BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehidupan perekonomian manusia pada saat ini erat kaitannya dengan dunia
perbankan. Perbankan berfungsi sebagai penopang untuk membantu kebutuhan hidup
manusia dengan cara menjalankan usaha bank yakni sebagai berikut :1
1. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro,
deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan atau bentuk lainnya
yang dipersamakan dengan itu;
2. Memberikan kredit;
3. Menerbitkan surat pengakuan utang;
4. Membeli, menjual atau menjamin atas resiko sendiri maupun untuk
kepentingan dan atas perintah nasabahnya;
5. Memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk
kepentingan nasabahnya;
6. Menempatkan dana, meminjam dana dari atau meminjamkan dana kepada
bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi
maupun dengan dengan wesel unjuk, cek, atau sarana lainnya;
1
Try Widiyono, Aspek Hukum Operasional Transaksi Produk Perbankan di Indonesia
7. Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan
perhitungan dengan atau antarpihak ketiga;
8. Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga;
9. Melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan
suatu kontrak;
10.Melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya dalam
bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek;
11.Melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit dan kegiatan wali
amanat;
12.Menyediakan pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain berdasarkan
prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia;
13.Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank, sepanjang tidak
bertentangan dengan undang-undang ini dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan mendefinisikan bank
sebagai badan hukum yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/ atau
bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.2
2
Perbankan mempunyai fungsi utama sebagai intermediasi, yaitu penghimpun
dana dari masyarakat dan menyalurkannya secara efektif dan efisien pada
sektor-sektor riil untuk menggerakkan pembangunan dan stabilitas perekonomian sebuah
Negara. Dalam hal ini, bank menghimpun dana dari masyarakat berdasarkan asas
kepercayaan masyarakat. Apabila masyarakat percaya pada bank, maka masyarakat
akan merasa aman untuk menyimpan uang atau dananya di bank. Dengan demikian,
bank menanggung risiko reputasi (reputation risk) yang besar. Bank harus selalu
menjaga tingkat kepercayaan dari nasabah atau masyarakat agar menyimpan dana
mereka di bank, dan bank dapat menyalurkan dana tersebut untuk menggerakkan
perekonomian bangsa.3
Pada dunia perbankan, nasabah merupakan konsumen dari pelayanan jasa
perbankan. Kedudukan nasabah dalam hubungannya dengan pelayanan jasa
perbankan berada pada dua posisi yang dapat bergantian sesuai dengan sisi mana
mereka berada. Dilihat dari sisi pengerahan dana, nasabah yang menyimpan dananya
pada bank baik sebagai penabung deposan, maupun pembeli surat berharga, maka
pada saat itu nasabah berkedudukan sebagai kreditor bank. Sedangkan pada sisi
penyaluran dana, nasabah peminjam berkedudukan sebagai debitur dan bank sebagai
kreditor. Dari semua kedudukan tersebut, pada dasarnya nasabah merupakan
konsumen dari pelaku usaha yang menyediakan jasa di sektor usaha perbankan.4
3
Ibid., hal. 13. 4
Nasabah menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
adalah pihak yang menggunakan jasa bank. Dalam undang-undang tersebut, nasabah
ini dibagi 2 yaitu :5
a. Nasabah penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank
dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang
bersangkutan.
b. Nasabah debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atau yang dipersamakan dengan
berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan.
Demi terciptanya sistem perbankan Indonesia yang sehat, maka dari itu
menurut Usman kegiatan perbankan harus memuat asas hukum perbankan sebagai
berikut :6
a. Asas Demokrasi Ekonomi
Asas demokrasi ekonomi ditegaskan dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 10
Tahun 1998 tentang Perbankan. Pasal tersebut menyatakan bahwa perbankan
Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan
menggunakan prinsip kehati-hatian. Ini berarti, usaha perbankan diarahkan
untuk melaksanakan prinsip-prinsip yang terkandung dalam demokrasi
ekonomi yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
5
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Perbankan, Pasal 1.
6
b. Asas Kepercayaan
Asas kepercayaan adalah suatu asas yang menyatakan bahwa usaha bank
dilandasi oleh hubungan kepercayaan antara bank dan nasabahnya. Bank
terutama bekerja dengan dana dari masyarakat yang disimpan padanya atas
dasar kepercayaan, sehingga setiap bank perlu terus menjaga kesehatannya
dengan tetap memelihara dan tetap mempertahankan kepercayaan masyarakat
kepadanya.
c. Asas Kerahasiaan
Asas kerahasiaan adalah asas yang mengharuskan atau mewajibkan bank
merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan
lain-lain dari nasabah bank, yang menurut kelaziman dunia perbankan wajib
dirahasiakan. Kerahasiaan itu adalah untuk kepentingan bank sendiri karena
bank memerlukan kepercayaan masyarakat yang menyimpan uangnya di
bank. Masyarakat hanya akan memercayakan uangnya kepada bank atau
memanfaatkan jasa bank apabila bank menjamin bahwa tidak akan ada
penyalahgunaan pengetahuan bank tentang simpanannya. Dengan demikian,
bank harus memegang teguh rahasia nasabah bank.
d. Asas Kehati-hatian
Asas kehati-hatian adalah suatu asas yang menyatakan bahwa bank dalam
menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya wajib menerapkan prinsip
kehati-hatian dalam rangka melindungi dana masyarakat yang dipercayakan
1998 tentang Perbankan bahwa perbankan Indonesia dalam melakukan
usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip
kehati-hatian. Kemudian disebutkan pula dalam Pasal 29 ayat (2) bahwa bank
wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan
modal, kualitas asset, kualitas manajemen, rentabilitas, serta likuiditas, dan
wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian.
Pengertian rahasia bank sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka (28)
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan adalah segala sesuatu yang
berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya.
Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Perbankan mewajibkan bank untuk menjaga
rahasia bank yang menyatakan bahwa bank wajib merahasiakan keterangan mengenai
nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 41, 41A, 42, 43, 44 dan Pasal 44A Undang-Undang Perbankan.7
Dari rumusan Pasal 40 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan secara eksplisit disebutkan bahwa lingkup rahasia bank adalah
menyangkut bukan saja simpanan nasabah tetapi juga identitas nasabah penyimpan
yang memiliki simpanan itu. Bahkan dalam rumusan Pasal 40 tersebut, nasabah
penyimpan disebut lebih dahulu daripada simpanannya. Nampaknya dalam pikiran
7
pembuat Undang-Undang, justru identitas nasabah penyimpan lebih penting daripada
simpanannya.8
Pada umumnya sanksi tindak pidana perbankan dari sisi penerapan khususnya
penjatuhan pidana denda yang ancamannya sangat besar, dikhawatirkan akan
mengalami kesulitan dalam hal pelaksanaan pidana atau eksekusi. Penjatuhan pidana
denda tersebut merupakan kumulatif artinya dijatuhkan dengan pidana penjara/
kurungan, sedangkan jumlah denda, hakim terikat pada undang-undang yang telah
menentukan jumlah minimum dan maksimum.9
Jenis tindak pidana di dunia perbankan adalah yang berkaitan dengan :10
a. Perizinan (tindak pidana bank gelap)
b. Rahasia bank
c. Usaha bank
d. Pengawasan dan Pembinaan bank
Hanya perbuatan yang disebut tegas oleh peraturan perundang-undangan
sebagai kejahatan atau pelanggaran, dapat dikenai hukuman (pidana). Apabila
terlebih dahulu tidak diadakan peraturan perundang-undangan yang memuat
hukuman yang dapat dijatuhi atas penjahat atau pelanggar, maka perbuatan yang
bersangkutan bukan perbuatan yang dikenai hukuman.11
8
Ibid, Pasal 40. 9
Leden, Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Terhadap Perbankan (Jakarta: Djambatan, 2003), hal. 114.
10
Jonker, Tanggung Jawab Yuridis Bankir Atas Kredit Macet Nasabah (Bandung: Alumni,
2009), hal. 64. 11
E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia (Jakarta: PT. Ichtiar Baru, 1989), hal. 388.
Dari ketentuan Bab VIII (Pasal 46-53) Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 jo.
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dapat diidentifikasikan
kebijakan sistem pemidanaan dan sanksi administratif sebagai berikut :12
a. Jenis sanksi pidana hanya pidana pokok berupa penjara/ kurungan dan denda;
tidak ada pidana tambahan atau tindakan.
b. Ada sanksi administratif oleh Bank Indonesia, tetapi tidak diintegrasikan ke
dalam sistem pemidanaan (sebagai pidana tambahan atau tindakan).
c. Semua sanksi pidana dirumuskan dengan sistem kumulasi dan dengan
menggunakan sistem minimal khusus.
d. Jumlah pidana denda cukup tinggi, mulai dari 1-200 miliar rupiah.
e. Ada ketidaksetaraan antara minimal/ maksimal penjara dan minimal/
maksimal denda.
f. Ada subjek tindak pidana berupa badan hukum (khusus dalam Pasal 46 ayat
(2)) tetapi yang dapat dituntut pidana hanya :
1) Yang memberi perintah;
2) Yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu;
3) Kedua-duanya.
g. Ada kualifikasi delik sebagai kejahatan dan pelanggaran (Pasal 51).
Tindak pidana rahasia bank menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 1998
tentang Perbankan Pasal 51 ialah kejahatan. Sanksi tindak pidana rahasia bank
12
ditentukan dalam Pasal 47 ayat (2) yaitu pidana penjara sekurang-kurangnya dua
tahun dan paling lama empat tahun dan denda sekurang-kurangnya Rp.
4.000.000.000,- (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,-
(delapan miliar rupiah).13
Akan tetapi, Pasal 40 Undang-Undang Perbankan memberikan pengecualian
terhadap kewajiban bank untuk merahasiakan keterangan mengenai nasabah
penyimpan dan simpanannya, yaitu sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 41,
41A, 42, 43, 44, 44A Undang-Undang tentang Perbankan.
Ancaman tindak pidana rahasia bank ini cukup berat, sehingga bank harus
melaksanakan prinsip kehati-hatian dalam menjaga rahasia bank. Sedangkan pada sisi
lain dalam berbagai proses hukum pihak aparat hukum kepolisian maupun kejaksaan
sering kali tidak memahami sepenuhnya ketentuan mengenai rahasia bank ini. Hal ini
menjadi dilema sehingga setiap komponen bank harus dapat memberikan penjelasan
kepada aparat hukum apabila dimintai rahasia bank akan mendapat sanksi baik yang
meminta maupun yang memberi rahasia bank.
14
Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh korporasi, Pasal 46 ayat (2)
Undang-Undang Perbankan mengatur siapa yang dapat dituntut, yaitu :15
a. Yang memberi perintah melakukan perbuatan
b. Yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu, atau
13
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Perbankan, Pasal 51 dan Pasal 47 ayat (2).
14
Lihat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 Perbankan.
15
c. Kedua-duanya.
Pasal 69 dan Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang Bank Indonesia tidak ada
ketentuan mengenai siapa yang dapat dituntut, sedangkan untuk “Bank Indonesia”
yang melanggar Pasal 55 ayat (4) jo. Pasal 70 ayat (1), ada ketentuan siapa yang
dapat dituntut, yaitu Pasal 70 ayat (2) :16
a. Yang memberi perintah
b. Yang melakukan perbuatan
c. Yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu, atau
d. Ketiga-tiganya.
Menurut Suprapto, korporasi bisa dipersalahkan apabila kesengajaan atau
kealpaan terdapat pada orang-orang yang menjadi alat perlengkapannya. Kesalahan
itu bukan individual akan tetapi kolektif karena korporasi menerima keuntungan.17
Dalam perjalanannya, usaha bank sudah mulai mengabaikan perihal rahasia
bank. Rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan
mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya.18
16 Ibid. 17
Setiyono, Kejahatan Korporasi (Malang: Bayumedia Publishing, 2011), hal. 103. 18
Adrian Sutedi, Hukum Perbankan (Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi, dan
Kepailitan) (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 5.
Hal ini terlihat dengan munculnya
beberapa kejadian terhadap nasabah di beberapa bank yang sering dihubungi oleh
beberapa lembaga asuransi, bahkan sampai pernah terjadi jatuh korban yang
jumlah simpanan di suatu perusahaan perbankan tersebut yang berkedok penipuan
keterangan.
Kejahatan yang terkait dengan usaha yang dilakukan oleh bank contohnya
adalah dalam hal pemberian kredit dari pihak bank kepada nasabah debitur yang
menyebabkan kerugian bagi pihak bank itu sendiri ataupun negara. Ada juga bentuk
kejahatan bidang perbankan lainnya yang menempatkan bank sebagai korban yaitu
pembobolan bank, yang mana pada beberapa kasus, dalam pelaksanaan kejahatan ini
mendapat bantuan dari pegawai bank itu sendiri.
Kejahatan lainnya di bidang perbankan yaitu seperti munculnya beberapa
bank gelap yakni bank yang didirikan tanpa memperoleh izin sehingga dapat
menjadikan nasabah sebagai korban.
Terdapat juga bentuk kejahatan perbankan di bidang pembinaan dan
pengawasan bank yang mana pengawasan bank ini dilakukan oleh pihak Bank
Indonesia. Akan tetapi perlu diketahui bahwa sejak Tanggal 31 Desember 2013,
fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di
sektor perbankan sudah beralih kepada Lembaga Otoritas Jasa Keuangan atau yang
disingkat dengan OJK berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan.
Terhadap kejadian-kejadian tersebut erat hubungannya dengan perbuatan yang
mungkin dilakukan oleh pengurus ataupun pegawai bank itu sendiri, sehingga
bagaimana dengan pertanggungjawaban oleh pihak bank. Selanjutnya penelitian ini
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka dirumuskan
permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana perizinan bank?
2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana rahasia bank?
3. Bagaimana pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana usaha bank?
4. Bagaimana pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana pembinaan dan
pengawasan bank?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian yang terdapat pada perumusan masalah di atas maka yang
menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana perizinan
bank.
2. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana rahasia
bank.
3. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana usaha
bank.
4. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana
D. Manfaat Penelitian
Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis
maupun praktis, yaitu :
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan kajian lebih lanjut bagi para
akademisi maupun masyarakat umum serta diharapkan dapat memberikan manfaat
guna menambah khasanah ilmu hukum secara umum dan hukum pidana secara
khusus di Indonesia.
2. Manfaat Praktis
a. Sebagai pedoman dan masukan bagi aparat penegak hukum dalam upaya
penegakan hukum pidana bidang perbankan;
b. Sebagai informasi dan inspirasi bagi praktisi bidang perbankan untuk memahami
peraturan dan sistem pertanggungjawaban pidana dalam kejahatan perbankan;
c. Sebagai bahan kajian bagi masyarakat yang dapat mengambil poin-poin atau
modul-modul pembelajaran dari penelitian ini dan diharapkan wacana
pertanggungjawaban pidana dalam kejahatan perbankan dapat berkembang ke
arah yang lebih baik.
E. Keaslian Penelitian
Menurut hasil yang didapat dari pemeriksaan judul penelitian yang ada pada
Utara, bahwa penelitian yang berjudul : “Pertanggungjawaban Pidana Dalam
Kejahatan Perbankan” adalah belum pernah dilakukan sama sekali.
Hasil dari pemeriksaan judul penelitian pada Perpustakaan Program Magister
Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara adalah sebagai berikut :
1. John Bert Christian, NIM: 107005151, dengan Judul “Analisis Hukum
Atas Penerapan Rahasia Bank di Indonesia Terkait dengan Perlindungan
Data Nasabah Berdasarkan Prinsip Kepercayaan Kepada Bank (Studi Pada
PT. Bank CIMB Niaga Tbk. Cabang Medan)”.
2. Rina Suryana Nasution, NIM: 027005023, dengan Judul “Pengaturan
Rahasia Bank dalam Penanganan Masalah Money Laundering di
Indonesia”.
3. Zairida, NIM: 027005046, dengan Judul “Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi Terhadap Pencemaran Lingkungan Hidup (Studi Kasus PT.
Cisadane Sawit Raya di Rantau Parapat)”.
4. Theresia Simatupang, NIM: 047005014, dengan Judul
“Pertanggungjawaban Pidana Korporasi atas Kejahatan Dibidang
Perpajakan”.
5. Rise Karmilia, NIM: 077005090, dengan Judul “Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi pada Ketentuan Pidana Diluar KUHP”.
6. Wesi Swara Gumilang Siregar, NIM: 097005044, dengan Judul
“Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Korporasi dalam Tindak Pidana
Dengan demikian, penelitian ini dapat dikatakan asli dan dapat
dipertanggungjawabkan keasliannya. Penulis bertanggungjawab apabila di kemudian
hari dapat dibuktikan bahwa penelitian ini merupakan plagiat atau duplikasi dari
penelitian yang sudah ada sebelumnya.
F. Kerangka Teori dan Konsep 1. Kerangka Teori
Tidak hanya persoon, korporasi juga dapat dipidana karena korporasi sudah
sebagai subjek hukum dan korporasi juga mendapat keuntungan dari apa yang telah
dilakukan pengurusnya.
Korporasi merupakan badan hukum yang memiliki organ guna menjalankan
usahanya, yang terdiri dari pengurus dan pegawai korporasi yang memiliki tugas dan
fungsi masing-masing. Penempatan korporasi sebagai subjek dalam hukum pidana
tidak lepas dari modernisasi sosial, modernisasi sosial dampaknya pertama harus di
akui bahwa semakin modern masyarakat itu semakin kompleks sistem sosial,
ekonomi dan politik yang terdapat disitu, maka kebutuhan akan sistem pengendalian
kehidupan yang formal akan menjadi semakin besar pula.19
Kehidupan sosial tidak dapat lagi diserahkan kepada pola aturan yang santai,
tetapi dikehendaki adanya pengaturan yang semakin rapi terorganisasi, jelas dan
terperinci. Sekalipun cara-cara seperti ini mungkin memenuhi kebutuhan hidup
19
masyarakat yang semakin berkembang, namun persoalan yang ditimbulkan tidak
kurang pula banyaknya.
Dalam penulisan ini menggunakan teori pertanggungjawaban pidana
korporasi. Pertanggungjawaban pidana terdiri dari:
a. Kesalahan20
Kesalahan merupakan sesuatu yang patut dicela. Kesalahan terbagi atas
kesengajaan (terdiri dari dolus dengan kesadaran akan keniscayaan akibat,
dolus dengan kesadaran akan besarnya kemungkinan, dolus berinsaf
kemungkinan) dan kelalaian (terdiri dari levis atau ringan dan lata atau
berat, menyerupai dolus berinsaf kemungkinan).
Menurut D. Schaffmeister, sangat sulit untuk menentukan kapan suatu
badan hukum terdapat apa yang disebut dengan kesengajaan. Selanjutnya
beliau mengatakan, kesengajaan pada badan hukum pertama-tama
berbeda, apabila pada kesengajaan itu pada kenyataannya terletak dalam
keadaan yang nyata dari suatu perusahaan tertentu. Torringa dalam
hubungan ini mengatakan adanya suatu macam “suasana kejiwaan” yang
dapat berlaku dalam suatu badan hukum.
Menurut D. Schaffmeister, kejadian tersebut harus diselesaikan dengan
konstruksi pertanggungjawaban, kesengajaan dari perorangan yang
bertindak atas nama perserikatan atau badan usaha, dimana dapat
menimbulkan kesengajaan dari badan hukum tersebut. Arrest Bijenkorf
20
(H.R. 14 Maret 1950 N.J. 1952, 656) menyatakan bahwa kesengajaan dari
suatu organ dari badan hukum dapat dipertanggungjawabkan kepada
badan hukum.
Menurut Remmelink, pengetahuan bersama dari sebagian besar anggota
direksi dapat dianggap sebagai kesengajaan badan hukum itu, jika
mungkin sebagai kesengajaan bersyarat dan bahwa kesalahan ringan dari
setiap orang yang bertindak untuk korporasi itu, jika dikumpulkan akan
dapat merupakan kesalahan besar dari korporasi itu sendiri.
Dalam praktik, terdapat kemungkinan bahwa badan hukum bertindak alpa,
sedangkan perorangan mempunyai kesengajaan, misalnya jika seorang
pengawas dari suatu perusahaan, guna mengisi kantongnya sendiri
menghubungi suatu perusahaan kebersihan sampah yang tidak dapat
dipercaya, sedangkan si badan hukum sama sekali tidak mengawasi
pelaksanaan pembersihan sampah tersebut.
Dalam hal kelalaian, Schaffmeister menganggap bahwa terdapat hal yang
sama dengan kesengajaan, dengan catatan bahwa melalui cara memenuhi
tugas pemeliharaan, kelalaian lebih banyak dapat dipertanggungjawabkan
kepada korporasi.
b. Kemampuan Bertanggungjawab
Sebagaimana yang disebut dalam Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum
dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya karena kurang sempurna
akalnya, sakit berubah akalnya, dan orang yang terganggu pikirannya.
Dalam hal kemampuan bertanggungjawab yang dimiliki oleh korporasi,
motivasinya adalah dengan memperhatikan perkembangan korporasi itu
sendiri, yaitu bahwa untuk beberapa delik tertentu, ditetapkannya orang
atau yang dalam hal ini pengurus korporasi saja sebagai yang dapat
dipidana ternyata tidak cukup. Dipidananya pengurus tidak memberikan
jaminan yang cukup bahwa korporasi tidak sekali lagi melakukan
perbuatan yang telah dilarang oleh suatu undang-undang.21
c. Tiada Alasan Penghapus Pidana
Pembentuk Undang-Undang menentukan pengecualian dengan batasan
tertentu bagi suatu perbuatan tidak dapat diterapkan peraturan hukum
pidana sehingga terdapat alasan penghapus pidana. Alasan penghapus
pidana terbagi menjadi alasan pembenar, alasan pemaaf, dan alasan
penghapus penuntutan.22
Para pakar hukum pidana Belanda menginginkan untuk menerapkan
ajaran sifat melawan hukum materiel dalam pembelaan kasus-kasus,
sehingga muncul jenis-jenis alasan pembenar tidak tertulis seperti
21
Ibid, hal. 90. 22
Alvi Syahrin
toestemming, beroepsrecht, tuchtrecht, medische exeptie yang diterapkan
secara kasus demi kasus.23
Alasan pembenar adalah alasan yang menghapuskan sifat melawan hukum
perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi
perbuatan yang patut dan benar. Alasan ini menghapuskan suatu peristiwa
pidana yaitu kelakuan seseorang bukan suatu peristiwa pidana walaupun
sesuai dengan ketentuan yang dilarang dalam undang-undang.24
Alasan pemaaf/ penghapus kesalahan adalah alasan yang menghapuskan
kesalahan terdakwa, menghilangkan pertanggungjawaban pembuat atas
peristiwa yang dilakukannya. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa
tetap bersifat melawan hukum, tetapi tidak dapat dipidana karena tidak ada
kesalahan. Kelakuan seseorang tetap suatu peristiwa pidana tetapi tidak
dapat dipertanggungjawabkan kepada pembuat. Alasan penghapus
penuntutan bukan mempersoalkan ada alasan pembenar maupun alasan
pemaaf, tetapi pemerintah menganggap bahwa atas dasar kemanfaatannya
kepada masyarakat, sebaiknya tidak diadakan penuntutan.25
23
Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum
Pidana Indonesia (Bandung: Alumni, 2002), hal. 204.
24
Alvi Syahrin.
Perbedaaan alasan pembenar dan alasan pemaaf dalam alasan-alasan
penghapus pidana adalah sebagai berikut :26
Alasan Pembenar Alasan Pemaaf
Yang Tertulis
d. Menjalankan perintah jabatan yang sah
Yang Tertulis
a. Tidak mampu bertanggung jawab
:
b. Daya paksa (Overmacht)
c. Pembelaan terpaksa melampaui batas
d. Menjalankan perintah jabatan yang tidak sah
Yang Tidak Tertulis
a. Ketiadaan sifat melawan hukum materil
:
b. Eksepsi kedokteran c. Persetujuan
Yang Tidak Tertulis :
AVAS (Afwezigheid Van Alle Schuld)/
Tanpasila atau tanpa kesalahan
Alasan-alasan penghapus pidana di luar undang-undang:27
Pembenar Pemaaf
a. Izin
b. Norma-norma jabatan yang sudah diterima
a. Sesat yang dapat dimaafkan b. Sesat fakta
c. Sesat hukum
d. Ketidakmampuan yang dapat dimaafkan
Beberapa teori pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi adalah sebagai
berikut:28
26
Ibid. Lihat juga Jan Remmelink, Hukum Pidana (Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting
dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia) (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 190-279.
27 Ibid. 28
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010), hal. 102-103. Lihat juga
1) Teori Fiksi
Kepribadian hukum atau kesatuan-kesatuan lain daripada manusia adalah
hasil khayalan. Kepribadian yang sebenarnya hanya ada pada manusia. Badan
hukum tidak dapat menjadi subjek hukum, tetapi diperlukan seolah-olah
badan hukum itu manusia.
2) Teori Konsesi
Teori ini menyatakan dengan tegas bahwa badan hukum dalam Negara tidak
memiliki kepribadian hukum kecuali kalau diperkenankan oleh hukum, dan
ini berarti Negara.
3) Teori Zweckvermogen
Hak milik badan-badan hukum dapat diperuntukkan dan mengikat secara sah
pada tujuan-tujuan tertentu, tetapi adalah milik tanpa subjek, tanpa pemilik.
Teori ini juga menganggap bahwa hanya manusia yang memiliki hak.
4) Teori Ihering
Bahwa subjek-subjek hak badan hukum adalah manusia-manusia yang secara
nyata ada di belakang (anggota-angota badan hukum) dan mereka yang
mendapat keuntungan dari badan hukum yang diberi kepribadian tersebut.
5) Teori Realitas atau Organik
Berbeda dengan teori-teori sebelumnya. Teori ini menekankan pada
pribadi-pribadi hukum yang nyata sebagai sumber kepribadi-pribadian hukumnya.
Kepribadiannya tidak karena diakui Negara, bukan ciptaan menurut hukum
anggota-anggota yang merupakan unsur-unsurnya atau orang-orang yang
berkepentingan.
Beberapa doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi adalah sebagai
berikut:29
a. Doktrin Strict Responsibility (Pertanggungjawaban Mutlak)
Pertanggungjawaban yang dibebankan kepada pelaku yang bersangkutan
dengan tidak perlu dibuktikan lagi adanya kesalahan.
b. Doktrin Vicarious Responsibility (Pertanggungjawaban Pengganti)
Pembebanan atau pelimpahan dari pertanggungjawaban pidana yang
dilakukan seseorang kepada korporasi. Namun sebenarnya pelaku dan
korporasi sama-sama bisa dijatuhi sanksi.
c. Doctrine of Delegation
Pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi dengan adanya
pendelegasian wewenang dari seseorang kepada orang lain untuk
melaksanakan kewenangan yang dimiliki.
d. Doctrine of Identification
Pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi dengan cara
mengidentifikasi tindak pidana yang dilakukan oleh orang yang mempunyai
hubungan langsung, mempunyai status atau otoritas tertentu dari korporasi.
29
Agus Budianto, Delik Suap Korporasi di Indonesia (Bandung: Karya Putra Darwati, 2012), hal. 67. Lihat juga Muladi dan Dwidja Priyatno serta Muladi dan Diah Sulistiani RS tentang
Hal yang di identifikasi adalah perbuatan, pelaku, pertanggungjawaban, serta
kesalahan korporasinya.
e. Doctrine of Aggregation
Doktrin yang memungkinkan agregasi atau kombinasi kesalahan dari
sejumlah orang untuk di atributkan kepada korporasi sehingga korporasi dapat
dibebani pertanggungjawaban.
f. Doctrine of Corporate Culture
Pertanggungjawaban yang dapat dibebankan kepada korporasi apabila
berhasil ditemukan bahwa seseorang yang telah melakukan perbuatan
melanggar hukum memliki dasar yang rasional untuk meyakini bahwa
anggota korporasi yang memiliki kewenangan telah memberikannya izin
untuk dilakukannya tindakan tersebut.
Teori-teori serta doktrin-doktrin mengenai pertanggungjawaban pidana
korporasi tersebut di atas merupakan hal yang saling melengkapi dan bukan saling
menghilangkan.
Strict responsibility digunakan untuk pertama kali oleh W. H. Winfield dalam
sebuah artikel yang berjudul The Myth of Absolute Liability pada Tahun 1926. Ted
Honderich mengemukakan bahwa alasan yang bisa dikemukakan untuk strict
responsibility adalah :30
a. Sulitnya membuktikan pertanggungjawaban untuk tindak pidana tertentu,
30
b. Sangat perlunya mencegah jenis-jenis tindak pidana tertentu untuk
menghindari adanya bahaya yang sangat luas.
Di Inggris pertanggungjawaban pidana yang disebut vicarious responsibility
dapat dihubungkan dengan pertanggungjawaban dari korporasi. Korporasi berbuat
dengan peranan orang.31
Mengenai kedudukan sebagai pembuat dan sifat pertanggungjawaban pidana
korporasi, terdapat model pertanggungjawaban korporasi yaitu sebagai berikut :32
a. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang
bertanggungjawab;
b. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggungjawab;
c. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab.
Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab
mengandung makna bahwa kepada pengurus korporasi dibebankan kewajiban
tertentu. Kewajiban yang dibebankan itu sebenarnya merupakan kewajiban dari
korporasi. Pengurus yang tidak memenuhi kewajiban itu diancam dengan pidana.
Dasar pemikiran dari konsep ini yaitu korporasi itu sendiri tidak dapat
dipertanggungjawabkan terhadap suatu pelanggaran, melainkan selalu penguruslah
yang melakukan delik itu.33
31
Ibid, hal. 117. 32
Ibid, hal. 86. 33
Korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggungjawab berkenaan
dengan pandangan bahwa apa yang dilakukan oleh korporasi merupakan apa yang
dilakukan oleh alat perlengkapan korporasi menurut wewenang berdasarkan anggaran
dasarnya. Orang yang memimpin korporasi bertanggungjawab secara pidana, terlepas
dari apakah dia mengetahui atau tidak mengenai dilakukannya perbuatan itu. Prinsip
ini hanya berlaku untuk pelanggaran saja.34
Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggungjawab menunjukkan bahwa
untuk beberapa delik tertentu ditetapkannya pengurus saja sebagai yang dapat
dipidana ternyata tidak cukup. Dalam delik ekonomi bukan mustahil denda yang
dijatuhkan sebagai hukuman kepada pengurus, jika dibandingkan dengan keuntungan
yang telah diterima oleh korporasi dengan melakukan perbuatan itu, atau kerugian
yang ditimbulkan dalam masyarakat, atau yang diderita saingannya, keuntungan
dan/atau kerugian itu lebih besar jumlahnya daripada denda yang dijatuhkan sebagai
pidana. Dipidananya pengurus tidak memberikan jaminan yang cukup bahwa
korporasi tidak sekali lagi melakukan perbuatan yang telah dilarang oleh
undang-undang itu.35
34 Ibid. 35
Ibid.
Berdasar doktrin vicarious responsibility, korporasi dan pengurus juga dapat
secara bersama-sama dimintai pertanggungjawabannya dengan merujuk kepada
Bank merupakan salah satu bentuk dari korporasi yang mana merupakan
badan usaha yang keberadaannya dan status hukumnya disamakan dengan manusia
tanpa melihat bentuk organisasinya yang dapat memiliki kekayaan dan utang,
mempunyai hak dan kewajiban, dan dapat bertindak menurut hukum, melakukan
gugatan, dan tuntutan di depan pengadilan.36
Terkait dengan pelaksanaan kewajiban, hukum pidana baru dapat diterapkan
jika :37
a. Sama sekali tidak dilakukan kewajibannya;
b. Tidak melaksanakan kewajibannya tersebut dengan baik sebagaimana
mestinya, yang dapat berarti:
1) Kurang melaksanakan kewajibannya;
2) Terlambat melaksanakan kewajibannya;
3) Salah melaksanakan kewajibannya baik sengaja maupun tidak;
c. Menyalahgunakan pelaksanaan kewajiban.
Kewajiban adalah paksaan yang harus dilaksanakan oleh pemegangnya,
sedangkan larangan adalah hal yang tidak boleh dilakukan.
Tindak pidana di bidang perbankan adalah tindak pidana yang dilakukan oleh
orang di luar dan/atau di dalam bank. Jenis tindak pidana di bidang perbankan
meliputi :38
36
Edi Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2012), hal. 27.
37
Alvi Syahrin.
a. Tindak pidana yang berkaitan dengan perizinan;
b. Tindak pidana yang berkaitan dengan rahasia bank;
c. Tindak pidana yang berkaitan dengan usaha bank;
d. Tindak pidana yang berkaitan dengan pembinaan dan pengawasan bank.
Tindak pidana ini tergolong dalam jenis kejahatan, bukan pelanggaran,
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun
1998 tentang Perbankan, kecuali atas Pasal 48 ayat (2) Undang-Undang Perbankan
yang merupakan jenis pelanggaran yang berbunyi :39
Setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank
dari Pimpinan Bank Indonesia.
“Anggota dewan komisaris, direksi atau pegawai bank yang lain memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dan (2) dan Pasal 34 ayat (1) dan (2) diancam dengan pidana kurungan kurangnya 1 tahun dan paling lama 2 tahun dan denda sekurang-kurangnya satu miliar rupiah dan paling banyak dua miliar rupiah”.
40
38
Ade Didik Irawan.
Kegiatan menghimpun dana dari masyarakat oleh
siapapun pada dasarnya merupakan kegiatan yang perlu diawasi, mengingat dalam
kegiatan itu terkait kepentingan masyarakat yang dananya disimpan pada pihak yang
menghimpun dana tersebut.
Tanggal 1 Februari 2014.
39
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Perbankan, Pasal 48 ayat (2).
40
Terhadap praktik “lintah darat” atau yang dikenal juga dengan istilah
Rentenir, Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
sudah menyatakan bahwa barang siapa menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan tanpa izin usaha dari Pimpinan Bank Indonesia diancam dengan
pidana penjara serta denda, oleh karena itu bukanlah besaran bunga yang diterapkan
dalam kegiatan kredit yang dapat dikategorikan sebagai rentenir atau tidak, namun
dengan menjalankan usaha yang menyerupai dengan fungsi bank tanpa izin dari Bank
Indonesia maka sudah dapat dikatakan sebagai Rentenir.41
Unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk dapat dikatakan sebagai badan hukum
adalah sebagai berikut:42
a. Mempunyai tujuan tertentu;
b. Mempunyai harta kekayaan;
c. Mempunyai hak dan kewajiban, baik untuk menggugat maupun digugat;
d. Mempunyai organisasi.
Badan hukum berarti terdapat pemisahaan kekayaan antara pendiri dan badan
hukum, adanya pembatasan dan membedakan antara tanggungjawab pendiri dan
tanggungjawab badan hukum, serta membutuhkan pengesahan dari Menteri Hukum
dan HAM mengenai legalitas dan keabsahan badan hukum tersebut.43
41
Erickson.
42
Alvi Syahrin.
Muhammad, Hukum Perusahaan, 2010. 43
Perilaku badan hukum yang melawan hukum adalah bentuk dari pelanggaran
hukum kolektif melalui perilaku sekelompok manusia yang terorganisasi dalam suatu
tujuan bersama, yang secara khusus kejahatan korporasi ini mengandung makna
sebagai perbuatan suatu korporasi atau individu yang bertindak atas nama korporasi
yang dilarang oleh undang-undang.44
Bentuk badan hukum suatu bank dapat berupa Perseroan Terbatas, Koperasi,
dan Perusahaan Daerah. Dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
32/33/KEP/DIR Tanggal 12 Mei 1999 disebutkan bahwa kepemilikan bank oleh
badan hukum Indonesia setinggi-tingginya adalah sebesar modal bersih sendiri badan
hukum yang bersangkutan, yang merupakan penjumlahan dari modal disetor,
cadangan dan laba, dikurangi penyertaan kerugian, bagi badan hukum perseroan
terbatas atau perusahaan daerah; atau penjumlahan dari simpanan pokok, simpanan
wajib, hibah, modal penyertaan, dana cadangan, dan sisa hasil usaha, dikurangi
penyertaan dan kerugian, bagi badan hukum koperasi.45
Pihak-pihak yang dapat menjadi pemilik bank adalah mereka yang :46
a. Tidak termasuk dalam daftar orang tercela di bidang perbankan sesuai dengan
apa yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
b. Menurut Bank Indonesia, yang bersangkutan memiliki integritas yang baik,
yakni akhlak dan moral yang baik, mematuhi peraturan perundang-undangan
44
Muladi dan Diah Sulistyani RS, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Corporate
Criminal Responsibility) (Bandung: Alumni, 2013), hal. 23.
45
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), hal. 77.
46
yang berlaku, memiliki komitmen yang tinggi terhadap pembangunan
operasional bank yang sehat, dan dinilai layak dan wajar untuk menjadi
pemegang saham bank.
2. Kerangka Konsep
Dalam melakukan penelitian ini, perlu dijelaskan beberapa istilah di bawah ini
sebagai definisi operasional dari konsep-konsep yang dipergunakan untuk
menghindari kesalahan dalam memakai konsep-konsep, yaitu :
a. Tindak pidana adalah perilaku yang pada waktu tertentu dalam konteks suatu
budaya dianggap tidak dapat ditolerir dan harus diperbaiki dengan
mendayagunakan sarana-sarana yang disediakan oleh hukum pidana.47
b. Pertanggungjawaban pidana terdiri dari beberapa unsur yaitu kemampuan
bertanggungjawab; kesalahan; serta tidak memiliki alasan penghapus pidana.
c. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk
kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup
rakyat banyak.48
d. Kejahatan perbankan adalah kejahatan di bidang perbankan yang meliputi
kejahatan di bidang usaha bank, rahasia bank, perizinan bank, serta
pembinaan dan pengawasan bank. Kejahatan ini dilakukan baik oleh orang
47
Jan Remmelink, Op.Cit., hal. 61. 48
yang ada di dalam bank itu sendiri, maupun orang yang ada di luar bank
tersebut.
e. Usaha bank adalah jenis-jenis kegiatan yang dilakukan oleh bank guna
menjalankan perusahaannya. Pasal 49 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No.
10 Tahun 1998 tentang Perbankan menyatakan bahwa Anggota Dewan
Komisaris, Direksi, atau Pegawai Bank dapat dikenakan hukuman apabila
dengan sengaja melakukan hal yang sebagaimana tercantum dalam pasal
tersebut.49
f. Rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan
mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya.50 Pasal 47 ayat (1) dan (2)
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan juga menyatakan
bahwa Anggota Dewan Komisaris, Direksi, Pegawai Bank, atau Pihak
Terafiliasi lainnya dapat dikenakan hukuman apabila dengan sengaja
melakukan hal yang sebagaimana tercantum dalam pasal tersebut.51
g. Perizinan bank merupakan izin usaha untuk mendirikan bank dari pimpinan
Bank Indonesia. Tindak pidana ini disebut juga tindak pidana bank gelap.
Pasal 46 ayat (2) Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
menyebutkan bahwa apabila hal ini dilakukan oleh badan hukum, maka
penuntutan dilakukan baik terhadap mereka yang memberi perintah
49
Ibid, Pasal 49 ayat (1) dan (2) 50
Ibid, Pasal 1 butir (28). 51
melakukan perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam
perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.52
h. Pembinaan bank adalah upaya yang dilakukan dengan cara menetapkan
peraturan yang menyangkut aspek kelembagaan, kepemilikan, kepengurusan,
kegiatana usaha, pelaporan serta aspek lain yang berhubungan dengan
kegiatan operasional bank.53
i. Pengawasan bank meliputi pengawasan tidak langsung yang terutama dalam
bentuk pengawasan dini melalui penelitian, analisis, dan evaluasi laporan
bank, dan pengawasan langsung dalam bentuk pemeriksaan yang disusul
dengan tindakan perbaikan.54
j. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank. Terdiri dari nasabah
penyimpan yaitu nasabah yang menempatkan dana nya di bank dalam bentuk
simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan,
serta nasabah debitur yaitu nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atau yang dipersamakan dengan itu
berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan.55
k. Bank Indonesia adalah bank sentral Republik Indonesia, yang merupakan
lembaga Negara yang independen dan berbentuk badan hukum.56
52
Ibid, Pasal 46. 53
Soedjono Dirdjosisworo, Hukum Perusahaan Mengenai Hukum Perbankan di Indonesia (Bandung: Mandar Maju, 2003), hal. 29.
54 Ibid. 55
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Pasal 1 Butir (16)-(18).
56
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Pasal 4.
tugas Bank Indonesia adalah untuk melakukan pengawasan terhadap bank,
serta memberikan dan mencabut izin usaha bank, memberikan izin
pembukaan, penutupan, dan pemindahan kantor bank, memberikan
persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank, dan memberikan izin
kepada bank untuk menjalankan kegiatan usaha-usaha tertentu. Akan tetapi,
sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK,
tugas ini sudah beralih ke Lembaga Otoritas Jasa Keuangan.
l. Otoritas Jasa Keuangan atau yang disingkat dengan OJK adalah lembaga yang
independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi,
tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011
tentang Otoritas Jasa Keuangan.57 OJK melaksanakan tugas pengaturan dan
pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan, Pasar
Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga
Jasa Keuangan lainnya. Untuk melaksanakan tugas pengaturan dan
pengawasan di sektor Perbankan, OJK mempunyai wewenang pengaturan dan
pengawasan mengenai kelembagaan bank, kesehatan bank, aspek
kehati-hatian bank, serta pemeriksaan bank.58
m. Korporasi adalah suatu gabungan orang yang dalam pergaulan hukum
bertindak bersama-sama sebagai suatu subjek hukum tersendiri. Korporasi
57
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Pasal 1 butir (1). 58
adalah badan hukum yang beranggota, tetapi mempunyai hak dan kewajiban
sendiri terpisah dari hak kewajiban anggota masing-masing.59 Teori-teori
pertanggungjawaban pidana korporasi yang berasal dari Negara Anglo Saxon,
seperti Inggris dan Amerika yaitu; teori identifikasi/ direct corporate criminal
responsibility atau doktrin pertanggungjawaban pidana langsung. Perbuatan/
kesalahan pejabat senior diidentifikasi sebagai perbuatan/ kesalahan
korporasi. Pada umumnya pejabat senior adalah orang yang mengendalikan
perusahaan, baik sendiri maupun bersama-sama, yang pada umumnya
pengendali perusahaan adalah para direktur dan manajer; doktrin
pertanggungjawaban pengganti atau vicarious responsibility; serta doktrin
pertanggungjawaban yang ketat menurut Undang-Undang (strict
responsibility).60
n. Kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar untuk adanya
pencelaan pribadi terhadap si pembuat pidana (Schuldist der Erbegriff der
Vorraussezungen, die aus der Straftat persolichen Verwurf gegen den Tater
begrunden).61
G. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian normatif, yaitu dengan objek
penelitiannya adalah norma hukum yang berlaku dalam sejumlah peraturan
59
Muladi dan Priyatno, Op.Cit., hal. 25. 60
Ibid, hal. 233-237. 61
perundang-undangan dan kebijakan yang terkait secara langsung dengan
“Pertanggungjawaban Pidana Dalam Kejahatan Perbankan”.
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian normatif dengan
menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan dalam melakukan
pengkajian pertanggungjawaban pidana dalam kejahatan perbankan. Di dalam
penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan pendekatan tersebut, peneliti
akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba
untuk dicari jawabannya. Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian
hukum adalah pendekatan undang-undang, pendekatan kasus, pendekatan historis,
pendekatan komparatif, dan pendekatan konseptual.62
Penelitian hukum mempunyai fungsi praktikal dan teoritikal. Fungsi praktikal
memberdayakan sistem hukum dalam menyelesaikan problem hukum yang Pendekatan hukum tersebut
menggunakan teori hukum murni yang berupaya membatasi pengertian hukum pada
bidang-bidang hukum saja, bukan karena hukum itu mengabaikan atau memungkiri
pengertian-pengertian yang berkaitan, melainkan karena pendekatan seperti ini
menghindari pencampuradukkan berbagai disiplin ilmu yang berlainan metodologi
yang mengaburkan esensi ilmu hukum dan meniadakan batas-batas yang ditetapkan
pada hukum itu oleh sifat pokok bahasannya.
62
penelitiannya menjadi dasar bagi profesi hukum untuk melegitimasi kasusnya dengan
kegiatan argumentasi dengan mengacu kepada bahan-bahan hukum. Sedangkan
fungsi teoritikal bertujuan menghasilkan doktrin yang memberikan preskripsi tentang
bagaimana interpretasi seharusnya dilakukan terhadap suatu kaidah dalam sistem
hukum yang penelitiannya akan lebih banyak mengacu kepada doktrin-doktrin hukum
yang dikembangkan oleh yuris terkemuka dalam rangka menghasilkan konsep/ teori
baru atau mempertajam konsep/ teori lama dengan mengacu kepada bahan-bahan
hukum.63
Sifat penelitian adalah preskriptif, yaitu dengan mempelajari tujuan hukum,
nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma
hukum. Kemudian penelitian ini dibantu dengan ilmu terapan. Sebagai ilmu terapan,
ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan dan rambu-rambu
dalam melaksanakan aturan hukum guna menemukan hukum atas suatu peristiwa
konkrit.64
2. Sumber Bahan Hukum
Penelitian hukum menitikberatkan pada penelitian kepustakaan dan
berdasarkan pada bahan hukum sekunder, maka bahan hukum yang digunakan dapat
dibagi ke dalam beberapa kelompok, yaitu :
63
Alvi Syahrin.
64
Alvi Syahrin.
1. Bahan hukum primer, meliputi seluruh peraturan perundang-undangan yang
relevan dengan permasalahan dan tujuan penelitian, yang terdiri dari:
a. Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
b. Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
c. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
d. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang
Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang.
e. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
f. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
Tentang Bank Indonesia.
g. Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/ 10/ PBI/ 2001 Tahun 2001 tentang
Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles).
h. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/ 3/ PBI/ 2005 Tahun 2005 tentang
Batas Maksimum Pemberian Kredit.
i. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/ 5/ PBI/ 2006 Tahun 2006 tentang
j. Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/ 3/ PBI/ 2011 Tahun 2011 tentang
Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank.
k. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/ 35/ DPNP Tahun 2010 tentang
Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Aktivitas
Kerjasama Pemasaran dengan Perusahaan Asuransi (Bancassurance).
2. Bahan hukum sekunder digunakan untuk membantu memahami berbagai
konsep hukum dalam hukum primer, analisis bahan hukum primer dibantu
oleh bahan hukum sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber baik jurnal,
buku-buku, makalah, serta karya ilmiah juga sumber-sumber lain yang relevan
mengenai pertanggungjawaban pidana dalam kejahatan perbankan.
3. Bahan hukum tertier diperlukan guna untuk berbagai hal dalam penjelasan
makna-makna kata dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,
khususnya kamus-kamus hukum dan bank.
3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Seluruh bahan hukum dikumpulkan dengan menggunakan teknik studi
kepustakaan dengan alat pengumpulan berupa studi dokumen dan doktrin dari para
juris atau ahli hukum yang dipandang relevan, dilakukan di Perpustakaan Universitas
Terdapat tiga kegiatan pokok yang harus dilakukan dalam penelitian ini,
yaitu:65
a. Menetapkan kriteria identifikasi untuk menyeleksi manakah norma-norma
yang harus disebut sebagai norma hukum positif dan mana yang disebut
sebagai norma sosial yang bersifat non-hukum;
b. Melakukan koreksi terhadap norma-norma yang teridentifikasi sebagai
norma hukum (positif);
c. Mengorganisasikan norma-norma yang sudah berhasil diidentifikasi dan
dikumpulkan ke dalam suatu sistem yang komprehensif.
4. Analisis Bahan Hukum
Bahan hukum primer yang terinventarisasi terlebih dahulu disistematisasikan
sesuai dengan substansi yang di atur dengan mempertimbangkan relevansinya
terhadap rumusan masalah dan tujuan penelitian. Kemudian dilakukan
pengelompokan konsep hukum yang lebih umum, yaitu : pertanggungjawaban pidana
dan kejahatan perbankan.
Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode yang memberi
penjelasan yang gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaidah
dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Metode interpretasi adalah
65
sarana atau alat untuk mengetahui makna undang-undang. Metode interpretasi terbagi
menurut bahasa, historis, sistematis, teleologis, perbandingan hukum, dan futuristis.66
Penelitian dogmatik hukum mempunyai kegunaan yang fundamental bagi
setiap juris, penelitian ini menemukan dan menghimpun bahan-bahan hukum,
mengevaluasi hukum positif. Penataan dan pengelolaan sistematikal terhadap
bahan-bahan hukum akan menampilkan gambaran yang menyeluruh teriktisar dan
kejernihan dari normanya walaupun dalam tampaknya seakan bahan hukum yang
banyak ini sembaraut bercerai berai satu sama lain. Melalui sistematisasi terhadap
bahan hukum yang kompleks tersebut akan dapat ditemukan norma hukumnya dan
menerapkannya guna menyelesaikan problema hukum yang dihadapi.67
66
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar) (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2010), hal. 218-219.
67
Alvi Syahrin.