Rukun dan Syarat Istishna’
Rukun Istishna’ menurut Hanafiyah adalah ijab dan kabul. Akan tetapi menurut jumhur ulama’ rukun Istishna’ ada tiga yaitu:
a. ‘Akid (para pihak yang berakad), yaitu shani’ (produsen / penjual) dan mustashni’ (orang yang memesan konsumen), atau pembeli.
b. Ma’qud ‘alaih (objek akad), yaitu ‘amal (pekerjaan), barang yang dipesan, dan harga. c. Shighat ijab dan qabul.
Adapun syarat-syarat Istishna’ adalah:
a. Menjelaskan tentang jenis barang yang dibuat, macam, kadar, dan sifatnya karena barang tersebut adalah barang yang dijual (objek akad). Syarat ini penting untuk menghilangkan unsur jahalah yang bisa membatalkan akad.
b. Barang tersebut harus berupa barang yang bisa ditransaksikan diantara manusia, seperti membuat bejana, sepatu, dll.
c. Tidak ada ketentuan mengenai batas waktu penyerahan barang yang dipesan. Bila ditentukan waktu penyerahan barang maka akadnya secara otomatis berubah menjadi akad salam sehingga berlaku adanya seluruh hukum-hukum akad salam, demikianlah pendapat Imam Abu Hanifah. Sementara itu, menurut Imam Abu Yusuf dan Muhammad, syarat ini tidak diperlukan. Menurut mereka, Istishna’ hukumnya sah, baik waktunya ditentukan atau tidak karena menurut adat kebiasaan penentuan waktu ini bisa digunakan dalam akad Istishna’.
Telah dijelaskan diatas, bahwa akad Istishna’ dibolehkan berdasarkan tradisi umat Islamyang telah berlangsung sejak dahulu kala. Keberadaan akad Istishna’ didasarkan atas kebutuhan masyarakat. Banyak orang seringkali memerlukan barang yang tidak tersedia di pasar sehingga mereka cenderung untuk memesan sehingga orang lain membuatkan barang tersebut. Untuk menghindari terjadinya kemungkinan perselisihan atas jenis dan kualitas suatu barang dapat diminimalkan dengan pencantuman spesifikasi, ukuran, serta bahan material pembuatan barang tersebut.1