• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penanganan Pemerintah Indonesia Terhadap Pengungsi Ditinjau Dari Prinsip Non Refoulement

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penanganan Pemerintah Indonesia Terhadap Pengungsi Ditinjau Dari Prinsip Non Refoulement"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENGATURAN PENGUNGSI DI INDONESIA

A. Pengertian Pengungsi

Pengertian atau istilah ‘pengungsi’ secara umum mengalami dinamikanya sendiri. Dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa akar kata dari istilah pengungsi adalah ungsi

dan kata kerjanya adalah mengungsi, yaitu “Orang yang mencari tempat yang aman ketika

daerahnya ada bahaya yang mengancam”. Berdasarkan pengertian tersebut, terlihat bahwa

pengungsi terjadi karena adanya bahaya. Misalnya bencana alam (natural disaster) seperti banjir,

gempa, gunung meletus, kekeringan. Mengungsi juga bisa terjadi karena bencana manusia (man

made disaster) seperti konflik bersenjata, pergantian rezim politik, penindasan kebebasan

fundamental, pelecehan hak asasi manusia, dan sebagainya.43

Terdapat dua pendapat ahli sehubungan dengan pengertian atau batasan dari istilah

pengungsi. Malcom Proudfoot memberikan pengertian pengungsi dalam perspektif pasca Perang

Dunia II. Ia memberi pandangan tentang pengungsi sebagai berikut : “The forced movements,..

were the result of the persecution, forcible deportation, or flight of Jew and political opponents

of the authoritarians governments; the transference of ethnic population back to their homeland

or to newly created provinces acquired by war or treaty; the arbitatry rearrangement of prewar

boundaries of sovereign states; the mass flight of the air and the terror of bombardment from the

air and under the threat or pressure of advance of retreat of armies over immense areas of

43

(2)

Europe; the forced removal of populations from coastal or defence areas undrv military

dictation; and the deportation for forced labour to bloster the German war effort”.44

Sementara itu, Pietro Verri dalam mendefinisikan pengungsi merujuk pada Pasal 1

Konvensi 1951 khususnya pada kalimat ‘applies to many person who has fled the country of his

nationality to avoid persecution or the threat of persecution’.

Menurut pandangan Proudfoot tersebut, pengungsi merupakan suatu kelompok

orang-orang yang terpaksa pindah ketempat lain akibat adanya penganiayaan, deportasi secara paksa,

atau pengusiran orang-orang dan perlawanan politik pemerintah yang berkuasa. Dapat pula

dalam bentuk pengembalian etnik tertentu ke negara asal mereka atau provinsi baru yang timbul

akibat perang atau perjanjian atau penentuan tapal batas secara sepihak sebelum perang terjadi.

Perpindahan penduduk sipil secara besar-besaran akibat adanya tekanan atau ancaman.

Perpindahan secara paksa penduduk dari wilayah pantai atau daerah pertahanan berdasarkan

perintah militer serta pemulangan tenaga kerja paksa untuk ikut dalam perang.

45

Pada pandangan Pietro Verri

pengungsi merupakan seseorang atau sekelompok orang yang meninggalkan negaranya karena

adanya ketakutan yang tidak terhingga serta adanya kemungkinan atau potensi terjadinya

penyiksaan. Menilik lebih jauh, batasan terminologi pengungsi, hal tersebut beririsan dengan

batasan suaka. Pengungsi dalam pengertian yang umum adalah orang yang dipaksa keluar dari

wilayah negaranya. Paksaan yang dilakukan terhadapnya disebabkan oleh kondisi yang tidak

memungkinkan adanya rasa aman atau jaminan keamanan atas dirinya oleh pemerintah.46

Terminologi pengungsi menurut Konvensi 1951 adalah seseorang yang oleh karena rasa takut

(3)

kelompok sosial tertentu, atau pandangan politik, berada diluar negeri kebangsaannya, dam tidak

dapat atau, karena rasa takut itu tidak berkehendak berada di dalam perlindungan negaranya.

Dengan istilah lain, refugee adalah pengungsi yang lari ke negara lain yang sudah jelas diatur

statusnya melalui Konvensi 1951 dan Protokol 1967.

Terdapat dua jenis pengungsi, yaitu pengungsi internal (Internal Displaced Person/IDP)

dan pengungsi lintas batas (refugee). Perbedaan keduanya hanya pada wilayah. Pengungsi

internal adalah pengungsi yang keluar dari wilayah tertentu dan menempati wilayah lain tetapi

masih dalam satu daerah kekuasaan satu negara. Sedangkan pengungsi lintas batas merupakan

mereka yang mengungsi ke negara lain.

Istilah-istilah yang berkaitan dengan pengungsi menurut Achmad Romsan47

1. Migrant Economic (migran ekonomi)

, yaitu:

Ia mendefinisikan istilah tersebut dengan “person who, in pursuit of employment or a

better over all standard of living (that is, motivated by economic considerations), leave their

country to take up residence elsewhere”.

Economic migrant adalah orang-orang yang mencari pekerjaan atau penghidupan yang

layak (karena pertimbangan ekonomi) meninggalkan negaranya untuk bertempat tinggal

dimanapun.

47

(4)

2. Refugees Sur Place (pengungsi sur place)

Romsan mendefinisikannya sebagai “A person who was not a refugee when she left her

country, but who became a refugee at a later date. A person becames a refugee sur place due to

circumstances arising in her country of origin during her absence”.

Refugee sur place merupakan seseorang atau sekelompok orang yang bukan pengungsi

sewaktu berada di negaranya namun kemudian menjadi pengungsi karena keadaan di negara

asalnya sewaktu orang atau kelompok orang tersebut tidak berada di negaranya.

3. Statutory Refugees (pengungsi statuta)

Pengertian pengungsi statuta adalah “Persons who meet the definitions of international

instruments concerning refugees prior to the 1951 Convention are usually referred to as

“statutory refugees”.

Statutory refugees adalah orang-orang yang memenuhi kriteria sebagai pengungsi

menurut instrumen-instrumen internasional sebelum tahun 1951. Istilah ini hanya dipakai untuk

membedakan antara “pengungsi sebelum Konvensi 1951” dengan “pengungsi menurut konvensi

1951”.

4. War Refugees (pengungsi perang)

Pengungsi perang adalah “Persons compelled to leave their country of origin as a result

of international or national armed conflicts are not normally considered refugees under the 1951

Conventions of the 1967 Protocol. They do, however, have the protection provided for in other

(5)

invasion and subsequent occupation, occupying forces may begin to persecute segments of the

populations. In such cases, asylum seekers may meet the conditions of the Convention definition.

War refugees adalah mereka yang terpaksa meninggalkan negara asalnya akibat

pertikaian bersenjata yang bersifat internasional atau nasional yang tidak dianggap pengungsi

biasa menurut Konvensi 1951 atau Protokol 1967. Pengungsi jenis ini mendapat perlindungan

menurut instrumen internasional yang lain, yakni Konvensi-Konvensi Jenewa 1949.

5. Mandate Refugee (pengungsi mandat)

Mandat dipergunakan untuk menunjuk orang-orang yang diakui statusnya sebagai

pengungsi oleh UNHCR sesuai dengan fungsi, wewenang, atau mandat yang ditetapkan oleh

statuta UNHCR. Istilah pengungsi mandat dipergunakan terhadap para pengungsi yang berada di

bawah kewenangan atau mandat UNHCR seperti :

a) Orang-orang yang diakui sebagai pengungsi oleh UNHCR, dimanapun mereka berada,

sebelum berlakunya Konvensi 1951 pada 22 April 1964 dan/sebelum berlakunya

Protokol 1967 pada 4 Oktober 1967,

b) Orang-orang yang diakui sebagai pengungsi oleh UNHCR yang berada di luar

negara-negara pihak pada Konvensi 1951 (sesudah mulai berlakunya Konvensi 1951 sejak 22

April 1954) dan/atau Protokol 1967 (sesudah mulai berlakunya protokol ini sejak 4

Oktober 1967).

Pengungsi mandat adalah seseorang yang memenuhi kriteria statuta UNHCR sebagai

pengungsi dan oleh karena nya mendapat perlindungan dari PBB, baik yang bersangkutan berada

(6)

Pengertian lain dari pengungsi mandat adalah seseorang yang mengklaim dirinya pencari

suaka sebagai pengungsi atau bukan, yang diberi status, diberi kartu identitas kepada mereka

yang telah dinyatakan sebagai pengungsi, dan dilakukan terhadap mereka seperti pencegahan

penahanan, pengusiran, atau pengembalian paksa pengungsi ke tempat wilayah pengungsi yang

sedang terjadi persekusi.

6. Statute Refugee (pengungsi statuta)

Pengungsi Konvensi dipergunakan untuk menunjuk pada orang-orang yang berada di

dalam wilayah negara-negara pihak pada Konvensi 1951 (setelah mulai berlakunya Konvensi

1951 sejak 22 April 1954) dan/atau Protokol 1967 (sesudah mulai berlakunya protokol ini sejak

4 Oktober 1967), yang statusnya sebagai pengungsi diakui oleh negara-negara pihak Konvensi

1951 dan/atau Protokol 1967 berdasarkan ketentuan-ketentuan atau kriteria yang ditetapkan oleh

instrumen-instrumen tersebut.

Pengungsi statuta adalah orang-orang yang memenuhi kriteria sebagai pengungsi

menurut instrumen-instrumen sebelum tahun 1951.

7. Internally Displaced Person/IDP’s (pengungsi dalam negeri)

Istilah Internally Displaced Persons/IDP’s digunakan oleh PBB dan UNHCR pertama

kali pada tahun 1972 untuk menunjuk orang-orang di Sudan, yang karena terjadi konflik

bersenjata internal di negara itu terpaksa meninggalkan kampung halamannya untuk pergi ke

tempat-tempat lain yang lebih aman, tetapi masih dalam wilayah negara mereka sendiri. Istilah

(7)

UNHCR mengartikan istilah Displaced Persons/DP’s sebagai orang-orang yang karena

konflik bersenjata internal di negara itu terpaksa meninggalkan kampung halamannya untuk

pergi ke tempat-tempat lain yang lebih aman, tetapi masih di dalam wilayah negara mereka

sendiri. Sejak tahun 1975 UNHCR dan PBB memakai istilah ini untuk merujuk orang-orang

yang meninggalkan kampung halamannya untuk pergi ke tempat lain yang dirasanya aman,

sebagai akibat terjadinya konflik bersenjata di negara asalnya, tetapi yang (sudah) berada diluar

perbatasan negara asalnya. Untuk displaced persons dalam pengertian semula (tetap masih

berada dalam wilayah negara yang sama), dan untuk itu UNHCR memakai istilah Internally

Displaced Persons/IDP’s.

Istilah displaced persons dalam berbagai resolusi Majelis Umum tahun 1975 yang

memberikan hak kepada UNHCR untuk memberikan bantuan dan perlindungan kepada

orang-orang terlantar (persons displaced) di luar negara asal yang tidak dimasukkan dalam “kondisi

seperti pengungsi”, akibat kejadian-kejadian (kadang-kadang sebagai “bencana buatan manusia”)

yang timbul dalam negara asal mereka.

Istilah internally displaced persons (IDPs) timbul karena adanya bahaya yang

mengancam keselamatan penduduk. Misalnya karena adanya pertikaian bersenjata, atau karena

banyaknya terjadi pelanggaran, pelanggaran hak asasi manusia atau karena terjadinya bencana

alam (natural disaster) seperti banjir, gempa, gunung meletus, kekeringan. Juga karena bencana

buatan manusia (man-made disaster).

8. Stateless Persons (orang-orang tanpa warga negara)

Stateless Persons adalah “persons who either from birth or as result of subsequent

(8)

Jadi orang yang termasuk stateless persons adalah setiap orang baik sejak kelahiran atau

akibat perubahan di dalam negara asalnya menjadi tanpa kewarganegaraan. Berarti ada dua

penyebab seseorang dapat menjadi tidak bernegara, yaitu sejak lahir atau akibat perubahan dalam

negara asalnya. Upaya internasional dalam rangka mengurangi “stateless persons” sudah ada

yaitu melalui “The Convention on the Reduction of Statelessnes (1961)”.

Pengertian lain dari stateless persons adalah seseorang yang berada diluar negara

kewarganegaraannya atau apabila tidak memiliki kewarganegaraannya, yang disebabkan karena

mempunyai atau pernah mempunyai rasa kecemasan yang berdasar atas persekusi karena alasan

ras, agama, rumpun bangsa, atau opini politik yang dapat atau tidak dapat, berdasarkan

kecemasan tersebut tidak mau memanfaatkan perlindungan pemerintah negara

kewarganegaraannya.48

Dalam Pasal 1 Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi, definisi pengungsi secara umum

adalah sebagai berikut :

Dengan adanya istilah-istilah yang berkaitan dengan hukum pengungsi maka dapat

mengetahui dan dapat membedakan antara pengungsi itu sendiri dengan istilah-istilah yang

berkaitan dengan hukum pengungsi, karena terkadang masyarakat awam berpandangan

semuanya itu sama pengertiannya.

49

“As a result of events occurring before 1 January and owing to well-founded fear of being

persecuted for reason of race, religion, nationality, membership, of particular social group or

political opinions, is outside the country of his nationality and is unable or, owing to such fear, is

48

49

(9)

unwilling to avail himself of the protection of that country of his former habitual residence as a

result of such events, is unable or, owing to such fear, is unwilling to return to it”.

Pasal tersebut memaparkan bahwa “Sebagai akibat dari peristiwa-peristiwa yang terjadi

sebelum 1 Januari 1951, dengan rasa takut yang mendalam akan mengalami persekusi karena

alasan rasial, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu, maupun

opini-opini politik yang mereka anut, berada diluar negara asalnya, serta tidak mampu, atau karena

rasa takutnya, menolak memanfaatkan perlindungan yang disediakan oleh negara dimana ia

sebelumnya berasal akibat peristiwa-peristiwa yang telah terjadi, tidak mampu, atau karena rasa

takutnya, menolak kembali kenegara tersebut”.

Konvensi 1951, yang rancangannya dibuat sebagai hasil rekomendasi dari Komisi Hak

Asasi Manusia PBB yang baru saja dibentuk, menjadi petunjuk dalam menyusun standar

perlakuan terhadap pengungsi.

Konvensi menyusun standar minimum bagi perlakuan terhadap pengungsi, termasuk hak

dasar mereka. Konvensi juga menetapkan status hukum pengungsi, dan mencantumkan

ketentuan-ketentuan tentang hak mereka untuk mendapatkan pekerjaan dan kesejahteraan,

mengenai surat keterangan jati diri dan dokumen perjalanan, mengenai penerapan biaya fiskal,

dan mengenai hak mereka untuk memindahkan aset miliknya ke negara lain dimana mereka telah

diterima dengan tujuan permukiman kembali.

Konvensi melarang pengusiran dan pemulangan paksa terhadap orang-orang berstatus

pengungsi. Pasal 33 Konvensi menetapkan bahwa “tidak satupun negara pihak dapat mengusir

atau mengembalikan (memulangkan kembali) pengungsi dengan alasan apapun ke wilayah

(10)

agama, kewarganegaraan, anggota dari kelompok sosial atau pendapat politik tertentu”. Pasal 34

membahas persoalan naturalisasi dan asimilasi bagi pengungsi. Ketentuan-ketentuan lain

berkenaan dengan masalah hak atas akses terhadap pengadilan, pendidikan, jaminan sosial,

perumahan dan kebebasan untuk bergerak.

Konvensi 1951 ini lebih maju dibandingkan dengan instrumen-instrumen pengungsi

lainnya, misalnya:50

• Pasal 1 yang memuat tentang definisi pengungsi. Definisi ini dirumuskan sangat umum

sekali.

• Konvensi ini memuat prinsip non refoulement yang diatur dalam pasal 33.

• Konvensi ini menetapkan standar minimum tentang perlakuan terhadap pengungsi,

termasuk hak-hak dasar yang harus dimiliki oleh pengungsi serta kewajiban-kewajiban

yang harus dipatuhi oleh seorang pengungsi.

• Konvensi mengatur tentang status yuridis pengungsi, hak untuk mendapatkan pekerjaan

dan kesejahteraan lainnya.

• Konvensi ini mengatur tentang Kartu Tanda Pengenal (KTP), dokumen perjalanan, tentang

naturalisasi, serta hal-hal yang berkaitan dengan masalah administrasi lainnya.

• Konvensi menghendaki agar negara bekerjasama dengan UNHCR dalam melaksanakan

fungsinya, serta memfasilitasi tugas supervise dalam penerapan konvensi.

Konvensi 1951 hanya dapat bermanfaat bagi orang yang menjadi pengungsi akibat

peristiwa yang terjadi sebelum 1 Januari 1951. Namun tahun-tahun setelah 1951 membuktikan

bahwa pergerakan pengungsi tidak hanya merupakan dampak sementara dari Perang Dunia

(11)

Kedua dan keadaan pasca perang. Sepanjang tahun-tahun terakhir 1950-an dan 1960-an muncul

kelompok-kelompok pengungsi baru, terutama di Afrika. Para pengungsi ini membutuhkan

perlindungan yang tidak dapat diberikan pada mereka karena batas waktu yang ditetapkan oleh

Konvensi 1951.

Dengan diberlakukannya Protokol tanggal 31 Januari 1967 tentang Status Pengungsi,

maka terlihat perubahan pada pemaknaan pengungsi yang tidak hanya terbatas lagi pada

pengungsi yang muncul sebagai akibat dari peristiwa yang terjadi sebelum tanggal 1 Januari

1951, melainkan menjadi pengungsi yang muncul akibat peristiwa yang terjadi sebelum maupun

sesudah tanggal 1 Januari 1951.

B. Sebab-sebab Terjadinya Pengungsi

Latar belakang terjadinya pengungsi dapat dikelompokkan dalam dua jenis, yakni :

1. Pengungsian karena bencana alam (natural disaster). Pengungsian ini pada prinsipnya

masih dilindungi negaranya keluar untuk menyelamatkan jiwanya, dan orang-orang ini

masih dapat minta tolong pada negara dari mana ia berasal.

2. Pengungsian karena bencana yang dibuat manusia (man made disaster). Pengungsian ini

pada prinsipnya pengungsi keluar dari negaranya karena menghindari tuntutan

(persekusi) dari negaranya, orang-orang ini tidak lagi mendapat perlindungan dari

(12)

Dari dua jenis pengungsi diatas yang diatur oleh Hukum Internasional sebagai Refugee

Law (hukum pengungsi) adalah jenis yang kedua, sedang pengungsi karena bencana alam itu

tidak diatur dan dilindungi oleh Hukum Internasional.

Untuk menentukan status pengungsi dapat digunakan kriteria yang terdiri dari

unsur/faktor, yaitu faktor subjektif dan obyektif. Prinsip Penentuan Status Pengungsi

Faktor subyektif adalah faktor yang terdapat pada diri pengungsi itu sendiri (yang

meminta status pengungsi), faktor inilah yang menentukan ialah apakah pada diri orang tersebut

ada rasa ketakutan atau rasa kekhawatiran akan adanya persekusi atau penuntutan, maka jika ada

alasan ketakutan maka dapat dikatakan orang tersebut Eligibility (kelayakan), ketakutan itu

dinilai dari takut terhadap tuntutan negaranya dan terancam kebebasannya.

Faktor objektif adalah keadaan asal pengungsi. Di negara tersebut apakah benar-benar

terhadap persekusi terhadap orang-orang tertentu. Misalnya akibat perbedaan ras. Perbedaan

agama, karena suatu pandangan politik atau yang lainnya. Kalau keadaan tersebut pada

negaranya memang demikian, maka keadaan ini bisa membuat seseorang menjadi Eligibility.

Seseorang tidak dapat dinyatakan sebagai Eligibility ialah :

1) Orang-orang yang melarikan diri keluar negeri, karena alasan ekonomi agar bisa lebih

baik, mereka ini tidak bisa disebut sebagai pengungsi.

2) Kaum Emigran, yaitu kaum yang pindah dari suatu negara ke negara lain tidak bisa

(13)

3) Pindah ke negara lain untuk mendapatkan kenikmatan pribadi.

Untuk menentukan seseorang adalah pengungsi internasional rujukan yuridisnya adalah

Konvensi Wina 1951 tentang Status Pengungsi pada Pasal 1 bagian A poin 2, yang berbunyi :

“sebagai akibat peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum 1 Januari 1951 dan dikarenakan

ketakutan yang beralasan akan disiksa karena alasan-alasan ras, agama, kewarganegaraan,

keanggotaan dari suatu kelompok sosial tertentu atau pendapat politik, ada diluar

kewarganegaraannya dan tidak dapat, atau karena ketakutan tersebut tidak mau memanfaatkan

kesempatan untuk memperoleh perlindungan dari negara yang bersangkutan, atau yang karena

tidak mempunyai kewarganegaraan dank arena berada di luar negara bekas tempat tinggalnya,

sebagai akibat peristiwa-peristiwa tersebut, tidak memungkinkan atau, dikarenakan ketakutan

tersebut, tidak mau kembali kebekas tempat tinggalnya itu”.51

Prinsip penentuan status seseorang agar dapat disebut sebagai pengungsi diatur secara

yuridis seperti dalam Konvensi 1951 didalam nya juga mengatur tentang ‘The exclusion clauses’

dan ‘The cessasions clauses’. Suatu keadaan dimana seseorang tidak diberikan status sebagai

pengungsi yang termasuk dalam kategori ‘The exclusion clauses’ kalau telah memenuhi kriteria

Dari pasal ini dapat ditarik beberapa poin yang berkaitan dengan status orang, kelompok

yang kemudian dapat dikatakan Pengungsi Internasional. Poin itu adalah karena alasan-alasan

ras, agama, kewarganegaraan, keanggotaan dari suatu kelompok sosial tertentu atau pendapat

politik. Namun poin yang paling menentukan seseorang bisa dikategorikan sebagai pengungsi

adalah mengenai ancaman terhadap jiwa mereka apabila tetap berada di negara asal mereka.

Pasal ini berkaitan dengan jaminan Hak Asasi Manusia.

(14)

sebagai pengungsi namun tidak membutuhkan atau berhak untuk mendapatkan perlindungan,

misalnya dalam Konvensi 1951, hal ini berarti bahwa status pengungsi itu sudah ada sebelum

yang bersangkutan dinyatakan secara formal atau resmi. Oleh karena itu, pengakuan seseorang

menjadi pengungsi sebenarnya tidak membuat orang itu menjadi pengungsi tetapi hanya

pengakuan yang menyatakan bahwa statusnya adalah pengungsi.

Penetapan seseorang menjadi pengungsi merupakan proses yang terjadi dalam dua tahap,

yakni :

• Penemuan atau penetapan yang menentukan bahwa dari fakta yang ada memang orang

tersebut adalah refugee.

• Fakta dihubungkan dengan persyaratan-persyaratan dalam Konvensi 1951 dan Protokol

1967. Setelah itu, dihubungkan apakah yang bersangkutan memang merupakan pengungsi

atau bukan.

Selanjutnya, dengan adanya perbedaan dalam menentukan status pengungsi oleh

beberapa negara, maka Excom No.8 Tahun 1977 52

1. Petugas-petugas yang menangani proses pemberian status suaka harus mempunyai

keterampilan yang memadai, dalam hal ini termasuk pula pemahaman akan prinsip non

refoulement dan segera menyerahkan ke pihak yang berwenang atau memiliki otoritas. mengonklusikan beberapa standar dasar yang

perlu ditegakkan agar tercipta prosedur yang adil dan efesien. Standar-standar tersebut yakni :

2. Pencari suaka berhak atas informasi yang jelas akan prosedur yang digunakan dan

mendapat semua bantuan yang diperlukan seperti penerjemah beserta hal lainnya.

3. Pencari suaka harus dapat menghubungi pihak UNHCR jika meminta.

(15)

4. Pencari suaka berhak mengajukan banding atau permohonan tersendiri jika permohonan

suakanya ditolak.

5. Pencari suaka mendapatkan tempat naungan sementara hingga suakanya selesai diproses,

termasuk selama proses banding atau permohonan lainnya.

Perlindungan pengungsi mempunyai tujuan utama menemukan solusi jangka panjang

bagi para pengungsi agar dapat mengakhiri status kepengungsiannya dan mendapatkan kembali

kehidupan yang normal yang tadinya masih harus memiliki rasa takut dan harus mengungsi

keluar dari negara asalnya. Solusi yang diberikan dapat berupa repatriasi53, integrasi lokal54,

ataupun resettlement 55.

Kedudukan sebagai pengungsi tidak berlaku abadi artinya bisa berhenti, persoalan yang

timbul adalah jangan sampai pengungsi itu bisa dirugikan statusnya sebagai pengungsi secara

sewenang-wenang. Oleh karena itu penghentian status pengungsi harus didasarkan pada

ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konvensi. Adapun yang menjadi hak dan kewajiban

pengungsi adalah sebagai berikut Kedudukan dan Hak Pengungsi

56

a) Negara-negara peserta konvensi tidak boleh memperlakukan pengungsi berdasarkan

politik diskriminasi baik yang berkenaan dengan ras,agama atau negara asal maupun

warna kulit dan mereka mempunyai kebebasan untuk menjalankan agamanya serta

53

Repatriasi merupakan pemulangan pengungsi secara sukarela dan direitegrasikan ke dalam negara asalnya.

54 Integrasi lokal merupakan penawaran terhadap pengungsi untuk menetap di negara yang memberikannya suaka.

Hal ini biasa disebut sebagai naturalisasi.

55

Resettlement atau pemukiman kembali merupakan pemukiman kembali pengungsi di negara ketiga yang mau menerima mereka secara permanen.

(16)

kebebasan bagi pendidikan anak-anak mereka ditempat mana mereka ditampung (Pasal 3

dan 4). Ini merupakan hak non diskriminasi.

b) Mengenai status pribadi para pengungsi diatur sesuai dengan hukum dimana mereka

berdomisili. Jika mereka tidak mempunyai domisili, status pribadi mereka diatur oleh

hukum dimana mereka ditempatkan (place of residence). Hak yang berkaitan dengan

perkawinan juga harus diakui oleh negara peserta Konvensi dan Protokol (Pasal 12). Ini

merupakan hak status pribadi.

c) Seorang pengungsi mempunyak hak yang sama dalam hal untuk mempunyai atau

memiliki hak milik baik bergerak maupun tidak bergerak dan menyimpannya seperti

halnya orang lain dan juga dapat mentransfer assetnya ke negara dimana dia akan

menetap (Pasal 13,14 dan 30). Ini merupakan hak kesempatan atas hak milik.

d) Negara peserta Konvensi harus mengakui kebebasan pengungsi untuk berserikat dengan

mendirikan perkumpulan termasuk perkumpulan dagang sepanjang perkumpulan itu

bersifat non-profit dan non-politis (Pasal 15). Ini merupakan hak berserikat.

e) Apabila ada suatu perkara yang dialami oleh para pengungsi dimana mereka ingin

menyelesaikannya melalui badan peradilan, maka dalam ini mereka harus dianggap sama

dengan warganegara lainnya jadi mereka mempunyai kebebasan untuk mengajukan

gugatannya di siding pengadilan dimana mereka ditempatkan bahkan bila diperlukan

mereka harus diberikan bantuan hukum (Pasal 16). Ini merupakan hak berperkara di

pengadilan.

f) Bagi para pengungsi yang telah ditempatkan secara tetap di suatu negara dan telah diakui

menurut hukum, maka mereka mempunyai hak untuk mendapatkan pekerjaan serta

(17)

bebas ini harus sesuai dengan ketentuan yang telah diakui, seperti tanda sertifikat,

gunanya adalah mengetahui keahlian untuk ditempatkan pada suatu pekerjaan yang cocok

(Pasal 17, 18 dan 19). Ini merupakan hak atas pekerjaan yang menghasilkan.

g) Setiap pengungsi akan mendapat perlakuan yang sama dengan warganegara lainnya atas

hak memperoleh pendidikan sekolah dasar. Karenanya, setiap pengungsi berhak pula atas

pembebasan biaya pendidikan tertentu termasuk juga hak untuk memperoleh beasiswa

(Pasal 22). Ini merupakan hak atas pendidikan dan pengajaran.

h) Setiap pengungsi diberikan kebebasan yang seluas-luasnya untuk memilih di daerah atau

provinsi mana mereka akan menetap sepanjang pilihan itu masih berada dalam teritorial

negara dimana ia ditempatkan (Pasal 26). Ini merupakan hak kebebasan bergerak.

i) Setiap pengungsi akan dapat menikmati hak-hak atas kesejahteraan sosial, seperti hak

untuk bekerja, perumahan, mendapatkan upah dari pekerjaan yang mereka lakukan (Pasal

20 dan 22). Ini merupakan hak atas kesejahteraan sosial.

j) Setiap pengungsi berhak atas surat-surat identitas dan dokumen perjalanan ke luar dari

teritorial negara dimana dia ditempatkan kecuali karena alasan keamanan dan

kepentingan umum. Dokumen yang dikeluarkan atas perjanjian internasional akan diakui

oleh negara peserta Konvensi (Pasal 27 dan 28). Ini merupakan hak atas tanda pengenal

dan dokumen perjalanan.

k) Dalam hal ini pengungsi telah ditempatkan secara tetap di suatu negara, tidak aka nada

dilakukan tindakan pengusiran ke wilayah dimana kehidupannya akan terancam serta

tidak aka nada penghukuman terhadap pengungsi yang masuk secara tidak sah, kecuali

jika keamanan nasional menghendaki lain, seperti mereka melakukan kekacauan dimana

(18)

Selain dari hak-hak pengungsi yang disebutkan diatas, Konvensi juga telah menggariskan

kewajiban pengungsi sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 Konvensi.

“Every refugee has duties to the country in which he finds himself, which require in particular

that he conform to its laws and regulations as well as to measures taken for maintenance of

public order”.

Berdasarkan Pasal 2 diatas setiap pengungsi berkewajiban untuk mematuhi semua hukum

dan peraturan atau ketentuan-ketentuan untuk menciptakan ketertiban umum di negara dimana

dia ditempatkan. Hak Asasi Manusia yang diatur dalam Universal Declaration of Human Rights

diatas merupakan pengaturan umum. Pengaturan yang lebih rinci dapat dilihat di dalam

International Convenant on Economic, Socialand Cultural Rights dan International Convenant

on Civil and Political Rights serta protokol-protokol tambahannya.

C. Pengungsi di Indonesia

Banyaknya pengungsi yang masuk ke Indonesia sangat logis, karena lokasi geografis

Indonesia yang sangat strategis. Para pengungsi tersebut sebagian besarnya hendak menuju

Australia, Kanada, Amerika Serikat, Selandia Baru dan Norwegia. Motif terbesar dari para

pengungsi tersebut adalah menghindari persekusi, atau menghindari perang yang terjadi di

negaranya.

Sebagai negara yang mempunyai posisi geografis yang sangat strategis membuat

Indonesia harus menerima konsekuensi sebagai wilayah yang terbuka dengan dunia luar

(19)

dampak konflik, peperangan, atau kekalutan sosial ekonomi yang dialami suatu negara lain baik

yang berbatasan maupun yang tidak berbatasan. Dampak tersebut berupa masuknya ribuan

pencari suaka atau yang biasa disebut asylum seeker yang ingin mendapatkan status pengungsi.

Mereka masuk melalui beberapa perbatasan di wilayah Indonesia, dan Indonesia dijadikan

sebagai negara transit sebelum mereka di tempatkan di tujuan akhirnya yakni Australia misalnya.

Beberapa faktor yang menyebabkan Indonesia dipilih sebagai negara transit diantaranya

adalah pertama, Indonesia memiliki wilayah laut yang luas dan garis pantai yang panjang, namun

tidak didukung oleh aturan hukum yang tegas. Sehingga dengan mudah dimanfaatkan bagi para

pengungsi dan pencari suaka untuk memasuki wilayah Indonesia. Kedua, posisi Indonesia sangat

lemah dalam mengatasi masalah para pencari suaka dan pengungsi dari negara lain karena tidak

memiliki peraturan nasional yang secara khusus membahas masalah tersebut. Ketiga, kurangnya

sarana dan prasarana yang dimiliki dalam penanganan pengungsi dan pencari suaka untuk

mengawasi perairan Indonesia secara intensif. Keempat, keberadaan UNHCR di Indonesia juga

menjadi daya tarik pengungsi. Kelima, kultur atau budaya masyarakat Indonesia dapat dengan

mudah menerima kedatangan dan keberadaan para pengungsi. Keenam, Indonesia telah hidup

rukun dengan berbagai macam suku, agama dan budaya yang beranekaragam.

Keberadaan jumlah pengungsi yang cenderung meningkat inilah yang membuat usaha

penanganan pengungsi terus diperhatikan oleh pemerintah Indonesia. Di sisi lain, Indonesia tidak

memiliki undang-undang khusus atau peraturan hukum nasional mengenai pengungsi maupun

pencari suaka. Namun demikian, hak untuk mencari suaka dijamin di dalam Undang-undang

Dasar Republik Indonesia tahun 1945, Pasal 28G ayat (2) yang berbunyi “setiap orang berhak

untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat manusia dan berhak

(20)

juga menjamin bahwa setiap orang berhak mencari suaka untuk memperoleh perlindungan

politik dari negara lain.

Hingga saat ini Indonesia belum meratifikasi Konvensi dan Protokol tentang Status

Pengungsi. Menurut H Sukamta anggota Komisi I DPR Fraksi PKS pemerintah belum

meratifikasi Konvensi tersebut karena adanya pasal-pasal dalam Konvensi yang dinilai

memberatkan pemerintah Indonesia seperti keharusan bagi negara peratifikasi untuk memberikan

kebebasan kepada pengungsi dalam mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan upah,

melakukan usaha sendiri seperti pertanian dan mendirikan perusahaan.57

Pasal yang lain juga menyatakan bahwa pengungsi mempunyai hak untuk mendapatkan

pendidikan dan pemerintah berkewajiban untuk memenuhinya. Pemerintah tentunya mengalami

dilematis, pada satu sisi amanat UUD NRI 1945 menjunjung kebebasan dan perlindungan bagi

para pencari suaka, tapi pada sisi lain juga pemerintah Indonesia akan lebih memprioritaskan

warga negaranya sendiri untuk dipenuhi kebutuhan hidupnya.58

57

Nasional.sindonews.com/read/1001655/17/semangat-konstitusi-dalam-menyikapi-pengungsi-rohingya-1431702333 diakses pada hari Jumat 5 Juni 2015, pukul 12.20 WIB

58 Ibid.

Sementara itu jika Indonesia mengikatkan diri kepada Konvensi 1951, beberapa pihak

beranggapan bahwa tindakan tersebut hanya akan menambah kewajiban bagi Indonesia,

sementara manfaat dari ratifikasi Konvensi tersebut masih diperdebatkan, memang beberapa

pihak meyakini akan ada beberapa manfaat dari ratifikasi Konvensi tersebut, tetapi letak

keseimbangan antara manfaat yang diperoleh dibandingkan dengan kewajiban yang memang

(21)

Tetapi Indonesia telah meratifikasi beberapa instrumen HAM internasional dan regional,

antara lain: 59

 Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR)

 Konvensi Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR)

 Konvensi Penghaspusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW)

 Konvensi tentang Hak-hak Anak

 Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilities (CRPD)

 Deklarasi Hak Asasi Manusia ASEAN

Menurut Undang-undang No.37 Tahun 1999 tentang hubungan luar negeri, menyatakan

bahwa pengungsi dan pencari suaka secara khusus diatur oleh Keppres (Keputusan Presiden),

namun sejauh ini belum ada Keppres yang dikeluarkan. Satu-satunya aturan hukum yang

digunakan oleh pemerintah Indonesia, khususnya pejabat imigrasi untuk mengatur soal pencari

suaka dan pengungsi adalah, surat ederan IMI-1489.UM.08.05 yang dikeluarkan oleh Dirjen

Imigrasi pada tahun 2010. Surat edaran tersebut mengatur bahwa setiap imigran yang mencari

suaka tidak akan dideportasi, mereka akan dirujuk ke UNHCR dan diizinkan tinggal (di

Indonesia) selama mereka memiliki sertifikat pengungsi yang dikeluarkan oleh UNHCR. Mereka

juga akan dibebaskan dari rumah detensi dengan persetujuan dari pejabat imigrasi, dan

selanjutnya akan disupport oleh IOM atau UNHCR. Bagi mereka yang ditolak permohonannya

(sebagai pengungsi) oleh UNHCR, akan dimasukkan ke rumah detensi, dikarenakan denda,

dan/atau dideportasi.60

59

Suaka.or.id/public-awareness/human-rights-framework/ diakses pada hari Jumat 5 Juni 2015, pukul 12.35 WIB

(22)

Indonesia mulai menghadapi persoalan pengungsi yang serius pada tahun 1975.

Beratus-ratus orang meninggalkan wilayah semenanjung Indocina (Kamboja, Laos, dan Vietnam) untuk

mencari perlindungan di negara-negara lain sebagai akibat dari pergantian rezim di wilayah

tersebut. Kebanyakan dari mereka terutama dari Vietnam, menggunakan jalan laut sampai di

Indonesia. Saat itu, Indonesia tidak terdapat kantor UNHCR. Untuk menjamin penerimaan

terhadap mereka dan tempat tinggal mereka di Indonesia, UNHCR bertindak melalui Misi

Permanen Indonesia di Jenewa dan kantor cabangnya di Bangkok, serta mengirimkan stafnya

untuk misi jangka pendek. Seorang staf ditugaskan untuk jangka waktu panjang dan kantor di

Indonesia dikoordinasikan oleh kantor cabang UNHCR di Kuala Lumpur. Dengan dibukanya

tempat pengungsi di Pulau Galang, sejak tahun 1981 kantor UNHCR di Jakarta menjadi kantor

cabang sendiri.

Masalah pengungsi merupakan masalah yang sangat serius yang dihadapi oleh

masyarakat internasional yang penanggulangannya memerlukan kerjasama masyarakat

internasional secara keseluruhan. Masuknya para pengungsi ke wilayah Indonesia yang

jumlahnya cenderung meningkat dapat menimbulkan gangguan kehidupan sosial, politik,

keamanan dan ketertiban masyarakat. Apalagi jika keberadaan mereka disusupi oleh kegiatan

terorisme internasional, trafficking in person atau kegiatan kriminal lainnya.61

61

Pergerakan dan perpindahan manusia sebagai individu atau kelompok akan mempunyai

dampak, baik yang bersifat positif maupun negatif pada individu atau kelompok penerima.

Pengaruh sosial dan budaya terjadi karena adanya interaksi di antara mereka, baik di lingkungan

pendatang maupun penerima.

(23)

Negara berkepentingan melalui fungsi keimigrasian untuk tetap menjaga kondisi sosial

dan budaya yang ada dalam masyarakat agar pengaruh dari luar tidak merusak struktur sosial

budaya masyarakatnya. Fungsi keimigrasian melalui kebijakan yang diberlakukan oleh

pemerintah harus mampu menyaring serta mengatur hak-hak yang tidak diinginkan. Untuk

mencegah terjadinya hal-hal negatif tersebut, maka penanganan imigran illegal harus dilakukan

dengan baik dengan mengutamakan pengamanan (maximum security) dan penegakan kedaulatan

negara. Cara penanganan tersebut tentu berdasarkan aturan hukum baik nasional maupun

internasional.

Indonesia memiliki suatu sistem hukum nasional yang berdaulat penuh dan berlaku

dalam yurisdiksi seluruh negara. Namun Indonesia dalam konteks relasi internasional tidak dapat

lepas dari hukum internasional. Hukum internasional yang dipahami dan diterima sebagai

keinginan dan komitmen masyarakat internasional menjadi pertimbangan penting saat

menyangkut hubungan dengan negara lain. Hukum internasional tertentu mengingat urgensinya

bagi kepentingan negara dan atau penghormatan terhadap masyarakat nasional dijadikan atau

diadopsi menjadi hukum nasional melalui suatu ratifikasi.62

Ratifikasi merupakan proses menjadikan suatu instrumen internasional menjadi hukum

nasional. Instrumen internasional secara resmi menjadi bagian dari hukum nasional, oleh

karenanya ia mengikat secara hukum. Oleh karena itu, haruslah dibedakan antara instrumen

internasional dengan instrumen nasional. Instrumen internasional hanya menyatakan keharusan

(24)

serta cara menyatakan persetujuan suatu negara. Namun pada instrumen nasional ditentukan

otoritas mana yang berwenang untuk menentukan persetujuan pengikatan berikut prosedurnya.63

Namun, apabila menelusuri lebih jauh tentang konstitusi dan peraturan

perundang-undangan yang ada, sebenarnya ketentuan pencari suaka dan pengungsi bukannya tidak diatur

sama sekali, berikut sekilas mengenai ketentuan tersebut.64

No

Pengaturan Tentang Pencari Suaka dan Pengungsi

UUD dan Peraturan Perundang-Undangan

Rumusan

1 UUD 1945 Pasal 28 G Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau

perlakuan yang merendahkan derejat martabat

manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari

negara lain.

2 TAP MPR No.XVII/MPR/1998 TAP MPR ini terdiri dari tiga bagian, salah satu

bagiannya mengakui keberadaan Deklarasi Universal

Hak Asasi Manusia (DUHAM), yang mana dalam

salah satu pasalnya, yaitu pasal 24 mengatur bahwa

“setiap orang berhak mencari suaka untuk

memperoleh perlindungan politik dari negara lain”.

3 Undang-undang No.12 Tahun

2005 tentang Pengesahan

Pasal 12 ayat (2): Setiap orang bebas untuk

meninggalkan negara manapun termasuk negaranya.

63

Boer Mauna, 2005, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Alumni, Bandung, Hlm. 115-116

(25)

Konvensi Hak Sipil dan Politik

(UU Hak Sipol)

Pasal 7: Setiap orang tidak boleh dijadikan sasaran

penyiksaan atau hukuman yang tidak manusiawi.

4 Undang-undang No.5 Tahun 1998

tentang Pengesahan Konvensi

Menentang Penyiksaan dan

Perlakuan Lain yang Kejam, Tidak

Manusiawi, atau Merendahkan

Martabat Manusia (UU CAT)

Pasal 3: Tidak boleh ada negara yang menolak,

mengembalikan atau mengekstradisi seseorang ke

negara yang mana terdapat keyakinan/alasan yang

kuat bahwa dia akan berbahaya karena menjadi

sasaran penyiksaan.

5 Undang-undang No.37 Tahun

1999 tentang Hubungan Luar

Negeri (UU Hublu)

Pasal 25 ayat (1): Kewenangan pemberian suaka

kepada orang asing berada ditangan Presiden dengan

memperhatikan pertimbangan Menteri.

Pasal 27 ayat (1): Presiden menetapkan kebijakan

masalah pengungsi dari luar negeri dengan

memperhatikan pertimbangan Menteri.

6 Undang-undang No.6 Tahun 2011

tentang Keimigrasian (UU

Keimigrasian)

Pasal 86: Ketentuan tindakan administratif

keimigrasian tidak diberlakukan terhadap korban

perdagangan orang dan penyeludupan manusia.

Pasal 87: (1) Korban perdagangan orang dan

penyeludupan manusia yang berada di wilayah

Indonesia ditempatkan didalam Rumah Detensi

Imigrasi (Rudenim) atau di tempat lain yang

ditentukan.

(26)

manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

mendapatkan perlakuan khusus yang berbeda dengan

Deteni pada umum nya.

Pasal 88: Menteri atau pejabat imigrasi yang ditunjuk

mengupayakan agar korban perdagangan orang dan

penyeludupan manusia yang berkewarganegaraan

asing segera dikembalikan ke negara asal mereka dan

diberikan surat perjalanan apabila mereka tidak

memilikinya.

7 Peraturan Dirjen Imigrasi No.

IMI-1489.UM.08.05 Tahun 2010

tentang Penanganan Imigran Ilegal

Pada bagian menimbang secara jelas disebutkan

bahwa latar belakang diterbitkan peraturan Dirjen

Imigrasi adalah …bahwa dalam perkembangannya

kedatangan dan keberadaan orang asing sebagai

imigran illegal yang kemudian menyatakan dirinya

sebagai pencari suaka dan pengungsi…

Isi peraturan Dirjen menyangkut penanganan pencari

suaka dan pengungsi.

8 Pasal 206, 221, dan 223 Peraturan

Pemerintah No.31 Tahun 2013

tentang Keimigrasian

Ketentuan-ketentuan yang ada pada PP mengatur

tentang pendetensian pengungsi (imigran illegal)

hingga 10 tahun. PP tersebut mengatur bahwa, setelah

10 tahun pendetensian mereka dapat dikeluarkan

dengan kewajiban melaporkan selama enam bulan

(27)

apabila ada perubahan status dan pekerjaan mereka.

Gambaran umum mengenai perkembangan perlindungan pengungsi internasional yang

dilakukan oleh lembaga internasional adalah sebagai berikut Lembaga Internasional yang Menangani Pengungsi

65

1. Liga Bangsa-Bangsa

:

Lembaga ini dibentuk pada tahun 1921 dan berakhir pada tahun 1946. Meskipun lembaga

ini tidak berusia lama, tetapi justru banyak melahirkan instrumen-instrumen hukum mengenai

perlindungan para pengungsi. Selama periode Liga Bangsa-Bangsa, banyak badan dibentuk yang

dimaksudkan untuk membantu Komisi Agung Pengungsi. Seperti, The Nansen International

Office for Refugees (1931-1938), The Office of The High Commissioner for Refugee

(1931-1938), The Office of The High Commissioner of The League of Nations for Refugees

(1939-1946), dan Intergovermental Committee for Refugees (1938-1947).

2. UNRRA (United Nations Relief and Rehabilitation Administration)

Lembaga ini dibentuk pada tahun 1943, yang mempunyai tujuan untuk memukimkan

kembali (resettlement) para pengungsi ke negara mereka yang terlantar akibat Perang Dunia II.

Mandat UNRRA awalnya hanya enam bulan saja tetapi kemudian diperpanjang karena kerja

UNRRA semakin sulit mengingat terdapat 12.000.000 etnis Jerman dari Blok Timur yang tidak

ingin dipulangkan.

3. IRO (The International Refugee Organitation)

65

(28)

Lembaga ini didirikan pada tanggal 15 Desember 1946 dalam Resolusi 62 (1) dari

Majelis Umum PBB. Dari lembaga-lembaga yang lain (Liga Bangsa-Bangsa dan UNRRA), IRO

merupakan lembaga internasional pertama yang menangani masalah pengungsi secara

komprehensif. Hal ini terlihat dari registrasi, penentuan status pengungsi, repatriasi, sampai ke

penempatan kembali pengungsi. Tujuan IRO adalah merepatriasi para pengungsi, tetapi karena

perkembangan politik pasca perang Eropa tujuan tersebut beralih menjadi mengusahakan

penempatan para pengungsi. Selain itu IRO juga telah mengembangkan ukuran standar yang

berkaitan dengan migrasi dalam jumlah besar dan hanya akan dapat dicapai melalui usaha

koordinatif dalam kerangka badan internasional.

Dengan perkembangan dan perubahan keadaan maka dibentuklah lembaga khusus yang

menangani pengungsi di wilayah tertentu, seperti pengungsi Rusia, Jerman dan pengungsi

Palestina. Badan yang menangani pengungsi Rusia adalah Office of The High Commissioner for

Russian Refugees, untuk menangani pengungsi Jerman maka dibentuk High Commissioner for

Refugees Coming From Germany yang dibentuk pada tahun 1931.

Sedangkan untuk menangani pengungsi Palestina pada tahun 1950 dibentuklah UNRWA

(United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East). Lembaga ini

dibentuk mempunyai tujuan khusus yaitu menaggulangi masalah-masalah pengungsian, meliputi

masalah perlindungan terhadap para pengungsi dan mencari solusi agar masalah pengungsi tidak

berlarut-larut, memberikan perlindungan dan bantuan pada para pengungsi. Lembaga ini telah,

dan masih memberikan bantuan sisi kebutuhan para pengungsi berupa penyediaan bahan-bahan

pokok untuk kebutuhan makanan dan sekolah-sekolah untuk pendidikan, juga sebagian bantuan

(29)

Adapun lembaga-lembaga internasional yang menangani pengungsi antara lain :

a) UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees)

Lembaga ini mempunyai wewenang khusus untuk melindungi pengungsi. Selain itu

UNHCR juga mempunyai tugas dan wewenang dalam menangani pengungsi. Tugas, wewenang,

serta fungsi UNHCR tercantum dalam statuta UNHCR.

Tugas UNHCR terdapat dalam statuta UNHCR bab kedua. Tugas UNHCR yaitu66

To promote the conclusions and ratification of international conventions, supervising

their application and proposing amandements

:

To promote meansures to improve the situation of refugees and reduce the number

requiring protection

To assist efforts to promote voluntary repatriation or local settlement

To promote the admission of refugees to territories of states

To facilitate the transfer of refugees assets

To obtain from Governments information concerning refugee numbers and conditions,

and relevant laws and regulations

To keep in touch with Governments and intergovernments organizations

To establish contact with private organizations

To facilitate the coordination of their efforts.

Kewenangan UNHCR yaitu :

(30)

 Meningkatkan skala operasi UNHCR yaitu menemukan solusi bagi para pengungsi yang

masih belum mendapatkan tempat tinggal.

 Semakin luasnya ruang lingkup aktifitas UNHCR yaitu memfasilitasi pemukiman bagi

para pengungsi, memberikan bantuan secara materi seperti papan dan pangan, kesehatan

pendidikan dan bantuan lainnya.

 Meningkatkan jumlah pelaku internasional yang memberikan bantuan bagi perlindungan

dan bantuan bagi pengungsi.

b) ICRC (International Committee of the Red Cross) membantu dalam menangani korban

perang.

c) World Food Programme (WPP) bertugas memberikan bantuan pangan, termasuk ke

kamp-kamp pengungsi.

d) United Nations Children Fund (UNICEF) bertugas mempromosikan hak anak melalui

program-program yang terfokus pada kesehatan, gizi, pendidikan, pelatihan dan pelayanan

sosial untuk anak, serta kegiatan-kegiatan yang melengkapi upaya UNICEF atas nama

pengungsi anak.

e) World Health Organization (WHO) yang bertugas mengarahkan dan mengkoordinir tugas

kesehatan internasional dan aktif berkampanye tentang imunisasi dan kesehatan reproduksi.

f) United Nations Development Programme (UNDP) mempunyai tugas mengkoordinir semua

kegiatan pembangunan PBB termasuk mengawasi kegiatan pembangunan jangka panjang

menyusul terjadinya darurat pengungsi serta membantu proses integrasi pengungsi ke

(31)

g) Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) bertugas memimpin kegiatan

advokasi global melawan epidemi ini, menjadi ujung tombak inisiatif perawatan dan bantuan

bagi penderita-penderitanya.

h) Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights (OHCHR) yang bertugas

mengkoordinir gerakan PBB untuk hak asasi manusia serta memberikan tanggapan terhadap

pelanggaran berat hak asasi manusia.

Kebutuhan untuk menciptakan dan mewujudkan tanggung jawab untuk melindungi

pengungsi tidak dapat terpenuhi bila tidak ada kerjasama. Untuk itu dalam rangka pemenuhan

kebutuhan tersebut telah dilakukan upaya untuk membina kerjasama antara lembaga-lembaga di

atas. Selain untuk melindungi pengungsi kerjasama tersebut penting guna mengatasi masalah

pengungsi.

D. Konsep Tentang Hak Asasi Manusia

Meskipun tidak menggunakan istilah fundamental human rights (hak asasi manusia yang

asasi) atau human rights and fundamental freedoms (hak manusia dan kebebasan asasi)

sebagaimana yang kita kenal sejak 1945, melainkan istilah rights (hak) atau liberties

(kebebasan), atau droits de l’homme et du citoyen (hak manusia dan warga negara), konsep hak

asasi dan kebebasan fundamental, yang di Indonesia dikenal sebagai hak asasi manusia dengan

akronimnya HAM. Sebagai konsep hak dan kebebasan yang melekat pada diri manusia yang

harus dihormati dan dilindungi. Lahir ditingkat nasional khususnya Inggris, Amerika Serikat, dan

(32)

bentuk peraturan perundang-undangan nasional atau instrumen deklaratif yang memuat

ketentuan atau yang mengenai HAM, yakni :67

 Bill of Rights di Inggris pada 1688

 Virginia Declaration of Rights di Amerika Serikat pada 1776

 Declaration of Independence di Amerika Serikat pada 1776

 Declaration des Droits de l’Homme et du Citoyen di Prancis pada 1789

 Bill of Rights di Amerika Serikat pada 1791

Pada abad ke-19 konsep penghormatan dan perlindungan HAM mulai berkembang di

tingkat internasional, artinya dianut oleh komunitas bangsa-bangsa dalam hubungan antara

mereka.68

HAM adalah hak mendasar, dalam harga diri dan nilai-nilai individu manusia,

kesederajatan antara laki-laki dan perempuan dan kesederajatan antara bangsa yang besar dan

dengan yang kecil. HAM dalam penerapan kehendaknya tidak membedakan ras, agama, suku,

jenis kelamin, atau bahasa. Begitu pula dalam upaya menjamin perlakuan manusiawi terutama

bagi kelompok rentan. Hukum Internasional yang terfokus untuk menjaga martabat dan

kesejahteraan masing-masing individu. Kedua perangkat hukum meningkatkan perlindungan

pengungsi.69

Hukum HAM berlaku untuk siapa saja, termasuk pengungsi tanpa memperdulikan status

resmi mereka. Seperti yang telah dijelaskan sebelum-sebelumnya bahwa pengungsi adalah

segolongan manusia yang sangat rentan terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh para

67

Enny Soeprapto, Perkembangan Hukum Hak Asasi Manusia Internasional, 2006. Hlm. 1

68

Ibid.

69

UNHCR, Pengenalan tentang Perlindungan Internasional, Melindungi Orang-orang yang Menjadi Perhatian

(33)

penguasa baik di negara mereka sendiri ataupun di negara dimana mereka mengungsi. Hukum ini

merupakan standar kepada pengungsi dan pencari suaka di wilayahnya. Ini sangat penting untuk

negara-negara yang belum jadi peserta dari traktat pengungsi manapun baik Konvensi 1951,

Protokol 1967, ataupun Konvensi Pengungsi Organization Africa Union (OAU).70

a. DUHAM (Deklarasi Umum Hak-hak Asasi Manusia) 1948

Adapun perangkat HAM internasional yang berkaitan dengan pengungsi dan dijadikan

sebagai dasar perlindungan dan perlakuan pengungsi. Perangkat yang dimaksud adalah DUHAM

1948, ICCPR 1966, ICESCR 1966, dan CAT 1984.

Pasal 9,13, dan 14 DUHAM yang telah ditandatangani Pemerintah Indonesia

memberikan perlindungan, baik langsung maupun tidak langsung, terhadap hak-hak dan

kebebasan dasar para pengungsi dan pencari suaka. Pasal 9 DUHAM mengatur bahwa “tidak

seorangpun boleh ditangkap, ditahan atau dibuang dengan sewenang-wenang”.71

1) Setiap orang berhak atas kebebasan bergerak dan berdiam di dalam batas-batas setiap

negara.

Selanjutnya pasal 13 DUHAM mengatur bahwa :

2) Setiap orang berhak meninggalkan suatu negeri, termasuk negerinya sendiri, dan berhak

kembali ke negerinya.72

Lebih lanjut pasal 14 DUHAM mengatur bahwa :

70

Ibid.

71

Lihat Pasal 9 Deklarasi Umum Hak-hak Asasi Manusia 1948

(34)

1) Setiap orang berhak mencari dan mendapatkan suaka di negeri lain untuk melindungi diri

dari pengejaran.

2) Hak ini tidak berlaku untuk kasus pengejaran yang benar-benar timbul karena

kejahatan-kejahatan yang tidak berhubungan dengan politik, atau karena perbuatan-perbuatan yang

bertentangan dengan tujuan dan dasar PBB.73

Selain hak-hak yang terdapat dalam Pasal 9, 13, dan 14 sebagaimana yang telah

disebutkan diatas, dibeberapa pasal lain juga terdapat hak-hak yang krusial bagi perlindungan

pengungsi, diantaranya hak atas hidup, hak atas rasa aman, hak untuk mencari dan menikmati

suaka, bebas dari penyiksaan atau perlakuan dan hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi,

dan merendahkan martabat manusia, bebas dari perbudakan, kebebasan berpikir dan beragama,

bebas dari penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, serta kebebasan berpendapat dan

berekspresi.74

b. ICCPR (International Covenant on Civil an Political Rights) 1966

Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (selanjutnya disingkat Kovenan Sipol)

1966 merupakan Kovenan yang disahkan oleh Majelis Umum PBB melalui Resolusi No.2200 A

(XXI). Kovenan Sipol bertujuan untuk mengukuhkan pokok-pokok HAM di bidang sipil dan

politik yang tercantum dalam DUHAM sehingga menjadi ketentuan-ketentuan yang mengikat

secara hukum dan penjabarannya mencakup pokok-pokok lain yang terkait.75

73 Ibid., Pasal 14

74

Asep Mulyana, Membaca Fenomena Pengungsi dan Pencari Suaka. Penelitian oleh Komnas HAM. 2011.

75

Lihat lebih lanjut Sejarah Perkembangan Lahirnya Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik bagian Penjelasan atas Undang-undang Republik Indonesia No.12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International

(35)

Kovenan Sipol muncul atas dasar cita-cita manusia yang bebas untuk menikmati

kebebasan sipil dan politik dan kebebasan dari ketakutan dan kemiskinan, hanya dapat dicapai

apabila diciptakan kondisi dimana setiap orang dapat menikmati hak-hak sipil dan politik, serta

hak ekonomi, sosial dan budaya.76

Dalam hal ini, jika dikaitkan dengan pengungsi maka para pengungsi juga mempunyai

hak atas semua hak dan kebebasan dasar seperti disebutkan dalam instrumen hak asasi manusia

internasional. Dengan demikian maka perlindungan bagi pengungsi harus dilihat dalam konteks

perlindungan hak asasi manusia yang lebih luas.77

1) Setiap orang yang secara sah berada dalam wilayah suatu Negara, berhak atas kebebasan

untuk bergerak dan kebebasan untuk memilih tempat tinggalnya dalam wilayah tersebut. Hak-hak mengenai perlindungan pengungsi juga diatur dalam Kovenan Sipol yang

terdapat dalam Pasal 12, 13, 14, dan Pasal 16. Dalam Pasal 12 diatur bahwa :

2) Setiap orang bebas untuk meninggalkan negara mana pun, termasuk negaranya sendiri.

3) Hak-hak diatas tidak boleh dikenai pembatasan apapun kecuali pembatasan yang

ditentukan oleh hukum guna melindungi keamanan nasional dan ketertiban umum,

kesehatan atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan dari orang lain, dan yang

sesuai dengan hak-hak lain yang diakui dalam Kovenan ini.

4) Tidak seorang pun boleh secara sewenang-wenang dirampas hak nya untuk memasuki

negaranya sendiri.78

Selanjutnya Pasal 13 mengatur bahwa :

76

Ibid.

77

Ibid.

(36)

“Seorang asing yang secara sah berada dalam wilayah suatu negara pihak dalam Kovenan

ini, hanya dapat diusir dari wilayah tersebut sebagai akibat keputusan yang diambil berdasarkan

hukum, dan kecuali ada alasan-alasan kuat mengenai keamanan nasional, harus diberikan

kesempatan untuk mengajukan alasan untuk menolak pengusiran tersebut, dan berhak meminta

agar kasusnya ditinjau kembali dan diwakili untuk tujuan ini oleh badan yang berwenang atau

orang atau orang-orang yang secara khusus ditunjuk oleh badan yang berwenang”.79

1) Semua orang mempunyai kedudukan yang sama dihadapan pengadilan dan badan peradilan.

Dalam menentukan tuduhan pidana terhadapnya, atau dalam menentukan segala hak dan

kewajibannya dalam suatu gugatan, setiap orang berhak atas pemeriksaan yang adil dan

terbuka untuk umum, oleh suatu badan peradilan yang berwenang, bebas dan tidak berpihak

dan dibentuk menurut hukum. Media dan masyarakat dapat dilarang untuk mengikuti seluruh

atau sebagian siding karena alasan moral, ketertiban umum atau keamanan nasional dalam

suatu masyarakat yang demokratis atau apabila benar-benar diperlukan menurut pendapat

pengadilan dalam keadaan khusus, dimana publikasi justru akan merugikan kepentingan

keadaan sendiri ; namun setiap keputusan yang diambil dalam perkara pidana maupun

perdata harus diucapkan dalam sidang yang terbuka, kecuali bilamana kepentingan

anak-anak menentukan sebaliknya, atau apabila persidangan tersebut berkenaan dengan

perselisihan perkawinan atau perwalian anak-anak. Selanjutnya Pasal 14 mengatur bahwa :

2) Setiap orang yang dituduh melakukan kejahatan berhak dianggap tidak bersalah sampai

kesalahannya dibuktikan menurut hukum.

(37)

3) Dalam menentukan tindak pidana yang dituduhkan padanya, setiap orang berhak atas

jaminan-jaminan minimal berikut ini, dalam persamaan yang penuh :

a. Untuk diberitahukan secepatnya dan secara rinci dalam bahasa yang dapat dimengertinya,

tentang sifat dan alasan tuduhan yang dikenakan terhadapnya

b. Untuk diberi waktu dan fasilitas yang memadai untuk mempersiapkan pembelaan dan

berhubungan dengan pengacara yang dipilihnya sendiri

c. Untuk diadili tanpa penundaan yang tidak semestinya

d. Untuk diadili dengan kehadirannya, dan untuk membela diri secara langsung atau melalui

pembela yang dipilihnya sendiri, untuk diberitahukan tentang hak ini bila ia tidak

mempunyai pembela dan untuk mendapatkan bantuan hukum demi kepentingan keadilan,

dan tanpa membayar jika ia tidak memiliki dana yang cukup untuk membayarnya.

e. Untuk memeriksa atau meminta diperiksanya saksi-saksi yang memberatkannya dan

meminta dihadirkan dan diperiksanya saksi-saksi yang meringankannya, dengan

syarat-syarat yang sama dengan saksi-saksi yang memberatkannya.

f. Untuk mendapatkan bantuan cuma-cuma dari penerjemah apabila ia tidak mengerti atau

tidak dapat berbicara dalam bahasa yang digunakan di pengadilan

g. Untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian yang memberatkan dirinya, atau dipaksa

mengaku bersalah.

4) Dalam kasus orang dibawah umur, prosedur yang dipakai harus mempertimbangkan usia

mereka dan keinginan untuk meningkatkan rehabilitasi bagi mereka.

5) Setiap orang yang dijatuhi hukuman berhak atas peninjauan kembali terhadap keputusannya

(38)

6) Apabila seseorang telah dijatuhi hukuman dengan keputusan hukum yang telah mempunyai

kekuatan hukum yang tetap, dan apabila kemudian ternyata diputuskan sebaliknya atau

diampuni berdasarkan suatu fakta baru, atau fakta yang baru saja ditemukan menunjukkan

secara meyakinkan bahwa telah terjadi kesalahan dalam penegakan keadilan. Maka orang

yang telah menderita hukuman sebagai akibat dari keputusan tersebut harus diberi ganti rugi

menurut hukum, kecuali jika dibuktikan bahwa tidak terungkapnya fakta yang tidak diketahui

itu, sepenuhnya atau untuk sebagian disebabkan karena dirinya sendiri.

7) Tidak seorang pun dapat diadili atau dihukum kembali untuk tindak pidana yang pernah

dilakukan, untuk mana ia telah dihukum atau dibebaskan, sesuai dengan hukum dan hukum

acara pidana di masing-masing negara.80

Selanjutnya Pasal 16 Kovenan Sipol mengatur bahwa : “setiap orang berhak untuk diakui

sebagai pribadi dihadapan hukum dimanapun ia berada.81

c. ICESCR (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights) 1966

Dengan demikian bahwa setiap negara

berkewajiban untuk berupaya keras bagi pemajuan dan pelaksanaan hak-hak yang diakui dalam

Kovenan ini”.

Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (selanjutnya disingkat

Kovenan Ekosob) merupakan Kovenan yang membahas tentang hak-hak ekonomi, sosial dan

budaya dimana hak-hak tersebut adalah bagian tak terpisahkan dari hak asasi manusia.82

80 Ibid., Pasal 14

81

Ibid., Pasal 16

82

Indonesia ESC Rights Action Network, Mengenai Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Ekosob (ICESCR),

(39)

Hak Ekosob menciptakan kondisi bagi peningkatan kapabilitas dengan menghapuskan

deprivasi/kesenjangan. Hak-hak ini memungkinkan kebebasan untuk menentukan cara hidup

yang kita hargai. Potensi manusia bisa diekspresikan melalui hak-hak sipil dan politik namun

pengembangan potensi tersebut membutuhkan keadaan-keadaan sosial dan ekonomi yang

memadai.83

1) Setiap negara pihak pada Kovenan ini, berjanji untuk mengambil langkah-langkah, baik

secara individual maupun melalui bantuan dan kerjasama internasional, khususnya

dibidang ekonomi dan teknis sepanjang tersedia sumber dayanya, untuk secara progresif

mencapai perwujudan penuh dari hak-hak yang diakui oleh Kovenan ini dengan cara-cara

yang sesuai, termasuk dengan pengambilan langkah-langkah legislatif.

Perlindungan hak-hak pengungsi atau warga negara asing/imigran dalam Kovenan ini

diatur dalam Pasal 2 yang menyatakan bahwa :

2) Negara pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menjamin bahwa hak-hak yang diatur

dalam Kovenan ini akan dilaksanakan tanpa diskriminasi apapun seperti ras, warna kulit,

jenis kelamin, bahasa, agama, politik, atau pendapat lainnya, asal-usul kebangsaan atau

sosial, kekayaan, kelahiran atau status lainnya.

3) Negara-negara berkembang dengan memperhatikan hak asasi manusia dan perekonomian

nasionalnya, dapat menentukan sampai seberapa jauh mereka dapat menjamin hak-hak

ekonomi yang diakui dalam Kovenan ini kepada warga negara asing.84

d. CAT ( The United Nations Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or

Degrading Treatment or Punishment) 1984

83

Ibid.

(40)

Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak

Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia (selanjutnya disingkat Konvensi Anti

Penyiksaan) adalah sebuah instrumen hukum internasional yang bertujuan untuk mencegah

penyiksaan terjadi diseluruh dunia.

Konvensi ini mewajibkan negara-negara pihak untuk mengambil langkah-langkah efektif

untuk mencegah penyiksaan terjadi di wilayahnya dan konvensi melarang pemulangan paksa

atau ekstradisi terhadap seseorang ke negara lain di mana ia berhadapan dengan risiko

penyiksaan.85

(1) Tidak ada negara pihak yang boleh mengusir, mengembalikan (refouler), atau

mengekstradisi seseorang ke negara lain apabila terdapat alasan yang cukup kuat untuk

menduga bahwa orang itu dalam bahaya karena menjadi sasaran penyiksaan.

Perlindungan HAM pengungsi atau warga negara asing/imigran mengenai anti

penyiksaan diatur dalam Pasal 3, bahwa :

(2) Untuk menentukan apakah terdapat alasan-alasan semacam itu, pihak berwenang harus

mempertimbangkan semua hal yang berkaitan, termasuk apabila mungkin terdapat pola

tetap pelanggaran yang besar, mencolok atau massal terdapat hak asasi manusia di negara

tersebut.86

Unsur utama dari perlindungan internasional terhadap diri seorang pengungsi adalah

mereka tidak untuk dipulangkan secara paksa ke negara dimana kehidupan dan kebebasan

85

ICJR, 2012, Konvensi Anti Penyiksaan

Juni 2015 pukul 13.00 WIB

86

(41)

mereka akan terancam. Prinsip inilah dalam Konvensi tahun 1951 tentang status pengungsi yang

disebut dengan prinsip non refoulement.

Namun kadang kala kendala yang dihadapi para pengungsi adalah banyak negara-negara

belum menjadi peserta dari instrumen HAM diatas dan Konvensi 1951 ataupun Protokol 1967.

Sehingga tidak jarang kehadiran pengungsi di negara persinggahan atau negara tujuan

dipulangkan secara paksa. Perlakuan seperti itu jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum

internasional yang telah diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab. Kewajiban internasional yang

melekat kepada setiap negara yang menganggap mereka adalah bagian masyarakat internasional,

terlepas apakah negara itu menjadi anggota dari organisasi internasional seperti PBB, atau

anggota dari organisasi internasional lainnya, ataupun peserta atau bukan dari sebuah konvensi

Referensi

Dokumen terkait

Fungsi layak: memeriksa apakah nilai total dari himpunan koin yang dipilih tidak melebihi jumlah uang yang harus dibayar.. Fungsi obyektif: jumlah koin yang

Penelitian ini dilakukan di kota Watampone kabupaten Bone tepatnya di Polres Bone dan Balai Pemasyarakatan Kelas II Watapone (BAPAS) membahas tentang peranan

Adapun peranan sortir atau pengurutan data bisa dikatakan penting oleh karena kecepatan pencarian data menjadi lebih cepat atau mudah untuk diperbaiki, dihapus, disisipi,

Kedua komunikasi tersebut menggunakan fasilitas yang ada pada komputer yaitu port LPT/printer untuk komunikasi laplink dan port serial/mouse untuk komunikasi null modem

- Melihat dari pentingnya komitmen dan kesiapan menikah, serta dari ditemukannya hubungan positif dan signifikan antara komponen komitmen dari cinta dengan kesiapan menikah,

Menurut Arikunto (2010: 203) instrument penelitian adalah ”alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan

Perbandingan Hasil Regresi Berganda Identifikasi Faktor –faktor yang Mempengaruhi Volatilitas Asimetris pada IHSG, JIII, Indeks DJI Large Cap , Middle Cap, dan DJI Small

Lebih lanjut pengertian rijal hadits disini memiliki pengertian yang sama dengan dengan rawi hadits, sehingga didalamnya mencakup pula rawi laki-laki maupun rawi wanita.13 Secara