• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berkaca pada praktek Politik Aceh saat i

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Berkaca pada praktek Politik Aceh saat i"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

KRITIK UNTUK POLITIK ACEH YANG “CENDERUNG” SEKULER: Sebuah Perbandingan Historis

Oleh, Ambo Asse Ajis (Pemerhati Sejarah)

A. Pendahuluan

Apa yang menakutkan bagi bangsa-bangsa asing terhadap Kesultanan Aceh di

abad ke-15 dan 16 sehingga bangsa-bangsa tersebut memerlukan persetujuan jika

ingin melakukan kegiatan di sekitar Selat Malaka?. Lalu, kondisi sosiologis seperti

apa yang membentuk watak Kesultanan Aceh sehingga mereka dipandang berbahaya

bagi kepentingan para colonial di abad 15 dan 16 masehi.

Dua pertanyaan yang saya ajukan di atas sekaligus menjadi inti sari tulisan ini,

dimana hendak menyampaikan ada yang salah dalam penerapan politik Aceh hari ini

(baca: Tahun 2016). Dan, jika kita semua mengkomparasi kesadaran kita, terasa

semakin jauh semangat sejarah yang pernah ada atau bertolak jauhnya fakta-fakta

sejarah antara Aceh di masa lalu yang selalu dirindukan dengan Aceh yang ada pada

hari ini.

Ketahuilah, Islam yang mengakar dalam darah dan watak warga kesultanan

Aceh di masa lalu, lahir dari se-iring sejalan dengan besarnya kesadaran batin yang

terhimpun dalam kaidah-kaidah fikriyah (fikir) Islami, yang selalu

(2)

tindakan social di Aceh ini, selanjutnya menjadi intisari atau substansi dari tindakan

kolektif pemerintahan kesultanan Aceh, yang mana basis berfikirnya berada di titik

focus menggerakan potensi-potensi warga kesultanan Aceh menuju kejayaan dalam

naungan dan proteksi kewibawaan Islam.

Pemikiran tersebut teraktualkan dengan tindakan Kesultanan Aceh yang tanpa

ragu-ragu melakukan aliansi strategis dengan penguasa muslim lainnya, seperti,

Khalifah Utsmani di Turky, Kesultanan Moghul di India, Kesultanan Malaka dan

berbagai Kesultanan lainnya di Nusantara. Politik aliansi strategis yang

dikembangkan Kesultanan Aceh mampu mendorong banyak hal yang membuat

bangsa-bangsa colonial (imperialis) Eropa, seperti, Portugis, Spanyol, Inggris,

Perancis, berpikiran seribu kali jika ingin menaklukan Aceh.

Meski demikian, ada juga bangsa imperialis yang tidak memahami kondisi

saat itu, yakni, Portugis, yang lebih melihat keuntungan-keuntungan ekonomi sebagai

dasar memutuskan tindakannya, dimana atas dasar keserakahan menginvasi

Kesultanan Malaka (1511) dan Kesultanan Samudra (1513) serta membangun

koloninya di Pidie dan Daya. Karena keserakahan yang akarnya dari dalam ideologi

kolonialis, menyebabkan mereka larut menjajah dan mengambil hak-hak bangsa lain.

Lalu, ketika Kesultanan Aceh lahir di pertengahan abad ke-16 Masehi, sifat penjajah

Portugis ini yang serakah tidak berkurang sama sekali bahkan semakin rakus hendak

menancapkan kekuasaannya. Bangsa ini semakin bernafsu menginvasi bangsa lain

(3)

utama bangsa Portugis adalah hendak mewujudkan control atas jalur Selat Malaka

dan menguasai perdagangan di seluruh nusantara.

Situasi berubah ketika Kesultanan Aceh lahir dan membesar. Kedudukan

Portugis yang jumawa “sombong” dan merasa mampu mengalahkan kedudukan

Kesultanan Aceh dengan bekerjasama dengan sekutunya di Daya, Pidie dan Samudra.

Tetapi, fakta berbicara lain, persekutuan mereka bagai sarang laba-laba. Perwira

militer Portugis menarik kelompok kecil orang kaya dan tidak memiliki kekuatan

militer yang berarti sama sekali untuk menjadi sekutunya. Akhirnya, sejarah

mencatat, persekutuan sarang laba-laba itupun digilas oleh Kesultanan Aceh dan

prajurit kesultanan yang darah dan ruhnya berisi semangat jihad yang selalu bergolak

membela Islam dari cengkeraman bangsa-bangsa penindas; bergolak tanpa henti

menegakan kalimad tauhid Laa Ilaha Illallah. Kemudian, sejarah menulis dengan tinta

emas, pasukan Portugis tidak mampu mengalahkan (bahkan sekadar mengimbangi

kekuataan Aceh saja tidak sanggup). Portugis, hanya mampu lari meninggalkan

seluruh sekutunya untuk dieksekusi dan atau disadarkan oleh Kesultanan Aceh.

Kilas sejarah di atas, sedikit banyak menjadi saripati watak ke-Islaman

Kesultanan Aceh dan warganya saat itu dan masa-masa kemudian. Mereka tidak

hanya handal di bidang militer tetapi juga pada periode keemasannya, ekspor ilmu

pengetahuan dalam bentuk produksi ilmu-ilmu Islam, strategi militer, pengiriman

asset-aset militer sebagai penasehat di beberapa kesultanan di nusantara, juga banyak

aktivitas pengkaderan dan perluasan pengetahuan dilakukan dengan tujuan

(4)

menghambakan dan membebek pada asing untuk kepentingan perutnya sendiri. Inilah

yang menjadi substansi gerakan Kesultanan Aceh melakukan pencerahan dengan

melakukan aliansi bijaksana “bukan penjajahan” sebagaimana yang

digembar-gemborkan oleh bangsa asing yang melarikan diri saat itu maupun bangsa-bangsa

asing penjajah yang datang setelahnya.

B. Melihat Akar PolitiK Aceh hari ini: Sebuah Hipotesa

Jika berkaca pada hari ini, kenyataannya, kesultanan Aceh telah tiada dan

terkubur bersama kejayaan dan semangatnya. Nasib kesultanan Aceh, seolah sama

persis dengan nasib Khilafah Islamiyah di Turki yang dikubur oleh bangsa asing

imperialis yang menggunakan kaki-kaki tangannya yang busuk dan berlumuran darah

kaum muslimin. Ini tragis, sulit diterima, namun inilah kenyataannya. Kekuatan

Kesultanan Aceh yang dibangun berabad-abad lenyap oleh praktik politik eksternal

yang memerangkap dan menguasai teknologi perang saat itu seklaigus tekanan akibat

intrik internal dari kaki-kaki tangan Belanda yang berhasil di suap dan atau dipaksa

menjadi begundal-begundal asing saat itu. Akhirnya, kesultanan Aceh takluk di tahun

1903 dan berevolusi menjadi bagian bangsa yang bernama Indonesia tahun 1945.

Aceh, sebuah bangsa yang dalam sejarahnya selalu mempertahakan akidah

Islamiyahnya, telah bertransformasi ke dalam wadah kenegaraan bernama Indonesia.

Aceh dengan kontribusinya yang sangat besar dan beberapa peristiwa yang

(5)

masih membuktikan diri sebagai Aceh yang tindakannya selalu dalam kaidah fikriyah

Islamiyah.

Nilai-nilai Islam tertuang dalam aktivitas jihad yang berkobar dan terus

diekspor ke wilayah nusantara lainnya demi mewujudkan kenegaraan yang bernama

Indonesia. Semangat ke-Indonesiaan di Aceh bergelora berbagai perang perintisan

kemerdekaan Indonesia dan saat-saat kritis dalam mempertahakan kemerdekaan.

Beberapa contoh yang bisa mewakili, seperti peristiwa Medan Area, peristiwa

Pangkalan Brandan Lautan Api, peristiwa perang mempertahankan Langsa dari NICA

dan Jepang, adalah sederetan bukti betapa gigihnya lascar Mujahidin yang menjadi

lembaga militer naungan prajurit Kesultanan Aceh saat itu melawan agenda colonial

menguasai asset-aset Indonesia. Begitupun, memasuki masa-masa pemerintahan

Soekarno, Soeharto, dan reformasi bahkan hingga hari ini, semangat Islam dalam

urat nadi warga Aceh masih mengalirkan warna Islam dengan semangat yang sama.

C. Berkaca pada praktek Politik Aceh saat ini

Uraian singkat di atas, menunjukan mata rantai bahwa jiwa Islam di Aceh

selalu menjadi semangat dan jati diri yang tidak hanya klaim tetapi secara historis

memang benar adanya. Terkecuali mereka yang anti Islam, tentu selalu memutar fakta

sebaliknya dengan tujuan agar Islam di Aceh bisa dilemahkan.

Lalu, bagaimana dengan saat ini, khususnya pasca Tsunami tahun 2004,

dimana kita ketahui,bangsa-bangsa asing dari berbagai benua masuk ke Aceh dengan

(6)

kebaikan karena latar belakang kehadiran mereka adalah atas dasar kemanusiaan.

Tetapi pasca di tutupnya kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi selesai di tahun 2009

lalu, tanpa disadari mereka meninggalkan sesuatu yang begitu besar sampai-sampai

terjadi perubahan prilaku warga Aceh yang sangat drastis. Dalam tulisan ini, saya

ingin menyoroti perubahan drastic dalam hal pandangan dan kebijakan politik actor

politik dan pemerintahan yang ada pasca Tsunami dan pasca keluarnya

Undang-Undang Pemerintahan Aceh Tahun 2006.

Salah satu yang berubah besar terkait prilaku actor politik dan kebijakan

politik, seperti, pertama, perilaku politik dari pemain politik yang cenderung

kehilangan akarnya. Maksud saya, akar ke-Islaman yang selalu menjadi landasan

berpikir (kaidah fikriyah) pemain politik di Aceh seolah ditinggalkan. Pernyataan ini

memang bisa dibantah dengan produk qanun yang dianggap mewakili sisi ke-Islaman

dan pembiayaan kegiatan serta pembangunan kegiatan ke-Islaman yang lumayan

melimpah, tetapi kita harus sadar bahwa produk ini pun selalu di bantah oleh sesama

pemain politik dan pengesahannya serta pelaksaannya pun berlarut-larut dan banyak

kontraversi. Artinya, produk inipun akan selalu menjadi bahan perdebatan yang tiada

habisnya karena output kegiatan ini tidak melahirkan prestasi yang berarti. Kedua,

cara kita mewakilkan suara politik kita pada wakil rakyat sangatah tidak Islami,

dimana ada koneksi terputus yang terjadi. Pada prakteknya, suara wakil rakyat

(dewan) tidak mencerminkan suara konstituennya melainkan mewakili suara pribadi

dan kelompok kecilnya. Mengapa bisa demikian, karena aturan yang dipakai dalam

(7)

pemikiran sekuler yang diekspor negara-negara kapitalis. Artinya, tata cara

perwakilan politik dan pemilihan pemimpin telah melupakan semangat Islam dan ini

mewarisi semangat barat untuk melemahkan Islam di Aceh. Sebagai contoh, metode

perwakilan suara politik ataupun pemilihan pemimpin dengan cara demokrasi banyak

yang cacat karena mereka yang diusung sebagai wakil rakyat atau

walikota/bupati/gubernur, bisa berlatar belakang apa saja, apakah dari penjual

sabu-sabu, bisa dari tukang judi, bisa dari pembunuh masyarakat, bisa dari koruptor dan

bisa dari orang-orang yang secara akidah Islamnya, perilaku social maupun

budayanya cacat dan merugikan. Tetapi, karena metode pemilihannya seperti

sekarang ini tidak berbasis Islam, maka mereka bisa terpilih asal mendapat suara

mayoritas. Walaupun suara mayoritas itu didapatkan dengan cara-cara yang mungkar

dan jauh dari kebenaran.

Ketiga, ketika menang, seorang pemimpin produk sistem seperti ini pada

umumnya tidak merujuk pada sumber-sumber Islam dalam tindakan kebijakannya.

Kebiasaan saat ini, mereka lebih memilih pemikiran-pemikiran yang jauh dari

nilai-nilai Islam saat menjalankan peraturan yang mereka buat sendiri. Akhirnya, praktek

pemerintahan juga jauh dari Islam. Pada akhirnya, kegagalan pemerintahan terlihat

dari statistic ketidakpuasan warga atas pelayanan, maraknya kolusi korupsi dan

nepotisme dalam birokrasi serta lain sebaginya.

Ketiga prilaku politik seperti di atas, bisa disebut wabah penyakit di Aceh saat

ini. Mengapa, produk yang mereka buat, secara factual tidaklah mengarah tindakan

(8)

cinta dunia yang akut. Jika ditelusuri, kita akan menemukan bahwa asal usul penyakit

ini adalah buah impor dari bangsa lain yang sekuler yang mereka agungkan. Inilah

pusat sumber kerusakannya, sehingga tidaklah mengherankan jika Aceh akan selalu

gagal mendapatkan kesejahteraannya.

Pemikiran politik Islam di Aceh, ditinggalkan oleh generasi sekarang, dan

memilih tata cara berpolitik ala demokrasi yang membenarkan semua cara asal

mendapat dukungan suara. Dan pun saat menang, mereka tidak punya kewajiban

mewujudkan janji-janjinya karena mereka memahami janji itu bagian dari akal-akalan

politik.

Jika kita orang yang berakal, maka kita akan menemukan kesadaran bahwa

hasil sistem politik seperti ini hanya menghasilkan penindasan, kebohongan dan

kehampaan yang berujung penderitaan. Maraknya cara-cara suap, cara menekan, cara

mengancam, cara berkolusi-- apakah menggunakan uang hasil korupsi, uang hasil

rampokan, uang hasil judi atau uang dari para konglomerat hitam, semuanya tidak

menjadi penting. Asalkan menang, semua bisa di atur, demikian prinsip pemain

politik yang laknatullah.

Inilah yang menjadi prinsip-prinsip dasar pemenangan yang membahayakan

jati diri orang Aceh saat ini. Para pemain politik baik di level birokrasi maupun

praktisi partai politik, sepertinya meninggalkan secara sadar amanah sejarah Aceh

yang besar dengan nilai-nilai politik Islam.

(9)

Apa yang terjadi di atas, merupakan buah beracun yang diekspor agen-agen

penjajah yang selalu berpikir menghancurkan Islam di negeri-negeri Islam termasuk

Aceh. Mereka sangat dengki dengan keagungan dan kebesaran Islam sehingga

negara-negara penjajah berusaha menjauhkan Islam dari orang Islam. Lalu, mereka

berusaha mengubah orang Islam menjadi manusia-manusia yang meninggalkan

Islam. Dan, kegiatan ini tidak akan pernah mereka hentikan sampai orang Islam

termasuk di Aceh berubah menjadi orang-orang yang memisahkan dirinya dari

semangat Islam (baca: sekuler).

Dengan dikuasainya parlemen dan pemerintahan di Aceh oleh orang-orang

yang tidak memahami Islam, maka agenda kolonialis memisahkan Islam dari Aceh

telah sukses satu langkah. Apa yang terjadi ini menjadi barometer bagi kita betapa

Islam secara perlahan hendak dilenyapkan dalam jati diri masyarakat Aceh, dan, bisa

saja menjadi kenyataan, cepat atau lambat, karena mereka menggunakan agen-agen

local (penghianat Islam) untuk meracuni dan memberikan mimpi kepada rakyat Aceh.

Sebagai penutup tulisan singkat ini, seruan kembali ke Islam harus

disampaikan kepada para pemain politik di Aceh. Bukan hanya untuk mengembalikan

jati diri bangsa Aceh yang islam dan berkontribusi menyelamatkan negara yang

bernama Indonesia, tetapi juga untuk menjaga martabat bangsa ini di mata Allah

Referensi

Dokumen terkait

Hal tersebut sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 yang berbunyi: “Peraturan perkumpulan-perkumpulan Koperasi Indo- nesia (Bumiputera) sebagai yang dimaksud dalam ordonansi tanggal

Penggunaan hutang yang besar akan meningkatkan beban bunga yang ditanggung perusahaan, sehingga dapat menurunkan profitabilitas perusahaan, hal tersebut ditunjukan

Aktivitas lainnya adalah mengubah kode matakuliah yang salah, memasukan nilai mahasiswa dari dosen ke komputer yang terhubung LAN UNY, mencetak KHS (kartu hasil studi),

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh dari unsur- unsur dalam sistem pengendalian manajemen terhadap efektivitas kinerja karyawan PT Kereta Api

Melalui analisis organisasi, analisis tugas dan analisis personal yang telah dilakukan, maka akan ditentukan matriks kategorisasi pelatihan K3 berdasarkan tujuan

Jika diambil dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, noda adalah bercak sehingga menjadikan adanya noda. Noda tersebut dapat mengotori, mencemarkan; menjelekan;merusak. 11

Penelitian ini memiliki empat tujuan yaitu untuk mendeskripsikan (1) Mendeskripsikan latar sosio historis pengarang novel Cerita Calon Arang, (2) Mendeskripsikan