• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesia D 762008003 BAB III

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesia D 762008003 BAB III"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME

Beberapa Pengertian Tentang Agama

Dalam studi ini, pengertian tentang agama yang menjadi titik tolak untuk mengaitkannya dengan negara, terutama diambilkan dari tradisi sosiologi agama, dengan dari para sosiolog, mengecualikan pengertian agama yang ditawarkan Wilfred Cantwel Smith (fenomenologi) dan Ludwig Wittgenstein (filsafat analitika). Emile Durkheim mengatakan bahwa fenomena keberagamaan didasarkan atas dua kategori dasar, belief atau kepercayaan dan ritus.1 Belief, dalam bahasa Durkheim adalah states of opinion and consist of representations. Sementara ritus adalah bentuk partikular dari tindakan.2 Ritus dapat dibedakan dari praktek manusia lainnya, hanya dengan melihat dasar yang khusus dari objek tersebut. Dasar

spesial itulah yang diekspresikan dalam belief . Sehingga, hanya setelah mendefinisikan belief, kita baru dapat mendefinisikan ritus.3

Agama, karenanya lebih dari sekadar gagasan tentang Tuhan dan roh, sehingga agama tidak dapat dibatasi dan didefinisikan semata-mata kaitannya dengan keduanya. Segala hal yang terkait dengan keyakinan dan praktek yang memiliki ketersambungan dengan sesuatu yang sakral itulah yang dalam terminologi Durkheim dikenal sebagai agama. Ada catatan menarik dari Durkheim yang bisa kita cermati. Ia menuturkan bahwa agama berbeda dengan magis.4 Jika magis merupakan upaya individual, sementara agama tidak dapat dipisahkan dari ide komunitas peribadatan atau moral. Dengan kata lain, watak dasar agama, dalam konteks sosiologis adalah keperluan akan institusi sosial untuk melegitimasi kandungan doktrinnya.

1 Emile Durkheim, The Elementary forms of Religious Life (New York: Free Press,

1995), 34.

(2)

Kemudian masuklah kita pada definisi agama dari Durkheim yang sangat familiar itu. Agama, menurut Durkheim adalah unified system of beliefs and practices relative to sacred things, that is to say, things set apart and forbidden-beliefs and practices which unite into one single moral community called a Church, all those who adhere to them .5

Dari tradisi fenomenologi, Wilfred Cantwel Smith menuturkan, dalam diri agama selalu terkandung dua faktor yang berbeda jenis tetapi sama-sama

dinamis yakni tradisi kumulatif yang historis dan iman personal manusia.6 Tradisi kumulatif merupakan keseluruhan massa data objektif terbuka yang merupakan kandungan historis dari kehidupan religius pada masa silam. Contoh yang paling konkret untuk menggambarkan tradisi kumulatif adalah bangunan-bangunan peribadatan, kitab-kitab suci, sistem teologi, pola-pola tari, institusi legal dan sosial lainnya, konvensi, kode moral, mitos dan sebagainnya. Dengan kata lain, tradisi kumulatif merupakan sesuatu yang dapat dan memang dialihkan dari satu orang atau generasi ke orang atau generasi lain serta dapat diamati oleh sejarawan.

Tradisi kumulatif ini tentu saja menjadi aspek yang cukup penting untuk melihat sejauhmana agama dapat berfungsi dalam sebuah masyarakat. Jika tradisi kumulatif merupakan gambaran konkret agama, tidak demikian halnya dengan iman personal. Iman personal sangat terkait erat dengan bagaimana ia mengkonseptualisasikan tentang Yang Transenden. Jika teologi adalah bagian dari tradisi-tradisi, maka iman berada di luar, melampaui teologi yakni dalam hati manusia.

Leonard Swidler dan Paul Mojzes dengan rumusannya yang sederhana, namun sangat filosofis, mengatakan bahwa agama merupakan eksplanasi terhadap makna tertinggi dalam hidup. Biasanya agama mengandung empat

5 Ibid., 44.

6 Wilfred Cantwel Smith, The Meaning and End of Religion, terj. (Bandung: Mizan,

(3)

unsur yakni Creed, Code, Cult dan Community-Structure atau yang lebih dikenal dengan formulasi 4 C.7

Creed merujuk pada aspek kognitif dari agama. Code (of behaviour) atau etika termasuk didalamnya semua aturan dan adat atau prilaku yang merupakan pengejawantahan dari code. Sementara cult adalah upacara sebagai media untuk berkomunikasi dengan creed. Community yakni komunitas yang bersama-sama menjalankan creed, code dan cult.8

Dengan bahasa yang sedikit berbeda, meski ada banyak semangat yang

sama, Meredith B. McGuire dalam Religion: The Social Context mengatakan

bahwa agama mengandung empat aspek.9 Pertama, religious belief. Seperti halnya yang dikatakan Swidler dan Mojzes, aspek ini merupakan aspek kognitif. Dengan kepercayaan, manusia membuat pilihan, menafsirkan setiap kejadian dan merencanakan tindakan.

Kedua, religious ritual. Aspek ini terkait dengan tindakan simbolik yang merepresentasikan makna agama. Ritual merupakan jalan yang efektif untuk mentransformasi tempat dan waktu. Tempat-tempat ritual seperti gunung dan kuil dapat ditransformasi ke dalam lokus kekuasaan dan kekaguman.

Aspek ritual, memang menjadi catatan menarik dalam sebuah agama. Inilah yang mendorong E. Thomas Lawson dan Robert N. McCauley mencoba merumuskan ritual dalam tiga kapasitas.10 Ritual bisa dimaknai, pertama-tama dalam artian ungkapan performatif. Yang kedua, ritual bisa juga diartikan sebagai komunikasi informasi. Dan yang terakhir, ritual dijelaskan sebagai sistem formal.11

Ketiga, religious experience. Menurut McGuire, aspek ini merupakan ekspresi dari semua keterlibatan subjektif dari individu dengan yang

7 Leonard Swidler dan Paul Mojzes, The Study of Religion in an Age of Global Dialogue

(Philadelpia: Temple University Press, 2000), 7.

8 Ibid., 7-8.

9 Meredith B. McGuire, Religion: The Social Context (California: Wadsworth, 1992),

16.

10 E. Thomas Lawson dan Robert N. McCauley, Rethinking Religion: Connecting

Cognition and Culture (Cambridge University Press, 1990), 45-59.

(4)

sakral.12 Meskipun pengalaman secara esensial bersifat privat, manusia mencoba untuk mengkomunikasikannya melalui ekspresi keyakinan dan dalam ritual. Ritual komunal menjadi seting bagi pengalaman keagamaan personal. Sholat, meditasi, bernyanyi dan menari adalah seting bersama bagi pengalaman keagamaan personal.

Keempat, religious community. Pengalaman keagamaan termasuk didalamnya adalah kesadaran memiliki kelompok keagamaan. Ritual selalu mengingatkan individu terhadap kepemilikan akan hal ini, menambah intensitas terhadap kebersamaan.13 Nilai dari definisi, klasifikasi dan konseptualisasi sosial mengenai agama, termasuk yang menyangkut komunitas, bisa dilihat dalam keberhasilannya menteoritisasikan dan menjelaskan fenomena sosial.14

Roland Robertson membuat dua pembedaan dalam menerangkan definisi sosiologis mengenai agama, definisi nominal dan riil (nominal definition and real definition).15 Definisi nominal menjadi menarik, karena dapat dicoba ke dalam suatu bagan konseptual, kurang lebih dengan mengabaikan permasalahan empiris tertentu. Sementara definisi riil digunakan dalam jalan yang sangat berbeda yakni dalam pernyataan tentang dunia yang empiris.

Pembedaan secara sosiologis model lain digunakan Robertson untuk melihat agama, yakni functional dan substantive definition. Bentuk ini, meski berbeda dengan kategori nominal dan riil, tetapi memiliki ketersambungan makna. Menurut Robertson, definisi fungsional pada prakteknya mengarah pada definisi nominal, sedangkan definisi substantif cenderung menjadi definisi riil.

Definisi fungsional mengenai agama, diajukan sebagai kriteria untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasi sebuah fungsi dimana fenomena itu

12 Meredith B. McGuire, Religion. . ., 18. 13 Ibid., 20.

14 Roland Robertson, The Sociological Interpretation of Religion (Oxford: Basil

Blackwell: 1972), 36.

(5)

digambarkan.16 Dalam konteks tertentu, definisi fungsional dapat berjalan beriringan dengan fungsi substantifnya. Karenanya, keduanya tidak harus dilihat sebagai dua arus terpisah.

Contohnya bisa dilihat dalam penjelasan mengenai komunisme. Komunisme bisa diidentiifikasi sebagai agama karena dapat memenuhi semua fungsi agama.17 Atau dalam pengertian yang lebih ringan, komunisme memiliki fungsi yang ekuivalen dengan agama. Dengan term ini berarti komunisme menggambarkan fungsi serupa yang secara konvensional dan intuitif dimengerti sebagai agama dalam masyarakat non komunis. Tesis fungsional-ekuivalen itu penting karena mengkombinasikan elemen substantif dan fungsional. Itu berarti, komunisme secara fungsional, ekuivalen dengan agama, sebagai pendefinisian secara substantif.18

Berbeda halnya dengan Robertson dan McGuire, George A. Lindbeck memaknai agama sebagai sistem cultural-linguistic.19 Agama, kata Lindbeck, bisa dilihat sebagai kerangka kultural dan linguistik atau medium yang membentuk seluruh kehidupan dan pemikiran.20

Seperti halnya budaya atau bahasa, agama juga merupakan fenomena komunal yang membentuk subjektifitas individual bahkan terutama merupakan manifestasi dari subjektifitas tersebut.21 Bahasa berhubungan dengan form of life, dan budaya memiliki dimensi kognitif dan perilaku, demikian pula halnya dengan tradisi agama. Doktrin, mitos dan cerita kosmis, petunjuk etis, secara integral dihubungkan dengan praktek ritual, sentimen atau pengalaman menumbuhkannya, tindakan yang merekomendasikan, dan institusi yang mengembangkan.22

16 Ibid. 17 Ibid., 38. 18 Ibid., 39.

19 George A. Lindbeck, The Nature of Doctrine: Religion and Theology in a Postliberal

Age (Philadelphia: The Westminster Press, 1984), 33.

(6)

Kata Lindbeck, agama, yang terutama adalah external word atau verbum externum, yang mencetak dan membentuk diri dan dunianya, lebih dari ekspresi atau tematisasi dari diri yang ada sebelumnya atau pengalaman yang sudah terkonsep.23 Meski Lindbeck menekankan pada aspek verbum externum, tetapi verbum internum (dalam Kekristenan biasa dikenal dengan

Roh Kudus atau (oly Spirit juga penting diperhatikan. Tetapi verbum internum hanya dapat dipahami dalam model penggunaan teologis sebagai kapasitas untuk mendengar dan menerima agama yang benar, bisikan luar, lebih dari pengalaman bersama yang diartikulasikan secara berbeda dalam berbagai agama.24

Tentang bahasa, Ludwig Wittgenstein, seorang filosof analitis dari Austria melihat bahwasanya bahasa ilmiah tidak mungkin bisa merangkum realitas yang terhampar di alam raya. Keterbatasan bahasa ini pulalah yang kemudian berimbas pada pemahaman metapor bahasa agama. Karena baginya, agama tidak lahir dalam kondisi yang sama serta dengan struktur pengetahuan yang mapan.25

Karenanya ia mengajukan satu metode yang cukup apik saat manusia

berhadapan dengan kompleksitas bahasa agama, yakni the language game . Dalam pengertian ini, manusia memperlakukan bahasa bagaikan dalam sebuah permainan, seperti halnya bermain catur atau sepak bola.

Meskipun sifatnya permainan, tetapi di sana terdapat karakter atau rule of the game yang harus ditaati. Pertama, berbahasa, seperti halnya permainan, selalu bersifat publik. Artinya, bahasa dan permainan selalu tumbuh bersama dan di tengah masyarakat. Kedua, sebuah permainan memiliki aturan yang disepakati oleh pemain, penonton dan wasit. Ketiga, ada tujuan yang hendak diraihnya. Keempat, berbahasa memiliki keasyikan tersendiri, sehingga lebih nyaman berbicara daripada tutup mulut. Jadi

23 Ibid., 34. 24 Ibid.

25 Walter H. Capps, Religious Studies: The Making of a Discipline (Minneapolis:

(7)

berbahasa selalu bersifat sosial, spontan memiliki aturan dan bertujuan. Seseorang tidak bisa berbicara sekehendak hatinya tanpa melalui kesepakatan sosial.26

Permainan bahasa ala Wittgenstein inilah yang patut diperhatikan dalam operasionalisasi bahasa agama. Meski memiliki kompleksitas tinggi, tetapi ada rambu-rambu yang perlu diperhatikan dalam memahami bahasa agama.27 Oleh karenanya, makna terdalam dari sebuah bahasa tidak bisa diukur dengan menggunakan standar gramatika yang baku, tetapi juga melibatkan aspek psikologis, sistem nilai yang dianut, serta imajinasi yang melatarbelakangi munculnya sebuah ungkapan atau tulisan.

Sebagai rujukan teoritis yang terakhir, penulis mengajukan argumentasi J. Milton Yinger. Penegasannya tentang hal ini akan sangat membantu kita memahami bagaimana agama dan kepercayaan dibedakan sekaligus disepadankan. Kala berhadapan dengan kepercayaan individual, Yinger

mengajukan pertanyaan mendasar are individual system of belief to be called religion ?28

Bagi Yinger, agama yang sempurna bagaimanapun harus berupa fenomena sosial.29 Agama harus bisa diidentifikasi sebagai kenyataan penting bahwa keyakinan yang ada didalamnya juga memiliki dampak pada asosiasi

26 Kebenaran dalam sebuah bahasa agama akan bisa dilihat dengan tiga optik.

Pertama, apa yang dalam filsafat bahasa disebut sebagai teori ideational. Kebenaran bahasa dalam pandangan teori ini akan ditemukan bukan berada dalam dirinya, tetapi ada dalam makna yang esensial dan berada secara otonom dalam bentuk ide. Kedua, cara lain untuk mengetahui kebenaran bahasa agama adalah dengan menggunakan teori referential. Kebenaran dalam pandangan teori ini terletak pada ketepatan relasi antara proposisi dan objek yang ditunjuk dengan dukungan kekuatan penalaran logis (the power of logical thinking). Sementara yang ketiga, kebenaran akan bisa ditangkap melalui teori behavioral. Kebenaran bahasa agama akan sangat ditentukan oleh pesan yang dikehendaki oleh pembicara dalam rangka mempengaruhi perilaku pendengar atau pembicara. Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan (Bandung: Teraju, 2003), 28-29 dan 66.

27Tedi Kholiludin, Kompleksitas Bahasa Agama , Koran Tempo, 23 September 2007.

28 J. Milton Yinger, The Scientific Study of Religion (New York: Macmillan Publishing,

1970), 10.

(8)

manusia. Bahkan, kematian sekalipun, kata Yinger secara fundamental bukanlah termasuk krisis individu, melainkan krisis kelompok.30

Dalam pandangan Joachim Wach, semua agama, dengan berbagai variasi yang dimilikinya, memiliki tiga ekspresi umum. Secara teoritis agama merupakan sistem kepercayaan. Secara praktis, agama adalah sistem ibadah. Dan secara sosiologis, agama tak lain dari sistem hubungan masyarakat.31

Sebelum tiga aspek tersebut dipenuhi, maka seseorang mungkin hanya bisa dikatakan baru sebatas memiliki tendensi keagamaan atau

melaksanakan satu elemen keagamaan saja, tetapi bukan full religion .32 Meskipun sistem kepercayaan merupakan jantung dari agama, petunjuk etnologis dan etimologis memberi kesan bahwa agama sebagai penyembahan dan sistem hubungan sosial adalah aspek yang paling dasar.33 Belief datang kemudian yang mencoba memberi koherensi dan makna terhadap penyembahan dan asosiasi.

Agama Sebagai Fenomena Sosial:

Konsepsi Marx, Weber dan Durkheim

Dalam pergumulan ilmu-ilmu sosial, bahasan agama dihubungkan dengan fenomena lain seperti struktur, ekonomi dan solidaritas sosial. Relasi antara agama dengan institusi sosial lainnya itulah yang memunculkan berbagai hipotesis tentang pengaruh diantara elemen-elemen tersebut. Karl Marx, Max Weber dan Emile Durkheim adalah tiga orang yang cukup memiliki peran dalam bahasan ini.

Pokok yang menjadi bahasan sosiologi Marx salah satunya adalah soal alienasi. Dalam Economic and Philosophic Manuscripts of 1844 , Marx menunjukkan bentuk keterasingan manusia yang disebabkan oleh pekerjaan (baca: ekonomi politik). Melalui tulisannya itu, Marx mengatakan kalau

30 Ibid.

31 Joachim Wach, Sociology of Religion (The University of Chicago Press, 1958), 17-34 32 J. Milton Yinger, The Scientific Study. . .

(9)

pekerjaan pada gilirannya menjadi komoditas, bahkan menjadi komoditas yang paling menyusahkan; penderitaan pekerja itu bertambah buruk bersamaan dengan bertambahnya kekuasaan dan jumlah produksinya. Hasil dari persaingan adalah terkumpulnya modal pada segelintir orang, dan mapannya monopoli dalam bentuknya yang lebih buruk. Pada akhirnya perbedaan antara pemilik modal dan tuan tanah, dan antara buruh pertanian dan pekerja industri pasti akan terlihat dan keseluruhan masyarakat terbagi menjadi dua kelas, yakni pemilik yang kaya (property-owners) dan pekerja yang miskin (propertyless-workers).34

Bahasan tentang ekonomi menjadi sentrum dari pemikiran Marx. Dalam The German Ideology , Marx merumuskan premis dasar bahwa bidang ekonomi menentukan bidang politik dan pemikiran manusia, bahwa bidang ekonomi ditentukan oleh pertentangan antara kelas pekerja dan kelas-kelas pemilik, bahwa pertentangan itu dipertajam oleh kemajuan teknik produksi, dan bahwa pertentangan itu akhirnya meledak dalam sebuah revolusi yang mengubah struktur kekuasaan di bidang ekonomi serta mengubah struktur kenegaraan dan gaya manusia berpikir.35

Saat seorang buruh melakukan pekerjaan, Marx melihat kalau sang buruh itu jatuh lebih miskin dari apa yang ia hasilkan dan meningkatnya daya serta jangkauan barang tersebut.36 Barang yang dihasilkan pekerja merangkak jauh lebih mahal daripada dirinya. Peningkatan devaluasi kemanusiaan di satu sisi, dibarengi dengan meningkatnya nilai barang di sisi yang lain. Kata Marx, labor produce not only commodities; it produces itself and the worker as a commodity.37

Pada gilirannya, tindakan itu mengimplikasikan bahwa objek yang diproduksi buruh kini bertentangan dengan buruh itu sendiri; objek itu

34 Robert C. Tucker (ed), The Marx-Engels Reader (London, New York: Norton

Company, 1978), 70.

(10)

menjadi makhluk asing dan kekuatan yang bebas dari pembuatnya.38 Apa yang dihasilkan buruh adalah dirinya sendiri yang telah diwujudkan dalam bentuk objek dan kemudian berubah menjadi benda fisik; produk ini merupakan objektifikasi (objectification) buruh.39 Tindakan kerja pada saat yang sama, tidak lebih dari objektifikasinya. Tindakan kerja, oleh ekonomi politik dilihat sebagai pelemahan kerja, objektifikasi sebagai penghilangan dan sebagai perbudakan pada objek, dan apropriasi sebagai alienasi.40

Tindakan kerja benar-benar terlihat sebagai pelemahan, yakni ketika pekerja dilemahkan hingga menderita kelaparan. Objektifikasi terlihat sebagai penghilangan objek, yakni pekerja dicabut, bukan hanya dari esensi kehidupan, tetapi juga dari esensi pekerjaannya. Konsekuensi itu muncul dari fakta bahwa pekerja berhubungan dengan hasil kerjanya sebagaimana dengan objek yang asing. Semakin jelaslah bahwa semakin pekerja mengembangkan dirinya dalam kerja, semakin kuat objek yang diciptakannya yang berada dihadapannya, maka semakin miskinlah kehidupan batiniahnya dan semakin dia tidak menjadi dirinya sendiri. Hal yang sama sebenarnya juga berlaku pada agama. Semakin manusia mensifati dirinya dengan Tuhan, dia tidak mempunyai kehidupan dalam dirinya.41 Pekerjaan menyerahkan hidupnya pada objek, kemudian kehidupannya tidak lagi menjadi dirinya, tetapi milik objek.

Kritik Marx terhadap agama (selain sebagai alienasi) bisa dilihat saat ia menjelaskan soal kesadaran (manusia). Manusia adalah produsen ide, konsepsi dan lainnya. Cara memahami manusia bukanlah berbicara dari apa yang dikatakan, dimimpikan dan dipahami manusia, juga tidak berbicara dari apa yang ternarasikan, terpikirkan, terbayangkan dan terpahami manusia. Untuk sampai pada manusia, maka penting untuk melihat manusia nyata yang aktif dari kehidupan faktualnya.

38 Ibid. 39 Ibid.

(11)

Apa yang ada dalam pikiran manusia sebenarnya juga tak lain dari sublimasi dari proses kehidupan manusia, yang secara empiris dapat diverifikasi dan terikat dengan premis-premis material. Moralitas, agama, metafisika, semua ideologi dan bentuk kesadaran yang terikat, makanya tidak mempertahankan kemiripan independensinya. Kesemuanya itu tidak memiliki sejarah, perkembangan, tetapi manusialah yang mengembangkan produksi dan hubungan materialnya, mengubah, sepanjang eksistensi nyatanya, pemikiran dan produk-produk berpikirnya.

Makna kehidupan yang paling hakiki diuraikan dalam satu frase yang

cukup menarik bahwa, (idup tidak ditentukan oleh kesadaran, tetapi kesadaran ditentukan oleh hidup Life is not determined by consciousness, but consciousness by life). Dalam pendekatan pertama, titik awalnya adalah kesadaran yang dimiliki oleh individu-individu yang hidup, sedangkan dalam pendekatan yang kedua, titik awalnya adalah individu-individu itu sendiri yang hidup secara nyata, karena mereka berada dalam kehidupan aktual, sedangkan kesadaran dengan sendirinya semata-mata dianggap sebagai kesadaran mereka.

Pendekatan yang pertama, dengan menjadikan kesadaran sebagai titik awal, bagi Marx sama sekali tidak bisa dijadikan premis. Pendekatan hanya bisa dimulai dari premis nyata. Premis-premisnya adalah manusia, bukan isolasi fantastik atau definisi abstrak, yang berada dalam proses perkembangan yang aktual yang bisa dipahami secara empiris di bawah kondisi-kondisi tertentu. Inilah filosofi dari gagasan pokok materialisme Marx. Ia kemudian melanjutkan bahwa segera setelah proses kehidupan yang aktif ini dideskripsikan, sejarah tidak lagi menjadi sekadar koleksi fakta-fakta beku karena sejarah berada di tangan para empiris (tetapi mereka sendiri masih abstrak), atau menjadi sebuah aktivitas imajiner dari subjek-subjek yang imajiner juga ketika sejarah berada di tangan idealis.

(12)

kritik.42 Landasan kritisisme irreligious adalah; manusia menciptakan agama, bukan agama yang menciptakan manusia.43 Marx konsisten dengan argumentasinya bahwa manusia adalah penggerak sejarah, termasuk dalam kaitannya dengan agama. Menurut Marx, agama adalah sebentuk kesadaran diri (self consciousness) dan harga diri (self esteem) manusia yang belum menemukan dirinya sendiri atau sudah kehilangan dirinya sendiri.44 Hanya saja perlu dimengerti bahwa manusia menginjakkan kakinya di bumi, dalam sebuah edaran sejarah. Manusia adalah dunia umat manusia; negara, masyarakat (state, society). Ia berada diantara masyarakat. Masyarakat itulah yang menghasilkan agama yang oleh Marx dianggap sebagai kesadaran dunia yang terbalik dimana agama merupakan teori umum tentang dunia tersebut.

Marx kemudian menuturkan bahwa agama merupakan realisasi esensi manusia (human essence) yang penuh khayalan (fantasi) karena inti manusia itu belum memiliki realitas yang nyata.45 Bagi Andrew McKinnon, pernyataan ini merupakan gambaran agama seperti yang diungkapkan oleh Ludwig Feurbach.46 Maka, perjuangan melawan agama secara tidak langsung adalah perjuangan melawan sebuah dunia yang aroma spiritualnya adalah agama tersebut.

Lalu Marx mengatakan,

Religious suffering is, at one and the same time, the expression of real suffering and a protest against real suffering. Religion is the sigh of the oppressed creature, the heart of a heartless world, and the soul of soulless conditions. It is the opium of the people.

The abolition of religion as the illusory happiness of the people is the demand for their real happiness. To call on them

42 Ibid., 53. 43 Ibid. 44 Ibid. 45 Ibid.

46 Andrew McKinnon, Opium as Dialectics of Religion: Metaphor, Expression and

Protest , dalam Warren S. Goldstein ed , Marx, Critical Theory and Religion: A Critique of

(13)

to give up their illusions about their condition is to call on them to give up a condition that requires illusions.47

Agama sebagai opium kerapkali dijadikan sebagai standar untuk

menggambarkan pikiran Marx soal agama. Daniel L. Pas tidak terlalu mementingkan apakah Marx tahu kegunaan opium pada masanya itu atau tidak.48 Yang pasti, Marx tahu bahwa opium adalah narkotik dan halusinogenik yang dapat meringankan rasa sakit dan menciptakan fantasi-fantasi. Disitulah makna agama yang dapat meringankan beban bagi mereka yang membutuhkan, terutama orang-orang miskin. Berangkat dari kenyataan seperti itu, Marx memberi solusi dengan mengamini tawaran Ludwig Feurbach. Dalam Theses on Feurbach, Marx mengatakan the philosophers have only interpreted the world, in various ways; the pint, however, is to change it.49

Meski menyetujui komentar Feurbach soal upaya merubah dunia (tidak hanya menafsirkan), namun Marx mengkritik pendapat Feurbach soal agama. Marx menilai gagasan Feurbach tentang esensi agama itu sebagai suatu yang abstrak. Dalam Theses of Feurbach, Marx menuturkan kalau Feurbach melebur hakekat keagamaan ke dalam hakekat kemanusiaan. Tetapi hakekat kemanusiaan bukanlah abstraksi yang terdapat pada satu-satu individu. Dalam kenyataannya, ia adalah keseluruhan dari hubungan-hubungan sosial.50

Berbeda dengan Feurbach yang menekankan pada abstraknya esensi manusia, Marx bergerak pada ranah yang lebih konkrit. Dengan memperluas

makna ekspresi , Marx menggarisbawahi pentingnya dimensi sosial dengan mengatakan bahwa agama adalah semangat dari mereka yang tak memiliki

47 Ibid.

48 Daniel L. Pas, Eight Theories of Religion (New York: Oxford University Press,

2006), 135.

(14)

semangat dan hati dari situasi sosial yang tak berhati, dimana agama merupakan keluhan dan saksi terhadap penindasan.51

Melihat pengertian Marx tentang agama di atas, kita akan mendapati tiga kata penting, yakni ekspresi (expression), protes (protest) dan opium. Kata opium sebagaimana digambarkan oleh Marx, kata McKinnon memiliki pengertian yang merupakan dialectical culmination of movement dari ekspresi dan protes.52 Kata McKinnon, pembaca tradisional terhadap Marx kerapkali mengabaikan konteks dan dialektika dari gerakan ekspresi dan protes ini, dimana opium menjadi penanda yang membawa keduanya dalam satu momen.53 Opium, dalam kalimat tersebut merupakan sebuah metafora dimana Marx menggunakannya dalam konteks yang khusus dan mendorong kita untuk melihatnya secara dialektis: opium/agama merupakan ekspresi dan protes.

Terlepas dari perdebatan tentang opium, yang jelas pengertian Marx tentang agama telah bergerak dari percaturan teologi dan menjadikannya sebagai problem ekonomi dan politik. Selain itu, Marx menempatkan agama lebih konkret daripada Feurbach, dengan mengalamatkannya pada negara dan masyarakat, bukan esensi manusia. Kaitannya dengan persoalan ekonomi, Marx menunjukkan paralelitasnya dengan agama. Keduanya ditandai oleh alienasi.54 Walaupun demikian, Marx juga menyoroti hubungan antara kehidupan material dan spiritual yang saling mempengaruhi. Kehidupan di bidang ekonomi akan merubah kehidupan spiritual.55 Pada akhir abad pertengahan memang kita menyaksikan hadirnya kapitalisme dan pergeseran dari Katolikisme ke Protestantisme. Hanya saja pertanyaannya kemudian, apakah faktor ekonomi menjadi satu-satunya agen perubahan tersebut? Atau bisa jadi yang ada dalam kenyataan adalah hal sebaliknya,

51Andrew McKinnon, Opium as Dialectics of Religion. . ., .

52 Ibid.

53 Tentang konteks historis fungsi dan kegunaan opium pada abad 19, lihat Ibid.,

12-17.

(15)

dimana nilai agama yang merubah kehidupan ekonomi? Pertanyaan terakhir ini menggiring kita pada pemikiran tokoh Jerman yang lahir dua dasawarsa setelah kematian Marx yakni, Max Weber.

Fokus utama dari tulisan-tulisan Max Weber dalam wilayah agama, dibentangkan hingga masalah organisasi dan proses ekonomi, sistem politik organisasi formal, dan hukum. Ketika dia berbicara tentang agama, Weber tidak menuturkan agama as such seperti halnya para teolog atau sejarawan gereja mengupasnya, tetapi hubungan antara ide-ide keagamaan dan komitmen serta aspek lain dari kehidupan manusia terutama karakteristik manusia dalam sebuah masyarakat. Konsentrasi Weber adalah mengkhususkan diri pada apa yang disebut sebagai sosiologi agama. Weber menampilkan fase baru dalam memahami hubungan antara aspek keagamaan dan aspek lain dari perilaku manusia.

Soal mendefinisikan agama, bisa dikatakan bahwa Weber adalah orang yang gagal melakukannya. Setidak-tidaknya sebuah catatan sistematika tentang apa yang akan dilakukan untuk sampai pada pembuatan definisi agama, Weber tidak berhasil memformulasikan hal tersebut. Weber mengatakan, mendefinisikan agama, mengatakan apa itu agama, tidaklah mungkin dimulai dari awal penyajian. Definisi dapat dilakukan hanya pada kesimpulan dari kajian ini. Esensi sebuah agama bukanlah perhatian kami, tugas kami adalah mempelajari kondisi-kondisi dan pengaruh jenis tertentu dari perilaku sosial, kata Weber.56

Dengan begitu, maka secara apa adanya, Weber mengatakan bahwa perilaku sosial yang dibahasnya dalam sosiologi agamanya akan dimasukkan dengan istilah agama. Karenanya, kita juga harus menerima pandangan implisitnya tentang Budhisme, Islam, Judaisme dan Kristen yang semuanya adalah agama. Menurut Weber dimensi eksternal dari perilaku keagamaan itu berbeda-beda dan bahwa pemahaman terhadap perilaku ini hanya dapat dicapai dari sudut pandang pengalaman-pengalaman subjektif, ide dan

56 Guenter Roth and Claus Wittich (ed), Max Weber: Economy and Society, vol.I (Los

(16)

maksud-maksud dari individu yang berkaitan –atau singkatnya, dari sudut

pandang makna perilaku keberagamaan.57 Bentuk yang paling dasar dari perilaku manusia, termotivasi oleh faktor agama atau magis berorientasi ke dunia ini.58 Bagi Weber, baik tindakan maupun pikiran tentang agama ataupun magis tidak bisa dipisahkan dari maksud tertentu, terutama karena dari awal bahkan hingga akhir tindakan agama atau magis didominasi persoalan ekonomi.59

Berbeda halnya dengan Marx yang menyebut ekonomi berperan dalam mengubah superstruktur termasuk di dalamnya agama, Weber justru berpendapat sebaliknya. Weber menjabarkan Etika Protestan serta relasinya dengan semangat kapitalisme.60 Weber menunjukkan bahwa perkembangan di bidang ekonomi, terutama dengan munculnya semangat kapitalisme modern di dunia barat, telah dipandang sebagai sesuatu yang tidak berdiri sendiri.61 Kapitalisme modern di dunia barat, menurut Weber timbul sebagai akumulasi dari kekuatan sosial, politik dan ekonomi serta agama yang berakar jauh di dalam sejarah Eropa.

Kapitalisme, sebagai suatu sistem perekonomian, yang terletak pada suatu organisasi dari para penerima upah bebas secara legal, dengan suatu tujuan untuk mendapatkan keuntungan uang, dari para pemilik modal dan agen-agennya, dan membuat tanda-tanda dalam setiap aspek masyarakat, merupakan suatu fenomena modern.

Weber menunjukan salah satu elemen fundamental dari spirit kapitalisme modern dan seluruh budaya modern adalah tindakan rasional yang didasarkan pada panggilan (calling) yang lahir dari semangat asekese Kristen.62 Weber disini menyebut soal calling (panggilan). Gejolak reformasi telah berhasil memisahkan dualisme moral yang berlaku universal dan

57 Ibid. 58 Ibid. 59 Ibid., 400.

60 Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (New York: Charles

Scribner’s Sons, 9 .

(17)

kepatuhan yang sangat keras.63 Calvin berusaha menghindari kesulitan bagaimana memahami manusia dan anugerah Tuhan. Calvinisme mengutuk kenikmatan, tetapi tidak mengijinkan pelarian dari keduniaan dan menganggap bekerja dengan orang-orang lain dibawah sebuah disiplin rasional sebagai kewajiban religius seseorang.64 Bagi kaum Calvinis, suatu panggilan bukanlah suatu kondisi sejak manusia dilahirkan, tetapi merupakan usaha manusia yang sangat sulit dan berat yang telah dipilih oleh manusia sendiri dan yang telah dicari lewat rasa tanggungjawabnya.

Disinilah kemudian Weber menyebut kata vokasi atau vocation.65 Vokasi bisa bermakna bahwa bekerja bukanlah semata-mata sarana atau alat ekonomi, tetapi ibadah.66

Di bagian awal buku The Protestant Ethic, Weber menunjukkan gejala kapitalisme dengan membandingkan antara tradisi Katolik dan Protestan. Dengan melihat data statistik di negara Eropa, Weber mengatakan bahwa keanekaragaman pemeluk agama di Jerman, mendorong media massa dan literatur Katolik serta diskusi-diskusi di kongres Katolik di Jerman untuk menghadapi kenyataan bahwa para pemimpin bisnis dan pemilik modal maupun para karyawan perusahaan yang memiliki kemampuan tinggi ataupun staf terdidik, baik secara teknis maupun komersil ternyata kebanyakan adalah orang Protestan.67

Disitu terlihat partisipasi relatif yang lebih besar dari orang-orang Protestan dalam hal kepemilikan modal, manajemen dan dalam tingkat pekerjaan karyawan yang lebih tinggi pada industri-industri modern dan perusahaan-perusahaan komersial yang besar mungkin sebagian bisa dijelaskan dalam aspek kondisi-kondisi historis, yakni satu aspek yang

63 Stanislav Andreski, Max Weber on Capitalism, Bureaucracy and Religion, terj.

Hartono, Max Weber: Kapitalisme, Birokrasi dan Agama (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989), 129.

64 Ibid., 130.

65 Ibid. Lihat pada bagian politics as vocation dan science as vocation. H.H. Gerth dan

Charles Wright Mills, From Max Weber: Essays in Sociology (New York: Oxford University Press, 1946), 77-128.

66 Ibid.

(18)

menarik perhatian kita ke masa silam dan pada saat ketika aliansi agama bukanlah sebab dari kondisi perekonomian, namun pada saat tertentu nampak seperti akibat dari kondisi-kondisi itu. Partisipasi dalam fungsi-fungsi perekonomian seperti tersebut di atas biasanya melibatkan beberapa kepemilikan modal sebelumnya dan pada umumnya melibatkan juga biaya pendidikan yang mahal dan seringkali pula melibatkan keduanya sekaligus. Beberapa bagian dari Kekaisaran tua yang dalam bidang ekonomi tumbuh paling pesat dan didukung oleh sumber-sumber alam dan situasi, khususnya mayoritas di kota-kota kaya mengenal Protestantisme pada abad 16. Situasi inilah yang mendorong orang Protestan bahkan sampai sekarang, dalam perjuangan mereka untuk memperoleh kehidupan ekonomi yang lebih baik.

Dengan menyandarkan pada uraian Martin Offenbacher, Weber membuat kesimpulan tentang perbedaan-perbedaan yang ada dalam tradisi Katolik dan Protestan itu kaitannya dengan dunia ekonomi. Orang-orang Katolik biasanya lebih tenang, mempunyai keinginan yang lebih kecil untuk memperoleh sesuatu; mereka lebih menyukai kehidupan dengan kenyamanan yang terjamin walau hanya dengan mendapat penghasilan yang lebih kecil daripada memilih kehidupan yang dipenuhi risiko dan kesenangan walau jenis pekerjaan itu memberi banyak kesempatan untuk mendapatkan kehormatan dan kekayaan. 68Jika dihadapkan pada pilihan makan enak atau

tidur nyenyak eat well or sleep well), maka kata Weber, Protestant prefers to eat well, the Catholic to sleep undisturbed.69

Proses rasionalisasi hadir dari cita-cita kapitalisme dan karenanya agama yang ajaran-ajarannya teratur dan tersusun rapi juga berusaha untuk melembagakan sistem kepercayaan juga sistem nilai yang lain, termasuk bidang ekonomi, untuk memberikan rasa puas dan aman kepada para pemeluknya.70 Agama adalah merupakan penjelasan rasional sekaligus

68 Ibid., 40-41. 69 Ibid., 41.

70 Ajat Sudrajat, Etika Protestan dan Kapitalisme Barat Relevansinya dengan Islam

(19)

mengatur nilai-nilai serta kepercayaan teologis. Diantara bangunan kepercayaan inilah dibangun pemikiran-pemikiran rasional.

Dari sini dapat dimengerti bahwa proses rasionalisasi yang disebut Weber juga berasal dari agama itu sendiri, disamping perkembangan daya nalar manusia yang dengan cepat dapat mengikuti proses tersebut. Daya nalar itu baik dalam arti formal sehubungan dengan konsistensinya (kemantapan dalam bertindak) dan sifat sistematikanya maupuan dalam arti substansi (kokoh) dalam menyisihkan hal-hal yang tidak rasional dan mengandung fantasi atau mitos. Lepas dari berbagai kritik yang muncul terhadap tesisnya, Weber menunjukan bahwa dalam sistem ekonomi tersebut terlihat perkembangan teologi rasional.71 Perkembangan ini nampak dalam masyarakat Barat. Dengan demikian, menurut Weber, ciri dari kegiatan perekonomian yang bersifat kapitalistis adalah rasionalitas yang didasarkan kepada perhitungan-perhitungan yang cermat yang disusun secara sistematis dan sederhana berdasarkan situasi ekonomi yang diharapkan.

Diantara para sosiolog (agama), Emile Durkheim adalah pemikir yang mencoba melakukan analisis terhadap hubungan antara agama dengan struktur sosial. Pandangan Durkheim tentang agama terpusat pada klaimnya bahwa ide tentang masyarakat menjadi jiwa dari agama.72 Sumber agama adalah masyarakat itu sendiri yang akan menilai sesuatu itu bersifat sacral atau profan. Durkheim menemukan karakteristik paling mendasar dari setiap kepercayaan agama bukanlah terletak pada elemen-elemen supernatural , melainkan terletak pada konsep tentang yang sakral atau the sacred, dimana keduanya yaitu supernatural dan yang sakral, memiliki perbedaan yang mendasar.

71 Richard L. Means, Weber's Thesis of the Protestant Ethic: The Ambiguities of

Received Doctrine , The Journal of Religion, Vol. 45, No. 1. (Jan., 1965), 1-11 dan Bryan S. Turner, Islam, Capitalism and the Weber Theses , The British Journal of Sociology, Vol. 25, No. 2. (Jun., 1974), 230-243.

(20)

Kesimpulan demikian ia tandaskan dalam magnum opusnya, The Elementary Forms of Religious Life.73 Sesuai dengan judul bukunya, apa yang ditawarkan oleh Durkheim dalam karya tebal itu antara lain tentang bentuk dasar dari agama. Atau Durkheim dalam karya tersebut, hendak melihat tentang struktur dasar dari kepercayaan yang kemudian membentuk apa yang kita sebut sebagai agama. Terkait dengan masyarakat, agama kata Durkheim, sebagaimana dikutip Swidler dan Mojzes, telah melahirkan banyak sesuatu yang esensial dalam masyarakat.74 Kita dapat memantapkan fakta bahwa kategori-kategori fundamental dari pemikiran dan konsekuensi pengatahuan adalah asal-usul agama. Dalam perkembangannya, banyak institusi sosial yang besar, lahir dalam agama.75

Agama dalam bahasan Durkheim tidak bisa dilepaskan dari tema moral dan masyarakat, baik fungsi maupun hakikatnya.76 Dalam masyarakat, terkandung apa yang disebut solidaritas yang merupakan domain sosiologi.77 Solidaritas merupakan fakta sosial yang hanya bisa diketahui melalui efek sosialnya. Menurut Durkheim, di antara semua unsur peradaban ilmu pengetahuan adalah satu-satunya untuk menganggap, dalam kondisi tertentu, sebuah karakter moral.78 Akibatnya, karena peradaban terdiri dari apa-apa yang menampilkan ini kriteria moralitas, secara moral netral. Sehingga jika peran pembagian kerja yang semata-mata untuk membuat peradaban mungkin, akan membangun netralitas moral yang sama.79

Berkaitan dengan perkembangan masyarakat, Durkheim melihat bahwa masyarakat berkembang dari masyarakat sederhana menuju masyarakat modern. Salah satu komponen utama masyarakat yang menjadi pusat

73 Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life, (New York: The Free

Press, 1995).

74 Leonard Swidler dan Paul Mojzes, The Study of Religion in an Age of Global

Dialogue (Philadelphia: Temple University Press, 2000), 1.

75 Ibid.

76 Emile Durkheim, The Division of Labor in Society (New York: The Free Press,

1984).

(21)

perhatian Durkheim dalam memperhatikan perkembangan masyarakat adalah bentuk solidaritas sosialnya. Masyarakat sederhana memiliki bentuk solidaritas sosial yang berbeda dengan bentuk solidaritas sosial pada masyarakat modern. Masyarakat sederhana mengembangkan bentuk solidaritas sosial mekanik, sedangkan masyarakat modern mengembangkan bentuk solidaritas sosial organik.

Pada saat solidaritas mekanik (Durkheim juga menyebutnya solidarity by similarities) memainkan peranannya, kepribadian tiap individu boleh dikatakan lenyap, karena ia bukanlah diri indvidu lagi, melainkan hanya sekadar mahluk kolektif. Masing-masing individu diserap dalam kepribadian kolektif. Durkheim berpendapat bahwa masyarakat-masyarakat tradisional

bersifat mekanis dan dipersatukan oleh kenyataan bahwa setiap orang lebih kurang sama, dan karenanya mempunyai banyak kesamaan di antara sesamanya.

Hal inilah yang diungkapkan oleh hukum bersifat represif (menekan).80 Pelanggaran yang dilakukan individu menimbulkan reaksi terhadap kesadaran kolektif, terdapat suatu penolakkan karena tidak searah dengan tindakan kolektif. Tindakan ini dapat digambarkan, misalnya tindakan yang secara langsung mengungkapkan ketidaksamaan yang menyolok dengan orang yang melakukannya dengan tipe kolektif, atau tindakan-tindakan itu melanggar organ hati nurani umum. Durkheim mengatakan, its real function is to maintain inviolate the cohesion of society by sustaining the common consciousness in all its vigour.81

Sementara, solidaritas organik berasal dari semakin terdiferensiasi dan kompleksitas dalam pembagian kerja (division of labor) yang menyertai perkembangan sosial. Durkheim merumuskan gejala pembagian kerja sebagai manifestasi dan konsekuensi perubahan dalam nilai-nilai sosial yang bersifat umum. Titik tolak perubahan tersebut berasal dari revolusi industri yang meluas dan sangat pesat dalam masyarakat. Menurutnya,

(22)

perkembangan tersebut tidak menimbulkan adanya disintegrasi dalam masyarakat, melainkan dasar integrasi sosial sedang mengalami perubahan ke satu bentuk solidaritas yang baru, yaitu solidaritas organik. Bentuk ini benar-benar didasarkan pada saling ketergantungan di antara bagian-bagian yang terspesialisasi.

Kesadaran baru yang mendasari masyarakat modern lebih berpangkal pada individu yang mulai mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok yang lebih terbatas dalam masyarakat dan mereka tetap mempunyai kesadaran kolektif yang terbatas pada kelompoknya saja, contohnya yang sesuai dengan pekerjaannya saja. Corak kesadaran kolektif lebih bersifat abstrak dan universal. Mereka membentuk solidaritas dalam kelompok-kelompok kecil, yang dapat bersifat mekanik.

Ikatan yang mempersatukan individu pada solidaritas mekanik adalah adanya kesadaran kolektif. Kepribadian individu diserap sebagai kepribadian kolektif sehingga individu saling menyerupai satu sama lain. Sementara dalam masyarakat dengan solidaritas organik, yang menjadi karakternya adalah heterogenitas dan individualitas yang semakin tinggi, bahwa individu berbeda satu sama lain.

(23)

itu mengandung kebebasan individual, maka kesadaran kolektif mereka jangkauannya lebih kecil.

Durkheim meyakini bahwa moralitas, kewajiban pada orang lain dan standar kelompok, tidak bisa dipisahkan dari agama. Agama dan moral tidak bisa dipisahkan dari konteks sosial. Ketika konteks sosialnya berubah, maka berubah pula agama dan moral.82

Untuk mengetahui bentuk dasar dari agama, Durkheim memilih melakukan analisis terhadap agama-agama primitif, ketimbang agama-agama modern. Sistem keyakinan yang primitif dapat ditemukan pada masyarakat sederhana dan dapat dengan mudah dijelaskan. Atas alasan tersebut, Durkheim kemudian memilih Suku Arunta masyarakat Aborigin di Australia sebagai sample penelitiannya terhadap agama untuk dapat memberikan pengetahuan tentang apa itu agama.83 Masyarakat primitif seperti Aborigin, dapat lebih mudah dipahami konteks keyakinannya dibanding masyarakat modern yang kompleks. Mereka (baca: masyarakat primitif) memenuhi kebutuhan yang sama, memainkan peran yang sama, dan bertolak dari sebab yang sama. Oleh karenanya mereka dapat menjelaskan karakter dasar dari kehidupan keagamaan.84

Studinya tentang agama, kata Durkheim merupakan langkah untuk mengangkat persoalan lama tentang asal usul agama, but under new conditions.85 Pada dasarnya, menurut Durkheim tidak ada agama yang salah. Semua agama benar menurut fashion-nya masing-masing. Semuanya memenuhi kondisi tertentu dari manusia, meskipun dengan jalan yang berbeda.86 Wajar kalau Durkheim sendiri tidak tertarik dengan status epistemologi agama, yakni pertanyaan apakah keyakinan agama itu benar atau salah. Penelitiannya terhadap masyarakat primitif, sama sekali bukan berarti gagasan itu menurunkan nilai agama pada umumnya, karena

82 Daniel L. Pas, Eight Theories of Religion. . . 91-92. 83 Emile Durkheim, The Elementary Forms. . .21 84 Ibid., 3.

(24)

agama tersebut tidak kurang terhormat dibandingkan agama lainnya.87 Agama-agama, kata Durkheim merespon kebutuhan yang sama, memainkan peran yang sama, bergantung pada sebab yang sama; ia juga dapat berfungsi untuk menunjukkan sifat kehidupan keagamaan dengan baik.

Pada posisi ini, tampaknya Durkheim tidak mau mendefinisikan agama secara spesifik dari sudut pandang supernatural dan menolak definisi agama yang dikemukakan Tylor bahwa agama adalah keyakinan pada ada spritual (spiritual being) . Menurutnya, Budhisme adalah agama, tetapi tidak

memiliki ide tentang Tuhan dan roh dan beberapa sekte dalam agama Budha yang juga menolak eksistensi Tuhan dan dewa-dewi.88

Selain itu, juga terdapat beberapa jenis ritual kelompok yang tidak ada sama sekali keterkaitannya dengan unsur Tuhan ataupun roh-roh. Maka,

agama tidak lebih dari sekadar gagasan tentang Tuhan dan roh . Konsekuensinya, agama tidak dapat didefinisikan semata mata dalam kaitannya dengan kedua hal tersebut.

Durkheim kemudian sampai pada definisi agama yang ia bidik dari

sudut pandang yang sakral (the sacred). )ni berarti agama adalah kesatuan sistem keyakinan dan praktek-praktek yang berhubungan dengan suatu yang sakral. Sesuatu yang disisihkan dan terlarang, keyakinan-keyakinan dan praktek-praktek yang menyatu dalam suatu komunitas moral yang disebut

Gereja, di mana semua orang tunduk kepadanya atau sebagai tempat masyarakat memberikan kesetiannya. Dari definisi Durkheim ini, terlihat

yang menjadi kata kunci adalah komunitas . )de agama tidak dapat

dipisahkan dari gereja, yang menunjukkan pada satu collective thing.

Pengamatan selanjutnya, Durkheim menemukan karakteristik paling mendasar dari setiap kepercayaan agama bukanlah terletak pada

elemen-elemen supernatural seperti yang telah dikemukakan di atas, melainkan terletak pada konsep tentang yang sakral Sacred), di mana keduanya yaitu supernatural dan yang sakral, memiliki perbedaan yang mendasar. Menurut

(25)

Durkheim, seluruh keyakinan keagamaan manapun, baik yang sederhana maupun yang kompleks, memperlihatkan satu karakteristik umum yaitu

memisahkan antara yang sakral Sacred dan yang profan (profane), yang

selama ini dikenal dengan natural dan supernatural . Durkheim

menambahkan bahwa hal-hal yang bersifat sakral selalu diartikan sebagai sesuatu yang superior, berkuasa, yang dalam kondisi normal hal-hal tersebut tidak tersentuh dan selalu dihormati. Hal-hal yang bersifat profan merupakan bagian keseharian dari hidup dan bersifat biasa-biasa saja.

Durkheim mengatakan, konsentrasi utama agama terletak pada yang sakral , karena memiliki pengaruh luas, menentukan kesejahteraan dan

kepentingan seluruh anggota masyarakat. Yang profan tidak memiliki pengaruh yang begitu besar dan hanya merupakan refleksi keseharian dari setiap individu. Maka, Durkheim mengingatkan bahwa dikotomi tentang

yang sakral dan yang profan hendaknya tidak diartikan sebagai sebuah konsep pembagian moral, bahwa yang sakral sebagai kebaikan dan yang profan sebagai keburukan . Menurut Durkheim, kebaikan dan keburukan sama-sama ada dalam yang sakral ataupun yang profan . (anya saja yang sakral tidak dapat berubah menjadi profan dan begitupula sebaliknya yang profan tidak dapat menjadi yang sakral. Dari definisi ini, fokus utama agama terletak pada hal-hal yang sakral.

Yang sakral, kata Durkheim adalah tidak lain dari masyarakat itu sendiri. Karena masyarakat melibatkan kelompok yang lebih besar dan terkait dengan kesejahteraan dari komunitas yang besar. Sementara yang profan adalah masalah-masalah yang kecil yang mencerminkan kegiatan individu sehari-hari. Inilah yang membedakan agama dari magis. Magis, merupakan upaya individual, sementara agama tidak dapat dilepaskan dari ide komunitas peribadatan atau moral.

(26)

totemisme ini secara penuh. Memang, semua peneliti mengakui bahwa bangsa-bangsa suku membagi diri mereka ke dalam klan-klan yang berbeda, masing-masing diidentikkan dengan suatu binatang, tumbuhan atau objek totem yang lain. Dan semuanya mengamati bahwa totem itu sendiri, baik berupa beruang, burung gagak, kanguru, atau pohon-pohon dianggap suci oleh klan yang mengklaimnya. Tetapi bagaimana totemisme itu digunakan untuk menggambarkan konsep yang sakral dan yang profan, belum ada yang menggambarkannya dengan baik.

Totemisme adalah kepercayaan kepada sesuatu yang tak bernama dan impersonal yang meskipun terdapat pada diri makhluk manusia, hewan dan benda ataupun tumbuhan, tidak dapat dicampurbaurkan dengan mereka. Ini merupakan suatu prinsip yang bebas. Individu boleh saja meninggal dunia, tetapi kekuatan ini akan hidup terus dan tetap sama. Ia menghidupi setiap generasi baik yang sekarang ini, yang telah lalu maupun yang akan datang. Ia dapat disebut dewa dalam kepercayaan totemik, bersifat impersonal, tanpa nama dan tersebar melekat pada benda yang tak terhitung jumlahnya.89

Durkheim, mengamati bahwa dalam masyarakat primitif, setiap

binatang yang bukan totem boleh diburu dan dimakan karena binatang tersebut termasuk yang profan . Sebaliknya, binatang yang dijadikan sebagai totem adalah bagian sakral bagi seluruh anggota klan dan tentu saja terlarang bagi seluruh anggota klan untuk membunuh dan memakannya, kecuali untuk dijadikan sebagai korban atau sebagai sesajian dalam upacara-upacara keagamaan. Durkheim, berhasil menemukan lambang atau simbol-simbol binatang totem tersebut sangat berarti bagi klan yang memujanya, karena binatang tersebut bukan hanya dianggap sebagai bagian dari yang sakral , akan tetapi juga merupakan perwujudan dan contoh yang sempurna dari yang sakral. Sikap tersebut dapat dilihat ketika klan tersebut mengadakan upacara-upacara keagamaan yang selalu menggunakan simbol-simbol dari totem mereka, terbuat dari ukiran kayu atau batu dan diletakkan

(27)

tengah mereka dalam upacara tersebut. Bagi klan, totem tersebut adalah hal yang paling sakral dan dapat mengkomunikasikan kesakralannya itu kepada mahkluk yang ada disekelilingnya. Durkheim menyimpulkan kepercayaan terhadap totemisme adalah hal yang paling penting dalam masyarakat yang sangat sederhana ini, karena seluruh aspek kehidupan mereka yang lainpun sangat dipengaruhi totem-totem ini.

Totem menurut Durkheim bisa dilihat dari dua pandangan. Pertama, totem merupakan bentuk luar dan kasat mata dari prinsip totemik atau

Tuhan . Kedua, totem juga merupakan simbol dari sebuah masyarakat yang disebut marga. Totem adalah benderanya marga, tanda yang dipergunakan oleh marga untuk membedakan dirinya dengan marga lain.90 Tanda yang kasat mata dari keberbedaannnya, dan tanda dari segala sesuatu yang menjadi bagian dari marga, manusia, binatang dan hal-hal lain. Oleh karenanya totem adalah simbol dari tuhan dan masyarakat.

Dewa klan, prinsip totemik, dapat merupakan klan itu sendiri yang dipersonifikasikan dan digambarkan dalam imajinasi di bawah bentuk binatang atau sayuran yang dapat dilihat dan bertindak sebagai totem. Totem secara terus menerus merupakan simbol dewa dan klan, karena dewa dan klan adalah hal yang betul-betul sama. Dalam bentuk yang singkat, pemujaan pada seorang dewa atau dewa-dewa adalah bagaimana suku-suku primitif mengungkapkan dan menegakkan pemujaan mereka pada klan.

Peran simbol totem, karenanya dapat diidentifikasi dengan jelas. Dengan diukir di kayu atau batu, ia adalah objek konkret yang membawa fakta pada setiap orang bahwa klan yang menuntut kesetiaan dari semua anggota, tidak hanya sesuatu yang dibayangkan; ia adalah hal yang riil, yang memaksakan dirinya pada kehidupan dan pemikiran setiap orang. Tanaman dan binatang menjadi simbol totem, karena ia objek yang khusus, konkret, dekat dan erat kaitan dengan pengalaman sehari-hari masyarakat. Tujuan totemisme yakni untuk memperhatikan keterkaitan antara benda-benda,

(28)

jaringan rumit dari hubungan yang mengikat tiap orang dengan generasi yang akan datang di dalam suatu klan, klan secara keseluruhan dengan dunia natural dan diantara bagian-bagian dunia yang berbeda-beda satu sama lain.

Skema pemikiran Marx, Weber dan Durkheim dalam diskursus agama merupakan konseptualisasi gagasan mengenai hubungannya dengan masalah sosial. Marx melihat agama sangat berkaitan dengan masalah ekonomi sebagai basisnya. Sementara agama itu sendiri oleh Marx ditempatkan sebagai bangunan atas, alias superstruktur. Marx menyadari bahwa baik ekonomi maupun agama berperan untuk menciptakan alienasi. Kaitan antara basis dan superstruktur bisa dijelaskan dengan rumusan sederhana, bahwa perubahan struktur ekonomi yang ada di bawah, akan berperan besar dalam mengubah bangunan atasnya. Tentunya kritik ekonomi itu berada pada kendali masyarakat dan negara, bukan individu. Disinilah ia mengkritik Feurbach.

Berbeda dengan Marx yang menyebut ekonomi sebagai basis yang dapat merubah pandangan agama, Weber justru melihat sebaliknya. Etika Protestan, justru berperan besar dalam merubah tatanan ekonomi. Kapitalisme terbangun melalui rasionalisasi dan berjalan dengan sangat baik di dunia barat. Sementara di dunia timur, kapitalisme agak sulit berkembang seperti halnya di Barat. Tentu saja kenyataan ini dilatari oleh perbedaan agama yang menjadi dasar kehidupan masyarakat di sana. Dengan memunculkan tesis bahwa prilaku agama sangat mempengaruhi ekonomi, maka Weber dengan tegas mengkritik determinisme ekonominya Marx. Weber meyakini bahwa agama menjadi sumber terciptanya perubahan sosial.

(29)

ia tunjukan ketika membahas fenomena bunuh diri dalam karyanya, Suicide . Bunuh diri, terutama yang bersifat egoistik, bagi Durkheim hanya bisa dilihat semata-mata sebagai persoalan sosiologis, bukan psikologis. Kata Durkheim, the conclusion from all these facts is that the social suicide-rate can be explained only sociologically .91 Studinya tentang masyarakat Arunta memperlihatkan bahwa ada simbol yang dapat mempersatukan anggota masyarakat ke dalam sebuah kelompok. Disini, peran totemisme perlu diperhatikan. Ia menjadi simbol terintegrasi individu-individu itu ke dalam satu kelompok yang secara bersama-sama memiliki Yang Sakral .

Marx, Weber dan Durkheim sama-sama melihat agama dalam kaitannya dengan kehidupan sosial. Ketiganya meyakini bahwa salah satu dari dua elemen tersebut berpengaruh satu terhadap lainnya. Marx dan Weber bersepakat bahwa klaim kausal yang terpenting dari agama adalah persoalan ekonomi. Sementara Durkheim tidak terlalu mempersoalkan aspek yang khas dari kehidupan manusia itu, apakah ekonomi, politik atau yang lain. Pendek kata, yang paling penting menurut Durkheim adalah sistem sosial dalam masyarakat itu sendiri.

Durkheim dan Weber bersepakat bahwa agama memiliki fungsi dalam kehidupan masyarakat. Durkheim melihat agama sebagai memiliki peran dalam mengintegrasikan sistem sosial. Agama atau etika keagamaan juga berperan dalam mempengaruhi atau merubah sistem ekonomi (kapitalisme) seperti kata Weber. Disinilah Marx justru berpendapat sebaliknya bahwa agama merupakan variabel terpengaruh, sementara yang menjadi variabel bebasnya adalah ekonomi. Agama bagi Marx justru hanya menjadi tempat pelarian manusia yang tidak berdaya menghadapi kenyataan hidup.

(30)

Agama dan Negara:

Antara Sekularisasi dan Desekularisasi

Pemikiran tiga tokoh (Marx, Weber dan Durkheim) sangat membantu untuk melihat agama sebagai sebuah fakta sosial. Dalam kenyataan itu, agama bergulat dan bersanding dengan institusi sosial lainnya. Salah satunya adalah negara. Hubungan agama dan negara yang dijabarkan dalam sub bab ini, berangkat dari posisi agama sebagai realitas sosial seperti yang sudah disinggung oleh tiga pemikir di atas.

Franklin ). Gamwell dalam The Meaning of Religious Freedom memaparkan tentang karakter dasar dari agama. Menurut Gamwell,

Religion is the primary form of culture in terms of which the comprehensive question is explicitly asked and answered and further, so answered that human authenticity is derived from the character of reality as such. In saying this I mean that the distinction between authentic and inauthentic human activity is identified by the relation of human activity to reality as such or ultimate reality. Whether that ultimate reality is understood

as Yahweh, Allah, emptiness , or in some other way, it is

understood to be the ground of human authenticity. The point may also be expressed by saying that religion, narrowly understood, so addresses the comprehensive question that ultimate reality is said to authorize human authenticity.92

Dengan mengacu pada pengertian di atas, maka Gamwell menyinggung mengenai soal autentisitas atau keaslian manusia. Bahwa ia hanyalah bisa diidentifikasi terkait dengan relasinya terhadap aktifitas manusia untuk meyakini eksistensi ultimate meaning of life. Meski realitas tertinggi itu bisa

berbentuk ketiadaan .93

Jika agama dipahami sebagai primary form of culture, maka politik, kata

Gamwell adalah a specific form of association in which the question of the state is explicitly asked and answered .94 Dari sini bisa dimengerti kalau negara tidak lain dari seperangkat aktifitas sebuah pemerintahan dimana

92 Franklin I. Gamwell, The Meaning of Religious Freedom: Modern Politics and The

Democratic Resolution (State University of New York Press, 1995), 30.

(31)

semua asosiasi dan aktifitas diberikan oleh masyarakat atau komunitas yang secara eksplisit disatukan atau diatur, dan karenanya selalu dinyatakan secara partikular.95

Pertanyaannya kemudian, jika agama sebagai satu bentuk khas dari budaya berusaha menjawab pertanyaan secara komprehensif, apa yang harus dijawab oleh politik?

Definisi tentang politik yang telah diajukan oleh Gamwell di atas, sebenarnya menolong untuk memahami bahwa sebagai sebuah bentuk spesifik dari aktifitas, atau hanyalah satu bentuk asosiasi, maka aktifitas politik diidentifikasi sebagai partisipasi dalam politik atau body politics.96 Jika agama menjawab semua persoalan baik yang terkait dengan kehidupan fisik maupun metafisik, politik hanyalah menjawab pertanyaan eksplisit mengenai tugas negara sebagai pengatur lalu-lintas hak warganya.

Maksud dari asosiasi politis atau negara adalah untuk menentukan aktifitas-aktifitas apa yang harus dan akan dilakukan negara. Tentunya, pertanyaan itu bisa diajukan dan dijawab secara kritis, yang disitu klaim tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh negara dapat disepakati secara eksplisit dan aktifitas politik juga bisa mengambil bentuk ini. Aktifitas politik, dengan demikian adalah partisipasi dalam proses politik. Meskipun maksud dari politik adalah untuk menentukan aktifitas negara, hal itu juga berarti refleksi kritis terhadap pertanyaan negara, juga merupakan aktifitas politik, yakni ketika partisipasi politik diambil dalam bentuk argumen atau perdebatan.97

Kebebasan beragama, dalam pandangan Gamwell, karenanya bisa dilihat tidak lain dari sebentuk prinsip politik yang tidak memiliki makna secara koheren tanpa sebuah asosiasi politik yang dikonstitusikan melalui sebuah free discussion dan perdebatan yang didalamnya melibatkan

(32)

keyakinan-keyakinan yang berbeda.98 Intinya, Gamwell bermaksud untuk mengatakan kalau jangkar dari kehidupan beragama itu ada pada ruang politik.

Problematika politik modern kemudian hadir saat memposisikan agama dalam ruang negara. Relasi antara keduanya menjadi masalah dalam masyarakat politik modern, karena dalam komunitas ini mengandung pluralitas legitimasi agama. Hubungan antara gereja dan negara dilihat secara berbeda oleh masing-masing masyarakat, bahkan dalam satu komunitas gereja sekalipun. Statemen yang diungkapkan oleh Paus Paulus XIII berdasar atas tradisi bahwa negara memiliki kewajiban untuk menunjukkan agama yang benar. Sementara Konsili Vatikan II yang dikeluarkan pada tahun 1965 merefleksikan sensitivitas yang paling dalam terhadap pluralisme, berbicara tentang hak seluruh warga, apapun keyakinan keagamaannya. Kedua pernyataan diatas datang dari Gereja Katolik Roma, tetapi kedua pandangan tersebut berbeda satu dengan lainnya dan dapat digambarkan dalam komunitas masyarakat yang lebih banyak lagi. Dalam politik modern, persoalan yang kerap mengundang perdebatan adalah membangun relasi antara agama dan negara. Relasi antara keduanya menjadi masalah dalam masyarakat politik modern, karena dalam komunitas ini mengandung pluralitas legitimasi agama. Philip Wogaman menulis bahwa ada empat bentuk (baca: negara) dalam kaitannya dengan eksistensi gereja.99 Pertama, Teokrasi, dimana negara berada di bawah kontrol para pemimpin atau institusi agama untuk kepentingan agama. Negara teokrasi dapat tergambar dalam masyarakat primitif seperti Tibet, sekte Mormon awal di Utah serta Iran. Model ini juga yang tergambar pada pemerintahan Vatikan II yang didasarkan pada doktrin Katolik.

98 Ibid., 34-35.

99 J Philip Wogaman, Christian Perspectives on Politics (Kentucky: Westminster John

(33)

Wogaman cukup keras menentang model ini. Ia menyebut bahwa penganut model ini tengah berilusi.100 Beberapa masalah yang muncul dalam negara teokratis ada pada aspek praktis dan juga politis. Agama dalam negara teokratis pada akhirnya digunakan untuk kepentingan politis. Problem praktis menunjukan bahwa di negara teokrasi akan sangat sulit membedakan pernyataan iman yang benar-benar tulus dan tidak dimana institusi agama memiliki kekuatan dominan.

Isu yang terutama dalam negara teokratis adalah masalah teologis. Teokrasi hadir dalam satu bentuk pengandaian bahwa kebenaran dapat diketahui untuk membuat pembedaan antara mereka yang benar dan tidak. Yang pertama, tentu harus diakui keberadaannya oleh pemerintah, yang kedua, secara legal tidak memiliki kekuatan. Ilusi yang dimaksudkan dalam sistem pemerintahan ini adalah bahwa hanya Tuhan, jika Tuhan adalah pusat transendensi dan sumber kehidupan, maka Ia tidak akan pernah diketahui oleh siapapun.

Kedua, erastianisme yang merupakan model dimana gereja berada dibawah otoritas negara. Sebagai sebuah paradigma, Erastianisme diambil dari nama pencetus gagasan ini Thomas Erastus (1524-1583), seorang ahli fisika asal Swiss yang juga Teolog Protestan. Sesungguhnya Erastus tidak menjabarkan doktrinnya ini dalam sebuah bentuk yang ekstrem. Idenya berakar pada zaman kuno dan ditemukan dalam bentuk yang berbeda oleh para filosof abad pertengahan seperti Marsilius Padua dari Italia.

Erastus, merupakan penerus ajaran Huldreich Zwingli, yang menentang model Calvinis yang disukai oleh Elector Frederick III. Erastus menentang ide John Calvin mengenai excommunication (pengucilan), dimana para anggota dewan gereja dapat mengeluarkan masyarakat dari Ekaristi. Menurut Erastus, hanya negara yang memiliki kekuasaan koersif dan dapat digunakan sebagai aturan gereja, tetapi tidak pernah dapat menghalangi siapapun untuk keluar dari perjamuan kudus.

(34)

Ninan Koshy menambahkan, kategori yang paling tepat untuk

menggambarkan model ini adalah established church . Disini, negara memiliki agama resmi .101 Agama yang mapan itu dipenuhi haknya, sementara agama yang lain tidak. Dalam hukum Inggris, sebagaimana terlihat dalam perdebatan mengenai hukuman terhadap Shalman Rushdie penulis The Satanic Verse , pasal-pasal blasphemy atau penodaan agama diterapkan hanya terhadap KeKristenan dan secara spesifik terhadap Gereja Inggris (The Church of England).102

Tetapi, di saat yang sama, meski agama tertentu memiliki hak istimewa, tetapi sesungguhnya agama tersebut tidak dapat sepenuhnya mengekspresikan ajaran agama secara bebas, karena keputusan-keputusan yang bersifat strategis selalu didasarkan atas seberapa besar keuntungan yang pada nantinya akan didapatkan negara. Inilah yang menjadi pangkal persoalan dari model Erastianisme. Di satu sisi, ia hanya berkutat pada kepentingan agama tertentu dan di sisi lain kepentingan agama anak emas itupun dipagari agar tidak membahayakan kepentingan negara.

Ketiga, pemisahan antara agama dan negara secara ramah (friendly), yakni model pemisahan antara agama dan institusi politik secara legal tetapi satu yang lain tidak saling bermusuhan. Secara esensial, hal tersebut merupakan prinsip pemisahan yang dipraktekan di Amerika Serikat. Prinsip untuk tidak memapankan agama dalam konstitusi Amerika tidak harus dipahami sebagai sesuatu yang negatif. Sikap tersebut justru harus dimaknai sebagai sebagai dukungan bagi integritas dan independensi institusi agama.

Keempat, pemisahan antara agama dan negara secara tidak ramah (unfriendly), yaitu pemisahan secara legal dan dalam posisi yang antagonistik. Paradigma ini banyak berkembang pada akhir abad 20. Antiklerikalisme di Perancis pada abad 19 merupakan penerjemahan dari

101 Ninan Koshy, Religious Freedom in a Changing World (Geneva: WCC Publications,

1992), 36-37.

Referensi

Dokumen terkait

Di dalam BK SMP Negeri 2 Semarang juga memiliki struktur kepengurusan yang menjelaskan tenaga-tenaga pengisi BK di posisi tertentu yang memiliki rincian tugas-tugas

Durian Sebatang (Lapen) Kec.. M.Si

Adapun sisanya untuk bagian anak-anak, yaitu satu anak laki-laki (bagiannya sama dengan bagian dua anak perempuan), sementara dua anak perempuan masing-masing

Pf,MENANC LELANG!. Nt6a

Mata bor helix kecil ( Low helix drills ) : mata bor dengan sudut helix lebih kecil dari ukuran normal berguna untuk mencegah pahat bor terangkat ke atas

Disemprotkan ( Jet Application of Fluid ), pada proses pendinginan dengan cara ini cairan pendingin disemprotkan langsung ke daerah pemotongan (pertemuan antara

Sedangkan kesimpulan dari penelitian bahwa 64 orang yang menjadi sampel penelitian dapat disimpulkan bahwa tingkat altruisme perawat Rumah Sakit Umum Panglima Sebaya termasuk

− Prototipe sistem SDR skala lab dengan frekuensi maksimal RF 50 MHz dengan daya RF kurang dari 1 mW menggunakan daughterboard Basic Tx-Rx dapat dikembangkan untuk sebuah