ORIGINAL ARTICLE
Keberadaan UUPA Sebagai
Mukhlis1
Correspondence:
mukhlistaib_78@yahoo.com 1. Fakultas Hukum Universitas
Malikussaleh
2. Pusat Studi Hukum dan Pemerintahan Lhokseumawe
Abstrak
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 merupakan Undang-undang yang memberikan keistimewaan
dan kekhususan untuk Aceh. Dalam
perjalanannya, keistimewaan dan kekhususan Aceh menimbulkan polemik yang dianggap saling bertentangan dengan undang-undang lainnya yang
dikeluarkan kemudian, seiring dengan
perkembangan politik di Indonesia. Tulisan ini menguraikan yang berkaitan dengan Undang Undang Pemerintahan Aceh sebagai lex specialis
Terjadinya konflik antara dua undang-undang maka akan berlaku secara konsisten asas lex spesialis derogat legi generalis dan asas lex superior derogat legi inferiori. Penerapan hukum asas lex specialis derogatlegi generalis di Aceh bahwa UUPA yang harus dilihat dari hakikat dan subtansi yang diatur, dalam kedua peraturan yang dipertentangkan, UUPA didahulukan, baru kemudian UU lainnya dalam hal UUPA dan Qanun
tidak mengaturnya.
Kata Kunci:
UUPA dan Lex specialis
Keberadaan UUPA Sebagai
Lex Specialis
dan Undang Nomor 11 Tahun 2006 merupakan undang yang memberikan keistimewaan
dan kekhususan untuk Aceh. Dalam
perjalanannya, keistimewaan dan kekhususan Aceh menimbulkan polemik yang dianggap saling yang
dikeluarkan kemudian, seiring dengan
Tulisan ini menguraikan yang berkaitan dengan
Undang-lex specialis. undang lex lex Penerapan hukum di Aceh, bahwa UUPA yang harus dilihat dari hakikat dan subtansi yang diatur, dalam kedua peraturan yang dipertentangkan, UUPA didahulukan, baru
Qanun
Lex Specialis
A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang
UUPA merupakan suatu kata yang sering terdengar dari dan oleh masyarakat Aceh. UUPA merupakan singkatan yang dipakai untuk menyebutkan Undang-Undang Pemerintahan Aceh atau Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Sebelum UU Pemerintahan Aceh keluar, istilah UUPA sering dipakai untuk menyebutkan Undang-Undang Pokok Agraria yaitu UU No. 5 Tahun 1960.
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) lahir sebagai Implemtasi butir-butir kesepakatan dalam MoU Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005, perdamaian Aceh dari konflik bersenjata di mulai, MoU Helsniki mengakiri permusuhan antara Pemerintah Pusat dengan Gerakan Aceh Merdeka.
Sebelum UU tersebut dikeluarkanlah,telah dikeluarkan juga Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyeleng-garaan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, dalam
perkembangannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 dicabut dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Dalam perjalanannya, keisti-mewaan dan kekhususan Aceh menimbulkan polemik yang dianggap saling bertentangan dengan undang-undang lainnya yang dikeluarkan kemudian seiring dengan per-kembangan politik di Indonesia. Sehingga timbul beberapa konflik regulasi dalam
pelaksanaannya, seperti
pelaksanaan Pilkada tahun 2012, Pemilihan anggota KIP, penafsiran UU yang berbeda antara DPRA dan Bawaslu, dan lain-lain.
Berdasarkan uraian dan kenyataan di atas, pertentangan yang dianggap bahwa Aceh merupakan daerah khusus dan istimewa, sehingga dalam penerapan berbagai peraturan perundang-undangan di Aceh harus disesuaikan dengan hal tersebut.
Tulisan ini mencoba menguraikan yang berkaitan dengan Undang-Undang Pemerintahan Aceh sebagai
lex specialis.
2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapatlah diidentifikasikan masalah yaitu bagaimanakah keberadaan Undang-Undang Pemerintahan Aceh sebagai
lex specialis?
3. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah untuk menemukan konsepsi yang tepat mengenai keberadaan Undang-Undang Peme-rintahan Aceh sebagai
lex specialis.
B. PEMBAHASAN
1. Definisi dan Pemahaman Lex Spesialis
Peraturan perundang-undangan merupakan bagian hukum tertulis pada umumnya dipergu-nakan untuk mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Peraturan perundang-undangan yang baik akan dapat berlaku secara efektif dan efesien manakala peraturan
perundang-undangan tersebut disusun berdasarkan sistem yang baik.1 Pembentukan peraturan perundang-undangan tentunya dengan berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku.2
Lex spesialis merupakan potongan kalimat lex specialis derogat legi generalis yang merupakan salah satu asas dalam penerapan hukum positif.3 Asas lex specialis derogat legi generalis
merupakan pengetahuan hukum yang melihat persoalan hukum dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Asas lex spesialis derogat legi generalis
mengandung makna bahwa aturan hukum yang khusus akan
1 HAS Natabaya, Sistem Peraturan
Perundang-Undangan Indonesia,
Konpress dan Tatanusa, Jakarta, 2008, hlm. xiii.
2 Lihat Undang-Undang No. 12 tahun
2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, dan permendagri Nomor 1 Tahun 2011 serta untuk Aceh Qanun Aceh No. 5 Tahun 2011.
3 Selain asas tersebut juga dikenal
Asas lex superior derogat legi
inferiori (peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi mengeyampingkan peraturan yang lebih rendah), Asas lex posterior
derogat legi priori (peraturan
perundang-undangan yang baru
mengkesampingkan atau
meniadakan peraturan
perundang-undangan yang dikeluarkan
mengkesampingkan aturan hukum yang umum.4 Atau asas lex spesialis derogat legi generalis diartikan undang-undang/peraturan perun-dang-undangan yang bersifat khusus dapat mengeyampingkan undang-undang/peraturan perundang-undangan yang bersifat umum.5 Amiroeddin Syarif menyebutkan Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat umum artinya undang-undang yang mengatur persoalan-persoalan pokok secara umum dan berlaku umum pula.6
Pertanyaan kemudian yang membedakan peraturan yang umum dengan yang khusus apa? Pada awalnya pemahaman yang diberikan sebagai contoh adalah ketentuan dalam KUHDagang (khusus) dengan KUHPerdata(umum).
Undang-undang yang umum mengatur persoalan-persoalan pokok tetapi mengaturnya secara khusus menyimpang dari
4 Bagir Manan, Hukum Positif
Indonesia (Suatu Kajian Teoritik), FH UII Press, Yogyakarta, 2004, hlm. 57.
5 HAS Natabaya, Op Cit, hlm. 38. 6 Amiroeddin Syarif,
Perundang-Undangan Dasar, Jenis Dan Teknik Membuatnya, bina aksara, Jakarta, 1987, hlm. 81.
ketentuan undang-undang umum tersebut. Kekhususan itu karena sifat hakikat dari masalah atau persoalanya sendiri.7 Dari segi isi hukum dibagi menjadi lex generalis
dan lex spesialis. Lex generalis
adalah hukum umum yang berlaku umum dan merupakan dasar, sedangkan lex spesialis adalah hukum khusus yaitu yang menyimpang dari lex generalis. Lex generalis merupakan dasar dari lex specialis.8
Bagir Manan menyebutkan ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam asas lex spesialis derogat legi generalis
yaitu:9
a) Ketentuan-ketentuan yang dida-pati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut. Mengapa yang ditonjolkan prinsip aturan hukum umum tetap berlaku? Karena aturan hukum khusus merupakan
7 Ibid.
8 Sudikno Mertokusumo, Mengenal
Hukum suatu Pengantar, Liberty,
Yogyakarta, 203, hlm. 129.
pengecualian dari aturan hukum umum.
b) Ketentuan-ketentuan lex spe-cialis harus sederajat dengan ketentuan-ketentuan lex gene-ralis (undang-undang dengan undang-undang).
c) Ketentuan-ketentuan lex spe-cialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim) yang sama dengan lex generalis. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sama-sama termasuk lingkungan hukum keperdataan.
Dalam menghadapi dualisme
ketentuan yang berlaku
memerlukan suatu pemahaman ini. Terjadinya konflik antara dua undang-undang maka akan berlaku secara konsisten asas lex spesialis derogat legi generalis dan asas lex superior derogat legi inferiori.
Pemahaman lex superior derogat legi inferiori mengacu padatertip hukum yaitu asas pertingkatan atau hierarki peraturan undangan. Peraturan perundang-undanganyang lebih tinggi tingkatannya mengkesampingkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya,
kecuali apabila subtansi peraturan perundang-undangan lebih tinggi mngatur hal-hal yang oleh undang-undang ditetapkan menjadi wewenang peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah. Peraturan pemerintah (PP) bertingkat lebih atas dari peraturan daerah (perda). Tetapi perda yang bertentangan dengan PP tidak serta merta kalah sehingga dinyatakan batal atau tidak sah.10 Kalau ternyata materi muatan PP mengatur hal-hal yang menjadi wewenang daerah, dan materi muatan perda berada dalam wewenang daerah, maka PP yang mengalah, bukan perda.11
2. Keistimewaan dan Kekhususan Aceh12
Secara konsep Negara kesatuan dalam negara kesatuan, tanggung jawab pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan pada prinsipnya tetap berada di tangan pemerintah
10 Bagir Manan, Op cit, hlm. 57.
11 Ibid
12 Terkait dengan keistimewan dan
kekhususan Aceh dapat dilihat lebih rinci dalam Mukhlis, Keistimewaan
dan kekhususan Aceh dalam
perspektif negara kesatuan republik Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum FH Universitas Riau, Vol 4 Nomor 1 Tahun 2014, hlm. 76-98.
pusat. Namun, dikarenakan sistem pemerintahan di Indonesia menganut prinsip desentralisasi kekuasaan (pembagian kekuasaan secara vertikal), maka terdapat tugas tertentu bahkan tugas-tugas istimewa dan khusus yang diurus oleh pemerintahan daerah (lokal) sendiri. Hal ini pada dasarnya akan menimbulkan hubungan timbal balik yang melahirkan hubungan kewenangan dan pengawasan.
Aceh merupakan DAERAH MODAL, namun sekarang Aceh dapat disebut sebagai DAERAH MODEL?.13 Keistimewaan dan kekhususan Aceh mengalami pasang surut dalam perjalanan ketatanegaraan republik Indonesia. Berdasarkan Pasal 18B
13 Gelar kehormatan yang diberikan
Presiden bagi Aceh dengan DAERAH MODAL, dan menjanjikan akan memberi hak otonomi yang luas
bagi Aceh sehingga dapat
menjalankan Syari'at Islam. Namun dalam implementasinya tidak berjalan sebagaimana dijanjikan. Sedangkan daerah model dapat disebutkan banyak konsep yang lahir dari Aceh, namun kemudian di adopsi menjadi bagian dan masuk dalam sistem hukum yang berlaku secara nasional, seperti: MUI,
Bappeda, Mahkamah Syariah
kemudian menjadi Peradilan
Agama, Calon
Independen/perseorangan, Partai Politik Lokal, dll.
(1) UUD 1945 menyebutkan bahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Berdasarkan keten-tuan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 tersebut di atas dapat diketahui bahwa negara mengakui adanya daerah yang bersifat khusus atau istimewa. Namun demikian pengertian daerah khusus atau istimewa tersebut tidak dijelaskan secara terperinci dalam UUD 1945. Oleh karena itu berkaitan dengan hal tersebut perlu diatur dengan undang-undang sebagaimana perin-tah UUD 1945 tersebut.
Perkataan khusus memiliki cakupan yang luas, antara lain karena dimungkinkan membentuk pemerintahan daerah dengan otonomi khusus (Aceh dan Irian Jaya)14. Mengingat ketentuan Pasal 18B UUD 1945 tersebut maka dapat dikatagorikan bahwa daerah di Indonesia dapat dikatagorikan sebagai daerah istimewa atau daerah khusus. Daerah istimewa
14 Bagir Manan, Menyonsong Fajar
Otonomi Daerah, Yogyakarta: Pusat
Studi Hukum, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2001, hlm. 15.
yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta dan Daerah Istimewa Aceh, adapun daerah khusus meliputi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Papua dan Aceh. Berdasarkan kenyataan di atas UUD 1945 menyebutkan istilah khusus atau istimewa, namun Daerah Aceh dapat disebut mendapat 2 (dua) sebutan yaitu Daerah Istimewa dan Daerah khusus.15
Aceh merupakan daerah istimewa dan khusus. Daerah istimewa terkait dengan kewi-layahan yaitu keistimewaan dalam bidang penyelenggaraan agama, adat, pendidikan dan peran ulama sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999,16 sedangkan daerah khusus terkait dengan pemerintahan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 (sebelumnya diatur Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001), oleh karena itu Aceh terdapat 2 (dua) sebutan yaitu
15 Mukhlis, Loc.cit.
16 Pemberian sebutan keistimewaan
sebelumnya diberikan kepada Daerah Istimewa Aceh berdasarkan
Keputusan Perdana Menteri
No.1/Misi/1959 yang berlaku pada tanggal 25 Mei 1959, adapun hal yang menjadi perhatian utama
adalah bidang keagamaan,
peradatan dan pendidikan.
daerah istimewa dan daerah khusus, sehingga nama Aceh dapat disebutkan sebagai daerah khusus propinsi daerah istimewa Aceh.
Perjalanan panjang dalam pembentukan propinsi Aceh mengalami bermacam persoalan dan perjuangan panjang dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia. Ketata-negaran Republik Indonesia menempatkan Aceh sebagai satuan pemerintahan daerah yang besifat istimewa dan khusus, terkait dengan kharakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang yang tinggi. Pemberian otonomi kepada Provinsi Aceh melewati jalan yang panjang dan berliku.
“Disebut sebagai perjuangan “melawan arus” dalam bingkai NKRI, memakan waktu yang lama, dan sangat melelahkan bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Tidak hanya itu, kebijakan otonomi khusus
(special autonomy) atau kerap disebut “asymmetris decentral-ization”, dimana diberikannya kewenangan yang besar di bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya kepada daerah merupakan barang baru dalam sejarah ketatanegaraan
Indo-nesia melalui kebijakan otonomi daerah”.17
Provinsi Aceh kemudian diberikan Keistimewaan dalam Pendidikan, Adat dan peran Ulama
dalam pembangunan Aceh
berdasarkan Undang-Undang Nomor
44 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Namun pemerintah belum bisa mengakomodir tuntutan masyarakat Aceh dalam pelaksanaan syari’at Islam yang kaffah, maka pada Sidang umum MPR Tahun 1999 melahirkan Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara mengatur secara hukum otonomi khusus yang di berikan kepada dua Daerah Provinsi, yaitu Daerah Istimewa Aceh dan Irian Jaya yaitu:
“Dalam rangka pengembangan otonomi daerah di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta untuk menyelesaikan secara adil dan menyeluruh permasalahan di daerah yang memerlukan penanganan segera dan bersungguh-sungguh maka perlu di tempuh langkah-langkah
sebagai berikut;
17 Yohanis Anton Raharusun, Daerah
Khusus dalam Perspektif NKRI,
Jakarta: Konstitusi Press, 2009, hlm.186.
Mempertahankan integrasi bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan menghargai kesetaraan dan keregaman kehidupan sosial budaya masyarakat Aceh dan Irian Jaya sebagai daerah otonomi khusus yang diatur dengan Undang-undang”.
Ketetapan MPR tersebut pada Sidang Umum Tahunan MPR Tahun 2000 melalui Ketetapan MPR
Nomor IV/MPR/2000
merekomendasikan supaya
secepatnya Undang-Undang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh maka dikeluarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang pada prinsipnya
mengatur kewenangan
pemerintahan yang merupakan kekhususan dalam bidang pelaksanaan Syari’at Islam, diakui Peran Wali Nanggroe dan Tuha Nanggroe sebagai Penyelenggara Adat, Budaya, dan Persatu Masyarakat, mendapatkan dana perimbangan keuangan yang besar dari daerah lain dan ditetapkan Qanun sebagai Peraturan Daerah.
Pelaksanaan Syari’at Islam yang diberikan untuk Aceh
merupakan Otonomi Khusus yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus. Kelahiran UU ini dilatarbelakangi konflik Aceh yang berupa gerakan separatisme dilakukan Gerakan Aceh Merdeka pada Tahun 1976 dan gerakan reformasi yang dilakukan mahasiswa menuntut perubahan di segala aspek, terutama pola hubungan pusat dan daerah yang selama ini berlaku sistem sentralisasi berubah menjadi desentralisasi dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan Daerah telah mengatur dan memberikan wewenang dan kewajiban yang lebih menekan pada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan peme-rintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
pelayanan umum dan daya saing daerah.18
Pemberian Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam melahirkan harapan dan membuka peluang untuk tumbuhnya kreatifitas, diskresi dan kebebasan bagi Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota serta masyarakat Aceh pada umumnya untuk menemukan kembali indentitas diri dan membangun wilayahnya. Peluang ini di tanggapi secara positif oleh berbagai komponen masyarakat dan pemerintah. Tanggapan positif ini memang diperlukan untuk mencegah timbulnya kemungkinan bahwa pengalaman dahulu pada massa orde baru akan berbalik kembali ke
sistem pemerintah yang
sentralisasi.19 Pemberian
18 Pasal 2 ayat (3) UU No. 32 Tahun
2004. yang dimaksud daya saing
daerah adalah merupakan
kombinasi antara faktor kondisi
ekonomi daerah, kualitas
kelembagaan publik daerah,
sumber daya manusia dan
teknologi, yang secara
keseeluruhan membangun
kemampuan daerah untuk bersaing dengan daerah lain.
19 Al Yasa’ Abubakar, Hukum Pidana
Islam Di NAD, Banda Aceh: Dinas
Syari’at Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2006, hlm.1.
mewaan dan kekhususan kepada Aceh selalu didahului dengan kekecewaan bahkan pemberontakan terhadap Pemerintah Pusat yang kemudian melahirkan berbagai perlawanan dari rakyat Aceh.
Persoalan kemudian apakah Provinsi Aceh masih dikatakan sebagai daerah istimewa dan masih mempunyai Otonomi Khusus? Jawaban atas pertanyaan tersebut akan diuraikan berikut ini.
Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 menyebutkan Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. Lebih lanjut Pasal 18A UUD 1945 menentukan Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa Aceh merupakan daerah Istimewa dengan otonomi khusus sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2001. Namun Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 kemudian dicabut dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 menempatkan titik berat otonomi khusus pada Provinsi Nanggroe AcehDarussalam yang pelaksanaannya diletakkan pada daerah Kabupaten dan Kota atau namalain secara proporsional. Kekhususan ini merupakan peluang yang berharga untuk melakukan penyesuaian struktur, susunan, pembentukan dan penamaan pemerintahan di tingkat lebih bawah yang sesuai dengan jiwa dan semangat berbangsa dan bernegara yang hidup dalam nilai-nilai luhur masyarakat Aceh, diatur dalam Peraturan Daerah yang disebut dengan Qanun.20
Berbeda halnya dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 yang tidak menyebutkan secara tegas dimanakah letak titik berat otonomi tersebut, lebih lanjut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 dengan tegas menyebutkan Aceh adalah daerah otonomi khusus. Hal ini dapat dilihat dari
judul Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, meskipun apa yang menjadi kewenangan yang bersifat khusus tersebut tidak dirumuskan secara jelas dan tegas. Hanya ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 bahwa kewenangan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang diatur dalam undang-undang ini adalah kewenangan dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus.
Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 dijelaskan Undang-undang ini pada prinsipnya mengatur kewenangan pemerintahan di Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang merupakan kekhususan dari kewenangan pemerintahan daerah, selain sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Konsep kekhususan dan keistimewaan dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam konsideran menimbang a disebutkan: “…pemerintahan daerah, yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Berbeda redaksinya dalam konsideran menimbang UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang mencabut UU No. 32 Tahun 2004, menyebutkan dengan
tanpa menyebutkan lagi
keistimewaan dan kekhususan, namun menyebutnya dengan istilah kekhasan suatu daerah, huruf b
menyebutkan bahwa
penyelenggaraan pemerintahan daerah diarahkan untuk memper-cepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan
pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhasan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia;
Ketentuan lebih lanjut dalam Penjelasan Umum disebutkan aspek hubungan wewenang memper-hatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam hal ini Papua secara tegas disebutkan dalam judul Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Untuk Papua status Otonomi Khusus jelas dari judul Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 sebagaimana halnya juga dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Aceh. Otonomi khusus tidak menonjol dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, namun terdapat dalam beberapa ketentuan/penjelasan. Hal tersebut dikarenakan dalam MoU Helsinki tidak dipakai istilah “otonomi khusus”, karena oleh fihak GAM tidak dianggap sebagai sesuatu yang
mencerminkan sifat pemerintahan yang diinginkan.21
Pengakuan keistimewaan terhadap Propinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan pada asal-usul dan peranannya dalam sejarah perjuangan nasional, sedangkan isi keistimewaannya adalah peng-angkatan Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Sultan Yogyakarta dan
Wakil Gubernur dengan
mempertimbangkan calon dari keturunan Paku Alam yang memenuhi syarat sesuai dengan undang-undang. Status keisti-mewaan kepada Daerah Kota Istimewa Jakarta, mempunyai keistimewaan sebagai Ibu Kota Negara. Sedangkan keistimewaan Propinsi Istimewa Aceh didasarkan pada sejarah perjuangan kemerdekaan nasional, sedangkan isi keistimewaannya berupa pelak-sanaan kehidupan beragama, adat, dan pendidikan serta mem-perhatikan peranan ulama dalam penetapan kebijakan Daerah.
Sifat Kekhususan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 baru dapat dipahami secara
baik, apabila dikaitkan dengan ketentuan Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999. dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tersebut ditegaskan bahwa Provinsi NAD adalah daerah otonom yang bersifat istimewa. Keistimewaan adalah “kewenangan khusus” untuk menyelenggarakan kehidupan ber-agama, adat, pendidikan, dan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah.22 Mengenai eksistensi otonomi khusus Provinsi Aceh dapat dilihat lebih khusus dalam disertasi Husni.23
Berbeda halnya pengaturan otonomi khusus dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, yang tidak menyebutkan istilah otonomi khusus di dalam isinya sebagimana Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 sebagaimana di uraikan di atas. Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 disebutkan Pemberian otonomi
22 Husni, Eksistensi Otonomi Khusus
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia Berdasarkan UUD 1945,
Disertasi, PPS Unpad, 2004, hlm. 324. Ada perebdaan keistimewaan dengan keputusan Misi Hardi yang
hanya mengenal 3 (tiga)
keistimewaan yaitu agama, adat dan pendidikan.
23 Ibid.
seluas-luasnya di bidang politik kepada masyarakat Aceh dan mengelola pemerintahan daerah sesuai dengan prinsip good governance yaitu transparan, akuntabel, profesional, efisien, dan efektif dimaksudkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat di Aceh. Dalam menyelenggarakan otonomi yang seluas-luasnya itu, masyarakat Aceh memiliki peran serta, baik dalam merumuskan, menetapkan, melaksanakan maupun dalam mengevaluasi kebijakan pemerintahan daerah.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 mengatur dengan tegas bahwa Pemerintahan Aceh merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tatanan otonomi seluas-luasnya yang diterapkan di Aceh berdasarkan Undang-Undang ini merupakan
subsistem dalam sistem
pemerintahan secara nasional. Dengan demikian, otonomi seluas-luasnya pada dasarnya bukanlah sekadar hak, tetapi lebih dari itu yaitu merupakan kewajiban konstitusional untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi
kesejah-teraan di Aceh.24 Istilah otonomi khusus tidak disebutkan dalam judul Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, namun terdapat beberapa ketentuan yang menyarankan bahwa Aceh mempunyai “otonomi khusus”.
3. Bagaimana dan dimanakah Lex Specialis Aceh?
Sebagaimana telah disebut-kan di atas bahwa pemahaman terhadap Aceh sebagai Daerah Istimewa dapat dibedakan yaitu:25
Pertama, Aceh sebagai
Daerah istimewa terkait dengan kewilayahan yaitu keistimewaan dalam bidang penyelenggaraan agama, adat, pendidikan dan peran ulama sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 meskipun hal tersebut juga dikuatkan kembali dalam UUPA. Berkaitan dengan hal keistimewaan tersebut pemerintah sepenuhnya menyerahkan sepenuhnya kepada Aceh dalam mengatur dan menjalankannya.
24 Penjelasan Umum Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2006.
25 Mukhlis, Op. Cit, hlm. 98.
Dilihat segi isi hukum maslah keistimewaan dalam bidang penyelenggaraan agama termasuk di dalamnya penerapan Syari’at Islam dan Mahkamah Syar’iyah, adat (termasuk di dalmnya Wali
Nanggroe dan Lembaga adat
lainnya), pendidikan (termasuk MPD) dan peran ulama (termasuk MPU) dibagi lex spesialis, karena dalam aturan yang lain tidak menyebutkan. Lex generalis adalah hukum umum yang berlaku umum dan merupakan dasar, sedangkan
lex spesialis adalah hukum khusus yaitu yang menyimpang dari lex generalis. Lex generalis merupakan dasar dari lex specialis.
Kedua, Sedangkan daerah khusus itu terkait dengan pemerintahan atau ditambah dalam bidang politik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 (sebelumnya diatur Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001) yaitu:
1. Mukim;
2. Persetujuan internasional yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh; 3. Kerjasama internasional; 4. Pembentukan
undang-undang oleh Dewan Per-wakilan Rakyat yang berkaitan langsung dengan
Pemerintahan Aceh dilaku-kan dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA;
5. Pembentukan
badan/lembaga/komisi; 6. Kewenangan gubernur
mem-punyai tugas dan wewenang khusus/tambahan;
7. Jumlah anggota DPRA 125% dari ketentuan nasional; 8. DPRA mempunyai
kewenang-an khusus;
9. Partai politik lokal (parlok); 10.Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (KKR); 11.Sumber daya alam;
12.Sumber keuangan dan penge-lolaan keuangan khusus;
13.Tidak dikenal lagi kelurahan; 14.Bendera, lambang dan
himne;
Dalam hal terjadinya dualisme peraturan di Aceh, maka ada 2 (dua) pandangan terhadap hal tersebut yaitu:
Pertama, harus dilihat instrumen yang mengatur tentang hal tersebut harus disesuaikan, dalam arti untuk menghilangkan dualisme aturan maka peraturan yang dibuat perlu menyesuaikan diri dengan peraturan yang baru. Dalam ilmu hukum dikenal azas lex posteriori derogat legi priori, yaitu hukum yang ditetapkan atau
berlaku kemudian
mengenyampingkan hukum yang ditetapkan atau berlaku terdahulu.
Hal ini sebagaimana saat ini terkait dengan pemerintahan daerah maka untuk daerah khusus dan istimewa disebutkan dalam UU baru yaitu Pasal 399 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan daerah kemudian di ubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah, menyebutkan Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku juga bagi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Aceh, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat, sepanjang tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang yang mengatur keistimewaan dan kekhususan Daerah tersebut. Lihat juga misalnya Penjelasan Pasal 139 ayat 2 huruf i tentang pemberhentian anggota DPRD, bahwa anggota DPRD provinsi diberhentikan antarwaktu juga menyebutkan Ketentuan ini dikecualikan terhadap anggota partai politik lokal sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Kedua, pendapat azas
diterapkan untuk kasus UU Pemda versus UU Otsus di Aceh. Azas hukum yang lebih tepat adalah lex specialisderogatlex generalis, yaitu hukum yang mengatur materi khusus lebih didahulukan ketimbang yang mengatur materi yang umum. Hanya, UUPA khusus mengatur pemerintahan daerah di Aceh, tidak di daerah lain. Karena itu, ia menjadi lex specialis dari aturan tentang pemerintahan daerah di UU Pemda yang dapat dikatakan sebagai lex generalis. Aturan tentang pilkadal di UUPA dengan sendirinya kemudian menjadi lex specialis dari aturan sejenis di UU Pemda.
Contoh: terkait dengan Pilkada di Aceh mana yang disebut dengan lex specialis, Karena UUPA mengatur tentang pilkada dan UU terbaru UU No. 1 tahun 2015 kemudian di ubah dengan UU No. 8 Tahun 2015 TentangPerubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Kalau demikian, secara teoritis maka yang dapat
dikatakan UU khusus (lex specialis), dalam hal ini maka yang dapat dikatakan secara khusus adalah UU pilkada.
Pasal 199 UU No. 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang Yang Kemudian Diubah Dengan UU No. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang, menye-butkan Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku juga bagi penyelenggaraan Pemilihan di Provinsi Aceh, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat, sepanjang tidak diatur lain dalam Undang-Undang tersendiri.
Oleh karena itu terkait dengan pemilihan kepala daerah di
Aceh perlu menyesuaikan dengan UU yang baru sejauh belum diatur dengan syarat UUPA harus diutamakan. UU Pemda sendiri secara tegas menyatakan bahwa ketentuan dalam UU Pemda hanya berlaku bagi Aceh sepanjang tidak diatur secara khusus dalam undang-undang tersendiri. Mengutamakan sebagian ketentuan UU Pilkada dengan mengenyampingkan UUPA dikhawatirkan akan menjadi pintu masuk (entry point) bagi pusat untuk mengenyampingkan seluruh aturan dalam UUPA khusus mengenai materi tentang pilkada.
Dalam menghadapi dualisme
ketentuan yang berlaku
memerlukan suatu pemahaman ini. Terjadinya konflik antara dua undang-undang maka akan berlaku secara konsisten asas lex spesialis derogat legi generalis dan asas lex superior derogat legi inferiori.
Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya mengesam-pingkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatan-nya, kecuali apabila subtansi peraturan perundang-undangan lebih tinggi mengatur hal-hal yang oleh undang-undang ditetapkan menjadi
wewenang peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah
sebagaimana UUPA dalam
pelaksanaannya diperintahkan diatur dengan qanun. Peraturan pemerintah (PP) bertingkat lebih atas dari qanun. Tetapi qanun yang bertentangan dengan PP tidak serta merta kalah sehingga dinyatakan batal atau tidak sah. Kalau ternyata materi muatan PP mengatur hal-hal yang menjadi wewenang Aceh, dan materi muatan qanun berada dalam wewenang Aceh, maka PP yang mengalah, bukan Qanun.
C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Penerapan asas lex specialis derogatlegi generalis di Aceh, saya berpendapat bahwa UUPA yang harus dilihat dari hakikat dan subtansi yang diatur, dalam kedua peraturan yang dipertentangkan, UUPA didahulukan, baru kemudian UU lainnya dalam hal UUPA dan
Qanun tidak mengaturnya. Adapun Pemahaman lex superior derogat legi inferiori mengacu padatertip hukum yaitu asas pertingkatan atau hierarki peraturan perundang-undangan, namun ketika peraturan
perundang-undangan yang lebih atas mengatur hal-hal yang menjadi wewenang Aceh, dan materi muatan qanun berada dalam wewenang Aceh, maka peruturan perundang-undangan yang di atasnya yang mengalah, bukan Qanun, sejauh qanun tersebut dalam rangka menjalankan keistimewaan dan kekhususan Aceh.
2. Saran
Penerapan hukum asas lex specialis derogat legi generalis di Aceh, bahwa UUPA yang harus dilihat dari hakikat dan subtansi yang diatur, dalam kedua peraturan yang dipertentangkan, UUPA didahulukan daripada undang-undang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al Yasa’ Abubakar, Hukum Pidana Islam Di NAD, Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2006.
Amiroeddin Syarif, Perundang-Undangan Dasar, Jenis Dan
Teknik Membuatnya, bina
aksara, Jakarta, 1987.
Bagir Manan, Hukum Positif
Indonesia (Suatu Kajian
Teoritik), FH UII Press, Yogyakarta, 2004.
---, Menyonsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta: Pusat Studi Hukum, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2001.
HAS Natabaya, Sistem Peraturan Prundang-Undangan Indonesia, Konpress dan Tatanusa, Jakarta, 2008.
Husni, Eksistensi Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia Berdasarkan UUD 1945,
Disertasi, PPS Unpad, 2004. Mukhlis, Keistimewaan dan
kekhususan Aceh dalam Perspektif Negara Kesatuan Republik Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum, FH Universitas Riau, Vol 4 Nomor 1 Tahun 2014.
Sudikno Mertokusumo, Mengenal
Hukum suatu Pengantar,
Liberty, Yogyakarta, 2003. Yohanis Anton Raharusun, Daerah
Khusus dalam Perspektif NKRI, Jakarta: Konstitusi Press, 2009. UU No. 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh
UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
UU No. 1 Tahun 2015 Tentang
Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang Yang Kemudian
Diubah Dengan UU No. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang
Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang.