• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PE (2)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "FAKTOR FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PE (2)"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Kebidanan STIKes Tuanku Tambusai Riau Page 23

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENGGUNAAN

OBAT FILARIASIS DI DESA PASIR PUTIH WILAYAH KERJA

PUSKESMAS BALAI JAYA KABUPATEN ROKAN HILIR TAHUN 2014

Nislawaty

Dosen STIKes Tuanku Tambusai Riau, Indonesia

ABSTRAK

Riset Kesehatan Dasar provinsi Riau tahun 2011,filariasis klinis terdeteksi dengan gejala di Kabupaten Rokan Hilir sebanyak (14,5%).DataDinas Kesehatan Kabupaten Rokan Hilir tahun 2011, Filariasis klinis terdeteksi dengan Gejala di 16 kecamatantahun 2011 sebanyak 3 orang, pada tahun 2012 sebanyak 4 orang dan tahun 2013 terjadi peningkatan jumlah penderita filariasis yaitu sebanyak 10 orang. Pada tanggal 8 April 2002 Menteri Kesehatan Republik Indonesia telah di mulainya eliminasi penyakit kaki gajah. Dari pemberian obat tesebut di Wilayah Kerja Puskesmas Balai Jaya Kabupaten Rokan Hilir terdapat 9 desa 2 kelurahan dimana desa yang paling sedikit pengobatannya adalah desa pasir putih (51,4%). Sedangkan sasaran pengobatan yang ditetapkan Departemen Kesehatan RI (>85%). Penelitian ini menggunakan pendekatan studi analitik kuantitatif dengan desain penelitian Cross Sectional. Adapun populasi penelitian ini sebanyak 2.352 orang dengan sampel 341 orang menggunakan teknik pengambilan sampel systematic random sampling. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 10-20 Agustus 2014 dengan penyebaran kuesener. Anlisis data yang digunakan analisis univariatdan bivariate. Adapun hasil penelitian didapatkan tidak adanya hubungan karakteristik demografi dengan penggunaan obat filariasis (P Value = 0,774), sedangkan hubungan pendidikan kesehatan tidak ada hubungan yang bermakna (P value = 0,095) dan terdapat hubungan yang segnifikan antara tenaga kesehatan dengan penggunaan obat filariasis (P Value = 0,049) berdasarkan hasil penelitian tersebut diharapkan baik pemerintah, tenaga kesehatan dan masyarakat mau bekerjasama dalam peningkatan penggunaan obat filariasis.

Kata kunci : Demografi, PendidikanKesehatan, TenagaKesehatan, Obat Filariasis.

(2)

Jurnal Kebidanan STIKes Tuanku Tambusai Riau Page 24

PENDAHULUAN

Filariasis adalah penyakit menular (penyakit kaki gajah) yang disebabkan oleh cacing filariasis yang di tularkan oleh berbagai jenis nyamuk.Penyakit ini bersifat menahun (kronis) dan bila tidak mendapatkan pengobatan dapat menimbulkan cacat menetap berupa

pembesaran kaki, legan dan alat kelamin baik perempuan maupun laki-laki.

Akibatnya penderita tidak dapat bekerja secara optimal bahkan hidupnya tergantung kepada orang lain sehingga menjadi beban keluarga, masyarakat dan negara (Dep.Kes RI, 2009).

Perkembangan klinis filariasis di pengaruhi oleh faktor kerentanan individu terhadap parasit, seringnya mendapat gigitan nyamuk infektif larva cacing filaria, banyaknya larva infektif yang masuk ke dalam tubuh dan adanya infeksi sekunder oleh bakteri atau jamur. Secara umum perkembangan klinis filariasis dapat di bagi menjadi fase dini fase lanjut. Pada fase ini timbul gejala klinis akut karena infeksi cacing dewasa bersama-sama dengan infeksi oleh bakteri jamur. Pada fase lanjut terjadi kerusakan saluran kelenjar limfe, kerusakan katup saluran limfe, termasuk kerusakan saluran limfe kecil yang terdapat di kulit.

WHO (World Health Organization) sudah menetapkan kesepakatan Global (The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem by The Year 2020). Program eliminasi dilaksanakan melalui pengobatan masal dengan DEC (Diethylcarbamazine) dan Albendazol setahun sekali selama 5 tahun di lokasi endemis dan perawatan kasus klinis baik yang akut maupun yang kronis untuk mencegah kecacatan dan mengurangi penderitaannya.Filaria limfatik terdiri dari wuchereria bancrofti, Brugia malayi, Brugia timori merupakan spesies cacing filaria yang

di temukan di dunia. Peyebarannya tergantung dari spesiesnya. Wuchereria bancrofti tersebar luas diberbagai negara tropis dan subtropis, menyebar mulai dari Spanyol sampai di Brisbane, Afrika dan Asia (Jepang, Taiwan, India, Cina, Filippina, Indonesia) dan negara-negara di Pasifik

Barat. Jika ditemukan mikrofilarial rate ≥ 1

% pada satu wilayah maka daerah tersebut dinyatakan endemis dan harus segera diberikan pengobatan secara masal selama 5 tahun berturut-turut (WHO, 2012)

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Syuhada, dkk (2012) di Kecamatan Buaran dan Tirto Kabupaten Pekalongan, dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa penyakit ini ditemukan hampir seluruh wilayah Indonesia seperti di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Papua, baik perkotaan maupun pedesaaan. Kasus di pedesaan banyak di temukan pada kawasan bagian timur, sedangkan untuk di perkotaan banyak di temukan seperti, Bekasi, Tangerang, Pekalongan, dan Lebak (Banten).

Berdasarkan laporan hasil dari survei pada tahun 2000 yang lalu tercatat sebanyak 1553 desa di 647 Puskesmas tersebar di 231 kabupaten 26 Propinsi sebagai lokasi yang endemis, dengan jumlah kasus kronis 6233 orang. Hasil survai laboratorium, melalui pemeriksaan darah jari, rata-rata mikrofilaria rate (Mf rate) 3,1 %, berarti sekitar 6 juta orang sudah terinfeksi cacing filaria dan sekitar 100 juta orang mempunyai resiko tinggi untuk ketularan karena nyamuk penularnya tersebar luas.

(3)

Jurnal Kebidanan STIKes Tuanku Tambusai Riau Page 25 adalah Nanggroe Aceh Darussalam 2.359

orang, Nusa Tenggara Timur 1.730 orang dan Papua 1.158 orang (Ditjen PP-PL Depkes RI, 2009).

Di Indonesia, 87% kabupaten/kota mempunyai kasus klinis filariasis pada range 1-100 kasus, 5,9% kab/kota tidak memiliki kasus klinis filariasis, 5,2 % pda range 101-200 kasus, 1,2% pada range 201-700 kasusdan 0,2% pada range >700 kasus (Kemenkes RI, 2010).

Data ini belum menggambarkan keadaan yang sebenarnya karena hanya di laporkan oleh 42% Puskesmas dari 7.221 Puskesmas. Tingkat endemis filariasis di Indonesia berdasarkan hasil survai darah jari tahun 1999 masi tinggi dengan microfilaria (Mf) rate 3,1% (0,5-19,64%).

Berdasarkan survei untuk pemeriksaan microskopis pada desa dengan jumlah penderita terbanyak pada tahun 2002-2005, terutama di sumatera dan kalimantan, telah teridentifikasi 84 kabupaten/kota dengan mocrofilaria rate 1% atau lebih. Data tersebut menggambarkan bahwa seluruh daerah di Sumatera dan Kalimantan merupakan daerah endemis filariasis. Sampai dengan tahun 2004 di Indonesia diperkirakan 6 juta orang terinfeksi filariasis dan di laporkan lebih dari 8.000 orang diantaranya menderita kronis filariasis terutama di pedesaan (DepKes RI, 2009).

Provinsi Riau terdiri dari 10 kabupaten dan 2 kotamadya, menurut hasil dari Riset Kesehatan Dasar provinsi Riau tahun 2011, persentase filariasis klinis terdeteksi dengan gejala (DG) di 10 kabupaten dan 2 kotamadya, yaitu ; Kabupaten Indragiri Hulu (46,1%), Kabupaten Indra Giri Hilir (18,5%), Kabupaten Rokan Hilir (14,5%), Kotamadya Dumai (4,3%), Kabupaten Siak (4%), Kabupaten Kuantan Sengingi (3%), Kabupaten Bengkalis (2,7%), Kabupaten Rokan Hulu (1,8%), Kabupaten Pelelawan

(1,8%), Kotamadya Pekanbaru (0,6%) dan Kabupaten Kampar (0,2%).

Kabupaten Rokan Hilir terdiri atas 16 kecamatan.Menurut data Dinas Kesehatan Kabupaten Rokan Hilir tahun 2011, Filariasis klinis terdeteksi Dengan Gejala (DG) di 16 kecamatantahun 2011 sebanyak 3 orang, pada tahun 2012 sebanyak 4 orang dan tahun 2013 terjadi peningkatan jumlah penderita filariasis yaitu sebanyak 10 orang(Dinkes.Kab.Rohil, 2013).

Pada tanggal 8 april 2002 Mentri Kesehatan Republik Indonesia telah mencanangkan di mulainya eliminasi penyakit kaki gajah di indonesia dan telah menetapkan eliminasi kaki gajah sebagai salah satu program prioritas.Sebagai pedoman pengendalian Filariasis terutama dalam keputusan mentri Kesehatan Republik IndonesiaNomor:

1582/MENKES/SK/XI/2005 tanggal 18 Nopember 2005.

(4)

Jurnal Kebidanan STIKes Tuanku Tambusai Riau Page 26 Berbagai upaya telah dilakukan

dalam rangka persiapan pelaksanaan eliminasi filariasis diantaranya koordinasi antara Dinas Kesehatan Kabupaten Rokan Hilir dengan seluruh puskesmas di Wilayah kerja Kabupaten Rokan hilir, koordinasi dengan instasi pemerintahan maupun lembaga sosial masyarakat (LSM), koordinasi dengan tokoh masyarakat. Sosialisasi juga dilakukan melalui kegiatan pengajian di tingkat RW, posyandu dan penyuluhan langsung oleh petugas kesehatan kepada kader kesehatan.

Tetapi ditinjau dari data awal yang diperoleh desa yang persentasenya awalnya tinggi dalam pengambilan obat filariasis adalah di desa pasir putih dengan persentase 84,6% dari target yang ingin dicapai 85% tetapi pada pemberian obat yang mengambil obat tahap ke dua desa ini mengalami penurunan signifikan dengan persentase 51,4%.Penurunan jumlah sasaran yang bersedia minum obat pada pengobatan massal tahap II (dua) mungkin disebabkan oleh informasi dari media tentang kejadian-kejadian pasca pengobatan massal filariasispada pengobatan tahap I (satu).Munculnya efek samping, juga akan semakin terkurangi jika masyarakat selalu minum obat setiap tahunnya, jika efek tinggi berarti masih ada cacing di dalamnya, dan mati setelah minum obat tersebut. Namun jika rutin meminum setiap tahun dan cacingnya berkurang, maka efek nya juga berkurang. Pengobatan akan sia-sia jika penyakit sudah parah. Sebaiknya dilakukan pengobatan secara rutin untuk memotong siklus hidup cacing (Heri, 2013)

Desa Pasir Putih merupakan salah satu desa yang melakukan program pencegahan penyakit filariasis dengan melakukan pengobatan masal yang mengkonsumsi obat filariasis menurun. Berdasarkan survei pendahuluan didapatkan ada beberapa dari 15 orang warga mengambil obat filariasis tahap kedua tetapi

tidak mengkonsumsi obat filariasis yang dibagikan oleh kader dengan alasantakut akan efek samping obat pada tahap pertama akan terjadi lagi pada penggunaan obat tahap kedua, serta sebagian warga ada yang tidak tahu bahwa telah dilakukan pembagian obat filariasis tahap kedua di desa mereka.Sebahagian besar warga ada yang tidak mendapatkan informasi tentang jadwal dan tempat untuk pengambilan obat. Berdasarkan survey tersebut, juga didapatkan pengakuan dari warga, bahwa tidak ada tenaga kesehatan yang secara langsung memantau proses minum obat filarisasis tahap kedua di Desa Pasir Putih. Berdasarkan uraian di atas dan melihat banyaknya warga pada pengobatan ke dua tidak mengkonsumsi obat filariasis dan tidak mengambil obat filariasis di desa Pasir putih, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Faktor-faktor yang berhubungandengan penggunaan obat filariasis di Desa Pasir Putih Wilayah Kerja Puskesmas Balai Jaya Kabupaten Rokan Hilir”.

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan studi analitik kuantitatif dengan desain penelitian Cross Sectional.Adapun populasi penelitian ini sebanyak 2.352 orang dengan sampel 341 orang menggunakan teknik pengambilan sampel systematic random sampling.Penelitian ini dilakukan pada tanggal 10-20 Agustus 2014 dengan penyebaran kuesener.Anlisis data yang digunakan analisis univariat dan bivariate.

HASIL DAN PEMBAHASAN

(5)

Jurnal Kebidanan STIKes Tuanku Tambusai Riau Page 27

Tabel 4.1: Distribusi frekuensi umur responden.

No Distribusi Frekuensi Persentase %

Dari tabel 4.1 dapat dilihat bahwa sebagian besar responden dengan umur > 14 tahun yaitu 261 orang (76,5%),

responden dengan jenis kelamin perempuan yaitu 171 (50,1%), responden berdasarkan pendidikan SMP yaitu 110 (32,3%), responden berdasarkan pekerjaan Petani/Buruh yaitu 131 (38,4%).

Tabel 4.2 : Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Karakteristik Demografi

No Distribusi Frekuensi Persentase % 1 Dekat ≤ 2 km 155 45,5

2 Jauh > 2 km 186 54,5

Total 341 100

Dari tabel 4.2 dapat dilihat bahwa sebagian besar responden dengan jarak

tempuh Jauh > 2 km yaitu 186 orang (55,5%).

Tabel 4.3 : Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendidikan Kesehatan (Promosi Kesehatan) tentang penggunaan obat

filariasis.

No Distribusi Frekuensi Persentase %

1 Ya 19 5,6

2 Tidak 322 94,4

Total 341 100

Dari Tabel 4.3 dapat dilihat bahwa yang tidak mendapatkan pendidikan kesehatan tentang penggunaan obat filariasis yaitu 322 orang (94,4%).

Tabel 4.4: Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tenaga Kesehatan

No Distribusi Frekuensi Persentase %

1 Ya 34 10,0

2 Tidak 307 90,0

Total 341 100

Dari Tabel 4.4 dapat dilihat bahwa warga tidak mendapatkan pelayanan dari tenaga kesehatan sebanyak 307 orang (90,0%).

Tabel 4.5 : Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Penggunaan ObatFilariasis.

No Distribusi Frekuensi Persentase % filariasis sebanyak 180 orang (57,8%).

(6)

Jurnal Kebidanan STIKes Tuanku Tambusai Riau Page 28 responden yang memiliki karakteristik demografi yang dekat dan tidak menggunakan obat filariasis sebanyak 80 orang (51,6 %). Berdasarkan uji statistik tidak ada hubungan yang bermakna antara karakteristik demografi yang jauh dengan penggunaan obat filariasis di Desa Pasir Putih Wilayah kerja Puskesmas Balai Jaya Kabupaten Rokan Hilir Tahun 2014. Hal ini dibuktikan dengan P Value =0,774 < α = 0,05, sehingga Ho gagal ditolak.Karena pemerintah telah menunjuk kader yang berasal dari masyarakat setempat yang kemudian diberikan penyuluhan untuk membagikan obat filariasis. Sehingga jarak yang jauh tidak menjadi alasan masyarakat untuk tidak menggunakan obat filariasis. Berdasarkan hasil penyebaran kuesener didapatkan mereka yang jarak dekat tidak mengambil obat dengan alasan takut akan keluhan obat mual, muntah, pusing pada tahap I (satu) akan terjadi lagi pada pengobatan tahap II (dua) sehingga mereka menolak untuk menggunakan obat filariasis.

Tabel 4.7 : Hubungan Pendidikan Kesehatan (Promosi Kesehatan) Dengan penggunaan Obat Filariasi responden yang mendapatkan pendidikan kesehatan (Promosi Kesehatan) tetapi

menggunakan obat filariasis yaitu hanya 6 orang (31,6%). Berdasarkan uji statistik tidak ada hubungan yang bermakna antara pendidikan kesehatan dengan penggunaan obat filariasis di Desa Pasir Putih Wilaya Kerja Puskesmas Balai Jaya Kabupaten Rokan Hilir Tahun 2014. Hal ini dibuktikan dengan P Value = 0,095 > α 0,05 sehingga Ho gagal ditolak.Hal ini terjadi karena promosi kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan tidak dilakukan secara berkesinambungan, sebaiknya promosi dilakukan dengan cara mengadakan pertemuan dengan masyarakat baik yang minum obat maupun yang tidak minum obat. Kemudian masyarakat dengan dipandu oleh dokter, bidan, perawat mengemukakan apa-apa yang dialami ketika minum obat filariasis. Mereka juga diminta menceritakan tentang apa yang mereka lakukan ketika mengalami pusing, mual (efek obat filariasis) setelah minum obat filariasis. Kesempatan ini bisa dijadikan sebagai media curhat pendapat diantara masyarakat, sehingga masalah-masalah yang ada dapat ditemukan solusinya. Masyarakat yang takut reaksi/efek obat menjadi tidak takut lagi dan bersedia minum obat filariasis pada putaran yang akan datang. Sehingga pemahaman masyarakat tentang filariasis tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh tenaga kesehatan, yang mengakibatkan besarnya rasa takut masyarakat akan efek samping penggunaan obat filariasis.

Tabel 4.8 : Hubungan Tenaga Kesehatan Dengan penggunaan Obat Filariasi

(7)

Jurnal Kebidanan STIKes Tuanku Tambusai Riau Page 29 Dari tabel 4.8 dapat dilihat bahwa

responden yang mendapatkan pelayanan langsung dari tenaga kesehatan kesehatan tetapi tidak menggunakan obat filariasis yaitu 12 orang (35,3%). Berdasarkan uji statistik ada hubungan yang bermakna antara tenaga kesehatan dengan penggunaan obat filariasis di Desa Pasir Putih Wilayah Kerja Puskesmas Balai Jaya Kabupaten Rokan Hilir Tahun 2014. Hal ini dibuktikan dengan P Value = 0,049 < α = 0,05, sehingga Ho ditolak.petugas kesehatan menjadi tokoh panutan di bidang kesehatan.Untuk itu maka petugas kesehatan harus mempunyai sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai kesehatan.Demikian pula petrugas-petugas lain atau tokoh-tokoh masyarakat.Mereka juga panutan prilaku, termasuk perilaku kesehatan.Oleh sebab itu mereka harus mempunyai sikap dan perilaku yang posistif. Sikap dan perilaku petugas kesehatan dan petugas petugas lain merupakan pendorong atau penguat perilaku sehat masyarakat. Untuk mencapai hal tersebut maka petugas kesehatan dan para petugas lain harus memperoleh pendidikan pelatihan khusus tentang kesehatan atau pendidikan kesehatan dan ilmu perilaku.

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa :

1. Tidak Ada hubungan yang bermakna antara karakteristik demografi yang jauh dengan penggunaan obat filariasis di Desa Pasir Putih Wilayah kerja Puskesmas Balai Jaya Kabupaten Rokan Hilir Tahun 2014. Hal ini dibuktikan dengan P Value = 0,774> 0,05.

2. Tidak Ada hubungan yang bermakna antara pendidikan kesehatan dengan penggunaan obat filariasis di Desa Pasir Putih Wilaya Kerja Puskesmas Balai Jaya Kabupaten Rokan Hilir Tahun

2014. Hal ini dibuktikan dengan P Value = 0,095 > α = 0,05.

3. Ada hubungan yang bermakna antara tenaga kesehatan dengan penggunaan obat filariasis di Desa Psir Putih Wilayah Kerja Puskesmas Balai Jaya Kabupaten Rokan Hilir Tahun 2014. Hal ini dibuktikan dengan P Value=

0,049 < α = 0,05.

Saran

1. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Rokan Hilir

Diharapkan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Rokan Hilir dapat memberikan pelatihan bagi tenaga kesehatan dan kader yang berada di Wilayah Kerja Pemerintahan Daerah Kabupaten Rokan Hilir agar meningkatkan pelayanan serta pengetahuan tentang POMP (Program Minum Obat Massal Pencegahan) Filariasis.

2. Bagi UPTD Puskesmas Balai Jaya Diharapkan bagi UPTD Puskesmas Balai Jaya Kecamatan Bagan Sinembah Kabupaten Rokan Hilir dapat lebih memberdayakan lagi kader Filariasis sehingga kader lebih bersemangat lagi dalam pemberian informasi dan pemberian obat filariasis sehingga menurunkan angka kesakitan akibat penyakit filariasis.

3. Bagi Responden

Melalui hasil penelitian ini, diharapkan bagi responden untuk dapat menggunakan obat filariasis secara rutin selama 5 (lima) tahun berturut-turut. 4. Bagi Peneliti Selanjutnya

(8)

Jurnal Kebidanan STIKes Tuanku Tambusai Riau Page 30

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, S. 2009. Sikap Manusia dan teori pengukurannya. Yogyakarta : Pustaka Wilayah.

Arikunto, Suharsimi. 2010. Manajemen Penelitian. Jakarta : PT Rineka Cipta.

CDC. Biology-Life Cycle Of Wuchereria Bancrifti. Diuplog pada tanggal 2 November 2010 dan diakses pada tanggal 15 Juni 2014. http://www.cdc.gov/parasites/lympha ticfilariasis/gen_info/bancrofti.html CDC. Vector of Lymphatic Filariasis.

Diupload pada 2 November 2010 dan diakses pada tanggal 15 Juni 2014. http://www.cdc.gov/parasites/lympha ticfilariasis/gen_info/vectors.html Dahlan, M. Sopiyudin. 2011. Statistik Untuk

Kedokteran Dan Kesehatan. Edisi V. Jakrta: Salemba Medika.

_________________. 2010. Besar Sampel Dan cara Pengambilan Sampel. Edisi III. Jakrta: Salemba Medika. Departemen Kesehatan Republik Indonesia

Diektorat Jenderal PP & PL, 2005. Program eliminasi Filariasis. Jakarta.

Departemen Kesehatan republik Indonesia Direktorat Jenderal PP & PL, 2005. Pengobatan Masal Filariasis. Jakarta.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal PP & PL, 2005. Epidemiologi Filariasis. Jakarta. Dinas Kesehatan Kabupaten Rokan Hilir.

2014. Laporan Kejadian Penyakit Filariasis Tahun 2013-2014. Rokan Hilir.

Desa Pasir Putih. 2013. Profil Desa Pasir Putih Tahun 2013.

Hidayat, Aziz Alimul. 2007. Metode Penelitian Kebidanan dan teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika.

Kusmanto, 2007. Faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat terhadap kepatuhan minum obat POMP Filariasis di Desa Muaro Jambi

Tahun 2007.

http://books.google.co.id/

Kusuma wardani, Dewi. 2009. Gambaran Faktor-faktor Predisposisi dan Praktik Minum Obat Pada pengobatan Massal Filariasis Di 7 RW Kelurahan Bakti Jaya Depok Tahun

2009.http://respository.uinjkt.ac.id/ds pace/bitstream/123456789/24113/1/d ewi-fkik.pdf . diperoleh tanggal 22 Juni 2014.

Machfoedz, Irham. 2010. Metodologi Penlitian. Yogyakarta : Fitramaya Nasir, dkk. 2011. Buku Ajar : Metodologi

Penelitian Kesehatan. Yogyakarta : Nuha Medika

Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.

Notoatmodjo, Soekidjo. 2002. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta : Asdi Mahasatya.

________________ . 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. ________________ . 2012. Metode

Penelitian Kesehatan. Edisi II. Jakarta : Rineka Cipta.

Puskesmas Balai Jaya. 2013. Laporan Pengobatan Masal POM Filariasis Tahap I. Februari 2013.

Puskesmas Balai Jaya. 2013. Laporan Pengobatan Masal POM Filariasis Tahap II. Desember 2013.

Santoso. 2013. Faktor Risiko Filariasis Di Kabupaten Muaro Jambi.diperoleh

(9)

Jurnal Kebidanan STIKes Tuanku Tambusai Riau Page 31 Setiawan, Ari. Dkk. 2013. Metodologi

Penelitian Kebidanan DIII,DIV, S1 dan S2. Cetakan ke III. Yogyakarta: Mulia Medika

Sugiyono. 2010. Kepatuhan masyarakat Terhadap Pengobatan massal Filariasis Di Kabupaten Belitung

Timur Tahun

2010.http://indonesia.digitaljournals. org/index.php/BPKESE/article/down load/96/101. diperoleh tanggal 12 Juni 2014.

Sumantri, Arif . 2011. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakartan: Kencana.

Suherni, 2008. Faktor-faktor yang berhubungan dengen pengetahuan dan Minum Obat Filariasis Pada Kegiatan Pengobatan Massal Filariasis di Kabupaten tabalong Kalimantan Selatan Tahun 2008. http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/ 122702-S-5371-Faktor%20faktor-Literatur.pdf. Diambil pada tanggal 12 juli 2014

Viviana, 2011. Kesesuaian Faktor Resiko Penyakit Filariasis Dengan Kejadian Filariasis Di Wilayah Kerja

Puskesmas Kusuma Bangsa Kota pekalongan Tahun2011.http://viana-viblog.blogspot.com/2011/08/skripsi -filariasis.html. diperoleh tanggal 11 Juli 2014.

WHO, 2012. Angka Kejadian Filariasis WHO, 2012. Lymphatic Filariasis. Diambil

pada tanggal 12 Juni 2014 http://who.int/lymphatic_filariasis/en /

WHO, 2012. Lymphatic Filariasis; Epidemiology. Diambil pada tanggal

12 Juni 2014

http://who.int/lymphatic_filariasis/ep idemiology/en/

WHO, 2012. Life-Cyle of Onchocerca Volvulus. Diambil pada tanggal 22

Juni 2014.

http://who.int/apoc/onchocerciasis/lif ecycle/en/

WHO. LYMPHATIC FILARIASIS:

Eliminating One of Humanity’s Most

(10)

Gambar

Tabel 4.1:  Distribusi frekuensi umur responden. No Distribusi Frekuensi Persentase
Tabel 4.8 :  Hubungan Tenaga Kesehatan Dengan penggunaan Obat Filariasi

Referensi

Dokumen terkait

The measles elimination and rubella/CRS control goal may be reached if four strategic objectives are achieved: (1) achieve and maintain at least 95% population immunity with two

Berdasarkan fenomena di atas, peneliti merasa tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai “ studi komparasi pendidikan kesehatan multimedia pembelajaran dan metode

Pada Frame 1 Layer Back ground perbesar ukuran image sehingga menutupi Stage dan ubah Alpha objek im- age menjadi 0% lalu buat animasi Tween hingga Frame 35.... Lanjutkan

Pada bab ini penulis menjelaskan secara rinci metode penelitian yang digunakan, tahapan serta proses pengumpulan data yang berkaitan dengan judul ” seni lukis

he purpose of this study was to analyze diferences in the bank's soundness was assessed using a bank's risk proile, good corporate governance, income, and capital (RGEC)

 Jadi pseudo-code bisa dikatakan juga sebagai algortima yang sudah sedikit digabungkan dengan bahasa pemrograman yang akan

RELEVANSI KURIKULUM MATA KULIAH KEAHLIAN PENDIDIKAN TEKNOLOGI AGROINDUSTRI TERHADAP KOMPETENSI KEAHLIAN QUALITY CONTROL (QC) UNTUK KEBUTUHAN DUNIA INDUSTRI PANGAN..

Pendidikan Ibu pada penelitian tingkat pengetahuan Ibu Primigravida Tentang Tanda- Tanda Persalinan Normal di RSUD Kebumen tahun 2010, dengan persentase terbesar