UPACARA RITUAL MENANDA TAHUN DI SISADA RUBE PADA MASYARAKAT PAKPAK : KAJIAN MAKNA DAN FUNGSI
SKRIPSI SARJANA
DISUSUN OLEH
NAMA : EVA YENI BANUREA NIM : 110703008
UNIVERSITAS SUMATERA UATARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPERTEMEN SASTRA DAERAH
PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA BATAK
MEDAN
KATA PENGANTAR
Penulis terlebih dahulu mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
kasih dan rahmat-Nya yang telah memberikan kesehatan, kekuatan, serta pertolongan kepada
penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini di Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Sumatera Utara. Adapun judul skripsi ini yaitu: “Upacara Ritual Menanda Tahun Di Sisada
Rube Pada Masyarakat Pakpak: Kajian Makna Dan Fungsi.
Penulis berharap skripsi ini menjadi bahan informasi yang berguna bagi pembaca. Untuk
memudahkan pemahaman skripsi ini, penulis membaginya menjadi lima bab. Bab I
merupakan pendahuluan yang mencakup latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian,
dan manfaat penelitian.Bab II merupakan tinjauan pustaka yang mencakup kepustakaan yang
relevan dan landasan teori.Bab III merupakan metode penelitian yang mencakup metode
dasar, lokasi penelitian, instrumen penelitian, sumber data penelitian, metode pengumpulan
data, dan metode analisis data. Bab IV merupakan pembahasan tentang permasalahan, serta
babV merupakan kesimpulan dan saran.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, karena itu penulis berharap
kritik dan saran dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga apa yang diuraikan
dalam skripsi ini berguna bagi kita semua.
Penulis,
Eva Yeni Banurea
KATA PERJOLO
Perjolo-jolo penurat mendokken lias ate mendahi Tuhan Permende Basa sienggo memereken kininjuah, kegegohen, dekket pertolongen mendahi penurat kumerna boi kisidungi skripsi en i Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatra Utara. Lot pe judul skripsi en imo:”Upacara Ritual Menannda Tahun Di Sisada Rube Pada Masyarakat Pakpak: Kajian Makna dan Fungsi”.
Penurat mengharapken skripsi en boi mahan informasi simerguna mendahi pembaca. Lako kipermudah pemahamen skripsi en, penurat membagi menjadi lima bab. Bab I imo perjolo simerisi latar belakang masalah, rumusen masalah, tujuen penelitien.Bab II imo tinjauen pustaka simerisi kajien relevan dekket landasen teori. Bab III imo cara penelitien simerisi cara perjolo, bekkas penelitien, cara meneliti, sumber data penelitien, cara kipepulungken data, dekket cara mengolah data. Bab IV imo pembahasen permasalahen, dekket bab V imo kesimpulen dekket saran.
Isadari penurat ngo bahwa skripsi en ndaoh deng ibas sempurna nai, imo asa i harapken penurat ngo kritik dekket saran simersipat membangun bana pembaca nai imo nalako kipemende skripsi en. Mudah-mudahen mo kade sini suratken i skripsi en merlapaten mendahi kita karina.
Penurat
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus, Allah Yang Maha
Kuasa atas kasih yang diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “ Upacara Ritual Menanda Tahun Di Sisada Rube Pada Masyarakat Pakpak Kajian
Makna Dan Fungsi”.
Skripsi ini ditulis guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Sastra pada Depertemen Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatra Utara
Medan tahun akademik 2015/2016. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada keluarga tercinta terutama Ayahanda S Banurea dan Ibunda tercinta N Bancin atas
doa dan dukungan moral serta materil. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima
kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan bimbingan yaitu kepada:
1.Bapak Dr. Syahron Lubis M.A Selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatra
Utara.
2. Bapak Drs. Warisman Sinaga M.Hum selaku Ketua Jurusan Program Studi Bahasa
Batak dan Sastra Melayu Universitas Sumatra Utara.
3. Ibu Dra. Herlina Ginting M. Hum selaku Sekretaris Depertemen Sastra Daerah Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Sumatra Utara.
4. Bapak Drs. Sumurung Simorangkir SH.MPd selaku Dosen Pembimbing I yang telah
bersedia memberi pengarahan dan masukan yang sangat berharga bagi penulis dalam
penulisan skripsi ini.
5. Bapak Drs Flansius Tampubolon M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah
bersedia memberikan pengarahan dan masukan yang sangat berharga bagi penulis dalam
6. Bapak dan Ibu Dosen Staf pengajar Depertemen Sastra Daerah dan Bapak Ibu Dosen
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatra Utara.
7. Terima kasih kepada kak Fifi yang telah membantu penulis dalam melengkapi
surat-menyurat demi kelancaran dalam perkuliahan dan juga dalam penyelesaian skripsi ini.
8. Terimakasih kepada Dinas Kebudayaan Pariwisata Perhubungan Kabupaten Pakpak
Bharat yang telah memberi bantuan berupa buku-buku yang berkaitan dengan judul skripsi
penulis yang sangat membantu penulis dalam penulisan skripsi ini.
9. Buat Saudara-saudara saya: Karbina Yunita Banurea A.Md. , Dodi Arto Banurea,
Mememmes Mono Banurea, Teguh Sadarmo Harianto Banurea, Septika Pasia Banurea
terimaksih atas perhatian dan dukungannya.
10. Buat sahabat-sahabat saya Derinta LR Padang, Tifani Rotua Panjaitan, Naomi Kristina
Siahaan, Vera Novalisa Sianipar, Evelina Sitinjak, Ina Dorys Sitorus dan teman-teman
penulis stambuk 2011 yang telah memberikan dukungan serta bantuan dalam penyelesaian
skripsi ini.
11. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman IKAMPUS ( Ikatan
Mahasiswa Pakpak Universitas Sumatra Utara ) Derinta padang, Pasti Tumangger, Karbina
Yunita Banurea, Ijin Tumangger, Kelleng kabeakan, Fitra Cibro, Edep Boymen Berutu,
Melisa Padang, Hasanah Tumangger, Sarmino Berutu dan teman-teman yang lain yang tidak
dapat saya sebutkan satu-persatu yang telah memberi dukungan dan semangat dalam
penulisan srkipsi ini.
12. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada abang dan kakak satambuk 2010 atas
Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik
dan saran yang membangun, semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua sekian dan terima
kasih.
Medan, oktober 2015
Penulis,
Eva Yeni Banurea
ABSTRAK
Eva Yeni Banurea,2015. Judul Skripsi:Upacara Ritual Menanda Tahun Di Sisada Rube Pada Masyarakat Pakpak di Kecamatan Pergetteng-getteng Sengkut. Terdiri dari 5 bab.
Dalam penelitian ini penulis membahas tenteng UPACARA RITUAL MENANDA TAHUN DI SISADA RUBE PADA MASYARAKAT PAKPAK KAJIAN MAKNA DAN FUNGSI DI KECAMATAN PERGETTENG-GETTENG SENGKUT. Masalah dalam penelitian ini adalah Tahapan Upacara Ritual Menanda Tahun, Makna Upacara Ritual Menanda Tahun, Fungsi Upacara Ritual Menanda Tahun yang ada di Desa Nambunga Buluh Kecamatan Pergetteng-getteng Sengkut.Metode yang dipergunakan dalam menganalisis masalah penelitian ini adalah metode kualitatif dengan teknik penelitian lapangan. Penelitian ini menggunakan teori makna dan fungsi. Adapun upacara ritual menanda tahun di Sisada Rube Pada Masyarakat Pakpak adalah meliputi: Sebagai upacara yang diyakini akan membawa keberkahan akan hasil pertanian masyarakat Sisada Rube. Sehingga upacara ini masih diyakini dan dilaksanakan setiap tahunnya.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...i
KATA PERJOLO...ii
UCAPAN TERIMA KASIH...V ABSTRAK...,………...Viii DAFTAR ISI...iX BAB I PENDAHULUAN...1
1.1 Latar Belakang Masalah...1
1.2 Rumusan Masalah...5
1.3 Tujuan Penelitian...6
1.4 Manfaat Penelitian...7
1.5 Anggapan Dasar...7
1.6 Gambaran Umum Lokasi Penelitian...8
1.6.1 Letak Geografis Kecamatan Pergetteng-getteng Sengkut...8
1.6.2 Keadaan Penduduk...8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...10
2.1 Kepustakaan Yang Relevan...10
2.2 Landasan Teori...10
2.2.1 Pengertian Upacara Ritual...11
2.2.2 Upacara Ritual MenandaTahun...12
2.2.3 Pengertian Makna...16
2.2.4 Pengertian Fungsi...17
2.3 Teori Yang Digunakan...17
2.3.1 Teori Semiotik...18
2.3.2 TeoriFungsi...20
BAB III METODEPENELITIAN...23
3.1 Metode Dasar...24
3.2 Lokasi Penelitian...24
3.3 Instrumen Penelitian...25
3.4 Metode Pengumpulan Data...26
3.5 Metode Analisis Data...27
BAB IV PEMBAHASAN...28
4.1.1 Membunyikan Tabularang...29
4.1.10 Upacara Menanda Tahun dan Kaitannya dengan konservasi Lingkungan...42
4.2 Makna Upacara Ritual Menanda Tahun di Sisada Rube Pada MasyarakatPakpak dan Simbol-simbol Serta Perlengkapan Upacara Ritual Menanda Tahun...46
4.2.1 Makna Upacara Ritual Menanda Tahun di Sisada Rube
Pada Masyarakat Pakpak...46
4.2.2 Makna Simbol-simbol Serta Perlengkapan Upacara Ritual Menanda Tahun . ...49
4.3. Fungsi Upacara Ritual Menanda Tahun di Sisada Rube Pada Masyarakat Pakpak dan Simbol-simbol Serta Perlengkapan Menanda Tahun...56
4.3.2. Fungsi Simbol-simbol Serta Perlengkapan Upacara Ritual
Menanda Tahun...61
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...67
5.1 Kesimpulan...67
5.2 Saran...70
DAFTAR PUSTAKA...72
LAMPIRAN...73
Lampiran I Daftar Pertanyaan...73
Lampiran II Gambar Batu Tetal (patung cicak)/ Batu Perjanjian Gambar Pancungan Bambu Yang Terdiri Dari Tujuh Buah Yang Melambangkan Tujuh Roh Padi...74
Lampiran III Gambar Penulis Dengan Informan (Bapak Uba Manik 70 tahun) Dan Gambar Penulis Dengan (Bapak Tema Manik 47 tahun)...75
Lampiran IV Daftar Informan...77 Lampiran V Surat Ijin Penelitian Dari Fakultas
ABSTRAK
Eva Yeni Banurea,2015. Judul Skripsi:Upacara Ritual Menanda Tahun Di Sisada Rube Pada Masyarakat Pakpak di Kecamatan Pergetteng-getteng Sengkut. Terdiri dari 5 bab.
Dalam penelitian ini penulis membahas tenteng UPACARA RITUAL MENANDA TAHUN DI SISADA RUBE PADA MASYARAKAT PAKPAK KAJIAN MAKNA DAN FUNGSI DI KECAMATAN PERGETTENG-GETTENG SENGKUT. Masalah dalam penelitian ini adalah Tahapan Upacara Ritual Menanda Tahun, Makna Upacara Ritual Menanda Tahun, Fungsi Upacara Ritual Menanda Tahun yang ada di Desa Nambunga Buluh Kecamatan Pergetteng-getteng Sengkut.Metode yang dipergunakan dalam menganalisis masalah penelitian ini adalah metode kualitatif dengan teknik penelitian lapangan. Penelitian ini menggunakan teori makna dan fungsi. Adapun upacara ritual menanda tahun di Sisada Rube Pada Masyarakat Pakpak adalah meliputi: Sebagai upacara yang diyakini akan membawa keberkahan akan hasil pertanian masyarakat Sisada Rube. Sehingga upacara ini masih diyakini dan dilaksanakan setiap tahunnya.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah
Masyarakat Batak terdiri dari beberapa etnik yaitu, Toba, Simalungun, Karo,
Angkola/Mandailing, dan Pakpak Dairi. Namun sekarang ini sebutan Batak hanya
ditunjukkan kepada masyarakat Batak Toba saja. Secara umum, etnik Pakpak
digolongkan sebagai suku bagian dari suku bangsa Batak, seperti halnya Toba,
Simalungun, Karo, dan Mandailing (Pasaribu, 1978; Bangun, 1980; Daeng, 1976;
Coleman, 1983). Pernyataan ini dapat diterima bila dilihat secara umum pula karena
dari segi komunitas, etnis tersebut hidup berdampingan di Sumatera Utara.
Suku Pakpak dapat diklarifikasikan menjadi lima bagian berdasarkan wilayah
komunitasmarga dan dialek bahasa yang dikenal, yakni:
1) Pakpak Simsim yakni orang Pakpak yang menetap diwilayah Simsim,
berdialaek Simsim, memiliki hak ulayat di Simsim, yang terdiri atas
marga: Berutu, Sinamo, Solin, Cibro, Banurea, Boang Manalu, Bancin,
Manik, dan lain-lain. Wilayah Pakpak Simsim dibagi menjadi delapan
kecamatan yaitu: kecamatan Salak, Pagindar, Sitellu Tali Urang Julu,
Setellu Tali Urang Jehe, Pergetteng-getteng Sengkut, Tinada, Siempat
Rube, dan Kerajaan.
2) Pakpak Keppas, yakni orang Pakpak yang menetap diwilayah Keppas,
berdialek Keppas, memiliki hak ulayat di Keppas, yang terdiri atas
Keppas dibagi menjadi empat kecamatan yaitu: Kecamatan Silima
Paunggapungga, Tanah Pinem, Parbuluan, dan Sidikalang.
3) Pakpak Pegagan, yakni orang Pakpak yang menetap di Pegagan,
berdialaek Pegagan, yang terdiri atas marga: Lingga, Mataniari, Maibang,
Manik Sikettang dan lain-lain. Wilayah Pakpak Pegagan dibagi menjadi
tiga kecamatan yaitu: Kecamatan Sumbul, Pegagan Hilir, dan Tiga
Lingga.
4) Pakpak Kelasan yakni orang Pakpak yang menetap diwilayah Kelasen,
berdialek Kelasen, yang terdiri atas marga: Tumangger, Sikettang,
Tinambunan, Anak Ampun, Kesogihen, Maharaja, Meka, Berasa dan
lain-lain. Pakpak Kelasen ini berada di Kabupaten Tapanuli Utara
(Kecamatan Parlilitan dan Pakkat) dan Kabupaten Tapanuli Tengah
(Kecamatan Barus).
5) Pakpak Boang, yakni orang Pakpak yang menetap diwilayah Boang, yang
terdiri atas marga: Sambo, Penarik, Saraan dan lain-lain. Pakpak Boang
ini berada di wilayah Aceh Selatan, khususnya dikecamatan Simpang
Kiri dan Simpang Kanan ( Coleman, 1983; Berutu, 1994).
Bila dilihat dari susunan penduduk, wilayah Pakpak Keppas dan Pegagan sudah
heterogen dari segi etnik maupun budaya. Bahkan dari segi kwantitas mereka menjadi
minoritas dibandingkan dengan suku Batak Toba. Di wilayah Kelasen walaupun masih
tergolong homogen dari segi etnis tetapi pengaruh kebudayaan Batak Toba sangat
menonjol. Berbeda dengan wilayah Pakpak Simsim dan Boang yang masih Homogen
baik dari segi etnis maupun orientasi budaya, mereka masih tetap menggunakan budaya
Masyarakat Pakpak mengenal upacara adat yang digolongkan menjadi dua bagian
besar yaitu :”kerja baik “ dan “ kerja njahat”. Kerja baik mencakup peristiwa suka
cita, seperti upacara perkawinan, upacara memasuki rumah baru, dan upacara menanam
padi ( menanda tahun). Kerja njahat mencakup jenis-jenis upacara yang berhubungan
dengan peristiwa duka cita, seperti upacara kematian dan upacara mengkurak tulan.
Dalikan Si Tellu sangat berperan dalam pelaksanaan upacara ritual
menandatahundi Sisada Rube. Ketiga falsafah Dalikan Si Tellu tersebut yaitu: Sembah
Merkula-kula, Manat Merdengan Sibeltek, dan Elek Merberru. Ketiga falsafah ini tidak
dapat dipisahkan dalam bidang apapun.
Manat Merdengan Sibeltek sangat perlu diingat dalam pelaksanaan upacara apa
saja dalam masyarakat Pakpak. Karena setiap melaksanakan upacara atau pekerjaan
tentu kita meminta bantuan dari saudara kita, jadi sebaiknya kita harus menghargai
Dengan Sibeltek “saudara” kita. Dengan Manatnya Mersibeltek (menghargai saudara
kita) tentu dalam pelaksanaan upacara kita membutuhkan pendapat ataupun bantuan
dari Dengan Sibeltek atau saudara kita demi berjalannya upacara tersebut.
Adapun peranan Dalikan Si Tellu dalam pelaksanaan upacara ritual
menandatahundi Sisada Rube ini yaitu:
1) Untuk menjaga perdamaian dan kesejahteraan masyarakat Sisada Rube dalam
pelaksanaan upacara ritual menanda tahun.
2) Untuk menjalankan proses pelaksanaan upacara ritual menanda tahun ini
yaitu berperannya kula-kula dalam menyaksikan jalannya upacara dan
memang harus diketahui oleh kula-kula, karena peranan kula-kula sangat
3) Ketiga unsur Dalikan Si Tellu menjadi saksi yang paling penting dalam
pelaksanaan upacara ritual menanda tahun tersebut.
4) Dalam pelaksanaan upacara ritual menanda tahun tersebut, Beru juga
berkewajiban membantu sukut “tuan rumah” dan juga sebagai penengah
apabila terjadi keributan dalam pelaksanaan upacara ritual menanda tahun
tersebut. Beru disebut juga dengan huntun “suruhan”.
Menanda tahun adalah sebuah upacara ritual yang diselenggarakan masyarakat
Pakpak di Sisada Rube Kecamatan Pergettenggetteng Sengkut, Kabupaten Pakpak
Bharat, Sumatera Utara. Upacara setahun sekali ini diadakan dalam rangka pembukaan
ladang, karena itu selalu diselenggarakan ketika menjelang musim tanam, dengan
maksud agar tidak menyalahi apa yang dipercayai sebagai ketentuan-ketentuan
penguasa alam gaib bagi kelestarian ekosistem, sehingga usaha-usaha pertanian dan
perladangan memperoleh izin dan “keberkahan” dari mereka.
Bagi masyarakat Pakpak diarea tersebut menjadi tidak mungkin membuka ladang
pertanian tanpa didahului upacara menada tahun, karena penguasa alam gaib yang
menguasai hutan dan perladangan itu tidak akan memberikan keberkahannya yang
berakibat berkurangnya, atau bahkan tiadanya hasil produksi yang diperoleh. Bahkan
masyarakat Pakpak percaya akan timbulnya suatu bencana bila usaha perladangan
dilakukan tanpa melalui upacara. Dalam perladangan orang Pakpak, penguasa alam
gaib juga mempunyai aturan-aturan bagaimana manusia harus memperlakukan
lingkungan alam, bila dilanggar akan menimbulkan berbagai bencana tidak adanya
keberkahan dalam menandatahundi sisada rube pada masyarakat Pakpak di Kecamatan
Pergettenggetteng Sengkut. Selain melibatkan masyarakat dalam suatu komunitas
tertentu, juga tetap bertahan ditengah-tengah perubahan khususnya dibidang pertanian
upacara-upacara ritual yang berkaitan dengan perladangan khususnya di Sumatera
Utara masih jarang dilaksanakan.
Dengan meneliti upacara menanda tahun di Sisada Rube, diharapkan dapat
menambah pengetahuan bukan saja mengenai upacara-upacara tradisional melainkan
juga pengetahuan tentang bagaimana masyarakat menghadapi lingkungan alam
(ekologi) yang dipantulkan dalam upacara ritual tersebut.
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang makna dan
fungsi upacara ritual menanda tahun pada masyarakat Pakpak di Desa Nambunga
Buluh, Kecamatan Pergettenggetteng Sengkut, Kabupaten Pakpak Bharat.
1.2. Rumusan Masalah
Untuk menghindari pembahasan atau pembicaraan yang menyimpang dari
permasalahan, penulis membatasi masalah agar pembahasan terarah dan terperinci.
Perumusan masalah sangat penting bagi pembuatan skripsi ini, karena dengan adanya
perumusan masalah ini maka deskripsi masalah akan terarah sehingga hasilnya dapat
dipahami dan dimengerti oleh pembaca. Masalah merupakan suatu bentuk pertanyaan
yang memerlukan penyelesaian atau pemecahan. Bentuk perumusan berupa kalimat
Adapun masalah yang dibahas adalah:
1) Bagaimana tahapan upacara menanda tahun disisada rube pada masyarakat
Pakpak di Desa Nambunga Buluh, Kecamatan Pergettenggetteng Sengkut?
2) Apa makna upacara ritual di menanda tahun Sisada Rube pada masyarakat
Pakpak?
3) Apa fungsi upacara ritual menanda tahun di Sisada Rube pada masyarakat
Pakpak di Desa Nambunga Buluh, Kecamatan Pergettenggetteng Sengkut?
1.3.Tujuan Penelitian
Suatu pekerjaan yang dilaksanakan agar memperoleh hasil yang baik tentunya
pekerjaan itu harus mempunyai sasaran ataupun tujuan. Berdasarkan perumusan
masalah yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1) Untuk mengetahui tahapan upacara ritual menanda tahun di Sisada Rube
pada masyarakat Pakpak di Desa Nambunga Buluh, Kecamatan
Pergettenggetteng Sengkut.
2) Untuk mengetahui makna upacara ritual menanda tahun di Sisada Rube pada
masyarakat Pakpak di Desa Nambunga Buluh Kecamatan Pergettenggetteng
Sengkut.
3) Untuk mengetahui fungsi upacara ritual menanda tahun di Sisada Rube pada
Masyarkat Pakpak di Desa Nambunga Buluh Kecamatan Pergettenggetteng
1.4.Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi semua pembaca khususnya
terhadap penulis. Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Bagi peneliti sendiri, untuk mengetahui lebih luas tentang upacara ritual
menanda tahun di Sisada Rube pada masyarakat Pakpak di Desa Nambunga
Buluh Kecamatan Pergettenggetteng Sengkut.
2) Kepada masyarakat khususnya perantau muda Pakpak supaya tetap mengingat
dan melestarikan budaya Pakpak dimanapun mereka berada dan terus menerus
menjalankan upacara ritual menanda tahun.
3) Bagi penulis sendiri untuk menambah wawasan tentang upacara ritualmenanda
tahun di Desa Nambunga Buluh Kecamatan Pergettenggetteng Sengkut
khususnya upacara ritual menandatahun.
4) Menambah khasanah pengkajian terhadap budaya yang ada di Indonesia
terutama upaca ra ritual menanda tahun.
1.5.Anggapan Dasar
Dalam melakukan suatu penelitian sangat perlu anggapan dasar. Menurut
Arikunto (1996:65), “Anggapan dasar adalah suatu hal yang diyakini kebenarannya
oleh peneliti yang harus dirumuskan secara jelas”. Maksud kebenaran disini adalah
apabila anggapan dasar tersebut dapat dibuktikan kebenarannya,
Karena itu penulis berasumsi bahwa upacara ritual menanda tahun ini masih ada
khususnya pada masyarakat Pakpak supaya tidak melupakan taradisi yang telah
diwariskan oleh nenek moyang sejak dahulu kala.
1.6.Gambaran Umum Lokasi Penelitian
1.6.1 Letak Geografis Kecamatan Pergettenggetteng Sengkut
Kabupaten Pakpak Bharat terdiri dari delapan Kecamatan, yaitu:Kecamatan
Salak, Pagindar, Sitelu Tali Urang Julu, Sitelu Tali Urang Jehe, Pergetteng-getteng
Sengkut (PGGS), Tinada, Siempat Rube, dan Kerajaan. Gambaran umum dan letak
geografis : 02° 47'08''- 02°15'49'' LT dan 98° 4'12''- 98° 28'01''BT. Kecamatan
Pergetteng-getteng Sengkut terletak disebelah utara Kabupaten Pakpak Bharat, dan
memiliki luas wilayah 66,64 Km.
1.6.2. Keadaan Penduduk
Pada umumnya masyarakat yang tinggal di Desa Nambunga Buluh adalah suku
Pakpak yang bermarga Manik yang telah lama mendiami wilayah tersebut. Desa
Nambunga Buluh rata-rata marga Manik, sedangkan marga yang lain adalah marga
pendatang yang bermukim di Desa Nambunga Buluh.
Penduduk yang berada di Desa Nambunga Buluh rata-rata mata pencahariannya
adalah bertani. Produk pertanian unggulan di desa ini adalah cabe, dan padi. Namun
1.6.3 Budaya Masyarakat
Penduduk desa Nambunga Buluh mayoritas suku Pakpak yang telah lama
mendiami Nambunga Buluh, dan terkenal akan budaya Pakpak.. Masyarakat Pakpak
yang mempunyai ciri khas pada budaya masyarakatnya sendiri, salah satunya dalam
upacara ritual menanda tahun di Sisada Rubepada masyarakat Pakpak. Dimana upacara
ritual menanda tahun adalah merupakan salah satu budaya yang tidak pernah dilupakan
demi keberlangsungan kehidupan dan kebudayaan masyarakat Sisada Rube pada
masyarakat Pakpak.
Bagi masyarakat Nambunga Buluh bila tidak melaksanakan upacara ritual
menanda tahun, mereka merasakan banyaknya permasalahan yang menimpa desa
mereka terutama hasil pertanian yang jauh dari harapan mereka. Sehingga sampai pada
saat ini budaya menanda tahun masih tetap eksis dilaksanakan masyarakat Desa
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kepustakaan yang Relevan
Kajian pustaka dalam setiap proposal skripsi sangat diperlukan dalam menyusun
karya ilmiah. Kajian pustaka adalah paparan atau konsep-konsep yang mendukung
pemecahan masalah dalam penelitian yang semuanya itu bersumber dari pendapat para
ahli, empirisme (pengalaman peneliti), dokumentasi dan nalar peneliti yang
berhubungan dengan masalah yang diteliti.
Kajian pustaka ini menjelaskan tentang kepustakaan yang relevan dan teori yang
digunakan. Dalam kepustakaan yang relevan dijelaskan tentang pengertian upacara
ritual, ritual menanda tahun diSisada Rube pada masyarakat Pakpak, pengertian makna,
dan pengertian fungsi. dalam teori yang digunakan dijelaskan tentang teori makna dan
fungsi.
2.2 Landasan Teori
Secara etimologis, teori berasal dari kata theoria (Yunani) yang artinya kebulatan
alam atau realita. Teori diartikan sebagai kumpulan konsep yang telah teruji
keterandalannya, yaitu melalui kompetensi ilmiah yang dilakukan dalam penelitian.
Pengertian teori menurut Pradopo (2001:35) ialah, “seperangkat proposisi yang
terintegrasi secara sintaksis dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan atau
Untuk menjawab permasalahan yang ada dalam skripsi ini, penulis menggunakan
teori makna oleh Chaer (1987:3) yang mengemukakan makna adalah hubungan atau
lambang yang berupa ujaran dengan hal atau barang atau benda yang dimaksudkan.
Penulis juga menggunakan teori fungsi yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat
(1984:29) yang menyebutkan fungsi ada 3 arti yaitu:
1) Menerangkan adanya hubungan suatu hal dengan tujuan tertentu.
2) Dalam pengertian korelasi adanya hubungan antara satu hal dengan lainnya. 3) Menerangkan adanya hubungan yang terjadi antara satu hal dengan yang
lainnya dalam suatu sistem berinteraksi.
2.2.1 Pengertian Upacara Ritual
Koentjaraningrat (1980) menyatakan bahwa:
“Upacara ritual adalahsuatu upacara keagamaan yang dilaksanakan menurut tata kelakuan yang baku. Kelakuan agama tersebut merupakan perbuatan-perbuatan manusia yang bertujuan untuk menjalin hubungan dengan dunia gaib, upacara ritual tersebut terwujud aktivitas dan tindakan manusia dalam melaksanakan kebaktiannya terhadap Tuhan, dewa-dewa, roh nenek moyang, atau mahluk halus lainnya, upacara ini biasanya berlangsung berulang-ulang, baik setiap hari, tiap musim, ataupun kadang-kadang saja.
Jadi menurut pernyataan diatas, bahwa upacara ritual adalah suatu kegiatan yang
dilakukan manusia yang bertujuan untuk berhubungan dengan dunia gaib, roh nenek
moyang, dan lain sebagainya. Upacara ritual ini dilakukan bisa bergantung pada waktu
yang sudah ditetapkan ataupun tidak ditetapkan. Sebuah upacara ritual dilakukan
dengan cara atau waktu yang berbeda-beda tergantung apa yang diinginkan oleh
masyarakat yang melakukan upacara ritual tersebut.
Selanjutnya Lessa dan Vogt dalam Muhaimin (2001:32) berpendapat bahwa ritual
mencakup semua tindakan simbolik, baik yang bersifat profan maupun bersifat sakral,
penyapaan, pengucapan mantera sampai penyelenggaraan berbagi bentuk upacara yang
hikmat.
Dhavamony (2002:175) menyatakan bahwa upacara ritual dibagi menjadi empat
macam yaitu:
1) Tindakan magik yang dikaitkan dengan penggunaan bahan-bahan yang bekerja karena adanya daya mistis.
2) Tindakan yang bersifat religius.
3) Ritual konstitutif, yang mengungkapkan atau mengubah hubungan sosial dengan cara merujuk pada pengertian-pengertian mistis, dengan cara ini upacara-upacara kehidupan menjadi khas.
4) Ritual fiktif yang meningkatkan produktivitas atau kekuatan, pemurnian dan perlindungan, atau dengan cara lain meningkatkan kesejahteraan materi suatu kelompok.
2.2.2 Upacara Menanda Tahun
Upacara menanda tahun adalah salah satu jenis upacara yang berkaitan dengan
proses perladangan bagi orang Pakpak umumnya khususnya Sisada Rube khususnya.
Upacara ini dilaksanakan seikitar bulan Mei atau Juni setiap tahunnya, menjelang
musim tanam padi diladang tiba. Sejak kapan upacara ini dikenal, semua informan
tidak tahu, yang jelas menurut mereka telah dilaksanakan sejak generasi terdahulu.
Seluruh anggota masyarakat Sisada Rube, turut berpartisipasi dalam upacara ini
dalam pengertian semua hak atau kewajiban yang harus dipenuhi berkaitan dengan
tabu-tabu dan aturan-aturan, baik oleh anak-anak hingga orang dewasa. Setiap individu
berhak mencari tahu atau bertanya, dan setiap keluarga inti berkewajiban menyumbang
dana serta tenaga yang dibutuhkan. Namun demikian, ada individu-individu atau
kelompok tertentu yang perannya lebih besar atau menonjol bila dilihat dari tingkat
keaktifan dan tanggung jawabnya. Mereka terdiri dari: sukut ( pelaksana utama),
gadis), Puang( kelompok pemberi anak gadis), Guru (pemimpin upacara), dan
pengurus tetap.
Sukut (tuan rumah) terdiri dari suatu keluarga inti, harus bermarga Manik (Marga
Tanoh), generasi tertua dan bergilir antar Lebuh(Kampung). Sukut berkewajiban
mempersiapkan peralatan-peralatan upacara dan melaksanakan perintah guru, misalnya
menabur, mematuhi tabu-tabu dan aturan, serta memberikan kata sambutan dan lai-lain.
Guru (dukun), seorang atau dua orang laki-laki dewasa dari pihak marga tanoh
(penduduk asli), memiliki kelebihan khusus sehingga dapat berkomunikasi dengan
penguasa gaib, dapat meramal, dan sebagai pusat informasi tentang segala kewajiban
dan hak yang perlu atau harus dilaksanakan warga dalam kaitannya dengan upacara
perladangan.
Pengetuai (tokoh adat) mencakup semua individu yang dituakan karena dianggap
memiliki pengetahuan yang luas tentang adat istiadat yang berlaku di Sisada Rube.
Mereka juga diharapkan sebagai sumber informasi tentang aturan-aturan adat dan juga
diharapkan dapat memberikan saran-saran dan ide-ide berkaitan dengan pelaksanaan
upacara. Pengetuai (tokoh adat)tidak terbatas dari pihak Marga Tanoh(tuan rumah),
tetapi juga dari marga lain yang ada di Ssisada Rube.
Kepala desa diharapkan sebagai pengayom dan memberikan masukan serta
saran-saran, ia juga diharapkan menjadi mediator antara penduduk dengan para perencana
pembangunan. Upacara akan berlangsung bilamana dihadiri oleh minimal satu orang
Selanjutnya pemuda-pemudi dibutuhkan untuk membantu sukut(tuan rumah)
dalam persiapan peralatan dan pelaksanaan upacara. Misalnya, memasak lauk atau
nasi, mengambil kayu bakar dan lain-lain.
Berru (kelompok penerima anak gadis) berkewajiban menyumbang tenaga dan
materi. Belakangan (sekitar 20 tahun terakhir), mereka juga diberi hak untuk memberi
kata sambutan dan sejak dibentuknya pengurus tetap satu dekade yang lalu, beberapa
orang diantaranya diangkat menjadi panitia tetap.
Sama seperti kelompok berru (pengambil anak gadis), kelompok puang (pemberi
anak gadis) diberi peran yang lebih besar secara belakangan. Pada awalnya mereka
hanya peserta biasa, tapi belakangan ini diberi wewenang untuk memberi kata
sambutan, ikut merunggu (musyawarah) dan sumber nasehat (wejangan).
Sejak tahun 1967 dengan dimasukkanyaunsur agama Islam dan Kristen dalam
pelaksanaan upacara, maka tenaga pengurus mesjid dan gereja wajib hadir untuk
memimpin doa bersama dan menyembelih hewan kurban.
Dalam pelaksanaan upacara Menanda Tahun dibutuhkan perlengkapan atau
persyaratan wajib dan tidak wajib. Wajib berarti harus ada, sedangkan tidak wajib
boleh ada maupun tidak ada. Peralatan wajib mencakup pelleng (makanan khas daerah
Pakpak), ranting pohon rube(tanaman yang menyerupai tanaman rimbang yang
memiliki buah warna hijau sebesar biji rimbang) secukupnya, maro-maro (rumbai)
secukupnya, cabe merah secukupnya, tugal dua buah, pancongan bambu tujuh buah,
jennap (parang khusus) satu buah, page siarang (benih padi pulut merah) secukupnya,
peramaken (tikar pandan) satu buah, ayam kurban berbulu merah satu ekor, Napuren
upacara dilaksanakan secara besar-besaran, misalnya kerbau, alat musik dan
lain-lainnya.
Pelleng (makanan khas daerah Pakpak) dianggap mempunyai kekuatan khusus
karena biasanya digunakan untuk sesajen terhadap kekuatan-kekuatan supranatural.
Sehingga hampir seluruh kegiatan upacara dan aktivitasyang dianggap beresiko besar
selalu disajikan pelleng (makanan khas), juga untuk tujuan mencapai cita-cita atau
harapan.
Ranting Rube(tanaman yang menyerupai tanaman rimbang yang memiliki buah
warna hijau sebesar biji rimbang) diidentikkan dengan keberuntungan. Alasannya
pohon rube dapat dimanfaatkan secara serba guna untuk kebutuhan manusia.
Sedangkan marro-marro (rumbai) diperuntukkan sebagai hiasan altar karena padi
menurut kepercayaan setempat berasal dari penjelmaan manusia.
Sicina Mbara (cabe merah) dimakan sebagai lalapan pada saat makan. Merah dan
pedas dilambangkan sebagai sumber keberanian dan semangat. Ardang (tugal) dibuat
dari kayu-kayu kecil dengan salah satu ujungnya ditajami, yang berfungsi untuk
membuat lubang benih saat upacara. Sedangkan pancongan bambu yang berjumlah
tujuh melambangkan adanya tujuh roh padi yang berdiam dibumi. Ujungnya dibentuk
runcing dan menghadap kesebelah timur karena matahari terbit dari timur dan sebagai
penghormatan kepada dewa matahari.
Jennap (parang khusus) hanya boleh dimiliki oleh sukut(tuan rumah) upacara
serta dirancang secara khusus oleh penempa besi. Kemudian diisi kekuatan gaib oleh
seorang guru (dukun). Untuk itu hanya bisa dimanfaatkan saat upacara MenandaTahun.
Selanjutnya page siarang (benih padi pulut merah) merupakan lambang permulaan,
Selanjutnya tikar pandan dimanfaatkan sebagai tempat duduk sukut (tuan rumah)
dan guru(pemimpin upacara). Putih merupakan lambang kesucian, sehingga penguasa
berkenan memberi berkat melalui hasil panen padi yang melimpah. Manuk
mbara(ayam merah) diperuntukkan sebagai kurban sehingga gerak-gerik ayam saat
disembelih dan unsur-unsur organ tubuhnya dapat memberi petunjuk bagi guru dalam
meramalkan kejadian-kejadian dimasa akan datang.
Kemudian napuren mpenter sada rambar (sekapur sirih) diberikan kepada guru
(dukun), artinya tudung kepala bagi peserta upacara bermakna agar segala hama tidak
dapat melihat atau mengganggu tanaman diladang. Tutup kepala dikonotasikan dengan
tidak melihat saat pelaksanaan upacara tahun 1991 ternyata hanya sebagian kecil dari
peserta yang mengenakannya (13 orang).
2.2.3 Pengertian Makna
Chaer (1987:3) mengemukakan makna adalah hubungan atau lambang yang
berupa ujaran dengan hal atau barang atau benda yang dimaksudkan. Adapun sebuah
budaya yang selalu diwakili kode atau lambang yang secara konvensional disepakati
memiliki makna. makna yang terkandung tersebut selalu merujuk kepada kosmologi
masyarakat pemilik tersebut.
Didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ada beberapa pengertian
tentang makna, baik secara etimologi maupun leksikologi. Didalam makna leksikal
disebut bahwa makna unsur-unsur sastra sebagai lambang benda, peristiwa dan
Makna adalah pengertian dasar yang diberikan atau ada dalam suatu hal. Ada
juga disebut mengenai pengertian makna kontekstual yang berarti hubungan makna
ujaran dan situasi yang dipakai ujaran itu.
2.2.4 Pengertian Fungsi
Didalam kamus besar bahasa Indonesia dapat diketahui bahwa ada beberapa
pengertian tentang fungsi, baik secara etimologi maupun leksikologi.
Fungsi merupakan sesuatu yang dapat bermanfaat dan berguna bagi kehidupan
suatu masyarakat dimana keberadaan sesuatu tersebut mempunyai arti penting dalam
kehidupan sosial (Koentjaraningrat 1984:29)
Koentjaraningrat juga menyebut bahwa konsep fungsi mempunyai 3 arti penting
dalam penggunaannya, yaitu:
1) Menerangkan adanya hubungan suatu hal dengan tujuan tertentu.
2) Dalam pengertian korelasi adanya hubungan antara satu hal dengan lainnya. 3) Menerangkan adanya hubungan yang terjadi antara satu hal dengan yang
lainnya dalam suatu interaksi.
2.3.Teori yang Digunakan
Berdasarkan penelitian ini, secara umum teori yang digunakan untuk
mendeskripsikan semiotik dan fungsi simbolis dalam upacara ritual menandatahun di
Sisada Rube pada masyarakat Pakpak di Desa Nambunga Buluh, Kecamatan
Pergetteng-getteng Sengkut, Kabupaten Pakpak Bharat menggunakan dua teori, yaitu teori makna dan
2.3.1 Teori Semiotik
Semiotik (semiotika) adalah ilmu tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena
sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik itu
mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konversi-konversi yang memungkinkan
tanda-tanda tersebut mempunyai aturan dalam lapangan kritik sastra (Preminger dalam
Pradopo 1995: 93).
Preminger 1974:980 (dalam Pradopo 1995) mengatakan, penelitian semiotik
meliputi analisis serta sebagai sebuah bahasa yang tergantung pada (sifat-sifat) yang
menyebabkan bermacam-macam cara (modus) wacana mempunyai makna.
Lengkapnya, Preminger 1974:980 mengatakan bahwa semiotik adalah teori
tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial masyarakat dan kebudayaan
itu merupakan tanda-tanda. Artinya, semiotik itu juga mempelajari sistem-sistem,
aturan-aturan, konversi-konversi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai
makna. Dalam lapangan kritik sastra meliputi tanda-tanda sastra bergantung pada
(sifat-sifat) yang menyebabkan bermacam-macam cara (modus) sehingga suatu wacana
mempunyai makna. Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa semiotik
adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda-tanda, sistem-sistem, aturan-aturan dan
konversi-konversi yang memungkinkan tanda-tanda mempunyai makna didalam
peristiwa sastra.
Menurut Charles Sander Peirce (1839:980) semiotik itu juga dapat diartikan
sebagai ilmu “Tanda: Penanda dan Petanda. Tanda mempunyai dua aspek yaitu petanda
(signifier) dan petanda (signifzed). Penanda adalah bentuk formalnya yang menandai
penanda itu yaitu artinya. Contohnya kata “ibu” merupakan tanda berupa satuan bunyi
yang menandai arti: orang yang melahirkan kita.
Tanda itu tidak hanya satu macam saja, tetapi ada beberapa berdasarkan
hubungan antara penanda dan petandanya. Jenis-jenis tanda yang utama ialah ikon,
indeks, dan simbol.
Ikon adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan yang bersifat alamih
antara penanda dengan petandanya. Hubungan itu adalah hubungan persamaan,
misalnya gambar kuda sebagai penanda yang menandai kuda (petanda) sebagai artinya.
Potret menandai orang yang dipotret, gambar pohon menandai pohon.
Indeks adalah tanda yang menunjukkan hubungan klausa (sebab-akibat) antara
penanda dan petandanya, misalnya asap menandai api, alat penanda angin
menunjukkan arah angin, dan sebagainya.
Simbol adalah tanda yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan alamiah
antara penanda dengan petandanya, hubungannya bersifat arbriter (semau-semaunya).
Arti tanda itu ditentukan oleh konvensi . “Ibu”adalah simbol, artinya ditentukan oleh
konvensi masyarakat bahasa (Indonesia). Ada bermacam-macam untuk satu arti itu
menunjukkan “kesemena-menaan) tersebut. Dalam bahasa, tanda yang paling banyak
digunakan adalah simbol.
Perlu diperhatikan, dalam penlitian sastra dengan pendekatan semiotik. Tanda
yang berupa indekslah yang paling banyak dicari (diburu). Yaitu berupa tanda-tanda
yang menunjukkan hubungan sebab-akibat (dalam pengertian luasnya). Misalnya dalam
penokohan, seorang tokoh tertentu, misalnya dokter (tano dalam belenggu) dicari
mempergunakan istilah-istilah kedokteran, mobil bertanda simbol dokter, dan
sebagainya.
2.3.2.Teori Fungsi
Fungsi merupakan sesuatu yang dapat bermanfaat dan berguna bagi kehidupan
suatu masyarakat dimana keberadaan sesuatu tersebut mempunyai arti penting dalam
kehidupan masyarakat tersebut. Demikian halnya dengan simbol dalam tradisi upacara
ritual menanda tahun di Sisada Rube pada masyarakat Pakpak adalah fenomena sosial
masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda (simbol). Maka untuk
memahami makna dan fungsi simbolis dalam masyarakat Pakpak digunakan teori yang
telah dinyatakan. Upacara ritual menanda tahun merupakan bagian dari foklor etnis
Pakpak yang memiliki makna dan fungsi bagi etnis Pakpak itu sendiri, yang
menunjukkan bahwa masyarakat Pakpak memiliki budaya yang diturunkan secara
turun-temurun yang dapat menunjukkan identitas dari dari kebudayaan daerah Pakpak
itu sendiri.
kata foklor adalah pengindonesiaan dari kata Inggris “foklore”. Kata foklore
adalah kata majemuk, yang berasal dari dua kata dasar yaitu folk dan lore.Folk adalah
sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan,
sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. ciri-ciri pengenal itu
antara lain: warna kulit yang sama, dan agama yang sama. Namun yang lebih penting
adalah bahwa mereka telah memiliki suatu tradisi, yakni kebudayaan yang telah
diwariskan secara turun-temurun yang mereka akui milik bersama yang merupakan
Lore adalah tradisi, yaitu kebudayaan yang diwariskan secara turun-temurun
secara lisan atau melalui contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu
pengingat (mnemonic device).
Dengan demikian foklor dapat disimpulkan sebagai kebudayaan suatu kolektif,
yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, diantara kolektif jenis apa saja, jenis
tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang
disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device)
Menurut Ian Harold Brunvand ahli foklor dari AS (1968:2-3), foklor digolongkan
kedalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya yaitu:
1) Foklor lisan: yaitu foklor yang bentuknya murni lisan. Yang termasuk foklor lisan yaitu (a) bahasa rakyat (folk spech)seperti logat, julukan, pangkat tradisional, dan titel kebangsawanan; (b) ungkapan tradisional, seperti pribahasa, pepatah dan pemeo; (c) pertanyaan tradisional (teka-teki); (d) puisi rakyat, seperti pantun, gurindam, dan syair; (e) prosa rakyat, seperti mite, legenda, dan dongeng; dan (f) nyanyian rakyat.
2) Foklor sebagian lisan: foklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan. Kepercayaan rakyat, misalnya yang oleh orang “modern” seringkali disebut tahkyul, terdiri dari pernyataaan yang bersifat lisan ditambah dengan gerak isyarat yang dianggap mempunyai makna gaib yang dapat melindungi diri juga dapat memberi rejeki. Bentuk foklor yang yang tergolong dalam kelompok ini, selain kepercayaan rakyat, ada juga permainan rakyak, tari rakyat, adat-istiadat, upacara, pesta rakyat, dan lain-lain.
3) Foklor bukan lisan: foklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Kelompok ini dapat dibagi menjadi dua subkelompok, yakni yang material dan yang bukan material. Bentuk material: arsitektur rakyat (bentuk rumah asli daerah, bentuk lumbung padi ), kerajinan tangan rakyat: pakaian adat dan perhiasan, masakan dan minuman rakyat, dan obat-obatan tradisional. Sedangkan yang termasuk bukan material antara lain: gerak isyarat tradisional (gesture), bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat (kentongan tanda bahaya pada masyarakat jawa), dan musik rakyat.
Upacara ritual menanda tahun pada masyarakat Pakpak adalah merupakan bagian
dari foklor etnis pakpak bagian dari foklor sebagaian lisan. Karena didalam
pelaksanaan ritual menanda tahun ini masyarakat masih meyakini akan kepercayaan
meyakini gerrek-gereken “syarat-syarak”yang ada didalam pelaksanaan upacara ritual
menanda tahuntersebut.
Menurut Bascom (dalam Danandjaja, 1984: 19) ada empat fungsi dari foklor:
1) Sebagai sistem proyeksi, yakni sebagai alat pencerminan angan-angan suatu kolektif.
2) Sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga kebudayaan. 3) Sebagai alat pendidikan anak.
BAB III
METODE PENELITIAN
Kata metode berasal dari metodologi. Kata metodologi terbentuk dari kata metode
dan logos. Metode artinya cara yang tepat untuk melakukan sesuatu; logos artinya ilmu
pengetahuan. Sudaryanto (1982:2), “Metode adalah cara melakukan sesuatu dengan
menggunakan pikiran secara seksama untuk mencapai suatu tujuan”.
Penelitian adalah suatu kegiatan untuk mencari, mencatat, merumuskan, dan
menganalisis sampai dengan menyusun laporan. Jadi, metode penelitian adalah ilmu
mengenai jalan yang dilewati untuk mencapai suatu pemahaman.
Menurut Maryaeni (2005:1), penelitian (research) merupakan usahamemahami fakta
secara rasional empiris yang ditempuh melalui prosedur kegiatan tertentu sesuai dengan
cara yang ditentukan peneliti.
Dalam konteks penelitian, istilah fakta memiliki pengertian tidak sama dengan
kenyataan, tetapi lebih mengacu pada sesuatu dari pada kenyataan exact, dan sesuatu
tersebut terbentuk dari kesadaran seseorang seiring dengan pengalaman dan
pemahaman seseorang terhadap yang dipikirkannya. Sesuatu yang terbentuk dalam
pikiran seseorang tersebut belum tentu secara konkret, dapat dilihat dan ditemukan
3.1 Metode Dasar
Metode dasar yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode atau
pendekatan kualitatif. Maryeni (2005:1), menjelaskan metode penelitian kualitatif
merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
tertulis atau lisan yang sifatnya individu, keadaan atau gejala dari kelompok yang
diamati. Metode ini dilakukan agar dapat mengumpulkan dan menyajikan data secara
faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi daerahnya.
Dipilihnya pendekatan kualitatif dalam penelitian ini didasarkan pada dua alasan.
Pertama, permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini mengenai pelaksanaan upacara
ritual menanda tahun di Sisada Rube ini membutuhkan sejumlah data lapangan yang
sifatnya aktual dan kontekstual. Kedua, pemilihan pendekatan ini didasarkan pada
keterkaitan masalah yang dikaji dengan sejumlah data. Dari kedua alasan tersebut,
penulis menyimpulkan bahwa dalam penelitian ini cocok dikaji melalui pendekatan
kualitatif.
3.2 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian berada di Desa Nambunga Buluh, Kecamatan
Pergetteng-getteng Sengkut (PGGS), Kabupaten Pakpak Bharat, Propinsi Sumatera Utara. Alasan
penulis untuk memilih lokasi penelitian ini adalah karena penduduknya asli etnis Pakpak
3.3.Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian merupakan sebuah alat yang digunakan untuk
mengumpulkan data atau informasi yang bermanfaat untuk menjawab permasalahan
penelitian. Alat bantu yang digunakan yaitu:
1) Alat rekam (tape recorder)
Penulis gunakan untuk mengumpulkan data, karena tidak semua data dapat
ditulis berupa catatatn-catatan lapangan mengingat waktu penelitian yang
memakan waktu yang tidak sedikit.
2) Pulpen
Alat tulis yang digunakan untuk menulis atau mencatat data-data yang
diperoleh dari lapangan.
3) Buku tulis
Catatan-catatan mengenai hal-hal yang dirasa sangat penting dalam proses
observasi sehingga dapat mempermudah penulis untuk mengingat dan
menemukan kembali data yang telah diperoleh yang selanjutnya akan
dituangkan dalam penulisan skripsi.
4) Daftar pertanyaan (kuisioner)
Merupakan tehnik pengumpulan data yang dilakukan dengan memberikan
pertanyaan-pertanyaan kepada informan untuk memudahkan memperoleh
3.4 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data ialah sebuah cara penelitian dalam pengkajian data
baik dari tinjauan pustaka maupun penelitian lapangannya.
Adapun metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Metode Observasi
Metode ini dilakukan untuk mengamati secara langsung daerah tempat
penelitian untuk mendapatkan informasi yang mampu memberikan informasi
data yang dibutuhkan, teknik yang dipergunakan penulis adalah teknik catat.
b.Metode Wawancara
Menurut Bungin (2001:133), metode wawancara adalah proses memperoleh
keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap
muka antara pewawancara dengan responden atau orang yang diwawancarai.
Metode ini dilakukan langsung mewawancarai informan guna memperoleh
informasi yang lebih lengkap tentang upacara ritual menanda tahun di Sisada
Rube pada masyarakat Pakpak.
Teknik yang digunakan yaitu teknik wawancara dan teknik rekam.
c.Metode Kepustakaan
Dalam penelitian ini juga akan diteliti data sekunder. Dengan demikian, data
yang akan dijadikan dalam penelitian ini menggunakan metode kepustakaan.
Metode ini juga merupakan salah satu sumber data penelitian kualitatif yang
penulisjuga mencari buku-buku pendukung yang berkaitan dengan msalah
dalam penulisan proposal skripsi ini dengan menggunakan teknik catat.
3.5. Metode Analisis Data
Metode analisis data adalah metode atau cara dalam mengolah data mentah
sehingga menjadi data akurat dan ilmiah. Pada dasarnya dalam menganalisis data
diperlukan imajinasi dan kreativitas sehingga diuji kemampuan peneliti dalam menalar
sesuatu.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif.
Menganalisis data kualitatif, boleh dikatakan sebagai suatu kegiatan yang berlangsung
secara terus menerus, bukan hanya suatu saat setelah penelitian usai. Pekerjaan ini
merupakan proses yang berkelanjutan, bukan kegiatan sesaat.
Dalam metode analisis data ini, penulis menggunakan langkah-langkah
sebagai berikut:
1) Menulis data yang diperoleh dari lapangan;
2) Data yang diperoleh diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia;
3)Setelah data diterjemahkan kemudian diklasifikasikan sesuai dengan objek penelitia;
4)Setelah diklasifikasikan, data-data dianalisis sesuai dengan kajian yang ditetapkan;
dan
5)Membuat kesimpulan.
PEMBAHASAN
4.1.Tahapan Upacara Ritul Menanda Tahun di Sisada Rube
Pada Masyarakat Pakpak.
Upacara menanda tahunadalah salah satu satu jenis upacara yang berkaitan
dengan proses perladangan bagi orang Pakpak umumnya dan SisadaRube khususnya.
Upacara ini dilakukan sekitar bulan Mei atau Juni, setiap tahunnya, menjelang musim
tanam padi.
Pada mulanya pelaksanaan menanda tahundi Sisada Rube dilakukan melaui tiga
tahap . tahap pertama, dilakukan secara bersamaan dibukit yang disebut Cimpedak,
sekitar 1,5 kilo meter dari kantor kepala desa Kecupal II. Kedua, dilakukan secara
terpisah, penduduk desa Kecupak I dan II tetap dibukit Cimpedak, sementara penduduk
Simerpara, melakukan sendiri secara berpindah-pindah diladang yang baru pertama kali
dibuka, yakni diladang generasi tertua dari mereka. Alasan pemisahan saat itu selain
karena jauhnya lokasi pertama dari Lebuh Simerpara (Desa Simerpara), juga karena
dianggap penduduknya sudah mampu melaksanakan secara tersendiri. Tetapi
kemudian, sekitar tiga generasi yang lalu, penyatuan upacara tersebut “harus”
dilakukan karena semakin berkembangnya marga Manik dan terjadinya konflik. Pihak
marga Bancin sebagai Berru (pengambil anak gadis)dan Berutu sebagai puang(pemberi
anak gadis)merasa berkewajiban untuk mengakurkan keduanya. Setelah tercapai
kesepakatan maka ditetapkan waktu yang tepat untuk menyatukan kembali pelaksanaan
upacara dan lokasi yang paling ideal adalah Delleng Simenoto karena persis ada
perdamaian seorang bermarga Bancin memahat sebuah patung kadal yang hingga
sekarang tetap berada dilokasi.
Waktu pelaksanaan upacara ritual menanda tahun menurut informan selalu
sekitar Mei atau Juni. Pertimbangannya karena pada bulan-bulan tersebutlah musim
hujan tiba sehingga cocok dengan musim tanam. Tentang hari pelaksanaannya
ditentukan berdasarkan kalender tradisional (meniti ari). Dalam kalender lokal dikenal
hari-hari baik dan tidak baik. Jadi pilihan dijatuhkan pada hari yang baik. Seperti pada
upacara menanda tahun pada tahun 1991, ditetapkan tanggal 1 juni 1991 tepatnya hari
sabtu, yang dalam penanggalan menurut warga setempat disebut beraspati naik (hari
yang baik untuk menanam).
4.1.1Membunyikan Tabularang
Dalam melaksanakan upacara menanda tahun selalu diawali dengan pertaki
(tokoh adat) untuk menyebarluaskan pengumuman dengan membunyikan tabularang.
Pengumuman dilaksanakan dengan menyembunyikan tabularang(lonceng yang terbuat
dari kaleng-kaleng) sambil mengumumkan kepada masyarakat secara lisan untuk
berkumpul ditempat yang telah ditentukan dalam rangka melaksanakan rapat persiapan
pelaksanaan menanda tahun.
Setelah dapat hari dan tanggal yang telah ditentukan dalam pengumuman maka
masyarakat datang berkumpul untuk melaksanakan rapat, dimana dalam rapat tersebut
dihadiri oleh utusan-utusan Rube (kampung) dan tidak ketinggalan juga kaum
perempuan aktif dalam menghadiri rapat tersebut, dan selalu turut diundang
4.1.2. Runggu
Rapat dalam bahasa Pakpak disebut runggu, dalam melaksanakan rapat dipinpin
oleh pertaki (tokoh adat). Didalam melaksanakan rapat pertama sekali memberikan kata
sambutan ialah pertaki (tokoh adat).
Hal-hal yang dibahasa dalam rapat menanda tahun tersebut adalah:
1) Pemilihan sukut menanda tahun (tuan rumah);
2) Pembentukan panitia acara menanda tahun;
3) Penentuan waktu atau hari pelaksanaan menanda tahun;
4) Pendanaan menanda tahun;
5) Penunjukan sibaso/guru (dukun) pemimpin upacara ritual menandatahun;
6) Pembagian bata-batas lahan perladangan dan ;
7) Penentuan waktu gotong royong untuk persiapan lahan penanaman padi serta
keputusan-keputusan hal lainnya untuk kelancaran dalam acara ritual menanda
tahun.
Hasil keputusan rapat menanda tahun tersebut diumumkan kepada masyarakat
dengan membunyikan kembali tabularang (lonceng) dengan berkeliling di Sisada Rube
(kampung). Adapun hal-hal yang diumumkan kepada masyarakat di Sisada Rube
(kampung) adalah pengumuman biaya bersama dalam pelaksanaan menanda tahun .
Biaya pelaksanaan menanda tahun sejak jaman dahulu adalah hasil dari swadaya
menanda tahun. Adapun pungutan yang dikenakan pada masyarakat dengan takaran
beras sebanyak tiga muk dalam setiap rumah tangga. Pada saat memberikan sumbangan
beras tersebut masyarakata wajib mengucapkan kata-kata atau doa-doa seperti berikut
ini:
“En mo tuhu beras menanda tahun ndai, asa lambang mo tuhu dukut, mberras mo tuhu
page ndaoh karina pengago”
“Inilah beras untuk menanda tahun tadi , jauhlah semua hama-hama dan bertambahlah
hasil panen kita nantinya”.
Setelah beras terkumpul semuanya maka beras tersebut diserahkan kepada sukut
(tuan rumah) menanda tahun, dan biasanya jumlah beras yang terkumpul sebanyak 27
kaleng (270 liter). Beras yang terkumpul inilah nantinya yang akan digunakan untuk
keperluan makan bersama atau pun disebut sebagai nakan tendi.
4.1.3. Ritual Pemberangkatan Mersiurup-urupen
Mersiurup-urupen (gotong royong) adalah merupaka salah satu tradisi yang
selalu dilakukan masyarakat Sisada Rubesampai pada saat ini untuk saling
meringankan pekerjaan secara bersama-sama. Sebelum berangkat keladang masyarakat
berkumpul ditempat yang telah ditentukan untuk memanjatkan doa pemberangkatan
rumabi (membuka lahan ) yang dilakukan warga dengan bergotong royong.
Ritual pemberangkatan gotong royong dilaksanakan oleh sibaso atau pemimpin
ritual dengan tujuan supaya dalam melaksanakan gotong royong dan pembagian
batas-batas lahan masyarakat aman, dan tidak mendapatkan gangguan fisik atau gangguan
“O ale pengulu balang balangse en mo kuberreken pelleng sicina mbara merdenganken
daroh matah, asa aremben laus dukak en lako tumabah asa ulang mengugahi i
tumabah ndaoh hali ndaoh habat, murah rejeki, tambah mo perejekinna ibas ia
mengulaken ulanna i i juma nai i sidari baremben nai”
“Wahai penguasa alam gaib ini kami persembahkan pelleng sicina mbara dan darah
ayam yang mentah, dimana besok anak kami ini berangkat kehutan untuk mengerjakan
pekerjaannya, jauh-jauhlah semua mara bahaya, dan murahlah rejekinya sewaktu dia
mengerjakan pekerjaannya itu diladang mulai hari esok sampai selama-lamanya”.
Setelah acara ritua pembukaanlahan selesai, maka warga/masyarakat makan
pelleng (makanan khas) bersama yang telah disediakan sukut (tuan rumah) menanda
tahun yang dikerjakan secara bergotong royong.
4.1.4. Menoto
Menoto(berdoa) adalah doa-doa yang dipanjatkan sebagai bentuk penghormatan
kepada leluhur agar terhindar dari segala bahaya dan hasil tani nantinya mendapatkan
hasil yang memuaskan.
Adapun doa dalam menoto tersebut adalah sebagai berikut:
“Aku sidari en nai mo katengku kumulai menoto, kerna ibas sidari en ma ngo ari
mende ibas perberkatta lako perbagian tanohta en”
“Mulai hari inilah akan kumulai menoto, karena hari inilah hari yang baik untuk kita
“En simbernaik ku kabus iterruh nai laus mibabo asa menangkih mo karina perejekin
nami mulai sidari en nai soh mi ari kaduian”
“Inilah simbernaik (pohon hutan) saya bersihkan dari bawah keatas supaya naiklah
semua rejeki kami mulai hari ini sampai selama-lamanya).
“En waren kutanemken penggancih pengago, asa tanem karina pengago isenda nai
ulang lot ne mengidah kami”
“Inilah tali kutanam sebagai pengganti hama, biar tertanamlah semua hama mulai dari
sekarang dan tidak ada yang dapa melihat kami”.
“Enggo kutultuli ndai golokku lako berkat misen, lako mengrabiken perjuman en
mahan kenggeluhen. Asa ciboni mo karina segala pengago, ulang nenge roh pengago
mendahiken kami sisada dungguken en mulai sidari en nai”
“sudah kutempa tadi parangku sebelum berangkat ketempat ini, untuk membuka ladang
ini sebagai sumber kehidupan. Kiranya semua hama akan sembunyi dan tidak akan
mengganggu dan tidak mendatangi kami satu keturunan mulai hari ini”.
4.1.5. Tumabah
Tumabah adalah menebang pohon-pohon untuk membuka perladangan. Biasanya
tumabah dilakukan dihutan, dengan tujuan dari tumabah ini adalah untuk
memepermudah penanaman padi dan juga sebagi proses untuk pembersihan lahan agar
nantinya tanaman padi yang telah ditanam akan tumbuh dan mendapatkan sinar
matahari. Dan didalam tumabah ini hal-hal yang dilakukan juga adalah
perladangan agar tidak menghalangi pertumbuhan tanaman. Setelah itu diadakan juga
rumabi (pebersihan rerumputan) supaya tidak menghalangi penanaman dan
pertumbuhan padi yang yang ditanam nantinya.
4.1.6. Menuluhi/ Menutungi
Setelah tanaman penggangu ditebang, rumput dikumpulkan dan lahan dibersihkan
dengan membakar rumput yang telah dikumpulkan.
Sebelum menutungi (membakar) terlebih dahulu penutungi (orang yang
membakar) memakan napuren penter (sirih) sebagai penghormatan kepada penguasa
alam gaib dan juga memanjatkan doa-doa terhadap penguasa alam gaib supaya tidak
ada halangan untuk penanaman dan hasil panen akan melimpah ruah.
Adapun doa yang diucapkan penutungi (orang yang membakar rumput) adalah
sebagai berikut:
“En mo pung aku naing menutungi. Bage penutungi rambah en mo tuhu karina sinasa
pengago mulai sidaren nai sakat mikaduan, asa messeng mo tuhu karinana pengago i.
Makin tambahna mo rejeki nami karinana sisada rube ”
“Kakek/nenek saya ingin membakar. Seperti pembakaran rumput inilah semuanya
hama mulai dari sekarang sampai selamanya, biar terbakarlah semua hama tersebut,
makin bertambahlah rejeki kami mulai sekarang sampai selama-lamanya satu kampung
ini”.
Menghabam adalah merupakan penghormatan kepada penguasa alam gaib dengan
menanam tumbuhan tertentu yang dianggap memiliki makna yang tersirat didalam
kehidupan masyarakat.setiap orang Pakpak mengadakan upacara adat baik upacara
sukacita maupun dukacita tanaman ini harus ada.
Adapun jenis tanaman tersebut antara lain:
1) Bengkuang;
2) Sampilit;
3) Turbangen
4) Silinjuhang;
5) Tebbu;
6) Galuh sintabar
Tanaman ini ditanam ditengah-tengah perladangan disekitar penebangan pohon,
dengan tujuan tanaman padi terlindung dari segala hama. Adapun doa yang dipanjatkan
padasaat menghabam (penanaman tumbuhan) diatas adalah sebagai berikut:
“En mo tuhu bengkuang kusuan. En bengkuang en asa ulang lot pengago-pengago
baho sinasa permaran’
“Inilah kutanam bengkuang, ini kutanam supaya tidak ada hama dan turunnya hujan es
dan tidak ada mara bahaya”.
“En mo tuhu kusuan sampilit, asa mpilit mo tuhu karina sinasa jadi, pilit karina simada
toko i juma en nai”
“Inilah kutanam tumbuhan sampilit, biar pergilah semua yang tidak baik dari ladang
“En mo tuhu kusuan turbangen asa terbang milangit mo tuhu karina sinasa jadi dekket
pengago karina ijuma en nai”
“Inilah kutanam turbangen(bangun-bangun) supaya terbang kelangitlah segala hama
dan semuanya yang tidak baik dari ladang ini”.
“En mo tuhu kusuan silinjuhang, asa bage silinjuhang en mo perberitaan ijuma en nai”
“Inilah kutanam tumbuhan silinjuhang, supaya seperti silinjuhang inilah berita dari
ladang ini”.
“En mo tuhu kusuan tebbu, asa bage pertenggi tebbu en mo kenggeluhen dekket
perasan, tenggimo perejekin soh mi ari podi”
“Inilah kutanam tebu, seperti tebu inilah kehidupan dan pemikiran, dan manislah serlalu
rejeki sampai akhir jaman”.
“En mo tuhu kusuan galuh sitabar, asa bage galuh sitabar en mo mentabar karina
marang kade silot ibabo tanoh en”
“Inilah kutanam pisang sitabar, seperti pisang sitabar inilah semuanya, yang bisa
mengobati segala penyakit yang ada dibumi ini”.
Pada pagi harinya semua warga masyarakat Sisada Rube berangkat kegunung
kelokasi tempat menanda tahun, dimana lokasi yang telah ditetapkan di Delleng
Simenoto. Tempat ini berada di kaki gunung, dimana ditempat ini sudah dibuat tanda
menanda tahun.
Tanda tersebut yaitu sebuah patung cicak yang terbuat dari ukiran batu.
masyarakat memegang hak ulayat Sisada Rube adalah marga Manik. Sehingga sukut
(tuan rumah)menanda tahun harus dari marga Manik. Adapun marga yang lain yang
tinggal menetap di Sisada Rube adalah marga lain yang memperistri putri marga Manik
dan mereka disebut berru dan marga lain pengambilan istri oleh marga Manik dan
mereka disebut puang.
Antusias masyarakat dalam pelaksanaan menanda tahunsangat besar. Kelompok
anggota masyarakat datang berbondong-bondong menghadiri acara tersebut diantaranya
sukut “pelaksana utama”, pegetuai marga Manik “tokoh masyarakat”, kelompok desa,
kelompok berru“pengambil gadis”, kelompok puang “pemberi gadis”, simatah daging
“pemuda-pemudi”, sibaso/guru “pemimpin ritual”, pengurus agama.
Semua hal-hal atau peralatan yang telah disiapkan seperti: pelleng “makanan khas
Pakpak”, ranting pohon rube, ardang “tugal”, pancungan bambu, jennap“parang
khusus”, benih padi, peramaken “tikar pandan”, ayam kurban satu ekor, napuren penter
“sekapur sirih”, dan tudung kepala diletakkan ata disusun disekitar batu cicak.
Batu cicak yang sudah berusia puluhan tahun bahkan ratusan tahun dan juga
dibuat aula sebagai tempat masyarakat untuk mengikuti acara menandatahun. Aula
tersebut juga adalah sebagai tempat ibu-ibu membungkusi pelleng “makanan khas suku
Pakpak”. Makanan itu disediakan untuk seluruh masyarakat yang hadir dalam upacara
dimasak dengan air santan dan diberi kunyit dan bumbu-bumbu untuk memberikan
warna yang khas serta diberikan cabe merah. Daun pembungkus adalah yang diambil
dari tumbuhan hutan dalam bahasa Pakpak disebut langge yang menambah rasa wangi
yang khas.
4.1.9. Ritual Menanda Tahun
Setelah perlengkapan-perlengkapan yang diperlukan tersedia dan kesepakatan
mengenai haripun telah disepakati, maka upacara menandatahun pun segera
dilaksanakan.
Ada permulaan acara diadakan serah terima olehsukut“tuan rumah”menanda
tahun pada tahun lalu kepadasukut“tuan rumah”menanda tahun tahun ini. Selaku sukut
“tuan rumah” berperan penting dalam pelaksanaan ritual menanda tahun. Sebagai sukut
“tuan rumah”menandatahun mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dituruti
selama satu tahun. Kewajiban-kewajiban atau tabu-tabu yang harus dijalankan dalam
satu tahun tersebut adalah tidak bisa memotong rambut selama satu tahun. Kemudian
kewajiban yang harus ditaati selama proses berjalannya upacara ritual menanda tahun
tidak bisa mencabut suatu tanaman, dan tidak bekerja keladang.
Setelah selesai acara penyerahan sukut“tuan rumah”menanda tahun tahun lalu
kepada sukut“tuan rumah”menanda tahun tahun ini, maka sukut“tuan rumah”menanda
tahun untuk tahun ini memberikan kata sambutan atau ucapan terima kasih kepada
sukut “tuan rumah”menanda tahun tahun lalu karena telah memberikan kepercayaan
Acara selanjutnya dipegang oleh sibaso/guru “dukun” untuk pemotongan ayam
kurban. Namun, sebelum melakukan pemotongan ayam kurban, sibaso/guru “dukun”
terlebih dahulu memanjatka doa. Adapun doa yang dipanjatkan adalah sebagai berikut
ini:
“En mo tuhu manuk kuseat, barang ise pe nahan melanggar perbuaten nasa bana mo
ko menggagat. Ibagasen sidaren kuberre kami mo ko mangan, mangan mo ko. Kami
isen sisada rube si enem kuta imo nalako merbulaban ibagasen katika en. Marang kade
pe nahan simasa ikatika en bagahken mo. Janah barang ise pe nahan melanggar
pati-patin si kuulaken kami en asa bana mo ko menggagat. Jadi ibagasen sidaren kami lako
mengulaken ulan nami imo ulan pertahunen. Asa tuhu mo begeken empung pengisi
ladang en, merembahken simerandal, merembahken sari matua, asa beak gabe kami
imo sisada rube sienem kuta ibagasen sidaren nai, janahpe mula siso sellohna i ulaken
kami marang pe ise simelanggar pati-patin en, syarat-syaraten en bana mo ko
sumempa, bana moko menggagat asa anggiat kami ibagasen sisada rube sienem kuta
gabe merembahken kini beak, mangan moko.”
“Inilah ayam kupotong, barang siapa nantinya melanggar perjanjian ini, kepada dialah
karma itu. Pada hari ini kami akan memberikan engkau makan, makanlah engkau.
Kami disini Sisada Rube Sienem Kuta untuk melaksanakan perjanjian. Apapun
nantinya yang akan terjadi berilah petunjukmu, dan barang siapa yang melanggar
peraturan-peraturan yang kami kerjakan ini dialah yang akan mendapatkan karmanya.
Jadi, pada hari ini kami akan mengerjakan pekerjaan kami yaitu pekerjaan/doa tahunan.
Kami mohon dengarkanlah penguasa pengisi alam gaib, membawa kebaikan, membawa
panjang umur, murah rejeki kami yang ada di Sisada Rube Sienem Kuta mulai pada