BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kepustakaan yang Relevan
Kajian pustaka dalam setiap proposal skripsi sangat diperlukan dalam menyusun
karya ilmiah. Kajian pustaka adalah paparan atau konsep-konsep yang mendukung
pemecahan masalah dalam penelitian yang semuanya itu bersumber dari pendapat para
ahli, empirisme (pengalaman peneliti), dokumentasi dan nalar peneliti yang
berhubungan dengan masalah yang diteliti.
Kajian pustaka ini menjelaskan tentang kepustakaan yang relevan dan teori yang
digunakan. Dalam kepustakaan yang relevan dijelaskan tentang pengertian upacara
ritual, ritual menanda tahun diSisada Rube pada masyarakat Pakpak, pengertian makna,
dan pengertian fungsi. dalam teori yang digunakan dijelaskan tentang teori makna dan
fungsi.
2.2 Landasan Teori
Secara etimologis, teori berasal dari kata theoria (Yunani) yang artinya kebulatan
alam atau realita. Teori diartikan sebagai kumpulan konsep yang telah teruji
keterandalannya, yaitu melalui kompetensi ilmiah yang dilakukan dalam penelitian.
Pengertian teori menurut Pradopo (2001:35) ialah, “seperangkat proposisi yang
terintegrasi secara sintaksis dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan atau
Untuk menjawab permasalahan yang ada dalam skripsi ini, penulis menggunakan
teori makna oleh Chaer (1987:3) yang mengemukakan makna adalah hubungan atau
lambang yang berupa ujaran dengan hal atau barang atau benda yang dimaksudkan.
Penulis juga menggunakan teori fungsi yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat
(1984:29) yang menyebutkan fungsi ada 3 arti yaitu:
1) Menerangkan adanya hubungan suatu hal dengan tujuan tertentu.
2) Dalam pengertian korelasi adanya hubungan antara satu hal dengan lainnya. 3) Menerangkan adanya hubungan yang terjadi antara satu hal dengan yang
lainnya dalam suatu sistem berinteraksi.
2.2.1 Pengertian Upacara Ritual
Koentjaraningrat (1980) menyatakan bahwa:
“Upacara ritual adalahsuatu upacara keagamaan yang dilaksanakan menurut tata kelakuan yang baku. Kelakuan agama tersebut merupakan perbuatan-perbuatan manusia yang bertujuan untuk menjalin hubungan dengan dunia gaib, upacara ritual tersebut terwujud aktivitas dan tindakan manusia dalam melaksanakan kebaktiannya terhadap Tuhan, dewa-dewa, roh nenek moyang, atau mahluk halus lainnya, upacara ini biasanya berlangsung berulang-ulang, baik setiap hari, tiap musim, ataupun kadang-kadang saja.
Jadi menurut pernyataan diatas, bahwa upacara ritual adalah suatu kegiatan yang
dilakukan manusia yang bertujuan untuk berhubungan dengan dunia gaib, roh nenek
moyang, dan lain sebagainya. Upacara ritual ini dilakukan bisa bergantung pada waktu
yang sudah ditetapkan ataupun tidak ditetapkan. Sebuah upacara ritual dilakukan
dengan cara atau waktu yang berbeda-beda tergantung apa yang diinginkan oleh
masyarakat yang melakukan upacara ritual tersebut.
Selanjutnya Lessa dan Vogt dalam Muhaimin (2001:32) berpendapat bahwa ritual
mencakup semua tindakan simbolik, baik yang bersifat profan maupun bersifat sakral,
penyapaan, pengucapan mantera sampai penyelenggaraan berbagi bentuk upacara yang
hikmat.
Dhavamony (2002:175) menyatakan bahwa upacara ritual dibagi menjadi empat
macam yaitu:
1) Tindakan magik yang dikaitkan dengan penggunaan bahan-bahan yang bekerja karena adanya daya mistis.
2) Tindakan yang bersifat religius.
3) Ritual konstitutif, yang mengungkapkan atau mengubah hubungan sosial dengan cara merujuk pada pengertian-pengertian mistis, dengan cara ini upacara-upacara kehidupan menjadi khas.
4) Ritual fiktif yang meningkatkan produktivitas atau kekuatan, pemurnian dan perlindungan, atau dengan cara lain meningkatkan kesejahteraan materi suatu kelompok.
2.2.2 Upacara Menanda Tahun
Upacara menanda tahun adalah salah satu jenis upacara yang berkaitan dengan
proses perladangan bagi orang Pakpak umumnya khususnya Sisada Rube khususnya.
Upacara ini dilaksanakan seikitar bulan Mei atau Juni setiap tahunnya, menjelang
musim tanam padi diladang tiba. Sejak kapan upacara ini dikenal, semua informan
tidak tahu, yang jelas menurut mereka telah dilaksanakan sejak generasi terdahulu.
Seluruh anggota masyarakat Sisada Rube, turut berpartisipasi dalam upacara ini
dalam pengertian semua hak atau kewajiban yang harus dipenuhi berkaitan dengan
tabu-tabu dan aturan-aturan, baik oleh anak-anak hingga orang dewasa. Setiap individu
berhak mencari tahu atau bertanya, dan setiap keluarga inti berkewajiban menyumbang
dana serta tenaga yang dibutuhkan. Namun demikian, ada individu-individu atau
kelompok tertentu yang perannya lebih besar atau menonjol bila dilihat dari tingkat
keaktifan dan tanggung jawabnya. Mereka terdiri dari: sukut ( pelaksana utama),
gadis), Puang( kelompok pemberi anak gadis), Guru (pemimpin upacara), dan
pengurus tetap.
Sukut (tuan rumah) terdiri dari suatu keluarga inti, harus bermarga Manik (Marga
Tanoh), generasi tertua dan bergilir antar Lebuh(Kampung). Sukut berkewajiban
mempersiapkan peralatan-peralatan upacara dan melaksanakan perintah guru, misalnya
menabur, mematuhi tabu-tabu dan aturan, serta memberikan kata sambutan dan lai-lain.
Guru (dukun), seorang atau dua orang laki-laki dewasa dari pihak marga tanoh
(penduduk asli), memiliki kelebihan khusus sehingga dapat berkomunikasi dengan
penguasa gaib, dapat meramal, dan sebagai pusat informasi tentang segala kewajiban
dan hak yang perlu atau harus dilaksanakan warga dalam kaitannya dengan upacara
perladangan.
Pengetuai (tokoh adat) mencakup semua individu yang dituakan karena dianggap
memiliki pengetahuan yang luas tentang adat istiadat yang berlaku di Sisada Rube.
Mereka juga diharapkan sebagai sumber informasi tentang aturan-aturan adat dan juga
diharapkan dapat memberikan saran-saran dan ide-ide berkaitan dengan pelaksanaan
upacara. Pengetuai (tokoh adat)tidak terbatas dari pihak Marga Tanoh(tuan rumah),
tetapi juga dari marga lain yang ada di Ssisada Rube.
Kepala desa diharapkan sebagai pengayom dan memberikan masukan serta
saran-saran, ia juga diharapkan menjadi mediator antara penduduk dengan para perencana
pembangunan. Upacara akan berlangsung bilamana dihadiri oleh minimal satu orang
Selanjutnya pemuda-pemudi dibutuhkan untuk membantu sukut(tuan rumah)
dalam persiapan peralatan dan pelaksanaan upacara. Misalnya, memasak lauk atau
nasi, mengambil kayu bakar dan lain-lain.
Berru (kelompok penerima anak gadis) berkewajiban menyumbang tenaga dan
materi. Belakangan (sekitar 20 tahun terakhir), mereka juga diberi hak untuk memberi
kata sambutan dan sejak dibentuknya pengurus tetap satu dekade yang lalu, beberapa
orang diantaranya diangkat menjadi panitia tetap.
Sama seperti kelompok berru (pengambil anak gadis), kelompok puang (pemberi
anak gadis) diberi peran yang lebih besar secara belakangan. Pada awalnya mereka
hanya peserta biasa, tapi belakangan ini diberi wewenang untuk memberi kata
sambutan, ikut merunggu (musyawarah) dan sumber nasehat (wejangan).
Sejak tahun 1967 dengan dimasukkanyaunsur agama Islam dan Kristen dalam
pelaksanaan upacara, maka tenaga pengurus mesjid dan gereja wajib hadir untuk
memimpin doa bersama dan menyembelih hewan kurban.
Dalam pelaksanaan upacara Menanda Tahun dibutuhkan perlengkapan atau
persyaratan wajib dan tidak wajib. Wajib berarti harus ada, sedangkan tidak wajib
boleh ada maupun tidak ada. Peralatan wajib mencakup pelleng (makanan khas daerah
Pakpak), ranting pohon rube(tanaman yang menyerupai tanaman rimbang yang
memiliki buah warna hijau sebesar biji rimbang) secukupnya, maro-maro (rumbai)
secukupnya, cabe merah secukupnya, tugal dua buah, pancongan bambu tujuh buah,
jennap (parang khusus) satu buah, page siarang (benih padi pulut merah) secukupnya,
peramaken (tikar pandan) satu buah, ayam kurban berbulu merah satu ekor, Napuren
upacara dilaksanakan secara besar-besaran, misalnya kerbau, alat musik dan
lain-lainnya.
Pelleng (makanan khas daerah Pakpak) dianggap mempunyai kekuatan khusus
karena biasanya digunakan untuk sesajen terhadap kekuatan-kekuatan supranatural.
Sehingga hampir seluruh kegiatan upacara dan aktivitasyang dianggap beresiko besar
selalu disajikan pelleng (makanan khas), juga untuk tujuan mencapai cita-cita atau
harapan.
Ranting Rube(tanaman yang menyerupai tanaman rimbang yang memiliki buah
warna hijau sebesar biji rimbang) diidentikkan dengan keberuntungan. Alasannya
pohon rube dapat dimanfaatkan secara serba guna untuk kebutuhan manusia.
Sedangkan marro-marro (rumbai) diperuntukkan sebagai hiasan altar karena padi
menurut kepercayaan setempat berasal dari penjelmaan manusia.
Sicina Mbara (cabe merah) dimakan sebagai lalapan pada saat makan. Merah dan
pedas dilambangkan sebagai sumber keberanian dan semangat. Ardang (tugal) dibuat
dari kayu-kayu kecil dengan salah satu ujungnya ditajami, yang berfungsi untuk
membuat lubang benih saat upacara. Sedangkan pancongan bambu yang berjumlah
tujuh melambangkan adanya tujuh roh padi yang berdiam dibumi. Ujungnya dibentuk
runcing dan menghadap kesebelah timur karena matahari terbit dari timur dan sebagai
penghormatan kepada dewa matahari.
Jennap (parang khusus) hanya boleh dimiliki oleh sukut(tuan rumah) upacara
serta dirancang secara khusus oleh penempa besi. Kemudian diisi kekuatan gaib oleh
seorang guru (dukun). Untuk itu hanya bisa dimanfaatkan saat upacara MenandaTahun.
Selanjutnya page siarang (benih padi pulut merah) merupakan lambang permulaan,
Selanjutnya tikar pandan dimanfaatkan sebagai tempat duduk sukut (tuan rumah)
dan guru(pemimpin upacara). Putih merupakan lambang kesucian, sehingga penguasa
berkenan memberi berkat melalui hasil panen padi yang melimpah. Manuk
mbara(ayam merah) diperuntukkan sebagai kurban sehingga gerak-gerik ayam saat
disembelih dan unsur-unsur organ tubuhnya dapat memberi petunjuk bagi guru dalam
meramalkan kejadian-kejadian dimasa akan datang.
Kemudian napuren mpenter sada rambar (sekapur sirih) diberikan kepada guru
(dukun), artinya tudung kepala bagi peserta upacara bermakna agar segala hama tidak
dapat melihat atau mengganggu tanaman diladang. Tutup kepala dikonotasikan dengan
tidak melihat saat pelaksanaan upacara tahun 1991 ternyata hanya sebagian kecil dari
peserta yang mengenakannya (13 orang).
2.2.3 Pengertian Makna
Chaer (1987:3) mengemukakan makna adalah hubungan atau lambang yang
berupa ujaran dengan hal atau barang atau benda yang dimaksudkan. Adapun sebuah
budaya yang selalu diwakili kode atau lambang yang secara konvensional disepakati
memiliki makna. makna yang terkandung tersebut selalu merujuk kepada kosmologi
masyarakat pemilik tersebut.
Didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ada beberapa pengertian
tentang makna, baik secara etimologi maupun leksikologi. Didalam makna leksikal
disebut bahwa makna unsur-unsur sastra sebagai lambang benda, peristiwa dan
Makna adalah pengertian dasar yang diberikan atau ada dalam suatu hal. Ada
juga disebut mengenai pengertian makna kontekstual yang berarti hubungan makna
ujaran dan situasi yang dipakai ujaran itu.
2.2.4 Pengertian Fungsi
Didalam kamus besar bahasa Indonesia dapat diketahui bahwa ada beberapa
pengertian tentang fungsi, baik secara etimologi maupun leksikologi.
Fungsi merupakan sesuatu yang dapat bermanfaat dan berguna bagi kehidupan
suatu masyarakat dimana keberadaan sesuatu tersebut mempunyai arti penting dalam
kehidupan sosial (Koentjaraningrat 1984:29)
Koentjaraningrat juga menyebut bahwa konsep fungsi mempunyai 3 arti penting
dalam penggunaannya, yaitu:
1) Menerangkan adanya hubungan suatu hal dengan tujuan tertentu.
2) Dalam pengertian korelasi adanya hubungan antara satu hal dengan lainnya. 3) Menerangkan adanya hubungan yang terjadi antara satu hal dengan yang
lainnya dalam suatu interaksi.
2.3.Teori yang Digunakan
Berdasarkan penelitian ini, secara umum teori yang digunakan untuk
mendeskripsikan semiotik dan fungsi simbolis dalam upacara ritual menandatahun di
Sisada Rube pada masyarakat Pakpak di Desa Nambunga Buluh, Kecamatan
Pergetteng-getteng Sengkut, Kabupaten Pakpak Bharat menggunakan dua teori, yaitu teori makna dan
2.3.1 Teori Semiotik
Semiotik (semiotika) adalah ilmu tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena
sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik itu
mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konversi-konversi yang memungkinkan
tanda-tanda tersebut mempunyai aturan dalam lapangan kritik sastra (Preminger dalam
Pradopo 1995: 93).
Preminger 1974:980 (dalam Pradopo 1995) mengatakan, penelitian semiotik
meliputi analisis serta sebagai sebuah bahasa yang tergantung pada (sifat-sifat) yang
menyebabkan bermacam-macam cara (modus) wacana mempunyai makna.
Lengkapnya, Preminger 1974:980 mengatakan bahwa semiotik adalah teori
tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial masyarakat dan kebudayaan
itu merupakan tanda-tanda. Artinya, semiotik itu juga mempelajari sistem-sistem,
aturan-aturan, konversi-konversi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai
makna. Dalam lapangan kritik sastra meliputi tanda-tanda sastra bergantung pada
(sifat-sifat) yang menyebabkan bermacam-macam cara (modus) sehingga suatu wacana
mempunyai makna. Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa semiotik
adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda-tanda, sistem-sistem, aturan-aturan dan
konversi-konversi yang memungkinkan tanda-tanda mempunyai makna didalam
peristiwa sastra.
Menurut Charles Sander Peirce (1839:980) semiotik itu juga dapat diartikan
sebagai ilmu “Tanda: Penanda dan Petanda. Tanda mempunyai dua aspek yaitu petanda
(signifier) dan petanda (signifzed). Penanda adalah bentuk formalnya yang menandai
penanda itu yaitu artinya. Contohnya kata “ibu” merupakan tanda berupa satuan bunyi
yang menandai arti: orang yang melahirkan kita.
Tanda itu tidak hanya satu macam saja, tetapi ada beberapa berdasarkan
hubungan antara penanda dan petandanya. Jenis-jenis tanda yang utama ialah ikon,
indeks, dan simbol.
Ikon adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan yang bersifat alamih
antara penanda dengan petandanya. Hubungan itu adalah hubungan persamaan,
misalnya gambar kuda sebagai penanda yang menandai kuda (petanda) sebagai artinya.
Potret menandai orang yang dipotret, gambar pohon menandai pohon.
Indeks adalah tanda yang menunjukkan hubungan klausa (sebab-akibat) antara
penanda dan petandanya, misalnya asap menandai api, alat penanda angin
menunjukkan arah angin, dan sebagainya.
Simbol adalah tanda yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan alamiah
antara penanda dengan petandanya, hubungannya bersifat arbriter (semau-semaunya).
Arti tanda itu ditentukan oleh konvensi . “Ibu”adalah simbol, artinya ditentukan oleh
konvensi masyarakat bahasa (Indonesia). Ada bermacam-macam untuk satu arti itu
menunjukkan “kesemena-menaan) tersebut. Dalam bahasa, tanda yang paling banyak
digunakan adalah simbol.
Perlu diperhatikan, dalam penlitian sastra dengan pendekatan semiotik. Tanda
yang berupa indekslah yang paling banyak dicari (diburu). Yaitu berupa tanda-tanda
yang menunjukkan hubungan sebab-akibat (dalam pengertian luasnya). Misalnya dalam
penokohan, seorang tokoh tertentu, misalnya dokter (tano dalam belenggu) dicari
mempergunakan istilah-istilah kedokteran, mobil bertanda simbol dokter, dan
sebagainya.
2.3.2.Teori Fungsi
Fungsi merupakan sesuatu yang dapat bermanfaat dan berguna bagi kehidupan
suatu masyarakat dimana keberadaan sesuatu tersebut mempunyai arti penting dalam
kehidupan masyarakat tersebut. Demikian halnya dengan simbol dalam tradisi upacara
ritual menanda tahun di Sisada Rube pada masyarakat Pakpak adalah fenomena sosial
masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda (simbol). Maka untuk
memahami makna dan fungsi simbolis dalam masyarakat Pakpak digunakan teori yang
telah dinyatakan. Upacara ritual menanda tahun merupakan bagian dari foklor etnis
Pakpak yang memiliki makna dan fungsi bagi etnis Pakpak itu sendiri, yang
menunjukkan bahwa masyarakat Pakpak memiliki budaya yang diturunkan secara
turun-temurun yang dapat menunjukkan identitas dari dari kebudayaan daerah Pakpak
itu sendiri.
kata foklor adalah pengindonesiaan dari kata Inggris “foklore”. Kata foklore
adalah kata majemuk, yang berasal dari dua kata dasar yaitu folk dan lore.Folk adalah
sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan,
sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. ciri-ciri pengenal itu
antara lain: warna kulit yang sama, dan agama yang sama. Namun yang lebih penting
adalah bahwa mereka telah memiliki suatu tradisi, yakni kebudayaan yang telah
diwariskan secara turun-temurun yang mereka akui milik bersama yang merupakan
Lore adalah tradisi, yaitu kebudayaan yang diwariskan secara turun-temurun
secara lisan atau melalui contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu
pengingat (mnemonic device).
Dengan demikian foklor dapat disimpulkan sebagai kebudayaan suatu kolektif,
yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, diantara kolektif jenis apa saja, jenis
tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang
disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device)
Menurut Ian Harold Brunvand ahli foklor dari AS (1968:2-3), foklor digolongkan
kedalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya yaitu:
1) Foklor lisan: yaitu foklor yang bentuknya murni lisan. Yang termasuk foklor lisan yaitu (a) bahasa rakyat (folk spech)seperti logat, julukan, pangkat tradisional, dan titel kebangsawanan; (b) ungkapan tradisional, seperti pribahasa, pepatah dan pemeo; (c) pertanyaan tradisional (teka-teki); (d) puisi rakyat, seperti pantun, gurindam, dan syair; (e) prosa rakyat, seperti mite, legenda, dan dongeng; dan (f) nyanyian rakyat.
2) Foklor sebagian lisan: foklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan. Kepercayaan rakyat, misalnya yang oleh orang “modern” seringkali disebut tahkyul, terdiri dari pernyataaan yang bersifat lisan ditambah dengan gerak isyarat yang dianggap mempunyai makna gaib yang dapat melindungi diri juga dapat memberi rejeki. Bentuk foklor yang yang tergolong dalam kelompok ini, selain kepercayaan rakyat, ada juga permainan rakyak, tari rakyat, adat-istiadat, upacara, pesta rakyat, dan lain-lain.
3) Foklor bukan lisan: foklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Kelompok ini dapat dibagi menjadi dua subkelompok, yakni yang material dan yang bukan material. Bentuk material: arsitektur rakyat (bentuk rumah asli daerah, bentuk lumbung padi ), kerajinan tangan rakyat: pakaian adat dan perhiasan, masakan dan minuman rakyat, dan obat-obatan tradisional. Sedangkan yang termasuk bukan material antara lain: gerak isyarat tradisional (gesture), bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat (kentongan tanda bahaya pada masyarakat jawa), dan musik rakyat.
Upacara ritual menanda tahun pada masyarakat Pakpak adalah merupakan bagian
dari foklor etnis pakpak bagian dari foklor sebagaian lisan. Karena didalam
pelaksanaan ritual menanda tahun ini masyarakat masih meyakini akan kepercayaan
meyakini gerrek-gereken “syarat-syarak”yang ada didalam pelaksanaan upacara ritual
menanda tahuntersebut.
Menurut Bascom (dalam Danandjaja, 1984: 19) ada empat fungsi dari foklor:
1) Sebagai sistem proyeksi, yakni sebagai alat pencerminan angan-angan suatu kolektif.
2) Sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga kebudayaan. 3) Sebagai alat pendidikan anak.