainstream.

Di Indonesia, kajian politik terkait isu disabilitas belum banyak dilakukan apalagi ditulis dengan serius oleh ilmuan ataupun aktivis politik. Jikapun terdapat kajian disabilitas, hal itu lebih kepada aspek gerakan di tingkat akar rumput dan belum secara langsung menyentuh kepada aspek-aspek kelembagaan formal maupun kebijakan dan pemikiran politik. Namun, walaupun tidak fokus kepada lembaga-lembaga formal, namun tidak berarti kajian disabilitas benar-benar alfa dari politik. Salah satu yang terpenting dalam kajian disabilitas dan politik adalah pada aspek hadirnya ‘perspektif disabilitas’ dalam fokus kajian. Sebagaimana dengan mudah diamati, jelas bahwa dibandingkan dengan ‘perspektif disabilitas’, jelas bahwa ‘perspektif gender’ atau ‘perspektif masyarakat adat’ jauh lebih besar dan luas gaung

3 Queer adalah istilah payung untuk menjelaskan

identitas seseorang berdasarkan kombinasi antara jenis kelamin (sex), orientasi seksualnya (gender) dan hasrat (desire). Queer theory berupaya menjelaskan bahwa konstruksi sosial terkait orientasi seksual maupun hasrat seseorang harus didekonstruksi mengingat basis pemikiran konstruksi sosial tersebut tak lagi memadai untuk digunakan mengingat muncul dan menguatnya identitas-identitas seksual seperti lesbian, gay, bi-sexual, dan trans-gender.

dan jangkauan politiknya dalam upaya mereka memperkenalkan dan memperjuangkan kepentingan identitasnya masing-masing.

Berikut beberapa kajian politik dan disabilitas. Dua buku terbaru terkait Difabel dan Pemilu diterbitkan oleh SIGAB di mana penulis adalah editornya, terbit pada tahun 2014 dan 2015. Pertama adalah buku yang berjudul ‘Memahami Pemilihan Umum dan Gerakan Politik Kaum Difabel” (Salim, Ishak, Ed., 2014) dan buku kedua “Difabel Merebut Bilik Suara: Kontribusi Gerakan Difabilitas dalam Pemilu Indonesia” (Salim, Ishak, Ed., 2015). Kedua buku ini membahas kaitan difabel dalam pesta demokrasi dan merupakan refleksi pengalaman pengorganisasian di 4 daerah di Indonesia (Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Jawa Timur dan DI Yogyakarta) serta refleksi teoritis terkait perspektif difabilitas dan politik difabel. Kajian ini memberi dasar bagi pemilih difabel dalam menggunakan hak politiknya, khususnya hak memilih dan dipilih dalam pemilu.

Buku lain yang juga diterbitkan oleh SIGAB pada tahun 2015 adalah terkait dengan Politik Pengukuran Kesejahteraan yang berjudul ‘Hidup Dalam Kerentanan: Narasi Kecil Keluarga Difabel’. Buku ini bertujuan menggugat Politik Pengukuran (the politic of measurement) yang selama ini menggunakan satu-satunya indikator dalam mendesain Sistem Jaminan Sosial Negara (SJSN), yakni indikator kemiskinan. Dalam kajian politik pengukuran, tampak bahwa pemerintah selama kurun waktu beberapa dekade menggunakan sejumlah metodologi pengukuran yang berbeda-beda. Nantilah pada tahun 2007 pemerintah mulai konsisten dalam menggunakan metodologi pengukuran hingga saat ini yang dikenal dengan 14 indikator kemiskinan ala BPS (lihat Jan Priebea, “Official Poverty Measurement in Indonesia since 1984: A Methodological Review, April 2014). Sayangnya metodologi pengukuran ini rupanya berimplikasi kepada tidak terakomodasinya karakteristik difabel untuk menerima jaminan sosial akibat hanya indikator miskin yang selalu jadi rujukan untuk memberikan jaminan sosial kepada seseorang.

(5)

memasukkan ‘aspek kerentanan’ sebagai pelengkap dari model pengukuran di Indonesia. Tentu saja hal ini penting dimasukkan mengingat Negara ini masih mengagungkan Pendekatan Targetting dalam menjamin kesejahteraan hidup warganya. Amat berbeda jika desain kebijakan sosial (social policy) Indonesia beralih ke model Universal Design yang tidak lagi membutuhkan kategori-kategori penduduk. Masih terkait dengan kebijakan pengukuran ini, seharusnya negara mengubah perspektif pendataannya, yang tidak saja berpatokan kepada perspektif kemiskinan, namun juga perspektif disabilitas untuk menemukan sisi lain dari kehidupan difabel, yakni kerentanannya (lihat Salim, Ishak dan Syafi’ie, M, Sigab, 2015).

Karya lain terkait bidang politik adalah yang ditulis oleh M. Joni Yulianto, Slamet Thohari dan Suharto yang secara langsung berkaitan dengan kajian politik, khususnya dari sisi kepentingan difabel, sebagai pihak yang tersingkir dalam pusaran kebijakan di Indonesia, namun dengan penekanan yang berbeda satu sama lain.

M. Joni Yulianto misalnya mengupas tentang ‘gerakan sosial difabel di Indonesia’ yang dalam versi Inggrisnya berjudul “An Advance Investigation on the Influence of the Disability Movement in Indonesia”, diterbitkan oleh VDM Verlag Dr. Müller, pada 2 Mei 2011. Kajian Joni Yulianto pada 2008 ini berupaya melihat bagaimana pengaruh gerakan disabilitas di Indonesia. Kesimpulan Joni dalam riset kualitatifnya ini adalah bahwa tidak ada kesamaan pemahaman di antara aktifis difabel (yang menjadi informannya) terkait persoalan-persoalan yang dihadapi difabel di Indonesia, khususnya terkait dengan gerakan sosial dan formulasi gerakan itu sendiri. Joni mengasumsikan bahwa hal ini terjadi mungkin karena ketidakefektifan gerakan disabilitas itu sendiri. Kedua, penelitian ini menunjukkan bahwa kehadiran gerakan sosial difabel di Indonesia telah berkontribusi setidaknya meningkatkan kesadaran difabel yang dapat diamati dari meningkatnya jumlah organisasi difabel baik di level nasional maupun daerah. Terakhir, berdasarkan identifikasi hambatan yang dihadapi oleh gerakan sosial difabel, penelitian Joni Yulianto menyatakan sejumlah rekomendasi penting seperti: [1] pentingnya

memprioritaskan penguatan kapasitas organisasi difabel di ranah basis, jaringan, dan sumberdayanya, [2] memprioritaskan penguatan pada aspek ideologi gerakan difabel seperti terkait pemahaman akan gerakan sosial difabel, prinsip-prinsip gerakan difabel, dan tujuan gerakan itu sendiri, [3] mempertimbangkan aspek kemandirian pendanaan gerakan sosial difabel yang tidak lagi menggantungkan diri pada pendanaan berbasis pemerintah maupun donor demi terbangunnya kekuatan posisi bargaining politik dengan pihak lain, dan [4] pentingnya membangun aliansi baru dengan organisasi gerakan sosial lainnya khususnya terkait kesamaan paradigma disabilitas yang tidak lagi dicekoki oleh paradigma mainstream yang terlalu individual dan melupakan aspek model atau desain sosial (Joni Yulianto, M., hal. 62 - 65).

Sementara itu, karya Slamet Thohari

berjudul “Disability In Java: Contesting Conceptions of Disability In Javanese Society after the Suharto Regime” yang diterbitkan oleh LAP LAMBERT Academic Publishing, pada 31 Mei 2013 merupakan kajian yang membahas kontestasi konsep-konsep disabilitas di zaman pascaordebaru di Yogyakarta. Dengan menggunakan teori Pierre Bourdieu, Thohari mengupas empat konsep disabilitas di Masyarakat Jawa, khususnya di Yogyakarta. Konsep-konsep tersebut adalah Konsep Jawa-tradisional, konsep Islam, Konsep Model Medik, dan konsep Model Sosial. Lebih lanjut Thohari mengurai bahwa konsep disabilitas Jawa memandang seorang difabel sebagai magis, konsep Islam memandang difabel sebagai objek amal, konsep medik memandang difabel dari aspek individu yang abnormal, dan konsep model sosial yang menganggap difabel sebagai individu yang dikucilkan dari peran sosial akibat desain sosial yang keliru atau ‘disabilitas sebagai sebuah konstruksi sosial’. Menurut Thohari, seluruh konsepsi ini saling berkontestasi satu sama lain dan dapat dilihat dari bagaimana desain kebijakan kesehatan dan pendidikan serta fasilitas publik di Yogyakarta.

(6)

Thohari menolak dominasi perspektif medik dan

perspektif lainnya yang justru

mendiskriminasikan difabel dalam ranah publik atau dalam konteks kekinian menolak disabelisme di Indonesia. Dalam cara pandang Thohari ini, dapat dikatakan bahwa pemikirannya soal kontestasi berbagai perspektif ini senada dengan konsepsi relasi Kuasa-Pengetahuan yang telah dipopulerkan oleh Michel Faoucault. Di mana hal tersebut merupakan pergulatan diskursus antara wacana mainstream (medik) dengan wacana alternatif (model sosial) yang masing-masing ‘bangunan pengetahuan’ itu ditopang oleh kelembagaan-kelembagaan [politik] tertentu. Semakin kuat dominasi ‘pemikiran berikut institusinya’ semakin mengakar pula pengaruh pemikiran itu di ranah massa. Tampaknya, mengikuti nalar berpikir ini, wacana medik masih kokoh mencengkeram lembaga-lembaga politik baik formal maupun informal.

Aktifis lain, yakni Suharto, seorang aktifis difabel netra yang menyelesaikan studi masternya di ISS The Hague pada 2010 juga menulis tesis yang menarik terkait pemberdayaan berbasis komunitas difabel yang berjudul “Community-based Empowerment for Translating Diffabled People’s Right to Work: A Case Study in Klaten Regency, Central Java, Indonesia’. Research Paper ini menegaskan bahwa empowerment atau yang kerap diterjemahkan sebagai ‘pemberdayaan’ merupakan kajian soal Kuasa (Power, empowerment) yang juga bagian dari kajian politik.

Karya-karya lain yang dapat dikategorikan bernafaskan politik dapat juga ditelusuri di masa Orde Baru, yakni tulisan-tulisan yang dibuat oleh Mansour Fakih di mana Fakih dan sejumlah aktifis difabel di masa itu seperti Setyo Adi Purwanta memperkenalkan konsep baru guna melawan wacana mainstream ‘Penyandang Cacat’ yakni wacana ‘Difabel’ (lihat

Fakih, Mansour., ‘

Panggil Saja

Kami Kaum Difabel’

, dalam

Jalan Lain :

Manifesto Intelektual Organik, Pustaka

Pelajar, Yogyakarta, 2011, hlm 306-311)

. Konsep difabel inilah yang kemudian mengilhami banyak generasi muda khususnya ketiga penulis dan aktifis yang disinggung di

atas yang terus menerus merongrong pendekatan individual-medik di Indonesia. Perlawanan itu bukan hanya menguat di Yogyakarta, namun kini juga semakin meluas di beberapa daerah di Indonesia seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan lain-lain.

RUU Penyandang Disabilitas dan Kontestasi Ragam Perspektif Disabilitas

Amat disayangkan, jika mencermati muatan RUU Penyandang Disabilitas (2014) di Indonesia, dominasi perspektif medik ini masihlah kental. Misalnya saja dari penamaan RUU ini yang menegaskan pada ‘Penyandang Disabilitas’ atau pada individunya dan bukan pada aspek sosial yang membuat orang menjadi disabel atau tidak mampu. Di negara-negara seperti Inggris dan Australia, penamaan undang-undangnya menunjukkan perspektifnya. Di Inggris, disebut The Disability Discrimination Act pada tahun 1995 dan disempurnakan pada 2005 serta aturan terkait Equality Act pada 2010. Di Australia, disebut The Disability Discriminaton Act sejak tahun 1992. Bahkan, dalam menyebutkan warganya, Pemerintah Inggris tidak menggunakan ‘Persons with disabilities’ melainkan ‘disabled person’ yang artinya orang yang didisabelkan oleh faktor di luar dirinya. Sementara di negara tetangga seperti Malaysia, relatif sama penamaannya yang merujuk kepada ‘individu’nya di mana pemerintah Malaysia menggunakan nama ‘Person With Disability Act’ atau ‘Akta Orang Kurang Upaya’ pada 2008.

(7)

negara. Coba cermati dalam RUU Penyandang Disabilitas, adakah definisi disabilitas di sana? Bukankah pengertian antara penyandang disabilitas dan disabilitas itu ada;ah dua hal yang berbeda?

Secara politik, demikianlah betapa pentingnya aspek perspektif difabilitas ini dipahami oleh para penyusun kebijakan dan penjelasan akan kategori-kategori perspektif itu menjadi penting untuk dipaparkan, khususnya terkait bagaimana sejumlah perspektif itu kemudian--meminjam istilah Thohari--saling berkontestasi satu sama lain.

Dalam kajian Disabilitas (Disability Studies), perspektif dan teori disabilitas sudah banyak dikupas bukan saja di negara-negara maju seperti di Eropa, Australian dan Amerika bagian Utara namun juga di negara-negara berkembang seperti Afrika Selatan. Dalam paper ini, penulis alan Pemaparan sejumlah perspektif dan teori tentang disabilitas dalam paper ini banyak mengutip pemaparan Paul T. Jaeger dan Cynthia Ann Bowman dalam bukunya yang berjudul ‘Understanding Disability: Inclusion, Access, Diversity, and Civil Rights (2005). Menurut keduanya, dengan juga mengutip pandangan dari Huber & Gillaspy (1998), Disabilitas dan pengetahuan terkait disabilitas adalah eksis dalam realitas sosial kita. Banyak bidang akademik telah bersandar pada persamaan antara ‘disabilitas’ dengan ‘penyandang disabilitas’ atau difabel, membuat seorang difabel tampaknya menjadi sekadar masalah atau bahkan diabaikan. Sosiolog, misalnya, biasanya mengabaikan aspek disabilitas atau hanya mempelajarinya sebagai sesuatu yang eksotis (Barton, 1996). Ketika disabilitas dipelajari dan dibahas secara teoritis, seringkali dengan cara yang ofensif (Hahn, 1997), karena banyak peneliti melihat seorang difabel hanya dalam hal kondisi biologis dan menyimpulkannya sebagai orang yang membutuhkan bantuan (Fine & Asch, 1988). Banyak pula difabel yang memandang sejumlah hasil penelitian tentang disabilitas sebagai cerminan dan [justru] mengabadikan mitos sosial yang negatif dan stereotip terhadap mereka (Kitchin, 2000; Stone & Priestly, 1996).

Mengingat bahwa ‘disabilitas’ dapat dipelajari dari berbagai perspektif yang berbeda, seperti dalam aspek pembangunan manusia, kebijakan publik, hukum, budaya, masyarakat, etika, filsafat, dan teknologi (Turnbull & Stowe, 2001) maka--mengutip Paul T. Jaeger dan Cynthia Ann Bowman -kegagalan selama ini dalam memahami hidup keseharian disabilitas akan dapat diperbaiki demi terciptanya tatanan sosial yang lebih baik bagi semua orang di masa mendatang.

Dalam ragam penelitian tentang disabilitas yang sudah dilakukan, terdapat empat perspektif yang paling dominan menjadi rujukan dalam menjelaskan disabilitas, yakni perspektif yang melihatnya sebagai isu medik, isu sosial, isu ekonomi, dan isu postmodern.

Perspektif Medik. Dalam masyarakat maupun dalam penelitian soal kemasyarakatan, individu yang memiliki “kecacatan” atau gangguan fisik dan mental, sering dilihat sebagai disabilitas, dan disabilitas tersebut sering dianggap sebagai murni masalah medik yang dapat dan harus dirawat. Perspektif medis menekankan bahwa disabilitas terkait dengan ‘fungsi biologis’ atau ‘fisiologis’ dalam diri seseorang (lihat juga Silvers, 1998). Perspektif medis mengklasifikasikan disabilitas atau seorang dengan disabilitas (person with disabilities) sepenuhnya terkait dengan individu difabel, terlepas dari faktor-faktor eksternal diri difabel tersebut. Perspektif ini juga biasanya disebut sebagai perspektif konservatif. Perspektif ini memandang bahwa persoalan yang disebabkan oleh ‘disabilitas’ dianggap berada dan bersumber dalam diri individu dan terlepas dari konteks sosial, atau mengidentifikasi difabel sebagai masalah biologis. Tujuannya bagi difabel kemudian adalah untuk menemukan obat medis demi menyembuhkan “kecacatannya”. Secara bersamaan, perspektif ini fokus pada disabilitas sebagai sebuah masalah yang dapat ditangani melalui kemajuan medis dan teknologi (Switzer, 2003). Gerakan eugenika (The eugenics movement) adalah salah satu contoh yang mengagungkan pendekatan medis klasik dalam memandang disabilitas. Eugenika sendiri memiliki pengertian "memperbaiki" ras manusia

(8)

dari

http://id.wikipedia.org/wiki/Eugenika#cite

_ref-Osborn1937_1-0

yang mengutipnya

dari

"Development of a Eugenic Philosophy" by Frederick Osborn in American Sociological Review, Vol. 2, No. 3 (Jun., 1937) , pp. 389-397).

Penekanan medis ini telah berdampak besar pada cara masyarakat luas dalam mengklasifikasikan dan menjelaskan disabilitas. Setiap penelitiannya berfokus pada soal

“bagaimana mendefinisikan dan

menggambarkan penyakit yang diderita difabel tersebut, atau mengklasifikasikan patologi yang diidap, dan bahkan memberikan wacana mengenai individu yang terkena" (Huber & Gillaspy, 1998, hal. 201). Perspektif medis telah membentuk banyak klasifikasi ‘kecacatan’ atau disabilitas dalam komunitas medis dan masyarakat pada umumnya melalui pendekatan dan melalui terminologi serta mendorong hadirnya persepsi negatif terhadap difabel.

Bahasa medis soal disabilitas atau “kecacatan” kemudian perlahan-lahan menjadi ‘bahasa penghinaan’ secara sosial dan istilah ‘yang menghinakan’ ini--seperti si buntung, si pincang, si buta, si pengkor, si idiot, si autis, dst--kemudian telah kehilangan konotasi medisnya secara asali dan bahkan menjadi alat budaya untuk mendevaluasi dan meminggirkan kelompok masyarakat tertentu" (Christensen, 1996, hal. 64). Pandangan-pandangan budaya yang telah melekat dari perspektif medis ini juga meluas ke lembaga-lembaga sosial. Bahkan kemudian, kebijakan-kebijakan tertulis tentang kecacatan atau disabilitas dari lembaga-lembaga sosial "cenderung menawarkan pembenaran atas status quo tersebut" (Riddell, 1996, hal. 83).

Dalam upaya untuk secara langsung menangani masalah dari dampak ‘pendefinisian yang menghinakan’ ini yang lahir dari perspektif medis, sejumlah ilmuan yang mempelajari isu-isu disabilitas kemudian mengkaji sejumlah perspektif lain demi mencoba lebih memahami isu disabilitas dalam masyarakat. Perspektif ini muncul sebagai reaksi terhadap kegagalan “ilmuan mainstream” demi mempelajari dan mendiskusikan isu disabilitas secara memadai dalam masyarakat (Bowman & Jaeger, 2003).

Perspektif sosial. Perspektif sosial

tentang disabilitas merupakan alternatif atau tandingan dari perspektif medis. Pendekatan sosial menegaskan bahwa ‘kecacatan atau disabilitas’ adalah hasil dari pola pengaturan sosial yang bekerja untuk membatasi kegiatan ‘difabel’ dengan menempatkan sejumlah ‘hambatan-hambatan sosial’ dalam cara mereka, yakni beraktifitas atau berpartisipasi (Thomas, 1999, hal. 14).

Disabilitas, menurut perspektif sosial adalah hasil dari bagaimana karakteristik fisik atau mental seseorang mempengaruhi berfungsinya diri mereka dalam suatu lingkungan dan harapan untuk upaya pemungsian atas kapasitas yang mereka miliki (Silvers 1998, 2000). Pemungsian yang dimaksud adalah misalnya bahwa walaupun seseorang buta namun tidak berarti ia sakit dan tidak dapat berkomunikasi digital secara sewajarnya. Seorang difabel penglihatan akan tetap dapat memfungsikan kapasitasnya dengan dukungan fasilitas atau alat berkomunikasi, seperti dengan laptop ‘bersuara’ yang memiliki program JAWS (untuk teks Berbahasa Inggris) dan DAMAYANTI (untuk teks berbahasa Indonesia).

Amat kontras dengan perspektif medis, perspektif sosial memandang disabilitas seseorang (dan bukan kecacatannya) lebih sebagai akibat dari faktor eksternal yang dikenakan pada seseorang daripada sekadar fungsi biologis difabel itu. Perspektif sosial memungkinkan kita untuk melihat disabilitas sebagai efek dari lingkungan [eksternal] yang tidak bersahabat bagi sejumlah bentuk tubuh dan bukan hal yang lain, [dan untuk itu] difabel lebih membutuhkan kemajuan dalam keadilan sosial dan bukan dalam kemajuan kedokteran (Siebers, 2001, hal. 738). Keyakinan-keyakinan dan fungsi-fungsi sosial yang kemudian meminggirkan dan melemahkan peran difabel dapat dilihat sebagai hambatan untuk hidup sepenuhnya bersandar pada [jenis] kemampuan mereka.

(9)

difabel nampak lebih jelas bagi kita agar supaya kita dapat lebih mempromosikan penerimaan seluruh difabel ke dalam dunia sosial demi membuat kehidupan umat manusia lebih inklusif tanpa stigma dan pelabelan negatif.

Dalam perspektif sosial, diskriminasi terhadap individu difabel, yang kadang-kadang diidentifikasi sebagai disablisme (disabelism) atau abelisme (ableism), dipandang sebagai mirip dengan seksisme, rasisme, homofobia, dan ageisme sebagai penindasan dari kelompok-kelompok tertentu berdasarkan kekuatan sosial, politik, dan ekonomi (Abberly, 1987). Perspektif sosial menyatakan bahwa memahami konstruksi sosial yang menindas difabel selama ini harus digunakan untuk mengurangi berbagai ‘ketidakberuntungan’ yang sudah diciptakan oleh pandangan bahwa diri individulah yang tidak mampu akibat adanya ‘gangguan fungsi tubuh dan mental’. Tatanan sosial harus diubah melalui perbaikan cara pandang akan disabilitas demi menjamin terciptanya kesetaraan sosial, politik, ekonomi, budaya dan lain sebagainya bagi semua orang (Silvers, 1998).

Meskipun mungkin kekurangan dalam perspektif sosial disabilitas telah dikemukakan (Corker & French, 1999; Thomas, 1999), tampaknya pendekatan sosial ini mulai berkembang pesat dan menonjol, atau setidaknya paling sering dibahas dalam perbincangan soal ‘klasifikasi sosial disabilitas’. Beberapa pakar, seperti dalam konteks Indoensia Mansour Fakih, Setyo Adi Purwanta dan generasi-generasi aktivis dan ahli disabilitas setelahnya telah fokus pada isu-isu disabilitas secara spesifik dalam perspektif sosial sebagai hal yang sangat penting. Salah satu pendekatan ahli itu adalah yang menekankan peran pelabelan dalam konstruksi sosial disabilitas, yang melihat disabilitas sebagai "label sosial yang negatif” yang diterapkan oleh sejumlah orang [di banyak daerah bahkan kebudayaan] kepada orang lain dengan efek yang meminggirkan difabel baik secara sosial maupun politik" (Riddell, 1996, hal. 86). Perspektif ini memandang disabilitas sebagai ciptaan langsung dari eksklusi atau pengabaian sosial melalui ‘pelabelan’, baik melalui sarana hukum, kebijakan, maupun standar sosial.

Perspektif Ekonomi. Daripada sekadar melihat disabilitas sebagai masalah

medis atau sosial, beberapa ilmuan memahami disabilitas sebagai masalah ekonomi. Perspektif ini, yang disebut juga perspektif materialis menegaskan bahwa penindasan terhadap difabel berakar dalam domain ekonomi, baik dalam diri individu maupun dalam sikap orang lain (Barnes, 1990; Finkelstein, 1980; Oliver, 1990). Menurut perspektif materialis, impairment atau disabilitas bukanlah konstruksi sosial melainkan lebih pada sebab-sebab ekonomi yang nyata, seperti kepentingan soerang ‘profesional’, ‘perubahan teknologi’, dan ‘prioritas ekonomi’. Dalam pandangan ini, sebagai contoh, seorang difabel menjadi kurang dihargai sebagai pekerja oleh majikan, dipandang sebagai kendala oleh pekerja lainnya, adalah karena ia memiliki kesulitan yang lebih besar dalam berurusan dengan teknologi baru. Semua faktor ini berkontribusi terhadap sikap yang berfungsi untuk meminggirkan para difabel karena alasan-alasan ekonomi itu. Perspektif ini memandang bahwa masalah utamanya adalah pada adanya persepsi bahwa ‘difabel memiliki nilai ekonomi yang lebih rendah dibandingkan dengan anggota masyarakat lainnya’.

(10)

Sebagai ringkasan perspektif teoritis Disabilitas, lihat boks berikut.

Boks

Perspektif Teoritis Disabilitas

Perspektif Teoritis Pengertian Disabilitas

Perspektif medis Menekankan bahwa disabilitas adalah terkait ‘fungsi biologis’ atau ‘fisiologis’ dalam diri seseorang (Silvers, 1998). Perspektif ini disebut juga perspektif individual, atau persoalan terkait disabilitas selalu dipandang sebagai urusan individu yang terganggu tubuh dan mentalnya.

perspektif sosial Disabilitas adalah hasil dari bagaimana karakteristik fisik atau mental seseorang mempengaruhi berfungsinya diri mereka dalam suatu lingkungan dan harapan untuk pemungsian (Silvers 1998, 2000). Perspektif ini memandang bahwa seseorang menjadi difabel lebih karena konstruksi sosial yang mendisabledkan difabel dan bukan faktor individunya.

perspektif materialis Menegaskan bahwa penindasan terhadap difabel berakar dalam domain ekonomi, baik dalam diri individu maupun dalam sikap orang lain (Barnes, 1990; Finkelstein, 1980; Oliver, 1990). Difabel dianggap rendah kualitas pribadinya dalam melakukan aktifitas ekonomi (dalam hal produksi, pengolahan, maupun pemasaran).

perspektif postmodernis

Mempertanyakan “nilai yang mencoba untuk membuat teori disabilitas” karena pengalaman manusia terlalu beragam dan kompleks untuk diakomodasi oleh teori (Shakespeare, 1994). Setiap daerah memiliki karakteristik disabilitasnya. Dalam skop Jawa sekalipun terdiri dari berbagai karakteristik yang dipengaruhi oleh berbagai latar sosial, budaya, pendidikan, etnik dan lain-lain.

Sumber: SIGAB 2015 (yang diolah dari buku Paul T. Jaeger dan Cynthia Ann Bowman dalam bukunya yang berjudul ‘Understanding Disability: Inclusion, Access, Diversity, and Civil Rights.

Semua pandangan yang berbeda-beda ini telah berkontribusi untuk mencoba lebih memahami ‘klasifikasi disabilitas’. Demikian pula dalam menganalisa fenomena politik kepemiluan, maka kita dapat melihat bahwa cara bagaimana pemilu didesain dan dijalankan amat dipengaruhi bagaimana perspektif para pelaksananya. Pun demikian, orang-orang yang kemudian duduk di kursi parlemen tak lepas dari cara pandangnya akan disabiltis yang akan menentukan watak kebijakannya (lihat hasil ‘survei persepsi calon legislator terhadap isu-isu disabilitas’ dalam “Difabel Merebut Bilik Suara, Sigab, 2015).

Lihat pula misalnya bagaimana alasan

(11)

bias terhadap difabel sebagai akibat dari sikap sosial pada umumnya. Juga bisa terjadi karena pelaksana pemilu beranggapan bahwa ‘difabel penglihatan’ itu adalah person yang tidak mampu dan untuk itu mesti dibantu dengan form C3. Anggapan bahwa difabel adalah person yang tidak mampu membuat kebijakan KPU untuk menyiapkan pendamping dan secara tidak sadar

sebenarnya telah berlaku mendisabelkan difabel yang dalam konteks tertentu sebenarnya mereka telah berlaku diskriminatif terhadap difabel (lihat pengertian perspektif ekonomi di atas).

Bagaimana kaitan antara perspektif disabilitas dengan Bentuk Pertisipasi Politik defabel, perhatikan tabel berikut:

Tabel

Perspektif Difabilitas dan Bentuk Partisipasi Politik

Perspektif Teoritis Bentuk Partisipasi Politik Difabel berdasarkan Perspektif Disabilitas tertentu

Perspektif medis Warga difabel menerima pandangan bahwa masalah rendahnya partisipasi politik difabel akibat dari faktor gangguan fungsi tubuh dan mentalnya. Karena berpatokan kepada Kesehatan, Difabel kemudian dianggap sebagai person yang tidak sehat jasmani dan rohani, tidak memiliki kecapakapan dalam menjalankan fungsi sosial maupun politik yang didesain bagi kondisi warga kebanyakan. Warga difabel harus beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang telah terdesain sedemikian rupa tanpa pertimbangan keragaman kemampuan seseorang.

perspektif sosial Warga Difabel memperjuangkan hak mereka melalui sejumlah aktifitas untuk mengubah perspektif tentang ragam kemampuan. Mereka menfokuskan pada kemampuannya dan bukan pada perbedaan kondisi tubuh dan mentalnya. Bagi mereka, lingkunganlah yang harus membuka ruang bagi warga dengan keragaman kemampuan (inklusi) dan bukan difabel yang beradaptasi dengan lingkungan yang tersedia, mengingat konstruksi lingkungan lah yang telah menyembabkan terjadinya eksklusi kepada difabel. Difabel kemudian memperjuangkan perubahan perspektif soal kewargaan dan pengaturan kebijakan yang iklusif bagi mereka.

perspektif materialis Difabel masih tidak diuntungkan oleh desain mekanisme pasar yang berlaku di mana faktor ‘inovasi manajemen maupun teknologi’ berkembang tanpa mempertimbangkan aksesibilitas warga difabel. Misalnya, desain pasar, baik modern maupun lokal (tradisional) dan desain transaksi ekonomi lainnya tidak menyesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki difabel. Pertimbangan untung dan rugi masih jadi dominan sehingga perubahan desain, semisal desain pemilu dianggap ‘berbiaya tinggi’ jika hendak mengakomodir kepentingan difabel. Dampak atau pertimbangan untung-rugi ini adalah institusi politik menyiapkan pendamping/pengampu dst yang secara langsung justru mengurangi tingkat kemandiriannya dan membuatnya bergantung pada pihak lain.

(12)

hidup individunya maupun komunitas dan kelembagaannya. Dalam konteks politik, identitas menjadi penting dan [dapat] mendorong terbangunnya kelompok penekan/kelompok politik. Misalnya kelompok difabel netra yang memiliki organisasi dalam skala nasional maupun desa. Perbedaan ini bahkan dapat ditarik hingga ke level individu di mana antara difabel netra maupun difabel kinetik berbeda dalam memaknai politik. Seorang individu difabel tumbuh menjadi insan politik di lingkungannya yang berbeda budaya, kebijakan, dan perspektif.

Kontestasi Konsep Disabilitas dalam Politik di Indonesia

Ada beberapa istilah yang digunakan di Indonesia terkait disabilitas. Tiga yang utama adalah isitlah ‘penyandang cacat’, ‘penyandang disabilitas’, dan ‘difabel’. Selain itu ada sejumlah istilah lain yang juga merujuk pada subjek yang sama, yakni ‘berkebutuhan khusus’, ‘penyandang masalah kesejahteraan sosial’ dan berbagai istilah lain yang bersifat lokal dan kerap bernada miring (stereotipe) yang langsung merujuk kepada tampilan fisik atau kebiasaannya, misalnya di Makassar to kandala atau si kusta dan di Jawa si buntung, si pengkor, si cah panti (anak yang tinggal di Panti) dan lain sebagainya. Istilah-istilah ini kerap dipakai dalam perbincangan sehari-hari. Namun baik isitilah ‘penyandang cacat’ maupun ‘penyandang disabilitas’ merupakan istilah yang sudah pernah dipakai dalam kebijakan setingkat UU. Misalnya UU tentang Penyandang cacat dan UU Ratifikasi Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas. Sementara istilah ‘difabel’ lebih merupakan wacana tanding atas istilah penyandang cacat.

Istilah penderita cacat atau penyandang cacat sangat lazim diucapkan di masa lalu. Khususnya setelah pemerintah Orde Baru menggunakan istilah ‘penyandang cacat’ dalam nomenklatur hukum dan politik dengan memuatnya dalam satu Undang-undang khusus, yakni UU No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Istilah ini dipakai dengan asumsi medikal yang kental yang menganggap bahwa sebagai tubuh yang tak lengkap adalah sebuah kerusakan fisik atau fisiologis. Kerusakan itulah yang kemudian disebut sebagai cacat, sebagaimana istilah ini kerap dipakai untuk barang yang rusak. Kerusakan tentu saja bermakna sakit dalam dunia medikal atau kesehatan.

Istilah cacat yang berarti sakit secara fisik dan atau fisiologis ini kemudian membutuhkan berbagai tindakan medik baik melalui perawatan di sarana kesehatan maupun rehabilitasi di panti rehabilitasi yang marak berdiri di berbagai kota. Pandangan kesehatan bahwa seseorang yang “cacat” itu adalah seorang yang sakit lalu mempengaruhi cara pandang banyak orang, baik warga kebanyakan maupun pengambil kebijakan. Akibatnya, di lingkup sosial kemasyarakatan muncullah berbagai stigma negatif terhadap para “kaum cacat” ini yang membuat mereka membangun sebuah konstruksi sosial bahwa mereka adalah warga yang patut dikasihani dan dibantu. Konsekuensi dari perlakuan ini membuat terbangunnya sebuah relasi antara ‘pemberi bantuan’ dan ‘penerima bantuan’. Posisi ini kemudian terus mengalami perkembangan sehingga membuat ‘si pemberi’ menjadi pihak yang lebih tinggi status sosialnya dengan ‘si penerima’ bantuan. Terbentuklah kelas sosial yang membuat ‘kaum cacat’ di masa itu sebagai warga kelas dua, warga marjinal, dan tentu saja miskin dan rentan (lihat juga Ro’fah, dalam Salim, Ishak dan Syafi’ie, Muh., Ed., “Hidup Dalam Kerentanan: Narasi Kecil Keluarga Difabel”, SIGAB, 2015).

(13)

(segregasi). Istilah ‘luar biasa’ sendiri sudah menunjukkan sebuah upaya eksklusi (penyingkiran) difabel dalam sistem pendidikan yang seharusnya terintegrasi dan inklusif atau berlaku bagi siapapun tanpa diskriminasi.

Tentu saja, makna diskriminasi dapat ditemukan dalam perspektif Hak Asasi Manusia di mana pada saat itu di masa pemerintahan rezim otoritarian tidak begitu umum dipertimbangkan sebagai dasar pengaturan sosial politik di negeri ini. Wacana hak asasi ini baru muncul kemudian di akhir masa kejatuhan Presiden Soeharto.

Dalam alam politik di mana ‘perspektif sosial’ mulai menjadi wacana alternatif untuk menandingi wacana medis yang dominan maka muncullah istilah baru yang disebut difabel pada akhir dekade 90-an. Istilah ini merupakan akronim dari ‘Differently able’ yang kemudian disesuaikan katanya dari dif-able menjadi difabel. Wacana tanding ini lahir di Jogjakarta yang merupakan hasil perbincangan serius antara Setyo Adi Purwanta dengan Mansour Fakih. Setyo Adi Purwanta adalah seorang “difabel penglihatan” (buta total) dan Mansour Fakih adalah aktifis gerakan sosial yang di masa itu pemikirannya banyak menginspirasi para aktifis gerakan sosial, khususnya orang-orang kampus dan masyarakat sipil lainnya.

Dua wacana ini terus menerus berkontestasi dalam ruang politik yang kemudian melahirkan sejumlah pemikiran dan aksi gerakan sosial. Asumsi dasar pengusung istilah difabel adalah manusia makhluk yang sempurna. Tuhan maha sempurna dan tidak ada ciptaannya yang tidak sempurna atau rusak. Perbedaan hanya pada bagaimana seseorang melakukan sesuatu. Setiap orang, bagaimanapun menggunakan alat bantu untuk melakukan sesuatu. Alat bantu itu kemudian disesuaikan dengan bagian tubuh tertentu untuk mengerjakannya. Jemari untuk menulis atau melukis dan menyuap makanan, kaki untuk melangkah, mata untuk membaca, dan seterusnya. Perbedaannya kemudian adalah pada cara melakukan sesuatu.

Setiap orang nyaris bisa melakukan apapun dengan cara sesuai kemampuannya dan sesuai alat bantunya. Persoalan mendasar dalam

dunia sosial keseharian setiap orang adalah seberapa tersedia alat bantu baginya di lingkungannya. Ketersediaan alat bantu juga terkait seberapa mampu sebuah negara menciptakan iklim penelitian dan inovasi teknologi dalam melahirkan sejumlah alat bantu yang memudahkan pekerjaan manusia ditambah dengan seberapa mampu sebuah keluarga, sebuah komunitas, sebuah masyarakat atau sebuah pemerintah menyediakan ruang gerak bagi setiap orang untuk beraktifitas maupun berpartisipasi sesuai dengan karakteristik alat bantunya. Dengan demikian, aspek ketersediaan dan akses atas alat bantu serta ruang gerak orang perorang itu menjadi penentu apakah sebuah sistem sosial di segala bidang, mampu memberi peluang yang sama kepada setiap orang atau sebaliknya menyulitkan bahkan menyingkirkan (eksklusi) sejumlah yang lain dari lingkungan sosialnya. Pendeknya, wacana difabel menguat seiring dengan menguatnya wacana Paradigma Sosial dan tentu saja Hak Asasi Manusia (HAM).

Secara internasional, istilah-istilah atau penamaan yang dipakai adalah disabled person, person with disabilities, person with difabilities, dan beberapa lainnya sesuai konteks negaranya. Organisasi Kesehatan Dunia memakai istilah person with disabilities dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengesahkan terbitnya sebuah konvensi, yakni Convension on Rights of Persons with Disabilities atau disingkat UN-CRPD. Pemerintah Indonesia sudah meratifikasi konvensi ini pada 2011 melalui UU No. 19 tahun 2011 dan saat ini sedang mendorong lahirnya UU Penyandang Disabilitas sebagai tindaklanjut pascaratifikasi dan sekaligus mengganti UU No. 4/1997 tentang Penyandang Cacat. Sementara istilah difabel sendiri saat ini tidak menjadi pilihan dominan di tingkat pengambil kebijakan namun dalam banyak komunitas, khususnya di Jawa istilah ‘difabel’ dan ‘difabilitas’ sudah lazim digunakan dalam percakapan sehari-hari dan penulis termasuk penganut dan pengusung istilah yang penulis anggap mengandung makna pembebasan.

(14)

tertentu’ dengan ‘konteks atau lingkungan di mana seseorang itu berada’. Lebih lanjut Menurut Schneider, dalam upaya kita memahami disabilitas, maka disabilitas tidak sekadar merujuk kepada individu seseorang. “disability should be understood by looking at levels of physical and personal functioning and how this interacts with environmental factors” (Schneider, 2006). Hal ini karena ada dua konteks dalam pengertian di atas, yakni konteks eksternal dan internal seseorang. Konteks eksternal adalah lingkungan sosial, budaya, politik yang tidak aksesibel dengan orang tersebut. Lingkungan sosial ini bisa dalam bentuk pengetahuan atau mitos yang mendiskreditkan seseorang, budaya yang diskriminatif, kebijakan sosial yang tidak sensitif terhadap disabilitas dan lain sebagainya. Sedangkan konteks internal menyangkut usia seseorang, jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat keterampilan, dan kepribadian seseorang”. Di Indonesia, faktor-faktor lingkungan inilah yang sesungguhnya seringkali justru lebih dominan dalam menciptakan seseorang menjadi difabel (disabled).

Jadi, jika seseorang, karena struktur dan fungsi tubuhnya tidak lengkap atau berfungsi sebagaimana tubuh manusia sewajarnya, maka untuk menopang aktifitasnya seseorang membutuhkan sejumlah alat bantu. Pun demikian, jika karena kondisi tubuh/mental/pikiran seseorang membuatnya harus mengandalkan alat bantu demi beraktifitas secara layak maka begitu ia memutuskan berpartisipasi dalam ranah publik, ia tentu membutuhkan dukungan sosial. Jika memilih wakil rakyat adalah hak bagi setiap orang dewasa, maka apakah infrastruktur bagi transportasi publik memungkinkan dirinya yang berkursi roda dapat tiba ke lokasi pencoblosan dengan mudah? Apakah dari jalan raya saat dia turun dari kendaraannya atau angkutan publik menuju TPS dan bilik suara juga ia bisa lalui secara mudah sebagaimana pemilih-pemilih lainnya yang berjalan dengan kakinya?

Meskipun di Indonesia wacana difbilitas/disabilitas dalam perspektif yang lebih positif masih merupakan impian yang harus diraih, sesungguhnya pemahaman manusia tentang disabilitas sudah berkembang kearah kemajuan. Pada dekade 80 dan 90-an, Nagi, IOM, dan WHO memperkenalkan konsep

disabilitas yang bersandar pada cara pandang ‘patologi’ dan ‘penyakit’ . Ketiga ragam pemahaman itu membagi tiga level pengertian, yakni level organ tubuh, level personal, dan level sosial. Pada level organ, tubuh yang tak lengkap karena alasan patologi atau penyakit mereka sebut ‘impairment’. Sedangkan pada level personal seseorang, baik Nagi maupun IOM menggunakan istilah keterbatasan fungsional akibat struktur tubuh yang impairment tadi. WHO sendiri menyebutnya disabilitas. Pada level ketiga atau level sosial, Nagi dan IOM menyebutnya disabilitas, sedangkan WHO menyebutnya handicap. Pembedaan pemahaman atau konsep dan terminologi ini ke dalam 3 level merupakan cara untuk menghindari kesan negatif atau stereotif dari masyarakat kepada seseorang (lihat Whiteneck, Gale. "Conceptual models of disability: past, present, and future." Workshop on disability in America: A new look. Washington DC: The National Academies Press, 2006). Bandingkan dengan Indonesia yang berdasarkan UU No. 4 tahun 1997 yang menyebut mereka sebagai ‘penyandang cacat’. Dengan menapikan aspek sosial, dampak dari peristilahan dan pemahaman yang keliru ini maka pendekatan pembangunan di Indonesia menjadi lebih ‘charity’ ketimbang ‘pemberdayaan’ dalam arti sesungguhnya.

Seiring perkembangan waktu dan pengalaman menerapkan konsep dan terminologi ini di ranah praktis atau kebijakan, penyempurnaan atas konsep itu berkembang ke arah lebih baik. Kini, dimulai sejak 1997 oleh IOM dan 2001 oleh WHO muncul domain baru dalam upaya memahami seorang manusia yang memiliki perbedaan struktur dan fungsi tubuh, yakni domain ‘faktor lingkungan’ dan ‘faktor personal’. Apa yang sebelumnya disebut impairment berubah menjadi struktur dan fungsi tubuh (level 1 [organ]). Di level 2 (person) sebelumnya disebut keterbatasan fungsional menjadi ‘aktifitas’ yang nadanya lebih dinamis ketimbang pasif. Kemudian, apa yang disebut disabilitas atau handicap kini dipahami sebagai ‘partisipasi’ dengan bentuk aktifitas di wilayah publik/sosial.

(15)

paradigma, dan seterusnya dan faktor personalitas seseorang terkait usia, jenis kelamin, orientasi seksual, kepribadian dan seterusnya, memperlakukan seseorang. Jika menggunakan konsepsi WHO di atas di mana aspek kesehatan masih menjadi salah satu aspek dalam memahami kehidupan disabilitas, maka gambaran disabilitas kurang lebih sebagai berikut.

Fungsi dan struktur tubuh difabel adalah mencakup jenis-jenis impairment atau gangguan fungsi tubuh dan mental. Misalnya seseorang baru saja mengalami operasi amputasi lengan atau kakinya. Lalu, saat ia akan beraktifitas maka kita akan melihat dari aspek ‘aktifitas’ kesehariannya. Aspek aktifitas ini dapat mencakup cara atau metode belajar, cara makan, cara mandi, perawatan tubuh, dan pekerjaaan di rumah dan lain-lain. Dalam beraktifitas inilah maka difabel tadi membutuhkan alat-alat bantu semisal kruk, kaki palsu, atau kursi roda dan tentu saja sejumlah desain yang memudahkan ia beraktifitas seperti model kamar mandi atau WC, model pintu

kamar, model meja belajar, dan lain-lain terkait dengan jenis aktifitasnya.

Aspek lain adalah Partisipasi di ranah publik. Partisipasi difabel mencakup jenis dan tingkat partisipasi di luar rumah, bagaimana orang-orang kemudian memperlakukan atau menerimanya secara sosial. Contohnya, bagaimana ia menuju mesjid atau gereja untuk beribadah. Bagaimana ia menuju lokasi kantornya saat hendak bekerja, lingkungan kantornya dan perlakukan rekan-rekan kerjanya dan tentu saja kebijakan kantor dan seterusnya dengan beragam jenis partisipasi, apakah partisipasi ekonomi, pendidikan, dan tentu saja politik. Setelah itu, perhatikan lagi bagaimana Faktor Lingkungan difabel yang mencakup: kondisi lingkungan, sistem pengetahuan, budaya, keyakinan warga, dan sebagainya. Sedangkan pada Faktor Personal difabel akan meliputi faktor usianya, jenis kelaminnya, orientasi seksualnya, pandagan hidupnya, latar pengetahuan dan pengalamannya dan lain sebagainya.

Bagan

Model Disabilitas ICF

Sumber: Bahan Pelatihan Penelitian ‘Kerentanan Keluarga Difabel’, SIGAB 2014

KONDISI

KESEHATAN

AKTIFITAS

PARTISIPASI

STRUKTUR DAN

FUNGSI TUBUH

FAKTOR-FAKTOR

LINGKUNGAN

FAKTOR-FAKTOR

(16)

Tentu saja, jika kita menggunakan konsepsi Difabel atau Person with difabilities maka akan berbeda dengan konsepsi ‘Person with disabilities’. Jika meminjam konsepsi ICF ini, maka kita dapat mengganti aspek atau kategori impairment atau kategori penyandang disabilitas menjadi kategori difabel, yang terdiri dari [1] Difabel Penglihatan (tidak melihat sama sekali dan tidak melihat secara utuh), [2] Difabel Pendengaran (tuli/bisu), [3] Difabel Kinetik:

Orang dengan kursi roda, Orang dengan

satu kaki, Orang dengan satu kaki lebih

panjang dari yang lain, Orang dengan

masalah otot, Orang tanpa tangan, Orang

dengan tangan pendek, Orang dengan

bagian tangan mereka yang hilang, Orang

Kecil, dan [4]

Difabel Mental, yang terdiri dari mental illnesses

and

intellectual

disabilities

(lihat:

Handbook

“Difability”:

http://www.yeu-international.org/download/Handbook_DI

FABILITY.pdf

)

Dengan mengadopsi model di atas, maka kita dapat menguraikan bagaimana seharusnya aktifitas dan partisipasi warga difabel dalam politik. Setidaknya jika menggunakan konsepsi ini, maka aspek sosial dalam hal ini aspek aktifitas dan aspek partisipasi dengan memperhatikan kondisi personal dan eksternalnya dapat diuraikan sebagai berikut:

Tabel

Adaptasi Difabilitas dalam ICF untuk konteks Politik

KATEGORI DIFABILITAS

AKTIFITAS

POLITIK PARTISIPASIPOLITIK

1. Difabel Netra

(total/low),

2. Difabel Pendengaran (deaf/mute),

3. Difabel Kinetik: Orang dengan kursi roda, Orang dengan satu kaki, Orang dengan satu kaki lebih panjang dari yang lain, Orang dengan masalah otot, Orang tanpa tangan, Orang dengan tangan pendek, Orang dengan bagian tangan mereka yang hilang, Orang Kecil.

4. Difabel Mental (mental illnesses and intellectual disabilities)

(sumber: Handbook

“Difability”:

http://www.yeu-a) Belajar politik di lingkungan keluarga (terkait akses kepada

bahan/sumber bacaan,

bahan/sumber tontonan, bahan/sumber browsing)

b) Pengambilan keputusan dalam keluarga (kemandirian difabel dalam memutuskan)

c) Keikutsertaan dalam diskusi politik dalam keluarnga

a. Pemberian suara (voting) b. Diskusi politik

c. Kegiatan kampanye

d. Membentuk dan bergabung dengan kelompok kepentingan

e. Komunikasi individu dengan pejabat politik/administratif

f. Pengajuan petisi g. Berdemonstrasi h. Konfrontasi i. Mogok

j. Tindak kekerasan politik terhadap harta benda: perusakan, pemboman, pembakaran (Almond,1966:45). k. Dan terpenting partisipasi politik

tanpa diskriminasi/disabelisme.

Faktor Personal Faktor Lingkungan

Usia, jenis kelamin, warna kulit, Tingkat pengetahuan/pendidikan

politik, tingkat

eksklusivitas/keterisolasian, kelas sosial-ekonomi, kondisi kesehatan

(17)

international.org/download/ Handbook_DIFABILITY.p df)

(fit/tidak fit), jenis gangguan fisik, mental, dan intelektual yang sedang dialami.

desa atau kota, tipe perlakuan sosial (stigma/sikap buruk/equal), daerah maju/terbelakang, masyarakat terbuka/tertutup, masyarakat peduli pada kemiskinan/masyarakat korup;

layanan sosial: Desain

Universal/targetting/berbasis Pasar), Kondisi bantuan teknis, Kondisi layanan sosial dan layanan berbasis komunitas, tingkat kemudahan mencari uang. dll.

Sumber: Ishak Salim (adaptasi konsep ICF dalam Konsepsi Difabilitas dalam Politik)

Partisipasi Politik Difabel: Pengalaman Pemilu 2014

Dalam pengalaman SIGAB

menjalankan Program Pendidikan Politik Aktivis difabel di 4 daerah pada retang waktu September 2013 sampai Maret 2015 Pemilu 2014 Selain itu, kajian ini juga mempertegas bagaimana cara pandang aktor-aktor politik

(18)

Tabel

Jenis Hambatan, Kategori Hambatan, dan Tawaran Perbaikan Pelaksanaan Pemilu

Jenis Hambatan

Kategori Hambatan

Tawaran

Struktural Persyaratan Pemilu “Sehat

Jasmani dan

Rohani”

UU Pemilu tidak lagi mencantumkan prasyarat sehat jasmani dan rohani bagi peserta PEMILU maupun calon anggota KPU yang merugikan difabel, atau mempertegas makna atau pengertian ‘sehat’ sehingga difabel bukan kategori ‘tidak sehat’.

Kebijakan pemilu (UU Pemilu dan turunannya)

UU Pemilu memuat bagian khusus yang mengatur prinsip desain Pemilu Universal dan Jaminan Hak Politik difabel tidak diabaikan.

Perangkat Kesekretariatan

KPU/D tak

memadai

Pentingnya membuat satu unit dalam kesekretariatan KPU/D yakni ‘Unit Disabilitas’ agar kepentingan politik difabel terakomodasi dalam keseluruhan tahapan pemilu.

Lingkungan Fisik (Bangunan kantor pelaksana, pengawas, dan peserta pemilu)

Kantor KPU, Bawaslu, Partai Politik, KPPS, kantor layanan publik lainnya terkait Pemilu menerapkan “Konsep Desain Universal”4 agar difabel dan Organisasi difabel dapat dengan mudah mengunjungi dan berkomunikasi secara langsung dengan pihak penyelenggara pemilu, partisipan dan pengawas pemilu.

Fisik (Tempat Pemungutan Suara)

TPS didesain dengan mengunakan prinsip Desain Pemilu Universal yang mempertimbangkan aksesibilitas pada saat pemilih difabel datang ke TPS, menggunakan hak pilihnya, sampai pada meninggalkan lokasi TPS. Misalnya, lokasi TPS tidak bertangga-tangga, tidak berumput tebal dan tidak melalui got pemisah, tempat yang rata, tidak di lantai dua. Non-Fisik

(Standar Pelayanan Aksesibilitas Pemilu)

Pihak Penyelenggara pemilu memperluas perspektif disabilitas dan membangun kerjasama dengan organisasi difabel demi memperoleh masukan soal Etika Disabilitas dan

Prinsip Universal dalam layanan publik (khususnya pemilu) dan menuangkan pengetahuan tersebut ke dalam suatu

Panduan Pelaksanaan Pemilu Aksesisible dan memastikan Petugas Pemilu diberbagai tingkatan memahami isi panduan dan menerapkannya.

Sikap/Perilaku Pengabaian KPU, Bawaslu, dan jajarannya bersikap proaktif untuk membuka akses partisipasi pemilih difabel, sehingga tidak terjadi lagi pembiaran difabel yang tidak terdaftar, tidak mencoblos dan lingkungan TPS tidak akses.

Penghinaan KPU menyediakan Panduan ‘Etika Disabilitas’ untuk

4 Prinsip desain universal, meliputi, Pertama, Equitable Use. Desain dapat digunakan secara wajar oleh semua orang

dengan variasi kemampuannya dan tidak menstigmakan penggunanya. Kedua, Flexibility in Use. Desain fleksibel dan dapat mengakomodasi kebutuhan aktivitas semua pengguna secara umum, tanpa batasan fisik, rentang usia, dan juga jenis kelamin. Ketiga, Simple and Intuitive Use. Desain mudah dimengerti untuk digunakan, tanpa tuntutan pengalaman penggunaan, pengetahuan, dan kemampuan bahasa tertentu. Keempat, Perceptible Information.

Desain mengkomunikasikan atau mengakomodasikan informasi dengan efektif kepada pengguna, dan dekat dengan kondisi ambang dan atau kemampuan sensor pengguna. Kelima, Tolerance for Error. Desain meminimalkan dampak dan konsekuensi kecelakaan atau kejadian yang tidak diinginkan dari tindakan yang keliru. Keenam, Low

Physical Effort. Desain yang dapat digunakan secara efisien dan nyaman dengan usaha kekuatan fisik minimal

(19)

menghindari penghinaan baik sengaja maupun tidak sengaja. Teknologi Informasi Seluruh jenis media pemilu yang digunakan KPU dan peserta

pemilu dalam keseluruhan siklus Pemilu (cetak, audio, visual, online/offline) menekankan aspek aksesibilitas: seperti tersedia dalam huruf braille, teks berjalan (running texts), penterjemah bahasa isyarat, Audio, Font besar.

Pendataan Instrumen pendataan (kuesioner) memasukkan kategori jenis disabilitas (impairment) berdasarkan kategori UN-CRPD atau ICF (WHO) sebagai indikator yang valid.

Instrumen Pendataan memasukkan kategori jenis hambatan sosial/lingkungan eksternal. Misalnya difabel penglihatan memiliki hambatan dalam mengakses informasi berbasis cetak, untuk itu dibutuhkan model braile maupun audio dan teks bersuara.

Instrumen Pendataan memasukkan tawaran kemudahan aksesibilitas mulai dari fase awal sampai fase akhir pemilu. Form kuesioner memberi ruang bagi [informan] difabel memberi pendapat soal aksesibilitas sebagai dasar pertimbangan KPU mendesain TPS dst.

Pencoblosan Tersedia Alat Bantu Mencoblos, Papan Informasi Akses, Pendamping tersumpah dan faham Etika Disabilitas. Petugas TPS juga dapat menjelaskan tata cara penggunaan alat bantu tersebut kepada pemilih dan memastikan pemilih memahami dan menggunakan dengan benar.

Petugas PPPS menyiapkan TPS keliling untuk menjangkau pemilih difabel yang kesulitan mengakses TPS dan menjamin kerahasiaan pilihan pemilih. Contohnya adalah “pemilih difabel grahita baik ‘sedang’ maupun ‘berat’ di mana banyak di antara mereka yang tidak ikut pemungutan suara.

Penghitungan suara

Proses penghitungan suara dan penyampaian hasil akhir penghitungan suara disampaikan dengan menggunakan teknologi yang aksesibel bagi pemilih difabel, sebagaimana sudah dijabarkan di atas.

Pengembangan Jaringan (Networking)

Kerjasama

Organisasi Difabel

Daerah

-Penyelenggara Pemilu/Peserta Pemilu kurang terjalin di daerah

Penyelenggara Pemilu (KPU dan Bawaslu) dan Peserta Pemilu harus mengubah perspektif atau mindset mereka dalam memandang Difabel dan Organisasi DIfabel dari memandang difabel sebagai pihak lemah dan harus dibantu menjadi difabel adalah pihak yang berdaulat dan potensial untuk diajak bekerjasama demi kesuksesan kinerja peneyelenggara dan peserta pemilu.

Sumber: Ishak Salim (Difabel Merebut Bilik Suara, SIGAB, 2015)

Kesimpulan dan saran

Berdasarkan pemaparan di atas, maka sudah seyogianya para penyusun RUU Disabilitas ini memahami dan menggunakan sejumlah perspektif di atas agar lebih jitu dalam melihat persoalan-persoalan politik yang dihadapi difabel di Indonesia. Karena dengan memahami berbagai cara pandang ini maka para

(20)

Dalam RUU Disabilitas, poin-poin penting yang diatur adalah sebagai berikut:

pertama,

aktifitas Politik terkait dengan

urusan warga negara difabel dalam

memilih dan dipilih untuk jabatan publik

baik melalui pemilihan umum maupun

melalui mekanisme lain yang dianggap

sah secara hukum.

Kedua

, Warga difabel

dapat menyalurkan kepentingan politiknya

melalui [bergabung] ke dalam partai

politik dan organisasi [politik] difabel

lainnya.

Ketiga

, warga difabel baik secara

individual maupun kelompok dapat

menyalurkan aspirasi politik secara

tertulis [seperti melalui petisi) maupun

lisan (semisal melalui demonstrasi).

Keempat

, ketentuan lain terkait

kewajiban pemerintah/daerah adalah

untuk: [a] memberi jaminan agar difabel

dapat berpartisipasi secara penuh, secara

langsung

maupun

perwakilan, [b]

pemerintah/pemerintah daerah wajib

menjamin hak dan kesempatan bagi

difabel untuk memilih dan dipilih. [c]

KPU Secara kelembagaan, menyediakan

ruang partisipasi penuh difabel dalam

pemilu.

Kelima,

dalam konteks pemilihan

kandidat untuk menduduki jabatan publik

maupun keterlibatan dalam lembaga

politik tertentu, penting untuk

diperhatikan aspek pengaturan terkait

‘mekanisme pemilihan’ di mana sejak

awal sudah harus bersandar pada ‘

standar

aksesibilitas

’ bagi setiap warga negara.

Hal ini penting, mengingat dari aspek hak,

seluruh warga negara sudah memiliki hak

yang sama dalam politik. Persoalan utama

adalah aspek aksesibilitasnya, baik pada

aspek fisik maupun non-fisik.

Keenam,

format pendidikan politik baik yang

dikembangkan oleh lembaga-lembaga

politik maupun organisasi sosial, masih

jauh dari mempertimbangkan eksistensi

difabel dan ‘perspektif disabilitas’ serta

aksesibilitasnya. Aspek pendidikan politik

bagi difabel harus dibebankan kepada

seluruh partai politik dengan menyiapkan

mekanisme pendidikan politik yang

inklusi, Selain itu, pihak pemerintah harus

memberikan dukungan pemberdayaan

politik bagi Organisasi Difabel baik secara

material maupun non-material secara

berkala. Berikutnya, partisipasi politik

difabel harus terjamin dengan kewajiban

bagi setiap lembaga politik menerapkan

‘Konsep Desain Universal’ baik terkait

desain sosial bersifat fisik maupun

non-fisik dan terkait pula dengan keseluruhan

tahapan partisipasi politik.

Tanpa

mempertimbangkan

keenam poin di atas, maka persoalan lama

terkait rendahnya tingkat partisipasi

politik difabel akan terus terjadi, karena

desain ‘ruang partisipasi’ selalu

menghambat difabel masuk ke dalam

berbagai ruang partisipasi. Jika

pemberdayaan politik

(

political

empowerment

) berjalan dengan baik,

maka ruang-ruang politik yang tersedia

akan menjadi “sasaran empuk” bagi

difabel yang telah berdaulat untuk

merebutnya dan mendesakkan perspektif

disabilitas menjadi bagian penting dalam

pembicaraan dan diskursus politik.

Bahkan, jika ruang itu begitu dominan

diisi oleh orang-orang yang masih

mengabaikan peran difabel, maka difabel

yang terorganisir dengan mudah

menciptakan ruang partisipasi alternatif

dan melakukan tanding atas

pemikiran-pemikiran politik ‘disabelisme’ yang

masih mengakar di negeri ini[].

(21)

Abberly, P. (1987). The concept of oppression and the development of a social theory of disability. Disability, Handicap and Society, 2, 5-20

Barnes, C. (1990). Cabbage syndrome: The social construction of dependence. Lewes: Falmer. Barton, L. (1996). Sociology and disability: Some emerging issues. In L. Barton (Ed.), Disability and

society: Emerging issues and insights (pp. 3-17). London: Addison Wesley Longman.

Bowman, C. A., & Jaeger, P. T. (2003, April). Making diversity more inclusive: Toward a theory for the representation of disability. Paper presented at the 2003 American Education Research Association Conference, Chicago, IL.

Christensen, C. (1996). Disabled, handicapped or disordered: "What's in a name?" In C. Christensen & F. Rizvi (Eds.), Disability and the dilemmas of education and justice (pp. 63-78). Buckingham: Open University Press.

Corker, M., & French, S. (Eds.). (1999). Disability discourse. Buckingham: Open University Press. Fakih, Mansour., ‘Jalan Lain: Manifesto Intelektual Organik’, INSIST Press, Yogyakarta, 2002. Fine, M., & Asch, A. (1988). Disability beyond stigma: Social interaction, discrimination, and

activism. Journal of Soc

Gambar

Tabel

Referensi

Dokumen terkait

Adorno (1976: 256) menyebut usaha memahami kontrakdisi fundamental tersebut sebagai analisis immanent (harus dilakukan) atau analisis internal tentang hubungan dialektis

Korelasi Sperman rho digunakan untuk perbandingan hasil perhitungan Keliling 280 citra menggunakan operasi kanal warna Grayscale dan metode Global Threshold,

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena hanya berkat rahmat, hidayah dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul “Material

Berdasarkan pengujian yang dilakukan dalam penelitian dengan bantuan SPSS versi 20 for windows maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut: Berdasarkan hasil uji t diperoleh

Berdasarkan latar belakang diatas maka diperlukan suatu penelitian untuk mengetahui titik impas atau Break Event Point (BEP) usahatani tamanan Ketepeng cina pada

Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi sirup glukosa dan gula semut memberikan perbedaan nyata terhadap kadar air, aktivitas air, warna, dan tingkat kesukaan

Banyak sedikitnya jumlah sampel yang tidak ditemukan telur cacing hati di dalam feses dari kelompok sapi yang benar-benar positif cacing hati akan mempengaruhi sensitifitas dari

Sebagai solusi dari permasalahan yang banyak terdapat pada kondisi tempat pelelangan ikan di Indonesia salah satunya adalah di tempat pelelangan ikan desa kranji,