BAB III
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ORANG YANG MEMPEKERJAKAN SESEORANG DI KAPAL TANPA DOKUMEN YANG DIPERSYARATKAN A. Pertanggungjawaban dalam hukum pidana
1. Pertanggungjawaban
Masalah pertanggungjawaban dan khususnya pertanggungjawaban pidana
mempunyai kaitan yang erat dengan beberapa hal yang cukup luas. Dapat
dipermasalahkan antara lain:
a. Ada atau tidaknya kebebasan manusia untuk menentukan kehendak? antara lain
ditentukan oleh indeterminisme dan determinisme.
Disini dipertanyakan, sebenarnya manusia itu mempunyai kebebasan untuk
menentukan lehendaknya atau tidak. Kehendak merupakan aktivitas batin manusia
yang pada gilirannya berkaitan dengan pertanggungjawaban manusia atau
perbuatannya. Persoalan ini muncul sebagai akibat pertentangan pendapat antara
klasik (dan neo klasik) dengan aliran modern. Aliran klasik mengutamakan
kebebasan individu dengan konsekuensi diterimanya kehendak bebas dari individu.
Pendirian mengenai kebebasan individu ini diragukan oleh aliran modern yang
membuktikan melalui psikilogi dan psikiatri bahwa tidap setiap perbuatan manusia
itu dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, misalnya saja pada orang gila.
Malahan Bonger yang mengikuti aliran lingkungan/millieu menyatakan bahwa sebenarnya semua kehendak dan perbuatan manusia itu ditentukan oleh
Aliran klasik menganut paham indeterminisme, yang mengatakan bahwa manusia itu dapat menentukan kehendaknya dengan bebas, meskipun sedikit banyak
juga ada faktor lain yang memengaruhi penentuan kehendaknya, yaitu keadaan
pribadi dan lingkungannya, tetapi pada dasarnya manusia mempunyai kehendak yang
bebas.
Sebaliknya aliran modern menganut paham determinisme, dan mengatakan bahwamanusia sama sekali tidak dapat menentukan kehendaknya secara bebas.
Kehendak manusia untuk melakukan sesuatu ditentukan oleh beberapa faktor, antara
lain yang terpenting adalah faktor lingkungan dan pribadi. Dalam menentukan
kehendaknya manusia tunduk kepada hukum sebab akibat, yaitu faktor-faktor
penyebab yang berada di luar kekuasaan manusia. Faktor pribadi pun tunduk kepada
faktor keturunan dan selanjutnya di dalam hidupnya faktor lingkungan memegang
peranan yang sangat penting. Oleh karena itu, secara ekstrim beberapa ahli penganut
determinisme tidak mengakui adanya “kesalahan” dan karena itu manusia “tidak
boleh dihukum”.
Soedarto menengahinya dengan kompromi dan mengatakan bahwa dalam hal
paham determinisme, walaupun manusia tidak mempunyai kehendak bebas, bukan
berarti bahwa orang yang melakukan tindak pidana tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Ia masih dapat dipertanggungjawabkan, dan menerima
reaksi untuk perbuatan yang dilakukannya, tetapi reaksi itu berwujud tindakan untuk
kesalahannya”. Demikian pula, Sassen berpendapat bahwa hakim tidak menjatuhkan
pidana, tetapi mengambil tindakan yang memaksanya agar tunduk pada tata tertib
masyarakat. Menurut dia, hukum pidana itu sebenarnya adalah suatu “hukum
pertahanan sosial”.
Pada saat ini terjadi kompromi yang dikenal dengan teori modern yang ingin
melaksanakan jalan tengah, yaitu berpegang kepada paham determinisme, tetapi tetap
menerima kesalahan sebagai dasar hukum pidana.
b. Tingkat kemampuan bertanggungjawab; mampu, kurang mampu:atau tidak
mampu.
1) Kemampuan bertanggungjawab
Kemampuan bertanggungjawab merupakan salah satu unsur kesalahan yang
tidak dapat dipisahkan dengan dua unsur tindak pidana lain. Istilahnya dalam bahasa
Belanda adalah “toerekeningsvatbaar”, tetapi Pompe lebih suka menggunakan “toerkenbarr”. Pertanggungjawaban yang merupakan inti dari kesalahan yang dimaksud di dalam hukum pidana adalah pertanggungjawaban menurut hukum
pidana. Walaupun sebenarnya menurut etika setiap orang bertanggungjawab atas
segala perbuatannya, tetapi dalam hukum pidana yang menjadi pokok pemasalahan
hanyalah tingkah laku yang mengakibatkan hakim menjatuhkan pidana.
Tentang kemampuan bertanggungjawab ini terdapat beberapa batasan yang
dikemukakan pleh para pakar, antara lain:
“Kemampuan bertanggung jawab dapat diartikan suatu keadaan psikis
sedemikian rupa, sehingga penerapan suatu upaya pemidanaan, baik ditinjau secara
umum maupun dari sudut orangnya dapat dibenarkan" selanjutnya dikatakannya,
seorang pelaku tindak pidana mampu bertanggungjawab apabila:
(a) mampu mengetahui/menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan
hukum;
(b) mampu menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tadi.
Gambaran Simons ini menunjukkan bahwa “toerekeningsvatbaar heid” adalah ”kemampuan”.
b) Van Hamel
Kemampuan bertanggungjawab adalah keadaan normalitas kejiwaan dan
kematangan yang membawa tiga kemampuam yaitu:
(a) mengerti akibat/nyata dari perbuatan sendiri;
(b) menyadari bahwa perbuatannya tidak diperbolehkan oleh masyarakat
(bertentangan dengan ketertiban masyarakat);
(c) mampu menentukan kehendaknya untuk berbuat.
c) Pompe
Batasannya memuat beberapa unsur tentang pengertian “toerekeningsvatbaar heid” adalah:
(a) kemampuan berpikir pada pelaku yang memungkinkan pelaku menguasai
(b) pelaku dapat mengerti makna dan akibat tingkah lakunya;
(c) pelaku dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan pendapatnya (tentang
makna dan akibat tingkah lakunya).
Pompe tidak mau menggunakan kriteria “normalitas”, karena pengertian
normal itu kabur, tidak dapat ditentukan secara kuantitatif. Tetapi sebenarnya
pengertian “kemampuan bertanggungjawab” sendiri bukankah juga tidak memiliki
batas yang jelas?
d) Memorie van Toelichting (M.v.T.)
Juga tidak menjelaskan tentang “toerekeningsvatbaar heid": tetapi terdapat penjelasan secara negatif ialah tentang “tidak mampu bertanggung jawab”. Dikatakan
bahwa tidak mampu bertanggung jawab pada pelaku ada bilamana:
(a) Pelaku tidak diberi kebebasan untuk memilih antara berbuai atau tidak
berbuat apa yang oleh Undang-Undang dilarangatau diharuskan, dengan
perkataan lain dalam hal perbuatan yang terpaksa.
(b) Pelaku dalam keadaan tertentu sehingga ia tidak dapat menginsyafi bahwa
perbuatannya bertentangan dengan hukum dan ia tidak mengerti akibat
perbuatannya itu, dengan perkataan lain adanya keadaan payologis seperti
gila, sesat, dan sebagainya.
Definisi atau batasan tentang kemampuan bertanggungjawab itu ada
manfaatnya. Tetapi setiap kali dalam kejadian konkret dalam praktik peradilan,
menilai seorang terdakwa dengan ukuran tersebut di atas tidaklah mudah.
Sebagai dasar dapat dikatakan bahwa orang yang normal jiwanya mampu
bertanggung jawab, ia mampu menilai dengan pikiran dan perasaannya bahwa
perbuatannya itu dilarang, artinya tidak dikehendaki oleh Undang-undang, dan ia
seharusnya berbuat seperti pikiran dan perasaannya itu.
Seorang terdakwa pada dasarnya dianggap mampu bertanggungjawab, kecuali
dinyatakan sebaliknya. Oleh karena itulah, maka perumusan dalam Pasal 44 KUHP
dinyatakan secara negatif.
Ketentuan Undang-undang tidak memuat tentang apa yang dimaksud dengan
“tidak mampu bertanggung jawab”, yang ada adalah alasan yang terdapat pada pelaku
tindak pidana yang mengakibatkan perbuatannya itu tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya. Alasan tersebut berupa keadaan pribadi secara
biologis, dan dirumuskan dengan perkataan “jiwanya cacat dalam pertumbuhannya
atau terganggu karena penyakitnya”. (Pasal 44 KUHP).
Masih ada yang perlu dipertanyakan sekarang, yaitu: Apakah kemampuan
bertanggung jawab itu merupakan unsur tindak pidana?
Kita masih ingat adanya pandangan monistis dan dualistis mengenai tindak
pidana. Perbuatan telah memenuhi rumusan Undang-undang pidana, maka perbuatan
mampu bertanggungjawab. Sebaliknya, mereka yang berpegang pada pandangan
monistis, tindak pidana itu meliputi juga pertanggungjawaban. Konsekuensinya
adalah kemampuan bertanggungjawab merupakan unsur tindak pidana, Jika tidak ada
kemampuan bertanggungjawab, maka tidak ada tindak pidana. Simons yang
berpandangan monistis tidak menyinggung masalah konsekuensi ini, tetapi
dikatakannya bahwa dalam hukum positif kemampuan bertanggungjawab tidak
dianggap sebagai unsur tindak pidana, melainkan sebagai keadaan pribadi seseorang
yang dapat menghapuskan pidana seperti tersebut dalam Pasal 58 KUHP yang
merumuskan: “Dalam menggunakan aturan-aturan pidana, keadaan-keadaan pribadi seseorang yang menghapuskan, mengurangkan atau memberatkan pengenaan pidana, hanya diperhitungkan terhadap pembuat atau pembantu yang bersangkutan itu sendiri”.
Demikian pula di dalam praktik peradilan dan yurisprudensi. Putusan Hoge
Raad tanggal 10 November 1924 mengatakan bahwa “toerekeningsvatbaar heid
(kemampuan bertanggungjawab) bukan merupakan suatu unsur tindak pidana yang
oleh karena itu harus dibuktikan dengan alat bukti yang sah, tetapi jika unsur itu tidak
ada, maka ada alasan penghapus pidana”.
Pompe mengatakan: “mampu bertanggungjawab itu bukan unsur tindak
pidana. Ini dianggap ada pada sejumlah besar manusia. Keadaan yang demikian itu
adalah keadaan yang normal, Walaupun belum jelas benar. Tidak dapat
penghapus pidana. Oleh karena itu, apabila setelah diadakan penyelidikan masih
terdapat keragu-raguan, maka pelakunya tetap dipidana”.
Langemeyer berpendapat lain lagi, yaitu ada keragu-raguan mengenai hal
yang tidak dapat dipertanggungjawabkan tersebut, maka putusannya harus
menguntungkan terdakwa, yaitu tindak dipidana.
a) Tidak mampu dan kurang mampu bertanggung jawab
Pasal 44 (1) KUHP merumuskan: “Barangsiapa melakukan perbuatan yang
tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan jiwanya cacat dalam
tumbuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit (ziekelije storing), tidak dipidana”. Teks aslinya adalah “Niet strafbaar is hij die een feit begaat dat hem wegens de gebrekkige ontwikkeling of ziekelijke storing zijner verstandelijk hermogens niet kan worden toegerekend”.
Menurut Pasal tersebut, maka hal tidak mampu bertanggungjawab adalah
karena hal-hal tertentu, yaitu jiwanya cacat dalam pertumbuhannya atau terganggu
karena penyakit, dan sebagai akibatnya, ia tidak mampu untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya itu. Ada dua hal yang perlu diperhatikan,
yaitumenentukan bagaimana keadaan jiwa si pelaku, hal ini selayaknya ditetapkan
oleh seorang ahli, dalam hal ini seorang psikiater, jadi ditetapkan secara deskriptif.21
21
2. Kesalahan
Kesalahan adalah dasar untuk pertanggungjawaban. Kesalahan merupakan
keadaan jiwa dari si pembuat dan hubungan batin antara si pembuat dan
perbuatannya. Mengenai keadaan jiwa dari seseorang yang melakukan perbuatan,
lazim disebut sebagai kemampuan bertanggungjawab, sedangkan hubungan batin
antara si pembuat dan perbuatannya itu merupakan kesengajaan, kealpaan.
Pompe dan Jonkers, memasukkan juga “melawan hukum” sebagai kesalahan
dalam arti luas di samping “sengaja” atau “kesalahan” (schuld) dan dapat
dipertanggungjawabkan (toerekeningsvatbaar heid) atau istilah Pompe toerekenbaar.
Tetapi kata Pompe, melawan hukum (wederrechtelijkheid) terketak di luar
pelanggaran hukum sedangkan sengaja, kelalaian (onachtzaamleid) dan dapat
dipertanggungjawabkan terletak di dalam pelanggaran hukum. Lalu sengaja dan
kelalaian itu harus dilakukan secara melawan hukum supaya memenuhi unsur
kesalahan dalam arti luas.22
a. Sengaja
Tentang apakah arti kesengajaan, tidak ada keterangan sama sekali dalam
KUHP. Lain halnya dengan KUHP Swiss dimana dalam Pasal 18 dengan tegas
ditentukan: barang siapa melakukan perbuatan dengan mengetahui dan
menghendakinya maka dia melakukan perbuatan itu dengan sengaja.
22
Defenisi seperti ini dalam Memori van Toelicting Swb. Ada pula: “Pidana
pada umunya hendaknya dijatuhkan hanya pada barangsiapa melakukan perbuatan
yang dilarang, dengan dikehendaki dan diketahui”.
Soalnya sekarang ialah apakah arti: dikehendaki dan diketahui itu ? Dalam
teori tentang hal ini ada dua aliran, yaitu:
1) Teori kehendak (wistheorie) yaitu yang paling tua dan pada masa timbulnya
teori yang lain mendapat pembelaan kuat dari von Hippel guru besar di
Gottingen, Jerman. Di Negeri Belanda antara lain dianut oleh Simons.
2) Teori pengetahuan (voorstellingstheorie) yang kira-kira tahun 1910 diajarkan
oleh Frank, guru besar di Tubingen, Jerman, dan mendapat sokongan kuat dari
von listiz. Di Nederland penganutnya antara lain adalan von Hamel.
Menurut teori kehendak kesengajaan adalah kehendak yang diarahkan pada
terujudnya perbuatan seperti dirumuskan dalam wet. (de op verwerkeliking der
wettelijke omschrijving geritche will); sedangkan menurut yang lain, kesengajaan
adalah kehendak untuk berbuat dengan mengetahui unsur-unsur yang diperlukan
menurut rumusan wet (de wil tot handelen bj voorstelling van de tot de wettelijke
omschrijving behoorende bestandelen).23
Sengaja berarti juga adanya kehendak yang disadari yang ditujukan untuk
melakukan kejahatan tertentu. Maka berkaitan dengan pembuktian bahwa perbuatan
23
yang dilakukannya itu dilakukan dengan sengaja, terkandung pengertian
menghendaki dan mengetahui atau biasa disebut dengan willens en wetens. Yang
dimaksudkan disini adalah seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan
sengaja itu haruslah memenuhi rumusan willens atau haruslah menghendaki apa yang
ia perbuat dan memenuhi unsur wettens atau haruslah mengetahui akibat dari apa
yang ia perbuat.
Sekarang kita meningkat ke jenis jenis sengaja yang secara tradisional telah
ditulis di pelbagai buku hukum pidana. Secara tradisional dikenal tiga jenis sengaja,
yaitu:
1) Sengaja sebagai maksud (opzet als oogmerk).
Sebagaimana telah disebut dimuka, bentuk sengaja sebagai maksud adalah
bentuk yang paling sederhana, maka perlu disebut disini pengertian sengaja sebagai
maksud seperti yang dikemukakan oleh Vos, yang mengatakan sengaja sebagai
maksud apabila pembuat menghendaki perbuatannya. Ia tidak pernah melakukan
perbuatannya apabila pembuat mengetahui bahwa akibat perbuatannya tidak akan
terjadi. Dalam praktik, bentuk sengaja inilah yang paling mudah untuk dibuktikan,
dengan melihat kenyataan kenyataan yang terjadi.
2) Sengaja dengan kesadaran tentang kepastian (opzet met bewastheid van
zekerheid of noodzakelijkheid).
Bentuk sengaja dengan kesadaran tentang kepastian diberikan contoh yang
Brehaven berlayar ke Southampton dan meminta asuransi yang sangat tinggi disana.
Ia memasang dinamit, supaya kapal itu tenggelam di laut lepas. Motifnya ialah
menerima uang asuransi. Kesengajaannya ialah menenggelamkan, maka itu adalah
sengaja dengan kepastian (opzet bijnoodzakelijkheidsbewustzijn). Memang secara
teoritis ada kemungkinan orang-orang itu ditolong seluruhnya, tetapi pembuat
tidaklah berfikir kearah itu.
Jadi dapat dikatakan, bahwa sengaja dengan kepastian terjadi itu pembuat
yakin bahwa akibat yang dimaksudkannya tidak akan tercapai tanpa terjadinya akibat
yang tidak dimaksud. Penenggelaman kapal itu sebagai sengaja sebagai maksud
(opzet als oogmerk) tidak akan terjadi tanpa matinya para penumpang yang tidak
dimaksud itu. Kematian para penumpang merupakan kepastian terjadi jika kapal
ditenggelamkan dengan dinamit di laut lepas.
Menurut teori kehendak, apabila pembuat juga menghendaki akibat atau
hal-hal yang turut serta mempengaruhi terjadinya akibat yang terlebih dahulu telah dapat
digambarkan sebagai suatu akibat yang tidak dapat dielakkan terjadinya maka orang
itu melakukan sengaja dengan kepastian terjadi (opzet bij noodzakelijkheids atau
jekerheidsbewustjijn).
3) Sengaja dengan kesadaran kemungkinan sekali terjadi (op zet met
waarschijnlijkheidsbewustzijn). Secara tradisional, Jonkers dan lain-lain
kemungkinan terjadi” (opzet met mogelijkheidsbewustzijn) atau disebut juga
sengaja bersyarat (voorwaardelijk opzet) atau dolus eventualis).
Sengaja dengan kemungkinan sekali terjadi atau (opzet met
waarschijnlijkheidsbewustzijn) atau sengaja dengan kemungkinan terjadi (opzet met
mogelijkheidsbewustzijn) atau sengaja bersyarat (voorwaardelijk opzet) atau dolus
eventualis oleh Haze winkel-Suringa diuraikan secara terpisah. Sengaja dengan
kemungkinan sekali terjadi (opzet met waarschijnlijkheidsbewustzijn) diuraikan
tersendiri dari sengaja dengan kemungkina terjadi (opzet met
mogelijkheidsbewustzijn). Yang terakhir ini yang disebut juga sengaja bersyarat atau
dolus eventuslis. Pengarang-pengarang lain seperti Vos, Jonkers, Pompe, van
Bemmelen tidak memisahkan antara kedua bentuk sengaja ini. 24
b. Kealpaan
Kealpaan, seperti juga kesengajaan adalah salah satu bentuk dari kesalahan.
Kealpaan adalah bentuk yang lebih rendah derajatnya dari pada kesengajaan. Tetapi
dapat pula dikatakan bahwa kealpaan itu adalah kebalikan dari kesengajaan, karena
bila mana dalam kesengajaan, sesuatu akibat yang timbul itu dikehendaki, walaupun
pelaku dapat memperaktikkan sebelumnya. Di sinilah juga letak salah satu kesukaran
24
untuk membedakan antara kesengajaan bersyarat (dolus eventualis) dengan kealpaan
berat (culpa lata).
Perkataan culpa dalam arti luas berarti kesalahan pada umumnya, sedangkan
dalam arti sempit adalah bentuk kesalahan yang berupa kealpaan. Alasan mengapa
culpa menjadi salah satu unsur kesalahan adalah bilamana suatu keadaan, yang
sedemikian membahayakan keamanan orang atau barang, atau mendatangkan
kerugian terhadap seseorang yang sedemikian besarnya dan tidak dapat diperbaiki
lagi. Oleh karena itu, Undang-undang juga bertindak terhadap larangan penghati-hati,
sikap sembrono (teledor), dan pendek kata schuld (kealpaan yang menyebabkan
keadaan seperti yang diterangkan tadi). Jadi, suatu tindak pidana diliputi kealpaan,
manakala adanya perbuatan yang dilakukan karena kurang penduga-duga atau kurang
penghati-hati. Misalnya, mengendari mobil ngebut, sehingga menabrak orang dan
menyebakan orang yang ditabrak tersebut mati.
Pengertian kealpaan secara letterlijk tidak ditemukan dalam KUHP, dan
berbagai referensi yang kami kumpulan dalam pembahasan ini. Jadi untuk lebih
mudah dalam memahami tentang “kealpaan” ada baiknya dikemukakan dalam bentuk
contoh simpel seperti tidak memadamkan api rokok yang dibuangnya dalam rumah
yang terbuat dari jerami, sehingga membuat terjadinya kebakaran. Tidak membuat
tanda-tanda pada tanah yang digali, sehingga ada orang yang terjatuh ke dalamnya,
Dalam M.v.T (Memorie van Toelichting) dijelaskan bahwa dalam hal
kealpaan, pada diri pelaku terdapat:
1) Kekurangan pemikiran (penggunaan akal) yang diperlukan.
2) Kekurangan pengetahuan (ilmu) yang diperlukan.
3) Kekurangan kebijaksanaan (beleid) yang diperlukan.
Bentuk-Bentuk Kealpaan. Pada umumnya, kealpaan dibedakan atas:
1) Kealpaan yang disadari (bewuste schuld)
Disini si pelaku dapat menyadari tentang apa yang dilakukan beserta
akibatnya, akan tetapi ia percaya dan mengharap-harap bahwa akibatnya tidak akan
terjadi.
2) Kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld).
Dalam hal ini si pelaku melakukan sesuatu yang tidak menyadari
kemungkinan akan timbulnya sesuatu akibat, padahal seharusnya ia dapat menduga
sebelumnya.
Perbedaan itu bukanlah berarti bahwa kealpaan yang disadari itu sifatnya
lebih berat dari pada kealpaan yang tidak disadari. Kerap kali justru karena tanpa
berfikir akan kemungkinan timbulnya akibat malah terjadi akibat yang sangat berat.
Van Hattum mengatakan, bahwa “kealpaan yang disadari itu adalah suatu sebutan
tidak merupakan dolus eventualis”. Jadi perbedaan ini tidak banyak artinya. Kealpaan
sendiri merupakan pengertian yang normatif bukan suatu pengertian yang
menyatakan keadaan (bukan feitelijk begrip). Penentuan kealpaan seseorang harus
dilakukan dari luar, harus disimpulkan dari situasi tertentu, bagaimana saharusnya si
pelaku itu berbuat.
3. Alasan Penghapus Pidana
a. Pengertian
Alasan penghapus pidana adalah peraturan yang terutama ditujukan kepada
hakim. Peraturan ini menetapkan dalam keadaan apa seseorang pelaku, yang telah
memenuhi perumusan delik yang seharusnya dipidana, tidak dipidana. Hakim
menempatkan wewenang dari pembuat Undang-undang untuk menentukan apakah
telah terdapat keadaan khusus seperti dirumuskan dalam alasan penghapus pidana.
Alasan-alasan penghapus pidana ini adalah alasan-alasan yang memungkinkan
orang yang melakukan perbuatan yang sebenarnya telah memenuhi rumusan delik,
tetapi tidak dipidana. Berbeda halnya dengan alasan yang dapat menghapuskan
penuntutan, alasan penghapus pidana dipustuskan oleh hakim dengan menyatakan
bahwa sifat melawan hukumya perbuatan hapus atau kesalahan pembuat hapus,
karena adanya ketentuan Undang-undang dan hukum yang membenarkan perbuatan
atau yang memaafkan pembuat. Jadi dalam hal ini hak melakukan penuntutan dari
hakim. Dengan kata lain Undang-undang tidak melarang jaksa penuntut umum untuk
mengajukan tersangka pelaku tindak pidana kesidang pengadilan dalam hal adanya
alasan penghapus pidana. Oleh karena hakimlah yang menentukan apakah alasan
penghapus pidana itu dapat diterapkan kepada tersangka pelaku tindak pidana melalui
vonisya.25
1) Keadaan darurat, diatur dala Pasal 48 KUHP
Menurut Prof. Moeljatno, S.H alasan-alasan yang menghapuskan pidana
dibeda-bedakan menjadi alasan pembenar, yaitu alasan yang menghapuskan sifat
melawan hukum sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa menjadi perbuatan yang
patut dan benar, yang termasuk alasan pembenar yaitu :
Dalam keadaan darurat tersebut di atas, tindak pidana yang dilakukan hanya
dibenarkan jika (J.E. Sahetapy dan Agustinus Pohan) ;
a) tidak ada jalan lain;
b) kepentingan yang dilindungi secara objektif bernilai lebih tinggi dari
pada kepentingan yang dikorbankan.
Contohnya; seseorang terjun ke dalam sungai untuk menolong seorang anak
kecil yang terhanyut, sementara di sungai tersebut terdapat tulisan dilarang berenang.
2) Pembelaan terpaksa, diatur dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP
25
Menurut Pasal 49 ayat (1) disyaratkan hal-hal yang bisa dikategorikan sebagai
pembelaan terpaksa (J.E. Sahetapy dan Agustinus Pohan), yaitu :
a) Ada serangan mendadak atau seketika itu terhadap raga, kehormatan,
kesusilaan atau harta benda;
b) Serangan itu bersifat melawan hukum;
c) Pembelaan merupakan keharusan;
d) Cara pembelaan adalah patut.
3) Melaksanakan ketentuan Undang-undang, diatur dalam Pasal 50 KUHP
Dalam hal ini, terdapat hal dimana ada perbenturan antara kewajiban hukum
dengan kewajiban hukum lainnya, artinya bahwa untuk melakukan kewajiban
hukumnya, seseorang harus melanggar kewajiban hukum lainnya. Dalam
melaksanakan ketentuan UU tersebut, kewajiban yang terbesar yang harus
diutamakan.
Contohnya; seorang juru sita yang mengosongkan sebuah rumah dengan
menaruh isi rumah dijalan, dimana pada dasarnya menyimpan prabot di jalan adalah
dilarang, namun karena ketentuan dari pengadilan atau putusan pengadilan, sehingga
perbuatannya tersebut tidak dapat dipidana.
1) Alasan Pemaaf, yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan
yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum. Jadi tetap
merupakan perbuatan pidana, tetapi dia tidak di pidana, yang termasuk dalam
a) Tidak mampu bertanggungjawab, diatur dalam Pasal 44 KUHP;
Dalam Pasal 44 KUHP, membedakan pertanggungjawaban dalam dua
kategori yaitu cacat dalam pertumbuhan dan gangguan penyakit kejiwaan.
Yang dimaksud gangguan adalah gangguan sejak lahir atau sejak remaja
tumbuh dengan normal namun dikemudian hari muncul kelainan jiwa. Pada dasarnya
cacat atau gangguan penyakit muncul pada saat perbuatan atau tindak pidana, dan
ketika perbuatan itu dilakukan ada hubungan antara gangguan jiwanya dengan
perbuatannya
b) Daya paksa, diatur dalam Pasal 48 KUHP;
Dalam memori penjelasan Pasal 48 KUHP (J.E. Sahetapy dan Agustinus
Pohan, 2007 : 61), daya paksa adalah “setiap daya, setiap dorongan, atau setiap
paksaan yang tidak dapat dilawan”.
Contoh : sebuah kapal tenggelam, ada dua penumpang yang berpegang pada
papan yang sama, dimana papan tersebut hanya kuat menahan 1 orang. Karena takut
akan mati tenggelam, maka salah seorang mendorong yang lainnya.
c) Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, diatur dalam Pasal 49 ayat (2)
KUHP.
2) Alasan penghapus penuntutan, disini masalahnya bukan ada alasan pembenar
maupun alasan pemaaf. Jadi, tidak ada pikiran mengenai sifat perbuatan maupun
sifat orang yang melakukan perbuatan. Yang menjadi pertimbangan disini ialah
perbuatan tak dapat dijatuhi pidana. Contoh: Pasal 53 kalau terdakwa dengan
sukarela mengurungkan niatnya untuk melakukan suatu kejahatan.26
b. Dasar Pembenar Alasan Penghapus Pidana
Alasan pembenar dan alasan pemaaf sebagai alasan yang dapat menghapuskan
pidana ini, dalam hukum pidana kita cukup banyak, baik itu yang diatur, yang telah
dirumuskan secara tertulis dalam peraturan peundang-undangan (dalam KUHP)
maupun alasan penghapus pidana yang tidak tertulis diluar peraturan
perundang-undangan. Oleh karena sangat bervariasinya alasan penghapus pidana ini, maka sulit
ditentukan satu bentuk teori yang tunggal yang dapat digunakan untuk keseluruhan
alasan penghapus pidana ini.
Pendapat Fletcher ini memang dapat dibenarkan. Oleh karena dapat
dibuktikan, misalnya saja dengan melihat pada alasan penghapus pidana yang diatur
dalam KUHPidana kita yang berlaku secara umum dalam buku ke 1 (peraturan
umum), yaitu terdapat dalam Pasal 44 yang mengatur tentang pelaku yang sakit jiwa,
pelaku yang dalam keadaan terpaksa (Pasal 48), pembela diri (Pasal 49), menjalankan
Undang-undang (Pasal 50), melakukan perintah jabatan (Pasal 51). Sementara ada
lagi yang berlaku secara khusus dalam buku ke-2 (tentang kejahatan) sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 116, Pasal 221 ayat (2) dan Pasal 310 ayat (3) KUHP.
26
Ditambah lagi alasan penghapus pidana yang diluar KUHP, yang diterapkan
berdasarkan jurisprudensi.27
c. Akibat Hukum Alasan Penghapus Pidana
Akibat hukum yang dimaksudkan disini adalah akibat adanya alasan
penghapus pidana ini terhadap pelaku dalam putusan pengadilan (hakim). Dalam
KUHPidana, alsan penghapus pidana ini akan mengakibatkan bahwa pelaku tindak
pidana tersebut tidak dipidana. Tidak dipidananya pelaku ini, menurut doktrin
disebabkan oleh dua hak. Pertama karena tidak ada atau hilang/hapus kesalahan
pelaku (disebut sebagai alasan pemaaf). Kedua, karena hilang/hapus sifat melawan
hukumnya perbuatan pelaku (disebut sebagai alasan pembenar). Sementara dalam
KUHAP, tidak dipidananya pelaku tersebut akan membawa kepada bentuk putusan
hakim yang berbeda. Dalam KUHAP adanya alasan penghapus pidana ini, akan
menimbulkan, mengakibatkan dua bentuk putusan. Pertama yang mengakibatkan
putusan bebas (vrijspraak), dan kedua mengakibatkan putusan lepas dari segala
tuntutan hukum (onstlag).28
B. Pertanggungjawaban pidana pelaku pidana orang yang mempekerjakan seseorang di kapal tanpa dokumen yang dipersyaratkan sesuai dengan putusan PN Raba Bima No. 96/pid.b/2015/PN.RBI
27
Ibid, h. 24-25
28
1. Posisi Kasus
Terdakwa bernama JAMALUDIN H. ABDURAHMAN beragama islam. Beliau bekerja sebagai seorang nakhkoda kapal KLM Duta Samudra, yang mana beliau melayarkan kapalnya dari pelabuhan Kalima Surabaya menuju laut Tanjung Bima. Kapal tersebut bermuatan tinggi dan penuh. Pada hari Sabtu, 31 Januari 2015 sekitar 16.00 Wita saksi TRI GUNAWAN dan I GEDE EKA S dari Satuan Patroli Nusantara Direktorat Kepolisisan Perairan sedang melakukan patroli di wilayah perairan tersebut. Kemudian dari kejauhan mereka melihat kapal bermuatan tinggi dan ternyata kapal tersebut adalah kapal KLM Duta Samudra yang di nahkodai oleh JAMALUDIN H. ABDURAHMAN, yang melayarkan kapal KLM Duta Samudra. Mengetahui hal tersebut para saksi kemudian langsung mendekati kapal dan langsung melakukan pemeriksaaan baik terhadap keselamatan kapal maupun terhadap kru KLM Duta Samudra beserta barang yang di angkut.
Samudra. Mengetahui hal ganjil tersebut para saksi dari Satuan Patroli Nusantara Direktorat Kepolisian Perairan langsung menggiring dan mengawal Duta Samudra menuju ke pelabuhan laut Tanjung Bima untuk di proses lebih lanjut sesuai dengan hukum yang berlaku.
2. Dakwaan
Jaksa penuntut umum dihadapan persidangan telah mengajukan dakwaan yang disusun secara alternatif sebagai berikut:
Pertama:
Bahwa ia terdakwa JAMALUDIN H. ABDURAHMAN pada hari sabtu tanggal 30 Januari 2015 sekitar jam 16.00 Wita atau setidak-tidaknya pada waktu tertentu dalam bulan Januari 2015 atau setidak-tidaknya dalam tahun 2015 bertempat di Perairan Benteng Selatan Bima, Pos 08°24’30”S-118°41’40”T atau setidak-tidaknya ditempat
tertentu yang masih termasuk dalam wilayah Hukum Pengadilan Negeri Raba Bima, nahkoda yang melayarkan kapalnya sedangkan yang bersangkutan mengetahui bahwa kapal tersebut tidak layak laut, perbuatan terdakwa dilakukan dengan cara sebagai berikut:
• Bahwa awalnya saat saksi TRI GUNAWAN, I GEDE EKA S dari Satuan
bermuatan tinggi dan ternyata kapal tersebut adalah KLM DUTA SAMUDRA yang di nahkodai oleh terdakwa JAMALUDIN H. ABDURAHMAN, yang melayarkan kapal KLM DUTA SAMUDRA dari Pelabuhan Kalimas
Surabaya menuju ke Pelabuhan Laut Tanjung Bima, mengetahui hal tersebut para saksi langsung mendekati kapal dan langsung melakukan pemeriksaan baik terhadap keselamatan kapal maupun terhadap kru KLM DUTA
SAMUDRA beserta barang yang di angkut.
• Bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan para saksi dari Satuan Patroli
Nusantara Direktorat Kepolisian Perairan menemukan kejanggalan, yaitu terdapat dokumen sertifikat keselamatan namun alat-alat seperti pelampung penolong, sekoci penolong, baju penolong (life jacket), alat apung lain dan perangkat Isyarat tanda bahaya tidak ditemukan oleh para saksi di atas KLM DUTA SAMUDRA.
• Bahwa selanjutnya para saksi melakukan pengecekan dokumen crew list
tertera 8 (delapan) orang namun kenyataan diatas KLM DUTA SAMUDRA terdapat 9 (sembilan) orang, salah satunya yaitu atas nama M. AMIN yang tidak terdaftar dalam daftar cre list dalam daftar KLM DUTA SAMUDRA. • Bahwa selanjutnya para saksi langsung menggiring dan mengawal Duta
Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam
Pasal 302 ayat (1) Jo Pasal 117 ayat (2) UU RI No. 17 Tahun 2008
Tentang Pelayaran.
ATAU
KEDUA:
Bahwa ia terdakwa JAMALUDIN H. ABDURAHMAN pada hari Sabtu tanggal 31 Januari 2015 sekitar jam 16.00 Wita atau setidak-tidaknya pada waktu tertentu dalam bulan Januari 2015 atau setidak-tidaknya dalam tahun 2015 bertempat di Perairan Benteng Selatan Bima atau setidak-tidaknya bertempat tertentu yang masih termasuk dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Raba Bima setiap orang yang mempekerjakan seseorang di kapal dala jabatan apapun tanpa di SIJIL dan tanpa memiliki kompetensi dan keterampilan serta dokumen pelaut yang dipersyaratkan, perbuatan terdakwa dilakukan dengan cara sebagai berikut:
• Bahwa awalnya saat saksi TRI GUNAWAN, I GEDE EKA S dari
DUTA SAMUDRA dari Pelabuhan Kalimas Surabaya menuju ke Pelabuhan Laut Tanjung Bima, mengetahui hal tersebut para saksi langsung mendekati kapal dan langsung melakukan pemeriksaan baik terhadap keselamatan kapal maupun terhadap crew KLM DUTA SAMUDRA beserta barang di angkut.
• Bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan para saksi dari Satuan Patroli
Nusantara Direktorat Kepolisian Perairan menemukan kejanggalan, yaitu terdapat dokumen sertifikat keselamatan namun alat-alat seperti pelampung penolong, sekoci penolong, baju penolong (life jacket), alat apung lain dan perangkat Isyarat tanda bahaya tidak ditemukan oleh para saksi di atas KLM DUTA SAMUDRA.
• Bahwa selanjutnya para saksi melakukan pengecekan dokumen crew
list tertera 8 (delapan) orang namun kenyataan diatas KLM DUTA
SAMUDRA terdapat 9 (sembilan) orang, salah satunya yaitu atas nama M. AMIN yang tidak terdaftar dalam daftar cre list dalam daftar KLM DUTA SAMUDRA.
• Bahwa selanjutnya para saksi langsung menggiring dan mengawal
Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana
dalam Pasal 312 ayat (1) Jo Pasal 145 UU RI No. 17 Tahun 2008
tentang Pelayaran.
3. Tuntutan
Berdasarkan fakta-fakta dari yang di persidangan maka jaksa penuntut umum dalam perkara ini;
MENUNTUT
Supaya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Raba Bima yang memeriksa mengadili perkara ini memutuskan:
a. Menyatakan terdakwa JAMALUDIN H. ABDURAHMAN bersalah
melakukan tindak pidana mempekerjakan seseorang di kapal dalam jabatan apapun tanpa di sijil dan tanpa memiliki kompetensi dan keterampilan serta dokumen pelaut yang dipersyaratkan sebagaimana di atur dan di ancam pidana dalam Pasal 312 ayat (1) jo. Pasal 145 UU RI No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dalam surat dakwaan Kedua Jaksa Penuntut Umum
b. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa JAMALUDIN
H.ABDURAHMANdengan pidana penjara selama 2 (dua) bulan, dengan peintah terdakwa ditahan dan denda sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) subsidair 1 (satu) bulan kurungan
1) 1 (satu) Unit KLM Duta SAMUDRA warna putih dengan ukuran Tonase Kotor 117 GT dan Tonase Bersih 93 NT.
2) 1 (satu) lembar Surat Persetujuan Berlayar dengan No. Registrasi : PPK. 29 / 104 / I / 2015 an. KLM DUTA SAMUDRA, tanggal 29 Januari 2015. 3) 1 (satu) lembar Daftar Awak Kapal KLM DUTA SAMUDRA, Tanggal 29
Januari 2015.
4) 1 (satu) lembar Surat dari Kementrian Perhubungan Diretorat Jenderal Perhubungan Laut Kantor Keasyahbandaran Utama Tanung Perak Surabaya, Perihal pedoman muatan deleduk KLM DUTA SAMUDRA, Tanggal 29 Januari 2015.
5) 1 (satu) Lembar PAS BESAR, No : PK. 205 / 15 / 18 / SYB. TPr-13, Tanggal 23 Juli KLM DUTA SAMUDRA.
6) 1 (satu) Lemvar Surat Ukur No. 107 / OOX – KLM DUTA SAMUDRA, Tanggal 13 Mei 2004.
7) 1 (satu) Lembar Surat Susunan Perwira KLM DUTA SAMUDRA, No. PK. 304 / 205 / 07 / SBY . TPr – 2014, Tanggal 02 September 2014. 8) 1 (satu) Lembar Sertifikat Keselamatan KLM DUTA SAMUDRA No. AL
405 / 344/ KSOP. BIMA – 14, Tanggal 03 November 2014
10)1 (satu) Lembar Surat Legalitas Operasional Tahunan No : 552.12 / 09 / DISHUBKOMINFO / III. Tanggal 03 September 2013.
11)1 (satu) Buah Buku Kesehatan KLM DUTA SAMUDRA, Tanggal 03 Desember 2014
12)1 (satu) Lembar Surat Izin Berlayar Karantina Kesehatan KLM DUTA SAMUDRA, Tanggal 28 Januari 2015.
13)1 (satu) Lembar Surat Registrasi Kedatangan Kapal dalam karantina, Tanggal 28 Januari 2015.
14)1 (satu) Le,bar Sertifikat Bebas Tindakan Sanitasi Kapal, Tanggal 03 Desember 2014.
15)1 (satu) Buah Buku SIJIL KLM DUTA SAMUDRA. 16)1 (satu) Buah Buku Pelaut an. M. AMIN
17)1 (satu) Buah Buku Pelaut an. JAMALUDIN H. ABDURAHMAN. Dikembalikan kepada pemiliknya yang syah.
d. Menetapkan agar terdakwa dibebani biaya perkara sebesar Rp. 2.500 (dua ribu lima ratus rupiah).
4. Fakta Persidangan & Pertimbangan Hakim a. Fakta Persidangan
1) Bahwa terdakwa diamankan petugas pada saat melayarkan kapan KLM. Duta Samudracdari Surabaya ke Bima ketika melewati perairan laut Tanjung teluk Bima pada hari Sabtu tanggal 31 Januari 2015 sekitar pukul 16.30 Wita; 2) Bahwa yang memeriksa dan mengamankan terdakwa beserta kapal adalah
petugas dari satuan POLAIR Bima; Bahwa pada saat diperiksa dan diamankan oleh petugas tersebut terdakwa ada di atas kapal KLM Duta Samudra sebagai Nahkoda; . Bahwa petugas yang memeriksa kapal dan mengamankan
terdakwa berjumlah 4(empat) orang;
3) Bahwa awak kapal yang tidak masuk SIJIL adalah saksi M. AMIN, karena pada saat di Surabaya saksi M. AMIN tidak sempat didaftar ke Syahbandar karena kapal keburu berangkat;
4) Bahwa pada saat KLM. Duta Samudra berlayar dari Surabaya ke Bima pada saat kejadian saksi M. AMIN tidak masuk dalam SUIL karena saksi M. AMIN bani datang ke kapal sedangkan kapal sudah mau berangkat dan kalau mau mengurus SIJIL lagi sudah tidak sempat karena kali mas tempat kapal bersandar airnya sudah mulai surut;
5) Bahwa saksi M. AMIN bekerja di KLM. Duta Samudra sebagai juru kemudi dan sudah lebih dari 10 tahun;
7) Bahwa selain adanya awak kapal yang tidak masuk dalam SUIL kapal, ada juga pelanggaran lain yang ditemukan petugas yaitu kelengkapan pelampung kapal tidak lengkap;
8) Bahwa kapal apa KLM. Duta Samudra tersebut jenis kapal barang;
9) Bahwa yang bertanggung jawab atas adanya awak kapal yang tidak masuk dalam SUIL dan kurang lengkapnya pelampung kapal adalah terdakwa sebagai Nahkoda yang bertanggungjawab;
10)Bahwa pemilik KLM Duta Samudra adalah perusahaan yang direkturnya adalah ADI KURNIAWAN;
11)Bahwa Nahkoda tidak dapat melayarkan kapal apabila tidak memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal;
12)Bahwa kelaiklautan wajib bagi setiap kapal yang akan berlayar;
13)Bahwa perlengkapan yang wajib ada di atas kapal sebelum kapal berlayar antara lain rakit penolong, life jakets, pelampung, perangkat isyarat tanda bahaya dan kapal wajib punya sertifikat keselamatan;
14)Bahwa jika kapal yang dilayarkan adalah kapal barang maka setiap awak yang ada di atas kapal wajib masuk dalam SIJIL;
b. Pertimbangan Hakim
perbuatan Terdakwa melanggar Pasal 312 ayat (1) Jo. Pasal 145 UU RI No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran;
Menimbang, bahwa berdasar fakta hukum sebagaimana terturai di atas, selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan dan meneliti apakah perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana seperti yang di dakwakan oleh penuntut umum dalam surat dakwaannya;
Menimbang, bahwa terdakwa telah didakwa oleh penuntut umum dengan dakwaan yang berbentuk alternatif, sehingga Majelis Hakim dengan memperhatikan fakta-fakta hukum tersebut diatas memilih langsung dakwaan alternatif Kedua sebagaimana diatur dalam Pasal 312 ayat (I) jo. Pasal I45 UU RI No. l7 Tahun 2008 tentang Pelayaran, yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut:
1) Setiap orang ;
2) Yang mempekerjakan seseorang di kapal dalam jabatan apa pun;
3) Tanpa disijil dan tanpa memiliki kompetensi dan keterampilan serta dokumen pelaut
yang dipersyaratkan; Ad.l. Unsur “Setiap orang” : Menimbang, bahwa yang dimaksud unsur “Setiap orang” adalah siapa saja sebagai subyek hukum publik yang terhadapnya terdapat persangkaan atau dugaan melakukan suatu tindak pidana ;
Menimbang, bahwa dengan diajukannya terdakwa JAMALUDDIN H. ABDURRAHMAN dalam perkara ini, yang identitas lengkapnya sebagaimana tercantum secara jelas dan lengkap dalam surat dakwaan penuntut umum, identitas mana dibenarkan oleh terdakwa maupun saksi-saksi di persidangan, sehingga mengenai subyek hukum dalam perkara ini tidak “eror in personal” (kesalahan orang);
Menimbang, bahwa secara obyektif, orang yang disangka atau didakwa melakukan tindak pidana haruslah sudah dewasa secara hukum, serta cakap dan mampu dalam arti tidak terganggu akal pikirannya, serta dapat memahami dan menyadari sepenuhnya akan apa yang diperbuat sehingga akibat yang akan ditimbulkan dari perbuatannya itu;
Menimbang, bahwa dalam kaitan itu, penuntut umum telah menghadapkan kepersidangan orang bernama JAMALUDDIN H. ABDURRAHMAN sudah berusia 35 tahun mempunyai fisik yang dapat terlihat menunjukkan sehat jasmani dan rohani, telah memenuhi unsur obyektif sebagai subyek hukum, selebihnya dengan tidak temyata adanya halangan atau keadaan yang membuatnya ditentukan lain, ternyata pula bahwa secara subyektif terdakwa cakap dan mampu untuk mempertanggungjawabkan perbuatan secara hukum;
perbuatannya, sehingga unsur “setiap orang“ dalam delik yang di dakwakan telah terpenuhi oleh keaadan dan keberadaan terdakwa tersebut.
Ad 2. Unsur “Yang mempekerjakan seseorang di kapal dalam jabatan apa pun” Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan yang mempekerjakan: mau; di kapal dalam jabatan apa pun adalah orang yang bekerja diatas kapal dan kegiatan yang dilakukannya semua diatas kapal atau disebut awak kapal dapat sebagai anak: buah kapal atapun nahkoda;
Menimbang, bahwa dari fakta-fakta tersebut diatas jelas terdakwa sebagai Nahkoda KLM DUTA SAMUDRA sehingga terdakwa yang bertanggungjawab atas yang terjadi diatas kapal dan juga terhadap para anak buah kapal terutama saksi M. AMIN yang bekerja sebagai juru mudi dalam pelayaran KLM DUTA SAMUDRA dari pelabuhan Kalimas Surabaya menuju ke pelabuhan laut Tanjung Bima, sehingga dengan demikian unsur ini telah terpenuhi;
Ad. 3. Unsur “Tanpa disijil dan tanpa memiliki kompetensi dan keterampilan serta dokumen pelaut yang dipersyaratkan”
Menimbang, bahwa terhadap unsur ini Majelis berpendapat bahwa unsur ini mengandung beberapa elemen didalamnya yang masing-masing berdiri sendiri-sendiri dimana elemen yang satu dapat mengenyampingkan elemen lainnya, yang berarti untuk terbuktinya unsur ini tidak harus keseluruhan dari elemen-elemen tersebut terbukti, sehingga bilamana salah satu atau lebih dari elemen-elemen tersebut terpenuhi maka unsur ini dinyatakan telah pula terbukti secara sah menunrt hukum;
kapal berlayar antara lain rakit penolong, life jakets, pelampung, perangkat isyarat tanda bahaya dan kapal wajib punya sertifikat keselamatan. Bahwa jika kapal yang dilayarkan adalah kapal barang maka setiap awak yang ada di atas kapal wajib masuk dalam SIJIL;
Menimbang, bahwa terhadap barang bukti berupa KLM DUTA SAMUDRA warna putih dengan ukuran Tonase Kotor ll7 GT dan Tonase Bersih 93 NT Majelis telah melakukan pemeriksaan setempat dan telah menemukan fakta sebagai berikut: Barang bukti sebagaimana dimaksud dalam berkas perkara berupa 1 (satu) unit KLM Duta Samudra berada di desa Bonto Kecamatan Asakota Kota Bima; Per1engkapan keselamatan pelayaran yang didakwakan penuntut umum tidak lengkap telah dilengkapi oleh pemilik kapal berupa sekoci, rakit penolong, dan pelampung baru ;
pelabuhan laut tanjung bima tidak masuk dalam SIJIL, sehingga dengan demikian unsur ini telah terpenuhi.
Menimbang, bahwa berdasarkan uraian dan pertimbangan tersebut maka seluruh unsur dalam dakwaan kedua penuntut umum telah terbukti;
Menimbang, bahwa dari rangkaian pertimbangan diatas Majelis Hakim berkesimpulan seluruh unsur dalam dakwaan kedua telah terpenuhi dan bukti-bukti yang dijadikan dasar pertimbangan untuk mendukung terpenuhinya unsur tersebut juga diperoleh keyakinan. Selama pemeriksaan perkara ini tidak temukan adanya alasan penghapus pidana terhadap perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa, baik sebagai alasan pembenar dan atau alasan pemaaf, maka terdakwa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Menimbang, bahwa oleh karena terdakwa mampu bertanggungjawab maka harus dijatuhi pidana yang setimpal dengan kesalahannya sebagaimana diatur pada Pasal 193 ayat (1) KUHAP, sesuai dengan rasa kemanusiaan, rasa keadilan dan kepastian hukum;
Menimbang, bahwa dimana terdakwa mengakui perbuatannya secara terus terang sehingga persidangan berjalan dengan lancar, bersikap sopan di persidangan, belum pernah dihukum dan keadaan dimana perbuatan tersebut dilakukan tidaklah semata-mata didasari untuk mencelakai orang lain atau para anak buah kapal karena saksi M.Amin juga sebenarnya anak buah kapal tersebut akan tetapi belum sempat didaftarkan kepada syahbandar di Surabaya karena saksi M.Amin sendiri yang berkehendak ikut setelah menghadiri pernikahan di Surabaya sedangkan kapal sudah berlayar karena kali mas tempat kapal bersandar airnya sudah mulai surut dan atas perbuatan terdakwa tersebut tidak ada pihak yang diuntung ataupun dirugikan juga tidak ada yang menjadi korban karena kapal tersebut kapal barang, maka Majelis berpendapat bahwa terhadap terdakwa dipandang patut dan adil bilamana dijatuhi pidana bersyarat sebagaimana dim dalam Pasal 14 huruf a KUHP;
Menimbang, bahwa lamanya pidana bersyarat sebagaimana ditetapkan dalam amar putusan dibawah ini, menurut Majelis dinilai telah memenuhi rasa keadilan baik bagi terdakwa maupun masyarakat pada umumnya;
Menimbang, bahwa mengenai barang bukti akan ditentukan dalam amar putusan;
Menimbang, bahwa terdakwa terbukti bersalah dan dijatuhi pidana, maka mengenai biaya perkara haruslah dibebankan kepada terdakwa sesuai dengan ketentuan Pasal 222 ayat (1) KUHAP;
Menimbang, bahwa untuk mempersingkat uraian putusan ini, maka segala peristiwa yang terjadi dalam persidangan sebagaimana dicatat dalam berita acara sidang, dianggap telah termasuk dan telah pula turut dipertimbangkan serta merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan putusan ini;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka pidana yang akan dijatuhkan terhadap terdakwa sebagaimana disebutkan dalam amar putusan di bawah ini, sudah dipandang patut dan adil;
Menimbang, bahwa sebelum Majelis hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa, terlebih dahulu dipertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan;
Hal-hal yang memberatkan:
1) Perbuatan terdakwa tidak mematuhi amran yang ada; Hal-hal yang meringankan:
1) Terdakwa bersikap sopan dalam persidangan, mengakui terus terang serta menyesali perbuatannya:
3) Terdakwa berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya ; 4) Terdakwa memiliki tanggungan keluarga;
5) Perbuatan terdakwa tersebut dilakukan tidaklah semata-mata didasari untuk mencelakai orang lain atau para anak buah kapal karena saksi M.Amin juga sebenarnya anak buah kapal tersebut akan tetapi belum sempat didaftarkan kepada syahbandar di Surabaya karena kapal sudah berlayar;
6) Perbuatan terdakwa tersebut tidak ada pihak yang diuntung ataupun dirugikan juga tidak ada yang menjadi korban karena kapal tersebut kapal barang.
Mengingat Pasal 312 ayat (l) jo. Pasal 145 UU RI No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-undang No. 49 Tahun 2009 tentang perubahan kedua Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, serta peraturan hukum lain yang bersangkutan;
5. Putusan
a. Menyatakan terdakwa JAMALUDIN H. ABDURAHMAN telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
“MEMPEKERJAKAN SESEORANG DI KAPAL TANPA DOKUMEN YANG DIPERSYARATKAN”.
dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar ganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan;
c. Menetapkan pidana tersebut tidak usah di jalani kecuali jika dikemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain disebabkan karena Terpidana melakukan suati tindak pidana sebelum masa percobaan selama 2 (dua) bulan berakhir;
d. Memerintahkan barang bukti berupa;
1) 1 (satu) Unit KLM DUTA SAMUDRA warna putih dengan ukuran Tonase Kotor 117 GT dan Tonase Bersih 93 NT.
2) 1 (satu) lembar Surat Persetujuan Berlayar dengan No. Registrasi : PPK. 29 / 104 / 1 /1 / 2015 an. KLM DUTA SAMUDRA, Tanggal 29 Januari 2015.
3) 1 (satu) lembar Daftar Awak Kapal KLM DUTA SAMUDRA, Tanggal 29 Januari 2015.
4) 1 (satu) lembar Surat dari Kementrian Perhubungan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kantor Kesyahbandaran Utama Tanjung Perak Surabaya, perihal pedoman muatan deleduk KLM DUTA SAMUDRA, Tanggal 29 Januari 2015.
6) 1 (satu) Lembar Surat Ukur No : 107 / OOX – KLM DUTA SAMUDRA, Tanggal 13 Mei 2004.
7) 1 (satu) Lembar Surat Susunan Perwira KLM DUTA SAMUDRA No. PK. 304 / 205 / 07 / SBY. TPr-2014, Tanggal 02 September 2014.
8) 1 (satu) Lembar Sertifikat Keselamatan KLM DUTA SAMUDRA No. AL 405 / 344 / KSOP. BIMA – 14, Tanggal 03 November 2014.
9) 1 (satu) Lembar Surat Tanda Panggilan KLM DUTA SAMUDRA, Tanggal 16 Juli 2014.
10)1 (satu) Lembar Surat Legalitas Operasional Tahunan No : 552.12 / 09 / DISHUBKOMINFO / III, Tanggal 03 September 2013.
11)1 (satu) Buah Kesehatan KLM DUTA SAMUDRA, Tanggal 03 Desember 2014.
12)1 (satu) Lembar Surat Izin Berlayar Karantina Kesehatan KLM DUTA SAMUDRA, Tanggal 28 Januari 2015.
13)1 (satu) Lembar Surat Registrasi Kedatangan Kapal dalam karantina, Tanggal 28 Januari 2015.
14)1 (satu) Lembar Sertifikat Bebas Tindakan Sanitasi Kapal, Tanggal 03 Desemeber 2014.
15)1 (satu) Buah Buku SIJIL KLM DUTA SAMUDRA. 16)1 (satu) Buah Buku Pelaut an. M. AMIN.
Dikembalikan kepada ADI KURNIAWAN;
e. Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 2500,- (dua ribu lima ratus rupiah);
6. Analisis putusan
a. Dakwaan
Pada zaman HIR surat dakwaan disebut “surat tuduhan” atau disebut juga acte van beschuldinging, sedangkan KUHAP seperti yang ditegaskan pada Pasal 140 ayat
(1) KUHAP, diberi nama surat dakwaan, atau dapat disebut akte van verwijzing atau dalam istilah hukum inggris imputation .
1) Pengertian
Pada umumnya, surat dakwaan di artikan oleh para ahli hukum, berupa pengertian, yaitu :
a) Surat akta
b) Yang memuat rumusan tindak pidana yang dimuat pada terdakwa c) Yang disimpulkan dan ditarik dari hasil pemeriksaan dan penyedikan
dihubungkan dengan rumusan pasal tindak pidana yang di langgar dan di dakwakan pada terdakwa.
Menurut J. C. T Simorangkir29, bahwa “dakwa berarti tuduh, mendakwa berarti menuduh demikian juga terdakwa berarti tertuduh”. Demikian pula menurut A. Karim Nasution30
2) Syarat-syarat surat dakwaan
memberikan definisi surat dakwaan atau tuduhan, yaitu “suatu surat atau akta yang memuat suatu perumusan dari tindak pidana yang di tuduhkan (didakwakan), yang sementara dapat disimpulkan dari surat-surat pemeriksaan pendahuluan, yang merupakan dasar bagi hakim untuk melakukan pemeriksaan yang bila ternyata cukup bukti terdakwa dapat dijatuhi hukuman.”
Adapun I. A. Nederberg mendefinisikan, bahwa surat dakwaan adalah “sebagai surat yang merupakan dasarnya dan menentukan batas-batas bagi pemeriksaaan hakim.”
Menurut Pasal 143 KUHAP, bahwa surat dakwaan mempunyai dun syarat yang harus dipenuhinya, ialah:
a) Syarat-syarat Formil
Syarat formil surat dakwaan sebagaimana diatur dalam Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP, yang mencakup:
(1) Diberi tanggal;
29
J.C.T Simorangkir, Kamus Hukum, (Jakarta: Aksara Baru, 1983), h. 40 29
(2) Memuat identitas terdakwa secara lengkap, meliputi: (a) Nama lengkap
(b) tempat lahir, umur/tanggal lahir; (c) jenis kelamin;
(d) kebangsaan; (e) tempat tinggal; (f) agama; dan (g) pekerjaan
(3) Ditandatangani oleh penuntut umum
Jadi hakim dapat membatalkan dakwaan penuntut umum, karena tidak jelas dakwaan dituiukan kepada siapa. Tujuannya adalah untuk mencegah teriadinya kekeliruan mengenai orang atau pelaku tindak pidana yang sebenarnya (error of subyektum).
b) Syarat Materiel
Adapun syarat materiel menurut Pasal 143 (2) huruf b KUHAP, bahwa Surat dakwaan harus memuat uraian “secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu (tempos delicti) dan tempat tindak pidana itu dilakukan (locus delicti).
1) Cermat, jadi surat dakwaan itu dipersiapkan sesuai dengan Undang-undang yang berlaku bagi terdakwa, tidak terdapat kekurangan atau kekeliruan.
Ketidakcermatan dalam menyusun surat dakwaan dapat mengakibatkan “batalnya atau tidak dapat diterima/ dibuktikan surat dakwaan”, antara lain karena:
a) Apakah ada pengaduan dalam hal delik aduan?
b) Apakah penerapan hukum/ketentuan pidananya sudah tepat?
c) Apakah terdakwa dapat dipertanggungjawabkan dalam melakukan tindak pidana tersebut?
d) Apakah tindak pidana tersebut belum/sudah kedaluwarsa? e) Apakah tindak yang dilakukan itu tidak “Nebis in Idem”? 2) Jelas, berarti bahwa penuntut umum harus mampu untuk:
a) Merumuskan unsur-unsur delik yang didakwakan.
b) Uraian perbuatan materil (fakta) yang dilakukan oleh terdakwa. Dalam hal ini harus diingat, bahwa tidak boleh memadukan dalam uraian dakwaan antara delik yang satu dengan delik yang lain, yang unsur-unsurnya berbeda satu sama lain, atau antara uraian dakwaan yang hanya menunjukkan pada uraian dakwaan sebelumnya; sedangkan unsur-unsurnya berbeda satu sama lain, atau uraian dakwaan yang hanya menunjukkan pada uraian dakwaan sebelumnya, sedangkan unsur-unsurnya berbeda.
Pasal 55 & Pasal 56 KUH Pidana;
Pasal 372 & Pasal 378 KUHP;
Pasal 362 & Pasal 480 KUHP;
Pasal 359 & Undang~Undang Lalu Lintas;
Dan sebagainya, sehingga dakwaan menjadi kabur atau tidak jelas
(Obscuur Libel), yang diancam dengan kebatalan.
3) Lengkap, berarti bahwa uraian surat dakwaan harus mencakup semua unsur-unsur yang ditentukan oleh undang-undang secara lengkap. Dalam uraian tidak boleh ada unsur delik yang tidak dirumuskan secara lengkap atau tidak diuraikan perbuatan materielnya secara tegas, sehingga berakibat perbuatan itu bukan merupakan tindak pidana menurut Undang-undang.
Untuk lebih jelasnya mengenai syarat materiel ini, dapat diuraikan sebagai berikut:
Pertama:
1) Rumusan dari tindak pidana/perbuatan-perbuatan yang dilakukan, tindak pidana yang didakwakan, harus dirumuskan secara tegas.
2) Permusan unsur objektif; yaitu:
a) Bentuk atau macam tindak pidana;
b) Cara-cara terdakwa melakukan tindak pidana tersebut.
3) Perumusan unsur subjektif, yaitu mengenai pertanggungjawaban seseorang menurut hukum. Misalnya apakah ada unsur kelalaian, dan sebagainya.
Uraian mengenai:
1) Tempat tindak pidana dilakukan (locus delicti), yaitu dalam hubungannya dengan:
a) Kompetensi relatif dari pengadilan seperti dimaksud dalam Pasal 148 & Pasal 149 jo. Pasal 84 KUHPidana.
b) Ruang lingkup berlakunya Undang-undang pidana (Pasal 2 sampai dengan Pasal 9 KUHPidana);
c) Berkaitan dengan unsur-unsur yang disyaratkan oleh delik yang bersangkutan, seperti “di muka umum”, misalnya Pasal 160, 154, 156, 1563 dan 160 KUHPidana.
2) Waktu tindak pidana dilakukan (tempos delicti), yaitu untuk menentukan: a) Berlakunya Pasal 1 ayat (1) (2) KUHPidana (asas legalitas);
b) Penentuan tentang residivis (Pasa1486 sampai dengan Pasal 488 KUHPidana);
c) Penentuan tentang kedaluwarsa (Pasal 78 sampai dengan Pasal 82 KUHPidana);
d) Menentukan kepastian umur terdakwa (Pasal 45 KUHPidana); e) Menentukan keadaan yang bersifat memberatkan, seperti Pasal 363
Jadi apabila surat dakwaan yang tidak memenuhi persyaratan formil, maka menurut Pasal 143 ayat (3) KUHAP, bahwa “surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum.”
Untuk lebih jelaslah masalah bentuk-bentuk surat dakawaan di uraikan sebagai berikut:
1) Dakwaan Tunggal (Satu Perbuatan Saja)
Dakwaan secara tunggal yaitu seorang atau lebih terdakwa melakukan satu macam perbuatan saja, misalnya: pencurian biasa ex Pasal 362 KUHP;
2) Dakwaan Alternatif
Dakwaan secara alternatif, yaitu dakwaan yang saling mengecualikan antara satu dengan yang lainnya, ditandai dengan kata “atau” misalnya pencurian biasa (362 KUHP) atau penadahan (480 KUHP). Jadi dakwaan secara alternatif bukan kejahatan perbarengan.
Dalam hal dalam dakwaan dibuat secara alternatif, dalam dua hal menurut Van Bemmelen,31
31
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia,(Ghalia Indonesia, 1083), h. 185
a) Jika penuntut umum tidak mengetahui perbuatan mana, apakah yang satu ataukah yang lain akan terbukti nanti di persidangan (umpama suatu perbuatan apakah merupakan pencurian atau penadahan).
b) Jika penuntut umum ragu, peraturan hukum pidana yang mana yang akan diterapkan oleh hakim atas perbuatan yang menurut pertimbangannya telah nyata tersebut.
Lanjut van Bemmelen32
Namun satu hal perlu diketahui, bahwa penuntut umum dalam menyusun surat dakwaan iarang sekali dibuat dakwaan alternatif yang sesungguhnya, yaitu dalam satu kalimat dakwaan tercantum dua atau lebih perbuatan yang didakwakan yang saling mengecualikan, misalnya dakwaan yang berbunyi: “bahwa perbuatan itu dilakukan oleh terdakwa dengan direncanakan terlebih dahulu atau tidak direncanakan terlebih dahulu” jadi di sini telah dibuat dakwaan yang bersifat altenatif yang sesungguhnya, sebab tidak dakwaan primary atau dakwaan subsidiary, sehingga menyatakan bahwa dalam hal dakwaan a1ternatif yang sesungguhnya, maka ”masing-masing dakwaan tersebut saling mengecualikan satu sama lain. Hakim dapat mengadakan pilihan dakwaan mana yang telah terbukti dan bebas untuk menyatakan bahwa dakwaan kedua yang telah terbukti tanpa memutuskan terlebih dahulu tentang dakwaan pertama.
32
hakimlah yang dapat memilih perbuatan yang mana “yang di rencanakan atau yang tidak” yang telah terbukti.
3) Dakwaan Subsidair
Dakwaan secara subsidair yaitu diurutkan mulai dari yang paling berat sampai dengan yang paling ringan digunakan dalam tindak pidana yang berakibat peristiwa yang diatur dalam Pasal lain dalam KUHPidana, contoh: lazimnya untuk kasus pembunuhan secara berencana dengan menggunakan paket dakwaan primer: Pasal 340 KUHPidana, dakwaan subsidair: Pasal 338 KUHPidana, dan lebih subsidair: Pasal 355 KUHPidana, lebih subsidair lagi Pasal 353 KUHPidana.
Jadi maksud dari surat dakwaan secara subsidair, yaitu hakim memeriksa terlebih dahulu dakwaan primair, dan jika dakwaan primair tidak terbukti, maka barulah diperiksa dakwaan subsidair dan apabila masih tidak terbukti, maka diperiksalah yang lebih susbsidair.
Dalam praktik untuk dakwaan secara subsidair sering disebut iuga dakwaan secara alternatif, karena pada umumnya dakwaan disusun oieh penuntut umum menurut bentuk subsidair, artinya tersusun primair dan subsidair.
4) Dakwaan Kumulatif
membuatnya dalam satu surat dakwaan, apabila paada waktu yang sama atau hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas perkara dalam hal:
a) beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan kepentingan pemeriksaan tidak meniadikan halangan terhadap penggabungannya;
b) beberapa tindak pidana yang bersangkut paut; c) beberapa tindak pidana yang tidak bersangkutan.
Adapun bentuk dakwaan secara kumulatif, adalah sebagai berikut:
(1) Berhubungan dengan concursus idealis/endaadce samenluup perbuatan dengan diancam lebih dari satu ancaman pidana. (Pasal 63 ayat (1) KUHPidana), misalnya: pengendara mobil menabrak pengendara sepeda motor berboncengan satu meninggal (Pasal 359 KUHPidana) dan satu luka berat (Pasal 360 KUHPidana);
(2) Berhubungan dengan perbuatan berlanjut (vorgezette handeling). Perbuatan pidana yang dilakukan lcbih dari satu kali, misalnya: pemerkosaan terhadap anak dibawah umur (Pasal 287 KUHPidana) dilakukan secara berlanjut (Pasal 64 (l) KUHPidana);
pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHPidana) ketahuan orang sehingga membunuh orang tersebut (Pasal 339 KUH Pidana), mengambil kendaraan orang yang dibunuh tersebut (Pasal 362 KUHPidana);
(4) Gabungan tindak pidana khusus dan tindak pidana umum. Kumulatif penganiayaan dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Jadi dalam dakwaan secara kumulatif, maka tiap-tiap perbuatan (delik) itu harus dibuktikan tersendiri pula, walaupun pidananya disesuaikan dengan peraturan tentang delik gabungan (samenloop) dalam Pasal 63 sampai dengan Pasal 71 KUHPidana. Oleh karena itu, perlu di perhatikan peraturan gabungan tersebut dan beserta teori-teorinya.
Pasal 302 ayat (1)
“Nakhoda yang melayarkan kapalnya sedangkan yang bersangkutan mengetahui bahwa kapal tersebut tidak laik laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (2)dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).”
jo. Pasal 117 ayat (2)
“Kelaiklautan kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib dipenuhi setiap kapal sesuai dengan daerah-pelayarannya yang meliputi:”
a. keselamatan kapal;
b. pencegahan pencemaran dari kapal; c. pengawakan kapal;
d. garis muat kapal dan pemuatan;
e. kesejahteraan Awak Kapal dan kesehatan penumpang; f. status hukum kapal;
g. manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran dari kapal; dan h. manajemen keamanan kapal.
ATAU
Pasal 312 ayat (1)
“Setiap orang yang mempekerjakan seseorang di kapal dalam jabatan apa pun tanpa disijil dan tanpa memiliki kompetensi dan keterampilan serta dokumen pelaut yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).”
jo. Pasal 145
“Setiap orang dilarang mempekerjakan seseorang di kapal dalam jabatan apa pun tanpa disijil dan tanpa memiliki kompetensi dan keterampilan serta dokumen pelaut yang dipersyaratkan.”
telah mengabaikan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan di dalam dunia pelayaran. Yang mana selama dalam persidangan saksi ahli menyatakan bahwa kelaiklautan wajib bagi setiap kapal yang akan berlayar dan jika kapal yang dilayarkan adalah kapal barang maka setiap awak yang ada diatas kapal wajib masuk dalam sijil, sehingga jika alat keselamatan kurang atau tidak standart maka kapal tidak dapat dilayarkan sampai dilengkapi sesuai dengan surat izin berlayar.
b. Tuntutan
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.
Wirjono Prodjodikoro memberikan definisi penuntutan, cuma perbedaannya bahwa KUHAP tidak menyebutkan ssecara tegas “terdakwa” sedangkan Wirjono Prodjodikoro disebutkan secara tegas, lebih-lebih lengkapnya, yaitu33
Yang berwenang melakukan penuntutan sebagaimana menurut pasal 137 KUHAP, bahwa “penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap
“menuntut seorang teredakwa dimuka hakim pidana adalah menyerahkan perkara seorang terdakwa dengan berkas perkaranya pada hakim dengan permohonan supaya hakim memeriksa dan kemudian memutuskan perkara pidana itu terhadap terdakwa.”
33
siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili.”
Setelah penyidik melengkapi berkas perkara sebagaimana dimaksud pada Pasal 138 ayat (2) KUHAP, selanjutnhya menurut Pasal 139 KUHAP, yaitu “setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera, menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan”. Jadi apabila penunut umum berpendapat “ya”, maka menurut Pasal 140 ayat (1) KUHAP yaitu “dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan.”
Namun sebaliknya, apabila penuntut umum berpendapat lain maka menurut Pasal 140 ayat (2) KUHAP yaitu :
1) Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut didalam surat ketetapan.
2) Isi surat ketetapan tersebut diberitahukan kepada tersangka dan bila ia ditahan, wajib segera dibebaskan.
4) Apabila kemudian ternyata ada alasan baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap tersangka.
Jadi mengenai wewenang penunut umum untuk menutup perkara demi hukum, seperti tersebut dalam Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP, pedoman pelaksanaan KUHAP memberi penjelasan bahwa “perkara ditutup demi hukum” diartikan sesuai dengan buku 1 KUHP bab VIII tentang hapusnya hak menuntut tersebut dalam pasal 76, 77, dan 78 KUHP.
Namun demikian, menurut Pasal 140 ayat (2) huruf d KUHAP, bahwa “apabila kemudian ternyata ada alasan baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan umum untuk menyampingkan suatu perkara (yang tidak didasarkan kepada oportunitas) tidak berlaku asas non-bis in idem. ”
Jadi apabila penuntut umum akan melakukan penuntutan kembali terhadap tersangka, maka dilakukan penyidikan kembali, dan menurut pedoman pelaksanaan KUHAP, bahwa yang melakukan penyidikan dalam hal ditemukannya alasan baru tersebut adalah “penyidik”.
Apabila hasil penyidikan penyidik telah diterima oleh penuntut umum, maka menurut Pasal 143 ayat (1) KUHAP, bahwa penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan.
kuasanya atau penasihat hukumnya dan penyidik, pada saat yang bersamaan dengan penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan negeri.”
Setelah kita memahami apa arti dari sebuah tuntutan yaitu menuntut agar tegaknya suatu keadilan di muka hukum maka penulis berpendapat bahwa tuntutan yang diberikan oleh jaksa penuntut umum kepada terdakwa JAMALUDDIN H. ABDURRAHMAN pada kasus pelanggaran dalam dunia pelayaran tersebut adalah kurang tepat, mengingat perbuatan terdakwa tersebut adalah merupakan suatu perbuatan pidana yang dilakukan dengan unsur kesengajaan dengan kesadaran yang pasti dimana terdakwa tersebut mengetahui bahwa memang ia tidak memenuhi unsur-unsur yang wajib harus dipenuhi ketika hendak melakukan pelayaran yang mana telah diatur didalam UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
penuntut umum dapat memberikan tuntutan yang lebih pantas agar menjadi efek jera bagi terdakwa dan menjadi tolak ukur bagi setiap orang yang berkecimpung di dunia pelayaran untuk mematuhi aturan-aturan yang ada di dunia pelayaran di Indonesia. Karena sejatinya tujuan pemidanaan bukanlah semata-mata untuk mewujudkan pembalasan terhadap seorang terdakwa atas kesalahannya melainkan lebih menititk beratkan kepada supaya pembinaan agar seorang terdakwa dapat menyadari kesalahannya serta mendorong agar dikemudian hari ia dapat lebih berhati-hati dan tidak mengulangi perbuatannya lagi. Dan oleh karena terdakwa tersebut mampu bertanggungjawab atas perbuatannya maka terdakwa harus lah dijatuhi pidana yang setimpal dengan kesalahannya sebagaimana diatur pada Pasal 193 ayat (1) KUHAP, sesuai dengan rasa kemanusiaan, rasa keadilan dan kepastian hukum.
c. Pertimbangan Hakim
1) Pertimbangan Hakim
tidak teliti, baik, dan cermat, maka putusan hakim yang berasal dari pertimbangan hakim tersebut akan dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung.34
Hakim dalam pemeriksaan suatu perkara juga memerlukan adanya pembuktian, dimana hasil dari pembuktian itu kan digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam memutus perkara. Pembuktian merupakan tahap yang paling penting dalam pemeriksaan di persidangan. Pembuktian bertujuan untuk memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa/fakta yang diajukan itu benar-benar terjadi, guna mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil. Hakim tidak dapat menjatuhkan suatu putusan sebelum nyata baginya bahwa peristiwa/fakta tersebut benar-benar terjadi, yakni dibuktikan kebenaranya, sehingga nampak adanya hubungan hukum antara para pihak.35
a) Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak disangkal. Selain itu, pada hakikatnya pertimbangan hakim hendaknya juga memuat tentang hal-hal sebagai berikut :
b) Adanya analisis secara yuridis terhadap putusan segala aspek menyangkut semua fakta/hal-hal yang terbukti dalam persidangan.
c) Adanya semua bagian dari petitum penggugat harus dipertimbangkan/di adili secara satu demi satu sehingga hakim dapat menarik kesimpulan tentang
34
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, cet V, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h.140
35