• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sinergisitas ketentuan Anti Dumping Terh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Sinergisitas ketentuan Anti Dumping Terh"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

SINERGISITAS KETENTUAN ANTI DUMPING DENGAN HUKUM NASIONAL INDONESIA

A. Pendahuluan

Hubungan perdagangan antar negara yang dikenaldenganperdagangan

internasional mengalami perkembangan yang pesat dari waktu ke waktu. Dinamika perdagangan internasional diikuti dengan berbagai permasalahan yang kompleks sebagai konsekuensi dari suatu hubungan perdagangan yang wajar terjadi dalam dunia bisnis. Ciri khas perdagangan internasional adalah adanya hubungan dagang yang dilakukan antar lintas batas-batas negara yang dilakukan oleh para pelaku usaha dengan mengikuti suatu sistem tertentu dan spesifik. Jika berbicara tentang perdagangan internasional, hal itu tidak akan lepas dari eksistensi suatu sistem. Dalam perdagangan internasional, eksistensi suatu sistem merupakan patron yang membentuk dan mengarahkan kegiatan-kegiatan perdagangan ke dalam tujuan-tujuan tertentu yang diinginkan.1

Dalam upaya membangun hubungan perdagangan lintas negara yang tertib, perlu dibuat ketentuan-ketentuan yang berupa aturan-aturan hukum yang bersifat mengatur yang diterima sebagai suatu kesepakatan bersama yang bertujuan menjamin agar terciptanya suatu perdagangan yang fair. Aturan hukum yang dimaksud berfungsi sebagai acuan (guidance) yang berlaku secara umum yang harus ditaati dan diawasi dan diberlakukan secara tegas untuk mengeliminasi atau mengurangi penyimpanganpenyimpangan yang dapat terjadi dalam hubungan perdagangan internasional. Penyimpangan-Penyimpangan yang terjadi dalam hubungan perdagangan internasional merupakan suatu tindakan yang bersifat proteksi dan dapat menghambat arus dan kelangsungan pedagangan tersebut. Pada umumnya hambatan dalam arus perdagangan, menurut Aji Setiadi, ada dua macam, yaitu hambatan yang bersifat tarif (tariff barrier) dan hambatan yang bersifat non tarif (non tariff barriers).

Hambatan yang bersifat tarif (tariff barrier) merupakan hambatan terhadap arus barang ke dalam suatu negara yang disebabkan oleh diberlakukannya tarif bea

(2)

masuk dan tarif lainnya yang tinggi oleh suatu negara terhadap suatu barang, yang mengakibatkan harga jual barang tersebut di negara tujuan menjadi sangat mahal, sehingga menjadi tidak kompetitif dibandingkan dengan barang sejenis lain yang diproduksi dalam negeri negara tujuan. Dalam dunia pada umumnya, para pesaing bebas untuk bersaing secara besar-besaran, bahkan bila ada pihak yang didorong untuk keluar dari bisnis atau menderita kerugian-kerugian yang teramat besar. Hal itu biasa dilakukan pada tingkatan regulasi Negara maupun langsung secara frontal antara perusahan dengan perusahaan lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan hambatan yang bersifat non tarif (non tariff barriers) merupakan hambatan terhadap arus barang ke dalam suatu negara yang disebabkan oleh tindakan-tindakan selain penerapan pengenaan tariff atas suatu barang.

Hambatan yang bersifat tarif (tariff barrier) tersebut akan menimbulkan salah satu dampak yaitu terjadinya pemberlakuan diskriminasi harga oleh pasar domestik negara eksportir dan pasar asing negara importir. Terjadinya pemberlakuan diskriminasi harga, misalnya pemberlakuan harga lebih rendah terhadap barang-barang ekspor yang dijual ke pasaran asing negara pengimpor, dibandingkan dengan harga normal yang diberlakukan di pasaran domestik negara pengekspor merupakan bentuk dasar praktek dumping.

(3)

dalam negeri dari praktek dumping yang diduga dilakukan ekportir atau produsen luar negeri dan memungkinkan pemerintah untuk menghukumnya dengan cara menerapkan pengenaan bea masuk yang tinggi atas barang dumping, guna mengeliminir kerugian dari barang dumping sehingga industri dalam negeri tetap terlindungi dan dapat tetap bersaing dengan barang impor.

Pada awalnya peraturan antidumping tersebut, hanya dimiliki dan diberlakukan oleh negara-negara maju atau adidaya ekonomi seperti Amerika Serikat (Antidumping Act 1916), Kanada (Antidumping Act 1968), Australia (Antidumping Act 1975), dan Uni Eropa (Council Regulation 1988), yang dari waktu ke waktu diikuti oleh negara-negara lainnya.2

Dalam perkembangan selanjutnya, negara-negara yang memiliki peraturan antidumping tersebut cenderung saling memproteksi dan negara yang satu berdagang dengan merugikan negara lain (dog eat dogs). Kecenderungan tersebut telah memunculkan ide dan kesadaran bersama bahwa perlunya penggunaan dan penerapan antidumping secara selektif dan proporsional oleh dan antar negara satu dengan negara lainnya, yang pada akhirnya mendorong perlunya dilakukan Sinergisitas peraturan antidumping.

Sinergisitas peraturan dumping tersebut, tidak terlepas dari dominasi negara-negara maju dalam pengaturan ketentuan-ketentuan hukum perdagangan internasional sebagaimana telah dikonstatir dengan tepat oleh Hikmahanto Juwana, dengan menyatakan bahwa:

“Kepentingan ekonomi negara maju lebih dominan dan mewarnai wajah hukum internasional, perjanjian-perjanjian internasional yang terkait dengan masalah ekonomi lebih mengakomodasi prinsip-prinsip yang dianut oleh negara maju. Bahkan para pelaku usaha negara maju banyak mendapat perlindungan dari perjanjian internasional yang dinegosiasikan antara negara maju dan negara berkembang”

Meskipun demikian terasanya dominasi negara-negara maju dalam perdagangan internasional tersebut, namun tidak menyurutkan semangat berbagai negara untuk melakukan Sinergisitas dan telah mendorong perlu adanya penghapusan diskriminasi dan proteksi yang tidak proporsional, yang merupakan

(4)

hambatan dalam perdagangan baik hambatan tarif maupun hambatan non tarif, yang setelah melalui berbagai rangkaian pertemuan sejak tahun 1947 sampai dengan tahun 1994, telah berhasil merumuskan kesepakatan bersama yang dikenal dengan Persetujuan Umum tentang Tarif dan Perdagangan (General Agreement on Tariff and Tariff ), yang diikuti dengan beberapa Perjanjian tambahan (side agreement) atas suatu pasal dalam GATT, yang dikenal dengan istlah code, yang berlaku bagi negara anggota peserta Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization).

Peraturan antidumping diatur dalam pasal VI GATT/PUTP sebagai ketentuan umum atau garis besar pengaturan mengenai anti dumping, yang menyatakan bahwa:

“The contracting parties recognize that dumping, by which products of one country are introduced into the commerce of another country at less than the normal value of the products, is to be condemned if it causes or threatens material injury to an established industry in the territory of a contracting party or materially retards the establishment of a domestic industry.”

Pembahasan anti dumping untuk pertamakalinya dilakukan pada tahun 1947 pada saat pembahasan Carter Havana, yang merupakan suatu Perjanjian Multilateral yang lebih dikenal dengan GATT kemudian diberlakukan sementara sejak tanggal 1 Januari 1948. Sebagai tindak lanjut dalam mengimplementasikan ketentuan pasal VI GATT, maka pada tahun 1979, dalam Tokyo Round telah disepakati Antidumping Code (1979) yang berlaku efektif sejak 1 Januari 1980, yang kemudian diperbaharui dengan Antidumping Code (1994). Indonesia pada tanggal 2 Nopember 1994 telah meratifikasi Agreement Establishing the WTO, dengan dan dalam UU Nomor 7 tahun 1994.3

Dari uraian tersebut adalah menarik untuk mengkaji lebih lanjut apakah Indonesia telah meratifikasi dan atau menerapkan ketentuan-ketentuan antidumping yang diatur dalam pasal VI GATT beserta peraturan pelaksanaannya tersebut. Untuk itu penulis memilih judul “Sinergisitas Ketentuan Antidumping ke dalam Hukum Nasional Indonesia”.

(5)

Karenanya tulisan ini tidak akan membahas secara mendalam dan menyeluruh semua ketentuan antidumping dalam GATT maupun hukum nasional Indonesia tersebut, melainkan dibatasi hanya yang berkaitan dengan ketentuan antidumping dan peraturan pelaksanaannya baik ketentuan GATT maupun hukum nasional Indonesia tersebut. Kalaupun terjadi penyebutan ketentuan antidumping dan peraturan pelaksanaannya baik ketentuan GATT maupun hukum nasional Indonesia tertentu, maka hal tersebut adalah merupakan penjelasan teks dan konteks tulisan yang bersangkutan.

Rumusan Masalah

1. Bagaimana sinergitas anti-dumping dalam ketentuan hukum nasional Indonesia?

2. Bagaimanakah bentuk pengaturan perlindungan hukum dari praktik dumping di Indonesia?

B. Pembahasan

Menurut Kamus Lengkap Perdagangan Internasional dumping adalah praktek penjualan produk di Negara tujuan ekspor dengan harga di bawah harga normal atau harga produsennya dengan tujuan untuk menguasai pasar luar negeri. Sementara itu menurut Kamus Ekonomi (Inggris-Indonesia) dumping adalah suatu bentuk diskriminasi harga, di mana misalnya seorang produsen menjual pada dua pasar yang berbeda atau dengan harga-harga yang berbeda, karena adanya penghalang tertentu antara pasar-pasar tersebut dan terdapat elastisitas permintaan yang berbeda antara kedua pasar tersebut.

Sedangkan menurut Kamus Hukum Ekonomi (Inggris-Indonesia) dumping adalah praktik dagang yang dilakukan eksportir dengan menjual komoditi di pasaran internasional dengan harga kurang dari nilai yang wajar atau lebih rendah daripada harga barang tersebut di negerinya sendiri atau daripada harga jual kepada negara lain, pada umumnya, praktik ini dinilai tidak adil karena dapat merusak pasar dan merugikan produsen pesaing di Negara pengimport.

(6)

pembeli pasar yang dituju. kedua, adanya peluang, pada kondisi pasar, yang memungkinkan penentuan harga secara lebih leluasa, baik di dalam pasar eksport maupun import. Ketiga, untuk mempersiapkan kesempatan bersaing dan pertumbuhan jangka panjangyang lebih baik dengan cara memamfaatkan strategi penetapan harga yang lebih baik dengan cara memamfaatkan strategi penetapan harga yang progresif.

Secara garis besar, praktik dumping dikelompokan menjadi tiga macam:

1. Dumping Sporadis, yaitu dumping yang dilakukan secara temporer dengan tujuan utama mengatasi masalah kelebihan kapasitas.

2. Dumping Predatoris, yaitu praktik dumping dengan menjual produk secara merugi dengan tujuan mendapatkan akses ke suatu pasar dan menyingkirkan para pesaing.

3. Dumping Persisten, yaitu jenis dumping permanent, dimana perusahaan secara konsisten menjual produknya dengan harga lebih rendah pada suatu pada suatu pasar dibandingkan dengan pasar lainnya. Bentuk pertama merupakan bentuk wajar sebagai reaksi atau gejala pemasaran yang bersifat umum.4

Ketentuan pelaksanaan antidumping dalam pasal VI GATT tersebut diatur dalam antidumping code 1994, terdiri dari 18 pasal dengan sistematika sebagai berikut: - Pasal 1 Prinsip Prinsip;

- Pasal 2 Penentuan Dumping; - Pasal 3 Penentuan Kerugian;

- Pasal 4 Pengertian Industri Dalam Negeri; - Pasal 5 Penyelidikan Awal dan Lanjutan; - Pasal 6 Bukti;

- Pasal 7 Tindakan Sementara; - Pasal 8 Penyesuaian Harga;

- Pasal 9 Pengenaan dan Pengumpulan Bea Masuk Antidumping; - Pasal 10 Berlaku Surut;

- Pasal 11 Jangka Waktu dan Tinjauan Bea Masuk Anti-Dumping dan Penyesuaian Harga;

- Pasal 12 Pemberitahuan Publik dan Penjelasan Penentuan;

(7)

- Pasal 13 Tinjauan Peradilan;

- Pasal 14 Tindakan Anti-Dumping Atas Nama Negara Ketiga; - Pasal 15 Anggota-Anggota Negara Berkembang;

- Pasal 16 Komite Praktek Anti-Dumping;

- Pasal 17 Konsultasi dan Penyelesaian Sengketa; - Pasal 18 Ketentuan-ketentuan Akhir;

Selain itu Antidumping code 1994 tersebut juga dilengkapi dengan 2 Lampiran yaitu Lampiran I tentang Prosedur Untuk Penyelidikan Ditempat sesuai Paragrap 7 pasal 6 dan Lampiran II Informasi Yang Tersedia SesuaiDengan Paragrap 8 pasal 6.

(8)

sama-sama merupakan pelaksanaan atau konsekuensi dari ratifikasi ketentuan GATT dan WTO, di Indonesia berdasarkan UU No. 7 tahun 1994.

Seyogyanya pengaturan antidumping dan pembentukan KADI diatur dan dibentuk dalam dan berdasarkan Undang-undang tentang antidumping yang bersifat mandiri dan khusus, agar indepensi kelembagaan lebih terjamin secara hukum, dan perlu diberi kewenangan untuk melakukan pembentukan dan pembuatan serta pengaturan antidumping (self regulation organization). Untuk saat ini kedudukan KADI tersebut tidak secara tegas dinyatakan apakah merupakan peradilan semu (quasi judicial) bidang anti dumping, atau murni dibawah Departemen perindustrian, dan upaya hukum apakah yang dilakukan oleh pelaku usaha yang tidak puas terhadap keputusan atau hasil pemeriksaan penyelidikan dugaan dumping?, apakah diperkenankan melakukan upaya keberatan ke Pengadilan Negeri? atau ke peradilan mana?, dalam negeri yang melakukan pemeriksaan penyelidik an dugaan dumping, sebelum akhirnya dilakukan upaya ke forum panel di Disputes Settlement Body oleh negara yang tidak puas terhadap putusan badan atau lembaga yang melakukan pemeriksaan penyelidikan dugaan dumping tersebut.

C.Penutup

Oleh karenanya agar pengaturan antidumping dalam tata hukum Indonesia maka dibutuhkan Sinergisitas dengan ketentuan antidumping yang diatur dalam pasal VI GATT serta antidumping code1994 dengan cara mengintegrasikannya ke dalam hukum Indonesia, khususnya ke dalam tata urut peraturan perundang-undangan Inodonesia.

(9)
(10)

DAFTAR PUSTAKA

Barutu, Christhophorus. 2007. Sejarah Sistem Perdagangan Internasional. Jakarta: Jurnal Hukum Gloris Juris, Fakultas Hukum Universitas Katholik Atmajaya. Bagus, Ida. 2000.Transaksi Binis internasional.Bandung: Refika Aditama.

Hatta. 2006.Perdagangan Internasional Dalam Sistem GATT dan WTO. Bandung: Refika Aditama.

Rachmadi,Usman. 2004. Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Hines, Colin. 2005. Mengganti Globalisasi Ekonomi Menjadi Lokalisasi Demokrasi.Yogyakarta: Insist.

Sewu, Lindiawati. 2004. Franchise Pola Bisnis Spektakuler Dalam Perspektif Hukum Dan Ekonomi. Bandung: CV. Utomo.

Dirdjosisworo, Soedjono. 2005.Antisipasi Terhadap Bisnis Curang. Bandung: CV. Utomo.

Suherman, Maman, Ade. 2002. Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global. Jakarta: Galia Indonesia.

Rinaldy, Eddie. 2006. Kamus Perdagangan Internasional. Jakarta: Indonesia Legal Center Publishing.

Rajagukguk, Erman. Peranan Hukum Dalam Pembangunan Pada Era

Globalisasi: Implikasinya Bagi Pendidikan Hukum di Indonesia. Pidato pengukuhan Guru Besar FH-UI. Jakarta: 4 Januari 1997.

Juwana, Hikmahanto. 2002. Hukum Ekonomi dan Hukum internasional. Jakarta: Lentera Hati.

Referensi

Dokumen terkait

Masing-masing pejabat struktural ini dituntut untuk bekerja secara sinergis untuk menghasilkan kinerja yang fokus untuk membawa organisasi unit eselon I kepada visi

Nilai barang yang masuk ke Kota Tarakan melalui Pelabuhan Tidak Resmi cukup besar (LP2M, Universitas Borneo, 2012). Survey yang dilakukan oleh LP2M Borneo menemukan

Dalam penelitian teknik pengumpulan data menggunakan metode Angket.Metodeangketyaitu sejumlah pertanyaan tertulis tentang hal–hal yang diteliti yang digunakan

MINAT SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS JURUSAN IPS DAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN PROGRAM KEAHLIAN AKUNTANSI MENDAFTAR KE PROGRAM STUDI PENDIDIKAN EKONOMI BKK PENDIDIKAN AKUNTANSI

Zero waste dalam produksi fasyen ini yang terinspirasi dari pembuatan kimono Jepang, dalam industri fesyen menjadi salah satu teknik yang dapat dikembangkan

Meningkatnya mutu pendidikan masyarakat Pakualaman dengan diperolehnya beberapa keahlian yang didapatkan dari sekolah partikelir tersebut, tentu saja membuka lebar

Memberikan informasi kepada pihak Koperasi Kredit Karya Jasa Palembang mengenai peranan audit internal dan efektivitas pengendalian internal penyaluran kredit yang

Simpulan kedua, faktor-faktor yang menghambat dalam pelaksanaan kebijakan Pertanahan Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu belum