• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Imum Mukim Dalam Menyelesaikan Konflik Antar Masyarakat di Wilayah Mukim Ladang Lemisik Kecamatan Lawe Alas Kabupaten Aceh Tenggara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peran Imum Mukim Dalam Menyelesaikan Konflik Antar Masyarakat di Wilayah Mukim Ladang Lemisik Kecamatan Lawe Alas Kabupaten Aceh Tenggara"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Makin berkembangnya situasi yang dinamis dalam kehidupan masyarakat adat di Indonesia juga akan mempengaruhi kebijakan yang diambil oleh pemerintah, tanpa disadari keberadaan hukum adat lama-lama akan pudar dan justru lebih menimbulkan problematik serta akan mengancam disintegrasi bangsa. Pemerintah dalam menyikapi fenomena yang ada terkadang juga di benturkan oleh problem yuridis dan sosiologi jika akan memberikan kebijakan terkait pemberlakuan hukum adat di daerah.

Pada masa pemerintahan Belanda di Indonesia, adat telah menjadi bagian dari sistem politik pemerintahan Hindia Belanda dalam melancarkan imperialismenya melalui kebijakan hukum adat.Pada masa Kerajaan Aceh hingga awal kemerdekaan, dan juga akhir-akhir ini kecuali Era Orde Baru di gampong-gampong dan juga dikemukiman memiliki sistem musyawarah penyelesaian sengketa.

(2)

Meskipun dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1975 berusaha menghilangkan fungsi mukim dan gampong/kute (desa) tersebut di Aceh masih tetap diakui dan berjalan. Hukum adat di Aceh masih tetap memegang peran dalam kehidupan masyarakat.Beberapa Undang-Undang yang lahir pasca reformasi, semakin membuka peluang bagi otonomi yang lebih besar bagi daerah, antara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, khusus bagi aceh terdapat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang otonomi khusus Aceh dengan nama Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh.

Setelah reformasi terjadi amandemen terhadap UUD 1945, salah satu pengaturan penting yang mendapat tempat dalam perubahan tersebut adalah mengenai pemerintahan di daerah. Dalam Undang-UndangNomor 18 Tahun 2001 Pasal 18 N disebutkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi,kabupaten dan kota yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota mempunyai pemerintahan daerah (Pemda). Pemda mengatur sendiri urusan rumah tangga menurut azaz otonomi dan perbantuan.Pemda menjalankan otonomi seluas luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh UU ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.

(3)

sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam Undang-Undang.

Berbagai Undang-Undang tersebut telah memberikan kebebasan dan kewenangan yang besar kepada Aceh dalam melakukan pengelolaan kekayaan alam dan juga kebebasan menjalankan sistem pemerintahannya menurut karakteristiknya.Khusus mengenai sistem pemerintahan yang demikian sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari bagaimana pengelolaannya. Harus diingat bahwa aturan yang bagus jika tidak dilaksanakan tidak akan berarti apa-apa.

Setelah bergulirnya reformasi di Indonesia, melahirkan pola pemerintahan yang tidak lagi tersentralisasi.Setiap daerah memiliki kebijakan tersendiri untuk mengatur daerahnya yang sering disebut desentralisasi. Dalam pemerintahan masyarakat di Aceh salah satu kebijakan yang diatur oleh daerahnya sendiri adalah tentang kesatuan masyarakat hukum di bawah kecamatan yang terdiri dari beberapa kute yang mempunyai batas wilayah tertentu dipimpin oleh Imeum Mukim yang berkedudukan langsung di kecamatan atau lain sesuai daerahnya.Dalam Undang-Undang Nomor. 11 Tahun 2016 pasal 98 juga dituliskan bahwa ada beberapa lembaga adat dan Imeum Mukim menduduki urutan kedua setelah Majelis Adat Aceh dan diperkuat dengan dibuatnya Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008.

(4)

sumbangan yang berharga terhadap keberlangsungan masyarakat Aceh dalam berbagai perkembangan dan kemajuan.

Masyarakat Aceh sebagian besar mencari dan mendapatkan keadilan melaluipemecahan masalah secara tradisional (adat).Namun dari banyak penelitian yang telahdilakukan termasuk penelitian dari UNDP menunjukkan bahwa anggota masyarakatseringkali tidak menyadari bagaimana pertikaian itu diselesaikan menurut adat.

Berdasarkan catatan sejarah, Mukim telah ada di dalam tata pemerintahan Kerajaan Aceh pada zaman kekuasaan Iskandar Muda tahun 1607-1636.Lombard (2006: 115-116) menguraikan bahwa terdapat pembagian wilayah di negeri Aceh yang dinamakan “Groot Atjeh” yang terdiri dari empat kaum, tiga sagi yang kemudian dibagi lagi atas mukim dan sebagainya.Pada prinsipnya, Sultan Iskandar Muda menggabungkan kampung-kampung yang diatur sebagai sebuah federasi hingga istilah penggabungan kampung tersebut dikenal sebagai mukim dan

sagi.Namun, sistem pemerintahan yang ada belum diatur secara rigid dan tertib

karena Sultan Iskandar Muda lebih mengandalkan para pengawas dan gubernurnya yang setia untuk mengawal dan mengelola pemanfaatan sumber daya alam oleh rakyat Aceh.

(5)

prosespenyelesaian perselisihan secara adat. Kondisi ini diperparah oleh terjadinya bergeseran,kevakuman dan hilangnya kepemimpinan adat yang disebabkan oleh konflik panjangyang terjadi di Aceh.

Dalam setiap permasalahan yang ada di Aceh diselesaikan terlebih dahulu secara adat sebelum penyelesaian secara hukum, karena menurut kepercayaan masyarakat Aceh yang tidak tertulis bahwa adat merupakan landasan dasar dalam setiap hal dan dipercaya mampu menyelesaikan setiap permasalahan. Penyelesaian masalah dengan adat tidak menghentikan proses hukum apabila hal itu terkait tindak pidana namun dapat mengurangi beban hukum yang diterima oleh pelaku tindak pidana.

Tidak jarang terjadi konflik masyarakat dikemukiman ladang lemisik Kecamatan Lawe Alas Aceh Tenggara dan merupakan tanggung jawab Imeum Mukim untuk menyelesaiaknnya.Oleh sebab itu seluruh desa membutuhkan seseorang yang adil dalam penyelesaian hukum.Di Aceh sendiri penyelesaian masalah antar desa diserahkan kepada Imeum Mukim.Imeum Mukim bertanggungjawab untuk menyelesaikan konflik yang terjadi.Karena Imeum Mukim adalah masyarakat adat yang bertugas untuk mengawasi, menjaga dan menjalankan segala hal yang berhubungan dengan adat yang melalui tahapan pemilihan.

(6)

kesepakatan yang ditanda tangani oleh kepala kute dari kedua belah pihak, BPK dan Mukim.

Musyawarah dan mufakat dijadikan wadah dalam menyelesaiakan masalah didaerah Aceh karena dipercaya dapat memperbaiki hubungan yang renggang akibat permasalahan yang timbul serta dapat mengurangi perpecahan karena musyawarah ini merujuk pada kesepakatan kedua belah pihak dan dijembatani oleh mukim, kepala kutedari kedua belah pihak serta BPK tiap-tiap kutetersebut.

Mukim tidak hanya berfungsi sebagai pemecah masalah dalam musyawarah,tetapijuga sebagai Lembaga adat yang bertugas langsung di bawah kecamatan untuk melindungi Kute. Keberadaan mukim sangatlah diperlukan didalam masyarakat dikarenakan Imeum Mukim telah dipercaya sejak kerajaan Sultan Iskandar Muda yang memangku adat dan mengelola beberapa kute serta berperan sebagai yang mengimplementasikan setiap kebijakan dan peraturan adat agar tetap berjalan dan terjaga demi keberlangsungan adat Aceh itu sendiri.

(7)

Masyarakat di Kemukiman Ladang Lemisik Kecamatan Lawe Alas Kabupaten Aceh

Tenggara”

B. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “bagaimana peran Imeum Mukim dalam menyelesaikan konflik masyarakat pada kemukiman Ladang Lemisik Kecamatan Lawe Alas Kabupaten Aceh Tenggara “.

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui kedudukan Mukim dalam administrasi pemerintahan.

2. Untuk mengetahuibagaimana peran Imeum Mukim dalam menyelesaikan konflik masyarakat.

3. Untuk mengetahui tingkat efektivitas penyelesaian konflik masyarakat yang ditangani oleh Mukim.

4. Untuk mengetahui respon masyarakat dengan adanya Imeum Mukim.

D. Manfaat Penelitian

Adapun kegunaan dan manfaat dilakukannya penelitian ini adalah:

(8)

bentuk karya ilmiah berdasarkan kajian teori dan aplikasinya yang di peroleh dari Ilmu Administrasi Negara.

2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik secara umum dan Ilmu Administrasi Negara secara khusus dalam dalam menambah bahan kajian perbandingan bagi yang menggunakannya.

3. Secara praktis, bagi Mukim Ladang Lemisik, penelitian ini diharapkan mampu member sumbangsih pemikiran informasi dan saran.

E. Kerangka Teori

Teori merupakan serangkaian asumsi, konsep, konstruksi, defenisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep (Singarimbun,1989:37).

Kerangka teori adalah bagian dari penelitian, tempat peneliti memberikan penjelasan tentang hal-hal yang berhubungan dengan variable pokok, sub variabel atau pokok masalah yang ada dalam penelitian (Arikunto,2000:92).

(9)

1. Pengertian Peran

Peran merupakan kemampuan seseorang dalam memposisikan diri sesuai ruang dan waktu serta dapat memahami apa yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya. Oleh sebab itu seorang Kepala Desa harus tahu dan mampu memainkan perannya sebagai seorang pemimpin didesanya. Seperti kutipan dari defenisi Peran merupakan perilaku yang di tuntut untuk memenuhi harapan dari apa yang di perankannya. Konsep tentang peran (role) menurut Komaruddin (1994:768) dalam buku “Ensiklopedia manajemen”mengungkapkan sebagai berikut:

a. Bagian dari tugas utama yang harus dilakukan oleh manajemen. b. Pola perilaku yang diharapkan dapat menyertai suatu status. c. Bagian dari suatu fungsi seseorang dalam kelompok atau pranata. d. Fungsi yang diharapkan atau menjadi karakteristik yang ada padanya. e. Fungsi setiap variabel dalam hubungan sebab akibat.

Berdasarkan pengertian tersebut dapat diambil pengertian bahwa peranan merupakan penilaian sejauhmana fungsi seseorang atau bagian dalam menunjang usaha pencapaian tujuan yang ditetapkan atau ukuran mengenai hubungan 2 (dua) variabel yang mempunyai hubungan sebab akibat.

(10)

kuno (Romawi).Dalam arti ini, peran menunjukkan pada karakteristik yang disandang untuk dibawakan oleh seseorang aktor dalam sebuah pentas drama.

Kedua, suatu penjelasan yang menunjukkan pada konotasi ilmu sosial,

yang mengartikan peran sebagai suatu fungsi yang dibawakan seseorang ketika menduduki suatu karakteristik (posisi) dalam struktur sosial.

Ketiga, suatu penjelasan yang lebih bersifat operasional menyebutkan

bahwa peran seseorang aktor adalah suatu batasan yang dirancang oleh aktor lain, yang kebetulan sama-sama berada dalam satu “penampilan/unjuk peran (role performance)”.Pada dasarnya ada dua paham yang dipergunakan dalam mengkaji teori peran yakni paham strukturisasi dan paham interaksionis.Paham strukturisasi lebih mengaitkan antara peran-peran sebagai unit kultural, serta mengacu ke perangkat hak dan kewajiban yang secara normatif telah direncanakan oleh sistem budaya.

Menurut Beck,William dan Rawlin (1986: 293), pengertian peran adalah cara individu memandang dirinya secara utuh meliputi fisik, emosional, intelektual, sosial, dan spiritual. Sementara itu menurut Alvin L.Bertrand seperti dikutip oleh Soleman B. Taneko menyebutkan bahwayang dimaksud dengan peran adalah “pola tingkah laku yang diharapkan dari seseorang yang memangku status atau kedudukan tertentu” (Soleman B. Taneko,1986:23).

(11)

masyarakat.Sedangkan Astrid S. Susanto (1979:94) menyatakan bahwa peranan adalah dinamisasi dari statis ataupun penggunaan dari pihak dan kewajiban atau disebut subyektif. Dalam kamus bahasa Inggris, peranan (role) dimaknai sebagai tugas atau pemberian tugas kepada seseorang atau sekumpulan orang. Peranan dapat dikatakan sebagai pelaksanaan dari fungsi-fungsi oleh struktur-struktur tertentu, peranan ini tergantung juga pada posisi dan kedudukan struktur itu dan harapan lingkungan sekitar terhadap struktur tersebut.Peranan juga dipengaruhi oleh situasi dan kondisi serta kemampuan dari aktor tersebut” (Banyu dan Yani, 2005:31).

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa peranan adalah suatu pola sikap, nilai dan tujuan yang diharapkan dari seseorang yang berdasarkan posisinya dimasyarakat.Sementara posisi tersebut merupakan identifikasi dari status atau tempat seseorang dalam suatu sistem sosial dan merupakan perwujudan dan aktualisasi diri.Peranan juga diartikan serangkaian perilaku yang diharapkan oleh lingkungan sosial berhubungan dengan fungsi individu dalam kelompok sosial.

2. Imeum Mukim

a. Pengertian Imeum Mukim

(12)

beberapa gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, berkedudukan langsung di bawah Kecamatan/Sagoe Cut atau nama lain yang dipimpin oleh Imeum Mukim atau nama lain.

(13)

Berdasarkan Qanun diatas, Pemerintahan Mukim dilaksanakan oleh tiga unsur. Pertama, unsur adat yang diwakili oleh Imeum Mukim. Kedua, unsur agama yang diwakili oleh Imeum Masjid, ketiga, unsur dewan yang diwakili oleh Tuha Lapan. Meskipun ketiga unsur itu dipilah kewenangannya, namun dalam pengambilan keputusan diperlukan adanya persetujuan bersama.

Pelaksanaan putusan dipresentasikan Imeum Mukim sehingga putusan yang diambil merupakan keputusan yang kuat karena merupakan keputusan semua unsur pimpinan yang mewakili masyarakat. Sebab itu pula dapat diperkirakan didukung oleh semua unsur yang ada dalam masyarakat. Imeum Mukim adalah orang yang dipercaya untuk memimpin suatu Mukim

yang membawahibeberapakutemelaluitahappemilihan yang menghadirkankepalakute sertatokohadat dan orang yang dituakan.

b. Kedudukan Mukim

Di dalam lembaga adat sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Pasal 98 tentang Pemerintah Aceh mempunyai susunan sebagai berikut :

1) Majelis Adat Aceh

Majelis Adat Aceh (MAA) mempunyai tugas pokok dan fungsi yaitu membina dan mengembangkan lembaga-lembaga Adat Aceh, melestarikan nilai-nilai adat yang berlandaskan Syariat Islam

(14)

Imeum Mukim bertindak sebagai Kepala Pemerintahan Mukim, yang membawahi federasi dari beberapa gampong.

3) Imeum Chik atau nama lain

Imeum Chik atau nama lain adalah imeum masjid pada tingkat mukim orang yang memimpin kegiatan-kegiatan masyarakat di mukim yang berkaitan dengan bidang agama Islam dan pelaksanaan syari’at Islam.

4) Keuchik atau nama lain

Keuchik atau nama lainmerupakan kepala persekutuan masyarakat adat gampong yang bertugas menyelenggarakan pemerintahan gampong, melestarikan adat istiadat dan hukum adat, serta menjaga keamanan, kerukunan, ketentraman dan ketertiban masyarakat.

5) Tuha Peut Gampong atau nama lain

Tuha Peut Mukim atau nama lain adalah alat kelengkapan mukim yang berfungsi memberi pertimbangan kepada imeum muk.

6) Tuha Lapan atau nama lain

Tuha Lapan memiliki fungsi dan tugas menginventarisir semua potensi gampong berupa berupa sumber daya alam (SDA) yang dapat dimanfaatkan baik sebagai subjek maupun sebagai objek pembangunan masyarakat gampong

(15)

Imeum Meunasah atau nama lain adalah orang yang memimpin kegiatan-kegiatan masyarakat di gampong yang berkenaan dengan bidang agama Islam, pelaksanaan dan penegakan syari’at Islam

8) Keujreun Blang atau nama lain

Keujreun Blang merupakan ketua adat yang membantu pimpinan gampong dalam urusan pengaturan irigasi untuk pertanian dan sengketa sawah.

9) Panglima Laot atau nama lain

Panglima laot atau nama lain adalah orang yang memimpin dan mengatur adat istiadat di bidang pesisir dan kelautan.

10) Pawang Glee atau nama lain

Pawang Glee dan/atau Pawang Uteun atau nama lain adalah orang yang memimpin dan mengatur adat-istiadat yang berkenaan dengan pengelolaan dan pelestarian lingkungan hutan.

11) Peutua Seuneubok atau nama lain

Peutua Seuneubok atau nama lain adalah orang yang memimpin dan mengatur ketentuan adat tentang pembukaan dan penggunaan lahan untuk perladangan/perkebunan.

12) Haria Peukan atau nama lain

(16)

13) Syahbandar atau nama lain

Syahbandar adalah pejabat adat yang mengatur urusan kepelabuhanan, tambatan kapal/ perahu, lalu lintas angkutan laut, sungai dan danau.

Kedudukan Imeum Mukim berdasarkan undang-undang di atas berada di bawah Majelis Adat Aceh sedangkan pada perangkat pemerintahan daerah Kabupaten/Kota Mukim berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 Pasal 1 Ayat (12) mengatakan bahwa Mukim berkedudukan di bawah Kecamatan.

Bagan kedudukan Pemerintahan Mukim berdasarkan Undang Nomor 18 Tahun 2001 Pasal 1 Ayat (12) adalah :

Gambar 1.1 Bagan Pemerintahan Daerah Kabupaten Kota Di Aceh Bupati

Camat

Imeum Mukim

Kepala Kute

Sekretaris Daerah Dinas Daerah

DPRD

(17)

Bagan kedudukan Pemerintahan Kabupaten/Kota berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah :

Gambar 1.2 Struktur Pemerintahan Kabupaten / Kota

c. Fungsi Imeum Mukim

Fungsi Imeum Mukim berdasarkan kedudukannya sebagai salah satu lembaga adat daerah di Aceh dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Pasal 98 Ayat (1) dan (2) tentang Pemerintahan Aceh adat berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota di bidang keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat. Serta memiliki tugas yaitu menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan secara adat selaku salah satu

Bupati Wakil Bupati

Sekretaris Daerah Dinas Daerah

Kecamatan

Kelurahan Kecamatan Kecamatan

Kelurahan Kelurahan / Desa

DPRD

(18)

lembaga adat, dan pada Ayat 4 menyebutkan mengenai tugas, kewajiban serta fungsi imeum mukim diatur pada qanun kabupaten/kota.

Adapun penjelasan mengenai fungsi Imeum Mukim lebih lanjut berdasarkan Qanun Kabupaten Aceh Tenggara No.2 Tahun 2014 pasal 3 dan 4 Qanun tersebut Mukim mempunyai fungsi meliputi:

1) Penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan adat, asa desentralisasi maupun asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan serta segala urusan pemerintah lainnya yang berada dilingkungannya.

2) Menyelengarakan pemilu kute

3) Pelaksanaan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kehidupan berdemokrasi secara berkeadilan dan inklusif mukim.

4) Pembinaan dan peningkatan kualitas pelaksanaan Syari’at Islam, kehidupan beragama, kerukunan hidup beragama dan antar umat beragama.

5) Pembinaan dan fasilitasi kemasyarakatan di bidang pendidikan, peradatan, sosial budaya, perlindungan hak-hak dasar, ketentraman dan ketertiban masyaraka kemukiman.

6) Penyelesaian persengketaan adat mukim

7) Pengawasan pembangunan, fungsi ekologi dan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA).

(19)

d. Hak dan Wewenang Imeum Mukim

Menurut Qanun Kabupaten Aceh Tenggara Nomor 02 Tahun 2014 Pasal 5:

1) Kewenangan Mukim meliputi:

a. Kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul Mukim dan ketentuan adat serta adat istiadat;

b. Kewenangan yang diberikan berdasarkan peraturan perundang-undangan; c. Kewenangan yang berdasarkan peraturan perundang-undangan belum

menjadi/belum dilakasanakan oleh pemerintah Aceh, Pemerintah Kabupaten, Pemerintah Kecamatan;

d. Kewenangan pelaksanaan tugas pembantuan dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Aceh, Pemerintah Kabupaten, dan Pemerintah Kecamatan;dan e. Kewenangan melakukan pengawasan pembangunan, fungsi ekologi dan

pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA).

2) Tugas pembantuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d disertai dengan pembiayaan, sarana/prasarana serta personalia yang melaksanakan.

3) Mukim berhak menolak pelaksanaan tugas pembantuan yang tidak disertai dengan pembiayaan, sarana/prasarana serta personalia yang melaksanakan.

(20)

5) Setiap transaksi peralihan hak yang terjadi dalam wilayah Kemukiman harus mengetahui Imam Mukim.

e. Mukim Sebagai Pemerintahan Resmi

Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan undangan ditegaskan bahwa hirarkhi peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, adalah :

1. Undang-Undang Dasar 1945;

2. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 3. Peraturan Pemerintah;

4. Peraturan Presiden, dan 5. Peraturan daerah (atau qanun)

Keberadaan Pemerintahan Mukim sekarang telah diatur secara cukup jelas dan tegas dalam Undang-Undang dan Qanun.Yaitu di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, pada Bab XV dengan judul Mukim dan Gampong.Dan sebagai penjabaran atau peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang tersebut telah pula diundangkan Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim.

(21)

keberadaannya telah mendapat pengakuan dan pengukuhannya dalam hukum positif Indonesia. Dengan demikian, keberadaannya tidak saja hanya diakui dalam tataran sosial budaya masyarakat Aceh, tetapi juga telah diadopsi kedalam tataran juridis formal.

f. Mukim sebagai penyelesai Konflik

Yang dimaksud dengan Mukim sebagai penyelesai konflik adalah tugas ataupun kewajiban yang diemban oleh Imeum Mukimberdasarkan Qanun Kabupaten Aceh Tenggara No.2 Tahun 2014 Mukim menururt fungsi sebagai penyelesai sengketa didalam masyarakat dan sebagai tokoh utama dalam pembuat keputusan dalam menyelesaian konflik yang terjadi. Dalam hal ini Imeum Mukim memiliki pengaruh besar terhadap masyarakat karena setiap kata dan uncapan yang disampaikan Mukim didepan masyarakat menjadi pedoman didalam kehidupan sosial masyarakat tersebut, dalam menjalankan fungsinya ketika menyelesaikan konflik di masyarakat Imeum Mukim membuat keputusan dibantu oleh beberapa elemen sesuai Qanun Kabupaten Aceh Tenggara No.2 Tahun 2014 Pasal 31 yaitu terdiri dari:

1. Unsur Ulama Kute

2. Tokoh masyarakat termasuk pemuda dan perempuan 3. Pemuka adat

4. Cerdik pandai/cendikiawan

(22)

mencederai adat istiadat yang ada, namun yang memiliki peran penting tetaplah Imeum Mukim.

g. Mekanisme Penyelesaian Masalah Berdasarkan Adat

Dalam menyelesaiakan masalah berdasarkan adat sesuai Qanun Kabupaten Aceh Tenggara No. 2 Tahun 2014 Pasal 14 tentang Mukim melalui tahapan:

1) penyelesaian persengketaan Adat Mukim dipimpin oleh Imeum Mukim dan dibantu oleh Sekretaris Mukim bersama seluruh anggotaSimetuwe.

2) proses penyelesaian persengketaan adat dilakukan atas asal usul Imeum Mukim guna menyelesaiakan perkara-perkara yang berkaitan persoalan adat dan adat istiadat.

3) penyelesaian persengketaan Adat Mukimberfungsi sebagai mekanise untuk memelihara dan mengembangkan adat, menyelenggarakan perdamaian adat, menyelesaikan dan memberikan putusan-putusan adat terhadap perselisihan-perselisihan dan pelanggaran adat berdasarkan prinsip-prinsip pembuktian secara adat sesuai dengann peraturan perundang-undangan yang berlaku serta melaksanakan putusan-putusan penyelesaian persengketaan adat yang bersangkutan.

4) penyelesaian persengketaan adat di tingkat kemukiman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diselesaiakan terlebih dahulu oleh imeum mukim sebelum diselesaiakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(23)

dalam menjalankan pemerintahan kute sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Konflik

a. PengertianKonflik

Menurut Soerjono Soekanto, konflik sosial adalah suatu proses sosial dimana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman atau kekerasan Menurut teori konflik, masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang di tandai oleh pertentangan yang terus menerus diantara unsur-unsurnya. Teori konflik melihat bahwa setiap elemen memberikan sumbangan terhadap disintegrasi sosial.

Konflik merupakan kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan, berbagai perbedaan pendapat dan konflik biasanya bisa diselesaikan tanpa kekerasaan, dan sering menghasilkan situasi yang lebih baik bagi sebagian besar atau semua pihak yang terlibat (Fisher, 2001:4).

(24)

suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya. Dalam teori hubungan masyarakat. Fisher menyebutkan bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, serta tidak adanya saling percaya dalam masyarakat yang melahirkan permusuhan diantara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat.

Selain itu, penyebab konflik dalam masyarakat juga dapat disebabkan oleh kebutuhan-kebutuhan dasar manusia. Dalam teori kebutuhan manusia, Fisher mengatakan bahwa konflik yang berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia (fisik), mental dan sosial yang tidak terpenuhi atau dihargai. Hoult (1969) sebagaiman dikutip Wiradi (2000) menyebutkan bahwa konflik sebagai situasi proses interaksi antara dua (atau lebih) orang atau kelompok yang masing-masing memperjuangkan kepentingannya atas objek yang sama, yaitu tanah dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah, seperti air dan perairan, tanaman, tambang dan juga udara yang berada di atas tanah yang bersangkutan.

(25)

terhadap disintegrasi sosial. Menurut teori ini keteraturan yang terdapat dalam masyarakat hanyalah karena ada tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari golongan yang berkuasa.

Adanya perbedaan peran dan status di dalam masyarakat menyebabkan adanya golongan penguasa dan yang dikuasi. Distribusi kekuasaan dan wewenang yang tidak merata menjadi faktor terjadinya konflik sosial secara sistematis (Ritzer, 2002:26).

Dahrendrof membedakan golongan yang terlibat konflik atastiga tipe kelompok, yaitu kelompok semu (Quasi Group) atau sejumlah pemegang posisi dengan kepentingan yang sama atau merupakan kumpulan dari para pemegang kekuasaan atau jabatan dengan kepentingan yang terbentuk karena munculnya kelompok kepentingan. kelompok yang kedua adalah kelompok kepentingan. Kelompok kepentingan terbentuk dari kelompok semu yang lebih luas, mempunyai struktur, organisasi program, tujuan, serta anggota yang jelas. Kelompok kepentingan ini lah yang menjadi sumber nyata timbulnya konflik (Dahrendrof, 1959: 180).

(26)

konflik itu disertai dengan tindakan kekerasan, akan terjadi perubahan struktur secara tiba-tiba (Ritzer, 2002:156). Secara akademis, konflik tidak harus berarti kekerasan.

Konflik juga bisa berupa kompetisi untuk perebutan sumber daya alam yang yang ketersediaanya terbatas (Pratikono, dkk,2004:29). Konflik muncul ketika individu saling berhadapan dan bertentangan dengan kepentingan, tujuandan nilai yang di pegang oleh masing-masing individu. Demikian juga halnya pada masyarakat di kemukiman ladang lemisik.Secara teoritis, konflik yang terjadi dalam masyarakat dapat dibedakan kedalam dua bentuk, yaitu konflik sosial vertikal dan horizontal.

Konflik sosial vertikal adalah konflik yang terjadi antara masyarakat dan Negara dan dapat dikatakan konflik laten, sebab benih-benih konflik sudah ada dan telah terpendam pada masa sebelumnya. Konflik sosial horizontal disebabkan karena konflik antar etnis, suku, golongan, agama atau antar kelompok masyarakat yang dilatar belakangi oleh kecemburuan sosial yang memang sudah terbentuk dan eksis sejak masa kolonial. Pola konflik dibagi kedalam tiga bentuk yaitu pertama, konflik laten sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat ke permukaan sehingga dapat ditangani secara efektif.

(27)

kesalahpahaman mengenai sesuatu yang dapat diatasi dengan menggunakan komunikasi (Fisher,2001:6). Untuk menyelesaikan konflik yang terjadi dalam masyarakat, tentu kita harus mengetahui apa yang menjadi penyebab suatu konfik itu dapat terjadi.

Dalam pandangan sosiologis, masyarakat itu selalu dalam perubahan dan setiap elemen dalam masyarakat selalu memberikan sumbangan bagi terjadinya konflik. Collins mengatakan bahwa konflik berakar pada masalah individual karena akar teoritisnya lebih pada fenomenologis. Menurut Collins, konflik sebagai fokus berdasarkan landasan yang realistik dan konflik adalah proses sentral dalam kehidupan sosial. Salah satu penyebab terjadinya konflik adalah karena ketidakseimbangan antara hubungan-hubungan manusia ,seperti aspek sosial, ekonomi, dan kekuasaan.

(28)

budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antar kelompok dengan individu, misalnya konflik antar kelompok.

Faktor terjadinya konflik juga dapat disebabkan karena perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat. Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial.Tahapan Konflik Fisher, dkk menyebutkan ada beberapa alat bantu unntuk menganalisissituasi konflik, salah satunya adalah penahapan konflik. Konflik berubah setiap saat, melalui tahap aktivitas, intensitas,ketegangan dan kekerasan yang berbeda (Fisher,2001:19-20). Tahap-tahap ini adalah:

1. Pra-Konflik

Merupakan periode dimana terdapat suatu ketidaksesuain sasaran diantara dua pihak atau lebih, sehingga timbul konflik.Konflik tersembunyi dari pandangan umum, meskipun salah satu pihak atau lebih mungkin mengetahui potensi terjadi konfrontasi. Mungkin terdapat ketegangan hubungan diantara beberapa pihak dan/ atau keinginan untuk menghindari kontak satu sama lain.

2. Konfrontasi

(29)

3. Krisis

Ini merupakan puncak konflik, ketika ketegangan dan/ kekerasan terjadi paling hebat.Dalam konflik skala besar, ini merupakan periode perang, ketika orang-orang dari kedua pihak terbunuh.Komunikasi normal diantara dua pihak kemungkinan putus, pernyataan-pernyataan umum cenderung menuduh dan menentang pihak lainnya.

4. Akibat

Kedua pihak mungkin setuju bernegosiasi dengan atau tanpa perantara. Suatu pihak yang mempunyai otoritas atau pihak ketiga yang lebih berkuasa mungkin akan memaksa kedua pihak untuk menghentikan pertikaian.

5. Pasca-Konflik

Akhirnya situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri berbagai konfrontasi kekerasan, ketegangan berkurang dan hubungan mengarah lebih normal diantara kedua pihak. Namun jika isu-isu dan masalah-masalah yang timbul karena sasran mereka saling bertentangan tidak diatasi dengan baik, tahap ini sering kembali lagi menjadi situasi pra-konflik.

b. Pola Konflik

(30)

efektif.Kedua, konflik terbuka adalah konflik yang berakar dalam dan sangat nyata, dan memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai macam efeknya. Ketiga, konflik dipermukaan memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan muncul hanya karena kesalahpahaman mengenai sesuatu yang dapat diatasi dengan menggunakan komunikasi ( Fisher, 2001:6).

c. Dampak Konflik Sosial

Konflik sosial memiliki dampak yang bersifat positif dan negatif. Adapun dampak positif dari konflik sosial adalah sebagai berikut:

1. Konflik dapat memperjelas berbagai aspek kehidupan yang masih belum tuntas.

2. Adanya konflik menimbulkan penyesuaian kembali norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.

3. Konflik dapat meningkatkan solidaritas diantara angota kelompok.

4. Konflik dapat mengurangi rasa ketergantungan terhadap individu atau kelompok.

5. Konflik dapat memunculkan kompromi baru.

Adapun dampak negatif yang ditimbulkan oleh konflik sosial adalah sebagai berikut:

(31)

2. Konflik menyebabkan rusaknya berbagai harta benda dan jatuhnya korban jiwa.

3. Konflik menyebabkan adanya perubahan kepribadian. 4. Konflik menyebabkan dominasi kelompok pemenang .

4. Pengertian Desa (Kute)

Desa adalah kesatuan hukum yang memiliki batasan-batasan wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.Landasa pemikiran dalam pengaturan mengenai desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonimi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat desa.(Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004) sedangkan menurut Pasal 1 ayat 5 Peraturan Pemerintah Nomor.72 Tahun 2005 tentang Desa, dinyatakan bahwa “kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan msayarakat setempat, berdasarakan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia“.Pengertian desa adalah wadah kebersamaan masyarakat setempat dalam mengelola kepentingan bersama.

(32)

Menurut P.J. Bouman (1971:19), desa adalah salah satu bentuk kuno dari kehidupan bersama sebanyak beberapa ribu orang, hampir semuanya saling mengenal, kebanyak yang termasuk di dalamnya hidup dari pertanian, perikanan, dan sebagainya usaha-usaha yang dapat dipengaruhi oleh hukum dan kehendak alam. Dan dalam tempat tinggal itu terdapat banyak ikatan-ikatan keluarga yang rapat, ketaatan dan kaidah-kaidah sosial.

Menurut I. Nyouman Beratha (1982:27), desa atau dengan nama aslinya yang setingkat yang merupakan kesatuan masyarakat hokum berdasarkan susunan asli adalah suatu “badan hukum” dan adalah pula “badan pemerintah” yang merupakan bagian wilayah kecamatan atau wilayah yang melingkupinya.

Menurut R.H Unang Soenardjo (1984:11), desa dalah suatu kesatuan masyarakat berdasarkan adat dan hukum adat yang menetap dalam suatu wilayah yang tertentu batas-batasnya; memiliki ikatan lahir dan batin yang sangat kuat, baik karena seketurunan maupun karena sama-sama memiliki kepentingan politik, ekonomi, sosial dan keamanan; memiliki susunan pengurus yang dipilih bersama; memiliki kekayaan dalam jumlah tertentu dan berhak menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri.

5. Peradilan Adat Aceh

(33)

Pemerintahan Gampong dan Qanun No.3 tahun 2004 tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Adat Aceh, serta Qanun No. 10 tahun 2008 tentang Lembaga Adat, dimana memposisikan Geuchik, Tuha Peut, Imuem Meunasah, dan Mukim sebagai penyelenggara Peradilan Adat.

Lebih detail lagi bentuk aturan (qanun) di Aceh juga mengatur secara eksplisit tentang mekanisme Peradilan Adat di Provinsi Aceh. Di dalam Qanun 9 tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat Istiadat, dalam Pasal 13 ayat (1) mengatur ada 18 kasus/perselisihan yang dilimpahkan penyelesaiannya melalui Peradilan Adat di Aceh, meliputi :

a) Perselisihan dalam rumah tangga

b) Sengketa antara keluarga terkait dengan Faraidh c) Perselisihan antar warga

d) Khawat/Meuseum

e) Perselisihan tentang Hak Milik f) Pencurian dalam keluarga g) Perselisihan harta sehareukat h) Pencurian ringan

i) Pencurian ternak peliharaan

j) Pelanggaran Adat tentang ternak, pertanian, dan hutan k) Persengketaan di laut

(34)

n) Pembakaran hutan dalam skala kecil

o) Pelecehan, fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik p) Pencemaran likungan

q) Ancam mengancam

r) Perselisihan-perselisihan lain yang melanggar adat istidat.

Tahapan dalam mekanisme penyelesaian terbagi menjadi; pertama melalui tingkat gampong di pimpin Geuchik Gampong, Kedua; melalui tingkatan mukim dimana putusan di tingkat mukim merupakan putusan bersifat akhir dan mengikat. Dalam hal penyelesaian ini institusi penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan) harus serius serta tidak mengintervensi selama proses penyelesaian melalui hukum adat dan pengadilan adat berlangsung.

Praktek menerapkan Peradilan Adat berlandaskan kekuatan hukum.Dalam beberapa Undang-Undang resmi ditegaskan, bahwa penguatan hukum adat dan peradilan adat harus dimulai dari gampong dan mukim. Dapat dilihat pada Tabel 1.1 :

No Regulasi/Peraturan Isi/Subtansi

1. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18B ayat (1) dan (2)

(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang.

(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan

(35)

prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesai yang diatur dalam Undang-Undang.

2. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh

Pasal 3 ayat (1) dan (2) menegaskan: Keistimewaan merupakan pengakuan dan bangsa Indonesia yang diberikan kepada daerah karena perjuangan dan nilai-nilai hakiki masyarakat yang diperlihara secara turun temurun sebagai landasan spiritual, moral dan kemanusiaan. Peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah.

Pasal 6 menegaskan:

Daerah dapat menetapkan berbagai kebijakan dalam upaya pemberdayaan, pelestarian, dan pengembangan adat serta lembaga adat di wilayah yang dijiwai dan sesuai dengan syariat Islam. 3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2006 tentang pemerintah Aceh , Bab XIII

tentang lembaga adat

Penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat ditempuh melalui Lembaga Adat (Pasal 98, Ayat(2))

4. Qanun Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintah Mukim dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Memberikan wewenang kepada mukim untuk:

1. Memutuskan dan atau menetapkan hukum

2. Memelihara dan mengembangkan adat

(36)

keputusankeputusan adat terhadap

perselisihanperselisihan dan pelanggaran adat

5. Memberikan kekuatan hukum terhadap sesuatu hal dan pembuktian lainnya menurut adat

1. Menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan dengan adat dan istiadat

5. Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat

Dalam Qanun ini diatur beberapa hal yang berkaitan dengan pelaksanaan Peradilan Adat, antara lain:

1. Aparat penegak hukum memberikan

kesempatan agar sengketa/perselisihan diselesaikan

terlebih dahulu secara adat di gampong atau nama lainnya.

2. Penyelesaian secara adat meliputi penyelesaian secara adat di gampong atau nama lainnya, penyelesaian secara adat di mukim dan penyelesaian adat di laut

Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat.

Dalam qanun ini disebutkan bahwa lembaga adat berfungsi sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pembinaan masyarakat

dan penyelesaian masalahmasalah sosial kemasyarakatan. Dalam menjalankan fungsinya tersebut maka lembaga adat berwenang:

1. Menjaga keamanan, ketentraman, kerukuanan dan ketertiban masyarakat.

2. Membantu pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan;

3. Mengembangkan dan mendorong partisipasi masyarakat;

(37)

dan adat istiadat yang tidak bertentangan dengan syariat Islam; 5. Menerapkan ketentuan adat;

6. Menyelesaikan masalah sosial masyarakat;

7. Mendamaikan sengketan yang timbul dalam masyarakat; dan

8. Menegakkan hukum adat.

6. Kesepakatan bersama Kesepakatan bersama tentang Penitipan Peran Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM) ke dalam Tuha Peuet Gampong/Sarak Opat/Majelis Duduk Setikar Kampong atau nama lain, yaitu antara Kepala Kepolisian Daerah (Polda) Aceh dan Gubernur Aceh,Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Ketua Mejelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Ketua Mejelis Adat Aceh (MAA), Rektor IAIN Ar-Raniri, Presidium Balai Syura Ureung Inong Aceh, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Ketua KomiteNasional Pemuda Indonesia (KNPI) Aceh, tertanggal 2 Maret 2010.

7. Keputusan Bersama Gubernur Aceh, Kepala Kepolisian Daerah Aceh dan Ketua Majelis Adat Aceh tentang Peneyelenggaraan Peradilan Adat dan Mukim atau nama lain di Aceh tertanggal 20 Desember 2011

Butir Satu : Sengketa/perselisihan yang terjadi di tingkat gampong dan mukim yang bersifat ringan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13, pasal 14, dan pasal 15 Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang

Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat wajib diselesaikan terlebih dahulu melalui Peradilan Adat Gampong dan Mukim atau nama lain di Aceh.

(38)

memberi kesempatan agar setiap sengketa/perselisihan sebagaimana dimaksud dicantum dalam KESATU untuk diselesaikan terlebih dahulu melalui Peradilan Adat Gampong dan Mukim atau nama lain di Aceh.

Butir Ketiga : Semua pihak wajib menghormati penyelenggaraan Peradilan Adat Gampong dan Mukim atau nama lain di Aceh.

Butir Keempat : Penyelenggaraan Peradilan Adat Gampong dan Mukim atau nama lain di Aceh dalam memberikan keputusan dilarang menjatuhkan sanksi badan, seperti pidana penjara, memandikan

dengan air kotor, mencukur rambut, menggunting pakaian dan bentuk-bentuk lain yang bertentangan dengan nilai-nilai Islami

Asas – Asas Dalam Peradilan Adat

Tanggung jawab/Akuntabilitas Non Diskriminasi

Terpercaya/Amanah

Kesetaraan di Depan Hukum

Mufakat dan Terbukaan Untuk Umum Jujur dan Kompetensi

Ikhlas dan Sukarela Praduga Tidak Bersalah Keberagaman dan Keadilan

Penyelesaian Damai dan Kerukunan Cepat dan Terjangkau

Tabel 1.1

(39)

a. Badan Penyelenggara Peradilan Adat Di Aceh

Pada umumnya penyelenggaraan Peradilan Adat dilakukan oleh Lembaga Kute dan Mukim. Hal yang sama berlaku untuk seluruh Aceh. Hanya saja, dibeberapa daerah tertentu mereka menggunakan istilah lain. Namun, fungsinya tetap sama, yaitu sebagai lembaga penyelesaian sengketa atau perkara adat.

Kita dapat melihat bagaimana struktur peran penyelenggaraan peradilan adat tersebut pada Tingkat Mukim dapat digambarkan sebagai berikut pada Gambar 1.3 :

Gambar 1.3

(40)

Badan perlengkapan peradilan adat ditingkat Mukim dan mekanisme kerjanya hampir sama dengan tingkat Kute.

Kasus yang diselesaikan pada peradilan adat tingkat Mukim :

1. Kasus yang terjadi antar kute yang berada dalam juridiksi mukim 2. Kasus yang tidak bisa diselesaikan ditingkat kute

kewenangan mukim untuk penyelenggarakan peradilan adat juga diperintahkan oleh Qanun No.4 tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim dalam Provinsi Aceh, yang menegaskan bahwa :

1. Lembaga mukim berwenang untuk memutuskan dan atau menetapkan hukum dalam hal adanya persengketaan-persengketaan atau perkara-perkara adat dan hukum adat (pasal 4, E) ;

2. Majelis adat mukim berfungsi sebagai badan yang memelihara dan mengembangkan adat, menyelenggarakan perdamaian adat, menyelesaikan dan memberikan keputusan-keputusan adat terhadap perselisihan-perselisihan dan pelanggaran adat, memberikan kekuatan hukum terhadap sesuatu hal dan pembuktian lainnya menurut adat [pasal 12, ayat (2)].

Khususnya yang menyangkut dengan kasus yang diteruskan ketingkat mukim, Qanun 5 tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong dalam Provinsi Aceh menegaskan bahwa :

(41)

dalam keputusan Imeum mukim bersifat akhir dan meningkat (pasal 12 ayat 3)

Peradilan Adat Tingkat Mukim merupakan upaya terakhir untuk mendapatkan keadilan dalam jurisdiksi adat. Perkara-perkara atau sengketa-sengketa yang tidak dapat diselesaikan pada tingkat mukim, akan diselesaikan oleh lembaga peradilan Negara sesuai dengan ketentuan Undang-Undang dan peraturan yang berlaku seperti gambar skema di bawah ini Gambar 1.2:

Gambar 1.4

Tingkatan Penyelesaian Perkara

Maka dari gambar skema di atas itu terlihatlah bagaimana tingkatan yang dilakukan untuk proses penyelesaian sengketa yang terjadi setelah perkara di serahkan dari gampong ke tingkat mukim dan di bawa ke tingkat selanjutnya apabila tidak dapat diselesaikan dimukim.

Maka tata letak sidang peradilan adat gampong penetapan tempat duduknya dapat terlihat dari gambar yang dibuat seperti di bawah ini Gambar 1.5 :

Lembaga Peradilan Negara Tiada penyelesaian dan/atau perkara pidana berat

(42)

Gambar 1.5 Posisi Perangkat dalam Persidangan Gampong Keterangan Bagan:

Bagan 1 warna Merah alur Penyelesaian Perkara Pertama

Bagan II Warna Biru alur Penyelesaian Perkara Kedua (tidak Selesai ) Bagan II Warna Orenge alur Penyelesaian Perkara Ketiga (banding)

Keterangan : Diolah dari data LSM People Crisis Center

F.Defenisi Konsep

(43)

menghindari terjadinya interpensi ganda dari variabel yg diteliti (Singarimbun, 1995:37)

Oleh karena itu untuk mendapatkan batasan yang jelas dari masing-masing konsep dari yang diteliti, maka penulis mengemukakan defenisi konsep dari penelitian yaitu :

1. Peranan adalah suatu pola sikap, nilai dan tujuan yang diharapkan dari sesorang yang berdasarkan posisinya dimasyarakat. Sementara posisitersebut merupakan identifikasi dari status atau tempat sesorang dalam suatu sistem sosial dan merupakan perwujudan dan akuntabilitas diri dan peranan juga diartikan sebagai serangkaian perilaku yang diharapkan oleh lingkungan sosial berhubungan dengan fungsi individu dalam kelompok sosial.

2. Imeum Mukim berdasarkan Qanun Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim Kepala Mukim atau adalah Pemerintah mukim dalam kesatuan masyarakat hukum dalam Kabupaten Aceh Tenggara yang terdiri atas gabungan beberapa kute yang mempunyai batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, berkedudukan langsung dibawah Camat yang dipimpin oleh Kepala Mukim. 3. Penyelesain memilihan alternatif terbaik dari beberapa alternatif secara sistematis

untuk ditindak lanjuti digunakan sebagai suatu cara pemecahan masalah.

(44)

Gambar

Gambar 1.2  Struktur Pemerintahan Kabupaten / Kota
Tabel 1.1 Sumber pedoman peradilan adat Aceh
Gambar 1.3 Struktur Peradilan Adat Tingkat Mukim
Gambar 1.4 Tingkatan Penyelesaian Perkara
+2

Referensi

Dokumen terkait

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomo Khusus bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam mengatur penyelenggaraan Pemerintah Daerah dalam koridor Otonomi Khusus. Ditinjau

Hal ini ditegaskan dalam Pasal 30 Undang- undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh

Hal ini ditegaskan dalam Pasal 30 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,

judul Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, meskipun apa yang menjadi

Manajemen Dakwah Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry Banda Aceh, dengan judul “ Peran Imeum Mukim Dalam Menyelesaikan Konflik (Studi Kasus Konflik Antar

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.. 36

Mukim adalah kesatuan masyarakat hukum dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terdiri atas gabungan beberapa gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu dan harta

Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun