• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hemodiafiltrasi 054 . (998.4Kb)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hemodiafiltrasi 054 . (998.4Kb)"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

PEDOMAN PENATALAKSANAAN GAGAL GINJAL KRONIK

Abdurrahim R Lubis, Radar R Tarigan, Bayu R Nasution, Sumi Ramadani, Arina Vegas

Divisi Nefrologi- Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

RSUP. H Adam Malik Medan

Pendahuluan

Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap berupa dialysis atau transplantasi ginjal.1

Kriteria penyakit ginjal kronik :1

1. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan structural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi : - Kelainan Patologis

– Terdapat tanda kelainan ginjal termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests)

2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3 bulan, dengan

atau tanpa kerusakan ginjal.

Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG sama atau tidak lebih dari 60 ml/menit/1,73m2 , tidak termasuk criteria penyakit ginjal kronik.

(2)

(140 – umur) x Berat Badan LFG(ml/mnt/1,73m2 =

72 x kreatinin plasma ( mg/dl)

Pada wanita dikalikan 0,85.

Tabel 1. Klasifikasi stadium Gagal Ginjal Kronik.

Tabel 2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Atas Dasar Diagnosis Etiologi.1

Penyakit Tipe Mayor

Penyakit Ginjal Diabetes Diabetes Tipe 1 dan 2

Penyakit Ginjal Non Diabetes Penyakit Glomerular, Penyakit Vaskular, Penyakit Tubulointerstisial, Penyakit Kistik

Penyakit Pada Transplantasi Rejeksi kronik, Keracunan Obat ( siklosporin/takrolimus), Penyakit recurrent (glomerular), Transplant glomerulopathy

Epidemiologi

(3)

ginjal pertahunnya. Di negara-negara berkembang lainnya insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk pertahun.1

Di Jepang, sejumlah pasien dengan gagal ginjal kronik diperkirakan sekitar 13 juta. Di antaranya, jumlah pasien dialisis, yang menunjukkan stadium terminal, mencapai 282.000 pada akhir tahun 2008. Setiap tahun, lebih dari 37000 pasien gagal ginjal kronik melakukan terapi dialisi akibat diabetic nefropati, glomerulonefritis kronik, nefrosklerosis, penyakit polikistik ginjal atau glomerulonefritis yang cepat progresif ( dengan urutan menurun). Meskipun jumlah pasien dialisis baru akibat glomerulonefritis kronik berkurang, jumlah kasus baru terkait dengan diabetes, hipertensi, dan arteriosclerosis semakin banyak.2,3

(4)
(5)

Pendekatan Diagnostik

Gambaran Klinis

Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi :1

a. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes mellitus, infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemia,SLE,dll.

b. Sindroma Uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual,muntah, nokturia, kelebihan volume cairan ( volume overload ), neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma.

c. Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, klorida)

Gambaran Laboratoris

Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi :1 a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya

b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft Gault. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal. c. Kelainan biokomiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan

kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik.

d. Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria, cast, isosteinuria.

Gambaran Radiologis

Gambaran radiologis penyakit ginjal kronik meliputi :1

(6)

b. Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan.

c. Pielografi antegrad atau retrograde dilakukan sesuai dengan indikasi.

d. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi

e. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjalan bila ada indikasi

Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologis Ginjal1

Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana didiagnosis secara non invasive tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi ginjal indikasi kontra dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal yang sudah mengecil ( contracted kidney ), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal napas dan obesitas.

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi :1

1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya

2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid ( comorbid condition ) 3. Memperlambat perburukkan fungsi ginjal.

4. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular 5. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi

(7)

Tabel 3. Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik Sesuai Dengan Derajatnya.

Derajat LFG (ml/mnt/1,73m2) Rencana Tatalaksana

1 ≥ 90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid,evaluasi perburukkan fungsi ginjal, memperkecil resiko kardiovaskular.

2 60-89 Menghambat perburukkan fungsi ginjal 3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi

4 15-29 Persiapan terapi pengganti ginjal 5 < 15 Terapi pengganti ginjal

Tabel 4. Pembatasan Asupan Protein Dan Fosfat Pada Penyakit Ginjal Kronik

LFG (ml/mnt/1,73m2) Asupan Protein g/kg/hari Fosfat g/kg/hari

>60 Tidak dianjurkan Tidak dibatasi

25-60 0,6-0,8/kg/hari, termasuk

≥0,35gr/kg/hr nilai biologi tinggi

≤10 g

25-60 0,6-0,8/kg/hari, termasuk

≥0,35gr/kg/hr nilai biologi tinggi atau tambahan 0,3 g asam amino essensial atau asam keton

≤10 g

<60 ( sindrom Nefrotik ) 0,8/kg/hr ( + 1 g protein/g proteinuria atau 0,3 g/kg tambahan asam amino essensial atau asam keton

≤ 9 g

(8)

kronik untuk memfasilitasi perawatan pasien ini oleh dokter umum dan spesialis, termasuk spesialis penyakit dalam, ahli endokrinologi, spesialis jantung, dan spesialis nefrologi. Secara khusus, pedoman ini dibuat untuk perawatan pasien yang tidak menerima dialisis. Dalam ulasan ini, kami menguraikan rekomendasi dari pedoman mengenai aspek pengobatan gagal ginjal kronik, termasuk target untuk berbagai abnormalitas, strategi untuk pengobatan dan frekuensi follow up berdasarkan bukti yang tersedia.7

Setiap rekomendasi digolong-golongkan dengan menggunakan skema yang dibentuk oleh Canadian Hypertension Education Program8 dan digunakan oleh Canadian Society of Nephrology Guidelines Committee. Kriteria untuk menggolong-golongkan rekomendasi ini

berkisar dari yang mencerminkan penelitian yang sangat valid, tepat dan dapat diaplikasikan (derajat A) sampai yang berdasarkan pada tingkat bukti yang lebih rendah dan pendapat ahli (derajat D). Derajat B dan C mengacu pada penelitian dengan validitas yang lebih rendah derajatnya, termasuk hasil atau perhitungan hasil peneltian lainnya.

Rekomendasi klinis

Rujukan pasien dewasa dengan berkurangnya fungsi ginjal

Tersedia pedoman untuk pemberi pelayanan primer dan para spesialis untuk merujuk pasien dengan gagal ginjal kronik ke spesialis nefrologi. Kebanyakan kasus gagal ginjal kronik nonprogresif dapat diobati tanpa perlu merujuk ke spesialis nefrologi. Merujuk ke spesialis nefrologi biasanya direkomendasi pada pasien dengan gagal ginjal akut, kecepatan filtrasi glomerulus persisten kira-kira kurang dari 30mL/menit/ 1.73m2, berkurang fungsi ginjal secara

progresif, rasio protein urin dengan kreatinin lebih besar dari 100mg/mmol (sekitar 900mg/24 jam) atau rasio albumin urin dengan kreatinin lebih besar dari 60mg/mmol (sekitar 500mg/24 jam), ketidakmampuan untuk mencapai target pengobatan, atau cepatnya perubahan fungsi ginjal.

Hipertensi

(9)

ginjal kronik proteinuria dan nonproteinuria, dan pengobatan hipertensi dalam hubungan dengan diabetes dan penyakit vaskular renal pembuluh darah besar.

Tabel 5. Pedoman untuk pengobatan hipertensi pada pasien dengan gagal ginjal kronik

Pasien tanpa diabetes

 Bagi pasien dengan gagal ginjal kronik proteinuria (rasio albumin urin dengan kreatinin≥ 30mg/mmol), terapi antihipertensi seharusnya termasuk ACE inhibitor (derajat A) atau angiotensin- receptor blocker pada kasus yang tidak toleran terhadap ACE inhibitor (derajat D).

 Tekanan darah seharusnya ditargetkan kurang dari 130/80 mm Hg (derajat C)

 Bagi pasien dengan gagal ginjal kronik nonproteinuria (rasio albumin dengan kreatinin <30mg/mmol), terapi antihipertensi seharusnya termasuk baik ACE inhibitor (derajat B), angiotensin-receptor blocker (derajat B), diuretik tiazid (derajat B), beta bloker (pasien

yang berusia 60 tahun atau kurang, derajat B) atau long acting calcium channel blocker (derajat B).

Pasien dengan diabetes

 Terapi antihipertensi seharusnya termasuk ACE inhibitor (derajat A) atau angiotensin- receptor blocker (derajat A).

 Tekanan darah seharusnya ditargetkan kurang dari 130mm Hg sistolik (derajat C) dan kurang dari 80 mmHg diastolic (derajat B).

Pasien dengan penyakit vaskular renal pembuluh darah besar

 Hipertensi renovaskular seharusnya diobati dengan cara yang sama seperti untuk nondiabetik, gagal ginjal kronik non-proteinuria. Harus hati-hati dengan penggunaan ACE inhibitor atau angiotensin-receptor blocker karena risiko gagal ginjal akut (derajat D).

(10)

Diabetes

Pasien dengan diabetes berisiko meningkat untuk terjadinya gagal ginjal kronik dan kejadian kardiovaskular. Kontrol kadar glukosa darah pada pasien dengan gagal ginjal kronik mungkin bermasalah karena meningkatnya atau berubahnya sensitivitas terhadap rejimen konvensional, bervariasi anjuran diet dan masalah kepatuhan terkait dengan diperlukannya kerumitan dalam perawatan. Karena itu, penting untuk para klinisi untuk menyadari pentingnya kontrol glikemik bagi pasien ini.10-15 Saat ini terdapat keterbatasan bukti untuk membimbing rekomendasi pengobatan diabetik pada populasi gagal ginjal kronik . Akibatnya, pernyataan terbatas dalam lingkup. Rekomendasi ini tidak dimaksudkan untuk mengganti Canadian Diabetes Association Guidelines tetapi lebih untuk fokus pada aspek perawatan spesifik untuk

pasien dengan gagal ginjal kronik . Informasi tambahan tersedia pada pedoman praktek klinis dari Canadian Diabetes Association.16

Tabel 6. Pedoman untuk pengobatan diabetes pada pasien dengan gagal ginjal kronik

Kontrol glikemik

 Target untuk kontrol glikemik, daiman mereka dapat dicapai dengan aman, seharusnya mengikuti Canadian Diabetes Association Guideline (hemoglobin A1c<7.0%, kadar

glukosa darah puasa 4-7 mmol/L) (derajat B)

 Kontrol glikemik seharusnya merupakan bagian dari strategi intervention multifaktorial yang menyebutkan kontrol tekanan darah dan risiko kardiovaskular, dan mendukung penggunaan ACE inhibitor, angiotensin receptor blocker, statin dan asam asetilsalisilat (derajat A).

Penggunaan metformin pada diabetes mellitus tipe 2

 Metformin direkomendasi untuk kebanyakan pasien dengan tipe diabetes 2 dengan gagal ginjal kronik stadium 1 atau 2 yang memiliki fungsi renal stabil yang tidak berubah selama 3 bulan terakhir (derajat A).

 Metformin mungkin dilanjutkan pada pasien dengan gagal ginjal kronik stabil stadium 3 (derajat B).

(11)

akut dalam fungsi renal atau selama periode penyakit yang dapat menimbulkan perubahan tersebut (misalnya ketidaknyamanan gastrointestinal atau dehidrasi) atau menyebabkan hipoksia (misalnya gagal jantung atau respirasi). Perawatan khusus seharusnya dilakukan untuk pasien yang juga mengkonsumsi ACE inhibitor, angiotensin receptor blocker, obat antiinflamasi nonsteroid atau diuretik, atau setelah pemberian

kontras intravena karena risiko gagal ginjal akut dan sehingga akumulasi asam laktat, terbesar untuk pasien ini.

Pilihan agen lain yang mengurangi glukosa

 Menyesuaikan pilihan agen lain yang mengurangi glukosa (termasuk insulin) pada pasien individu, tingkat fungsi renal dan komorbiditas (opini derajat D).

 Risiko hipoglikemia seharusnya dinilai secara teratur untuk pasien yang memakai insulin atau insulin secretagogue. Pasien ini seharusnya diajarkan bagaimana mengenali, mendeteksi dan mengobati hipoglikemia (opini derajat D).

Rekomendasi praktek klinis: Sulfonilurea kerja pendek (misalnya gliclazide) dipilih melebihi agen kerja panjang untuk pasien dengan chronic kidney disease.

Catatan: ACE= angiotensin converting enzyme.

Metformin merupakan agen hipoglikemik oral yang murah dan efektif yang direkomendasi sebagai terapi lini pertama untuk pasien yang berlebih berat badan dan tidak dengan diabetes mellitus tipe 2.16 Metformin telah terbukti efektif pada pasien obesitas dan tidak.17 Terdapat banyak kekhawatiran mengenai keamanan metformin pada gagal ginjal kronis, terutama risko terjadi asidosis laktat. Sebuah tinjauan Cochrane dari 206 penelitian termasuk 47846 pasien- tahun paparan terhadap metformin tidak menemukan kasus asidosis laktat fatal atau nonfatal.18 Ulasan laporan kasus dari asidosis laktat terkait metformin memberi kesan bahwa metformin mungkin merupakan coprecipitant dari asidosis laktat, karena kasus paling sering terlihat pada gagal ginjal akut (atau acute on chronic) (sering dipercepat dengan angiotensin- converting enzyme inhibitor atau obat nonsteroid anti inflammatory) atau terkait

(12)

Dislipidemia

Terdapat tingginya prevalensi dislipidemia di antara pasien pada setiap stadium gagal ginjal kronik20 .Karena itu, skrining, evaluasi dan intervensi terapeutik untuk kontrol

dislipidemia penting dilakukan. Sayangnya, karena kebanyakan penelitian klinis telah menyingkirkan pasien dengan gagal ginjal kronik, dengan evidence base terbatas. Namun, pedoman yang berusaha untuk menyebutkan pertanyaan utama terkait abnormalitas lipid pada pasien dengan gagal ginjal kronik . Tersedia beberapa data mengenai frekuensi optimal dari pengukuran lipid pada pasien dengan gagal ginjal kronik; karena itu, kelompok kerja merekomendasi untuk mengikuti pedoman yang ada untuk populasi umum.21 Analisis subkelompok dari penelitian telah menunjukkan bahwa terapi statin mengurangi risiko kejadian kardiovaskular pada pasien dengan gagal ginjal kronik stadium 1-3.22-24 Karena itu, kami memberi kesan bahwa dokter meresepkan terapi statin seperti pada pedoman lipid yang sudah ada sebelumnya. Tidak ada bukti yang mendukung pemantauan serial rutin dari kreatinin kinase dan alanin aminotransferase pada pasien dengan gagal ginjal kronik yang menerima terapi statin dosis rendah sampai sedang.25,26,27

Tabel 7. Pedoman untuk pengobatan dislipidemia pada pasien dengan gagal ginjal kronik

Skrining

 Profil lipid puasa (total kolesterol, kolesterol LDL, dan trigliserida) seharusnya diukur pada orang dewasa dengan gagal ginjal kronik stadium 1-3 (derajat A).

 Profil lipid puasa seharusnya diukur pada orang dewasa dengan gagal ginjal kronik stadium 4 yang hanya jika hasil akan mempengaruhi pilihan untuk memulai atau mengubah pengobatan yang memodifikasi lipid (derajat D).

Frekuensi pengukuran profil lipid

 Profil lipid seharusnya diukur setelah puasa semalaman (idealnya ≥12 jam) (derajat A).

 Kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL dan trigliserida seharusnya diukur (derajat A)

(13)

dimonitor setiap 6-12 bulan jika hasil dapat mempengaruhi pilihan terapi berikutnya (derajat D).

Pengobatan

 Terapi statin seharusnya dimulai untuk pasien dengan gagal ginjal kronik stadium 1-3 berdasarkan pedoman lipid yang ada untuk populasi umum (derajat A).

 Pada pasien dengan gagal ginjal kronik stadium 1-3, para klinisi seharusnya mempertimbangkan mengtitrasi dosis statin berdasarkan pedoman lipid untuk populasi umum (derajat B).

 Para klinisi seharusnya mempertimbangkan untuk memulai terapi statin untuk pasien dengan gagal ginjal kronik stadium 4 dan mentitrasi dosis untuk mencapai kadar kolesterol LDL <2 mmol/L dan rasio total kolesterol dengan kolesterol HDL < 4mmol/L (derajat B).

 Gemfibrozil (1200mg setiap hari) mungkin dipertimbangkan sebagai alternatif pengobatan statin untuk pasien dengan gagal ginjal kronik (stadium 1-3) yang berisiko kardiovaskular intermediate atau tinggi dengan kadar kolesterol HDL rendah (<1.0 mmol/L) (derajat B).

 Trigliserida puasa >10mmol/L pada stadium gagal ginjal kronik manapun seharusnya diobati dengan perubahan gaya hidup dan menambah gemfibrozil atau niasin, seperti yang diperlukan untuk mengurangi risiko pankreatitis akut (derajat D). Data saat ini tidak mendukung mengobati hipertrigliseridemia sebagai strategi untuk mengurangi risiko kardiovaskular (derajat A).

Pemantauan efek samping obat

 Pemantauan serial kreatinin kinase dan alanin aminotransferase tidak diperlukan untuk pasien asimtomatik dengan gagal ginjal kronik (stadium manapun) yang mengonsumsi dosis statin rendah sampai sedang (≤ 20mg/ hari simvastatin atau atorvastatin, atau dosis setara statin lainnya) (derajat A).

(14)

 Statin dan fibrat seharusnya tidak diberikan bersamaan pada pasien dengan gagal ginjal kronik stadium 4 karena risiko rabdomiolisis (derajat D).

 Gemfibrozil aman untuk digunakan pada pasien dengan gagal ginjal kronik . Preparat fibrat lain (misalnya, fenofibrat) seharusnya dicegah atau dosis secara signifikan dikurangi untuk pasien dengan gagal ginjal kronik stadium 2-4 karena meningkatnya risiko toksisitas (derajat D).

Catatan: ACE= angiotensin- converting enzyme, HDL= high density lipoprotein, LDL= low density lipoprotein.

Pedoman gaya hidup

Bagian pedoman ini menekankan pentingnya pengobatan gaya hidup dalam mengobati pasien dengan terganggunya fungsi renal. Karena gagal ginjal kronik memiliki faktor risiko umum yang sama dengan penyakit kardiovaskular dan diabetes, modifikasi gaya hidup yang diarahkan pada merokok, obesitas, konsumsi alkohol, olahraga dan diet penting dilakukan. Asupan protein diet telah menjadi fokus beberapa penelitian. Meskipun begitu, kurang bukti yang menyakinkan bahwa restriksi asupan protein jangka panjang (<0.70 g/kg/ hari) memperlambat perkembangan gagal ginjal kronik . Karena itu, diet dengan protein terkontrol (0.8 -1 g/kg/hari) direkomendasi.28-29,30

Tidak terdapat penelitian mengenai restriksi garam dan perkembangan atau progresi gagal ginjal kronik. Meskipun begitu, tersedia manfaat mengurangi garam karena mereka berhubungan dengan perkembangan dan kontrol hipertensi dan dimasukkan dalam pedoman.31,32

Tabel 8. Pedoman untuk gaya hidup pasien dengan gagal ginjal kronik

Berhenti merokok

 Seharusnya didukung berhenti merokok untuk mengurangi risiko terjadinya gagal ginjal kronik dan stadium akhir penyakit ginjal, dan untuk mengurangi risiko penyakit kardiovaskular (derajat D).

Mengurangi berat badan

(15)

seharusnya didukung untuk mengurangi IMT mereka untuk mengurangi risiko terjadinya gagal ginjal kronik dan stadium akhir penyakit ginjal (derajat D).

 Mempertahankan berat badan sehat (IMT 18.5- 24.9 kg/m2, lingkar pinggang <102cm untuk

laki-laki, <88 untuk wanita) direkomendasi untuk mencegah hipertensi (derajat C) atau untuk mengurangi tekanan darah pada yang dengan hipertensi (derajat B). Semua orang yang berlebih berat badan dengan hipertensi seharusnya disarankan utnuk mengurangi berat badan (derajat B).

Kontrol protein diet

 Diet terkontrol protein (0.8- 1.0 g/kg/ hari) direkomendasi untuk orang dewasa dengan gagal ginjal kronik (derajat D).

 Restriksi protein diet <0.7g/kg/hari seharusnya termasuk pemantauan penanda klinis dan biokimia dari defisiensi nutrisi (derajat D).

Asupan alkohol

 Untuk mengurangi tekanan darah, konsumsi alkohol pada orang normotensi dan hipertensi seharusnya sejalan dengan pedoman Canadian untuk risiko rendah. Orang dewasa sehat seharusnya membatasi konsumsi alkohol untuk 2 minimuan atau kurang per hari, dan konsumsi seharusnya tidak melebihi 14 minuman standar per minggu untuk laki-laki dan 9 minuman standar per minggu untuk wanita (derajat B).

Olahraga

 Orang tanpa hipertensi (untuk mengurangi kesempatan menjadi hipertensi) atau tanpa dengan hipertensi (untuk menurunkan tekanan darah mereka) seharusnya didukung untuk mengakumulasi 30-60 menit olahraga dinamik intensitas sedang (berjalan, berlari, bersepeda, atau berenang) 4-7 hari per minggu (derajat D). Intensitas olahraga lebih tinggi tidak lebih efektif.

Asupan garam

 Untuk mencegah hipertensi, asupan sodium <100mmol/hari direkomendasi, selain diet yang seimbang (derajat B).

(16)

Proteinuria

Proteinuria dimasukkan dalam pedoman karena ini merupakan penanda kerusakan ginjal dan merupakan faktor risiko penting untuk perkembangan gagal ginjal kronik serta morbiditas dan mortalitas kardiovaskular.33,34 Adanya proteinuria pada 2 dari 3 sampel urin berturut-turut

diperlukan untuk menentukan proteinuria persisten pada kecepatan filtrasi glomerulus manapun. Metode skrining yang dipilih untuk proteinuria merupakan pengukuran acak tunggal dari rasio protein urin dengan kreatinin atau albumin dengan kreatinin.35,36 Saat ini, skrining berbasis populasi untuk proteinuria tidak direkomendasi. ACE inhibitor dan angiotensin receptor blocker efektif dalam mengurangi ekskresi protein.37-42 Terapi nonfarmakologi kurang efektif.43-44 Tingkat proteinuria dimana ACE inhibitor atau angiotensin receptor blocker yang seharusnya dimulai telah ditetapkan untuk pasien dengan hipertensi dan yang dengan diabetes. Bagi pasien tanpa hipertensi atau diabetes, tidak terdapat cukup bukti untuk menentukan tingkat proteinuria dimana untuk memulai terapi dengan ACE inhibitor atau angiotensin-receptor blocker. Meskipun begitu, penelitian besar menunjukkan manfaat pengobatan ACE- inhibitor daripada pengobatan antihipertensi konvensional di antara pasien dengan 1 atau lebih gram proteinuria per hari (rasio protein dengan kreatinin sekitar 100mg/mmol).45,46

Tabel 9. Pedoman untuk pengukuran dan pengobatan proteinuria pada pasien dengan gagal ginjal kronik

Pengukuran proteinuria

 Skrining untuk proteinuria seharusnya dilakukan untuk semua pasien yang berisiklo tinggi terjadinya penyakit ginjal (pasien dengan diabetes, hipertensi, penyakit vaskular, penyakit autoimun, diperkirakan kecepatan filtrasi glomerulus <60ml/menit/ 1.73 m2 atau

edema (derajat D).

 Skrining seharusnya dilakukan dengan sampel urin acak untuk mengukur rasio protein dengan kreatinin atau albumin dengan kreatinin. Untuk pasien dengan diabetes, pemeriksaan rasio albumin dengan kreatinin seharusnya dilakukan untuk mengskrining penyakit ginjal (derajat B).

(17)

tingginya risiko perkembangan menjadi stadium akhir penyakit ginjal (derajat D).

Pengobatan

 Orang dewasa dengan diabetes dan albuminuria persisten (rasio albumin dengan kreatinin >2mg/mmol untuk laki-laki, >2.8 mg/mmol untuk wanita) seharusnya menerima ACE inhibitor atau angiotensin receptor blocker untuk memperlambat perkembangan gagal ginjal kronik (derajat A).

 ACE inhibitor dan angiotensin receptor blocker merupakan obat pilihan untuk mengurangi proteinuria (derajat A).

 Pada pasien yang dipilih dengan hati-hati, antagonis reseptor aldosteron mungkin mengurangi proteinuria (derajat D)

 Diet terkontrol protein, serta berkurangnya berat badan (untuk pasien yang meningkat indeks massa tubuh), mungkin memberikan sebagian manfaat dalam mengurangi proteinuria (derajat D).

Catatan ACE: angiotensin- converting enzyme

Anemia

(18)

dalam mengobati anemia.53-54 Kami merekomendasi bahwa bentuk besi oral dipertimbangkan

teristimewa daripada bentuk intravena.

Tabel 10.

Pedoman untuk pengobatan anemia pada pasien dengan gagal ginjal kronik stadium 3-5

Penilaian

 Anemia didefinisikan sebagai kadar hemoglobin <135g/L untuk laki-laki dewasa dan <120g/L utnuk dewasa wanita (derajat D).

Evaluasi awal

 Mempertimbangkan memeriksa pasien dengan kadar hemoglobin <120g/L untuk berikut (derajat D< opini): kadar hemoglobin, jumlah leukosit dan, jumlah platelet, indeks eritrosit, jumlah retikulosit absolute, serum feritin dan saturasi transferin.

Penggunaan agen yang menstimulasi eritropoiesis

 Untuk pasien dengan anemia dan cadangan besi yang adekuat, agen yang menstimulasi eritropoiesis seharusnya dimulai jika kadar hemoglobin berkurang di bawah 100g/L (derajat D).

 Untuk pasien yang mendapat agen yang menstimulasi eritropoesis, target kadar hemoglobin seharusnya 110g/L (derajat A). Kisaran hemoglobin yang dapat diterima adalah 100-120g/L

 Agen yang menstimulasi eritropoiesis seharusnya diresepkan bersama-sama dengan spesialis yang berpengalaman dalam meresepkan agen ini (derajat D).

Menggunakan terapi besi

 Untuk pasien yang tidak menerima agen yang menstimulasi eritropoiesis dan yang kadar hemoglobin <119g/L, besi seharusnya diberikan untuk mempertahankan kadar feritin >100ng/mL dan saturasi transferin>20% (derajat D).

 Untuk pasien yang mendapat agen yang stimulasi eritropoiesis, besi seharusnya diberikan untuk mempertahankan kadar feritin>100ng/mL dan saturasi transferin >20% (derajat D).

(19)

 Pasien yang tidak mencapai target serum feritin atau saturasi transferin atau keduanya ketika mengonsumsi bentuk besi oral atau yang tidak menolerir bentuk oral seharuanya menerima bentuk besi intravena (derajat D).

Metabolisme mineral

Fungsi ekskretorik renal berperan penting dalam mempertahankan keseimbangan kalsium dan fosfat. Karena gagal ginjal kronik progresif menyebabkan perkembangan hiperfosfatemia dan hipokalsemia, bagian pedoman ini fokus pada penilaian dan pengobatan abnormalitas mineral. Perubahan metabolic ini mungkin berperan dalam patofisiologi kalsifikasi vaskular serat penyakit tulang. Potensial untuk penyakit tulang mungkin ditingkatkan dengan adanya asidosis, yang mungkin diobati dengan menggunakan bikarbonat oral. Ginjal juga merupakan lokasi 1α- hidroksilasi dari 25- hidroksivitamin D menjadi bentuk aktif ini, 1,25- dihidroksivitamin D (kalsitriol). Seiring dengan berkurangnya fungsi renal dalam gagal ginjal kronik , defisiensi kalsitriol mendukung hyperplasia kelenjar paratiroid dan meningkatnya sintesis hormon paratiroid, akhirnya menyebabkan hiperparatiroidisme sekunder.

Saat ini, terdapat bukti yang terbatas mengenai dampak abnormalitas metabolisme mineral atau pengobatannya pada pasien dengan gagal ginjal kronik yang tidak menerima dialisis. Rekomendasi kami terutama dihitung dari data yang diperoleh dari pasien yang menerima dialisis. Karena itu, pernyataan terbatas dalam lingkup karena perlunya evidence base. Penelitian observasional pada populasi umum dan gagal ginjal kronik dan dialisis memberi kesan adanya hubungan antara abnormalitas metabolic tersebut pada gagal ginjal kronik dan risiko mortalitas.55,56,57 Meskipun begitu, hingga saat ini, tidak terdapat penelitian acak yang menunjukkan bahwa meningkatnya kontrol metabolik mempengaruhi kelangsungan hidup. Dengan tidak adanya data yang mendukung fraktur atau berkurangnya mortalitas dengan hasil kontrol metabolik, kelompok kerja mempertimbangkan praktek terbaik adalah mempertahankan kadar kalsium dan fosfat normal dan suplementasi dengan vitamin D aktif jika kadar hormone paratiroid meningkat. Tidak terdapat bukti yang cukup yang menyarankan pengukuran rutin 25- hidroksivitamin D. Modifikasi diet awalnya direkomendasi, yang diikuti dengan terapi pengikat fosfat yang mengandung kalsium (kalsium glukonat atau kalsium asetat)58. Dengan tidak adanya

(20)

mengandung kalsium (sevelamer dan lanthanum), agen ini tidak dapat direkomendasi. Pada kenyataannya, dampak ekonomi potensial di Kanada mungkin menjadi penghalang.59

Tabel 11. Pedoman untuk penilaian dan pengobatan abnormalitas metabolisme mineral pada pasien dengan gagal ginjal kronik

Penilaian dan target terapeutik

 Kadar serum kalsium, fosfat, dan hormone paratiroid seharusnya diukur pada orang dewasa dengan gagal ginjal kronik stadium 4 dan 5, dan untuk orang dewasa dengan gagal ginjal kronik stadium 3 dan berkurangnya fungsi renal secara progresif (derajat D, opini).

 Kadar serum fosfat seharusnya dipertahankan dalam kisaran normal (derajat C).

 Kadar kalsium serum seharusnya dipertahankan dalam kisaran normal (derajat D).

 Kadar hormon paratiroid utuh mungkin meningkat di atas nilai normal; kadar target hormone serum paratiroid utuh tidak diketahui (derajat D).

Pilihan pengobatan

 Restrisi fosfat seharusnya digunakan terus menerus untuk mengobati hiperfosfatemia (derajat D).

 Terapi dengan pengikat fosfat yang mengandung kalsium (kalsium karbonat atau kalsium asetat) seharusnya dimulai jika restriksi makanan gagal untuk mengontrol hiperfosfatemia dan jika tidak ditemukan hiperkalsemia (derajat D).

 Jika terbentuk hiperkalsemia, dosis pengikat fosfat yang mengandung kalsium atau analog vitamin D seharusnya dikurangi (derajat D).

 Hipokalsemia seharusnya dikoreksi jika pasien memiliki gejala klinis atau jika terkait dengan meningkatnya kadar hormone paratiroid (derajat D).

(21)

 Tidak ada bukti yang cukup untuk merekomendasi penggunaan pengikat fosfat yang tidak mengandung kalsium, analog vitamin D baru atau kalsimimetik (derajat D).

Terapi Pengganti Ginjal

Meskipun secara keseluruhan tujuan pedoman dan rekomendasi adalah untuk memperlambat perkembangan gagal ginjal kronik dan komplikasinya, proporsi pasien akan memerlukan terapi pengganti ginjal (baik dialisis atau transplantasi) untuk memperlama kehidupannya. Tujuan bagian pedoman ini adalah untuk menggambarkan aspek edukasi, perawatan dan proses yang perlu untuk mengoptimalisasi persiapan pasien ini untuk terapi pengganti ginjal.Dokter dan pemberi perawatan kesehatan harus waspada dengan perlunya persiapan dan diperlukan waktu untuk melaksanakan rencana perawatan ini.

(22)

Tabel 12. Pedoman untuk persiapan memulai terapi pengganti ginjal untuk pasien dengan gagal ginjal kronik

Komponen perawatan sebelum dimulai

 Jika layak, pasien dengan GFR kira-kira <30mL/ menit/m2 seharusnya menerima perawatan dalam kondisi multidisiplin yang termasuk dokter, perawat, ahli nutrisi dan pekerja social (derajat C).

 Program edukasi predialisis seharusnya termasuk modifikasi gaya hidup, pengobatan, pemilihan modalitas dan akses vaskular serta pilihan untuk transplantasi ginjal (derajat D, opini).

Waktu mulai

 TIdak ada bukti saat ini ada mengenai rekomendasi GFR dimana terapi pengganti ginjal seharusnya dimulai tanpa adanya komplikasi gagal ginjal kronik (derajat D, opini).

 Pasien dengan kira-kira GFR <20ml/menit/m2 mungkin memerlukan awal terapi pengganti ginjal jika yang berikut ini ditemukan: gejala klinis uremia (setelah menyingkirkan penyebab lain), komplikasi metabolic refrakter (hiperkalemia, asidosis), berlebihnya volume (dikeluhkan sebagai edema resisten atau hipertensi) atau berkurangnya status nutrisi (seperti yang diukur oleh serum albumin, lean body mass yang refrakter terhadap intervensi diet (derajat D, opini)

 Transplantasi ginjal donor hidup tidak seharusnya dilakukan smapai GFR kira-kira <20ml/menit/m2 dan terdapat bukti kerusakan renal progresif dan ireversibel melebihi 6-12 bulan sebelumnya (derajat D, opini)

Catatan GFR= glomerular filtration rate

Pengobatan konservatif menyeluruh

(23)

spesialis nefrologi saat mereka menolak terapi pengganti ginjal , karena itu, kami mencoba untuk menjelaskan dalam rekomendasi berikut ini.

Tabel 13. Pedoman untuk pengobatan konservatif menyeluruh untuk pasien dengan gagal ginjal kronik

Struktur dan proses

 Program renal dan pemberi pelayanan untuk pasien dengan gagal ginjal kronik progresif yang memilih untuk tidak mengikuti terapi pengganti ginjal seharusnya menjamin pasien memiliki akses terhadap tim interdisiplin untuk memberikan pengobatan konservatif menyeluruh, (derajat D).

Rencana perawatan lanjut

 Semua program penyakit ginjal kronik dan pemberi pelayanan seharusnya memiliki mekanisme yang membentuk dokumen dan proses untuk perencanaan perawatan lanjut (derajat D)

Komponen pengobatan konservatif komprehensif

 Protokol pengobatan konservatif komprehensif seharusnya termasuk penanganan gejala klinis, perawatan psikologi dan perawatan spiritual (derajat D)

Perawatan pasien yang dalam waktu dekat meninggal

 Perawatan akhir hidup yang terkoordinasi seharusnya tersedia untuk pasien dan keluarga (derajat D).

(24)

Kesimpulan

(25)

DAFTAR PUSTAKA

1. Suwitra Ketut. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam : Sehati S, Alwi I, Sudoyo AW, dkk, Editor.

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi IV. Jakarta Pusat : Interna Publishing : 2014 ; 2159-2165.

2. The Japanese Society for Dialysis Therapy (ed). Illustrated Present Status of Chronic Dialysis Therapy in Japan (as of December 31, 2008). Tokyo: The Japanese Society for Dialysis Therapy; 2009. (in Japanese) Available on the internet at http://docs.jsdt.or.jp/overview/index2009.html (accessed 2010 Oct).

3. The Japanese Society of Nephrology (ed). CKD Practice Guide 2009. Tokyo: Tokyo Igakusha; 2009. (in Japanese)

4. Go AS, Chertow GM, Fan D, et al. Chronic kidney disease and the risks of death,cardiovascular events, and hospitalization. N Engl J Med 2004;351:1296-305.

5. Levey AS, Atkins R, Coresh J, et al. Chronic kidney disease as a global public health problem: approaches and initiatives — a position statement from Kidney Disease Improving Global Outcomes. Kidney Int 2007;72:247-59.

6. Sarnak MJ, Levey AS, Schoolwerth AC, et al. Kidney disease as a risk factor for development of cardiovascular disease: a statement from the American Heart Association Councils on Kidney in Cardiovascular Disease, High Blood Pressure Research, Clinical Cardiology, and Epidemiology and Prevention. Circulation 2003;108:2154-69.

7. Stigant C, Stevens L, Levin A. Nephrology: 4. Strategies for the care of adults with chronic kidney disease. CMAJ 2003;168:1553-60

8. Zarnke KB, Campbell NR, McAlister FA, et al. A novel process for updating recommendations for managing hypertension: rationale and methods. Can J Cardiol 2000;16:1094-102.

9. Culleton B. Introduction to the Canadian Clinical Practice Guidelines. J Am Soc Nephrol 2006;17:S1-3.

(26)

11. UK Prospective Diabetes Study (UKPDS) Group. Effect of intensive blood-glucose control with metformin on complications in overweight patients with type 2 diabetes (UKPDS 34). Lancet 1998;352:854-65.

12. UK Prospective Diabetes Study (UKPDS) Group. Intensive blood-glucose control with sulphonylureas or insulin compared with conventional treatment and risk of complications in patients with type 2 diabetes (UKPDS 33). Lancet 1998;352:837-53.

13. Diabetes Control and Complications Trial and Epidemiology of Diabetes Interventions and Complications Research Group. Retinopathy and nephropathy in patients with type 1 diabetes four years after a trial of intensive therapy. N Engl J Med 2000;342:381-9.

14. Writing Team for the Diabetes Control and Complications Trial and Epidemiology of Diabetes Interventions and Complications Research Group. Sustained effect of intensive treatment of type 1 diabetes mellitus on development and progression of diabetic nephropathy: the Epidemiology of Diabetes Interventions and Complications (EDIC) study. JAMA 2003;290:2159-67.

15. Nathan DM, Cleary PA, Backlund JY, et al. Intensive diabetes treatment and cardiovascular disease in patients with type 1 diabetes. N Engl J Med 2005;353:2643-53.

16. Canadian Diabetes Association Clinical Practice Guidelines Expert Committee.

Canadian Diabetes Association 2008 clinical practice guidelines for the prevention and management of diabetes in Canada. Can J Diabetes 2008;32(Suppl 1):S1-S201.

17. Donnelly LA, Doney AS, Hattersley AT, et al. The effect of obesity on glycaemic response to metformin or sulphonylureas in type 2 diabetes. Diabet Med 2006;23:128-33.

18. Salpeter S, Greyber E, Pasternak G, et al. Risk of fatal and nonfatal lactic acidosis with metformin use in type 2 diabetes mellitus. Cochrane Database Syst Rev 2006;(1):CD002967. 19. Lalau JD, Race JM. Lactic acidosis in metformin therapy: searching for a link with

metformin in reports of “metformin-associated lactic acidosis”. Diabetes Obes Metab 2001;3:195-201.

20. Kasiske BL. Hyperlipidemia in patients with chronic renal disease. Am J Kidney Dis

(27)

21. McPherson R, Frohlich J, Fodor G, et al. Canadian Cardiovascular Society position statement — recommendations for the diagnosis and treatment of dyslipidemia and prevention of cardiovascular disease. Can J Cardiol 2006;22:913-27.

22. Heart Protection Study Collaborative Group. MRC/BHF Heart Protection Study of cholesterol lowering with simvastatin in 20,536 high-risk individuals: a randomized placebo-controlled trial. Lancet 2002;360:7-22.

23. Sever PS, Dahlof B, Poulter NR, et al. Prevention of coronary and stroke events with atorvastatin in hypertensive patients who have average or lower-than-average cholesterol concentrations, in the Anglo-Scandinavian Cardiac Outcomes Trial-Lipid Lowering Arm (ASCOT–LLA): a multicentre randomised controlled trial. Lancet 2003;361:1149-58.

24. Tonelli M, Isles C, Curhan GC, et al. Effect of pravastatin on cardiovascular events in people with chronic kidney disease. Circulation 2004;110:1557-63.

25. Wanner C, Krane V, Marz W, et al. Atorvastatin in patients with type 2 diabetes mellitus undergoing hemodialysis. N Engl J Med 2005;353:238-48.

26. Saltissi D, Morgan C, Rigby RJ, et al. Safety and efficacy of simvastatin in hypercholesterolemic patients undergoing chronic renal dialysis. Am J Kidney Dis 2002;39:283-90.

27. Baigent C, Landray M, Leaper C, et al. First United Kingdom Heart and Renal Protection (UK-HARP-I) study: biochemical efficacy and safety of simvastatin and safety of low-dose aspirin in chronic kidney disease. Am J Kidney Dis 2005;45:473-84.

28. Klahr S, Levey AS, Beck GJ, et al. The effects of dietary protein restriction and blood-pressure control on the progression of chronic renal disease. Modification of Diet in Renal Disease Study Group. N Engl J Med 1994;330:877-84.

29. Fouque D, Laville M, Boissel JP. Low protein diets for chronic kidney disease in non diabetic adults. Cochrane Database Syst Rev 2006;(2):CD001892.

30. Kasiske BL, Lakatua JD, Ma JZ, et al. A meta-analysis of the effects of dietary protein restriction on the rate of decline in renal function. Am J Kidney Dis 1998;31:954-61.

(28)

32. Khan NA, McAlister FA, Rabkin SW, et al. The 2006 Canadian Hypertension Education Program recommendations for the management of hypertension. Part II: Therapy. Can J Cardiol 2006;22:583-93.

33. Jafar TH, Stark PC, Schmid CH, et al. Proteinuria as a modifiable risk factor for the progression of non-diabetic renal disease. Kidney Int 2001;60:1131-40.

34. Gerstein HC, Mann JF, Yi Q, et al. Albuminuria and risk of cardiovascular events, death, and heart failure in diabetic and nondiabetic individuals. JAMA 2001;286:421-6.

35. Keane WF, Eknoyan G. Proteinuria, albuminuria, risk, assessment, detection, elimination (PARADE): a position paper of the National Kidney Foundation. Am J Kidney Dis 1999;33:1004-10.

36. Beetham R, Cattell WR. Proteinuria: pathophysiology, significance and recommendations for measurement in clinical practice. Ann Clin Biochem 1993;30:425-34.

37. Ruggenenti P, Perna A, Gherardi G, et al. Renoprotective properties of ACE-inhibition in non-diabetic nephropathies with non-nephrotic proteinuria. Lancet 1999;354:359-64.

38. Gansevoort RT, Sluiter WJ, Hemmelder MH, et al. Antiproteinuric effect of bloodpressure-lowering agents: a meta-analysis of comparative trials. Nephrol Dial Transplant 1995;10:1963-74.

39. ACE inhibitors in Diabetic Nephropathy Trialist Group. Should all patients with type 1 diabetes mellitus and microalbuminuria receive angiotensin-converting enzyme inhibitors? A meta-analysis of individual patient data. Ann Intern Med 2001;134:370-9.

40. Parving HH, Lehnert H, Brochner-Mortensen J, et al. The effect of irbesartan on the development of diabetic nephropathy in patients with type 2 diabetes. N Engl J Med 2001;345:870-8.

41. Lewis EJ, Hunsicker LG, Clarke WR, et al. Renoprotective effect of the angiotensin-receptor antagonist irbesartan in patients with nephropathy due to type 2 diabetes. N Engl J Med 2001;345:851-60.

42. Brenner BM, Cooper ME, de Zeeuw D, et al. Effects of losartan on renal and cardiovascular outcomes in patients with type 2 diabetes and nephropathy. N Engl JMed 2001;345:861-9. 43. Effects of dietary protein restriction on the progression of moderate renal diseasein the

(29)

44. Morales E, Valero MA, Leon M, et al. Beneficial effects of weight loss in overweight patients with chronic proteinuric nephropathies. Am J Kidney Dis 2003;41:319-27.

45. GISEN Group (Gruppo Italiano di Studi Epidemiologici in Nefrologia). Randomised placebo-controlled trial of effect of ramipril on decline in glomerular filtration rate and risk of terminal renal failure in proteinuric, non-diabetic nephropathy. Lancet 1997;349:1857-63. 46. Ruggenenti P, Perna A, Gherardi G, et al. Renal function and requirement for dialysis in

chronic nephropathy patients on long-term ramipril: REIN follow-up trial. Gruppo Italiano di Studi Epidemiologici in Nefrologia (GISEN). Ramipril efficacy in nephropathy. Lancet 1998;352:1252-6.

47. K/DOQI clinical practice guidelines and clinical practice recommendations for anemia in chronic kidney disease. Am J Kidney Dis 2006;47(Suppl 3):S11-145.

48. Culleton BF, Manns BJ, Zhang J, et al. Impact of anemia on hospitalization and mortality in older adults. Blood 2006;107:3841-6.

49. Jurkovitz CT, Abramson JL, Vaccarino LV, et al. Association of high serum creatinine and anemia increases the risk of coronary events: results from the prospective community-based atherosclerosis risk in communities (ARIC) study. J Am Soc Nephrol 2003;14:2919-25. 50. Drueke TB, Locatelli F, Clyne N, et al. Normalization of hemoglobin level in patients with

chronic kidney disease and anemia. N Engl J Med 2006;355:2071-84.

51. Singh AK, Szczech L, Tang KL, et al. Correction of anemia with epoetin alfa in chronic kidney disease. N Engl J Med 2006;355:2085-98.

52. Phrommintikul A, Haas SJ, Elsik M, et al. Mortality and target haemoglobin concentrations in anaemic patients with chronic kidney disease treated with erythropoietin: a meta-analysis. Lancet 2007;369:381-8.

53. Charytan C, Qunibi W, Bailie GR. Comparison of intravenous iron sucrose to oral iron in the treatment of anemic patients with chronic kidney disease not on dialysis. Nephron Clin Pract 2005;100:c55-62.

(30)

55. Tonelli M, Sacks F, Pfeffer M, et al. Relation between serum phosphate level and cardiovascular event rate in people with coronary disease. Circulation 2005;112: 2627-33. 56. Kestenbaum B, Sampson JN, Rudser KD, et al. Serum phosphate levels and mortality risk

among people with chronic kidney disease. J Am Soc Nephrol 2005;16: 520-8.

57. Block GA, Klassen PS, Lazarus JM, et al. Mineral metabolism, mortality, and morbidity in maintenance hemodialysis. J Am Soc Nephrol 2004;15:2208-18.

58. Martinez I, Saracho R, Montenegro J, et al. The importance of dietary calcium and phosphorous in the secondary hyperparathyroidism of patients with early renal failure. Am J Kidney Dis 1997;29:496-502.

59. Manns B, Stevens L, Miskulin D, et al. A systematic review of sevelamer in ESRD and an analysis of its potential economic impact in Canada and the United States. Kidney Int 2004;66:1239-47.

60. Meier-Kriesche HU, Kaplan B. Waiting time on dialysis as the strongest modifiable risk factor for renal transplant outcomes: a paired donor kidney analysis. Transplantation 2002;74:1377-81.

61. Mange KC, Joffe MM, Feldman HI. Effect of the use or nonuse of long-term dialysis on the subsequent survival of renal transplants from living donors. N Engl J Med 2001;344:726-31. 62. Wolfe RA, Ashby VB, Milford EL, et al. Comparison of mortality in all patients on dialysis,

patients on dialysis awaiting transplantation, and recipients of a first cadaveric transplant. N Engl J Med 1999;341:1725-30.

63. Allon M, Lockhart ME, Lilly RZ, et al. Effect of preoperative sonographic mapping on vascular access outcomes in hemodialysis patients. Kidney Int 2001;60:2013-20.

64. Jindal K, Chan CT, Deziel C, et al. Hemodialysis clinical practice guidelines for the Canadian Society of Nephrology. J Am Soc Nephrol 2006;17(Suppl 1):S1-27.

65. Culleton BF, Walsh M, Klarenbach SW, et al. Effect of frequent nocturnal hemodialysis vs conventional hemodialysis on left ventricular mass and quality of life: a randomized controlled trial. JAMA 2007;298:1291-9.

(31)

67. Main J, Whittle C, Treml J, et al. The development of an integrated care pathway for all patients with advanced life-limiting illness — the Supportive Care Pathway. J Nurs Manag 2006;14:521-8.

68. Perry E, Swartz J, Brown S, et al. Peer mentoring: a culturally sensitive approach to end-of-life planning for long-term dialysis patients. Am J Kidney Dis 2005;46:111-9.

Gambar

Tabel 2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Atas Dasar Diagnosis Etiologi.1
Tabel 3. Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik Sesuai Dengan Derajatnya.

Referensi

Dokumen terkait

Gagal ginjal akut adalah penurunan cepat atau mendadak ( dalam 48 jam) dari fungsi ginjal yang ditandai dengan peningkatan kreatinin serum dan berkurangnya produksi urin.

Peneliti mendapatkan informasi kesesuaian hasil pemeriksaan ureum kenaikan kadar kreatinin plasma terhadap USG ginjal pada diagnosa gagal ginjal kronik. Manfaat Bagi

HUBUNGAN TINGKAT ASUPAN PROTEIN DENGAN KADAR UREUM DAN KREATININ DARAH PADA PENDERITA GAGAL.. GINJAL KRONIK DI

1) Kaptopril antihipertensi golongan penghambat ACE. Pasien mengalami peningkatan kadar kreatinin sehingga perlu dilakukan monitoring fungsi ginjal. Obat ini sesuai digunakan

Gambaran Penggunaan Antihipertensi Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Di Rumah Sakit Umum Pusat H.. Adam Malik Medan: Permasalahan

Penyakit gagal ginjal kronik terjadi apabila penyakit ginjal yang berjalan lebih dari 3 bulan, dengan tanda- tanda proteinuria serta penurunan laju

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara asupan protein dengan kadar ureum dan kreatinin pada pasien gagal ginjal kronik hemodialisis di unit ginjal

Gambaran umum perjalanan gagal ginjal kronik dapat diperoleh dengan melihat hubungan antara bersihan kreatinin dan LFG sebagai persentase dari keadaan normal, terhadap kreatinin