• Tidak ada hasil yang ditemukan

Upacara Ritual Menanda Tahun Di Sisada Rube Pada Masyarakat Pakpak Kajian Makna Dan Fungsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Upacara Ritual Menanda Tahun Di Sisada Rube Pada Masyarakat Pakpak Kajian Makna Dan Fungsi"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kepustakaan yang Relevan

Kajian pustaka dalam setiap proposal skripsi sangat diperlukan dalam menyusun

karya ilmiah. Kajian pustaka adalah paparan atau konsep-konsep yang mendukung

pemecahan masalah dalam penelitian yang semuanya itu bersumber dari pendapat para

ahli, empirisme (pengalaman peneliti), dokumentasi dan nalar peneliti yang

berhubungan dengan masalah yang diteliti.

Kajian pustaka ini menjelaskan tentang kepustakaan yang relevan dan teori yang

digunakan. Dalam kepustakaan yang relevan dijelaskan tentang pengertian upacara

ritual, ritual menanda tahun diSisada Rube pada masyarakat Pakpak, pengertian makna,

dan pengertian fungsi. dalam teori yang digunakan dijelaskan tentang teori makna dan

fungsi.

2.2 Landasan Teori

Secara etimologis, teori berasal dari kata theoria (Yunani) yang artinya kebulatan

alam atau realita. Teori diartikan sebagai kumpulan konsep yang telah teruji

keterandalannya, yaitu melalui kompetensi ilmiah yang dilakukan dalam penelitian.

Pengertian teori menurut Pradopo (2001:35) ialah, “seperangkat proposisi yang

terintegrasi secara sintaksis dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan atau

(2)

Untuk menjawab permasalahan yang ada dalam skripsi ini, penulis menggunakan

teori makna oleh Chaer (1987:3) yang mengemukakan makna adalah hubungan atau

lambang yang berupa ujaran dengan hal atau barang atau benda yang dimaksudkan.

Penulis juga menggunakan teori fungsi yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat

(1984:29) yang menyebutkan fungsi ada 3 arti yaitu:

1) Menerangkan adanya hubungan suatu hal dengan tujuan tertentu.

2) Dalam pengertian korelasi adanya hubungan antara satu hal dengan lainnya. 3) Menerangkan adanya hubungan yang terjadi antara satu hal dengan yang

lainnya dalam suatu sistem berinteraksi.

2.2.1 Pengertian Upacara Ritual

Koentjaraningrat (1980) menyatakan bahwa:

“Upacara ritual adalahsuatu upacara keagamaan yang dilaksanakan menurut tata kelakuan yang baku. Kelakuan agama tersebut merupakan perbuatan-perbuatan manusia yang bertujuan untuk menjalin hubungan dengan dunia gaib, upacara ritual tersebut terwujud aktivitas dan tindakan manusia dalam melaksanakan kebaktiannya terhadap Tuhan, dewa-dewa, roh nenek moyang, atau mahluk halus lainnya, upacara ini biasanya berlangsung berulang-ulang, baik setiap hari, tiap musim, ataupun kadang-kadang saja.

Jadi menurut pernyataan diatas, bahwa upacara ritual adalah suatu kegiatan yang

dilakukan manusia yang bertujuan untuk berhubungan dengan dunia gaib, roh nenek

moyang, dan lain sebagainya. Upacara ritual ini dilakukan bisa bergantung pada waktu

yang sudah ditetapkan ataupun tidak ditetapkan. Sebuah upacara ritual dilakukan

dengan cara atau waktu yang berbeda-beda tergantung apa yang diinginkan oleh

masyarakat yang melakukan upacara ritual tersebut.

Selanjutnya Lessa dan Vogt dalam Muhaimin (2001:32) berpendapat bahwa ritual

mencakup semua tindakan simbolik, baik yang bersifat profan maupun bersifat sakral,

(3)

penyapaan, pengucapan mantera sampai penyelenggaraan berbagi bentuk upacara yang

hikmat.

Dhavamony (2002:175) menyatakan bahwa upacara ritual dibagi menjadi empat

macam yaitu:

1) Tindakan magik yang dikaitkan dengan penggunaan bahan-bahan yang bekerja karena adanya daya mistis.

2) Tindakan yang bersifat religius.

3) Ritual konstitutif, yang mengungkapkan atau mengubah hubungan sosial dengan cara merujuk pada pengertian-pengertian mistis, dengan cara ini upacara-upacara kehidupan menjadi khas.

4) Ritual fiktif yang meningkatkan produktivitas atau kekuatan, pemurnian dan perlindungan, atau dengan cara lain meningkatkan kesejahteraan materi suatu kelompok.

2.2.2 Upacara Menanda Tahun

Upacara menanda tahun adalah salah satu jenis upacara yang berkaitan dengan

proses perladangan bagi orang Pakpak umumnya khususnya Sisada Rube khususnya.

Upacara ini dilaksanakan seikitar bulan Mei atau Juni setiap tahunnya, menjelang

musim tanam padi diladang tiba. Sejak kapan upacara ini dikenal, semua informan

tidak tahu, yang jelas menurut mereka telah dilaksanakan sejak generasi terdahulu.

Seluruh anggota masyarakat Sisada Rube, turut berpartisipasi dalam upacara ini

dalam pengertian semua hak atau kewajiban yang harus dipenuhi berkaitan dengan

tabu-tabu dan aturan-aturan, baik oleh anak-anak hingga orang dewasa. Setiap individu

berhak mencari tahu atau bertanya, dan setiap keluarga inti berkewajiban menyumbang

dana serta tenaga yang dibutuhkan. Namun demikian, ada individu-individu atau

kelompok tertentu yang perannya lebih besar atau menonjol bila dilihat dari tingkat

keaktifan dan tanggung jawabnya. Mereka terdiri dari: sukut ( pelaksana utama),

(4)

gadis), Puang( kelompok pemberi anak gadis), Guru (pemimpin upacara), dan

pengurus tetap.

Sukut (tuan rumah) terdiri dari suatu keluarga inti, harus bermarga Manik (Marga

Tanoh), generasi tertua dan bergilir antar Lebuh(Kampung). Sukut berkewajiban

mempersiapkan peralatan-peralatan upacara dan melaksanakan perintah guru, misalnya

menabur, mematuhi tabu-tabu dan aturan, serta memberikan kata sambutan dan lai-lain.

Guru (dukun), seorang atau dua orang laki-laki dewasa dari pihak marga tanoh

(penduduk asli), memiliki kelebihan khusus sehingga dapat berkomunikasi dengan

penguasa gaib, dapat meramal, dan sebagai pusat informasi tentang segala kewajiban

dan hak yang perlu atau harus dilaksanakan warga dalam kaitannya dengan upacara

perladangan.

Pengetuai (tokoh adat) mencakup semua individu yang dituakan karena dianggap

memiliki pengetahuan yang luas tentang adat istiadat yang berlaku di Sisada Rube.

Mereka juga diharapkan sebagai sumber informasi tentang aturan-aturan adat dan juga

diharapkan dapat memberikan saran-saran dan ide-ide berkaitan dengan pelaksanaan

upacara. Pengetuai (tokoh adat)tidak terbatas dari pihak Marga Tanoh(tuan rumah),

tetapi juga dari marga lain yang ada di Ssisada Rube.

Kepala desa diharapkan sebagai pengayom dan memberikan masukan serta

saran-saran, ia juga diharapkan menjadi mediator antara penduduk dengan para perencana

pembangunan. Upacara akan berlangsung bilamana dihadiri oleh minimal satu orang

(5)

Selanjutnya pemuda-pemudi dibutuhkan untuk membantu sukut(tuan rumah)

dalam persiapan peralatan dan pelaksanaan upacara. Misalnya, memasak lauk atau

nasi, mengambil kayu bakar dan lain-lain.

Berru (kelompok penerima anak gadis) berkewajiban menyumbang tenaga dan

materi. Belakangan (sekitar 20 tahun terakhir), mereka juga diberi hak untuk memberi

kata sambutan dan sejak dibentuknya pengurus tetap satu dekade yang lalu, beberapa

orang diantaranya diangkat menjadi panitia tetap.

Sama seperti kelompok berru (pengambil anak gadis), kelompok puang (pemberi

anak gadis) diberi peran yang lebih besar secara belakangan. Pada awalnya mereka

hanya peserta biasa, tapi belakangan ini diberi wewenang untuk memberi kata

sambutan, ikut merunggu (musyawarah) dan sumber nasehat (wejangan).

Sejak tahun 1967 dengan dimasukkanyaunsur agama Islam dan Kristen dalam

pelaksanaan upacara, maka tenaga pengurus mesjid dan gereja wajib hadir untuk

memimpin doa bersama dan menyembelih hewan kurban.

Dalam pelaksanaan upacara Menanda Tahun dibutuhkan perlengkapan atau

persyaratan wajib dan tidak wajib. Wajib berarti harus ada, sedangkan tidak wajib

boleh ada maupun tidak ada. Peralatan wajib mencakup pelleng (makanan khas daerah

Pakpak), ranting pohon rube(tanaman yang menyerupai tanaman rimbang yang

memiliki buah warna hijau sebesar biji rimbang) secukupnya, maro-maro (rumbai)

secukupnya, cabe merah secukupnya, tugal dua buah, pancongan bambu tujuh buah,

jennap (parang khusus) satu buah, page siarang (benih padi pulut merah) secukupnya,

peramaken (tikar pandan) satu buah, ayam kurban berbulu merah satu ekor, Napuren

(6)

upacara dilaksanakan secara besar-besaran, misalnya kerbau, alat musik dan

lain-lainnya.

Pelleng (makanan khas daerah Pakpak) dianggap mempunyai kekuatan khusus

karena biasanya digunakan untuk sesajen terhadap kekuatan-kekuatan supranatural.

Sehingga hampir seluruh kegiatan upacara dan aktivitasyang dianggap beresiko besar

selalu disajikan pelleng (makanan khas), juga untuk tujuan mencapai cita-cita atau

harapan.

Ranting Rube(tanaman yang menyerupai tanaman rimbang yang memiliki buah

warna hijau sebesar biji rimbang) diidentikkan dengan keberuntungan. Alasannya

pohon rube dapat dimanfaatkan secara serba guna untuk kebutuhan manusia.

Sedangkan marro-marro (rumbai) diperuntukkan sebagai hiasan altar karena padi

menurut kepercayaan setempat berasal dari penjelmaan manusia.

Sicina Mbara (cabe merah) dimakan sebagai lalapan pada saat makan. Merah dan

pedas dilambangkan sebagai sumber keberanian dan semangat. Ardang (tugal) dibuat

dari kayu-kayu kecil dengan salah satu ujungnya ditajami, yang berfungsi untuk

membuat lubang benih saat upacara. Sedangkan pancongan bambu yang berjumlah

tujuh melambangkan adanya tujuh roh padi yang berdiam dibumi. Ujungnya dibentuk

runcing dan menghadap kesebelah timur karena matahari terbit dari timur dan sebagai

penghormatan kepada dewa matahari.

Jennap (parang khusus) hanya boleh dimiliki oleh sukut(tuan rumah) upacara

serta dirancang secara khusus oleh penempa besi. Kemudian diisi kekuatan gaib oleh

seorang guru (dukun). Untuk itu hanya bisa dimanfaatkan saat upacara MenandaTahun.

Selanjutnya page siarang (benih padi pulut merah) merupakan lambang permulaan,

(7)

Selanjutnya tikar pandan dimanfaatkan sebagai tempat duduk sukut (tuan rumah)

dan guru(pemimpin upacara). Putih merupakan lambang kesucian, sehingga penguasa

berkenan memberi berkat melalui hasil panen padi yang melimpah. Manuk

mbara(ayam merah) diperuntukkan sebagai kurban sehingga gerak-gerik ayam saat

disembelih dan unsur-unsur organ tubuhnya dapat memberi petunjuk bagi guru dalam

meramalkan kejadian-kejadian dimasa akan datang.

Kemudian napuren mpenter sada rambar (sekapur sirih) diberikan kepada guru

(dukun), artinya tudung kepala bagi peserta upacara bermakna agar segala hama tidak

dapat melihat atau mengganggu tanaman diladang. Tutup kepala dikonotasikan dengan

tidak melihat saat pelaksanaan upacara tahun 1991 ternyata hanya sebagian kecil dari

peserta yang mengenakannya (13 orang).

2.2.3 Pengertian Makna

Chaer (1987:3) mengemukakan makna adalah hubungan atau lambang yang

berupa ujaran dengan hal atau barang atau benda yang dimaksudkan. Adapun sebuah

budaya yang selalu diwakili kode atau lambang yang secara konvensional disepakati

memiliki makna. makna yang terkandung tersebut selalu merujuk kepada kosmologi

masyarakat pemilik tersebut.

Didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ada beberapa pengertian

tentang makna, baik secara etimologi maupun leksikologi. Didalam makna leksikal

disebut bahwa makna unsur-unsur sastra sebagai lambang benda, peristiwa dan

(8)

Makna adalah pengertian dasar yang diberikan atau ada dalam suatu hal. Ada

juga disebut mengenai pengertian makna kontekstual yang berarti hubungan makna

ujaran dan situasi yang dipakai ujaran itu.

2.2.4 Pengertian Fungsi

Didalam kamus besar bahasa Indonesia dapat diketahui bahwa ada beberapa

pengertian tentang fungsi, baik secara etimologi maupun leksikologi.

Fungsi merupakan sesuatu yang dapat bermanfaat dan berguna bagi kehidupan

suatu masyarakat dimana keberadaan sesuatu tersebut mempunyai arti penting dalam

kehidupan sosial (Koentjaraningrat 1984:29)

Koentjaraningrat juga menyebut bahwa konsep fungsi mempunyai 3 arti penting

dalam penggunaannya, yaitu:

1) Menerangkan adanya hubungan suatu hal dengan tujuan tertentu.

2) Dalam pengertian korelasi adanya hubungan antara satu hal dengan lainnya. 3) Menerangkan adanya hubungan yang terjadi antara satu hal dengan yang

lainnya dalam suatu interaksi.

2.3.Teori yang Digunakan

Berdasarkan penelitian ini, secara umum teori yang digunakan untuk

mendeskripsikan semiotik dan fungsi simbolis dalam upacara ritual menandatahun di

Sisada Rube pada masyarakat Pakpak di Desa Nambunga Buluh, Kecamatan

Pergetteng-getteng Sengkut, Kabupaten Pakpak Bharat menggunakan dua teori, yaitu teori makna dan

(9)

2.3.1 Teori Semiotik

Semiotik (semiotika) adalah ilmu tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena

sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik itu

mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konversi-konversi yang memungkinkan

tanda-tanda tersebut mempunyai aturan dalam lapangan kritik sastra (Preminger dalam

Pradopo 1995: 93).

Preminger 1974:980 (dalam Pradopo 1995) mengatakan, penelitian semiotik

meliputi analisis serta sebagai sebuah bahasa yang tergantung pada (sifat-sifat) yang

menyebabkan bermacam-macam cara (modus) wacana mempunyai makna.

Lengkapnya, Preminger 1974:980 mengatakan bahwa semiotik adalah teori

tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial masyarakat dan kebudayaan

itu merupakan tanda-tanda. Artinya, semiotik itu juga mempelajari sistem-sistem,

aturan-aturan, konversi-konversi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai

makna. Dalam lapangan kritik sastra meliputi tanda-tanda sastra bergantung pada

(sifat-sifat) yang menyebabkan bermacam-macam cara (modus) sehingga suatu wacana

mempunyai makna. Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa semiotik

adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda-tanda, sistem-sistem, aturan-aturan dan

konversi-konversi yang memungkinkan tanda-tanda mempunyai makna didalam

peristiwa sastra.

Menurut Charles Sander Peirce (1839:980) semiotik itu juga dapat diartikan

sebagai ilmu “Tanda: Penanda dan Petanda. Tanda mempunyai dua aspek yaitu petanda

(signifier) dan petanda (signifzed). Penanda adalah bentuk formalnya yang menandai

(10)

penanda itu yaitu artinya. Contohnya kata “ibu” merupakan tanda berupa satuan bunyi

yang menandai arti: orang yang melahirkan kita.

Tanda itu tidak hanya satu macam saja, tetapi ada beberapa berdasarkan

hubungan antara penanda dan petandanya. Jenis-jenis tanda yang utama ialah ikon,

indeks, dan simbol.

Ikon adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan yang bersifat alamih

antara penanda dengan petandanya. Hubungan itu adalah hubungan persamaan,

misalnya gambar kuda sebagai penanda yang menandai kuda (petanda) sebagai artinya.

Potret menandai orang yang dipotret, gambar pohon menandai pohon.

Indeks adalah tanda yang menunjukkan hubungan klausa (sebab-akibat) antara

penanda dan petandanya, misalnya asap menandai api, alat penanda angin

menunjukkan arah angin, dan sebagainya.

Simbol adalah tanda yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan alamiah

antara penanda dengan petandanya, hubungannya bersifat arbriter (semau-semaunya).

Arti tanda itu ditentukan oleh konvensi . “Ibu”adalah simbol, artinya ditentukan oleh

konvensi masyarakat bahasa (Indonesia). Ada bermacam-macam untuk satu arti itu

menunjukkan “kesemena-menaan) tersebut. Dalam bahasa, tanda yang paling banyak

digunakan adalah simbol.

Perlu diperhatikan, dalam penlitian sastra dengan pendekatan semiotik. Tanda

yang berupa indekslah yang paling banyak dicari (diburu). Yaitu berupa tanda-tanda

yang menunjukkan hubungan sebab-akibat (dalam pengertian luasnya). Misalnya dalam

penokohan, seorang tokoh tertentu, misalnya dokter (tano dalam belenggu) dicari

(11)

mempergunakan istilah-istilah kedokteran, mobil bertanda simbol dokter, dan

sebagainya.

2.3.2.Teori Fungsi

Fungsi merupakan sesuatu yang dapat bermanfaat dan berguna bagi kehidupan

suatu masyarakat dimana keberadaan sesuatu tersebut mempunyai arti penting dalam

kehidupan masyarakat tersebut. Demikian halnya dengan simbol dalam tradisi upacara

ritual menanda tahun di Sisada Rube pada masyarakat Pakpak adalah fenomena sosial

masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda (simbol). Maka untuk

memahami makna dan fungsi simbolis dalam masyarakat Pakpak digunakan teori yang

telah dinyatakan. Upacara ritual menanda tahun merupakan bagian dari foklor etnis

Pakpak yang memiliki makna dan fungsi bagi etnis Pakpak itu sendiri, yang

menunjukkan bahwa masyarakat Pakpak memiliki budaya yang diturunkan secara

turun-temurun yang dapat menunjukkan identitas dari dari kebudayaan daerah Pakpak

itu sendiri.

kata foklor adalah pengindonesiaan dari kata Inggris “foklore”. Kata foklore

adalah kata majemuk, yang berasal dari dua kata dasar yaitu folk dan lore.Folk adalah

sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan,

sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. ciri-ciri pengenal itu

antara lain: warna kulit yang sama, dan agama yang sama. Namun yang lebih penting

adalah bahwa mereka telah memiliki suatu tradisi, yakni kebudayaan yang telah

diwariskan secara turun-temurun yang mereka akui milik bersama yang merupakan

(12)

Lore adalah tradisi, yaitu kebudayaan yang diwariskan secara turun-temurun

secara lisan atau melalui contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu

pengingat (mnemonic device).

Dengan demikian foklor dapat disimpulkan sebagai kebudayaan suatu kolektif,

yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, diantara kolektif jenis apa saja, jenis

tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang

disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device)

Menurut Ian Harold Brunvand ahli foklor dari AS (1968:2-3), foklor digolongkan

kedalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya yaitu:

1) Foklor lisan: yaitu foklor yang bentuknya murni lisan. Yang termasuk foklor lisan yaitu (a) bahasa rakyat (folk spech)seperti logat, julukan, pangkat tradisional, dan titel kebangsawanan; (b) ungkapan tradisional, seperti pribahasa, pepatah dan pemeo; (c) pertanyaan tradisional (teka-teki); (d) puisi rakyat, seperti pantun, gurindam, dan syair; (e) prosa rakyat, seperti mite, legenda, dan dongeng; dan (f) nyanyian rakyat.

2) Foklor sebagian lisan: foklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan. Kepercayaan rakyat, misalnya yang oleh orang “modern” seringkali disebut tahkyul, terdiri dari pernyataaan yang bersifat lisan ditambah dengan gerak isyarat yang dianggap mempunyai makna gaib yang dapat melindungi diri juga dapat memberi rejeki. Bentuk foklor yang yang tergolong dalam kelompok ini, selain kepercayaan rakyat, ada juga permainan rakyak, tari rakyat, adat-istiadat, upacara, pesta rakyat, dan lain-lain.

3) Foklor bukan lisan: foklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Kelompok ini dapat dibagi menjadi dua subkelompok, yakni yang material dan yang bukan material. Bentuk material: arsitektur rakyat (bentuk rumah asli daerah, bentuk lumbung padi ), kerajinan tangan rakyat: pakaian adat dan perhiasan, masakan dan minuman rakyat, dan obat-obatan tradisional. Sedangkan yang termasuk bukan material antara lain: gerak isyarat tradisional (gesture), bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat (kentongan tanda bahaya pada masyarakat jawa), dan musik rakyat.

Upacara ritual menanda tahun pada masyarakat Pakpak adalah merupakan bagian

dari foklor etnis pakpak bagian dari foklor sebagaian lisan. Karena didalam

pelaksanaan ritual menanda tahun ini masyarakat masih meyakini akan kepercayaan

(13)

meyakini gerrek-gereken “syarat-syarak”yang ada didalam pelaksanaan upacara ritual

menanda tahuntersebut.

Menurut Bascom (dalam Danandjaja, 1984: 19) ada empat fungsi dari foklor:

1) Sebagai sistem proyeksi, yakni sebagai alat pencerminan angan-angan suatu kolektif.

2) Sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga kebudayaan. 3) Sebagai alat pendidikan anak.

Referensi

Dokumen terkait

Teori yang penulis gunakan adalah teori James Dananjaja yang memasukkan cerita prosa rakyat yang termasuk kedalam jenis folklor lisan, yang masuk kategori legenda dalam buku

tersebut termasuk ke dalam jenis folklor lisan, yang masuk kategori legenda. Cerita prosa rakyat yang terdapat di Desa Pulau Kampai, jika ditinjau dari

Spiritual sering menjadi ruh sastra lisan, terutama yang menempel pada riual. Sastra lisan yang melekat pada ritual memang berguna untuk membangkitkan

Etnik, kelompok etnik (ethnic group) atau dalam bahasa Indonesia suku bangsa atau suku menurut disiplin ilmu antropologi adalah (misalnya Narroll, 1964), sebagai populasi yang:

Dananjaya (1991:22) menyatakan bahwa jenis folktor lisan indonesia antara lain adalah a) bahasa rakyat, b) ungkapan tradisional, c) pertanyaan tradisional, d) sajak dan

Koentjaraningrat (1976, hlm. 28) mengatakan bahwa kebudayaan berarti keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakan dengan belajar serta keseluruhan dari hasil

*Korespondensi berkenaan artikel ini dapat dialamatkan ke e-mail: Tomal_ranto@yahoo.co.id Fungsi ungkapan ini adalah untuk menasihati keluarga baru ketika upacara adat

Pada data 2 fungsi ungkapan pantang larang diatas adalah sebagai „penjelasan yang dapat diterima akal suatu folk terhadap gejala alam‟ karena pada ungkapan pantang larang tersebut