• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deteksi Rotavirus dan Karakterisasi Gen Nonstruktural NSP4 Rotavirus Sebagai Enterotoksin Virus Yang Menginduksi Terjadinya Invaginasi Pada Anak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Deteksi Rotavirus dan Karakterisasi Gen Nonstruktural NSP4 Rotavirus Sebagai Enterotoksin Virus Yang Menginduksi Terjadinya Invaginasi Pada Anak"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Invaginasi adalah suatu penyakit pada anak yang memerlukan tindakan emergensi. Diagnosis pasti invaginasi pada anak sulit untuk

ditegakkan karena gejala spesifik invaginasi “Trias Invaginasi” tidak selalu

ditemukan saat anamnesis kepada orang tua anak maupun pada saat pemeriksaan (Mac Mahon, 1991).

Keterlambatan didalam diagnosis dapat meningkatkan angka mortalitas dan morbiditas. Ada sekitar 11,2% – 30% keterlambatan didalam diagnosis berakibat perforasi intestinal. Keadaan ini menambah komplikasi pada saat operasi maupun setelah operasi seperti reseksi intestinal ataupun kolon, leakage anastomose, adhesi, konsekuensi beban sosial-ekonomi dan produktivitas (Kim-Choy, Shih, 2002).

Faktor-faktor yang mempengaruhi keterlambatan penanganan invaginasi yang berakibat timbulnya komplikasi dapat berasal dari pasien dan tenaga medis. Faktor pasien meliputi pengetahuan tentang penyakit invaginasi dan biaya pengobatan. Faktor tenaga medis meliputi kesalahan diagnosis, tertundanya diagnosis, terlambat untuk merujuk ke rumah sakit yang memiliki fasilitas lebih baik, dan menunda tindakan bedah (Virginia, 2000).

(2)

Inggris dan Skotlandia menunjukkan insiden yang lebih tinggi yaitu 4 dari 1000 kelahiran hidup. Jenis kelamin laki-laki lebih dominan terjadi dibanding dengan perempuan dengan rasio berkisar 3:2 sampai dengan 2:1 (Hanz-Iko, 2006).

Pengamatan yang dilakukan di University Childrens Hospital, Basel, Switzerland pada tahun 2006 didapat 25% kasus invaginasi didahului dengan diare (Buettcher, 2006).

Hasil surveillance di beberapa rumah sakit di Vietnam, 56% dari penyakit diare pada anak dibawah usia 5 tahun yang dirawat disebabkan oleh rotavirus (Mann, 2001), sementara di Thailand jumlah kejadiannya adalah 48% meningkat dibandingkan dengan sebelumnya (Intusuma, 2008). Di negara maju, meskipun terdapat perbaikan sanitasi, penyediaan air bersih, dan perawatan pada anak, infeksi rotavirus masih memberi kontribusi terhadap morbiditas dan besarnya biaya pengobatan yang memerlukan perhatian khusus (Parashar, 1999; Parashar, 2006).

Pada tahun 2007 dilakukan penelitian di Yogyakarta tentang penyebab terjadinya diare dan hasilnya didapat 60% diare disebabkan oleh rotavirus (Soenarto, 2009). Sedangkan di kota lain seperti Jakarta angka kejadian invaginasi adalah sebanyak 103 kasus (86% anak dibawah 1 tahun) dan di Yogyakarta angka kejadian invaginasi adalah sebanyak 35 kasus (61% anak dibawah 1 tahun) dengan perbandingan laki-laki dan perempuan masing-masing sebanyak 2:1 dan 1:1 (WHO, 2002).

(3)

2 tahun dan paling banyak ditemukan pada anak usia di bawah 1 tahun sebanyak 95% dengan perbandingan laki-laki dan perempuan 2:1.

Penelitian yang dilakukan di RSUP Haji Adam Malik Medan dan RSU Pirngadi Medan tahun 2010 menunjukkan jumlah anak yang penderita invaginasi sebanyak 49 orang (Mulyaningrum, 2010).

Rotavirus adalah penyebab diare yang paling signifikan pada bayi dan beberapa binatang dimana rotavirus secara jelas menginfeksi enterosit vili yang matang dari usus halus (Angel, 2013). Virus ini ditularkan melalui fekal oral dan bereplikasi terutama dalam sel epitel tepatnya di ujung vili usus halus (Alicia, 2011). Telah diteliti bahwa replikasi dari rotavirus pada epitel usus menyebabkan hilangnya sel absorbsi yang baik, yang menyebabkan gangguan dari sekresi dan absorbsi usus (Shaw, 1995).

Rotavirus telah dideteksi pada 41% pasien dengan invaginasi, meskipun penelitian terkontrol hanya sedikit dilakukan, infeksi rotavirus menyebabkan lymphadenopathy dan penebalan dinding ileum distal yang dapat menjadi lead point terjadinya invaginasi. Karena hal tersebut rotavirus dinilai mempunyai kaitan dengan terjadinya invaginasi pada beberapa kasus (Julie, 2004). Faktor-faktor yang dihubungkan dengan terjadinya invaginasi selama ini belum dapat ditentukan secara pasti karena 95% penyebab terjadinya invaginasi tidak diketahui (idiopatik), dan dugaan sebagai faktor penyebab sebanyak 5%. Diare akibat rotavirus diperkirakan sebagai faktor risiko terjadinya invaginasi (Georges, 2012).

(4)

invaginasi. Dalam penelitian prospektif lainnya rotavirus dapat dideteksi secara serologis pada 2 dari 24 pasien (10%). Tidak satupun penelitian ini dapat menunjukkan secara meyakinkan bahwa infeksi rotavirus mempunyai peranan penting dalam terjadinya invaginasi (Chang, 2002).

Rotavirus terdiri dari 11 segmen, setiap segmen mengandung RNA rantai ganda, yang mana setiap kode untuk enam protein struktur (VP1, VP2, VP3, VP4, VP6, VP7) dan lima protein nonstruktur (NSP1, NSP2, NSP3, NSP4, NSP 5), diantara protein-protein tersebut protein NSP4 merupakan protein enterotoksin yang dihasilkan rotavirus (Chan, 2000; Harper, 2008; Murray dkk, 2007). Bahan toksik alami dari NSP4 dan protein antigen, dimana protein NSP4 ini merupakan protein yang paling memungkinkan terlibat dalam perkembangan terjadinya invaginasi, dengan tambahan interaksi faktor host yang belum diketahui. NSP4 adalah sebuah glikoprotein transmembran retikulum endoplasma (Chan, 2000). Pada rotavirus Nonstructural Protein 4 (NSP4) berfungsi sebagai reseptor intraseluler di retikulum endoplasma yang penting untuk morfogenesis virus dan ditandai sebagai enteroktoksin virus yang pertama (Parr, 2006).

(5)

rotavirus manusia, mutasi dari NSP4 terbatas pada daerah terminal-N. Observasi ini menunjukkan bahwa bahkan pada saat rotavirus manusia dilemahkan daerah toksik terminal-C kelihatannya selamat dari mutasi dan mempertahankan potensial enterotoksiknya. Sebagai tambahan untuk domain NSP4 yang selamat, virus yang virulen dan yang dilemahkan juga memiliki domain variabel yang berdekatan dengan domain eneterotoksin (Parr, 2006).

Diare yang disebabkan oleh rotavirus pertama kali dianggap sebagai malabsorbsi. Sejak tahun 1996, berbagai ide bermunculan diantaranya menyatakan bahwa NSP4 memiliki peran penting dalam sekresi cairan dan elektrolit, oleh karena itu hal ini mewakili sekretori enterotoksin virus baru (Mathie, 2007). Selama infeksi, NSP4 berfungsi sebagai enterotoksin viral dengan berikatan dengan reseptor ekstraselluler dan mengaktivasi jalur transduksi sinyal yang meningkatkan level Kalsium ([Ca2+

]

i)intraselluler

(6)

Usaha meningkatkan akurasi diagnosis dan mencegah tindakan intervensi bedah yang tidak diperlukan, merupakan masalah yang aktual dan sering diperdebatkan. Pemakaian ultrasonografi dan foto abdomen adalah dalam usaha meningkatkan akurasi diagnosis invaginasi. Pemeriksaan Rotavirus melalui feses (tinja) perlu dilakukan selain untuk diagnosis rotavirus juga diharapkan dapat sebagai pencegahan untuk terjadinya invaginasi (Waag,2006).

Berdasarkan data-data diatas, dalam penelitian ini dilakukan identifikasi rotavirus dan karakterisasi NSP4 rotavirus pada kasus invaginasi anak, dan diharapkan hasil penelitian ini memberikan data genetik NSP4 rotavirus yang dikaitkan dengan potensi terjadinya invaginasi.

1.2. Rumusan Masalah

Angka terjadinya invaginasi pada anak yang tinggi sebagai suatu penyebab morbiditas dan mortalitas pada anak. Sampai saat ini etiologi dan patogenesisnya belum diketahui dengan jelas. Namun beberapa penelitian melaporkan adanya hubungan enterotoksin rotavirus (NSP4) yang berpotensi menginduksi terjadinya invaginasi pada anak. Salah satu dugaan penyebab invaginasi pada anak adalah infeksi rotavirus, melalui mekanisme enterotoksin virus (protein nonstruktural 4(NSP4)).

1.3. Pertanyaan Penelitian

1. Apakah Rotavirus merupakan penyebab terjadinya invaginasi pada anak? 2. Apakah karakter genetik protein NSP4 tertentu berperan dalam menginduksi

(7)

1.4. Hipotesis Penelitian

1. Terdapat hubungan antara invaginasi pada anak dengan infeksi rotavirus. 2. Terdapat perbedaan pola genetik protein NSP4 rotavirus pada penderita

invaginasi dan yang tidak invaginasi.

1.5. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui hubungan infeksi rotavirus dengan invaginasi.

2. Untuk mengetahui adanya perbedaan pola genetik Protein NSP4 rotavirus pada penderita invaginasi dan yang tidak invaginasi.

1.6. Manfaat Penelitian

1. Bila terbukti bahwa rotavirus menyebabkan terjadinya invaginasi pada anak maka dapat diambil langkah-langkah pencegahan sebagai early warning.

2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah dalam ilmu bedah kepada masyarakat, dokter umum, dokter spesialis anak, dokter spesialis bedah, ahli mikrobiologi dan khususnya dokter spesialis bedah anak.

3. Hasil penelitian ini dapat memperkirakan terjadinya invaginasi pada anak sehingga dapat memberikan informasi yang benar dan jelas kepada pasien dan keluarga tentang penyakit, tindakan yang akan dilakukan dan kemungkinan prognosisnya.

(8)

5. Dan bila pada penelitian ini muncul penyebab-penyebab lain yang dianggap sebagai penyebab invaginasi maka dapat diambil langkah-langkah untuk pencegahannya.

6. Jika terbukti terdapat karakteristik protein NSP4 tertentu yang dikaitkan dalam kasus invaginasi, maka karakter tersebut digunakan sebagai target identifikasi strain virus yang virulen sebagai faktor resiko menggunakan metode serologi atau molekuler (pengembangan metode diagnostik untuk meng-identifikasi NSP4 sebagai faktor resiko terjadinya invaginasi pada pasien atau pada populasi tertentu (surveil-lance study).

1.7. Hak Atas Kekayaan Ilmiah ( HAKI )

1. Pemeriksaan rotavirus akan menjadi pemeriksaan standar pada anak dengan diare untuk menegakkan diagnosis dan standar pencegahan untuk menurunkan angka terjadinya invaginasi.

2. Hasil pemeriksaan rotavirus yang positif pada anak akan menjadi standar kewaspadaan bagi dokter dan akan merubah pola edukasi bagi keluarga pasien terhadap kewaspadaan, early warning, sikap antisipatif preventif serta sikap tanggap terhadap kemungkinan terjadinya invaginasi agar bahaya yang ditimbulkan dari invaginasi bisa diminimalkan dan prognosis menjadi lebih baik. 3. Penelitian menggunakan metode PCR RNA Rotavirus dilakukan pada manusia

merupakan suatu penelitian yang pertama kali dilakukan, dengan adanya penelitian ini akan didapatkan beberapa hal yang dapat dipatenkan ,yaitu berupa:

-

Sekuen asam amino protein NSP4 dari strain virus yang dideteksi di

Medan / Sumatera Utara.

-

Biomarker (sekuen asam amino tertentu) pada protein NSP4 sebagai

faktor resiko invaginasi. Biomarker ini dapat dimafaatkan untuk

Referensi

Dokumen terkait

[r]

kemudian dilakukan proses disagregasi untuk mengubah rencana produksi agregat menjadi jumlah yang harus diproduksi setiap produk yaitu dengan metode family set-up untuk

[r]

Emosi negatif adalah perasaan individu yang dirasakan kurang menyenangkan (ketakutan, kekhawatiran, kecemasan, kebencian, kemarahan) yang berlebihan yang dapat

Jika dibandingkan dengan ekstrak metanol daun kapur yang memiliki aktivitas antiplasmodium in vitro dengan IC 50 sebesar 14,22 µg/mL (Turalely, dkk; 2013) , maka fraksi

Suatu cedera parenkimal paru yang bersifat menyebar, yang terkait dengan edema paru nonkardiogenik , yang menyebabkan kegagalan pernafasan yang parah dan hipoksemia.. Tanda

Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh lama penyinaran matahari terhadap produksi padi di Kabupaten Banyuwangi hanya sebesar 40% dan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain

Berdasarkan hasil observasi kelas II SDN Sungai Kupang 1 dimana pada pra siklus diketahui bahwa diperhatian siswa masih belum fokus terhadap materi pelajaran