• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Konsumen Terhadap Makanan Yang Mengandung Zat Berbahaya Dikaitkan Dengan Undang – Undang Perlindungan Konsumen (Studi di BPOM) Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perlindungan Konsumen Terhadap Makanan Yang Mengandung Zat Berbahaya Dikaitkan Dengan Undang – Undang Perlindungan Konsumen (Studi di BPOM) Chapter III V"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

Bab III

GAMBARAN UMUM MENGENAI BADAN PENGAWASAN OBAT DAN

MAKANAN

A. Latar Belakang Terbentuknya Badan Pengawasan Obat dan

Makanan

Berdirinya Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) merupakan

Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND), yaitu sesuai Keputusan Presiden

Republik Indonesia Nomor 103 Tahun 2001 merupakan lembaga pemerintah

pusat yang dibentuk untuk melaksanakan tugas pemerintah tertentu dari presiden

serta bertanggung jawab langsung kepada presiden.

Latar belakang terbentuknya Badan Pengawasan Obat dan Makanan

(BPOM) adalah dengan melihat kemajuan teknologi telah membawa

perubahan-perubahan yang cepat dan signifikan pada industry farmasi, obat asli Indonesia,

makanan, kosmetika, dan alat kesehatan. Dengan kemajuan teknologi tersebut

produk-produk dari dalam dan luar negeri dapat tersebar cepat secara luas dan

menjangkau seluruh strata masyarakat. Konsumsi masyarakat terhadap

produk-produk terus cenderung meningkat seiring perubahan gaya hidup manusia

termasuk pada pola konsumsinya. Semakin banyaknya produk yang ditawarkan

mempengaruhi gaya hidup masyarakat dalam mengonsumsi produk. Sementara

itu pengetahuan masyarakat masih belum memadai untuk dapat memilih dan

menggunakan produk secara tepat, benar, dan aman. Di lain pihak iklan dan

promosi secara gencar mendorong konsumen untuk mengonsumsi secara

(2)

Perubahan teknologi produksi, system perdagangan internasional dan gaya

hidup konsumen tersebut pada realitasnya meningkatkan risiko dengan implikasi

yang luas pada kesehatan dan keselamatan konsumen. Apabila terjadi produk sub

standar, rusak atau terkontaminasi oleh bahan berbahaya maka risiko yang terjadi

akan berskala besar dan luas serta berlangsung secara amat cepat.

Untuk itu Indonesia harus memiliki Sistem Pengawasan Obat dan

Makanan (SisPOM) yang efektif dan efisien yang mampu mendeteksi, mencegah

dan mengawasi produk-produk termaksud untuk melindungi keamanan,

keselamatan dan kesehatan konsumennya baik di dalam maupun di luar negeri.

Untuk itu telah dibentuk Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) yang

memiliki jaringan nasional dan internasional serta kewenangan penegakan hukm

dan memiliki kredibilitas professional yang tinggi.72

Namun sebelum berdirinya Badan Pengawas Obat dan Makanan di

Indonesia pada masa penjajahan Belanda dikenal dengan apoteker yang berperan

dalam pelayanan kesehatan di bidang kefarmasian yang membantu pemerintah

dalam melindungi masyarakat dalam pengawasan obat yang beredar di

masyarakat. Berikut ini adalah sejarah terbentuknya Badan Pengawas Obat dan

Makanan :

1. Periode Zaman Penjajahan sampai Perang Kemerdekaan.

Tonggak sejarah kefarmasian di Indonesia pada umumnya diawali dengan

pendidikan asisten apoteker semasa pemerintahan Hindia belanda. Pendidikan

asisten apoteker semula dilakukan di tempat kerja yaitu apotik oleh apoteker yang

mengelola dan memimpin sebuah apotek. Setelah calon apoteker bekerja dalam

72

(3)

jangka waktu tertentu di apotek dan dianggap memenuhi syarat, maka diadakan

ujian pengakuan yang diselenggarakan oleh pemerintah Hindia Belanda. Dari

buku Verzameling Voorschriften tahun 1936 yang dikeluarkan oleh Devanahalli

Venkataramanaiah Gundappa (DVG) yang merupakan seorang penulis dan

jurnalis. Dapat diketahui bahwa Sekolah Asisten Apoteker didirikan dengan surat

Keputusan Pemerintah No. 38 tanggal 7 Oktober 1918, yang kemudian diubah

dengan Surat Keputusan No.15 (Stb. No. 50) tanggal 28 Januari 1923 dan No. 45

(Stb. No. 392) tanggal 28 Juni 1934 dengan nama Leergang voor de opleleiding

van apothekerbedienden onder den naam van apothekersassistenschool.

Peraturan ujian asisten apoteker dan persyaratan izin kerja diatur dalam

Surat Keputusan Kepala DVG No. 8512/F tanggal 16 Maret 1933 yang kemudian

diubah lagi dengan Surat Keputusan No. 27817/F tanggal 8 Septemer 1936 dan

No. 11161/F tanggal 6 April 1939. Dalam peraturan tersebut, antara lain

dinyatakan bahwa persyaratan untuk menempuh ujian apoteker harus berijazah

MULO bagian B, memiliki surat keterangan bahwa calon telah melakukan

pekerjaan kefarmasian secara terus menerus selama 20 bulan di bawah

pengawasan seorang apoteker di Indonesia yang memimpin sebuah apotek, atau

telah mengikuti pendidikan asisten apoteker di Jakarta.

Pada masa pendudukan Jepang mulai dirintis Pendidikan Tinggi Farmasi

di Indonesia dan di rediresmikan pada tanggal 1 April 1943 dengan nama

Yakugaku sebagai bagian dari Jakarta Ika Daigaku. Pada tahun 1944 Yakugaku

diubah menjadi Yaku Daigaku.

(4)

Pada periode tahun 1950an jumlah tenaga farmasi, terutama tenaga asisten

apoteker mulai bertambah dalam jumlah yang relatif besar. Namun pada tahun

1953 tenaga apoteker kekurangan sehingga pemerintah mengeluarkan

Undang-Undang No. 3 tentang Pembukuan Apotek. Sebelum dikeluarkannya

undang-undang ini, untuk membuka apotek boleh dilakukan dimana saja dan tidak

memerlukan izin dari pemerintah. Dengan adanya undang-undang ini, maka

pemerintah dapat melarang kota-kota tertentu untuk mendirikan apotek baru

karena jumlahnya sudah cukup dianggap memadai. Izin pembukaan apotek hanya

diberikan untuk daerah-daerah yang belum ada atau belum memadai jumlah

apoteknya.

Undang-undang No. 3 ini kemudian diikuti dengan dikeluarkannya

Undang-undang No. 4 tahun 1953 tentang apotek darurat, yang membenarkan

seorang asisten apoteker untuk memimpin sebuah apotek. Undang-undang tentang

apotek darurat ini sebenarnya harus berakhir pada tahun 1958 karena klausula

yang termasuk dalam undang tersebut yang menyatakan bahwa

undang-undang tersebut tidak berlaku lagi 5 tahun setelah apoteker pertama dihasilkan

oleh Perguruan Tinggi Farmasi di Indonesia. Akan tetapi, karena lulusan apoteker

ternyata sangat sedikit, undang-undang ini diperpanjang sampai tahun 1963 dan

perpanjangan tersebut berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No.

770/Ph/63/b tanggal 29 Oktober 1983.

3. Periode tahun 1958 sampai dengan 1967

Pada periode ini meskipun usaha untuk memproduksi obat telah banyak

dirintis dalam kenyataan industri-industri farmasi menghadapi hambatan dan

(5)

penjatahan bahan baku obat sehingga industri yang dapat bertahan hanyalah

industri yang dapat jatah atau mereka yang mempunyai relasi dengan luar negeri.

Oleh karena itu, penyediaan obat menjadi sangat terbatas dan sebagian besar

berasal dari import. Sementara itu karena pengawasan belum dapat dilakukan

dengan baik, banyak terjadi kasus bahan baku maupun obat jadi yang tidak

memenuhi standar.

Pada periode ini pula ada hal penting yang patut dicatat dalam sejarah

kefarmasian Indonesia, yakni berakhirnya apotek-dokter dan apotek darurat.

Dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 33148/ Kab/ 176 tanggal 8

Juni 1962, antara lain :

a. Tidak dikeluarkannya lagi izin baru untuk pembukaan apotek-dokter

b. Semua izin

apotek-dokter dinyatakan tidak berlaku lagi sejak tanggal 1 Januari 1963

Sedangkan berakhirnya apotek darurat ditetapkan dengan Surat Keputusan

Menteri Kesehatan No. 770/Ph/63/b tanggal 29 Oktober 1963 yang isinya antara

lain :

a. Tidak lagi dikeluarkan lagi izin baru untuk pembukaan apotek darurat

b. Semua izin apotek darurat Ibukota Daerah Tingkat I dinyatakan tidak

berlaku lagi sejak tanggal 1 Februari 1964

c. Semua izin apotek darurat di Ibukota Daerah Tingkat II dan kota-kota

(6)

Pada tahun 1963, sebagai realisasi Undang-undang Pokok Kesehatan

telah dibentuk Lembaga Farmasi Nasional (Surat Keputusan Menteri No.

39521/Kab/1999 tanggal 11 Juni 1963). Dengan demikian pada waktu itu ada dua

instansi pemerintah di bidang kefarmasian yaitu Direktorat Urusan Farmasi dan

Lembaga Farmasi Nasional. Direktorat Urusan Farmasi yang semula Inspektorat

Farmasi pada tahun 1967 mengalami pemekaran organisasi menjadi Direktorat

Jenderal Farmasi.

4. Periode Orde Baru

Pada masa orde baru stabilitas politik, ekonomi dan keamanan telah semakin

mantap sehingga pembangunan di segala bidang telah dapat dilaksanakan dengan

lebih terarah dan terencana. Pembangunan kesehatan sebagai bagian integral

Pembangunan Nasional, dilaksanakan secara bertahap baik pemenuhan sarana

pelayanan kesehatan maupun mutu pelayanan yang semakin baik serta jangkauan

yang semakin luas. Hasil-hasil pembangunan kesehatan yang telah dicapai selama

orde baru ini dapat diukur dengan indikator-indikator penting, antara lain

kematian, umur harapan hidup dan tingkat kecerdasan yang semakin

menunjukkan perbaikan dan kemajuan yang sangat berarti.

Pada periode Orde Baru pula, pengaturan, pengendalian dan pengawasan

di bidang kefarmasian telah dapat ditata dan dilaksanakan dengan baik. Sehingga

pada tahun 1975 institusi pengawasan farmasi dikembangkan dengan adanya

perubahan Direktorat Jenderal Farmasi menjadi Direktorat Jenderal Pengawasan

Obat dan Makanan. Berbagai peraturan perundang-undangan telah dikeluarkan

oleh Departemen Kesehatan sebagai basis dan kerangka landasan untuk

(7)

masa-masa mendatang. Terhadap distribusi obat telah dilakukan

penyempurnaan, terutama penataan kembali fungsi apotek melalui Peraturan

Pemerintah No. 25 Tahun 1980.73

5. Periode tahun 2000

Untuk mengoptimalkan pengawasan terhadap obat dan makanan tersebut maka

pemerintah mengambil kebijakan dengan mengadakan perubahan Direktorat

Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, yang mana dahulu Direktorat Jenderal

Obat dan Makanan bertanggung jawab kepada Departemen Kesehatan, namun

sekarang setelah terjadinya perubahan makaBadan Pengawasan Obat dan

Makanan bertanggung jawab kepada Presiden. Badan Pengawasan Obat dan

Makanan sekarang merupakan Lembaga Pemerintah Non Departemen

berdasarkan Keputusan Presiden No. 103 tahun 2000 dan telah mengalami

perubahan melalui Keputusan Presiden No. 166 tahun 2003.

B. Visi dan Misi Badan Pengawasan Obat dan Makanan

Badan Pengawasan Obat dan Makanan mempunyai Visi dan Misi dalam

melaksanakan tugas pokoknya yaitu :

Visi dari Badan POM :

“Menjadikan sebuah institusi terpercaya secara nasional maupun internasional

dalam rangka melindungi kesehatan masyarakat. Secara efektif dan pemahaman

tentang konsep dasar sistem pengawasan produk obat dan makanan secara

73

Midian Sirait, Tiga

(8)

nasional dan internasional. Profile Badan POM National Agency of Drugs and

Food Control Republik of Indonesia Badan Pengawasan Obat dan Makanan.”

Sedangkan Misi Badan POM :74

1. Melindungi kesehatan masyarakat dari risiko peredaran produk terapetik,

alat kesehatan, obat tradisional, produk komplemen dan kosmetik yang

tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan khasiat/kemanfaatan

serta produk pangan yang tidak aman dan tidak layak dikonsumsi.

2. Melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan dan penggunaan

yang salah satu dari produk obat, narkotik, psikotropik dan zat adiktif serta

risiko akibat penggunaan produk dan bahan berbahaya.

3. Mengembangkan obat asli Indonesia dengan mutu, khasiat, keamanan

yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan dapat digunakan

untuk meningkatkan kesehatan masyarakat.

4. Memperluas akses obat bagi masyarakat luas dengan mutu yang tinggi dan

harga yang terjangkau.

C. Kedudukan, Tugas, Wewenang Badan Pengawasan Obat dan Makanan.

Berkaitan dengan pemakaian teknologi yang makin maju dan

supaya tujuan standarnisasi dan sertifikasi tercapai semaksimal mungkin, maka

pemerintah perlu aktif dalam membuat, menyesuaikan, dan mengawasi

pelaksanaan mengenai peraturan yang berlaku. Sesuai dengan prinsip

pembangunan yang antara lain menyatakan bahwa pembangunan dilaksanakan

74

Profile Badan POM National Agency of Drugs and Food Control Republik of Indonesia

(9)

bersama oleh masyarakat dengan pemerintah dan karena itu menjadi tanggung

jawab bersama pula, maka melalui pengaturan dan pengendalian oleh pemerintah,

tujuan pembangunan nasional dapat dicapai dengan baik.75

Pemerintah melindungi konsumen dengan cara mengatur pengendalian

mengawasi produksi, distribusi dan pengedaran produk makanan sehingga

konsumen tidak dirugikan baik kesehatan maupun keuangannya. Pengawasan

yang dilakukan oleh pemerintah terhadap pihak produsen bertujuan untuk

membina dan mengembangkan usaha di bidang produksi dan distribusi serta

menciptakan usaha perdagangan yang jujur.

Badan pengawasan obat dan makanan (BPOM) yang dahulunya adalah

Direktrorat Jenderal pengawasan obat dan makanan di bawah Departemen

Kesehatan yang tugas dan fungsinya menjalankan sebagian kewenangan di bidang

obat dan makanan, sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan

Nomor 130/Menkes/SK/I/2000 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen

Kesehatan. Sesuai dengan perundang-undangan yang ditetapkan bahwa Direktorat

Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan dalam melaksanakan tugasnya sesuai

dengan peraturan yang berlaku, yaitu :

1. Ordonansi tentang Obat Keras

2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan

3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan Diganti dengan

Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012

4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika

5. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika

75

(10)

Setelah era reformasi berjalan, Badan POM ditetapkan menjadi LPND

yang mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan

obat dan makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku, agar lebih terarah pengawasan tersebut, maka tentunya akan dilakukan

pemisahan antara fungsi dan kewenangannya sebagai LPND harus lebih jelas dan

terfokus dan lebih untuk ditekankan kepada kebijakan dalam pengawasan di

bidang pemerintahan di bidang obat dan makanan, maka Badan POM sebagai

LPND mempunyai fungsi dan kewenangan di dalam membentuk regulasi di

bidang pengawasan obat dan makanan baik yang berbentuk undang-undang

maupun ketentuan yang secara hirarkis berada di bawahnya untuk dapat efektif

berlaku, jelas membutuhkan sumber daya yang mampu menjalankan perintah dan

melaksanakan penegakan hukum atau ketentuan peraturan perundang-undangan

tersebut. Oleh karena itu dalam melaksanakan tugas pokok dan

fungsi pengawasan di bidang obat dan makanan, dibentuk Badan Pengawasan

Obat dan Makanan (Badan POM).

Keberadaan Badan POM didasarkan pada keputusan Presiden Nomor 103

Tahun 2001 tentang Kedudukan, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan

Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah beberapa

kali diubah, terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2005

sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 67 Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun

2001. Dalam Pasal 67 disebutkan bahwa fungsi Badan POM meliputi sebagai

berikut :

1. Pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang pengawasan

(11)

2. Pelaksanaan kebijakan tertentu di bidang pengawasan obat dan makanan

3. Koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas Badan POM

4. Pemantauan pemberian bimbingan dan pembinaan terhadap kegiatan

instansi pemerintahdan masyarakat di bidang pengawasan obat dan

makanan

5. Penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang

perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tatalaksana,

kepegawaian, keuangan, karsipan, hukum, persandingan, perlengkapan

dan rumah tangga.

Tugas dari BPOM diatur dalam Kepres No. 166/2000, yaitu dalam Pasal

73 yang menyebutkan bahwa BPOM mempunyai tugas melaksanakan tugas

pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mengenai tugas dan wewenang dari

BPOM yang lebih spesifik diatur dalam Keputusan Bersama Menteri Kesehatan

dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 264A/MENKES/SKB/VII/

2003 dan Nomor 02/SKB/M.PAN/7/2003 tentang Tugas, Fungsi, dan

Kewenangan di Bidang Pengawasan Obat dan Makanan. Namun dalam

menjalankan tugas pokok tersebut BPOM mendapatkan hambatan, baik itu dari

pelaku usaha, konsumen maupun pemerintah. Hambatan dari pemerintah tersebut

ialah masih adanya campur tangan dari pemerintah yang melindungi kepentingan

pribadi maupun golongan, yang mengakibatkan terkekangnya BPOM sehingga

tidak bisa menjalankan tugasnya dengan semestinya. Padahal dengan adanya 2

(12)

untuk menjalankan tugasnya tanpa campur tangan dari pihak lain. Tetapi

kedua peraturan tersebut rupanya masih kurang kuat dalam menunjang BPOM.76

Demikian juga halnya dengan kewenangan Badan POM sebagaimana

ditetapkan dalam Pasal 69 Keputusan Presiden Nomor 103 tahun 2001 bahwa

kewenangan Badan POM meliputi sebagai berikut :

1. Penyusunan secara nasional secara makro di bidangnya

2. Perumusan kebijakan di bidangnya untuk mendukung pembangunan

secara makro

3. Penetapan sistem informasi di bidangnya

4. Penetapan persyaratan penggunaan bahan tambahan (zat adiktif) tertentu

untuk makanan dan penetapan pedoman pengawasan peredaran obat dan

makanan

5. Pemberian izin dan pengawasan peredaran obat serta pengawasan industri

farmasi

6. Penetapan pedoman penggunaan konservasi, pengembangan pengawasan

tanaman obat

Kewenangan Badan POM sebagai lembaga pemerintah non departemen

(LPND) dipertegas lagi dan dijabarkan lebih rinci dalam Keputusan Presiden

Nomor 110 tahun 2001 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Lembaga

Pemerintah Non Departemen yang telah beberapa kali diubah, terakhir dengan

Peraturan Presiden Nomor 52 tahun 2005. Pasal 44 Keputusan Presiden Nomor

76Landasanteori.com,”Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Kedudukan, Tugas,

(13)

110 tahun 2001 menetapkan Badan POM terdiri dari tiga ke Deputian yang

membidangi :

1. Pengawasan produk terapetik, narkotika, psikotropika dan zat adiktif

2. Pengawasan obat tradisional, kosmetik produk komplemen/suplemen

makanan serta

3. Pengawasan keamanan pangan dan bahan berbahaya.

Badan POM secara hukum sudah mempunyai kedudukan yang kuat di

dalam membuat suatu kebijakan di bidang obat dan makanan dalam rangka

pelaksanaan pengawasan obat dan makanan yang beredar di wilayah Indonesia.

Kedudukan Badan POM sebagai lembaga Pemerintah Non Departemen bila

ditinjau dari segi pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia maka

sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen yang bertanggung jawab langsung

kepada Presiden, diperintahkan oleh Undang-Undang untuk mengajukan prakarsa

kepada Presiden dalam hal pengajuan pembentukan peraturan

perundang-undangan sepanjang menyangkut di bidang pemerintah, di bidang obat dan

makanan dalam rangka mengambil suatu kebijakan yang mengacu kepada

(14)

BAB IV

PEMBAHASAN PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP

MAKANAN MENGANDUNG ZAT BERBAHAYA

A. Perlindungan Konsumen Terhadap Makanan yang Mengandung Zat

Berbahaya menurut UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen

Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen, Pasal 1 ayat (2) yang dimaksud dengan konsumen adalah :77

“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang

tersedia dalam masyarakat, bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang

lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.

Pengertian konsumen dalam penjelasan Undang-Undang No. 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah konsumen akhir bukan konsumen

antara sebagaimana yang terdapat dalam kepustakaan ekonomi. Konsumen akhir

adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen

antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari

proses suatu produksi lain. Para ahli hukum pada umumnya sepakat bahwa arti

konsumen adalah pemakai terakhir dari benda atau jasa ( Uiteindelijke gebruiker

van goerderen endiesten) yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha (

ondernamer).78

77

Lihat Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

78

(15)

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen tidak dijelaskan secara detail bagaimana

perlindungan konsumen terhadap zat makanan yang berbahaya, namun lebih

jelaskan tentang itikad baik pelaku usaha, termasuk pelaku usaha industri rumah

tangga karena meliputi semua tahapan dalam melakukan kegiatan usahanya,

sehingga dapat diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik

dimulai sejak barang dirancang atau diproduksi sampai pada tahap purna

penjualan, sebaliknya konsumen hanya diwajibkan beritikad baik dalam

melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Hal ini tentu saja

disebabkan oleh kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak

barang dirancang atau diproduksi oleh produsen atau pelaku usaha, sedangkan

bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan produsen mulai pada saat

melakukan transaksi dengan produsen.79

Pada pasal 90 ayat (1) undang-undang Republik Indonesia Nomor 18

tahun 2012 tentang Pangan mengatakan “Setiap orang dilarang mengedarkan

pangan tercemar”80

Berkaitan dengan produksi makanan dan minuman industri

rumah tangga yang dengan mudah diperoleh di pasaran, tidak tertutup

kemungkinan beredarnya makanan maupun minuman yang tidak memenuhi syarat

kesehatan yaitu : aman, bermutu dan bergizi. Setiap orang yang memproduksi

pangan yang diedarkan perlu dibebani tanggung jawab, terutama apabila pangan

yang diproduksinya menyebabkan, baik kerugian pada kesehatan manusia

maupun kematian orang yang mengkonsumsi pangan tersebut.

79

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 54-55

80

(16)

Produsen atau pelaku usaha bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang

diderita konsumen, baik berupa gangguan kesehatan atau kematian yang

disebabkan oleh mengkonsumsi produk pangan yang beracun atau berbahaya.

Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996

tentang Pangan menegaskan bahwa harus ada pihak yang bertanggung jawab atas

keamanan pangan (produk), jika ternyata menimbulkan kerugian kepada

konsumen. Dengan kata lain, memberi pertanggungjawaban adalah kewajiban

produsen. Dasar pertanggung jawaban produsen dapat juga dilihat dalam Pasal 41

ayat (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 yang

mengatur bahwa: ”Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat(3), dalam

hal badan usaha dan atau orang dalam badan usaha dapat membuktikan bahwa hal

tersebut bukan diakibatkan kesalahannya, maka badan usaha dan atau orang

perorangan dalam badan usaha tidak wajib mengganti kerugian”.

Pasal 8 angka (1) huruf (a), angka (2) dan angka (3) Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

menetapkan sejumlah larangan kepada pelaku usaha untuk memproduksi dan atau

memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:

1. tidak memenuhi atau sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan

ketentuan peraturan perundang-undangan;

2. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya,

mode atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan pada label atau

keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

3. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan,

(17)

4. tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu penggunaan

atau pemanfaatan yang paling baik atau barang tertentu;

5. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana

pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;

6. tidak memasang label atau memuat informasi penjelasan mengenai barang

yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi,

aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat samping, nama dan alamat pelaku

usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan

harus dipasang/dibuat;

7. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam

bahasa Indonesia sesuai dengan ketentua perundang-undangan yang

berlaku;

Dan pada Pasal 62 ayat (1) yaitu: “pelaku usaha yang melanggar ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dipidana dengan pidana penjara paling lama

5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000; (dua milyar

rupiah);

Dalam pasal 94 Undang-undang Republik Indonesia No.18 Tahun 2012

Tentang pangan terdapat sanksi Administrasi yang diterapkan sebagai berikut:

a. Denda

b. Pengehentian Sementara dari Kegiatan Produksi atau peredaran

c. Penarikan Pangan dari Peredaran oleh Produsen

(18)

Akibat – akibat hukum yang diatur tersebut itulah yang dapat mencegah

para pelaku usaha untuk memakai zat makanan berbahaya makanan sehingga para

konsumen tetap terlindungi.

B. Pengawasan Badan Pengawasan Obat Dan Makanan terhadap

Kelayakan dan Keamanan Produk Makanan

Badan POM sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen (LNDP)

mempunyai fungsi pengawasan terhadap peredaran obat dan makanan

terhadap mutu, khasiat dan manfaatnya dari standar yang ditentukan, dimana

karena kedudukannya sebagai organ negara diberikan tugas dan fugnsi untuk

mengawasi seluruh peredaran obat dan makanan mencakup pengawasan dari

post market sampai dengan pre market, 81 artinya pengawasan yang dilakukan

oleh pemerintah dalam hal ini Badan POM sangat luas dari hulu sampai ke

hilir. Oleh karena itulah pengawasan terhadap peredaran obat dan makanan

perlu ada suatu kerjasama yang baik antara para penegak hukum itu sendiri

dengan instansi terkait yang harus menangani bagaimana peredaran obat dan

makanan seharusnya yang diatur dan diperboleh oleh aturan yang berlaku, dan

oleh sebab itu, pemerintah memberikan kepercayaan kepada Badan POM

tentang kewenangan pengawasan obat dan makanan di seluruh wilayah

Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001.

Badan POM bukan merupakan single player, akan tetapi pemerintah

daerah yang juga terlibat dalam lisensi dan sertifikasi produk tertentu (pangan

industr rumah tangga), dan oleh sebab itu diperlukan dukungan masyarakat,

81

(19)

karena kalau tidak akan tetap banyak ditemukan obat-obat palsu dan makanan

yang kadaluarsa di pasaran. Untuk itu perlu dibangun suatu sistem

pengawasan dan peningkatan sumber daya manusia yang ada baik dari segi

pengkajian analisa obat maupun penerapan hukumnya sendiri yang selama ini

terlihat belum tepat dilakukan dan sanksi yang diberikan terkesan ringan dan

penerapan hukumnya tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Di samping

itu juga, terkesan adanya intervensi dari penegak hukum antara lain dari pihak

Jaksa Penuntut Umum, Polisi, Hakim dalam memutus perkara di bidang obat

dan makanan (money power) masih sering terjadi. 82

Walaupun sudah diatur tugas dan kewenangan Badan POM, akan tetap

tugas dan kewenangan yang dimiliki tersebut akan mengalami kelemahan

kalau tidak didukung oleh semua pihak, karena sistem pengamanan obat dan

makanan dibuat sedemikian dan dibentuk menjadi berlapis tiga, yaitu kesatu,

pengawasan yang dilakukan oleh produsen sebagai tanggung jawab produksi

serta distributor sebagai bagian dari mata rantai, kedua, pemerintah dalam hal

ini Badan POM, Badan Pengawasan Obat dan Makanan Universitas Sumatera

Utara bertanggung jawab pada standar dan penentuan yang dilakukan,

terutama menyangkut produk yang canggih dan beresiko tinggi seperti

obat-obatan dimana masyarakat/ konsumen tidak mungkin menentukan sendiri

mutu daripada produk tersebut, ketiga, masyarakat sebagai konsumen,

mempunyai hak untuk memilih suatu produk, karena pada akhirnya

masyarakatlah yang menetapkan pilihannya tentang penggunaan suatu

82

(20)

produk.83

Pada sistem pengawasan yang dikenal dalam Hukum Administrasi Negara

seharusnya ditetapkan suatu peraturan bagi komunikasi timbal balik, yaitu

diserahkan kepada masyarakat untuk mengadukan sendiri pelanggaran atas

hukum yang diterapkan di bidang obat dan makanan dan membuatnya berlaku

melalui suatu proses (seperti dalam hubungan perdata), dan kemudian dalam

hal penuntutan pelanggaran merupakan tugas dari pemerintah/ Badan POM.

Demikian juga terikatnya beberapa kegiatan atau keadaan pada suatu

perizinan, pengesahan persetujuan atau suatu bentuk pemberian kuasa yang

lain oleh karena kegiatan-kegiatan itu pada dasarnya adalah terlarang kecuali

jika dilaporkan dan memperoleh izin. Selanjutnya, pengawasan atau kontrol

itu dilaksanakan pada saat dilaporkan dan kemudian penyelidikan, apakah

tidak ada orang yang bertindak tanpa memperoleh izin dan apakah mereka

yang telah mendapat izin memang berpegang pada peraturan.84

Fungsi dan kewenangan yang diterapkan oleh Badan POM adalah sesuai

dengan hukum yang berlaku, dimana secara Hukum Administrasi Negara,

suatu organ pemerintah dalam melaksanakan tugas yang diberikan

Undang-Undang

Badan pengawasan obat dan makanan Sumatera Utara melakukan

penerapan hukum administrasi, dan dalam hal ini Badan POM dalam

melaksanakan fungsi tersebut harus diakui secara hukum dan harus ada

pengakuan hukum (rule of recognition) baik secara nasional maupun secara

83

Sistem pengawasan obat dan makanan Agency of Drugs and Food Control Republik of Indonesia badan pengawasan obat dan makanan

84

(21)

internasional. Sebagai organ pemerintah, para pejabat Badan POM harus

dilakukan sebagai suatu aparatur pengawasan yang melekat kepada

jabatannya, dimana secara hukum administrasi negara, fungsi tersebut harus

dijalankan. Ridwan HR. mengutarakan bahwa kewenangan yang diberikan

kepada organ pemerintahan harus dijalankan oleh manusia. Tenaga dan

pikiran organ pemerintahan adalah tenaga dan pikiran mereka yang ditunjuk

untuk menjalankan fungsi organ tersebut yaitu para pejabat. Berdasarkan

ketentuan hukum positif, pejabat hanya menjalankan tugas dan wewenang,

karena pejabat tidak memiliki wewenang, pihak yang memiliki dan dilekati

wewenang adalah jabatan. Berdasarkan hukum, jabatanlah yang dibebani

dengan kewajiban, dan berwenang untuk melakukan perbuatan hukum. Hak

dan kewajiban berjalan terus tidak perduli dengan pergantian pejabat.85

D. Upaya Penyelesaian Sengketa

Akibat dari suatu produk makanan yang tidak layak,sehingga

menimbulkan kerugian di pihak konsumen juga dapat menyudutkan para

konsumen sehingga menimbulkan sengketa atau permasalahan antara

konsumen dengan pelaku usaha.Untuk menyelesaikan sengketa tersebut dapat

dilakukan dengan dua hal sebagai berikut:

1. Penyelesaian Sengketa melalui Peradilan Umum (litigasi)

Litigasi adalah proses dimana seorang individu atau badan membawa

sengketa kasus ke pengadilan atau pengaduan dan penyelesaian tuntutan atau

penggantian atas kerusakan.

85

(22)

Seperti halnya dalam sengketa konsumen disini dibatasi pada sengketa

perdata, masuknya suatu perkara ke pengadilan harus melalui beberapa

prosedur yang didahului dengan pendaftaran surat gugatan di kepaniteraan

perkara perdata di pengadilan negeri.

2. Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan(Nonlitigasi)

Dalam kegiatan perekonomian seringkali terjadi permasalahan antara

konsumen dengan pelaku usaha, maraknya perbuatan yang dilakukan oleh

pelaku usaha dapat menimbulkan kerugian terhadap konsumen, seperti halnya

dalam kegiatan produksi makanan, banyak ditemukan makanan-makanan yang

tidak memenuhi stadar gizi dan tidak layak edar di kalangan masyarakat.

Makanan-makanan yang tidak terdaftar di Badan Pengawas Obat dan Makanan

bisa saja mengandung bahan-bahan yang mengandung zat-zat yang berbahaya

bagi konsumen, sehingga dapat menimbulkan kerugian bagi konsumen jika

mengkonsumsinya, baik itu kerugian dari segi materi maupun psikis. Dengan

adanya kerugian yang di alami oleh konsumen, konsumen dapat menggugat

pelaku usaha melalui proses peradilan, proses ini membutuhkan waktu yang

lama, sehingga dipilihlah penyelesaian altrnatif, yaitu untuk meminimalisasi

birokrasi perkara, biaya, dan waktu.

Adapun lembaga peradilan sengketa konsumen di luar pengadilan yaitu

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

a. Pengertian Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen/BPSK

Badan penyelesaian sengketa konsumen/BPSK adalah salah satu

(23)

kabupaten dan Kota di seluruh Indonesia yang tugas utamanya menyelesaikan

persengketaan konsumen di luar lembaga pengadilan umum.

b. Dasar Hukum Pembentukan Lembaga BPSK

Dasar hukum pembentukan BPSK adalah UU No. 8 Tahun 1999, Pasal

49 Ayat 1 UUPK jo. Pasal 2 Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001

mengatur bahwa di setiap kota atau kabupaten harus dibentuk BPSK.

Kehadiran BPSK diresmikan pada tahun 2001, yaitu dengan adanya

Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 2001 tentang Pembentukan Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen pada Pemerintah Kota Medan, Palembang,

Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya,

Malang dan Makassar.

Selanjutnya dalam Keputusan Presiden No.108 Tahun 2004 dibentuk

lagi BPSK di tujuh kabupaten berikutnya, yaitu di kota Kupang, Samarinda,

Sukabumi, Bogor, Kediri, Mataram, Palangkaraya dan pada kabupaten Kupang,

kabupaten Belitung, kabupaten Sukabumi, kabupaten Bulungan, kabupaten

Serang, kabupaten Ogan Komering Ulu, dan kabupaten Jeneponto. Terakhir

pada 12 Juli 2005 dengan Keputusan Presiden No. 18 Tahun 2005 yang

membentuk BPSK di kota Padang, kabupaten Indramayu, kabupaten Bandung

dan kabupaten Tangerang (Susanti Adi Nugroho, 2010:75).

c. Tugas dan Wewenang BPSK

Setiap penyelesaian sengketa konsumen dilakukan oleh majelis yang

dibentuk oleh Ketua Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan dibantu oleh

panitera. Susunan majelis BPSK harus ganjil, dengan ketentuan minimal 3

(24)

(2) UUPK, yaitu unsur pemerintah, konsumen dan pelaku usaha. Salah satu

anggota majelis tersebut wajib berpendidikan dan berpengetahuan di bidang

hukum (Pasal 18 SK Menperindag No. 350/MPP/kep/12/2001). Ketua Majelis

BPSK harus dari unsur pemerintah, walaupun tidak berpendidikan hukum.

Untuk menangani sengketa konsumen dengan cara konsiliasi atau

mediasi, maka yang berwewenang unruk menetapkan siapa yang

menjadipersonilnya baik sebagai ketua majelis yang berasal dari unsur

konsumen dan pelaku usaha adalah ketua BPSK.

Hal ini berbeda dengan majelis yang akan menyelesaikan sengketa

konsumen dengan cara arbitrase, ketua BPSK tidak berwewenang untuk

menentukan siapa yang akan menjadi ketua majelis dan anggota majelis. Yang

berwewenang menentukan siapa yang duduk di majelis adalah para pihak yang

bersengketa, para konsumen berhak memilih dengan bebas salah satu dari

anggota BPSK yang berasal dari unsur konsumen sebagai arbiter yang akan

menjadi anggota majelis. Demikian juga, pelaku usaha berhak memilih salah

satu dari anggota BPSK yang berasal dari unsur pelaku usaha sebagai arbiter,

yang akan menjadi anggota majelis.

Selanjutnya, arbiter hasil pilihan konsumen dan arbiter hasil pilihan

pelaku usaha secara bersama-sama akan memilih arbiter ketiga yang berasal

dari unsur pemerintah dari anggota BPSK yang akan menjadi ketua majelis.

Prosedur untuk memilih arbiter hasil pilihan konsumen dan pelaku

usaha, demikian juga arbiter ketiga dari unsur pemerintah dilakukan dengan

(25)

Hasil pemilihan arbiter setelah dituangakan dalam pengisian formulir

pemilihan arbiter akan ditetapkan oleh ketua BPSK sebagai majelis yang

menangani sengketa konsumen dengan cara arbitrase melalui penetapan.

Panitera BPSK berasal dari anggota sekretariat yang ditetapkan oleh

ketua BPSK. Tugas panitera terdiri dari:

1) Mencatat jalannya proses penyelesaian sengketa konsumen.

2) Menyimpan berkas laporan.

3) Menjaga barang bukti.

4) Membantu majelis menyusun putusan.

5) Membantu penyampaian putusan kepada konsumen dan pelaku usaha.

6) Membuat berita acara persidangan.

7) Memantu majelis dalam tugas-tugas penyelesaian sengketa.

Ketua majelis BPSK atau anggota BPSK atau Panitera, berkewajiban

untuk mengundurkan diri apabila terdapat permintaan ataupun tanpa

permintaan ketua BPSK, atau anggota majelis BPSK, atau pihak yang

bersengketa, jika terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai

derajat ketiga atau hubungan suami istri meskipun telah bercerai dengan pihak

yang bersengketa.

Mengenai tugas dan wewenang BPSK diatur dalam Pasal 52 UUPK jo.

Kepmenperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001, tentang Pelaksanaan Tugas

dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yaitu:

1) Melaksanakan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui

mediasi atau arbitrase atau konsiliasi.

(26)

3) Melakukan pengawasan tehadap pencantuman klausula baku.

4) Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan

dalam undang-undang ini.

5) Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketaperlindungan

konsumen.

6) Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen

tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen.

7) Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran

terhadap perlindungan konsumen.

8) Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi,

saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada angka 6 dan 7,

yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa

konsumen.

9) Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti

lain guna penyidikan dan/atau pemeriksaan.

10)Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak

konsumen.

11)Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan

pelanggaran terhadap perlindungan konsumen.

12)Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar

ketentuan undang-undang ini(Susanti Adi Nugroho, 2010:80).

d. Jangka Waktu Putusan BPSK

BPSK wajib mengeluarkan putusan paling lambat 21 hari kerja setelah

(27)

dalam waktu 7 hari kerja sejak putusan dibacakan, konsumen dan atau pelaku

usaha yang bersengketa wajib menyatakan menerima atau menolak putusan

BPSK.

Apabila konsumen dan atau pelak usaha menolak putusan BPSK, maka

mereka dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri

selambat-lambatnya dalam waktu 14 hari kerja terhitung sejak putusan BPSK

diberitahukan.

Sebaliknya apabila konsumen dan pelaku usaha menerima putusan

BPSK, maka pelaku usaha wajib menjalankan putusan tersebut

selambat-lambatnya dalam waktu 7 hari kerja sejak menyatakan menerima putusan

tersebut.

Putusan BPSK yang tidak diajukan keberatan oleh pelaku usaha,

dimintakan penetapan fiat eksekusinya kepada pengadilan negeri di tempat

tinggal konsumen yang dirugikan. Pelaku usaha yang menolak putusan BPSK,

tetapi tidak mengajukan keberatan setelah melampaui batas waktu untuk

menjalankan putusan. Apabila selambat-lambatnya 5 hari kerja setelah batas

waktu mengajukan keberatan dilampaui, pelaku usaha tidak menjalankan

kewajiban sebagaimana tertuang dalam putusan BPSK, maka BPSK

menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan

(28)

BAB V

PENUTUP

Setelah memaparkan uraian-uraian diatas secara keseluruhan maka sebagai

penutup dari penulisan skripsi ini akan dikemukakan beberapa kesimpulan yang

kemudian diikuti dengan beberapa saran penulisan yang diharapkan dapat berguna

dan bermanfaat.

A. KESIMPULAN

1. Produsen atau pelaku usaha bertanggung jawab mutlak atas

kerugian yang diderita konsumen, baik berupa gangguan kesehatan

atau kematian yang disebabkan oleh mengkonsumsi produk pangan

yang beracun atau berbahaya. Hal ini diatur dalam Pasal 41 ayat

(1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996

tentang Pangan dan dalam Pasal 62 ayat (1) diatur yaitu: “pelaku

usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 8 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun

atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000; (dua milyar

rupiah); Pada Pasal 94 Undang-undang Republik Indonesia Nomor

18 Tahun 2012 Tentang Pangan terdapat sanksi Administratif ;

Akibat – akibat hukum yang diatur tersebut itulah yang dapat

mencegah para pelaku usaha untuk memakai zat makanan

berbahaya makanan sehingga para konsumen tetap terlindungi.

2. Peranan pemerintah sangat diperlukan untuk memberi

perlindungan kepada konsumen makanan yang beredar tersebut.

(29)

pengawasan serta pembinaan dan penyuluhan, termasuk juga

dalam hal pemberian informasi melalui promosi agar tidak

menyesatkan konsumen fungsinya dalam hal ini pengaturan,

regulasi, standarisasi, evaluasi produk sebelum di ijinkan beredar,

pengujian laboratorium, pemeriksaan sarana produk distributor,

penyelidikan dan penegakan hukum sehingga pemerintah juga

melakukan pengawasan, komunikasi, informasi dan edukasi

melalui badan yang terkait.

3. Perlindungan hukum sebagai akibat dari penggunaan makanan

yang mengandung zat berbahaya yang menyebabkan kerugian bagi

konsumen. Maka konsumen dapat meminta ganti rugi kepada

produsen makanan tersebut melalui upaya hukum yaitu upaya

hukum secara litigasi (pengadilan) maupun diluar pengadilan

sedangkan upaya hukum di luar pengadilan dapat melalui BPSK.

B. SARAN

Dalam rangka meningkatkan perlindungan konsumen terhadap makanan

yang beredar di dalam masyarakat maka menjadi hal yang sangat mendukung

bahwa konsumen itu mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan sehingga

diharapkan.

1. Sosialisasikan melalui informasi yang sebanyak-banyaknya kepada

konsumen.

2. Badan-badan yang terkait dalam hal penegakan hukum konsumen ini

(30)

dilakukan dengan penuh rasa tanggung jawab, sehingga untuk

memberikan upaya perlindungan konsumen terhadap makanan yang

beredar di dalam masyarakat dapat dilakukan dengan hati-hati dan

tidak berlebihan yang dapat merugikan atau menghentikan

Referensi

Dokumen terkait

Permasalahan yang terjadi adalah belum optimalnya proses produksi teh celup single chamber sehingga perlu dilakukan perbaikan dengan pendekatan lean manufacturing untuk

It was concluded that happiness is a state of the perceived positive individuals based on his/her judgement to their life satisfaction, which marked by positive feelings

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkah, rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Hubungan Kontrol

Apabila pelayanan yang diberikan sesuai dengan keinginan konsumen maka kualitas pelayanan tersebut dapat dikatakan baik.. Apabila jasa yang diterima melebihi

Hasil ini menunjukan hubungan yang signifikan dengan arah korelasi negatif dan interpretasi kuat yang berarti individu yang memiliki kontrol nyeri yang baik akan

dan untuk daerah yang jauh dari sarana pelayanan rujukan, puskesmas.. dilengkapi dengan fasilitas rawat inap (DepKes

Pengamatan keragaan fenotipik kambing yang dipelihara oleh kelompok Cahaya Purnama Desa Tembeling adalah untuk mengetahui tingkat keragaman ternak kambing pada kelompok

When the number L of levels of quantization is high, the optimum partition and the quantization error power can be obtained as a function of the probability density function p X( x