BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Tumbuhan
2.1.1 Sistematika Tumbuhan
Sistematika tumbuhan jengkol (Tjitrosoepomo, 1994): Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Bangsa : Rosales Suku : Fabaceae Genus : Pithecellobium
Spesies : Pithecellobium jiringa (Jack) Prain 2.1.2 Sinonim
Sinonim dari Pithecellobium jiringa (Jack) Prain : 1. Pithecollobium lobatum Benth
2. Zygia jiringa (Jack) Kosterm 2.1.3 Nama Daerah
Gayo: jering, Batak Karo dan Toba: joring, Minangkabau: jarieng, Lampung: jaring, Dayak: Jaring, Sunda: jengkol, Jawa: jingkol, Bali: blandingan, Sulawesi Utara: Lubi (Heyne, 1987).
2.1.4 Habitat dan Morfologi
Sumatera. Tumbuh subur di daerah dengan musim kemarau yang sedang dan tidak tahan terhadap musim kemarau yang terlalu panjang (Heyne, 1987).
Buah jengkol berupa polong berbentuk gepeng dan berbelit.Warna buahnya lembayung tua.Setelah tua, bentuk polong buahnya menjadi cembung dan di tempat yang mengandung biji ukurannya membesar. Bijinya berkulit ari tipis dan berwarna coklat (Nurrussakinah, 2010).
2.1.5 Kandungan Kimia dan Khasiat Tumbuhan
Buah jengkol mengandung karbohidrat dan minyak atsiri (Heyne, 1987). Hasil penelitian menujukkan bahwa tanaman jengkol banyak mengandung zat, antara lain adalah protein, kalsium, fosfor asam jengkolat vitamin A dan B1 karbohidrat, minyak atsiri, saponin, alkaloid, terpenoid, steroid, tanin, dan glikosida (Pitojo, 1994).
Dari hasil penelitian Rahayu dan Pukan (1998), menyatakan kandungan senyawa kimia dalam kulit jengkol adalah alkaloid, steroid/triterpenoid, saponin, flavonoid dan tanin.
Menurut penelitian, ekstrak air kulit buah jengkol dapat digunakan sebagai larvasida untuk mencegah penyakit demam berdarah (Wiasih, 2014). Selain itu juga dimanfaat sebagai bioherbisida, mengobati penyakit kudis (Nuraini, 2011).
Penelitian lain yang menyebutkan kulit jengkol efektif untuk membasmi siput murbei. Pada penelitan yang dilakukan menggunakan air sebagai tempat hidup siput murbei yang mengandung asam jengkolat dari kulit jengkol yang bersifat toksik sehingga siput murbei mati (Astuti, 2013).
Khasiat buah jengkol lainnya adalah sebagai antibakteri terhadap bakteri Streptococcus mutans, Staphylococcus aureus dan Escherichia coli (Nurrussakinah,
2010).
Asam jengkolat atau jengkolic acid merupakan senyawa sejenis asam amino non-protein yang mengandung unsur sulfur. Adanya unsur sulfur ini menyebabkan asam jengkolat dapat menghasilkan bau yang kurang sedap.
Memakan biji jengkol terlalu banyak dapat menyebabkan keracunan, yaitu hyperaemia ginjal dan pendarahan ginjal.Selain itu dapat juga mengurangi atau menghentikan keluarnya urine serta kejang kandung kemih (Heyne, 1987).
2.2Pestisida
Pestisida merupakan semua zat atau campuran zat yang khusus digunakan untuk mengendalikan, mencegah, atau menangkis gangguan serangga, binatang pengerat, nematoda, gulma yang dianggap hama (Djojosumarto, 2000).
akanmembahayakan kesehatan bagi manusia maupun makhluk hidup lainnya (Djunaedy, 2009).
Pestisida nabati adalahpestisida yang bahan dasarnya berasal dari tanaman atau tumbuhan. Pestisida nabati juga merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah hama. Menurut Ikhsanuddin (2012), salah satunya adalah repelan nabati, yang digunakan oleh masyarakat untuk mengusir serangga dengan memanfaatkan kandungan minyak atsiri dari tanaman.Penggunaaan pestisida nabati selain dapat mengurangi pencemaran lingkungan relatif aman bagi manusia dan ternak, harganya relatif lebih murah bila dibandingkan dengan pestisida sintetik (Djunaedy, 2009).
2.3 Keracunan Pestisida
Pestisida telah digunakan secara luas untuk meningkatkan produksi
pertanian, perkebunan, dan memberantas vektor penyakit.Penggunaan pestisida
untuk keperluan tersebut, terutama berjenis sintetik telah menimbulkan
dilema.Pestisida sintetik di satu sisi sangat dibutuhkan dalam rangka
meningkatkan produksi pangan untuk menunjang kebutuhan yang semakin
meningkat.Namun penggunaan pestisida juga mengandung resiko karena sifat
toksiknya pada manusia serta dampaknya terhadap lingkungan dan
ekosistem(Fikri, 2012).
Penggunaan pestisida yang tidak terkendali akan berakibat pada kesehatan
petani itu sendiri dan lingkungan pada umumnya. Hingga tahun 2000 penelitian
terhadap para pekerja atau penduduk yang memiliki riwayat kontak pestisida, banyak
sekali dilakukan. Dari berbagai penelitian tersebut diperoleh gambaran prevalensi
demikian, dapat diperkirakan prevalensi angka keracunan tingkat sedang pada para
petani bisa mencapai angka puluhan juta pada musim penyemprotan (Prijanto, 2009).
Kebiasaan petani dalam menggunakan pestisida kadang-kadang menyalahi
aturan, selain dosis yang digunakan melebihi takaran, petani juga sering mencampur
beberapa jenis pestisida, dengan alasan untuk meningkatkan daya racunnya pada
hama tanaman. Tindakan yang demikian sebenarnya sangat merugikan, karena dapat
menyebabkan semakin tinggi tingkat pencemaran pada lingkungan oleh pestisida
(Afriyanto, 2008).
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi ketidak tepatan penggunaan pestisida antara lain tingkat pengetahuan, sikap/perilaku pengguna pestisida, penggunaan alat pelindung, serta kurangnya informasi yang berkaitan dengan resiko penggunaan pestisida. Selain itu petani lebih banyak mendapat informasi mengenai pestisida dari petugas pabrik pembuat pestisida dibanding petugas kesehatan (Raini, 2007).
2.4 Repelan
Repelan tidak berfungsi membunuh melainkan hanya mengusir hama (Djojosumarto, 2000).
ringan maupun berat terhadap kulit dan bahan DEET juga bisa melunakkan bahan-bahan yang berasal dari plastik (Kardinan, 2005).
Dalam berbagai penelitian repelan telah dikembangkan dalam bentuk sediaan farmasi seperti formulasi vanishing cream minyak atsiri rimpang jahe
(Zingiber officinale Roxb) dan uji aktivitas repelan terhadap nyamuk Aedes
aegypti betina (Ikhsanuddin, 2012).
Penelitian yang lain dengan memanfaatkan ekstrak etanol 70% daun dan batang tomat yang ditambahkan bahan pensuspensi 10% tween 80 terhadap nyamuk Aedes aegypti (Wahyudi, 2011).
Repelan tidak hanya diteliti untuk mengusir nyamuk, tetapi diteliti juga
untuk mengusir/menolak tikus, seperti penelitian Ivakdalm (2014), yaitu
pengendalian tikus sawah (Rattus argentiventer) menggunakan aroma/bau dari wipol dan minyak tanah yang mengakibatkan tikus menjauhi pakan, dengan tingkat konsumsi 0,04 gram repelan wipol dan 0,19 gram repelan minyak tanah selama tiga hari, dari rata-rata konsumsi paling rendah dari tiap tikus, perhari berdasarkan bobot tubuh 12,5 gram. Di dalam penelitian ini ekstrak air biji jengkol dapat bertindak sebagai repelan dengan kadar 800 g/L dan 1600 g/L untuk mengusir tikus.
2.5 Hama
Yang dimaksud dengan hama ialah segala binatang yang mengganggu dan merugikan tanaman yang diusahakan manusia. Binatang ini diantaranya adalah phylum Chordata, yaitu: kera,burung, kalong dan tikus (Pracaya, 1999).
tersebar diJawa, Sumatera Selatan, Lampung dan Kalimantan Selatan.Rata-rata luas serangan pertahun sebesar 327.000 Ha (Anonim, 1984).
Beberapa upaya pengendalian hama tikus yang banyak dilakukan oleh para petani adalah dengan mengatur waktu tanam, rotasi tanaman, sanitasi lingkungan, pengendalian secara fisik-mekanik, pengendalian secara biologis, dan pengendalian secara kimiawi. Dari sekian banyak metode pengendalian tersebut tampaknya pengendalian tikus dengan menggunakan umpan beracun (rodentisida sintetik) masih menjadi pilihan utama petani, karena relatif lebih praktis dan langsung memperlihatkan hasilnya.Disamping itu, rodentisida sintetik dapat mengakibatkan tikus menjadi mandul.Keefektifan penggunaan umpan beracun di lapangan ditentukan oleh jenis dan bentuk umpan yang digunakan (Rusdy dan Fatmal, 2008).
Lebih dari 50 tahun pengendalian tikus belum memberikan hasil yang memuaskan. Pengendalian tikus yang digunakan di Indonesia dengan mengandalkan rodentisida pada awalnya dapat menurunkan populasi, tetapi jangka panjang akan kurang menguntungkan karena akan ada jangka kompensasi populasi dan berdampak negatif pada lingkungan (Mangoendihardjo, 2003). 2.5.1 Tikus Putih
Memiliki sifat pemalu, gugup jika ada sesuatu yang baru, omnivora, dapat berenang dan memanjat(Malole dan Promono, 1989).
Hewan laboratorium atau hewan percobaan adalah hewan yang sengaja dipelihara dan diternakkan untuk dipakai mempelajari dan mengembangkan berbagai macam bidang ilmu dalam skala penelitian atau pengamatan laboratoris (Malole dan Pramono, 1989).
Penelitian menggunakan tikus percobaan akan bermanfaat jika digunakan dalam demonstrasi fisiologi dan farmakologi. Anatomi dan fisiologis tikus mendukung suatu penelitian percobaan nutrisi dengan menggunakan metode ad libitum (Muchtadi, 1989).
Penelitian menggunakan tikus percobaan harus memenuhi aspek kenyamanan hewan percobaan selama masa penelitian, hal tersebut dilakukan untuk meminimalkan bias lingkungan penelitian terhadap hewan percobaan. Kandang tikus harus berlokasi pada tempat yang bebas dari suara ribut dan terjaga dari asap industri atau polutan lainnya. Kandang harus cukup kuat, tidak mudah rusak, , mudah dibersihkan dan hewan harus tampak jelas dari luar. Alas kandang selalu kering dan tidak berbau untuk mencegah gangguan respirasi, serta alat-alat dalam kandang dibersihkan 1-2kali/minggu (Malole dan Pramono, 1989).